Hubungan Fungsi Keluarga Terhadap Tingkat Kecerdasan Emosional Para Pelajar di SMP Jaya Suti Abadi Kabupaten Bekasi

(1)

HUBUNGAN FUNGSI KELUARGA TERHADAP TINGKAT

KECERDASAN EMOSIONAL PARA PELAJAR DI

SMP JAYA SUTI ABADI KABUPATEN BEKASI

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Serjana Keperawatan (S.Kep)

OLEH :

Awalia Bella Rizki Pratiwi

NIM : 1110104000025

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1435 H / 2014 M


(2)

HUBUNGAN FUNGSI KELUARGA TERHADAP TINGKAT

KECERDASAN EMOSIONAL PARA PELAJAR DI

SMP JAYA SUTI ABADI KABUPATEN BEKASI

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Serjana Keperawatan (S.Kep)

OLEH :

Awalia Bella Rizki Pratiwi

NIM : 1110104000025

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1435 H / 2014


(3)

(4)

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN

Skripsi, Juli 2014

Awalia Bella Rizki Pratiwi, NIM 1110104000025

Hubungan Fungsi Keluarga Terhadap Tingkat Kecerdasan Emosional Para Pelajar di SMP Jaya Suti Abadi Kabupaten Bekasi

xvii + 96 halaman + 14 tabel + 2 bagan + 7 lampiran

ABSTRAK

Perkembangan emosional merupakan hal yang perlu diperhatikan pada usia remaja, karena pada masa ini terjadi perubahan emosional yang meliputi perasaan malu, kesadaran diri, kesepian dan depresi khususnya pada usia 12-15 tahun. Pada usia tersebut juga remaja memiliki kemandirian yang hadir bersama dengan kebutuhan keintiman dan dukungan orang tua yang dapat terwujud dalam sebuah fungsi keluarga. Namun pada masa masa ini konflik orang tua dan anak memuncak. Maka sangat dibutuhkan sebuah fungsi keluarga yang mencakup dimensi pemecahan masalah, komunikasi, peran, responsivitas afektif, keterlibatan afektif, dan kontrol perilaku khususnya bagi perkembangan kecerdasan emosional anak remaja. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui Hubungan Fungsi Keluarga Terhadap Kecerdasan Emosional Para Pelajar di SMP Jaya Suti Abadi Kabupaten Bekasi . Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan pendekatan cross sectional dengan α=0,05. Sampel penelitian yang digunakan sebanyak 136 responden dan teknik yang digunakan dengan teknik purposive sampling. Pengumpulan data menggunakan instrument penelitian berupa kuesioner yaitu kuesioner menurut model McMaster (FAD) dan kuesioner EATQ-R. Teknik analisa yang digunakan adalah uji Chi-Square dengan bantuan program aplikasi statistik dalam pengolahannya. Penelitian ini dilakukan pada bulan juni tahun 2014. Hasil analisis didapatkan bahwa dari enam hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini hasilnya ditolak. Fungsi keluarga dimensi pemecahan masalah (p=0.608), peran (0.279), komunikasi (0.466), responsivitas afektif (0.247), keterlibatan afektif (0.679), kontrol perilaku (0.239) ditolak. Peneliti menyarankan agar pihak sekolah tetap melakukan bimbingan konseling kepada para siswanya mengenai pentingnya menjalin fungsi keluarga yang baik untuk perkembangan kecerdasan emosional mereka.

Kata kunci : Fungsi Keluarga, Model McMaster, Kecerdasan Emosional Remaja


(5)

SYARIF HIDAYATULLAH STATE ISLAMIC UNIVERSITY JAKARTA THE MEDICAL AND HEALTH SCIENCE

NURSERY SCIENCE PROGRAM. Bachelor Theses, July 2014

Awalia Bella Rizki Pratiwi, NIM 1110104000025

The Relation Function of Family to Emotional Quotient Level for the Students in Jaya Suti Abadi Junior High District of Bekasi

xvii + 96 pages + 14 table + 2 chart + 7 attachments

ABSTRACT

Emotional development is the point that needs to be paid attention to the youth, because at this time there was an emotional change that would include ashamed feeling, selfconsciousness, loneliness and depression especially at the age of 12 -15 years At the age of adolescents also have the independence that comes along with the need for intimacy and parental support which can be realized in the affective function of family. However at this time the conflict among parents and children is going peaked. So it is needed a function of the family that includes dimension to solve the problem of communication, roles, affective responsiveness, affective involvement, and behavior control, especially for the development of youth emotional quotient. This research aims to determine the Relation function of the family to emotional Quotient for The students in Junior High School Jaya Suti Abadi District of Bekasi. This research is a quantitative study with cross sectional approach with α = 0.05. Samples used in this study as many as 136 respondents and techniques used is purposive sampling techniques. Data Collection using instrument or a questionnaire the McMaster Model (FAD) and EATQ-R. Analysis technique used is the Chi-Square test with the help of statistical application program in its processing. This research will be done in June 2014. Results of the analysis found that of the six hypothesis which is proposed in this study the results were rejected. Family functioning dimensions of problem solving (p = 0.608), role (0.279), communication (0.466), affective responsiveness (0.247), affective involvement (0.679), behavior control (0.239) rejected. Researchers suggest that the school still doing counseling to the students about the importance of establishing a good family functioning to the development of their emotional intelligence.

Key words : The McMaster Model, Family Functioning, Youth Emotional Quotient


(6)

(7)

(8)

(9)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Nama : Awalia Bella Rizki Pratiwi Tempat, Tanggal Lahir : Brebes, 20 Desember 1992 Jenis Kelamin : Perempuan

Agama : Islam

Status : Belum Menikah

Alamat : Perum. Gria Asri 2 Jl.Garuda VIII Blok H17/12B : Tambun-Bekasi

Hp : 085781620376

Email : awaliabellrizkipratiwi@ymail.com Fakultas/Jurusan : Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan

: Program Studi Ilmu Keperawatan PENDIDIKAN

1. TK Pertiwi Brebes 1997-1998

2. SD Negeri 03 Brebes 1998-2004

3. SMP Negeri 01 Tambun-Selatan 2004-2007

4. SMA Negeri 01 Tambun-Selatan 2007-2010


(10)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Hubungan Fungsi Keluarga Terhadap Tingkat Kecerdasan Emosional Para Pelajar di SMP Jaya Suti Abadi Kabupaten Bekasi” yang disusun dan diajukan sebagai salah satu persyaratan untuk memperoleh gelar Sarjana Keperawatan.

Proses penyusunan skripsi ini, tidak sedikit kesulitan yang penulis hadapi. Namun, karena mendapatkan dukungan dan bantuan yang luar biasa dari berbagai pihak, baik secara langsung dan tidak langsung, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan sebaik-baiknya. Dengan ini, penulis ingin mengungkapkan rasa hormat dan terima kasih serta penghargaan, kepada:

1. Prof. DR (HC), dr M. K. Tadjuddin, Sp. And selaku Dekan Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Bapak Waras Budi Utomo, S. Kep, Ns., MKM selaku Ketua Program Studi Ilmu Keperawatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan Ibu Ns. Eni Nur’aini Agustini, S. Kep, MSc Selaku Sekretaris Program Studi IImu Keperawatan (PSIK) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Bapak Karyadi, M. Kep., Ph.D., selaku pembimbing I yang telah membimbing dan memberikan masukan serta dukungan demi terselesainya penulisan skripsi ini.


(11)

4. Ibu Maulina, S.Kp., M. Sc., selaku pembimbing II yang telah membimbing dan memberikan masukan dalam penulisan proposal penelitian ini.

5. Ibu Uswatun Hasanah, MNS., selaku pembimbing akademik yang selalu memberikan nasihat dan dukungan selama proses pendidikan di Program Studi Ilmu Keperawatan.

6. Bapak dan Ibu Dosen Program Studi Ilmu Keperawatan yang telah mengajarkan dan membimbing penulis selama 4 tahun dibidang pendidikan keperawatan, serta staf akademik dan Ibu Syamsiyah yang telah memudahkan dalam proses birokrasi.

7. Para penguji yang telah banyak memberikan masukan dalam memperbaiki skripsi penelitian ini.

8. Kedua Orang Tua terhebat saya, Bapak Kustoro, dan Ibu Elly Prihatiningsih yang paling saya cintai dan selalu memberikan dukungan yang sangat luar biasa, do’a serta semangat yang tak pernah berhenti setiap harinya dari mereka. Kedua adik saya yang tersayang yang selalu menemani dalam proses pembuatan skripsi dan semangat yang tak pernah padam.

9. Ketua Yayasan, Staff Guru, dan siswa-siswi SMP Jaya suti Abadi yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk melakukan penelitian di SMP Jaya Suti Abadi Kabupaten Bekasi.

10.Teman-teman PSIK 2010, PSIK 2009-2012, dan sahabat-sahabat saya terutama Leilani, Sholihat, Ka Fariz, Reno, Refi, Lily, Novitasari, Shulcha, Hilma, Ariyanti, Fuji, Ersa, Indri, Fahmi, Felly yang memberi inspirasi,


(12)

menghibur, dan memberi banyak masukan selama proses pembuatan skripsi ini.

Dengan memanjatkan doa kepada Allah SWT, penulis berharap semua kebaikan yang telah diberikan mendapat balasan dari Allah SWT dan semua kesalahan diampuni oleh Allah. Amin.

Penulis telah berusaha menyajikan tulisan ilmiah yang rapi dan sistematik sehingga mudah dipahami pembaca. Penulis menyadari bahwa penyajian skripsi ini jauh dari sempurna. Hal ini disebabkan masih terbatasnya pengetahuan, pengalaman, dan kemampuan penulis dalam melihat fakta, memecahkan masalah yang ada, serta mengeluarkan gagasan. Oleh karena itu, segala kritik dan saran yang berguna untuk menyempurnakan skripsi ini akan penulis terima dengan hati terbuka dan rasa terima kasih.

Jakarta, Juli 2014


(13)

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ……… i

LEMBAR PERNYATAAN ……….. ii

ABSTRAK ………... iii

ABSTRACT ………... iv

PERNYATAAN PERSETUJUAN ………... v

LEMBAR PENGESAHAN ………... vi

DAFTAR RIWAYAT HIDUP ………... viii

KATA PENGANTAR ……….. ix

DAFTAR ISI ………... xii

DAFTAR TABEL ………... xvi

DAFTAR BAGAN ………... xvii

DAFTAR LAMPIRAN ………... xviii

BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang ……….. 1

2. Rumusan Masalah ……… 6

3. Tujuan Penelitian ………. 7

4. Manfaat Penelitian ……… 8

5. Ruang Lingkup Penelitian ……… 9

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 1. Fungsi Keluarga ……… 10

1.1 Definisi Fungsi Keluarga ……… 10

1.2 Faktor-Faktor yang Terkait dengan Fungsi Keluarga ……. 12

1.3 Pengukuran Fungsi Keluarga ……….. 13

1.4 The McMaster Model of Family Functioning ………. 14

1.5 Dimensi Fungsi Keluarga ……… 17

1.5.1 Pemecahan Masalah ………. 17

1.5.2 Komunikasi ……….. 19

1.5.3 Peran ……… 20

1.5.4 Responsivitas Afektif ……….. 22

1.5.5 Keterlibatan Afektif ………. 23

1.5.6 Kontrol Perilaku ………... 24

2. Remaja ……….. 25

2.1 Definisi Remaja ………... 25

2.2 Ciri-Ciri Masa Remaja ……… 27

2.3 Tugas Perkembangan Pada Masa Remaja ……….. 30

2.4 Perubahan pada Remaja ……….. 32


(14)

3.1 Definisi Kecerdasan Emosional ……….. 34

3.2 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kecerdasan Emosional 38 3.3 Aspek-Aspek Kecerdasan Emosional ………. 40

4. Hubungan antara Fungsi Keluarga dengan Kecerdasan Emosional Usia Remaja ……….. 42

BAB III KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI ISTILAH 1. Kerangka Konsep ……….. 48

2. Hipotesis ……… 48

3. Definisi Operasional ……….. 50

BAB IV METODELOGI PENELITIAN 1. Desain Penelitian ….……….. 52

2. Populasi dan Sampel ……… 52

3. Teknik Pengambilan Sampel ……… 55

4. Pengumpulan Data ………... 56

5. Lokasi dan Waktu Penelitian ………. 56

6. Instrument Pengumpulan Data ……….. 56

7. Uji Validitas dan Reliabilitas Instrumen ………... 62

8. Tahapan Penelitian ……… 62

9. Pengolahan Data ……… 64

10. Analisa Data ……… 65

11. Etika Penelitian ………... 66

BAB V HASIL PENELITIAN A. Gambaran Umum Tempat Penelitian……… 68

B. Hasil Analisa Univariat………. 70

1. Gambaran Distribusi Responden Berdasarkan Jenis Kelamin………. 70 2. Gambaran Distribusi Responden Berdasarkan Usia………. 70

3. Gambaran Responden Berdasarkan Teori Fungsi Keluarga.. 71

4. Gambaran Responden Berdasarkan Kecerdasan Emosional. 72 C. Hasil Analisa Bivariat……….. 73

BAB VI PEMBAHASAN A. Analisa Univariat……….. 78

B.Analisa Bivariat ………. 82

C. Keterbatasan Penelitian………. 90

BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan………... 92

B. Saran……….. 93 DAFTAR PUSTAKA


(15)

DAFTAR TABEL

3.1 Definisi Operasional ………... 50 4.1 Dimensi Alat Ukur FAD ………... 58 4.2 Item Unfavourable dan Favourable Kuesioner FAD ………….. 59 4.3 Item Unfavourable dan Favourable Kuesioner EATQ-R ……... 61 5.1 Distribusi Responden Berdasarkan Jenis Kelamin ……….. 70 5.2 Distribusi Responden Berdasarkan Usia ………. 71 5.3 Gambaran Responden Berdasarkan Teori Fungsi Keluarga …… 71 5.5 Hubungan antara Dimensi Pemecahan Masalah terhadap Tingkat Kecerdasan Emosional para Pelajar SMP Jaya Suti Abadi

KabupatenBekasi………..

73

5.6 Hubungan antara Dimensi Komunikasi terhadap Tingkat Kecerdasan Emosional para Pelajar SMP Jaya Suti Abadi Kabupaten

Bekasi………

74

5.7 Hubungan antara Dimensi Peran terhadap Tingkat Kecerdasan Emosional para Pelajar SMP Jaya Suti Abadi ………..

74

5.8 Hubungan antara Dimensi Responsivitas Afektif terhadap Tingkat Kecerdasan Emosional para Pelajar SMP Jaya Suti Abadi ………

75

5.9 Hubungan antara Dimensi Keterlibatan Afektif terhadap Tingkat Kecerdasan Emosional para Pelajar SMP Jaya Suti Abadi ………

76

5.10 Hubungan antara Dimensi Kontrol Perilaku terhadap Tingkat Kecerdasan Emosional para Pelajar SMP Jaya Suti Abadi ………


(16)

DAFTAR BAGAN

2.1 Kerangka Teori Penelitian ……… 46 3.1 Kerangka Konsep Penelitian ……… 48


(17)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Dokumen Perizinan Lampiran 2. Informed Consent

Lampiran 3. Kuesioner Penelitian FAD Lampiran 4. Kuesioner Penelitian EATQ-R Lampiran 5. Hasil Uji Normalitas

Lampiran 6. Hasil Olahan Univariat Lampiran 7. Hasil Olahan Bivariat


(18)

(19)

BAB I PENDAHULAN

A. Latar Belakang

Tumbuh kembang merupakan proses yang berkesinambungan yang terjadi sejak intrauterin dan terus berlangsung sampai dewasa. Dalam proses mencapai dewasa inilah anak harus melalui berbagai tahap tumbuh kembang, termasuk tahap remaja. Tahap remaja adalah masa transisi antara masa anak dan dewasa, dimana terjadi pacu tumbuh (growth spurt), timbul ciri-ciri seks sekunder, tercapai fertilitas dan terjadi perubahan-perubahan psikologik serta kognitif (Soetjiningsih, 2007).

Perkembangan manusia menurut Monk (1994) pada dasarnya terdiri dari perkembangan motorik, perkembangan sosial, perkembangan emosi atau psikologis, dan perkembangan kognitif. Dimana keempat macam perkembangan tersebut harus berkembang secara seimbang dan proporsional. Hal itu sangat diperlukan untuk mendukung seorang individu mengembangkan pola kepribadiannya secara sehat (Martin, 2008).

Salah satu perkembangan yang menarik dari keempat perkembangan tersebut adalah perkembangan emosi yang perlu dipahami, dimiliki dan diperhatikan. Data demografi menunjukkan bahwa remaja merupakan populasi yang besar dari penduduk dunia. Menurut WHO (2010) sekitar seperlima dari penduduk dunia adalah remaja berumur 10-19 tahun.


(20)

Sekitar 900 juta berada di negara sedang berkembang. Di Asia Pasifik dimana penduduknya merupakan 60% dari penduduk dunia, seperlimanya adalah remaja umur 10-19 tahun. Di Indonesia menurut Biro Pusat Statistik (2007) kelompok umur 10-19 tahun adalah sekitar 22%, yang terdiri dari 50,9% remaja laki-laki dan 49,1% remaja perempuan.

Hasil survei Goleman (2006) menunjukkan kecenderungan bahwa remaja saat ini lebih banyak mengalami kesulitan emosional dari pada generasi sebelumnya di seluruh dunia, khususnya pada usia 12-15 tahun. Mereka lebih kesepian, pemurung, kurang menghargai sopan santun, lebih gugup, mudah cemas, dan lebih meledak-ledak. Hal ini dapat mempengaruhi kebutuhan dalam interaksi sosial remaja. Karena pada masa remaja, mereka berusaha untuk menarik perhatian orang lain, menghendaki adanya popularitas, dan kasih sayang dari teman sebaya. Remaja pada fase ini secara psikologis dan sosial berada dalam situasi yang peka dan kritis. Peka terhadap perubahan dan mudah terpengaruh oleh berbagai perkembangan di sekitarnya (Hurlock, 2000).

Remaja pada usia 12-15 tahun juga memiliki kemandirian yang hadir bersama dengan kebutuhan keintiman dan dukungan orang tua. Dimana pada masa-masa ini konflik orang tua dan anak memuncak (Dahlan, 2004). Hal ini menyebabkan remaja mudah mengalami masalah terkait kecerdasan emosional. Fakta menunjukkan bahwa kondisi kehidupan saat ini sangat kompleks dengan masalah-masalah yang menyebabkan ketidakstabilan emosi (Dagun, 2002).


(21)

Untuk mengatasi masalah tersebut remaja dituntut memiliki kecerdasan emosional. Yaitu kecerdasan dalam menjalin interaksi sosial untuk membina hubungan yang baik dan efektif dengan orang lain atau antar individu (Martin, 2008). Para remaja yang mempunyai kecerdasan emosional tinggi atau berkarakter akan terhindar dari masalah-masalah umum yang dihadapi oleh remaja, seperti kenakalan, tawuran, narkoba, miras, dan perilaku seks bebas. Hal ini sesuai dengan pendapat Goleman (2010) tentang keberhasilan seseorang di masyarakat, ternyata 80% dipengaruhi oleh kecerdasan emosional, dan hanya 20% ditentukan oleh kecerdasan otak (IQ). Kemampuan ini sangat dibutuhkan oleh individu tak terkecuali para remaja.

Kecerdasan emosional sangat dipengaruhi oleh lingkungan keluarga, tidak bersifat menetap dan dapat berubah-ubah setiap saat. Untuk itu peranan lingkungan terutama orang tua sangat mempengaruhi dalam pembentukan emosional khususnya masa remaja (Gottman, 1997). The McMaster Model of Family Functioning yang terdiri dari enam dimensi meliputi pemecahan masalah, komunikasi, peran, responsivitas afektif, dan kontrol perilaku akan membantu dalam proses pembentukan karakter kecerdasan emosional anak yang memasuki usia remaja awal (Miller et al., 2000)

Salah satu tugas perkembangan remaja yang harus dilaluinya adalah mampu berpikir secara lebih dewasa dan rasional, serta memiliki pertimbangan yang lebih matang dalam menyelesaikan masalah. Mereka harus mampu mengembangkan standard moral dan kognitif yang dapat


(22)

dijadikan sebagai petunjuk dan menjamin konsistensi dalam membuat keputusan dan bertindak. (Walgito, 2004).

Perkembangan cara berpikir ini ternyata tidak terlepas dari kehidupan emosinya yang naik-turun juga. Penentangan dan pemberontakan yang ditunjukkan dengan selalu melancarkan banyak kritik, bersikap sangat kritis pada setiap masalah, menentang peraturan sekolah maupun di rumah menjadi suatu ciri mulai meningkatnya kemampuan psikososial emosional pada remaja (Kartono, 2005). Oleh karena itu, remaja akan berjuang untuk melepaskan ketergantungannya kepada orang tua dan berusaha mencapai kemandirian sehingga mereka dapat diterima dan diakui sebagai orang dewasa (Oliva, 2000).

Pada fase ini, keluarga mempunyai pengaruh yang cukup besar bagi perkembangan remaja karena keluarga merupakan lingkungan sosial pertama, yang meletakkan dasar-dasar kepribadian remaja. Fungsi keluarga menurut Model McMaster yang dijalankan orang tua sangat besar pengaruhnya bagi remaja. Karena keberfungsian keluarga yang mengutamakan adanya dialog antara remaja dan orang tua akan lebih menguntungkan bagi remaja, karena selain memberikan kebebasan kepada anak, juga disertai adanya kontrol dari orang tua sehingga apabila terjadi konflik atau perbedaan pendapat diantara mereka dapat dibicarakan dan diselesaikan bersama-sama (Mulyadi, 2002).

Pada masa remaja sering terjadi adanya kesenjangan dan konflik antara remaja dan orang tuanya. Pada saat ini ikatan emosional menjadi 4


(23)

berkurang dan remaja sangat membutuhkan kebebasan emosional dari orang tua, misalnya dalam hal memilih teman ataupun melakukan aktifitas. Sifat remaja yang ingin memperoleh kebebasan emosional dan sementara orang tua yang masih ingin mengawasi dan melindungi anaknya (Oliva, 2000).

Pertentangan antara remaja dan orang tua dapat menimbulkan terjadinya konflik, namun orang tua dalam melalui proses tersebut berusaha meminimalkan konflik dan membantu anak remajanya untuk mengembangkan kebebasan berpikirnya dan kebebasan untuk mengatur dirinya sendiri (Sarlito, 2002).

Berdasarkan studi pendahuluan yang saya lakukan di SMP Jaya Suti Abadi kepada beberapa guru pengajar dan orang tua, banyak anak usia remaja awal yang sulit diberikan nasihat oleh guru dan orang tuanya serta peraturan dan tata tertib sekolah sering tidak dipatuhi. Dengan adanya hukuman yang nyata di sekolah ternyata tidak memberikan efek jera bagi remaja seusia mereka. Hal ini bahkan tidak dominan dilakukan oleh siswa laki-laki tetapi juga perempuan. Banyak orang tua dan guru yang mengeluhkan bahwa sangat sulit mengatur emosional yang labil di usia mereka. Perilaku sering membolos, ketahuan merokok, berkelahi di sekolah, tawuran merupakan beberapa contoh perilaku yang sulit dikontrol oleh orang tua. Usia remaja awal cenderung merahasiakan masalah-masalah mereka dari orang tua nya sehingga beberapa orang tua mengira bahwa perkembangan emosional anak mereka berlangsung biasa saja dan hilang kontrol. Saat di rumah, anak usia remaja awal memang cenderung tidak mendengarkan


(24)

nasihat orang tua. Mereka lebih percaya dan nyaman jika dekat dengan teman sebaya. Fungsi keluarga pun sulit diterapkan bagi keluarga yang mempunyai anak yang memasuki usia remaja awal.

Maka dari itu peneliti tertarik untuk melakukan penelitian mengenai hubungan fungsi keluarga dengan kecerdasan emosional para pelajar di SMP Jaya Suti Abadi Kabupaten Bekasi.

B. Rumusan Masalah

Perkembangan emosional merupakan hal yang sangat perlu diperhatikan pada usia remaja, karena pada masa ini terjadi perubahan emosi yang meliputi perasaan malu, kesadaran diri, kesepian dan depresi khususnya pada usia 12-15 tahun. Pada usia tersebut juga remaja memiliki kemandirian yang hadir bersama dengan kebutuhan keintiman dan dukungan orang tua yang dapat terwujud dalam fungsi keluarga. Namun pada masa masa ini konflik orang tua dan anak memuncak.

Maka sangat dibutuhkan fungsi keluarga yang meliputi enam dimensi menurut teori The McMaster Model diantaranyapemecahan masalah, komunikasi, peran, responsivitas afektif, keterlibatan afektif, kontrol perilaku. Keadaan ini mendorong peneliti untuk membuktikan adakah hubungan antara fungsi keluarga terhadap kecerdasan emosional para pelajar di SMP Jaya Suti Abadi Kabupaten Bekasi tahun 2014.


(25)

1. Tujuan Umum

Mengetahui hubungan antara fungsi keluarga terhadap kecerdasan emosional para pelajar di SMP Jaya Suti Abadi Kabupaten Bekasi tahun 2014.

2. Tujuan Khusus

a. Mengidentifikasi pelaksanaan fungsi keluarga berdasarkan ke-enam dimensi McMaster, yang memiliki anak remaja usia 12-15 tahun di SMP Jaya Suti Abadi Kabupaten Bekasi tahun 2014.

b. Mengidentifikasi kecerdasan emosional anak remaja usia 12-15 tahun di SMP Jaya Suti Abadi tahun 2014.

D. Manfaat Penelitian

1. Bagi Perkembangan Ilmu Keperawatan

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan dan ilmu pengetahuan, serta menjadi landasan dalam pengembangan evidence based ilmu keperawatan.

2. Bagi Remaja

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi pengetahuan mengenai hubungan fungsi keluarga terhadap kecerdasan emosional para pelajar SMP yang mulai memasuki usia remaja awal dan sebagai acuan untuk lebih bisa mengontrol tingkat kecerdasan emosional mereka yang


(26)

baru memasuki usia remaja, sehingga tidak terjerumus dalam perilaku yang menyimpang dari norma-norma yang berlaku.

3. Bagi SMP Jaya Suti Abadi Kabupaten Bekasi

Hasil penelitian diharapkan dapat menjadi acuan sekolah untuk membimbing remaja dalam perkembangan psikososial emosional siswa-siswi yang baru mulai memasuki usia remaja dengan melibatkan orang tuanya

E. Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian asosiatif dengan pendekatan kuantitatif dan desain studi cross sectional. Pengumpulan data menggunakan instrument penelitian berupa kuesioner. Penelitian ini adalah penelitian terkait hubungan fungsi keluarga terhadap kecerdasan emosional para pelajar di SMP Jaya Suti Abadi Kabupaten Bekasi. Subjek yang diteliti adalah siswa kelas VII dan kelas VIII SMP Jaya Suti Abadi Kabupaten Bekasi. Waktu penelitian dilaksanakan pada bulan April-Mei


(27)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

1. Fungsi Keluarga

1.1 Definisi Fungsi Keluarga

Keluarga adalah sistem sosial dan fundaments masyarakat yang dibentuk melalui kesepakatan bersama keluarga pria dan wanita. Keluarga memiliki efek tertinggi pada individu dan membentuk perilaku mereka setiap saat. Sebuah perilaku yang dibuat dalam kaitannya dengan anggota keluarga lainnya tidak terbatas pada perilaku menyenangkan dapat dikatakan normal, tetapi keluarga juga dapat membentuk fungsi yang abnormal juga (Epstein, Baldwin, & Bishop, 1983).

Selama lebih dari dua dekade, ketertarikan para ahli terhadap terapi keluarga semakin meningkat, terbukti dengan semakin banyaknya publikasi penelitian-penelitian yang berhubungan dengan terapi keluarga dan fungsi keluarga (Epstein, Baldwin, & Bishop, 1983). Perspektif sistem keluarga telah mendominasi penelitian-penelitian yang dilakukan oleh para peneliti untuk mencoba mengkonseptualisasikan dan mengukur keberfungsian keluarga (Sabateli & Bartle, 1995).

Di dalam kerangka sistem keluarga, keluarga didefinisikan sebagai sebuah struktur kompleks yang terdiri dari sekelompok individu yang saling bergantung dimana memiliki latar belakang yang sama, memiliki ketertarikan secara emosi, dan memiliki strategi untuk memenuhi kebutuhan individu


(28)

anggota keluarga maupun keluarga secara keseluruhan (Anderson & Sabatelli, 1995; Hess & Handel, 1985; Kantor & lehr, 1975 dalam Sabatelli & Bartle, 1995). Struktur keluarga yang kompleks tersebut memiliki tujuan yang akan dicapai, tugas-tugas yang harus dipenuhi, dan strategi-strategi untuk menjalankan tugas-tugas tersebut.

Beberapa peneliti yang melakukan penelitian terhadap keberfungsian keluarga memberikan definisi masing-masing. Walsh (2003) menjelaskan fungsi keluarga sebagai konstruk multidimensional yang merefleksikan aktivitas dan interaksi keluarga dalam menjalankan tugas penting yaitu menjaga pertumbuhan dan kesejahteraan dari masing-masing anggotanya dan dalam mempertahankan integrasinya. DeFrain, John, Asay, dan Olson (2009) menjelaskan bahwa keberfungsian keluarga mengacu pada peran yang dimainkan oleh anggota dalam keluarga serta sikap dan perilaku yang ditampilkan saat bersama anggota keluarga. Sementara itu, Epstein, Ryan, Bishop, Miller, & Keitner (2003) menjelaskan fungsi keluarga sebagai sejauh mana interaksi dalam keluarga memiliki dampak terhadap kesehatan fisik dan emosional anggota keluarga.

Berdasarkan definisi-definisi tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa fungsi keluarga merupakan sejauh mana interaksi keluarga dalam menjalankan tugas-tugasnya dengan tetap dapat mengupayakan kesejahteraan dan perkembangan sosial, fisik, dan psikologis masing-masing anggotanya.


(29)

1.2 Faktor-Faktor yang Terkait dengan Fungsi Keluarga

Di dalam sebuah keluarga sering terjadi perubahan-perubahan yang bisa diprediksi maupun yang tidak bisa diprediksi. Seiring dengan perjalanan waktu, keluarga menghadapi perubahan-perubahan dalam setiap tahap kehidupan, sehingga dibutuhkan definisi yang jelas mengenai kebutuhan normal dalam setiap tahapan. Selain itu hubungan-hubungan dalam keluarga tidak bisa dilepaskan dari konteks budaya dan etnis yang mempengaruhi daur hidup keluarga dan proses-proses yang terjadi dalam kelompok keluarga.

Bray (1995) mengemukakan empat kategori yang disarankan untuk mengorganisasi faktor-faktor yang sangat banyak terkait dengan fungsi keluarga, antara lain :

a. Faktor komposisi keluarga, termasuk keanggotaan (misalnya, hanya pasangan suami istri, pasangan dengan anak, keluarga orang tua tunggal) dan struktur dari keluarga (misalnya, keluarga inti, keluarga bercerai, keluarga tiri) komposisi keluarga ini merupakan kunci utama untuk menentukan aspek-aspek lainnya dari fungsi keluarga.

b. Faktor proses keluarga, mencakup tingkah laku dan interaksi yang membentuk karakteristik hubungan keluarga. Proses-proses ini mencakup factor-faktor seperti konflik, perbedaan, komunikasi, penyelesaian masalah, dan kontrol.

c. Faktor afek keluarga, mencakup ekspresi emosional diantara anggota keluarga. Afek dan emosi biasanya menetukan karakter


(30)

dan konteks dari proses keluarga. Afek memiliki pengaruh yang besar terhadap bagaimana anggota keluarga berkomunikasi.

d. Faktor organisasi keluarga, mengacu pada peran dan peraturan di dalam keluarga dan harapan-harapan akan tingkah laku yang berkontribusi kepada keberfungsian keluarga.

1.3 Pengukuran Fungsi Keluarga

Beberapa peneliti telah merumuskan konsep mengenai fungsi keluarga dilengkapi dengan alat ukur berdasarkan konsep tersebut. Seluruh pengukuran mengenai fungsi keluarga dibuat berdasarkan konstruksi yang dibuat oleh masing-masing peneliti mengenai bagaimana terlihatnya sebuah keluarga yang berfungsi dengan efektif (Sabatelli & Bartle, 1995). Pengembangan teori mengenai fungsi keluarga merupakan tahap awal yang harus dilakukan dalam merancang pengukuran keberfungsian keluarga.

Fungsi keluarga yang sangat erat kaitannya dengan sistem tugas dan strategi, dikonseptualisasikan dengan kostruk multidimensional (Sabatelli & Bartle, 1995). Pengukuran fungsi keluarga meliputi teori-teori yang berhubungan dengan tugas-tugas umum yang harus dipenuhi oleh sebuah keluarga dan strategi-strategi yang dikembangkan untuk pelaksanaan tugas-tugas tersebut (Sabatelli & Bartle, 1995). Beberapa model yang mengukur fungsi keluarga seperti FACES III yang mengkonseptualisasikan dua dimensi fungsi keluarga yaitu kohesi dan kemampuan adaptasi yang dikembangkan oleh Olson, Portner, dan Lavee (1985, dalam Sabatelli & Bartle, 1995);


(31)

McMaster Family Assessment Device yang dikembangkan oleh Epstein et al (1983) dengan dimensi pemecahan masalah, komunikasi, peran, responsivitas afektif, keterlibatan afektif, kontrol perilaku, dan keberfungsian umum; Family Environment Scale yang dikembangkan oleh Moos (1974, dalam Sabatelli & Bartle, 1995) memiliki 10 subskala; Beavers Systems Model yang mengajukan dua konstruk utama yaitu kompetensi keluarga dan corak keluarga (Beavers & Hampson, 2003).

Para peneliti yang tertarik dengan fungsi keluarga telah banyak melakukan penelitian pada beberapa model di atas yang mengkonseptualisasikan fungsi keluarga, baik itu secara konsep yang digunakan maupun secara psikometri. Dalam penelitian ini, peneliti tertarik untuk menggunakan The McMaster Model of Family Functioning dengan alat ukurnya Family Assessment Device (FAD) karena memiliki dimensi-dimensi yang bisa memberikan gambaran yang lebih detail tentang keluarga dibandingkan alat ukur lainnya.

1.4 The McMaster Model of Family Functioning

The McMaster Model of Family Functioning (MMFF) merupakan konseptualisasi dari keluarga didasarkan kepada klinis. Model MMFF ini mendeskripsikan perangkat struktur dan organisasi dari kelompok keluarga dan pola-pola transaksi antara anggota keluarga yang dapat membedakan antara fungsi keluarga yang baik dan funsi keluarga yang kurang baik. (Epstein et al, 1983).


(32)

Model MMFF tidak melingkupi seluruh aspek dari fungsi keluarga, tetapi lebih berfokus pada dimensi keberfungsian yang dapat dilihat sebagai aspek yang memiliki pengaruh paling kuat terhadap kesehatan emosional dan fisik atau masalah-masalah pada anggota keluarga. Dalam perkembangannya, MMFF telah melalui proses pengembangan lebih dari 40 tahun. Model ini telah digunakan secara luas oleh berbagai klinik psikiatri dan keluarga, serta oleh para terapis yang menangani masalah keluarga (Epstein et al, 2003).

Aspek-aspek yang mendasari sistem teori dari The McMaster Model of Family Functioning (MMFF) adalah sebagai berikut :

a. Setiap bagian dari keluarga saling berhubungan satu sama lain b. Satu bagian dari keluarga tidak bisa dipahami jika dipisahkan dari

sistem keluarga yang lain

c. Keberfungsian keluarga tidak bisa dipahami secara utuh hanya dengan memahami satu bagian saja dari sistem keluarga

d. Struktur dan organisasi keluarga merupakan faktor penting yang menentukan perilaku dari setiap anggota keluarga

e. Pola transaksional dari sistem keluarga merupakan aspek penting yang dapat membentuk perilaku dari setiap anggota keluarga

Pengembangan dari MMFF mengasumsikan bahwa fungsi utama dari keluarga adalah untuk menyediakan segala sarana yang dapat mengembangkan dan menjaga aspek sosial, psikologis, dan biologis dari semua anggota keluarga (Epstein, Levin, & Bishop, 1976). Menurut Epstein et al (2003), untuk memenuhi fungsi ini, keluarga harus menghadapi variasi


(33)

masalah dan tugas yang tercakup dalam tiga area yaitu area tugas dasar, area tugas perkembangan, dan area tugas resiko.

Area tugas dasar merupakan area yang terkait dengan kebutuhan dasar keluarga seperti bagaimana keluarga harus menyediakan makanan, uang, transportasi, dan tempat tinggal.

Area tugas perkembangan merupakan aspek yang berhubungan dengan proses perkembangan dalam keluarga yang biasanya terjadi secara bertahap. Perkembangan ini bisa dilihat secara individu dalam keluarga seperti perkembangan anak dari bayi hingga dewasa. Selain itu, perkembangan juga terjadi dalam keluarga secara keseluruhan seperti awal dari pernikahan, kehamilan pertama, hingga anak yang terakhir dalam keluarga meninggalkan rumah.

Area tugas resiko merupakan permasalahan yang melibatkan kondisi krisis dalam keluarga seperti ada anggota keluarga yang sakit, kecelakaan, dan kehilangan pekerjaan.

Keluarga yang tidak bisa menghadapi permasalahan dan memenuhi kebutuhan yang tercakup dalam tiga area diatas, maka akan mengalami masalah atau fungsi maladaptif pada satu atau beberapa area dari keberfungsian keluarga.

1.5 Dimensi Fungsi Keluarga

Terdapat enam dimensi dari fungsi keluarga menurut teori The McMaster Model yaitu pemecahan masalah, komunikasi, peran, responsivitas


(34)

afektif, keterlibatan afektif, dan kontrol perilaku. The McMaster Model menggunakan seluruh dimensi tersebut untuk menilai dan memahami bagian dari keluarga yang kompleks (Miller et al., 2000). Dalam alat ukur Family Assessment Device (FAD), terdapat tambahan satu dimensi yaitu dimensi fungsi keluarga secara umum yang mengukur kesehatan atau patologi dari sebuah keluarga secara keseluruhan.

1.5.1 Pemecahan Masalah

Dimensi ini merujuk kepada kemampuan keluarga untuk memecahkan masalah pada setiap level sehingga dapat menjaga fungsi keluarga tetap efektif. Isu-isu dalam keluarga yang menjadi masalah dapat mengancam keutuhan dari keluarga (baik secara fisik maupun secara emosional dari setiap anggota keluarga), sehingga keluarga yang memiliki fungsi keluarga yang efektif dapat menyelesaikan masalah tersebut. Setiap keluarga bisa memiliki tingkat dan jumlah masalah yang berbeda-beda. Keluarga yang berfungsi dengan efektif dapat menyelesaikan permasalahan yang ada, sementara itu keluarga yang tidak berfungsi secara efektif hanya memperhatikan sebagian masalah dari semua masalah yang keluarga mereka hadapi (Epstein et al., 2003).

Masalah yang dihadapi dalam keluarga secara konseptual dibagi menjadi dua tipe, yaitu masalah instrumental dan masalah afektif. Masalah instrumental berkaitan dengan masalah teknis dalam kehidupan sehari-hari seperti pengaturan keuangan atau memutuskan lokasi tempat tinggal. Masalah


(35)

afektif merupakan masalah yang berhubungan dengan pengalaman emosi dan perasaan (Miller et al., 2000).

Dalam The McMaster Model of Family Functioning, terdapat 7 tahapan dalam proses menyelesaikan masalah (Epstein et al., 2003), yaitu :

1. Mengidentifikasi masalah

2. Mengkomunikasikan masalah dengan orang yang tepat dalam keluarga

3. Mengembangkan alternatif solusi yang mungkin untuk dilakukan 4. Memutuskan untuk melakukan salah satu alternatif solusi

5. Melaksanakan keputusan

6. Melakukan monitoring terhadap langkah yang telah dilaksanakan 7. Melakukan evaluasi terhadap keefektifan proses pemecahan

masalah

Keluarga yang berfungsi dengan baik akan membuat langkah-langkah yang digunakan untuk menyelesaikan masalah terlebih dahulu, mendiskusikan permasalahan, mengkomunikasikan permasalahan tersebut satu sama lain, dan memutuskan tindakan yang tepat (Epstein et al., 2003).

1.5.2 Komunikasi

Komunikasi dalam fungsi keluarga didefinisikan sebagai pertukaran informasi secara verbal di dalam keluarga (Epstein et al., 2003). Komunikasi disini difokuskan pada komunikasi secara verbal yang lebih dapat diukur. Bukan berarti komunikasi nonverbal dalam keluarga menjadi tidak penting,


(36)

hanya saja komunikasi nonverbal memiliki kemungkinan yang lebih besar untuk mengalami kesalahpahaman. Selain itu, komunikasi nonverbal secara metodologis sulit diukur menjadi data dalam penelitin (Miller et al., 2000). Fokus pada The McMaster Model of Family Functioning (MMFF) adalah melihat pola komunikasi dalam keluarga (Epstein et al., 2003).

Komunikasi dalam keluarga juga dibagi menjadi dua area, yaitu komunikasi instrumental dan komunikasi afektif. Ada dua aspek lain yang bisa dilihat dalam komunikasi yaitu jelas atau terselubung, dan langsung atau tidak langsung. Pada komunikasi yang jelas atau terselubung dapat dilihat apakah isi dari pesan tersebut disampaikan melalui pernyataan yang jelas atau hanya sebagai pernyataan kamuflase, samar-samar, atau ambigu. Pada komunikasi yang dilihat dalam kontinum langsung atau tidak langsung dapat dilihat apakah pernyataan tersebut langsung ditujukan pada orang yang tepat atau dialihkan kepada orang lain.

Berdasarkan pembagian area komunikasi yang dijelaskan di atas, dapat diidentifikasikan 4 cara berkomunikasi yaitu, jelas dan langsung, jelas dan tidak langsung, terselubung dan langsung, terselubung dan tidak langsung. Pada keluarga yang efektif, komunikasi dilakukan secara langsung dan jelas pada kedua area instrumental dan afektif. Sedangkan komunikasi yang tidak efektif adalah komunikasi yang kurang jelas dan tidak langsung (Epstein et al., 2003).


(37)

1.5.3 Peran

Peran di dalam keluarga didefinisikan sebagai perilaku yang memiliki pola berulang yang dilakukan oleh anggota keluarga untuk memenuhi fungsi keluarga (Epstein et al., 2003). Terdapat beberapa fungsi dimana seluruh anggota keluarga dapat memahami fungsi tersebut untuk menciptakan keluarga yang sehat. MMFF menemukan adanya lima peran dasar keluarga, yaitu :

a. Penyediaan sumber daya, meliputi fungsi dan tugas yang berkaitan dengan penyediaan uang, makanan, pakaian, dan tempat tinggal. b. Perawatan dan dukungan, meliputi penyediaan kenyamanan,

kehangatan, rasa aman, dan dukungan untuk anggota keluarga. c. Kepuasan seksual dewasa, pasangan suami istri secara personal

merasakan kepuasan dalam hubungan seksual satu sama lain. d. Pengembangan pribadi, merupakan tugas dan fungsi keluarga untuk

mendukung anggota keluarga dalam mengembangkan keterampilan pribadi, termasuk perkembangan fisik, emosi, sosial, dan pendidikan anak-anak, serta pengembangan karir dan perkembangan sosial dewasa.

e. Pemeliharaan dan pengelolaan sistem keluarga, meliputi berbagai fungsi yang melibatkan teknik dan tindakan yang dibutuhkan untuk mempertahankan standar keluarga seperti pengambilan keputusan, batasan dan fungsi keanggotaan dalam keluarga, implementasi dan


(38)

kontrol perilaku, pengaturan keuangan rumah tangga, dan hal-hal yang berkaitan dengan pengasuhan dan kesehatan keluarga.

Dalam menjelaskan dimensi peran, terdapat dua konsep yaitu alokasi peran dan akuntabilitas peran (Epstein et al., 1978). Alokasi peran dilihat dari bagaimana sebuah keluarga melakukan proses alokasi atau penyebaran tanggung jawab bagi seluruh anggota keluarga. Akuntabilitas peran dilihat dari bagaimana anggota keluarga bisa menyelesaikan tanggung jawab yang diberikan secara penuh dan berkomitmen dalam melaksanakannya.

Fungsi keluarga dapat dikatakan baik adalah keluarga yang dapat memenuhi semua fungsi kebutuhan keluarga. Selain itu, keluarga yang sehat adalah keluarga yang memiliki proses penyebaran dan pelaksanaan tanggung jawab yang jelas dan tepat (Epstein et al., 1978).

1.5.4 Responsivitas Afektif

Responsivitas afektif didefinisikan sebagai kemampuan berespon terhadap stimulus yang ada dengan kualitas dan kuantitas perasaan yang tepat (Epstein et al., 2003). Pada dimensi ini terdapat aspek kuantitatif yang berfokus pada derajat respon afektif berdasarkan kontinum dari ketiadaan respon sampai respon yang wajar, atau respon yang cukup dapat diterima sampai respon yang berlebihan. Sedangkan pada aspek kualitatif dapat dilihat apakah anggota keluarga dapat berespon dengan menggunakan berbagai macam variasi emosi yang ada dan respon yang ditampilkan sesuai dengan stimulus dan konteks situasi yang terjadi (Miller, 2000).


(39)

Dimensi ini tidak dimaksudkan untuk melihat cara anggota keluarga menyampaikan perasaan mereka, tetapi apakah mereka memiliki kapasitas untuk merasakan emosi (Epstein et al., 2003). Afek dapat dibagi menjadi dua kategori yaitu emosi sejahtera dan emosi darurat. Emosi sejahtera terdiri dari afeksi, kehangatan, kelembutan, dukungan, cinta, dan kesenangan. Emosi darurat terdiri dari marah, takut, sedih, kecewa, dan depresi.

Pada keluarga yang sehat, seluruh anggota keluarga memiliki kemampuan untuk mengekspresikan berbagai macam emosi, emosi yang ditampilkan sesuai dengan konteks situasi, dan memiliki kesesuaian dalam intensitas dan durasi.

1.5.5 Keterlibatan Afektif

Keterlibatan afek merupakan sejauh mana anggota keluarga menunjukkan ketertarikan dan penghargaan kepada aktivitas dan minat anggota keluarga lainnya (Epstein et al., 2003). Dimensi ini memfokuskan kepada seberapa banyak ketertarikan yang ditunjukkan oleh anggota keluarga satu sama lain. Berdasarkan hal tersebut, terdapat 6 tipe keterlibatan dalam anggota keluarga :

a. Kurang terlibat : tidak ada keterlibatan satu sama lain

b. Keterlibatan tanpa perasaan : melibatkan hanya sedikit ketertarikan satu sama lain, hanya sebatas untuk pengetahuan saja


(40)

c. Keterlibatan narsistik : keterlibatan dengan anggota keluarga lain hanya sebatas perilaku atau aktivitas tersebut memiliki manfaat bagi dirinya sendiri

d. Keterlibatan empatik : mau terlibat dengan anggota keluarga satu sama lain demi kepentingan anggota keluarga yang lain

e. Keterlibatan yang berlebihan : keterlibatan yang terlalu berlebihan pada anggota keluarga lain

f. Keterlibatan simbiotik : keterlibatan yang ekstrem dan patologis satu sama lain terlihat mengganggu hubungan. Pada keluarga yang seperti ini, terdapat kesulitan yang jelas dalam membedakan satu anggota keluarga dengan yang lainnya.

Berdasarkan penjelasan di atas, pada fungsi keluarga yang berjalan dengan baik, tipe keterlibatan yang terjadi sudah pasti adalah keterlibatan empatik. Keterlibatan yang efektif bukan berarti seluruh anggota keluarga mengerjakan kegiatan bersama-sama, tetapi lebih kepada derajat keterlibatan antara anggota keluarga (Miller et al., 2000).

1.5.6 Kontrol Perilaku

Dimensi ini menjelaskan mengenai pola yang diadopsi oleh keluarga untuk menangani perilaku anggota keluarga dalam tiga area beriku ini yaitu, situasi yang membahayakan secara fisik, situasi yang melibatkan pemenuhan kebutuhan dan dorongan psikobiologis, situasi yang melibatkan perilaku


(41)

sosialisasi interpersonal baik diantara anggota keluarga maupun dengan orang lain di luar keluarga (Epstein et al., 2003).

Setiap keluarga memiliki aturan standar masing-masing tentang perilaku yang bisa diterima pada setiap anggota keluarga. Terdapat empat kategori kontrol perilaku dalam keluarga yang didasarkan pada variasi standar dan perilaku yang dapat diterima :

a. Kontrol perilaku yang kaku : terdapat standar yang sempit dan kaku sehingga sangat sedikit negosiasi tentang berbagai situasi

b. Kontrol perilaku yang fleksibel : menetapkan standar yang logis, ada kesempatan untuk berubah dan melakukan negosiasi sesuai konteks situasi

c. Kontrol perilaku laisses-faire : tidak memiliki standar, setiap perubahan diperbolehkan tanpa melihat konteks

d. Kontrol perilaku tidak beraturan : adanya perubahan yang terjadi secara random dan tak terduga antara tipe 1-3, sehingga anggota tidak mengetahui standar apa yang berlaku dan seberapa banyak negosiasi dimungkinkan terjadi.

Berdasarkan penjelasan di atas, fungsi keluarga yang paling baik dan efektif adalah keluarga yang menerapkan kontrol perilaku yang fleksibel, sedangkan fungsi keluarga yang paling tidak efektif adalah keluarga dengan tipe kontrol perilaku yang tidak beraturan.


(42)

2. Remaja

2.1 Definisi remaja

Remaja (adolescence) berasal dari bahasa latin, adolescence yang artinya “tumbuh untuk mencapai kematangan”, secara umum berarti proses fisiologis, sosial, dan kematangan yang dimulai dengan perubahan pubertas (Wong dkk, 2008).

Remaja adalah individu baik perempuan maupun laki-laki yang berada pada usia antara anak-anak dan dewasa (Sarlito, 2002). Secara psikologis remaja merupakan usia dimana individu berintegrasi dengan masyarakat dewasa dan tidak lagi merasa dibawah tingkat orang yang lebih tua melainkan sama atau sejajar (Hurlock, 2003). Menurut WHO (2013) remaja mencakup individu dengan usia 10-19 tahun, sedangkan remaja menurut SKKRI adalah perempuan dan laki-laki belum kawin yang berusia 15-24 tahun (Depkes, 2006). Menurut BKKBN (2011) batasan usia remaja adalah 10-21 tahun.

Masa remaja dibagi menjadi remaja awal dan remaja akhir. Masa remaja awal (early adolescence) kira-kira sama dengan masa sekolah menengah pertama yang berlangsung antara usia 13 tahun sampai 16-17 tahun (Santrock, 2003). Saat masa inilah dikenal sebagai masa yang penuh kesukaran. Bukan saja kesukaran bagi individu, tetapi juga bagi orang tuanya, masyarakat bahkan seringkali pada aparat keamanan. Hal ini disebabkan masa remaja merupakan masa transisi antara kanak-kanak dan masa dewasa. Masa transisi ini sering kali menghadapkan individu yang


(43)

bersangkutan kepada situasi yang membingungkan, disatu pihak ia masih kanak-kanak, tetapi dilain pihak ia harus bertingkah laku seperti orang dewasa (Steinberg, 1993).

Berdasarkan beberapa definisi di atas dapat disimpulkan bahwa remaja merupakan proses pencapaian menjadi dewasa dengan segala perubahan yang terjadi pada rentang usia 10-24 tahun dan belum menikah.

2.2 Ciri-ciri masa remaja

Menurut Hurlock (1999), masa remaja mempunyai ciri-ciri tertentu yang menbedakan dengan periode sebelum dan sesudahnya. Ciri-ciri tersebut antara lain :

a. Masa remaja sebagai periode yang penting

Periode remaja dianggap sangat penting daripada beberapa periode lainnya, karena akibatnya yang langsung terhadap sikap dan perilaku. Akibat fisik dan psikologis mempunyai persepsi yang sangat penting. Perkembangan fisik yang cepat dan penting disertai dengan cepatnya perkembangan mental yang cepat, terutama pada awal masa remaja. Semua perkembangan itu menimbulkan perlunya penyesuaian mental dan perlunya membentuk sikap, nilai, dan minat baru (Hurlock, 1999). b. Masa remaja sebagai periode peralihan

Peralihan tidak berarti terputus atau berubah dari apa yang terjadi sebelumnya, tetapi peralihan yang dimaksud adalah dari satu tahap perkembangan ke tahap berikutnya. Artinya, apa yang terjadi


(44)

sebelumnya akan meninggalkan bekasnya pada apa yang terjadi sekarang dan akan datang. Bila anak beralih dari masa kanak-kanak ke masa dewasa, anak harus meninggalkan segala sesuatu yang bersifat kekanak-kanakan dan juga harus mempelajari pola perilaku dan sikap baru untuk menggantikan perilaku dan sikap yang sudah ditinggalkan (Hurlock, 1999).

c. Masa remaja sebagai periode perubahan

Tingkat perubahan dalam sikap dan perilaku selama masa remaja sejajar dengan tingkat perubahan fisik. Selama awal masa remaja, ketika perubahan fisik terjadi dengan pesat maka perubahan perilaku dan sikap juga berlangsung pesat. Kalau perubahan fisik menurun, maka perubahan sikap dan perilaku menurun juga. Ada empat perubahan yang sama dan hampir bersifat universal. Pertama, meningginya emosi yang intensitasnya tergantung pada tingkat perubahan fisik dan psikologis. Kedua, perubahan tubuh, minat dan peran yang diharapkan oleh kelompok. Ketiga, dengan berubahnya minat dan pola perilaku maka nilai-nilai juga berubah. Keempat, sebagian besar remaja bersikap ambivalen terhadap setiap perubahan (Hurlock, 1999).

d. Masa remaja sebagai usia bermasalah

Masalah pada masa remaja sering menjadi masalah yang suit diatasi baik oleh anak laki-laki maupun anak perempuan. Terdapat dua alasan bagi kesulitan itu, yaitu sepanjang masa kanak-kanak, masalah anak-anak sebagian diselesaikan oleh orang tua dan guru-guru, sehingga


(45)

kebanyakan remaja tidak berpengalaman dalam mengatasi masalah, serta para remaja merasa mandiri, sehingga mereka ingin mengatasi masalahnya sendiri, menolak bantuan orang tua dan guru. Ketidakmampuan remaja untuk mengatasi sendiri masalahnya, maka memakai menurut cara yang mereka yakini. Banyak remaja akhirnya menemukan bahwa penyelesaian tidak selalu sesuai dengan harapan mereka (Hurlock, 1999).

e. Masa remaja sebagai masa mencari identitas

Identitas diri yang dicari remaja berupa usaha untuk menjelaskan siapa dirinya, apa peranannya dalam masyarakat, apakah ia seorang anak atau dewasa, apakah ia mampu percaya diri sekalipun latar belakang rasa tau agama atau nasionalnya membuat beberapa orang merendahkannya. Secara keseluruhan, apakah ia akan berhasil atau akan gagal (Hurlock, 1999).

f. Masa remaja sebagai usia yang menimbulkan ketakutan

Anggapan stereotip budaya bahwa remaja adalah anak-anak yang tidak rapih, yang tidak dapat dipercaya dan cenderung merusak dan berperilaku merusak, menyebabkan orang dewasa yang harus membimbing dan mengawasi kehidupan remaja yang takut bertanggung jawab dan bersikap tidak simpatik terhadap perilaku remaja yang normal (Hurlock, 1999).


(46)

g. Masa remaja sebagai masa yang tidak realistik

Remaja cenderung memandang kehidupan melalui kaca berwarna merah jambu. Ia melihat dirinya sendiri dan orang lain sebagaimana adanya, terlebih dalam hal cita-cita. Cita-cita yang tidak realistik ini, tidak hanya bagi dirinya sendiri tetapi juga bagi keluarga dan teman-temannya, menyebabkan meningkatnya emosi yang merupakan ciri dari awal masa remaja. Semakin tidak realistik cita-citanya semakin ia menjadi marah. Remaja akan sakit hati dan kecewa apabila orang lain mengecewakannya atau kalau ia tidak berhasil mencapai tujuan yang ditetapkannya sendiri (Hurlock, 1999).

h. Masa remaja sebagai ambang masa dewasa

Dengan semakin mendekatnya usia kematangan yang sah, para remaja menjadi gelisah untuk meninggalkan stereotip belasan tahun dan untuk memberikan kesan bahwa mereka sudah hampir dewasa. Berpakaian dan bertindak seperti orang dewasa ternyata belumlah cukup. Oleh karena itu, remaja mulai memusatkan diri pada perilaku yang dihubungkan dengan status dewasa, yaitu merokok, minum minuman keras, menggunakan obat-obatan, dan terlibat dalam perbuatan seks. Mereka menganggap bahwa perilaku ini akan memberikan citra yang mereka inginkan (Hurlock, 1999).


(47)

2.3 Tugas perkembangan pada masa remaja a. Menerima citra tubuh

Seringkali sulit bagi remaja untuk menerima keadaan fisiknya bila sejak kanak-kanak mereka telah mengagungkan konsep mereka tentang penampilan diri pada waktu dewasa nantinya. Diperlukan waktu untuk memperbaiki konsep ini dan untuk mempelajari cara-cara memperbaiki penampilan diri sehingga lebih seuai dengan apa yang dicita-citakan (Hurlock, 1999).

b. Menerima identitas seksual

Menerima peran seks dewasa yang diakui masyarakat tidaklah mempunyai banyak kesulitan bagi anak laki-laki, mereka telah didorong dan diarahkan sejak awal masa kanak-kanak. Tetapi berbeda bagi anak perempuan, mereka didorong untuk memainkan peran sederajat sehingga usaha untuk mempelajari peran feminin dewasa memerlukan penyesuaian diri selama bertahun-tahun (Hurlock, 1999).

c. Mengembangkan sistem nilai personal

Remaja mengembangkan sistem nilai yang baru misalnya remaja mempelajari hubungan baru dengan lawan jenis berarti harus mulai dari nol dengan tujuan untuk mengetahui bagaimana harus bergaul dengan mereka (Hurlock, 1999).

d. Membuat persiapan untuk hidup mandiri

Bagi remaja yang sangat mendambakan kemandirian, usaha untuk mandiri harus didukung oleh orang terdekat (Hurlock, 1999).


(48)

e. Menjadi mandiri atau bebas dari orang tua

Kemandirian emosi berbeda dengan kemandirian perilaku. Banyak remaja yang ingin mandiri, tetapi juga membutuhkan rasa aman yang diperoleh dari orang tua atau orang dewasa lain. Hal ini menonjol pada remaja yang statusnya dalam kelompok sebaya yang mempunyai hubungan akrab dengan anggota kelompok dapat mengurangi ketergantungan remaja pada orang tua (Hurlock, 1999).

f. Mengembangkan keterampilan mengambil keputusan

Keterampilan mengambil keputusan dipengaruhi oleh perkembangan keterampilan intelektual remaja itu sendiri, misal dalam mengambil keputusan untuk menikah di usia remaja (Hurlock, 1999). g. Mengembangkan identitas seseorang yang dewasa

Remaja erat hubungannya dengan masalah pengembangan nilai-nilai yang selaras dengan dunia orang dewasa yang akan dimasuki, adalah tugas untuk mengembangkan perilaku sosial yang bertanggung jawab (Hurlock, 1999).

2.4 Perubahan pada remaja a. Perubahan fisik pada remaja

Menurut Suntrock (2007) terjadi pertumbuhan fisik yang cepat pada remaja, termasuk pertumbuhan organ reproduksi (organ seksual) untuk mencapai kematangan sehingga mampu melangsungkan fungsi reproduksi. Perubahan ini ditandai dengan munculnya tanda-tanda yaitu :


(49)

1)Tanda-tanda seks primer yaitu yang berhubungan langsung dengan organ seks. Terjadinya haid pada remaja putri (menarche) dan terjadinya mimpi basah pada remaja laki-laki.

2)Tanda-tanda seks sekunder yaitu : pada remaja laki-laki terjadi perubahan suara, tumbuhnya jakun, penis, dan buah zakar bertambah besar, terjadinya ereksi dan ejakulasi, dada lebih lebar, badan berotot, tumbuhnya kumis, jambang dan rambut di sekitar kemaluan dan ketiak. Dan pada remaja putri terjadi perubahan pinggul lebar, pertumbuhan Rahim dan vagina, payudara membesar, tumbuhnya rambut di sekitar kemaluan (pubis) dan ketiak.

b. Perubahan kejiwaan pada remaja

Proses perubahan kejiwaan berlangsung lebih lambat dibandingkan perubahan fisik yang meliputi :

1)Perubahan emosi, sehingga remaja menjadi :

a) Sensitif (mudah menangis, cemas, frustasi, dan tertawa)

b) Agresif dan mudah bereaksi terhadap rangsangan luar yang berpengaruh, sehingga misalnya mudah berkelahi.

2) Perkembangan intelegensia, sehingga remaja menjadi : a) Mampu berpikir abstrak, senang memberikan kritik

b) Ingin mengetahui hal-hal baru, sehingga muncul perilaku ingin coba-coba.


(50)

3. Kecerdasan Emosional

3.1 Definisi Kecerdasan Emosional

Semua emosi pada dasarnya adalah dorongan untuk bertindak, rencana seketika untuk mengatasi masalah yang telah ditanamkan secara berangsur-angsur oleh evolusi. Akar kata emosi adalah movere, kata kerja bahasa Latin yang berarti “menggerakkan, bergerak”, ditambah awalan “ e-“ untuk memberi arti “bergerak menjauh”, menyiratkan bahwa kecenderungan bertindak merupakan hal mutlak dalam emosi. Bahwasannya emosi memancing tindakan.

Selain itu emosi dapat didefinisikan sebagai perasaan, afek, yang terjadi ketika seseorang berada dalam sebuah kondisi atau sebuah interaksi yang penting baginya, khususnya bagi kesejahteraannya (Campos dkk, 2004).

Emosi dapat ditandai oleh perilaku yang merefleksikan (mengekspresikan) kondisi senang atau tidak senang seseorang atau transaksi yang sedang dialami (McBurnett dkk, 2005). Emosi juga dapat bersifat lebih spesifik dan terwujud dalam bentuk gembira, takut, marah, dan seterusnya, tergantung pada bagaimana transaksi tersebut mempengaruhi orang tersebut. Sebagai contoh, transaksi dalam bentuk ancaman, frustasi, kelegaan, penolakan, sesuatu yang tidak terduga. Disamping itu, emosi dapat memperlihatkan kemarahan yang intens hanya dalam situasi khusus.


(51)

Oleh karena itu, emosi sangat penting bagi rasionalitas. Dalam liku-liku perasaan dengan pikiran, kemampuan emosional membimbing keputusan kita dari waktu ke waktu, bekerja bahu-membahu dengan pikiran rasional, mendayagunakan atau tidak mendayagunakan pikiran itu sendiri. Demikian juga, otak nalar memainkan peranan eksekutif dalam emosi kita, kecuali pada saat-saat emosi mencuat lepas kendali dan otak emosional berjalan tak terkendalikan.

Sedangkan menurut Stein & Book (2002) menyatakan bahwa istilah “kecerdasan emosi” pertama kali dilontarkan pada tahun 1990 oleh psikolog Peter Salovey dari Harvard University dan John Mayer dari University of New Hampshire untuk menerangkan kualitas-kualitas emosional yang tampaknya penting bagi keberhasilan. Kualitas-kualitas ini antara lain adalah empati, mengungkapkan dan memahami perasaan, mengendalikan amarah, kemandirian, kemampuan menyesuaikan diri, disukai, kemampuan memecahkan masalah antar pribadi, ketekunan, kesetiakawanan, keramahan, dan sifat hormat.

EQ adalah ukuran kompetensi emosional dan sosial atau kemampuan seseorang untuk mengidentifikasi ekspresi emosi dalam diri sendiri dan orang lain (Goleman, 2001; Hettich, 2000). EQ adalah kemampuan seseorang untuk mengatur emosi dalam menanggapi rangsangan lingkungan (Sutarso, 1996; Bar-On, 1997). EQ telah dipopulerkan sebagai keterampilan yang dipelajari yang merupakan


(52)

prediktor yang lebih baik dari kesuksesan hidup dari pencapaian intelektual atau kemampuan teknis (Goleman, 2000).

Menurut Shapiro (1998) kecerdasan emosi merupakan kemampuan memantau diri sendiri atau orang lain yang melibatkan pengendalian diri, semangat serta kemampuan untuk membedakan dan menanggapi dengan tepat suasana hati, temperamen, motivasi, dan hasrat orang lain. Sedangkan menurut Coper dan Sawaf (2002) mengatakan bahwa kecerdasan emosi adalah kemampuan untuk merasakan, memahami, dan secara selektif menerapkan daya dan kepekaan emosi sebagai sumber emosi serta pengaruh yang manusiawi. Dimana kecerdasan emosi menuntut pemilikan perasaan, belajar mengakui, menghargai perasaan pada diri sendiri atau orang lain serta menanggapinya dengan tepat.

Salovey dan Mayer (1993) mendefenisikan kecerdasan emosi sebagai himpunan bagian dari kecerdasan sosial yang melibatkan kemampuan memantau perasaan sosial yang melibatkan kemampuan pada orang lain, memilah-milah semuanya dan menggunakan informasi ini untuk membimbing pikiran dan tindakan. Howes dan Herald (dalam Zainun, 2002) mengatakan bahwa kecerdasan emosi adalah komponen yang membuat seseorang menjadi pintar menggunakan emosi karena dengan kecerdasan emosi seseorang dapat memahami diri sendiri dan orang lain.

Menurut Richard Herrnstein dan Charles Murray (2002), yang dalam bukunya The Bell Curve, beberapa ciri-ciri seseorang yang


(53)

mempunyai kecerdasan emosional adalah memiliki kemampuan seperti kemampuan untuk memotivasi diri sendiri dan bertahan menghadapi frustasi; mengendalikan dorongan hati dan tidak melebih-lebihkan kesenangan; mengatur suasana hati dan menjaga agar beban stress tidak melumpuhkan kemampuan berpikir; berempati dan berdoa.

Orang dengan keterampilan emosional yang berkembang baik berarti kemungkinan besar ia akan bahagia dan berhasil dalam kehidupan, menguasai kebiasaan pikiran yang mendorong produktivitas mereka dan orang yang tidak dapat menghimpun kendali tertentu atas kehidupan emosionalnya akan mengalami pertarungan batin yang merampas kemampuan mereka untuk memusatkan perhatian pada pekerjaan dan memiliki pikiran yang jernih.

Goleman (2006) mendefinisikan EQ dalam model perkembangan kecerdasan. Model mereka dari EQ terdiri dari empat tingkatan hirarki yang menentukan kemampuan seseorang untuk mengenali emosi dan kelompok. Dalam tahap pertama, orang belajar bagaimana mengidentifikasi emosi dalam diri mereka sendiri dan orang lain serta bagaimana membedakan antara ekspresi emosi. Pada tahap kedua, individu menggunakan emosi untuk membantu dalam proses pengambilan keputusan dan mengelola emosi mereka. Tahap ketiga ini ditandai dengan kemampuan untuk menggunakan pengetahuan emosional dan memotivasi diri sendiri. Tahap keempat adalah proses untuk mengenali emosi orang lain dan membina hubungan yang baik dengan orang lain.


(54)

Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa kecerdasan emosi adalah kemampuan yang mencakup memantau perasaan diri sendiri atau orang lain, pengendalian diri, mampu membaca, dan menghadapi perasaan orang lain dengan efektif, menguasai kebiasaan pikiran yang dapat mendorong produktifitas dan mampu mengelola emosi yang dapat digunakan untuk membimbing pikiran dan tindakan yang terarah.

3.2 Faktor-faktor yang mempengaruhi kecerdasan emosional

Ada beberapa faktor yang mempengaruhi kecerdasan emosi seseorang. Menurut Goleman (2006) faktor yang mempengaruhi kecerdasan emosi seseorang salah satunya adalah otak. Otak adalah organ yang penting dalam tubuh manusia. Otak yang bertugas mengatur dan mengontrol seluruh kerja tubuh. Struktur otak manusia adalah sebagai berikut :

a. Batang otak, merupakan bagian otak yang mengelola insting untuk mempertahankan hidup.

b. Amigdala, merupakan tempat penyimpanan semua kenangan baiktentang kejayaan, kegagalan, harapan, ketakutan, kemarahan, dan frustasi.

c. Neokorteks atau otak pikir, tugas dari neokorteks adalah melakukan pelanaran, berpikir secara intelektual, dan rasional dalam menghadapi setiap persoalan.


(55)

Goleman (2006) juga mengatakan faktor dari luar diri individu yang dapat mempengaruhi kecerdasan emosional adalah sebagai berikut : a. Lingkungan keluarga

Lingkungan keluarga merupakan sekolah pertama dalam mempelajri emosi. Orang tua adalah subjek pertama yang perilakunya diidentifikasi oleh anak kemudian diinternalisasi yang akhirnya akan menjadi bagian kepribadian anak. Orang tua yang memiliki kecerdasan emosi yang tinggi akan mengerti perasaan anak dengan baik.

b. Lingkungan non-keluarga

Lingkungan masyrakat dan lingkungan pendidikan merupakan faktor yang mempengaruhi kecerdasan emosi seseorang. Kecerdasan emosi dapat ditingkatkan melalui berbagai macam bentuk pelatihan, misalnya pelatihan asertivitas.

Shapiro (1998) mengemukakan bahwa bagian yang paling menentukan dan berpengaruh terhadap kecerdasan emosi seseorang adalah anatomi syaraf emosinya atau dengan kata lain otaknya. Bagian otak yang digunakan untuk berpikir yaitu neokorteks sebagai bagian yang berbeda dari bagian otak yang mengurus emosi emosi yaitu sistem limbik. Akan tetapi sesungguhnya hubungan antara kedua bagian inilah yang menentukan kecerdasan emosi seseorang.

Gharawiyan (2002) mengatakan bahwa lingkungan keluarga turut berperan dalam kecerdasan emosi seorang anak. Apabila suasana yang


(56)

berkembang dalam keluarga bersifat positif, sehat, berakhlak, dan manusiawi maka akan menghindarkan anak dari sikap emosional.

Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi kecerdasan emosi seseorang adalah lingkungan keluarga, lingkungan non-keluarga, serta struktur otak seseorang.

3.3 Aspek-aspek kecerdasan emosional

Goleman (2000) mengadaptasi aspek-aspek kecerdasan emosi yang telah diungkap oleh Salovey dan Mayer pada yahun 1991 dalam lima aspek sebagai berikut :

a. Kesadaran diri, merupakan kemampuan untuk mengetahui apa yang kita rasakan pada suatu saat, dan menggunakannya untuk memandu pengambilan keputusan diri sendiri, memiliki tolak ukur yang realistis atas kemampuan diri dan kepercayaan diri yang kuat.

b. Pengaturan diri, merupakan kemampuan untuk menangani emosi kita sehingga berdampak positif kepada pelaksanaan tugas, peka terhadap kata hati dan sanggup menunda kenikmatan sebelum tercapainya suatu sasaran, mampu pulih kembali dari tekanan emosi.

c. Motivasi, merupakan kemampuan untuk menggunakan hasrat kita yang paling dalam untuk menuntun kita menuju sasaran, membantu kita mengambil inisiatif sehingga bertindak efektif, dan untuk bertahan menghadapi kegagalan.


(57)

d. Empati, merupakan kemampuan merasakan apa yang dirasakan oleh orang lain, mampu memahami perspektif mereka, menumbuhkan hubungan saling percaya dan menyelaraskan diri dengan bermacam-macam orang.

e. Keterampilan sosial, merupakan kemampuan menangani emosi dengan baik ketika berhubungan dengan orang lain dan dengan cermat membaca situasi, mampu berinteraksi dengan baik, menggunakan keterampilan sosial untuk bekerja sama dalam satu tim.

Cooper dan Sawaf (2002) membagi kecerdasan emosi dalam empat aspek, meliputi :

a. Keterampilan emosi, adalah kemampuan untuk mengelola emosi secara tepat dan efektif.

b. Keyakinan diri, kepercayaan yang besar yang dimiliki seseorang terhadap dirinya sendiri dengan segala kelebihan dan kekurangannya, sehingga individu dapat menerima keadaan dirinya sendiri.

c. Sudut pandang, adalah bagaimana seorang individu memandang atau mempersepsikan sesuatu yang berkaitan dengan dirinya sendiri, orang lain, maupun lingkungan sekitarnya.

d. Kreativitas, adalah kemampuan seseorang untuk menciptakan hal-hal baru, menghasilkan ide-ide baru, mencari alternative baru sehingga dapat merubah sesuatu menjadi baik.

Martin (2008) juga menyatakan ada beberapa aspek dalam kecerdasan emosi antara lain penyadaran diri, manajemen emosi, motivasi


(58)

diri, empati, mengelola hubungan, komunikasi interpersonal, dan gaya hidup. Menurut Goleman (2002) menyatakan bahwa aspek-aspek kecerdasan emosi meliputi tanggung jawab atas harga diri, kesadaran diri, kepekaan sosial, dan kemampuan adaptasi.

4. Hubungan antara fungsi keluarga dengan kecerdasan emosional usia remaja

Sudah sejak lama masa remaja dinyatakan sebagai masa badai emosional (Goleman, 2006). Dalam bentuknya yang ekstrim, pandangan ini terlalu bersikap stereotip karena remaja tidak selalu dalam kondisi “badai dan stress”. Meskipun demikian, tidak dapat disangkal bahwa masa remaja awal merupakan suatu masa dimana fluktuasi emosi (naik dan turun) berlangsung lebih sering (Dacey & Kenny, 1997).

Remaja awal dapat merasa sebagai orang yang paling bahagia di suatu saat dan kemudian merasa sebagai orang yang paling malang di saat lain. Dalam banyak kasus, intensitas dari emosi mereka agaknya berada diluar proporsi dari peristiwa yang membangkitkannya. Remaja awal juga dapat merajuk, tidak mengetahui bagaimana caranya mengekspresikan perasaan mereka secara cukup. Dengan sedikit atau tanpa provokasi sama sekali, mereka dapat menjadi sangat marah ke orang tuanya, memproyeksikan perasaan-perasaan mereka yang tidak menyenangkan kepada orang lain (Suntrock, 2003).


(59)

Berdasarkan penelitian yang dilakukan di Amerika terhadap para guru dan orang tua, rata-rata anak dengan usia 12-15 tahun semakin parah dalam masalah spesifik berikut ini : (1) Menarik diri dari pergaulan atau masalah sosial, mereka lebih suka menyendiri; kurang bersemangat; merasa tidak bahagia. (2) cemas dan depresi, merasa sering takut dan cemas; merasa tidak dicintai, gugup, sedih, dan depresi. (3) memiliki masalah dalam hal perhatian atau berpikir, tidak mampu memusatkan perhatian atau duduk tenang; melamun; bertindak tanpa berpikir; bersikap terlalu tegang untuk berkonsentrasi. (4) nakal atau agresif, bergaul dengan anak yang bermasalah; bohong dan menipu; sering bertengkar; bersikap kasar terhadap orang lin; menuntut perhatian; membandel di sekolah dan di rumah.

Kehidupan keluarga merupakan sekolah pertama kita untuk mempelajari emosi; dalam lingkungan yang akrab ini kita belajar bagaimana merasakan perasaan kita sendiri dan bagaimana orang lain menanggapi perasaan kita; bagaimana berpikir tentang perasaan ini dan pilihan-pilihan apa yang kita miliki untuk bereaksi; serta bagaimana membaca dan mengungkapkan harapan dan rasa takut.

Orang tua perlu mengetahui bahwa kemurungan merupakan aspek yang normal dialami remaja awal dan bahwa sebagian besar remaja dapat mengolah masa mereka tersebut dan akhirnya menjadi seorang remaja yang kompeten. Tidak dapat dipungkiri bahwa bagi beberapa remaja, emosi semacam itu dapat merefleksikan masalah yang serius. Misalnya


(60)

angka suasana hati depresi menjadi lebih meninggi untuk remaja perempuan (Nolen-Hoeksema, 2007)

Pembelajaran emosi ini bukan hanya melalui hal-hal yang diucapkan dan dilakukan oleh orang tua secara langsung kepada anaknya, melainkan juga melalui contoh-contoh yang mereka berikan sewaktu menangani perasaan mereka sendiri atau perasaan yang biasa muncul antara suami dan istri.

Tiga gaya mendidik anak yang secara emotional pada umumnya tidak efisien, berdasarkan riset yang dilakukan Carole Hooven dan John Gottman dari University of Washington, adalah : (1) samasekali mengabaikan perasaan (2) terlalu membebaskan (3) menghina, tidak menunjukkan penghargaan terhadap perasaan anak.

Dampak pendidikan keluarga semacam ini terhadap anak sangatlah luas. Tim dari University of Washington telah menemukan bahwa bila dibandingkan dengan orang tua yang tidak terampil menangani perasaan, orang tua yang terampil secara emosional memiliki anak-anak yang pergaulannya lebih baik dan memperlihatkan lebih banyak kasih sayang kepada orang tuanya, serta lebih sedikit bentrok dengan orang tuanya. Selain itu, anak-anak ini juga lebih pintar menangani emosinya, lebih efektif menenangkan diri saat marah, dan secara biologis, anak-anak ini memiliki kadar hormone stress dan indicator fisiologis pembangkitan emosi yang lebih ren


(61)

Kerangka Teori

Bagan 2.1 Kerangka Teori Penelitian Remaja :

1. Perkembangan motorik 2. Perkembangan kognitif 3. Perkembangan sosial 4. Perkembangan

emosional / psikologis (Zahra,2005)

Perilaku, sikap, tindakan

Baik Kurang Baik

1. Mempunyai kemampuan memotivasi diri 2. Bertahan menghadapi

frustasi

3. Mengendalikan dorongan hati 4. Tidak

melebih-lebihkan kesenangan 5. Mampu mengatur

suasana hati 6. Berempati 7. Berdoa

1. Menarik diri dan pemurung 2. Mudah cemas,

depresi, gugup, sedih 3. Bertindak tanpa

berpikir

4. Nakal dan agresif 5. Bohong dan menipu 6. Sering bertengkar 7. Membandel di

sekolah dan di rumah

Fungsi Keluarga The McMaster Model

1. Pemecahan masalah 2. Komunikasi

3. Peran

4. Respon afektif 5. Keterlibatan afektif 6. Kontrol Perilaku

Kecerdasan Emosional 4 Prinsip :Identifikasi, Pengelolaan,

Memahami, Mengatur emosi (Goleman, 2006)


(62)

BAB III

DEFINISI OPERASIONAL

A. Kerangka Konsep

Kerangka konsep adalah abstraksi dari suatu realita agar dapat dikomunikasikan dan membentuk suatu teori yang menjelaskan keterkaitan antar variabel baik variabel yang diteliti maupun yang tidak diteliti (Nursalam, 2003).

Berdasarkan kerangka teori yang telah dibuat sebelumnya, bahwa enam dimensi fungsi keluarga menurut teori Model McMaster, mempengaruhi faktor presipitasi atau faktor pencetus yang mana dapat mempengaruhi tingkat kecerdasan emosional terutama remaja yang mulai memasuki usia remaja awal. Karena pada masa ini terjadi perubahan emosi yang meliputi perasaan malu, kesadaran diri, kesepian, dan depresi. Pada usia tersebut juga remaja memiliki kemandirian yang hadir bersama dengan kebutuhan keintiman dan dukungan orang tua yang dapat terwujud dalam fungsi keluarga.

Berdasarkan hal tersebut, maka variabel yang akan diteliti adalah enam dimensi fungsi keluarga sebagai variabel independen dan kecerdasan emosional usia remaja awal 12-15 tahun sebagai variabel dependen. Adapun kerangka konsep dalam penelitian ini dapat digambarkan pada skema 3.1 :


(63)

Variabel independen Variabel dependen

Bagan 3.1. Kerangka Konsep

B. Hipotesis

Hipotesis adalah jawaban sementara dari suatu penelitian (Setiadi, 2007). Berdasarkan kerangka konsep yang telah dibuat, maka hipotesis penelitian yang mucul adalah :

1. Ada hubungan antara problem solving terhadap kecerdasan emosional para pelajar di SMA Jaya Suti Abadi Kabupaten Bekasi.

2. Ada hubungan antara communication terhadap kecerdasan emosional para pelajar di SMA Jaya Suti Abadi Kabupaten Bekasi.

3. Ada hubungan antara roles terhadap kecerdasan emosional para pelajar di SMA Jaya Suti Abadi Kabupaten Bekasi.

4. Ada hubungan antara affective responsiveness terhadap kecerdasan emosional para pelajar di SMA Jaya Suti Abadi Kabupaten Bekasi.

5. Ada hubungan antara affective involvement terhadap kecerdasan emosional para pelajar di SMA Jaya Suti Abadi Kabupaten Bekasi.

Fungsi keluarga menurut teori Model McMaster terdiri dari enam dimensi :

1. Problem solving 2. Communication 3. Roles

4. Affective responsiveness 5. Affective involvement 6. Behavior control

Kecerdasan emosional para pelajar di SMP Jaya Suti Abadi Kabupaten


(64)

6. Ada hubungan antara behavior control terhadap kecerdasan emosional para pelajar di SMA Jaya Suti Abadi Kabupaten Bekasi.


(65)

Variabel Definisi Operasional

Alat Ukur Cara Ukur Hasil Ukur Skala

Ukur Variabel

dependen:

Tingkat Kecerdasan Emosional para pelajar di SMP Jaya Suti Abadi

Ukuran kompetensi emosional dan sosial atau kemampuan seseorang untuk mengidentifikasi ekspresi emosi dalam diri sendiri dan orang lain.

Menggunakan alat / instrument EATQ-R

(Revision of the Early Adolescent Temperament Questionnaire)

Kuesioner istrument kecerdasan emosional yang berisi 65

peryataan, skor terendah 65 dan skor tertinggi 325.

Menggunakan Skala Likert,

Favorable : 1 = hampir selalu tidak tepat

2 = biasanya tidak tepat

3 = terkadang tepat, terkadang tidak tepat 4 = biasanya tepat 5 = hampir selalu tepat

Hasil ukur yang digunakan pada kuesioner EATQ-R adalah dengan menggunakan mean, karena data berdistribusi normal.

Tingkat kecerdasan emosional Baik jika ≥ 238.

Tingkat kecerdasan emosional Kurang Baik jika <238.


(66)

Variabel DO Alat Ukur Cara Ukur Hasil Ukur SkalaUkur Variabel

independen: Fungsi Keluarga menurut teori Model McMaster

Wadah untuk pengembangan sosial, psikologis, biologis, dan sebagai pemeliharan anggota keluarga, yang dibagi ke dalam enam dimensi dan satu keberfungsian keluarga secara umum. Enam dimensi tersebut diantaranya adalah pemecahan masalah, komunikasi, peran, responsivitas afektif, keterlibatan afektif, kontrol perilaku.

Menggunakan alat / instrument FAD (Family Assessment Device)

Kuesioner instrument fungsi keluarga menurut teori Model McMaster berisi 53 pernyataan, yang terbagi menjadi : #PM skor ↑20 & ↓5 #komunikasi skor ↑30 & ↓6

#peran skor ↑36 & ↓8 #RA skor ↑24 & ↓6 #KA skor ↑28 & ↓7 #KP skor ↑36 & ↓9 Menggunakan skala Likert.

Favorable : 1 = STS (Sangat Tidak Setuju)

2 = TS (Tidak Setuju) 3 = S (Setuju)

4 = SS (Sangat Setuju)

Hasil ukur yang digunakan untuk kuesioner FAD adalah dengan menggunakan median pada tiap-tiap dimensi. - Pemecahan masalah : baik jika ≥14. Kurang baik jika <14. - Komunikasi : baik jika ≥17. Kurang baik jika <17.

- Peran : baik jika ≥24. Kurang baik jika <24.

- Responsivitas afektif : baik jika ≥17. Kurang baik jika <17. - Keterlibatan afektif : baik jika ≥21. Kurang baik jika <17. - Kontrol perilaku : baik jika ≥27. Kurang baik jika <27. - Keberfungsian umum : baik jika ≥35. Kurang baik jika <35.


(67)

BAB IV

METODOLOGI PENELITIAN

A. Desain Penelitian

Desain penelitian merupakan rancangan penelitian yang disusun agar bisa menuntun peneliti untuk mendapatkan jawaban atas pertanyaan penelitian yang dilakukan. Jenis penelitian kuantitatif dengan menggunakan rancangan desain penelitian Deskriptif Analitik dan metode pendekatan Cross Sectional. Pada penelitian dilakukan analisis terhadap data yang dikumpulkan dan seberapa besar hubungan antar variable (Setiadi, 2007). Pendekatan cross sectional merupakan penelitian yang dikumpulkan dan diukur secara simultan pada waktu yang sama terhadap variabel-variabel yang diteliti (Hidayat, 2008). Penelitian ini memiliki variabel independent yaitu fungsi keluarga berdasarkan teori Model McMaster dan variabel dependen yaitu kecerdasan emosional.

B. Populasi dan Sampel 1. Populasi

Populasi adalah keseluruhan objek atau subjek yang mempunyai kualitas dan karakteristik yang ditentukan oleh peneliti untuk ditarik kesimpulan (Sugiyono, 2008). Populasi penelitian ini adalah para pelajar di SMP Jaya Suti Abadi Kabupaten Bekasi kelas VII dan kelas VIII pada bulan Juni tahun 2014. Jumlah populasi dalam penelitian ini adalah 204 siswa.


(68)

2. Sampel

Sampel adalah bagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh populasi tersebut (Sugiyono, 2008). Dalam penelitian keperawatan, kriteria sampel meliputi kriteria inklusi dan kriteria eksklusi, dimana kriteria tersebut menentukan ada dan tidaknya sampel tersebut yang digunakan (Hidayat, 2008). Pengambilan sampel dalam penelitian ini menggunakan purposive sampling sehingga sampel yang digunakan hanya kelas VII dan kelas VIII yang berusia 12-15 tahun dengan jumlah siswa 190 orang (terdapat 14 siswa yang usianya kurang dari 12 tahun dan lebih dari 15 tahun dari total populasi 204 siswa). Peneliti tidak menggunakan kelas IX sebagai sampel karena siswa-siswi kelas IX sedang sibuk UN dan sering tidak berada di sekolah karena masa ajar sudah hampir berakhir.

Peneliti menggunakan beberapa kriteria inklusi dan eksklusi pada populasi yang menjadi responden dalam penelitian ini. Kriteria inklusi adalah karakteristik umum subjek penelitian yang memenuhi syarat sebagai sampel, sedangkan kriteria eksklusi adalah karakteristik subjek penelitian yang tidak dapat mewakili syarat sebagai sampel (Hidayat, 2008).

a. Kriteria sampel Kriteria inklusi:

1) Siswa-siswi kelas VII dan kelas VIII yang berusia 12-15 tahun yang bersekolah di SMP Jaya Suti Abadi Kabupaten Bekasi.


(1)

Expected Count 63.0 73.0 136.0 % within FK_kom6_ 46.3% 53.7% 100.0%

% within EI 100.0% 100.0% 100.0%

% of Total 46.3% 53.7% 100.0%

Chi-Square Tests

Value df Asymp. Sig. (2-sided)

Exact Sig. (2-sided)

Exact Sig. (1-sided)

Pearson Chi-Square 1.123a 1 .289

Continuity Correctionb .781 1 .377

Likelihood Ratio 1.127 1 .288

Fisher's Exact Test .299 .189

Linear-by-Linear Association 1.114 1 .291

N of Valid Cases 136

a. 0 cells (0.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 25.01. b. Computed only for a 2x2 table


(2)

Directional Measures

Value Asymp. Std. Errora

Nominal by Nominal

Lambda

Symmetric .000 .077

FK_kom6_ Dependent .000 .000

EI Dependent .000 .144

Goodman and Kruskal tau

FK_kom6_ Dependent .008 .015

EI Dependent .008 .015

Directional Measures

Approx. T Approx. Sig.a

Nominal by Nominal

Lambda

Symmetric .000 1.000

FK_kom6_ Dependent . .

EI Dependent .000 1.000

Goodman and Kruskal tau

FK_kom6_ Dependent .291

EI Dependent .291

a. Not assuming the null hypothesis.

b. Using the asymptotic standard error assuming the null hypothesis. c. Cannot be computed because the asymptotic standard error equals zero. d. Based on chi-square approximation


(3)

Symmetric Measures

Value Approx. Sig.

Nominal by Nominal

Phi -.091 .289

Cramer's V .091 .289

Contingency Coefficient .090 .289

N of Valid Cases 136

a. Not assuming the null hypothesis.

b. Using the asymptotic standard error assuming the null hypothesis.

FK_kom7_ * EI Crosstabulation

EI Total

kurang baik baik

FK_kom7_

kurang baik

Count 26 29 55

Expected Count 25.5 29.5 55.0

% within FK_kom7_ 47.3% 52.7% 100.0%

% within EI 41.3% 39.7% 40.4%

% of Total 19.1% 21.3% 40.4%

baik

Count 37 44 81

Expected Count 37.5 43.5 81.0

Cases

Valid Missing Total

N Percent N Percent N Percent


(4)

% within FK_kom7_ 45.7% 54.3% 100.0%

% within EI 58.7% 60.3% 59.6%

% of Total 27.2% 32.4% 59.6%

Total

Count 63 73 136

Expected Count 63.0 73.0 136.0

% within FK_kom7_ 46.3% 53.7% 100.0%

% within EI 100.0% 100.0% 100.0%

% of Total 46.3% 53.7% 100.0%

Chi-Square Tests

Value df Asymp. Sig. (2-sided)

Exact Sig. (2-sided)

Exact Sig. (1-sided)

Pearson Chi-Square .033a 1 .855

Continuity Correctionb .000 1 .994

Likelihood Ratio .033 1 .855

Fisher's Exact Test .863 .497

Linear-by-Linear Association .033 1 .855

N of Valid Cases 136

a. 0 cells (0.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 25.48. b. Computed only for a 2x2 table


(5)

Directional Measures

Value Asymp. Std. Errora

Nominal by Nominal

Lambda

Symmetric .000 .000

FK_kom7_ Dependent .000 .000

EI Dependent .000 .000

Goodman and Kruskal tau

FK_kom7_ Dependent .000 .003

EI Dependent .000 .003

Directional Measures

Approx. T Approx. Sig.a

Nominal by Nominal

Lambda

Symmetric . .

FK_kom7_ Dependent . .

EI Dependent . .

Goodman and Kruskal tau

FK_kom7_ Dependent .855

EI Dependent .855

a. Not assuming the null hypothesis.

b. Cannot be computed because the asymptotic standard error equals zero. c. Based on chi-square approximation


(6)

Symmetric Measures

Value Approx. Sig.

Nominal by Nominal

Phi .016 .855

Cramer's V .016 .855

Contingency Coefficient .016 .855

N of Valid Cases 136

a. Not assuming the null hypothesis.