Makalah sosial budaya pendudukan jepang

KEADAAN SOSIAL DAN BUDAYA SEBELUM DAN
SESUDAH RESTORASI MEIJI
Makalah ini diajukan untuk memenuhi salah satu
tugas mata kuliah Sejarah Peradaban Timur

Disusun oleh:
Alija Ijet Begovic

(NIM. 11)

Fais Ramadhan

(NIM. 1305686)

Rika Aryani

(NIM.1300780)

Syifa Yunita Baharia (NIM. 1307125)
Nurizkiah Sawitri S.


(NIM. 1301229)

DEPARTEMEN STUDI PENDIDIKAN SEJARAH
FAKULTAS PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL

UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA
BANDUNG
2015

KATA PENGANTAR

P

uji syukur kami panjatkan ke hadirat Allah SWT, karena atas
rahmatnya dan perkenan-Nya kami dapat menyelesaikan makalah
mengenai Perundingan Renville. Tugas ini disusun dengan maksud
untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Sejarah Revolusi

Nasional Indonesia.
Kami berharap tugas ini dapat bermanfaat, khususnya bagi kami, dan

umumnya bagi teman-teman. Semoga dengan adanya tugas dari makalah ini
dapat menambah wawasan mengenai Perundingan Renville.
Tidak lupa juga kami ucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak yang
telah membantu kami dalam penyusunan makalah ini, khususnya kepada dosen
pembimbing observasi ini.
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena
itu, saran serta kritik yang membangun sangat penyusun harapkan demi
kesempurnaan makalah ini. Semoga makalah ini bermanfaat khususnya bagi
penyusun dan umumnya bagi semua pihak yang membaca makalah ini.

Bandung, Juli 2015

Penulis

DAFTAR ISI
2

KATA PENGANTAR........................................................................................ ii
DAFTAR ISI........................................................................................................ iii
BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang................................................................................................ 1
1.2 Rumusan Masalah........................................................................................... 1
1.3 Tujuan Penyusunan Laporan........................................................................... 1
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Keadaan Sosial Jepang Sebelum Restorasi Meiji............................................ 2
2.2 Keadaan Budaya Jepang Sebelum Restorasi Meiji.......................................... 3
2.3 Keadaan Sosial Jepang Sesudah Restorasi Meiji………………………….....13
2.4 Keadaan Budaya Jepang Sesudah Restorasi Jepang…………………………14
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan..................................................................................................... 23
3.2 Saran............................................................................................................... 23
DAFTAR PUSTAKA

3

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sepanjang sejarah, kekaisaran Jepang beberapa kali mengalami masa pasang surut. Dua
periode penting tersebut adalah masa Kaisar Meiji (1868-1912) dan Kaisar Hirohito (19261989). Pada zaman Meiji, Jepang melakukan reformasi yang kemudian dikenal dengan Restorasi

Meiji. Restorasi Meiji dikenal juga dengan sebutan Meiji Ishin, Revolusi, atau Pembaruan,
adalah rangkaian kejadian yang menyebabkan perubahan pada struktur politik dan sosial Jepang.
Restorasi Meiji terjadi pada tahun 1866 sampai 1869, tiga tahun yang mencakup akhir zaman
Edo dan awal zaman Meiji. Sebelum 1853 Jepang betul–betul merupakan negara yang sangat
tertutup dan diperintah dengan cara yang sangat feodalistik. Akibat dari restorasi meiji ini sangat
berdampak dalam system sosial budayanya juga berubah dari sebelum restorasi dengan sesudah
restorasi meiji.
Berdasarkan latar belakang tersebut penulis tertarik untuk membahas lebih lanjut
mengenai bagaimana sosial dan budaya jepang pada masa sebelum hingga sesudah restorasi
meiji.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka dapat disimpulkan rumusan masalah
sebagai berikut:
1.
2.
3.
4.
5.

Bagaimana Keadaan Sosial Jepang Sebelum Restorasi Meiji ?

Bagaimana Keadaan Budaya Jepang Sebelum Restorasi Meiji ?.
Bagaimana Keadaan Sosial Jepang Sesudah Restorasi Meiji?
Bagaimana Keadaan Budaya Jepang Sesudah Restorasi Meiji?
Bagaimana Analisis Perbedaan Dari Masa Sebelum dan Sesudah Restorasi Meiji?

1.3 Tujuan Penyusunan Laporan

4

Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan penyusunan dari penulisan laporan ini ialah
sebagai berikut:
1.
2.
3.
4.
5.

Untuk mengetahui bagiamana Keadaan Sosial Jepang Sebelum Restorasi Meiji
Untuk mengetahui Keadaan Budaya Jepang Sebelum Restorasi Meiji
Untuk Mengetahui Keadaan Sosial Jepang Sesudah Restorasi Meiji

Untuk mengetahui Bagaimana Keadaan Budaya Jepang Sesudah Restorasi Meiji
Untuk mengetahui Bagaimana Analisis Perbedaan Dari Masa Sebelum dan Sesudah
Restorasi Meiji

BAB II
5

PEMBAHASAN
2.1 Keadaan Sosial Jepang Sebelum Restorasi Meiji
Rakyat Jepang pada masa kekuasaan Tokugawa tersebar dalam strata sosialekonomi atas, menengah dan bawah. Dalam perspektif psikososial dan keberagaman
status sosial-ekonomi, mereka memiliki kebutuhan-kebutuhan psikologis dan norma
sosial serta prioritas dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan yang relatif berbeda.
Bagi kelompok masyarakat yang hidupnya berhasil dan masuk dalam kategori strata
sosial ekonomi menengah-atas, menata dan mengelola hidup secara tertib, teratur bahkan
estetis (indah) sudah menjadi kebutuhan pokok atau primer. Bagi mereka hidup dengan
beragam persoalannya tidak dapat lagi diatasi dengan cara- cara naluriah atau instingtif.
Mereka sudah memaksimalkan peran logika atau rasio. Kemampuan akal pikir
dimanfaatkan untuk memandu dan memecahkan persoalan hidup. Hidup harus tertib dan
tertib harus operasional atau terukur, demikian juga arti teratur bahkan indah juga harus
dedefinisikan secara operasional, yakni dihitung, diuji dan dibuktikan secara empiris.

Dan ukuran utama keberhasilan dalam memandu dan memecahkan persoalan hidup
adalah bersifat kuantitatif dan material. Dengan kata lain, kemajuan atau progres dan
keuntungan fisik, material dan empiris menjadi parameter utama keberhasilan hidup.
Bagi kelompok masyarakat dengan kategori strata sosial ekonomi bawah atau orang
miskin, kehidupan sehari-hari mereka diwarnai dengan perjuangan keras untuk
memenuhi kebutuhan-kebutuhan pokok, yakni; pangan, papan dan sandang. Persoalan
utama bagi mereka adalah mempertahankan diri agar tetap bisa bertahan hidup. Sudah
pasti kebiasaan-kebiasaan hidup kelompok masyarakat dengan status sosial ekonomi
menengah-atas (orang kaya) sulit untuk dapat mereka tiru. Hidup tertib, teratur apalagi
penuh dengan nuansa estetis jauh dari benak mereka. Hidup disikapi dan dimaknai
dengan kaca mata miliknya, yakni kesederhanaan, ketidakteraturan, ketidakdisiplinan
atau dengan kata lain semau gue. Ini bukan berarti mereka tidak memiliki keinginan atau
impian hidup sejahtera dengan ciri tertib, teratur dan indah, namun tenaga dan pikiran
sudah terkuras habis untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar. Ketidakberdayaan ini

6

mendorong mereka menyerahkan hidup pada garis nasib, sehingga akal pikir tidak dapat
berperan maksimal atau kurang fungsional.
Ada jurang pemisah cukup besar antara orang kaya dengan orang miskin. Secara

psikososial-ekonomi mereka terpisahkan. Masing-masing memiliki sikap, pola pikir, pola
perilaku, orientasi kebutuhan hidup dan parameter keberhasilan hidup yang berbeda.
Dalam konteks modernitas dengan kridonya efisiensi, efektifitas, daya guna dan
kemajuan ekonomi maka orang kaya sudah pasti menjadi kelompok yang sangat
representatif untuk mewakili kekuasaan pada masa Tokugawa. Status dan peran mereka
ada pada level pembuat kebijakan. Sebagai pembuat dan penentu kebijakan, maka cara
pandang orang kaya yang termanifestasikan dalam beragam peraturan sudah pasti akan
diarahkan dan diprioritaskan untuk mendukung dan mempertahankan kepentingankepentingan mereka. Sementara kaum miskin hanya tinggal di pinggir menyaksikan dan
menerima dirinya digusur sesewaktu demi ketertiban dan keindahan yang dipersepsikan
pengambil keputusan yang jelas-jelas beda statusnya dengan mereka.
berdasarkan kajian di atas, pada masa kekuasaan Shogunat Tokugawa, ditinjau dari aspek
sosial, masyarakat Jepang dapat dibagi berdasarkan suatu sistem kelas yang turuntemurun. Kerangka utamanya adalah berdasarkan pada sistem nilai yang berlaku, yaitu
prestise yang berhubungan secara langsung dengan kekuasaan yang menjadi sarana untuk
menentukan status sosial seseorang atau kelompok, bukan kekayaan (Bellah, 1992:35).
Berdasarkan struktur kekuasaan yang ada di Jepang, maka hirarki kemasyarakatan di
Jepang dapat dibagi menjadi dua kelompok. Kelompok pertama adalah kelompok
penguasa, sedangkan kelompok kedua adalah rakyat biasa. Kelompok penguasa masih
dapat dibagi menjadi beberapa tingkatan seperti susunan piramidal.
Menurut tradisi dan stratifikasi sosial politik di Jepang, puncak tertinggi dari kelompok
penguasa diduduki oleh Tenno beserta keluarganya serta bangsawan istana. Mereka

dipercaya oleh rakyat biasa sebagai keturunan Dewi Amaterasu Omikami yang
diturunkan untuk memerintah Jepang. Meskipun rakyat mempercayai bahwa Tenno
merupakan penguasa tertinggi, namun dalam praktik kehidupan politik sehari-hari di
Jepang, kekuasaan Tenno ini sangat kecil. Termasuk di dalam kelompok ini adalah
kelompok kuge. Kelompok ini dihormati karena keturunan kebangsawanannya, tetapi
7

tidak berpengaruh dalam bidang politik dan ekonomi. Hal ini disebabkan kekuasaan
politik dipegang oleh shogun dan juga oleh kelompok buke (kelompok bangsawan
militer). Tenno hanya bertugas dalam hal-hal yang bersifat seremonial dan yang berkaitan
dengan aspek religius atau ritual yang berkaitan dengan kepercayaan Shintoisme (Dasuki,
1963a).
Posisi kedua di bawah Tenno dan kuge adalah kelompok buke yang terdiri dari shogun,
para daimyo dan keluarganya. Namun para daimyo adalah penguasa daerah, sedangkan
shogun Tokugawa adalah penguasa dalam bidang politik, sosial dan ekonomi di pusat
kerajaan. Kelompok ini memegang kekuasaan pemerintahan sejak tahun 1600, yaitu
ketika Perang Sekigara berakhir dengan kemenangan keluarga Tokugawa Ieyashu yang
kemudian menjadi shogun pertama dari keluarga Tokugawa. Pusat pemerintahan Shogun
Tokugawa adalah di Yedo yang sekarang bernama Tokyo (Latourette, 1957a : 235-236).
Posisi ketiga dari struktur kekuasaan di Jepang ditempati oleh para daimyo sebagai

penguasa daerah. Oleh Shogunat Tokugawa mereka diberi wewenang untuk membantu
kelancaran pemerintahan pusat di Yedo. Kelompok ini diberi wilayah kekuasaan dan juga
apanage yang disebut dengan Han. Para daimyo diberi hak otonomi yang luas oleh
Shogunat Tokugawa. Hak-hak tersebut antara lain meliputi hak memilih para pembantu
pemerintahan daerah, hak menentukan besarnya pajak, hak untuk memiliki kekuatan
tentara sendiri, serta hak-hak untuk menentukan kebijakan politik lainnya (Hackett,
1972:13-14).
Kelompok daimyo juga masih dibagi menjadi tiga strata, yaitu daimyo shimpan, daimyo
fudai dan daimyo tozama (Hane, 1972:23). Daimyo shimpan adalah daimyo yang berasal
dari keturunan langsung atau mempunyai hubungan langsung dengan keluarga
Tokugawa. Sedangkan daimyo fudai adalah daimyo bawahan yang setia kepada keluarga
Tokugawa, terutama sewaktu terjadinya Perang Sekigara. Dengan kata lain, daimyo fudai
ikut secara langsung membantu shogun Tokugawa dalam merebut kekuasaan. Kemudian
untuk daimyo tozama adalah daimyo bekas
bawahan Toyotomo Hideyoshi yang menjadi musuh sekaligus bawahan Tokugawa.
Daimyo ini tidak ikut membantu shogun dalam merebut kekuasaan. Daimyo- daimyo
Tozama terdiri dari beberapa keluarga, yaitu Chosu, Satsuma, Hizen dan Tosa. Oleh
8

karena belum dapat dipercaya sepenuhnya oleh Shogun, maka berbagai pembatasan

dikenakan kepada mereka antara lain tidak boleh menghadap Tenno secara langsung;
menduduki jabatan-jabatan penting di Yedo; memiliki kekayaan yang berlebih-lebihan
(Beasley, 1990:4).
Struktur paling bawah dalam hirarki kekuasaan feodal Jepang adalah kelompok samurai
atau bushi. Kelompok ini secara tradisi merupakan anggota prajurit atau pasukan perang.
Namun pada masa kekuasaan Shogunat Tokugawa, mereka merangkap manjadi birokrat.
Kehidupan kelompok ini sangat tergantung pada upah atau gaji yang diberikan oleh tuan
mereka, yaitu para daimyo atau shogun. Para daimyo di Jepang jumlahnya sekitar
450.000 (Waltz, 1950: 214-215). Dalam pandangan masyarakat Jepang, terutama pada
masa kekuasaan shogunat Tokugawa, kelas samurai merupakan kelas elit yang eksklusif.
Kemana pun mereka pergi, selalu menyandang pedang panjang. Kehidupan kelas samuari
sangat diwarnai oleh ajaran Bushido (Jalan Kesatria). Penekanan kesetiaan kepada
tuannya menjadikan kematian bukan sesuatu yang menakutkan, apalagi kalau membela
sesuatu yang benar. Mereka rela mati demi kesetiaan dengan cara harakiri atau seppuku
(Bellah, 1992:121-134).
Kelas kedua dalam struktur sosial masyarakat Jepang adalah rakyat biasa. Berdasarkan
mata pencahariannya, kelas rakyat ini dapat distratifikasikan menjadi tiga kelompok.
Kelompok pertama adalah petani ( Nomin ), merupakan kelompok terbesar dan
tingkatannya langsung berada di bawah golongan Bushi. Mereka hidup dari mengolah
tanah yang secara hukum adalah milik Tenno yang dipinjamkan kepada para daimyo.
Dengan demikian pada musim panen, para petani harus menyerahkan sebagian dari hasil
panen kepada para daimyo yang kemudian menyerahkan sebagian lagi kepada Tenno
(Waltz, 1950:215). Dalam sistem feodal yang dikembangkan pada masa Tokugawa,
petani menjadi tumpuan utama, karena kehidupan para bakufu sangat tergantung pada
produksi pertanian (Hane, 1972:31-32). Para petani harus menjamin hidup golongan
kuge, buke dan samurai.
Posisi golongan petani memegang peranan penting karena mereka merupakan penghasil
beras. Beras dipergunakan sebagai satu-satunya ukuran, baik dalam menentukan besarnya
pajak dan juga sebagai alat pembayaran dalam sistem perdagangan ketika Jepang belum
9

mengenal sistem uang. Beras juga menjadi standar kekayaan. Status seorang daimyo
diukur dalam batas penilaian pemilikan dan tingkat penghasil beras di wilayah
kekuasaannya (Storry, 1963 : 73)
Kelompok kedua dalam kelas masyarakat biasa adalah golongan pekerja atau pengrajin
( Shokuin ). Kelompok ini adalah strata di bawah petani, karena mereka juga bekerja
secara langsung untuk golongan penguasa ( bakufu ). Mereka tinggal di pusat
pemerintahan di Yedo. Oleh sebab itu, kelompok pengrajin merupakan kelompok rakyat
biasa yang paling dekat dengan kelompok penguasa (Bellah, 1992:35; Waltz, 1950:215).
Golongan di bawah pengrajin adalah golongan pedagang (Waltz, 1950:215). Pada
awalnya mereka dipandang sebagai pihak yang tidak pernah menyumbangkan jasa
kepada bakufu dan dianggap kurang produktif. Pekerjaan pedagang dianggap pekerjaan
yang hina, karena hanya mencari keuntungan pribadi saja. Meskipun secara sosial
golongan pedagang dianggap rendah, namun dalam aspek ekonomi kelompok ini
merupakan kelompok yang paling makmur di antara kelompok- kelompok yang lain.
Bahkan pada abad XVIII sampai abad XIX kelompok ini ada yang melebihi kekayaan
para daimyo. Hal ini mendorong kedudukan golongan ini dalam strata sosial masyarakat
naik dengan cepat (Hane, 1972:31-32; Bellah, 1992:36).
Dari golongan-golongan yang ada di dalam masyarakat Jepang, terdapat suatu golongan
yang tidak termasuk ke dalam salah satu dari golongan atau kelas di atas. Golongan ini
disebut dengan Senmin yang berarti tidak boleh disentuh. Mereka adalah lapisan yang
mempunyai pekerjaan-pekerjaan yang paling kotor. Golongan Senmin dibagi menjadi 2
kelompok, yaitu hinin atau pengemis dan eta atau jagal, penyamak kulit. Senmin adalah
golongan masyarakat yang disamakan dengan kelas binatang (Dasuki, 1963a).
Shogunat Tokugawa menerapkan struktur sosial masyarakat yang tertutup yang tidak
memungkinkan adanya mobilitas status sosial dalam masyarakat. Misalnya, kelas petani
tidak akan beralih status sosialnya ke kelas di atasnya seperti kelas samurai. Tujuannya
adalah untuk menjaga kemurnian ras yang ada, serta menjaga agar mobilitas rakyat agak
terhambat. Hal ini akan mengakibatkan masyarakat tidak akan begitu kritis dalam melihat
suatu ketimpangan politik. Di samping itu juga dipergunakan untuk mempertahankan
10

prestise kekuasaan. Sebab kekuasaan yang menentukan status sosial seseorang, bukannya
kekayaan seseorang (Bellah, 1992:35).
Dari struktur masyarakat tersebut di atas, terlihat bahwa tanpa adanya suatu dorongan
yang mampu memunculkan suatu perubahan, terutama dalam sektor perekonomian, maka
tidak akan terjadi suatu mobilitas sosial suatu golongan, terutama mobilitas ke atas.
Namun, struktur masyarakat Jepang era Tokugawa tersebut justru mengalami suatu
perubahan yang didorong oleh perubahan dalam sektor perekonomian, terutama melalui
perdagangan. Hal inilah yang kelak akan mendorong mobilitas sosial golongan pedagang
ke status sosial yang lebih tinggi.
2.2 Keadaan Budaya Jepang Sebelum Restorasi Meiji
Sistem budaya yang terdapat di Jepang adalah sistem budaya yang telah mengakar dari
ratusan tahun. Hal ini dikarenakan Jepang yang melakukan isolasi diri pada masa
pemerintahan Tokugawa. Hal ini dilakukan agar tidak adanya pengaruh negatif yang
disebarkan oleh bangsa Barat. Kebijakan tersebut dinamakan sakoku. Salah satu dampak
negatif yang dikhawatirkan adalah masuknya ajaran katolik. Apabila masyarakat Jepang
masuk pada ajaran tersebut maka ditakutkan adanya sebuah pemberontakan karena
masyarakat akan lebih patuh terhadap gereja dibandingkan dengan kaisar.
Bahkan ketika masa Tokugawa ini, perkembangan budaya Jepang cukup pesat. Hal ini
karena adanya isolasi Jepang dari dunia luar. Sehingga tidak adanya pengaruh luar yang
masuk ke dalam tatanan kehidupan masyarakat Jepang terutama dalam kebudayaannya.
Di samping itu, seni-seni yang dibawa dari Cina dapat berkembang lebih sempurna di
Jepang, yaitu pemeliharaan kebun miniature (miniature gardening), mengatur bunga
(miniature flower) dan upacara minum teh (tea ceremony) (Agung, 2012 hlm. 99).
Pernyataan tersebut menggambarkan bahwa seni-seni yang dibawa oleh Jepang dari Cina
sejak ratusan tahun yang lalu dapat berkembang pada masa tersebut. Adapun budaya lain
yang berkembang di Jepang pada masa itu adalah sastra, sajak, kabuki (drama tradisional
Jepang), seppuku (harakiri), serta pakaian kimono. Namun budaya yang akan dijelaskan
di dalam makalah ini hanyalah upacara minum teh dan seppuku.
a. Upacara Minum Teh (Chanoyu)
11

Upacara minum teh adalah suatu seni yang dilakukan sebagai simbol ramah
ketamahan di Jepang. Adapun Setsuo Uenoda (dalam Lan, 1962 hlm. 163) menyatakan
bahwa upacara teh terutama suatu permainan yang halus untuk orang-orang yang tertarik
oleh art of living (seni kehidupan). Jadi dapat disimpulkan bahwa orang jepang yang
melakukan chanoyu adalah seseorang yang menerapkan seni dalam hidupnya. Dimana
mereka mengidealkan antara alam dengan seni seperti dalam pembuatan teh itu sendiri.
Budaya ini pada mulanya berasal dari Cina. Padahal di negara asalnya, teh ini
adalah suatu minuman rakyat. Dimana minuman ini digunakan sebagai jamuan bagi
tamu. Berbeda dengan di Jepang, teh memiliki kedudukan tersendiri dalam arti
keagamaan. Teh dalam hal ini disebut sebagai suatu agama seni kehidupan. Dinilai dari
suasana artistik yang tercium dari harumnya dan tidak dapat dilukiskan. Bagi orang
Budhis, mereka menggunakan teh untuk menentang rasa kantuk ketika mereka
bersemedi.
Chanayo berkembang di Jepang mulai abad 15 dan dibawa oleh sekte Zen Budhis.
Awalnya minum teh dari sebuah mangkuk ini hanya dilakukan oleh para paderi yang
berkumpul dihadapan patung Bodhidarma sebagai suatu kewajiban yang kudus. Namun
pada abad 15 kebiasaan tersebut dijadikan sebagai upacara minum teh.
Awalnya sekitar tahun 450 M, chanayo hanya disukai oleh kaum elit Jepang. Pada
perayaannya, mereka menggunakan peralatan yang mewah bahkan berhiaskan emas dan
perak. Sehingga dengan peralatan yang mewah ini, rakyat biasa tidak dapat melakukan
upacara tersebut. Sampai akhirnya pada tahun 1521-1591, ada seorang ahli upacara teh
bernama Sen-no-Rikyu menciptakan gaya baru dalam upacara teh ini. Hal ini
dilakukannya agar upacara ini tidak hanya dinimati para elit saja melainkan rakyat
biasapun dapat melakukan upacara teh ini. Gaya baru upacara teh ini bernama wabi-cha
(upacara teh wabi).
Salah seorang ningrat feodal bernama Kobori Enshu, melukiskan upacara teh
secara filosofi sebagai berikut.
Tiada dilukiskan suatu cara istimewa untuk melakukan upacara teh. Berbaktilah
kepada orangtuamu dan bersetialah kepada majikanmu. Janganlah melalaikan
pekerjaan tiap harimu. Janganlah melenyapkan persahabatan sahabatsahabatmu yang lama. Uap dalam musim semi, nyanyian burung cuckoo dalam
sebuah hutan hijau di musim panas, langit senja pada musim rontok yang
menerbitkan perasaan kesunyian, dan pagi bersalju musim dingin semua
pemandangan yang mempesonakan yang sesuai untuk menjadi kawan menikmati
kultus teh (Lan, 1962 hlm. 166).
12

Pernyataan tersebut memiliki arti bahwa dalam upacara teh tidak diharuskan
dilakukan secara luar biasa. Chanoyu dapat dilakukan dengan barang-barang seadanya
baik yang sudah lama ataupun baru. Dalam hal ini diharapkan bahwa masyarakat Jepang
mampu menilai suatu barang buka dari mahal atau tidaknya barang tersebut ataukah lama
tau baru barang tersebut. Hal yang terpenting dalam hal ini, barang tersebut memiliki
nilai keindahan dan artistik. Jamuan teh ini dapat dijamukan kepada sahabat. Jadi sajikan
teh ini dengan kejujuran dan keramah-tamahan yang dirasakan. Dalam suasana itulah kita
dapat melakukan upacara teh.
b. Seppuku (Harakiri)
Seppuku secara etimologis terdiri dari dua kata yaitu setsu dan fuku. Dalam
keseharian pengucapan biasanya yaitu hara dan kiru. Istilah setsu atau hara berarti perut
sedangkan fuku atau kiru yang berarti memotong atau menyobek. Jadi dapat disimpulkan
bahwa seppuku berarti memotong perut atau menyobek perut. Adapun secara terminologi
pengertian dari seppuku menurut Webster’s Encyclopedic (dalam Batubara, 2008) bahwa
seppuku
Ceremony suicide by ripping open the abdomen with a dagger of knife: formerly
practiced in Japan by member of warrior class when disgraced or sentence to
death.
Upacara bunuh diri dengan cara merobek perut dengan belati atau pisau: lazim
dipraktekkan oleh anggota dari kelas samurai saat merasa aib atau sebagai
hukuman mati.
Inazo Nitobe (dalam Batubara, 2008) menyatakan bahwa seppuku adalah sebuah
institusi bunuh diri yang legal yang dilakukan ksatria Jepang untuk menebus dosanya,
meminta maaf atas kesalahannya, menghindarkan aib dan menyelamatkan klannya dari
aib juga untuk membuktikan keikhlasan dan ketulusannya. Seppuku ini salah satu kode
etik dari semangat bushido yang dianut oleh para samurai Jepang.
Seppuku telah berkembang di Jepang sejak zaman kuno. Namun pada masa
Tokugawa, seppuku sempat dilarang. Hal ini karena menurut Tokugawa tindakan tersebut
adalah suatu tindakan yang bodoh. Karena mengikuti majikan yang bunuh diri. Namun
dalam perkembangannya ketika pemerintahan bafuku naik, seppuku dijadikan sebuah
hukuman bagi para samurai. Berbeda yang rakyat biasa yang melakukan kesalahan
dengan diberlakukannya hukuman gantung. Dalam situasi seperti inilah seppuku
digunakan. Bukan atas kehendak pribadi dalam bunuh diri atau mengikuti majikannya.
13

Pada saat itu, seppuku disempurnakan. Dalam pelaksanaannya dengan
melakukan upacara yang baku dengan samurai yang bersalah dengan menggunakan
pakaian berwarna putih yang dampingi oleh kaishakunin. Dialah yang mengatur cepat
tidaknya kematian. Seppuku menggunakan pisau berukuran 30-60 cm dan dilakukan dari
arah kiri ke kanan dibagian perut sekitar 6 cm di bawah pusar. kemudian dipenggal
kepalanya dengan menggunakan samurai oleh kashakunin.
Seppuku dilatarbelakangi dengan berbagai motivasi seorang samurai dalam
melakukannya. Sehingga dibaginya bebagai macam seppuku, diantaranya adalah sebagai
berikut.
a) Junshi, dilatarbelakangi kesetiaan terhadap tuannya
b) Kanshi, dilatarbelakangi bentuk protes atau nasihat dan peringatan kepada
tuannya yang melakukan kesalahan.
c) Sukotsu-shi, dilatarbelakangi dengan menebus kesalahan yang dibuatnya.
d) Munen-bara, dilatarbelakangi dengan kemarahan.
e) Jigai, dilakukan oleh seorang wanita karena untuk menutupi aibnya atau demi
orang yang dicintainya.
Pelaksanaan seppuku pada masa tokugawa memiliki aturan sendiri karena
seppuku dijadikan hukuman resmi negara. Hal tersebut tergambarkan dari tingkatan
hukuman yang diberlakukan terhadap para samurai, yaitu:
a) Hissoku, adalah hukuman yang diberlakukan untuk pengasingan untuk
bertobat. Dimana hukuman ini terdiri dari merendahkan diri, berperilaku kaku
dan menahan diri.
b) Heimon, adalah tahanan rumah selama ada yang selama 50 hari ataupun 100
hari tergantung pada keputusan pemerintah.
c) Chikkyo, adalah hukuman pengasingan baik pengasingan dalam kamar,
pengasingan sementara ataupun pengasingan sampai mati
d) Kai-eki, pencabutan status secara permanen dari klannya.
e) Seppuku
Seppuku pada masa tokugawa sama seperti seppuku pada masa sebelumnya tidak
ditentukan waktunya. Namun pada masa tokugawa, biasanya seppuku dilakukan di kuil
yang ditunjuk oleh pengadilan. Seperti catatan yang ditulis oleh Jack Seward (dalam
Batubara, 2008) menyatakan bahwa Jack Seward mencatat pada tahun 1647, pengadilan
Osaka telah memerintahkan terdakwa melakukan seppuku di kuil Kanzanji.
14

2.3 Keadaan Sosial Jepang Sesudah Restorasi Meiji
Bersamaan dengan cita-cita dari Restorasi Meiji, pengaruh barat perlahan mulai
mempengaruhi tatanan hidup dari rakyat Jepang. Karena kuatnya dorongan dari Restorasi
Meiji menyebabkan banyaknya penyerapan dari budaya barat yang disesuaikan dengan
budaya Jepang. Perubahan kehidupan masyarakat Jepang terlihat pada masyarakat yang
berada di kota, mereka sudah menyerap budaya Eropa, itu terlihat dari kostum yang
mereka pakai. Jika pada zaman Bakufu pakaian orang Jepang hanya terdiri dari dua
potong berbeda dengan zaman sekarang dimana orang Jepang mulai mengganti
pakaiannya dengan kostum barat yang dianggap lebih praktis. Saking meluasnya kostum
budaya barat hingga merambat ke pakaian serdadu-serdadu Jepang, karena sejak akhir
zaman Bakufu para serdadu itu sudah sering mengadakan latihan dan memerlukan
pakaian yang praktis. Karena begitu meluasnya pakaian barat dalam kalangan
masyarakat, pegawai pemerintah maupun kaisar pada zaman Meiji mulai memakai
pakaian Eropa. Melihat keadaan tersebut, pemerintah akhirnya menetapkan UndangUndang bahwa pakaian seragam dan pakaian resmi harus menggunakan kostum ala
Eropa.
Jika diperhatikan, orang Jepang sangat serius dan teliti dalam memperkenalkan
tata krama dan moral pada anak didik dalam mempraktekan perilaku sosial yang baik.
Misalnya saja cara membungkuk dan duduk yang benar. Perilaku itu kemudian
melembaga seperti yang jelas terlihat dalam Chanoyu (upacara minum teh). Pada
hakekatnya Chanoyu ialah mengajarkan orang untuk bersikap sopan, saling menghormati
dam terkendali sesuai tata krama sehingga tercipta suatu ketenangan dan rasa
kebersamaan. Rasa kebersamaan inilah yang dianggap sangat penting dalam masayarakat
Jepang. Akibatnya meraka akan terkotak-kotak dalam kelompok yang tetntu saja
memiliki kepentingan, ciri khas dan aturan tersendiri.
Pasca Restorasi Meiji, Jepang mulai bergerak cepat menuju modernisasi dan tidak
menyediakan banyak tempat bagi kebanyakan samurai. Meskipun demikian, satu hal
tetap tertanam dalam hati masyarakat Jepang ialah pentingnya arti kehormatan dan
keberanian. Contohnya semangat bushido yang pada awalnya diterapkan oleh para
15

samurai kemudian diadopsi oleh Jepang Modern dan diterapkan di berbagai aspek
kehidupan. Sikap berani termasuk berani berkorban dengan ditambah loyalitas
menjadikan Jepang mampu mengatasi ketertinggalannya dari Barat. Tidak sedikit
masyarakat, termasuk pekerja Jepang mengorbankan segalanya termasuk juga
keluarganya demi perusahaan. Sebagai akibatnya, peranan ayah sebagai kepala keluarga
menjadi berkurang dan pendidikan anak dilakukan oleh ibu (kyoiku mama) sehingga ayah
menjadi kurang dihargai akibat jarang di rumah dan kurang berkomunikasi dengan
anaknya. Hubungan perusahaan dan para pekerja lebih seperti hubungan keluarga
daripada seperti hubungan budak dan majikan. Perusahaan ini menuntut kesetiaan yang
serupa dengan para samurai di masa lampau. Nilai-nilai Zen dari samurai dikenal baik
oleh pekerja ini. Mereka dituntut untuk mau berkorban dan loyal terhadap perusahaan
mereka.
Para pekerja Jepang yang bekerja di perusahaan-perusahaan baik swasta maupun
negeri dituntut untuk memiliki sikap loyalty atau kesetiaan yang besar pada perusahaan.
Sebagaimana sifat samurai, para pekerja Jepang haruslah memiliki sifat berani dan
bertanggung jawab terhadap tugas maupun mandat yang diembannya.
Negara Jepang dikenal dengan bangsa yang maju, cara Jepang untuk maju ialah
menciptakan alat-alat yang berguna untuk kehidupan manusia. Jepang dikenal di dunia
industri sebagai bangsa tukang tiru (imitator) yang pandai. Meskipun disebut demikian,
orang Jepang nampaknya tidak merasa hina. Mereka meniru Barat dalam ilmu dan
teknologinya demi mengejar ketertinggalan mereka. Walaupun asal alat tersebut dari
negara lain, namun Jepang memiliki cara lain agar alat tersebut lebih baik mutunya dan
memiliki nilai jual yang tinggi pula. Bisa dikatakan bahwa Jepang menjiplak produk
maupun alat yang dibuat negara lain, namun Jepang tidak lah menjiplak semuanya.
Jepang hanya memodifikasi kekurangan alat maupun produk tersebut supaya lebih
unggul dan memiliki nilai jual yang tinggi. Oleh karena itu, setiap alat atau produk buatan
Jepang laku di pasar dunia.
2.4 Keadaan Budaya Jepang Sesudah Restorasi Meiji
Modernisasi di bidang kebudayaan terus dilakukan pada tahun 1872 (meiji V),
pemerintah menetapkan sistem pendidikan di mana masyarakat yang memiliki pekerjaan
16

dan status macam apapun dapat mengikuti pendidikan. Selain itu, pemerintah Meiji pun
mengirimkan banyak mahasiswa ke negara-negara Eropa dan Amerika dan mengundang
banyak ahli teknik dari negara-negara Barat. Kebudayaan Barat yang maju pun diadopsi
oleh pemerintah. Di bidang kehidupan sehari-hari, diberlakukan kalender Solar Gregorian
agama Kristen akhirnya diakui karena adanya kritik-kritik dari luar negeri. Teknik cetak
berkembang sehingga koran yang menyebarluaskan politik dan humaniora banyak
diterbitkan. Kebudayaan di kota-kota besar yang merupakan salah satu kebudayaan yang
menghasilkan kombinasi seni cetak balok kayu, teater Kabuki, novel, mode pakaian, dan
perpustakaan, kebanyakan terikat dengan Geisha atau perempuan yang hadir setiap kota
tempat hiburan. Di Ginza, Tokyo, dibangun bangunan-bangunan bergaya Barat yang
menggunakan batu bata merah dan jalan-jalan raya dinyalakan lampu-lampu gas yang
menerangi jalan.
Memotong rambut kuncir menjadi pendek dan memakai pakaian ala Barat telah
menjadi gaya hidup baru, di samping itu, daging sapi yang biasanya tidak dimakan
akhirnya mereka makan dan mulai pada waktu itu banyak dijumpai restoran sukiyaki.
Gaya hidup baru mencakup bidang ilmu pengetahuan, pendidikan, sandang, pangan,
papan, dan lainnya adalah kebudayaan Barat yang baru yang semaki lama semakin
diterima masyarakat dan disebut istilah Bunmei Kaika (masa peradaban dan pencerahan).
Sejarah kabuki pada zaman Meiji pun kepopulerannya tetap tidak tergoyahkan.
Tapi sering menerima kritik, diantaranya kalangan intelektual menganggap isi cerita
kabuki tidak sesuai untuk dipertunjukkan di negara orang beradab. Kalangan di dalam
dan di luar lingkungan kabuki juga menuntut pembaruan di dalam kabuki, sehingga mau
tidak mau dunia showbiz kabuki harus diubah sesuai tuntutan zaman. Kritik terhadap
kabuki mengatakan banyak unsur dalam kabuki yang sebenarnya tidak pantas
dimasukkan ke dalam drama kabuki, misalnya: alur cerita yang tidak masuk akal, tema
cerita yang kuno atau berbau feodal, dan trik panggung yang sekedar untuk membuat
penonton takjub, seperti adegan aktor bisa "terbang" atau berganti kostum dalam sekejap.
Akibat kritik yang diterima dunia showbiz kabuki sejak zaman Meiji berusaha
mengadakan gerakan pembaruan dalam berbagai aspek teater kabuki. Gerakan
pembaruan yang disebut Engeki Kairyo Undo juga melibatkan pemerintahan meiji yang
17

memang bermaksud mengontrol pertunjukan kabuki. Pemerintah Meiji bercita-cita
menciptakan pertunjukan teater yang pantas dan bisa dinikmati kalangan menengah dan
kalangan atas suatu "masyarakat yang bermoral". Salah satu hasil gerakan pembaruan
kabuki adalah dibukanya gedung Kabuki-za sebagai tempat pementasan kabuki. Selain
itu, pembaruan juga melahirkan genre baru teater kabuki yang disebut Shimpa.
Dalam langkah modernisasi dengan adanya Restorasi Meiji, Jepang pun turut
memodernisasi bidang kesusastraan, dimulai dari tulisan Shobochi Shoyo berjudul
Shosetsu Shinzui pada tahun 1885. Dalam Shoyo diungkapkan bahwa karya sastra
bukanlah alat politik maupun moral, tapi merupakan seni yang memiliki makna sendiri,
yang mengutamakan keindahan hidup dan realisme. Salah satu penulis novel yang
terkenal pada masa itu adalah Futabatei Shimei yang menjadi pelopor dalam novel
modern. Salah satu novel modernnya adalah Ukigumo, yang ditulis dalam bahasa
kolokial (percakapan). Sampai saat ini, karya klasik seperti Goshunotoi karya Kodarohan
dan Konjikiyasha karya Ozaki koyo masih banyak dibaca kalangan luas. Pada masa-masa
itu bermunculan karya sastra yang dipublikasikan oleh Higuchi Ichiyo seperti
Takekurabe, Nigorie, jusanya,dan lainnya. Karya-karya yang ditulis dengan gaya bahasa
yang sangat indah itu menceritakan tentang seorang wanita yang harus menghadapi
kesulitan di tengah masyarakat yang terikat oleh adat istiadat dan moral yang kuno. Tapi
karya itu secara realistis masih bernapaskan puisi.
Selain itu, karya-karya baru di bidang puisi seperti waka dan haiku pun lahir.
Puisi, disebut pula Shintaishi, dan karya-karya di bidang puisi bernafaskan romantis. Di
bidang Haiku dan Waka, Masao Kashiki mengeluarkan majalah bernama Hototokisu
yang melukiskan karya-karya Haiju dan Tanka. Yosano Aiko, dalam majalah Myojo,
menerbitkan Tanka yang bernafaskan romantisisme dan karya dengan imajinasi sastra.
Setelah karya Ukigumo, banyak karya-karya beraliran naturalis yang mendapat pengaruh
dari sastra asing bermunculan. Yang perlu diperhatikan adalah karya Shimazaki Toson
yang berjudul Haikai. Haikai merupakan puncak dari karya sastra yang menggambarkan
pergolakan batin seorang manusia, khususnya dunia remaja dan penderitaan yang
dialaminya. Toson terus aktif menulis hingga zaman Showa ketika dia menulis kisah
tentang kehidupan orang tuanya semasa sulit di zaman restorasi Meiji dalam novel
18

berjudul Yoakemae. Sastra naturalisme merupakan
gerakan modernisasi di bidang kesusastraan. Karya
sastra Tayama Katai yang berjudul Futon memiliki
pengaruh besar terhadap gerakan tersebut. Dalam
perkembangan kesusatraan natiralisme tersebut,
khususnya sejak pertengahan zaman Meiji hingga
awal zaman Taisho, orang-orang yang berperan
adalah Mori Ogai, Natsume Soseki, Ishikawa
Takubaku.
Berbicara mengenai kebudayaan Jepang
tidak lepas dari adanya buaya geisha. Salah satu budaya Jepang yang berkembang pada
zaman keshogunan Tokugawa adalah geisha. Geisha, yang dikenal juga dengan istilah
geigi atau geiko, adalah sebutan para penghibur tradisional wanita. Mereka menghibur
dengan cara bernyanyi, menari, berbincang-bincang, bermain game, dan meladeni para
tamu di rumah-rumah makan tradisional tertentu, (Kondansha, 1983:446).
Sejarah geisha dimulai dari awal pemerintahan Tokugawa, di mana Jepang
memasuki masa damai dan tidak begitu disibukkan lagi dengan masalah-masalah perang.
Seorang calon geisha harus menjalani pelatihan seni yang berat selagi usia dini. Berlatih
seni tari, yang menjadi kunci kesuksesan seorang geisha, karena geisha papan atas
umumnya adalah penari.
Mulai dari akhir Zaman Edo sampai sekarang ini, geisha telah mempunyai
hubungan yang erat dengan dunia politik. Para samurai dari luar provinsi yang
merupakan pendukung Restorasi Meiji pada tahun 1868 menemukan bahwa rumahrumah minum teh di Kyoto merupakan tempat yang sangat mendukung bagi pertemuanpertemuan mereka. Di sana mereka dapat membicarakan rencana-rencana politik yang
disamarkan dengan kegiatan pesta-pesta dan bersenang-senang yang bertujuan untuk
memperkecil kecurigaan pemerintah keshogunan terhadpa kegiatan mereka (Dalby,
2006:64).
Demi kelangsungan profesinya, para geisha merasa berkewajiban untuk
merahasiakan pembicaraan yang didengarnya selama pertemuan politik tersebut.
19

Akibatnya rahasia-rahasia politik para tamu tidak sampai bocor kepada lawan politiknya.
Kendati demikian, demi keamanan rahasia politik, para lawan politik mereka tidak
mempergunakan geisha yang sama (Kondansha, 1983:15).
Geisha juga harus berperilaku lemah lembut, sopan, dan memikat hati. Seorang
geisha papan atas dituntut untuk pintar dalam berbicara dan tidak membuat satu
kesalahan pun saat menjamu tamu. Kedisplinan menjadi modal yang penting bagi
seorang geisha. Ritual upacara minum teh yang menjadi budaya klasik Jepang juga harus
dikuasai oleh seorang geisha. Geisha berpenampilan sangat menarik untuk membuat para
pelanggannya tertarik melihatnya.
Geisha mengenakan kimono, berhias wajah dengan make up tebal berwarna putih
dan menggunkan lipstik berwarna merah tebal, serta rambutnya sanggul dengan
menggunakan sanggul yang besar. Alas kaki yang dikenakan geisha yaitu sendal yang
terbuat dari kayu atau bakiak yang tinggi kimono yang dikenakan tidak menyentuh tanah
(agar tidak kotor). Geisha di jepang harus pandai juga menari, pandai memainkan alat
musik tradisional khas Jepang yaitu Shamisen, serta harus pinter dan berpengetahuan
luas. Geisha harus berbicara sopan dan berprilaku ramah dan lemah lembut.
Jenjang menjadi seorang geisha, yang pertama adalah maiko diterjemahkan
sebagai “anak-anak yang menari” (mai= tarian/menari, ko=anak), tetapi juga disebut
sebagai “anak perempuan uang menari”. Seorang maiko adalah geisha, murid yang
harus melalui suatu periode pelatihan yang umumnya memakan waktu 5 tahun, di mana
dia belajar berbagai gei (seni), seperti menari, menyanyi, dan bermain musik, sebelum dia
menjadi seorang geisha. Tahapan yang kedua adalah geiko, Seorang maiko menjadi geiko
pada umur 20 – 21 tahun, atau ketika dia sudah dinilai cukup dewasa. Waktu pengabdian
seorang geiko pada okiya mulai dari shikomi-san berkisar antara 5-6 tahun.
Lain halnya dengan dulu, geisha di zaman modern ini tidak lagi berasal dari
keluarga miskin atau yatim-piatu. Siapapun bisa menjadi geisha, namun yang pasti
mereka dituntut untuk menguasai berbagai bidang kesenian Jepang tradisional, mulai dari
ikebana (seni merangkai bunga), chanoyu (upacara minum teh), menari tarian tradisional,
kaligrafi, membuat puisi, bermain alat musik tradisional shamisen (sejenis banjo bersenar

20

tiga), kodaiko (drum kecil yang dimainkan menggunakan stik kayu), hingga mempelajari
bahasa Inggris.
Sekarang ini jumlah geisha di Jepang semakin menurun drastis. Kalau pada tahun
1920-an jumlah geisha di Jepang mencapai 80 ribu orang, sekarang ini jumlahnya kurang
dari 10 ribu orang. Disamping pengaruh masuknya budaya Barat, penyebab lainnya
adalah berkurangnya orang yang tertarik menjadi geisha karena harus mengikuti proses
pelatihan yang memakan waktu lama dan detail. Selain itu mahalnya harga sewa geisha
membuat orang-orang memilih alternatif hiburan lain pada pesta mereka. Walau sudah
langka, para geisha modern masih bisa ditemukan di distrik geisha Kyoto dan Tokyo.

2.5 Analisis Perbedaan Sosial Budaya Jepang Sebelum dan Sesudah Restorasi Meiji

21

BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Restorasi Meiji yang terjadi di Jepang telah mengubah Jepang menjadi negara yang modern
dan imperialis. Jepang yang tadinya merupakan masyarakat yang kolot dan terisolir secara
drastis berubah menjadi masyarakat modern yang setaraf dengan masyarakat di Eropa Barat.
Upaya-upaya yang dilakukan Kaisar Meiji terbilang sangat efektif dan efisiaen. Hal ini
ditunjukan dengan kemajuan-kemajuan yang dicapai.
Restorasi Meiji membawa pengaruh yang sangat besar dalam upaya merubah masyarakat
Jepang menjadi masyarakat modern. Kemajuan-kemajuan yang dicapai setelah Restorasi Meiji
ini tidak akan mampu berjalan jika tidak diimbangi dengan kemampuan dan etos kerja yang baik
dari masyarakat Jepang sendiri. Kemajuan dalm segal bidang secara tidak langsung membuat
bangsa Jepang melancarkan gerakan imperialism.
22

Dalam pembaruan-pembaruan yang dilakukan, Jepang membuat suatu catatan penting yang
dapat dijadikan pelajaran bagi kita semua. Hal yang menarik dari Restorasi Meiji adalah bahwa
antara unsur-unsur baru dan unsur-unsur tradisional semuanya berjalan secara bersama-sama.
Jadi bisa kita katakan meskipun Jepang mengalami perubahan di berbagai bidang dan sektor.
Nilai-nilai tradisi leluhurnya tetap terjaga dengan baik hingga sekarang. Ini memberikan
pelajaran bagi kita bahwa modernisasi bukan berarti merubah pola hidup dan tradisi lama leluhur
yang positif dengan budaya barat.

DAFTAR PUSTAKA
Sumber Buku :

Agung, L. (2012). “Sejarah Asia Timur I”. Yogyakarta: Penerbit Ombak.
Lan, N.J. (1962). “Djepang Sepandjang masa”. Jakarta: Penerbit PT. Kinta.
Dalby, Liza. 2005. “Geisha”. London: Vintage
1983. Kondansha Encyclopedia Of Japan. Tokyo Japan: Kondhansa
Pyle, Kenneth B.(1988). Generasi Baru Zaman Meiji : Pergolakan Mencari Identitas Nasional
(1885-1895). Jakarta : PT Gramedia.
Rosidi, Ajip.(1981). Mengenal Jepang. Jakarta Pusat: PT Dunia Pustaka Jaya.
Sakamoto, Taro.(1980). Jepang Dulu dan Sekarang. Yogyakarta : Gajah Mada University Press.
Bellah, R.N. 1992. Religi Tokugawa. Akar-akar Budaya Jepang . Jakarta : Karti Sarana dan
Gramedia Pustaka Sarana.
Dasuki, A. 1963a. Sedjarah Djepang. Djilid I . Bandung : Balai Penerbitan Guru.
23

Hackett, R.F. 1972. Nishi Amane - A Tokugawa Meiji Bureucrat . Dalam John A. Harrison (ed.)
Japan . Tucson, Arizona: The University of Arizona Press.
Hane, M. 1986. Modern Japan. A Historical Survey . Boulder, Colorado : Westview Press.
Latourette, K.S. 1957a. A Short History of the Far East . New York: The Macmillan Company.
Storry, R. A. 1963. A History of Japan . London : Penguins Books
Beasley, W.G. 1990. The Rise of Modern Japan . New York : St. Martin's Press.
Sumber Online :
Jiwapraja,

Dea.

2012.

Zaman

Meiji

(1867-1912).

[Online].

Tersedia

di:

http://www.kompasiana.com/deajiwapraja/zamanmeiji186719125518cd42a333119911b65923
(diakses pada 16 Agustus 2015)
Anonim. 2013. Geisha Bukan Hanya Sekedar Penghibur. [Online]. Tersedia di :
http://www.japanindocuteculture.com/2013/10/geisha-bukan-hanya-sekedar-psk-atau.html
(diakses pada 16 Agustus 2015)
Batubara, Y.A. (2008). Seppuku: Telaah Regiositas dalam Bunuh Diri ala Jepang. [Online].
Tersedia

di:

http://repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/2718/1/100592-

YASSER%20ATMANEGARA%20BATUBARA-FUH.PDF. Diakses pada tanggal 14
Agustus 2015.
Elqorni, A.K. (2012). Kebudayaan Seppuku “Harakiri” di Jepang. [Online]. Tersedia di:
https://indoculture.wordpress.com/2012/11/10/kebudayaan-seppuku-harakiri-di-jepang/.
Diakses pada tanggal 14 Agustus 2015.
RET. (2013). Restorasi Meiji yang Mengakhiri Era Samurai & Keshogunan Jepang. [Online].
Tersedia

di:

http://re-tawon.com/2013/08/restorasi-meiji-yang-mengakhiri-era.html.

Diakses pada 14 Agustus 2015.

24