Aspek Hukum Hak Angket Dewan Perwakilan
Aspek Hukum Hak Angket Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia
Aspek Hukum Hak Angket dan Proses Pengguliran Hak Angket Secara normatif, keberadaan
Hak Angket diatur dalam Pasal 20A ayat (2) UUD 1945, yang berbunyi : “Dalam melaksanakan
fungsinya, selain hak yang diatur dalam pasal-pasal lain UndangUndang Dasar ini, Dewan
Perwakilan Rakyat mempunyai hak interpelasi, hak angket, dan hak menyatakan pendapat.”[1]
Kemudian ditegaskan lagi dalam Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis
Permusyawaratan Rakyat (MPR), Dewan Perwakilan Rakyat DPR), Dewan Perwakilan Daerah
(DPD), dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2009 Nomor 123; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5043), serta
peraturan Tata Tertib DPR.
Penggunaan Hak Angket juga tidak sembarangan namun diatur dalam Undang-Undang Nomor 6
Tahun 1954 tentang Hak Angket Dewan Perwakilan Rakyat.[2] Meskipun undang-ya ini berasal
dari zaman sistem pemerintahan parlementer di bawah Undang-Undang Dasar Sementara Tahun
1950, tetapi sampai sekarang masih terus digunakan. Mahkamah Konstitusi melalui putusannya
tanggal 26 Maret 2004 menegaskan, Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1954 itu masih berlaku
berdasarkan ketentuan Pasal I Aturan Peralihan UUD 1945.[3] Dengan demikian, tidak ada
keraguan apa pun bagi Dewan Perwakilan Rakyat untuk menggunakan ketentuan-ketentuan
dalam Undang-undang Nomor 6 Tahun 1954 itu untuk melaksanakan hak angket Dewan
Perwakilan Rakyat.
Lebih lanjut, Pasal 77 ayat (3) UU No. 27 tahun 2009 menentukan definisi hak angket sebagai
hak Dewan Perwakilan Rakyat untuk melakukan penyelidikan terhadap pelaksanaan suatu
undang-undang dan/atau kebijakan Pemerintah yang berkaitan dengan hal penting, strategis, dan
berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang diduga
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. Tetapi, mengenai penyelidikan itu sendiri
tidak didefenisikan.[4] Apakah penyelidikan dalam pengertian dari UU No. 27 tahun 2009 sama
dengan pengertian penyelidikan dalam KUHAP.
Jika usulan melaksanakan Hak Angket disetujui, Dewan Perwakilan Rakyat akan membentuk
Panitia Hak Angket yang akan bekerja selama proses penyelidikan. Dalam masa itu, Panitia Hak
Angket DPR dapat mengumpulkan fakta dan bukti bukan saja dari kalangan pemerintah, tetapi
dari siapa saja yang dianggap perlu, termasuk mereka yang dianggap ahli mengenai masalah
yang diselidiki. Mereka wajib memenuhi panggilan Panitia Angket dan menjawab semua
pertanyaan dan memberikan keterangan lengkap, termasuk menyerahkan semua dokumen yang
diminta, kecuali apabila penyerahan dokumen itu akan bertentangan dengan kepentingan negara.
Mereka yang dipanggil namun tidak datang tanpa alasan yang sah, dapat disandera selamalamanya seratus hari (Pasal 17 ayat 1 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1954). Panitia Angket
juga dapat meminta pengadilan agar memerintahkan pejabat yang tidak mau menyerahkan
dokumen negara yang mereka minta untuk selanjutnya diserahkan kepada Panitia Hak Angket.
Karena anggota Panitia Angket itu akan bertindak sebagai seorang penyelidik, maka status
mereka haruslah resmi, yakni dibentuk oleh DPR dan diumumkan dalam Berita Negara, agar
diketahui oleh semua orang. Demikian pula berapa besar anggaran yang akan digunakan oleh
Panitia Angket itu. Keharusan mengumumkan penggunaan Hak Angket, nama-nama anggota
panitianya serta anggarannya dalam Berita Negara itu, merupakan syarat formal keabsahan
Panita Angket, sebagaimana diatur dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1954 dan
Pasal 181 Peraturan Tata Tertib DPR. Untuk itu, guna memenuhi syarat formal pembentukan
panitia angket ini, Sekretariat Jenderal Dewan Perwakilan Rakyat harus segera menyampaikan
segala hal yang terkait dengan keputusan Dewan Perwakilan Rakyat tentang penggunaan hak
angket ini kepada Menteri Hukum dan HAM, agar menempatkannya di dalam Berita Negara.
Menteri Hukum dan HAM tidak dapat menolak mengumumkan dalam Berita Negara itu, karena
hal itu adalah kewajibannya yang diperintahkan undang-undang.
Kedudukan Panitia Angket DPR sesungguhnya sangatlah kuat bila dilihat dari sudut hukum.
Dalam sistem parlementer, keberadaan panitia angket tidaklah otomatis bubar dengan
pembubaran parlemen. Seperti kita pahami dalam sistem parlementer, Pardana Menteri dapat
membubarkan parlemen setiap waktu dan menentukan kapan akan diselenggarakan pemilihan
umum. Meskipun parlemen dibubarkan, panitia angket terus bekerja sampai terbentuknya
parlemen yang baru, yang akan menentukan nasib panitia angket itu. Dalam sistem presidensial,
hal ini tidak mungkin terjadi, kecuali Presiden telah berubah menjadi diktator dengan
membubarkan Dewan Perwakilan Rakyat. Suatu hal yang dapat dijadikan sebagai pegangan dari
ketentuan Undang-undang Nomor 6 Tahun 1954 yang relevan dengan situasi sekarang ialah,
pekerjaan panitia angket tidaklah terhalang oleh adanya reses dan penutupan masa sidang.
Ketika Panitia Angket sudah menyelesaikan tugasnya, semuanya akan tergantung pada faktafakta dan bukti-bukti yang terungkap selama penyelidikan dan tergantung pula pada analisis
Panitia Angket terhadap fakta-fakta dan bukti-bukti yang berhasil diungkapkan. Kalau semua
yang terungkap disimpulkan bahwa kebijakan pemerintah sekitar masalah yang diangkat,
menguntungkan rakyat, dan sejalan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, maka
Pemerintah tentu aman-aman saja. Laporan Panitia Angket kepada rapat paripurna yang diterima
oleh fraksi-fraksi dan disahkan DPR, selanjutnya diserahkan kepada Presiden. Presiden akan
dengan senang hati menerima hasil angket DPR yang ternyata membenarkan segala kebijakan
yang ditempuh Pemerintah. Ini sekaligus berarti DPR telah keliru mengasumsikan sesuatu, yang
setelah diselidiki ternyata tidak benar.
Jika penyelidikan yang dilakukan Panitia Angket menyimpulkan telah terjadi kebijakan yang
merugikan negara, merugikan rakyat serta bertentangan dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku, apalagi melanggar ketentuan Undang-Undang Dasar 1945, laporan Panitia Angket
harus disampaikan ke rapat paripurna Dewan Perwakilan Rakyat untuk mendengarkan pendapat
fraksi-fraksi sebelum laporan itu diputuskan untuk diterima atau ditolak, baik secara aklamasi
maupun melalui pemungutan suara. Keputusan DPR tersebut disampaikan kepada Presiden.
Selanjutnya DPR dapat menindaklanjuti keputusan itu sesuai kewenangan Dewan Perwakilan
Rakyat (Pasal 182 Peraturan Tata Tertib DPR).
Tindak lanjut atas keputusan Dewan Perwakilan Rakyat tentang penggunaan hak angket diatur
dalam Pasal 184 ayat (1a) ialah menyampaikan “Hak Menyatakan Pendapat” atas keputusan
hasil penyelidikan melalui penggunaan hak angket, atau langsung menggunakan ketentuan Pasal
184 ayat (1b) yakni Hak Menyatakan Pendapat untuk menduga bahwa “Presiden dan/atau Wakil
Presiden melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi,
penyuapan, tindak pidana berat lainnya atau perbuatan tercela maupun tidak memenuhi syarat
sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden”. Penggunaan ketentuan pasal ini – yang merupakan
ketentuan yang bersumber dari ketentuan Pasal 7B ayat (1) UUD 1945 – memang sangat serius.
Ketentuan inilah yang dikenal dengan istilah “impeachment” terhadap Presiden.
Ketentuan Pasal 7B ayat (1) UUD 1945 di atas belum pernah ada praktiknya dalam sejarah
ketatanegaraan kita. Kalau pendapat DPR bahwa benar hal itu terjadi, maka Mahkamah
Konstitusilah yang harus memutuskan apakah pendapat DPR itu terbukti atau tidak. Kalau MK
memutuskan memang terbukti, maka DPR menyelenggarakan sidang paripurna untuk
meneruskan usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden kepada MPR (Pasal 7B ayat 5
UUD 1945 jo Pasal 190 Peraturan Tata Tertib DPR. Sejarah Indonesia mencatat dua kali sidang
istimewa MPRS dan MPR yang terjadi pada masa Presiden Sukarno dan Presiden Abdurrahman
Wahid. Dan keduanya adalah presiden yang menjadi korban hak angket, karena harus dipaksa
turun dari jabatanya sebelum masa kepemimpinannya berakhir.
Eksistensi Penggunaan Hak Angket Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Masa
Orde Lama, Orde Baru Dan Era Refomsi Sampai Sakarang
1. Orde Lama
Dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia, hak angket digunakan kali pertama pada 1950-an.
Berawal dari usul resolusi RM Margono Djojohadikusumo agar Dewan Perwakilan Rakyat
mengadakan angket atas usaha pemerintah memperoleh dan cara mempergunakan devisa. Maka
kemudian dibentuklah Panitia Angket beranggotakan 13 orang, diketuai Margono, yang tugasnya
menyelidiki untung-rugi mempertahankan devisen-regime berdasar Undang-Undang
Pengawasan Devisen 1940 dan perubahan-perubahannya.
Panitia Angket pada masa Kabinet Ali Sastroamidjojo-I (30 Juli 1953-12 Agustus 1955) ini
mula-mula diberi waktu enam bulan, tetapi kemudian diperpanjang dua kali dan menyelesaikan
tugasnya pada Maret 1956 pada masa Kabinet Burhanuddin Harahap (12 Agustus 1955-24 Maret
1956). Sayang, hasil kerja tim bersamaan dengan terbentuknya kabinet hasil Pemilu 1955
(Kabinet Ali Sastroamidjojo-II) itu nasibnya tidak jelas.[5]
2. Masa Orde Baru
Meskipun pada masa Orde Baru, parlemen praktis dikuasai Golkar sebagai fraksi penopang
pemerintah, usul penggunaan hak angket sempat lolos masuk dalam sidang pleno Dewan
Perwakilan Rakyat 7 Juli 1980. Sebanyak 20 anggota DPR (14 dari FPDI dan 6 dari FPP)
menandatangani usul penggunaan hak angket yang kemudian diserahkan R Santoso Danuseputro
(FPDI) dan HM Syarkawie Basri (FPP) kepada Ketua DPR kala itu, Daryatmo, pada 5 Juli.
Para pengusul angket tidak puas atas jawaban Presiden Soeharto menyangkut kasus H Thahir dan
Pertamina yang disampaikan Mensesneg Sudharmono dalam sidang pleno Dewan Perwakilan
Rakyat 21 Juli 1980, menanggapi interpelasi atau hak bertanya yang uniknya dilakukan tujuh
anggota FKP sendiri. Dalam usul angket tentang Pertamina tersebut dicantumkan rencana
pembentukan Panitia Angket yang terdiri atas 14 orang dengan 24 anggota pengganti, plus
sejumlah tenaga ahli yang khusus dipekerjakan untuk itu, dengan anggaran waktu itu sebesar Rp
108 juta. Panitia angket diprogramkan bekerja selama satu tahun, dan setiap bulan bersidang
sedikitnya empat kali dan sebanyaknya delapan kali. Jadi dalam satu tahun mereka bersidang
hingga sekitar 75 kali.
Reaksi keras pun muncul, terutama dari kalangan anggota FKP dan Fraksi ABRI yang menyoal
perlunya menggunakan hak angket. Nasib selanjutnya pun sangat jelas: hak angket ditolak.
Angket mentok di sidang pleno DPR. Setelah itu, hak ini nyaris tak pernah terdengar lagi
gaungnya hingga rezim Orde Baru tumbang pada 1998.
3. Masa Reformasi (1998-sekarang)
Pascareformasi, penggunaan hak angket kembali digulirkan. Itu terjadi ketika Dewan Perwakilan
Rakyat mencium keterlibatan Presiden Abdurrahman Wahid dalam penyalahgunaan uang
Yayasan Dana Kesejahteraan (Yanatera) Bulog. Hak angket digunakan untuk menyelidiki
penyelewengan dana Bulog serta bantuan dana dari Sultan Brunei atau yang lebih dikenal
dengan istilah Buloggate dan Bruneigate.
Tidak seperti sebelumnya, hak angket yang dipicu keluarnya memorandum Gus Dur untuk
membubarkan parlemen itu berujung pada impeachment presiden.
Pada periode pertama masa jabatan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), hak angket
pernah dicoba digulirkan atas sejumlah kasus. Di antaranya menyangkut kenaikan harga BBM
yang mengundang reaksi mahasiswa, masalah impor beras 2006, penyelenggaraan ibadah haji
2008, dan ruwetnya daftar pemilih tetap (DPT) Pemilu 2009. Namun, usaha tersebut hanya
menghasilkan keputusan normatif.
Dalam pidato di depan Sidang Paripurna Pembukaan Masa Persidangan I Tahun Sidang 20092010, pertengahan Agustus lalu Ketua DPR HR Agung Laksono mengaku DPR masih terus
berusaha untuk menuntaskan beberapa hak DPR yang sedang dalam proses. Di antaranya
menuntaskan hak angket menyangkut penyelenggaraan ibadah haji 1429H/2008, hak angket
DPT, dan hak angket menyangkut kebijakan Pemerintah menaikkan harga BBM.
Pada Hak Angket Century, Belajar dari kasus-kasus sebelumnya, hak angket nampak hanya
menjadi sebuah keputusan normatif tanpa ada solusi yang dapat diberikan. Padahal peraturan
Tata Tertib DPR menegaskan, hak angket digunakan untuk menyelidiki “kebijakan pemerintah
yang penting dan strategis serta berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat dan bernegara
yang diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan”.
Sehubungan dengan skandal Bank Century, kebijakan pemerintah “menyelamatkan” Bank
Century dengan sendirinya dapat menjadi objek Hak Angket DPR karena berdampak luas pada
kehidupan bermasyarakat dan bernegara, apalagi kebijakan itu juga berkaitan dengan keuangan
negara. Namun, apakah kebijakan itu benar-benar bertentangan dengan Undang-Uundang
sebagaimana dugaan DPR, inilah yang harus “dibuktikan” melalui penggunaan hak angket itu.
Carut marut pengucuran dana talangan Bank Century yang menyeret keterlibatan beberapa
pejabat negara, seperti gubernur BI dan Menkeu, mendorong sejumlah anggota Dewan
menggulirkan hak angket untuk mengurai benang kusut tersebut. Penting bagi Dewan
Perwakilan Rakyat menggali keterangan ahli dan semua pihak terkait dengan aliran dana dan
masalah lainnya yang terkait dengan “penyelamatan” Bank Century. Dengan memakai hak
angket, diharapkan ada konklusi yang lebih objektif, bukan asal kritis. Sebab, orientasi angket
menyelidiki dan mencari solusi. Yang ingin diketahui Dewan Perwakilan Rakyat bukan sebatas
mendengar apologi pemerintah, melainkan menguak lebih jauh ada apa sebenarnya dibalik
kebijakan pemerintah terhadap pengawasan bank-bank selama ini.
Hasil audit dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menyangkut Bank Century dapat digunakan
(atau tidak digunakan) oleh panitia angket Dewan Perwakilan Rakyat. Nantinya, Dewan
Perwakilan Rakyat dapat saja berpendapat lain dengan BPK. Dengan kata lain, bila hasil audit
BPK berkesimpulan aliran dana pemerintah ke Bank Century sudah sesuai dengan prosedur,
kesimpulan itu dapat dikesampingkan oleh DPR. Apalagi Wapres Boediono memiliki peran
terkait pencairan dana Rp 6,7 triliun saat dirinya menjadi Gubernur BI. Pada titik inilah
kehadiran Panitia Hak Angket DPR untuk menguak persoalan seputar penyelamatan Bank
Century menjadi amat penting dilakukan.
Persoalan Bank Century menjadi semakin menarik sejak 138 anggota Dewan Perwakilan Rakyat
(DPR) secara resmi menyerahkan usulan hak angket kepada pimpinan DPR (12/11/2009).
Jumlah anggota yang menandatangani usulan tersebut dikabarkan terus bertambah.[6]
Wapres Boediono, yang namanya terseret dalam kasus ini, pernah menyatakan bahwa
penggunaan angket adalah hal yang wajar dalam sistem demokrasi (13/11/2009). Maka banyak
pihak berharap Hak Angket DPR untuk kasus Century berhasil dilaksanakan, tidak kempis di
tengah jalan seperti penggunaan hak angket pada masa sebelumnya. Modal kejujuran dan
kesungguhan perlu untuk dipegang oleh DPR selaku pemilik Hak Angket.
Aspek Hukum Hak Angket dan Proses Pengguliran Hak Angket Secara normatif, keberadaan
Hak Angket diatur dalam Pasal 20A ayat (2) UUD 1945, yang berbunyi : “Dalam melaksanakan
fungsinya, selain hak yang diatur dalam pasal-pasal lain UndangUndang Dasar ini, Dewan
Perwakilan Rakyat mempunyai hak interpelasi, hak angket, dan hak menyatakan pendapat.”[1]
Kemudian ditegaskan lagi dalam Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis
Permusyawaratan Rakyat (MPR), Dewan Perwakilan Rakyat DPR), Dewan Perwakilan Daerah
(DPD), dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2009 Nomor 123; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5043), serta
peraturan Tata Tertib DPR.
Penggunaan Hak Angket juga tidak sembarangan namun diatur dalam Undang-Undang Nomor 6
Tahun 1954 tentang Hak Angket Dewan Perwakilan Rakyat.[2] Meskipun undang-ya ini berasal
dari zaman sistem pemerintahan parlementer di bawah Undang-Undang Dasar Sementara Tahun
1950, tetapi sampai sekarang masih terus digunakan. Mahkamah Konstitusi melalui putusannya
tanggal 26 Maret 2004 menegaskan, Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1954 itu masih berlaku
berdasarkan ketentuan Pasal I Aturan Peralihan UUD 1945.[3] Dengan demikian, tidak ada
keraguan apa pun bagi Dewan Perwakilan Rakyat untuk menggunakan ketentuan-ketentuan
dalam Undang-undang Nomor 6 Tahun 1954 itu untuk melaksanakan hak angket Dewan
Perwakilan Rakyat.
Lebih lanjut, Pasal 77 ayat (3) UU No. 27 tahun 2009 menentukan definisi hak angket sebagai
hak Dewan Perwakilan Rakyat untuk melakukan penyelidikan terhadap pelaksanaan suatu
undang-undang dan/atau kebijakan Pemerintah yang berkaitan dengan hal penting, strategis, dan
berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang diduga
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. Tetapi, mengenai penyelidikan itu sendiri
tidak didefenisikan.[4] Apakah penyelidikan dalam pengertian dari UU No. 27 tahun 2009 sama
dengan pengertian penyelidikan dalam KUHAP.
Jika usulan melaksanakan Hak Angket disetujui, Dewan Perwakilan Rakyat akan membentuk
Panitia Hak Angket yang akan bekerja selama proses penyelidikan. Dalam masa itu, Panitia Hak
Angket DPR dapat mengumpulkan fakta dan bukti bukan saja dari kalangan pemerintah, tetapi
dari siapa saja yang dianggap perlu, termasuk mereka yang dianggap ahli mengenai masalah
yang diselidiki. Mereka wajib memenuhi panggilan Panitia Angket dan menjawab semua
pertanyaan dan memberikan keterangan lengkap, termasuk menyerahkan semua dokumen yang
diminta, kecuali apabila penyerahan dokumen itu akan bertentangan dengan kepentingan negara.
Mereka yang dipanggil namun tidak datang tanpa alasan yang sah, dapat disandera selamalamanya seratus hari (Pasal 17 ayat 1 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1954). Panitia Angket
juga dapat meminta pengadilan agar memerintahkan pejabat yang tidak mau menyerahkan
dokumen negara yang mereka minta untuk selanjutnya diserahkan kepada Panitia Hak Angket.
Karena anggota Panitia Angket itu akan bertindak sebagai seorang penyelidik, maka status
mereka haruslah resmi, yakni dibentuk oleh DPR dan diumumkan dalam Berita Negara, agar
diketahui oleh semua orang. Demikian pula berapa besar anggaran yang akan digunakan oleh
Panitia Angket itu. Keharusan mengumumkan penggunaan Hak Angket, nama-nama anggota
panitianya serta anggarannya dalam Berita Negara itu, merupakan syarat formal keabsahan
Panita Angket, sebagaimana diatur dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1954 dan
Pasal 181 Peraturan Tata Tertib DPR. Untuk itu, guna memenuhi syarat formal pembentukan
panitia angket ini, Sekretariat Jenderal Dewan Perwakilan Rakyat harus segera menyampaikan
segala hal yang terkait dengan keputusan Dewan Perwakilan Rakyat tentang penggunaan hak
angket ini kepada Menteri Hukum dan HAM, agar menempatkannya di dalam Berita Negara.
Menteri Hukum dan HAM tidak dapat menolak mengumumkan dalam Berita Negara itu, karena
hal itu adalah kewajibannya yang diperintahkan undang-undang.
Kedudukan Panitia Angket DPR sesungguhnya sangatlah kuat bila dilihat dari sudut hukum.
Dalam sistem parlementer, keberadaan panitia angket tidaklah otomatis bubar dengan
pembubaran parlemen. Seperti kita pahami dalam sistem parlementer, Pardana Menteri dapat
membubarkan parlemen setiap waktu dan menentukan kapan akan diselenggarakan pemilihan
umum. Meskipun parlemen dibubarkan, panitia angket terus bekerja sampai terbentuknya
parlemen yang baru, yang akan menentukan nasib panitia angket itu. Dalam sistem presidensial,
hal ini tidak mungkin terjadi, kecuali Presiden telah berubah menjadi diktator dengan
membubarkan Dewan Perwakilan Rakyat. Suatu hal yang dapat dijadikan sebagai pegangan dari
ketentuan Undang-undang Nomor 6 Tahun 1954 yang relevan dengan situasi sekarang ialah,
pekerjaan panitia angket tidaklah terhalang oleh adanya reses dan penutupan masa sidang.
Ketika Panitia Angket sudah menyelesaikan tugasnya, semuanya akan tergantung pada faktafakta dan bukti-bukti yang terungkap selama penyelidikan dan tergantung pula pada analisis
Panitia Angket terhadap fakta-fakta dan bukti-bukti yang berhasil diungkapkan. Kalau semua
yang terungkap disimpulkan bahwa kebijakan pemerintah sekitar masalah yang diangkat,
menguntungkan rakyat, dan sejalan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, maka
Pemerintah tentu aman-aman saja. Laporan Panitia Angket kepada rapat paripurna yang diterima
oleh fraksi-fraksi dan disahkan DPR, selanjutnya diserahkan kepada Presiden. Presiden akan
dengan senang hati menerima hasil angket DPR yang ternyata membenarkan segala kebijakan
yang ditempuh Pemerintah. Ini sekaligus berarti DPR telah keliru mengasumsikan sesuatu, yang
setelah diselidiki ternyata tidak benar.
Jika penyelidikan yang dilakukan Panitia Angket menyimpulkan telah terjadi kebijakan yang
merugikan negara, merugikan rakyat serta bertentangan dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku, apalagi melanggar ketentuan Undang-Undang Dasar 1945, laporan Panitia Angket
harus disampaikan ke rapat paripurna Dewan Perwakilan Rakyat untuk mendengarkan pendapat
fraksi-fraksi sebelum laporan itu diputuskan untuk diterima atau ditolak, baik secara aklamasi
maupun melalui pemungutan suara. Keputusan DPR tersebut disampaikan kepada Presiden.
Selanjutnya DPR dapat menindaklanjuti keputusan itu sesuai kewenangan Dewan Perwakilan
Rakyat (Pasal 182 Peraturan Tata Tertib DPR).
Tindak lanjut atas keputusan Dewan Perwakilan Rakyat tentang penggunaan hak angket diatur
dalam Pasal 184 ayat (1a) ialah menyampaikan “Hak Menyatakan Pendapat” atas keputusan
hasil penyelidikan melalui penggunaan hak angket, atau langsung menggunakan ketentuan Pasal
184 ayat (1b) yakni Hak Menyatakan Pendapat untuk menduga bahwa “Presiden dan/atau Wakil
Presiden melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi,
penyuapan, tindak pidana berat lainnya atau perbuatan tercela maupun tidak memenuhi syarat
sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden”. Penggunaan ketentuan pasal ini – yang merupakan
ketentuan yang bersumber dari ketentuan Pasal 7B ayat (1) UUD 1945 – memang sangat serius.
Ketentuan inilah yang dikenal dengan istilah “impeachment” terhadap Presiden.
Ketentuan Pasal 7B ayat (1) UUD 1945 di atas belum pernah ada praktiknya dalam sejarah
ketatanegaraan kita. Kalau pendapat DPR bahwa benar hal itu terjadi, maka Mahkamah
Konstitusilah yang harus memutuskan apakah pendapat DPR itu terbukti atau tidak. Kalau MK
memutuskan memang terbukti, maka DPR menyelenggarakan sidang paripurna untuk
meneruskan usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden kepada MPR (Pasal 7B ayat 5
UUD 1945 jo Pasal 190 Peraturan Tata Tertib DPR. Sejarah Indonesia mencatat dua kali sidang
istimewa MPRS dan MPR yang terjadi pada masa Presiden Sukarno dan Presiden Abdurrahman
Wahid. Dan keduanya adalah presiden yang menjadi korban hak angket, karena harus dipaksa
turun dari jabatanya sebelum masa kepemimpinannya berakhir.
Eksistensi Penggunaan Hak Angket Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Masa
Orde Lama, Orde Baru Dan Era Refomsi Sampai Sakarang
1. Orde Lama
Dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia, hak angket digunakan kali pertama pada 1950-an.
Berawal dari usul resolusi RM Margono Djojohadikusumo agar Dewan Perwakilan Rakyat
mengadakan angket atas usaha pemerintah memperoleh dan cara mempergunakan devisa. Maka
kemudian dibentuklah Panitia Angket beranggotakan 13 orang, diketuai Margono, yang tugasnya
menyelidiki untung-rugi mempertahankan devisen-regime berdasar Undang-Undang
Pengawasan Devisen 1940 dan perubahan-perubahannya.
Panitia Angket pada masa Kabinet Ali Sastroamidjojo-I (30 Juli 1953-12 Agustus 1955) ini
mula-mula diberi waktu enam bulan, tetapi kemudian diperpanjang dua kali dan menyelesaikan
tugasnya pada Maret 1956 pada masa Kabinet Burhanuddin Harahap (12 Agustus 1955-24 Maret
1956). Sayang, hasil kerja tim bersamaan dengan terbentuknya kabinet hasil Pemilu 1955
(Kabinet Ali Sastroamidjojo-II) itu nasibnya tidak jelas.[5]
2. Masa Orde Baru
Meskipun pada masa Orde Baru, parlemen praktis dikuasai Golkar sebagai fraksi penopang
pemerintah, usul penggunaan hak angket sempat lolos masuk dalam sidang pleno Dewan
Perwakilan Rakyat 7 Juli 1980. Sebanyak 20 anggota DPR (14 dari FPDI dan 6 dari FPP)
menandatangani usul penggunaan hak angket yang kemudian diserahkan R Santoso Danuseputro
(FPDI) dan HM Syarkawie Basri (FPP) kepada Ketua DPR kala itu, Daryatmo, pada 5 Juli.
Para pengusul angket tidak puas atas jawaban Presiden Soeharto menyangkut kasus H Thahir dan
Pertamina yang disampaikan Mensesneg Sudharmono dalam sidang pleno Dewan Perwakilan
Rakyat 21 Juli 1980, menanggapi interpelasi atau hak bertanya yang uniknya dilakukan tujuh
anggota FKP sendiri. Dalam usul angket tentang Pertamina tersebut dicantumkan rencana
pembentukan Panitia Angket yang terdiri atas 14 orang dengan 24 anggota pengganti, plus
sejumlah tenaga ahli yang khusus dipekerjakan untuk itu, dengan anggaran waktu itu sebesar Rp
108 juta. Panitia angket diprogramkan bekerja selama satu tahun, dan setiap bulan bersidang
sedikitnya empat kali dan sebanyaknya delapan kali. Jadi dalam satu tahun mereka bersidang
hingga sekitar 75 kali.
Reaksi keras pun muncul, terutama dari kalangan anggota FKP dan Fraksi ABRI yang menyoal
perlunya menggunakan hak angket. Nasib selanjutnya pun sangat jelas: hak angket ditolak.
Angket mentok di sidang pleno DPR. Setelah itu, hak ini nyaris tak pernah terdengar lagi
gaungnya hingga rezim Orde Baru tumbang pada 1998.
3. Masa Reformasi (1998-sekarang)
Pascareformasi, penggunaan hak angket kembali digulirkan. Itu terjadi ketika Dewan Perwakilan
Rakyat mencium keterlibatan Presiden Abdurrahman Wahid dalam penyalahgunaan uang
Yayasan Dana Kesejahteraan (Yanatera) Bulog. Hak angket digunakan untuk menyelidiki
penyelewengan dana Bulog serta bantuan dana dari Sultan Brunei atau yang lebih dikenal
dengan istilah Buloggate dan Bruneigate.
Tidak seperti sebelumnya, hak angket yang dipicu keluarnya memorandum Gus Dur untuk
membubarkan parlemen itu berujung pada impeachment presiden.
Pada periode pertama masa jabatan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), hak angket
pernah dicoba digulirkan atas sejumlah kasus. Di antaranya menyangkut kenaikan harga BBM
yang mengundang reaksi mahasiswa, masalah impor beras 2006, penyelenggaraan ibadah haji
2008, dan ruwetnya daftar pemilih tetap (DPT) Pemilu 2009. Namun, usaha tersebut hanya
menghasilkan keputusan normatif.
Dalam pidato di depan Sidang Paripurna Pembukaan Masa Persidangan I Tahun Sidang 20092010, pertengahan Agustus lalu Ketua DPR HR Agung Laksono mengaku DPR masih terus
berusaha untuk menuntaskan beberapa hak DPR yang sedang dalam proses. Di antaranya
menuntaskan hak angket menyangkut penyelenggaraan ibadah haji 1429H/2008, hak angket
DPT, dan hak angket menyangkut kebijakan Pemerintah menaikkan harga BBM.
Pada Hak Angket Century, Belajar dari kasus-kasus sebelumnya, hak angket nampak hanya
menjadi sebuah keputusan normatif tanpa ada solusi yang dapat diberikan. Padahal peraturan
Tata Tertib DPR menegaskan, hak angket digunakan untuk menyelidiki “kebijakan pemerintah
yang penting dan strategis serta berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat dan bernegara
yang diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan”.
Sehubungan dengan skandal Bank Century, kebijakan pemerintah “menyelamatkan” Bank
Century dengan sendirinya dapat menjadi objek Hak Angket DPR karena berdampak luas pada
kehidupan bermasyarakat dan bernegara, apalagi kebijakan itu juga berkaitan dengan keuangan
negara. Namun, apakah kebijakan itu benar-benar bertentangan dengan Undang-Uundang
sebagaimana dugaan DPR, inilah yang harus “dibuktikan” melalui penggunaan hak angket itu.
Carut marut pengucuran dana talangan Bank Century yang menyeret keterlibatan beberapa
pejabat negara, seperti gubernur BI dan Menkeu, mendorong sejumlah anggota Dewan
menggulirkan hak angket untuk mengurai benang kusut tersebut. Penting bagi Dewan
Perwakilan Rakyat menggali keterangan ahli dan semua pihak terkait dengan aliran dana dan
masalah lainnya yang terkait dengan “penyelamatan” Bank Century. Dengan memakai hak
angket, diharapkan ada konklusi yang lebih objektif, bukan asal kritis. Sebab, orientasi angket
menyelidiki dan mencari solusi. Yang ingin diketahui Dewan Perwakilan Rakyat bukan sebatas
mendengar apologi pemerintah, melainkan menguak lebih jauh ada apa sebenarnya dibalik
kebijakan pemerintah terhadap pengawasan bank-bank selama ini.
Hasil audit dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menyangkut Bank Century dapat digunakan
(atau tidak digunakan) oleh panitia angket Dewan Perwakilan Rakyat. Nantinya, Dewan
Perwakilan Rakyat dapat saja berpendapat lain dengan BPK. Dengan kata lain, bila hasil audit
BPK berkesimpulan aliran dana pemerintah ke Bank Century sudah sesuai dengan prosedur,
kesimpulan itu dapat dikesampingkan oleh DPR. Apalagi Wapres Boediono memiliki peran
terkait pencairan dana Rp 6,7 triliun saat dirinya menjadi Gubernur BI. Pada titik inilah
kehadiran Panitia Hak Angket DPR untuk menguak persoalan seputar penyelamatan Bank
Century menjadi amat penting dilakukan.
Persoalan Bank Century menjadi semakin menarik sejak 138 anggota Dewan Perwakilan Rakyat
(DPR) secara resmi menyerahkan usulan hak angket kepada pimpinan DPR (12/11/2009).
Jumlah anggota yang menandatangani usulan tersebut dikabarkan terus bertambah.[6]
Wapres Boediono, yang namanya terseret dalam kasus ini, pernah menyatakan bahwa
penggunaan angket adalah hal yang wajar dalam sistem demokrasi (13/11/2009). Maka banyak
pihak berharap Hak Angket DPR untuk kasus Century berhasil dilaksanakan, tidak kempis di
tengah jalan seperti penggunaan hak angket pada masa sebelumnya. Modal kejujuran dan
kesungguhan perlu untuk dipegang oleh DPR selaku pemilik Hak Angket.