KEBUDAYAAN SERTA SUMBER DAYA ALAM DIY

KEBUDAYAAN SERTA SUMBER DAYA
ALAM
PROVINSI DAERAH ISTIMIEWA
YOGYAKARTA ( DIY )

Disusun Oleh :

SEKOLAH TINGGI TEKNOLOGI NASIONAL
(STTNAS) YOGYAKARTA
JURUSAN TEKNIK GEOLOGI

PROGRAM STUDI S1
2013
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena dengan
rahmat, karunia, serta taufk dan hidayah-Nya lah kami dapat menyelesaikan
tugas laporan Ilmu Sosial Budaya Dasar tentang kebudayaan serta sumber daya
alam yang ada di provinsi DIY ini. Dan juga kami berterima kasih pada Bapak Adi
Prabowo ST, MT selaku Dosen mata kuliah Ilmu Sosial Budaya Dasar yang telah
memberikan tugas ini kepada kami.

Kami sangat berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah
wawasan serta pengetahuan kita mengenai kebudayaan yang ada di kota
tempat kami tinggal,provinsi DIY serta bisa lebih mengenal apa saja potensi –
potensi yang terdapat di provinsi DIY . Kami juga menyadari sepenuhnya bahwa
di dalam tugas ini terdapat kekurangan-kekurangan dan jauh dari apa yang kami
harapkan. Untuk itu, kami berharap adanya kritik, saran dan usulan demi
perbaikan di masa yang akan datang, mengingat tidak ada sesuatu yang
sempurna tanpa sarana yang membangun.
Sekiranya laporan yang telah disusun ini dapat berguna bagi kami sendiri
maupun orang yang membacanya. Sebelumnya kami mohon maaf apabila
terdapat kesalahan kata-kata yang kurang berkenan dan kami memohon kritik
dan saran yang membangun demi perbaikan di masa depan.

Yogyakarta, 12 September 2013

Penyusun

A.

Pendahuluan

 Sejarah Provinsi DIY

Gb. Yogyakarta sebelum tahun 1945 dengan enklave-enklave Surakarta dan
Mangkunagaran

Sebelum

Indonesia

merdeka,

Yogyakarta

merupakan

daerah

yang

mempunyai pemerintahan sendiri atau disebut Zelfbestuurlandschappen/Daerah

Swapraja,

yaitu

Kasultanan

Ngayogyakarta

Hadiningrat

dan

Kadipaten

Pakualaman. Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat didirikan oleh Pangeran
Mangkubumi yang bergelar Sultan Hamengku Buwono I pada tahun 1755,
sedangkan Kadipaten Pakualaman didirikan oleh Pangeran Notokusumo (saudara
Sultan Hamengku Buwono II) yang bergelar Adipati Paku Alam I pada tahun
1813. Pemerintah Hindia Belanda mengakui Kasultanan dan Pakualaman sebagai
kerajaan dengan hak mengatur rumah tangganya sendiri yang dinyatakan dalam

kontrak politik. Kontrak politik yang terakhir Kasultanan tercantum dalam
Staatsblaad 1941 Nomor 47, sedangkan kontrak politik Pakualaman dalam
Staatsblaad 1941 Nomor 577. Eksistensi kedua kerajaan tersebut telah

mendapat pengakuan dari dunia internasional, baik pada masa penjajahan
Belanda, Inggris, maupun Jepang. Ketika Jepang meninggalkan Indonesia, kedua
kerajaan tersebut telah siap menjadi sebuah negara sendiri yang merdeka,
lengkap

dengan

sistem

pemerintahannya

(susunan

asli),

wilayah


dan

penduduknya.
Setelah Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia (RI), Sri Sultan
Hamengku Buwono IX dan Sri Paku Alam VIII menyatakan kepada Presiden RI,
bahwa Daerah Kasultanan Yogyakarta dan Daerah Pakualaman menjadi wilayah
Negara RI, bergabung menjadi satu kesatuan yang dinyatakan sebagai Daerah
Istimewa Yogyakarta (DIY). Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Paku Alam
VIII sebagai Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah bertanggung jawab
langsung kepada Presiden RI. Hal tersebut dinyatakan dalam :
1. Piagam kedudukan Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Paku Alam VIII
tertanggal 19 Agustus 1945 dari Presiden RI.
2. Amanat Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Paku Alam VIII tertanggal 5
September 1945 (dibuat secara terpisah).
3. Amanat Sri Sultan Hamengkubuwono IX dan Sri Paku Alam VIII tertanggal 30
Oktober 1945 (dibuat dalam satu naskah).
Dalam perjalanan sejarah selanjutnya kedudukan DIY sebagai Daerah
Otonom setingkat Provinsi sesuai dengan maksud pasal 18 Undang-undang
Dasar 1945 (sebelum perubahan) diatur dengan Undang-undang Nomor 22

Tahun 1948 tentang Undang-undang Pokok Pemerintahan Daerah. Sebagai
tindak lanjutnya kemudian Daerah Istimewa Yogyakarta dibentuk dengan
Undang-undang Nomor 3 Tahun 1950 tentang Pembentukan Daerah Istimewa
Yogyakarta Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 1950 sebagaimana telah
diubah dan ditambah terakhir dengan Undang-undang Nomor 9 Tahun 1955
(Lembaran Negara Tahun 1959 Nomor 71, Tambahan Lembaran Negara Nomor
1819) yang sampai saat ini masih berlaku. Dalam undang-undang tersebut
dinyatakan DIY meliputi Daerah Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat dan
Daerah Kadipaten Pakualaman. Pada setiap undang-undang yang mengatur
Pemerintahan Daerah, dinyatakan keistimewaan DIY tetap diakui, sebagaimana
dinyatakan terakhir dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004.
Dalam

sejarah

perjuangan

mempertahankan

kemerdekaan


Negara

Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), DIY mempunyai peranan yang penting.
Terbukti pada tanggal 4 Januari 1946 sampai dengan tanggal 27 Desember

1949[8] pernah dijadikan sebagai Ibukota Negara Republik Indonesia. Tanggal 4
Januari inilah yang kemudian ditetapkan menjadi hari Yogyakarta Kota Republik
pada tahun 2010. Pada saat ini Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat dipimpin
oleh Sri Sultan Hamengku Buwono X dan Kadipaten Pakualaman dipimpin oleh
Sri Paku Alam IX, yang sekaligus menjabat sebagai Gubernur dan Wakil
Gubernur DIY. Keduanya memainkan peran yang menentukan dalam memelihara
nilai-nilai budaya dan adat istiadat Jawa dan merupakan pemersatu masyarakat
Yogyakarta.

Keistimewaan DIY
Menurut UU Nomor 3 tahun 1950 yang dikeluarkan oleh negara bagian
Republik

Indonesia


yang

beribukota

di

Yogyakarta

pada

maret

1950,

keistimewan DIY mengacu pada keistimewaan yang diberikan oleh UU Nomor 22
Tahun 1948 yaitu Kepala Daerah Istimewa diangkat oleh Presiden dari keturunan
keluarga yang berkuasa di daerah itu di zaman sebelum Republik Indonesia dan
yang masih menguasai daerahnya, dengan syarat-syarat kecakapan, kejujuran
dan kesetiaan, dan dengan mengingat adat istiadat di daerah itu. Selain itu,

untuk Daerah Istimewa yang berasal dari gabungan daerah kerajaan dapat
diangkat seorang Wakil Kepala Daerah Istimewa dengan mengingat syaratsyarat sama seperti kepala daerah istimewa. Sebab pada saat itu daerah biasa
tidak dapat memiliki wakil kepala daerah. Adapun alasan keistimewaan
Yogyakarta diakui oleh pemerintahan RI menurut UU Nomor 22 Tahun 1948
(yang juga menjadi landasan UU Nomor 3 Tahun 1950 mengenai pembentukan
DIY), adalah Yogyakarta mempunyai hak-hak asal-usul dan di zaman sebelum
Republik Indonesia sudah mempunyai pemerintahan sendiri yang bersifat
Istimewa (zelfbestuure landschappen).
Saat ini Keistimewaan DIY diatur dengan UU Nomor 13 tahun 2012 yang
meliputi:
a. tata cara pengisian jabatan, kedudukan, tugas, dan wewenang Gubernur
dan Wakil Gubernur;
b. kelembagaan Pemerintah Daerah DIY;

c. kebudayaan;
d. pertanahan; dan
e. tata ruang.
Kewenangan istimewa ini terletak di tingkatan Provinsi
Dalam tata cara pengisian jabatan gubernur dan wakil gubernur salah satu
syarat yang harus dipenuhi calon gubernur dan wakil gubernur adalah bertakhta

sebagai Sultan Hamengku Buwono untuk calon Gubernur dan bertakhta sebagai
Adipati Paku Alam untuk calon Wakil Gubernur [53].
Kewenangan kelembagaan Pemerintah Daerah DIY diselenggarakan untuk
mencapai

efektivitas

pelayanan

masyarakat

dan

efsiensi

berdasarkan

penyelenggaraan
prinsip


pemerintahan

responsibilitas,

dan

akuntabilitas,

transparansi, dan partisipasi dengan memperhatikan bentuk dan susunan
pemerintahan asli yang selanjutnya diatur dalam Perdais.
Kewenangan

kebudayaan

diselenggarakan

untuk

memelihara

dan

mengembangkan hasil cipta, rasa, karsa, dan karya yang berupa nilai-nilai,
pengetahuan, norma, adat istiadat, benda, seni, dan tradisi luhur yang mengakar
dalam masyarakat DIY yang selanjutnya diatur dalam Perdais.
Dalam penyelenggaraan kewenangan pertanahan Kasultanan Yogyakarta
dan Kadipaten Pakualamanan dinyatakan sebagai badan hukum. Kasultanan dan
Kadipaten berwenang mengelola dan memanfaatkan tanah Kasultanan dan
tanah Kadipaten ditujukan untuk sebesar-besarnya pengembangan kebudayaan,
kepentingan sosial, dan kesejahteraan masyarakat. Kewenangan Kasultanan dan
Kadipaten dalam tata ruang terbatas pada pengelolaan dan pemanfaatan tanah
Kasultanan dan tanah Kadipaten yang selanjutnya diatur dalam Perdais. Perdais
adalah peraturan daerah istimewa yang dibentuk oleh DPRD DIY dan Gubernur
untuk mengatur penyelenggaraan Kewenangan Istimewa. Selain itu, pemerintah
menyediakan pendanaan dalam rangka penyelenggaraan urusan Keistimewaan
DIY dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara sesuai dengan kebutuhan
DIY dan kemampuan keuangan negara.

 Letak Geografs Provinsi DIY

DIY terletak di bagian tengah-selatan Pulau Jawa, secara geografs terletak
pada 7°3’-8°12’ Lintang Selatan dan 110°00’ - 110°50’ Bujur Timur. Berdasarkan
bentang alam, wilayah DIY dapat dikelompokkan menjadi empat satuan
fsiograf, yaitu satuan fsiograf Gunungapi Merapi, satuan fsiograf Pegunungan
Selatan atau Pegunungan Seribu, satuan fsiograf Pegunungan Kulon Progo, dan
satuan fsiograf Dataran Rendah. Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta terletak
di bagian selatan tengah Pulau Jawa yang dibatasi oleh Samudera Hindia di
bagian selatan dan Propinsi Jawa Tengah di bagian lainnya. Batas dengan
Propinsi Jawa Tengah meliputi:
 Kabupaten Wonogiri di bagian tenggara
 Kabupaten Klaten di bagian timur laut
 Kabupaten Magelang di bagian barat laut
 Kabupaten Purworejo di bagian barat
Satuan fsiograf Gunungapi Merapi, yang terbentang mulai dari kerucut
gunung api hingga dataran fuvial gunung api termasuk juga bentang lahan
vulkanik, meliputi Sleman, Kota Yogyakarta dan sebagian Bantul. Daerah kerucut
dan lereng gunung api merupakan daerah hutan lindung sebagai kawasan
resapan air daerah bawahan. Satuan bentang alam ini terletak di Sleman bagian
utara. Gunung Merapi yang merupakan gunungapi aktif dengan karakteristik
khusus, mempunyai daya tarik sebagai objek penelitian, pendidikan, dan
pariwisata.
Satuan Pegunungan Selatan atau Pegunungan Seribu, yang terletak di
wilayah Gunungkidul, merupakan kawasan perbukitan batu gamping (limestone)
dan bentang alam karst yang tandus dan kekurangan air permukaan, dengan
bagian tengah merupakan cekungan Wonosari (Wonosari Basin) yang telah
mengalami pengangkatan secara tektonik sehingga terbentuk menjadi Plato
Wonosari (dataran tinggi Wonosari). Satuan ini merupakan bentang alam hasil
proses

solusional

(pelarutan),

dengan

bahan

induk

batu

gamping

dan

mempunyai karakteristik lapisan tanah dangkal dan vegetasi penutup sangat
jarang. Satuan Pegunungan Kulon Progo, yang terletak di Kulon Progo bagian
utara, merupakan bentang lahan struktural denudasional dengan topograf
berbukit, kemiringan lereng curam dan potensi air tanah kecil.
Satuan Dataran Rendah, merupakan bentang lahan fuvial (hasil proses
pengendapan sungai) yang didominasi oleh dataran aluvial, membentang di

bagian selatan DIY, mulai dari Kulon Progo sampai Bantul yang berbatasan
dengan Pegunungan Seribu. Satuan ini merupakan daerah yang subur. Termasuk
dalam

satuan

ini

adalah

bentang

lahan

marin

dan

eolin

yang

belum

didayagunakan, merupakan wilayah pantai yang terbentang dari Kulon Progo
sampai Bantul. Khusus bentang lahan marin dan eolin di Parangtritis Bantul,
yang terkenal dengan gumuk pasirnya, merupakan laboratorium alam untuk
kajian bentang alam pantai.
Kondisi fsiograf tersebut membawa pengaruh terhadap persebaran
penduduk, ketersediaan prasarana dan sarana wilayah, dan kegiatan sosial
ekonomi penduduk, serta kemajuan pembangunan antarwilayah yang timpang.
Daerah-daerah yang relatif datar, seperti wilayah dataran fuvial yang meliputi
Kabupaten Sleman, Kota Yogyakarta, dan Kabupaten Bantul (khususnya di
wilayah Aglomerasi Perkotaan Yogyakarta) adalah wilayah dengan kepadatan
penduduk tinggi dan memiliki kegiatan sosial ekonomi berintensitas tinggi,
sehingga merupakan wilayah yang lebih maju dan berkembang.
Dua daerah aliran sungai (DAS) yang cukup besar di DIY adalah DAS Progo
di barat dan DAS Opak-Oya di timur. Sungai-sungai yang cukup terkenal di DIY
antara lain adalah Sungai Serang, Sungai Progo, Sungai Bedog, Sungai Winongo,
Sungai Boyong-Code, Sungai Gajah Wong, Sungai Opak, dan Sungai Oya.

 Pemerintahan Kabupaten dan Kota Di Provinsi DIY
Kabupaten dan Kota yang berada di wilayah DIY sekarang ini dibentuk pada
kurun

waktu

1950-1951

dan

1957-1958.

Tidak

ada

perbedaan

antara

pemerintahan kabupaten dan kota yang berada di wilayah DIY dengan di
Indonesia pada umumnya. Adapun daftar kabupaten dan kota di wilayah DIY
sebagai berikut:
1. Kabupaten Bantul beribukota di Bantul
2. Kabupaten Gunung Kidul beribukota di Wonosari
3. Kabupaten Kulon Progo beribukota di Wates
4. Kabupaten Sleman beribukota di Sleman
5. Kota Yogyakarta sebagai pusat pemerintahan provinsi DIY

B. Pokok Pembahasan

 Kebudayaan di Provinsi DIY
DIY mempunyai beragam potensi budaya, baik budaya yang tangible (fsik)
maupun yang intangible (non fsik). Potensi budaya yang tangible antara lain
kawasan cagar budaya dan benda cagar budaya sedangkan potensi budaya
yang intangible seperti gagasan, sistem nilai atau norma, karya seni, sistem
sosial atau perilaku sosial yang ada dalam masyarakat.
Berikut ini adalah beberapa contoh budaya tangible maupun intangible yang ada
di DIY :
a. Candi Prambanan
Berlokasi di Jalan Raya Jogja - Solo Km 16 Prambanan, Sleman, Yogyakarta
( tepat berada di perbatasan Yogyakarta dan Klaten, jawa Tengah

) Candi

Prambanan atau Candi Rara Jonggrang adalah kompleks candi Hindu terbesar di
Indonesia yang dibangun pada abad ke-9 masehi. Candi ini dipersembahkan
untuk Trimurti, tiga dewa utama Hindu yaitu Brahma sebagai dewa pencipta,
Wishnu

sebagai

dewa

pemelihara,

dan

Siwa

sebagai

dewa

pemusnah.

Berdasarkan prasasti Siwagrha nama asli kompleks candi ini adalah Siwagrha
(bahasa Sanskerta yang bermakna 'Rumah Siwa'), dan memang di garbagriha
(ruang utama) candi ini bersemayam arca Siwa Mahadewa setinggi tiga meter
yang menujukkan bahwa di candi ini dewa Siwa lebih diutamakan.
Candi ini adalah termasuk Situs Warisan Dunia UNESCO, candi Hindu
terbesar di Indonesia, sekaligus salah satu candi terindah di Asia Tenggara.
Arsitektur bangunan ini berbentuk tinggi dan ramping sesuai dengan arsitektur
Hindu pada umumnya dengan candi Siwa sebagai candi utama memiliki
ketinggian mencapai 47 meter menjulang di tengah kompleks gugusan candicandi yang lebih kecil.Sebagai salah satu candi termegah di Asia Tenggara, candi
Prambanan menjadi daya tarik kunjungan wisatawan dari seluruh dunia. Menurut
prasasti Siwagrha, candi ini mulai dibangun pada sekitar tahun 850 masehi oleh
Rakai Pikatan, dan terus dikembangkan dan diperluas oleh Balitung Maha
Sambu, di masa kerajaan Medang Mataram.
Pintu masuk ke kompleks bangunan ini terdapat di keempat arah penjuru
mata angin, akan tetapi arah hadap bangunan ini adalah ke arah timur, maka
pintu masuk utama candi ini adalah gerbang timur. Kompleks candi Prambanan
terdiri dari:

1. 3 Candi Trimurti: candi Siwa, Wisnu, dan Brahma
2. 3 Candi Wahana: candi Nandi, Garuda, dan Angsa
3. 2 Candi Apit: terletak antara barisan candi-candi Trimurti dan candi-candi
Wahana di sisi utara dan selatan
4. 4 Candi Kelir: terletak di 4 penjuru mata angin tepat di balik pintu masuk
halaman dalam atau zona inti
5. 4 Candi Patok: terletak di 4 sudut halaman dalam atau zona inti
6. 224 Candi Perwara: tersusun dalam 4 barisan konsentris dengan jumlah
candi dari barisan terdalam hingga terluar: 44, 52, 60, dan 68

Maka terdapat total 240 candi di kompleks Prambanan.

Gb. Candi Prambanan

Di Candi Prambanan sendiri sering diadakan Sendratari Ramayana sebagai
salah satu daya Tarik Candi Prambanan sendiri. Sendratari Ramayana adalah
seni pertunjukan yang cantik, mengagumkan dan sulit tertandingi. Pertunjukan
ini mampu menyatukan ragam kesenian Jawa berupa tari, drama dan musik

dalam

satu

panggung

dan

satu

momentum

untuk

menyuguhkan

kisah

Ramayana, epos legendaris karya Walmiki yang ditulis dalam bahasa Sanskerta.
Kisah Ramayana yang dibawakan pada pertunjukan ini serupa dengan yang
terpahat pada Candi Prambanan. Seperti yang banyak diceritakan, cerita
Ramayana yang terpahat di candi Hindu tercantik mirip dengan cerita dalam
tradisi lisan di India. Jalan cerita yang panjang dan menegangkan itu dirangkum
dalam empat lakon atau babak, penculikan Sinta, misi Anoman ke Alengka,
kematian Kumbakarna atau Rahwana, dan pertemuan kembali Rama-Sinta.
Seluruh cerita disuguhkan dalam rangkaian gerak tari yang dibawakan oleh para
penari yang rupawan dengan diiringi musik gamelan. Anda diajak untuk benarbenar larut dalam cerita dan mencermati setiap gerakan para penari untuk
mengetahui jalan cerita. Tak ada dialog yang terucap dari para penari, satusatunya penutur adalah sinden yang menggambarkan jalan cerita lewat lagulagu dalam bahasa Jawa dengan suaranya yang khas.
Gb. Sendratari Ramayana

b. Candi Ratu Boko

Candi Ratu Boko merupakan salah satu situs purbakala yang merupakan
kompleks istana megah yang dibangun pada abad ke-8. Bangunan yang bisa

dikatakan termegah di jamannya itu dibangun oleh salah satu kerabat pendiri
Borobudur. Candi Ratu Boko sendiri berlokasi kira-kira 3 km di sebelah selatan
dari komplek Candi Prambanan, 18 km sebelah timur Kota Yogyakarta atau 50
km barat daya Kota Surakarta, Jawa Tengah, Indonesia. Luas keseluruhan
komplek adalah sekitar 25 ha.
Situs ini menampilkan atribut sebagai tempat berkegiatan atau situs
pemukiman, namun fungsi tepatnya belum diketahui dengan jelas. Ratu Boko
diperkirakan sudah dipergunakan orang pada abad ke-8 pada masa Wangsa
Sailendra (Rakai Panangkaran) dari Kerajaan Medang (Mataram Hindu). Dilihat
dari pola peletakan sisa-sisa bangunan, diduga kuat situs ini merupakan bekas
keraton (istana raja). Pendapat ini berdasarkan pada kenyataan bahwa kompleks
ini bukan candi atau bangunan dengan sifat religius, melainkan sebuah istana
berbenteng dengan bukti adanya sisa dinding benteng dan parit kering sebagai
struktur pertahanan.[2] Sisa-sisa permukiman penduduk juga ditemukan di
sekitar lokasi situs ini. Nama "Ratu Baka" berasal dari legenda masyarakat
setempat. Ratu Baka (Bahasa Jawa, arti harafah: "raja bangau") adalah ayah
dari Loro Jonggrang, yang juga menjadi nama candi utama pada komplek Candi
Prambanan.
Gb. Kompleks Candi Ratu Boko

c. Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat
Gb. Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat

Kraton Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat atau yang sekarang lebih
dikenal dengan nama Kraton Yogyakarta merupakan pusat dari museum hidup
kebudayaan Jawa yang ada di Daerah Istimewa Yogyakarta. Tidak hanya menjadi
tempat tinggal raja dan keluarganya semata, Kraton juga menjadi kiblat
perkembangan budaya Jawa, sekaligus penjaga nyala kebudayaan tersebut. Di
tempat ini wisatawan dapat belajar dan melihat secara langsung bagaimana
budaya Jawa terus hidup serta dilestarikan. Kraton Yogyakarta dibangun oleh
Pangeran

Mangkubumi

pada

tahun

1755,

beberapa

bulan

setelah

penandatanganan Perjanjian Giyanti. Dipilihnya Hutan Beringin sebagai tempat
berdirinya kraton dikarenakan tanah tersebut diapit dua sungai sehingga
dianggap baik dan terlindung dari kemungkinan banjir. Meski sudah berusia
ratusan tahun dan sempat rusak akibat gempa besar pada tahun 1867,
bangunan Kraton Yogyakarta tetap berdiri dengan kokoh dan terawat dengan

baik.
Istana Jogja, sebagai representasi dari budaya jawa bisa ditemukan ketika
Petualang masuk ke dalam Keraton, seperti pergelaran tari-tari jawa tentang
berbagai cerita (babad tanah jawa, epic ramayana) yang dipentaskan oleh penari
yang handal dan mampu memukau menarik penonton seperti terbawa suasana
sakral yang sangat menghipnotis. Di iringi suara gemelan yang mengalun indah

bercampur dengan bait-bait jawa dilantunkan indah oleh pesinden dan
warangono Keraton Jogja. Selain tari, juga disajikan pentas wayang orang yang
sangat menarik untuk di lihat, wayang orang ini berbeda dengan kebanyakan
karena gerakannya hampir mirip dengan gerakan ballet. Pementasan tari jawa
tersebut dilakukan di tempat terbuka mirip dengan pendopo Keraton, jadi
petualang bebas leluasa menyaksikan dari berbagai sudut. Kesempurnaan dari
sebuah budaya jawa, tarian yang indah layak untuk dilihat.
Melihat sudut Keraton yang lain seperti Kedhaton, dimana kedhaton ini
merupakan tempat bertemunya Raja dengan semua pemangku Keraton. Dengan
suasana bangunan joglo yang indah dengan beberapa ornamen ala jawa arab
yang menghiasi di setiap tembok dan pilar, juga berbagai macam tanaman
rindang menambah suasana sakral jawa lebih sejuk dan menarik. Pilar-pilar yang
berjajar sedemikian rupa menambah gagah dan kuatnya Keraton Jogja waktu itu.
Beberapa bangunan taman juga menghiasi setiap sudut komplek Kedhaton
Keraton Jogja. Ada yang menarik dikomplek Kedhaton tersebut, ketika Petualang
masuk pintu area Karaton maka akan selalu bertemu dengan para penjaga
(pekerja khusus) Keraton atau yang biasa di sebut dengan Abdi Dalem.
Abdi

Dalem

tersebut

tidak

boleh

atau

dilarang

untuk

mungkur

(membelakangi Kedhaton). Jadi sang Abdi Dalem akan selalu menghadap ke
arah Kedhaton, bukan membelakangi kedhaton. Ketika Penulis tanya alasanya,
maka dengan bahasa jawa khas dan menarik secara ringkas sang Abdi dalem
mengatakan bahwa Kedhaton merupakan simbol Raja, disana tempat Raja duduk
dan begitulah salah satu cara untuk menghormati kepada Raja. idalam Keraton
juga disajikan berbagai budaya jawa yang indah seperti batik yang merupakan
warisan budaya jawa yang sudah diakui secara internasional. Beberapa lukisan,
keris, foto raja-raja jawa, silsilah raja jawa, dan berbagai hasil budaya jawa.
Ketika masuk di rumah batik, disana dilarang untuk memotret. Karena semua
motif batik disana merupakan ciri Keraton Jogja yang merupakan simbol dari
istana jawa yang hanya boleh dicetak dan dipakai di lingkungan istana saja.
Beragam motif batik istana sangat menarik memang, desain yang khas dan
berbeda dengan kebanyakan batik.
Beberapa alat gamelan juga ditampilkan di Istana Jogja, gamelan berasal
dari kata gamel yang berarti memukul. Gamelan sendiri merupakan alat musik
khas jawa dimana permainan musik ini dilakukan dengan mengunakan alat
seperti kenong, kempul, kendhang, gong, suling, kecapi dan lain sebagainya.

Gamelan sendiri dimainkan bersama penyanyi yang disebut dengan Sinden
(perempuan) atau Warangono (lelaki) seperti yang di pentaskan ketika masuk ke
komplek Istana Jogja dimuka. Ketika memasuki ruang lukisan, banyak dijumpai
lukisan bersejarah seperti raja-raja jogja, istri dan anak-anak raja jogja, lukisan
tentang kemerdekaan, dan berbagai macam pengambaran tentang keraton.

d. Grebeg
Upacara

Grebeg

diselenggarakan

tiga

kali

dalam

satu

tahun

kalender/penanggalan Jawa yaitu pada tanggal dua belas bulan Mulud (bulan ke3), tanggal satu bulan Sawal (bulan ke-10) dan tanggal sepuluh bulan Besar
(bulan

ke-12).

Pada

hari-hari

tersebut

Sultan

berkenan

mengeluarkan

sedekahnya kepada rakyat sebagai perwujudan rasa syukur kepada Tuhan atas
kemakmuran kerajaan. Sedekah ini, yang disebut dengan Hajad Dalem, berupa
pareden/gunungan yang terdiri dari Pareden Kakung, Pareden Estri, Pareden
Pawohan, Pareden Gepak, dan Pareden Dharat, serta Pareden Kutug/Bromo yang
hanya dikeluarkan 8 tahun sekali pada saat Garebeg Mulud tahun Dal.
Gunungan kakung berbentuk seperti kerucut terpancung dengan ujung
sebelah atas agak membulat. Sebagian besar gunungan ini terdiri dari sayuran
kacang panjang yang berwarna hijau yang dirangkaikan dengan cabai merah,
telur itik, dan beberapa perlengkapan makanan kering lainnya. Gunungan estri
berbentuk seperti keranjang bunga yang penuh dengan rangkaian bunga.
Sebagian besar disusun dari makanan kering yang terbuat dari beras maupun
beras ketan yang berbentuk lingkaran dan runcing. Kedua gunungan ini
ditempatkan dalam sebuah kotak pengangkut yang disebut Jodhang.
Gunungan pawohan terdiri dari buah-buahan segar yang diletakkan dalam
keranjang dari daun kelapa muda (Janur) yang berwarna kuning. Gunungan ini
juga ditempatkan dalam jodhang dan ditutup dengan kain biru. Gunungan gepak
berbentuk seperti gunungan estri hanya saja permukaan atasnya datar.
Gunungan dharat juga berbentuk seperti gunungan estri namun memiliki
permukaan atas yang lebih tumpul. Kedua gunungan terakhir tidak ditempatkan
dalam jodhang melainkan hanya dialasi kayu yang berbentuk lingkaran.
Gunungan kutug/bromo memiliki bentuk khas karena secara terus menerus
mengeluarkan asap (kutug) yang berasal dari kemenyan yang dibakar.

Gunungan yang satu ini tidak diperebutkan oleh masyarakat melainkan dibawa
kembali ke dalam keraton untuk di bagikan kepada kerabat kerajaan.
Pada Grebeg Sawal Sultan menyedekahkan 1-2 buah pareden kakung. Jika
dua buah maka yang sebuah diperebutkan di Mesjid Gedhe dan sebuah sisanya
diberikan kepada kerabat Puro Paku Alaman. Pada garebeg Besar Sultan
mengeluarkan pareden kakung, estri, pawohan, gepak, dan dharat yang masingmasing berjumlah satu buah. Pada garebeg Mulud/Sekaten Sultan memberi
sedekah pareden kakung, estri, pawohan, gepak, dan dharat yang masingmasing berjumlah satu buah. Bila garebeg Mulud diselenggarakan pada tahun
Dal, maka ditambah dengan satu pareden kakung dan satu pareden kutug.

e. Sekaten
Sekaten merupakan sebuah upacara kerajaan yang dilaksanakan selama
tujuh hari. Konon asal-usul upacara ini sejak kerajaan Demak. Upacara ini
sebenarnya merupakan sebuah perayaan hari kelahiran Nabi Muhammad.
Menurut cerita rakyat kata Sekaten berasal dari istilah credo dalam agama Islam,
Syahadatain. Sekaten dimulai dengan keluarnya dua perangkat Gamelan Sekati,
KK Guntur Madu dan KK Nagawilaga, dari keraton untuk ditempatkan di
Pagongan Selatan dan Utara di depan Mesjid Gedhe. Selama tujuh hari, mulai
hari ke-6 sampai ke-11 bulan Mulud, kedua perangkat gamelan tersebut
dimainkan/dibunyikan (jw: ditabuh) secara bergantian menandai perayaan
sekaten.
Pada malam kedelapan Sultan atau wakil yang beliau tunjuk, melakukan
upacara Udhik-Udhik, tradisi menyebar uang logam (koin). Setelah itu Sultan
atau wakil beliau masuk ke Mesjid Gedhe untuk mendengarkan pengajian maulid
nabi dan mendengarkan pembacaan riwayat hidup nabi. Akhirnya pada hari
terakhir upacara ditutup dengan Garebeg Mulud. Selama sekaten Sego Gurih
(sejenis nasi uduk) dan Endhog Abang (harfahhtelur merah) merupakan
makanan khas yang banyak dijual. Selain itu terdapat pula sirih pinang dan
bunga kantil. Saat ini selain upacara tradisi seperti itu juga diselenggarakan
suatu pasar malam yang dimulai sebulan sebelum penyelenggaraan upacara
sekaten yang sesungguhnya.
f. Mubeng Beteng

Laku mengelilingi tembok benteng Kraton dalam keheningan total itu
merupakan

simbol

keprihatinan

serta

kesiapan

masyarakat

Yogyakarta

khususnya penganut kejawen untuk menghadapi tahun yang akan datang.
Diharapkan dengan sikap prihatin, mereka lebih mawas diri dan tidak berpuas
diri terhadap segala sesuatu yang telah diraih pada tahun-tahun sebelumnya.
Pada mulanya, mubeng beteng adalah tradisi asli Jawa yang berkembang
pada abad ke-6 sebelum Mataram-Hindu. Tradisi asli Jawa itu disebut muser atau
munjer (memusat) yang artinya mengelilingi pusat, dalam hal ini pusat wilayah
desa. Ketika pedesaan kemudian pada akhirnya berkembang menjadi kerajaan,
maka muser pun menjadi sebuah tradisi mengelilingi pusat wilayah kerajaan.
Sumber sejarah lainnya mengatakan, mubeng beteng merupakan tradisi JawaIslam yang dimulai ketika Kerajaan Mataram (Kotagede) membangun benteng
mengelilingi Kraton yang selesai pada tanggal satu Suro 1580.
Para prajurit Kraton ketika itu rutin mengelilingi (mubeng) benteng untuk
menjaga Kraton dari ancaman musuh – pada waktu itu Pajang. Setelah kerajaan
membangun parit di sekeliling benteng, tugas keliling dialihkan kepada abdi
dalem Kraton. Agar tidak terkesan seperti militer, para abdi dalem itu
menjalankan tugasnya dengan membisu sambil membaca doa-doa di dalam hati
agar mereka diberi keselamatan.
Tradisi mubeng atau memutar itu sebenarnya tidak hanya berada di
seputaran benteng Kraton Kasultanan Yogyakarta, tetapi juga terdapat tradisi
mubeng kuthagara, dan mubeng manca negara karena sebagai pusat negara,
Kraton dikelilingi oleh kutha negara dan kutha negara dikelilingi oleh manca
negara. Manca negara yang dimaksud di sini adalah daerah-daerah di luar
wilayah kesunanan dan kesultanan tetapi masih wilayah Kerajaan Yogyakarta.
Karena tradisi mubeng beteng lebih mudah diikuti oleh masyarakat secara luas,
maka tradisi itulah yang kemudian paling terkenal.

Gb.

Tradisi
Mubeng
Beteng

g.

Upacara
Siraman/
Jamasan
Pusaka
Dan
Labuhan
Dalam bulan pertama kalender Jawa, Suro, Keraton Yogyakarta memiliki

upacara tradisi khas yaitu Upacara Siraman/Jamasan Pusaka dan Labuhan.
Siraman/Jamasan

Pusaka

adalah

upacara

yang

dilakukan

dalam

rangka

membersihkan maupun merawat Pusaka Kerajaan (Royal Heirlooms) yang
dimiliki. Upacara ini di selenggarakan di empat tempat. Lokasi pertama adalah di
Kompleks Kedhaton (nDalem Ageng Prabayaksa dan bangsal Manis). Upacara di
lokasi ini 'tertutup untuk umum dan hanya diikuti oleh keluarga kerajaan.
Lokasi kedua dan ketiga berturut turut di kompleks Roto Wijayan dan Alunalun. Di Roto Wijayan yang dibersihkan/dirawat adalah kereta-kereta kuda.
Kangjeng Nyai Jimat, kereta resmi kerajaan pada zaman Sultan HB I-IV, selalu
dibersihkan setiap tahun. Kereta kuda lainnya dibersihkan secara bergilir untuk
mendampingi (dalam setahun hanya satu kereta yang mendapat jatah giliran).
Di Alun-alun dilakukan pemangkasan dan perapian ranting dan daun Waringin
Sengker yang berada di tengah-tengah lapangan. Lokasi terakhir adalah di
pemakaman raja-raja di Imogiri. Di tempat ini dibersihkan dua bejana yaitu Kyai

Danumaya dan Danumurti. Di lokasi kedua, ketiga, dan keempat masyarakat
umum dapat menyaksikan prosesi upacaranya.
Labuhan adalah upacara sedekah yang dilakukan setidaknya di dua tempat
yaitu Pantai Parang Kusumo dan Lereng Gunung Merapi. Di kedua tempat itu
benda-benda milik Sultan seperti nyamping (kain batik), rasukan (pakaian) dan
sebagainya di-larung (harfahhdihanyutkan). Upacara Labuhan di lereng Gunung
Merapi (Kabupaten Sleman) dipimpin oleh Juru Kunci Gunung Merapi (sekarang
Januari 2008 dijabat oleh Mas Ngabehi Suraksa Harga atau yang lebih dikenal
dengan Mbah Marijan) sedangkan di Pantai Parang Kusumo Kabupaten Bantul
dipimpin oleh Juru Kunci Cepuri Parang Kusumo. Benda-benda tersebut
kemudian diperebutkan oleh masyarakat.[77] tertutup untuk umum dan hanya
diikuti oleh keluarga kerajaan.
Lokasi kedua dan ketiga berturut turut di kompleks Roto Wijayan dan Alunalun. Di Roto Wijayan yang dibersihkan/dirawat adalah kereta-kereta kuda.
Kangjeng Nyai Jimat, kereta resmi kerajaan pada zaman Sultan HB I-IV, selalu
dibersihkan setiap tahun. Kereta kuda lainnya dibersihkan secara bergilir untuk
mendampingi (dalam setahun hanya satu kereta yang mendapat jatah giliran).
Di Alun-alun dilakukan pemangkasan dan perapian ranting dan daun Waringin
Sengker yang berada di tengah-tengah lapangan. Lokasi terakhir adalah di
pemakaman raja-raja di Imogiri. Di tempat ini dibersihkan dua bejana yaitu Kyai
Danumaya dan Danumurti. Di lokasi kedua, ketiga, dan keempat masyarakat
umum dapat menyaksikan prosesi upacaranya.
Labuhan adalah upacara sedekah yang dilakukan setidaknya di dua tempat
yaitu Pantai Parang Kusumo dan Lereng Gunung Merapi. Di kedua tempat itu
benda-benda milik Sultan seperti nyamping (kain batik), rasukan (pakaian) dan
sebagainya di-larung (harfahhdihanyutkan). Upacara Labuhan di lereng Gunung
Merapi

(Kabupaten

Sleman)

dipimpin

oleh

Juru

Kunci

Gunung

Merapi

(sebagaimana pernah dijabat Mas Ngabehi Suraksa Harga atau lebih dikenal
dengan nama Mbah Marijan) sedangkan di Pantai Parang Kusumo Kabupaten
Bantul dipimpin oleh Juru Kunci Cepuri Parang Kusumo. Benda-benda tersebut
kemudian diperebutkan oleh masyarakat.
h. Ritual Saparan Bekakak
Ritual Upacara adat Saparan Bekakak adalah sebuah ritual budaya Jawa asli
dari Yogyakarta yang diselenggarakan tiap bulan Sapar dalam penanggalan Jawa

atau safar dalam kalender islam. Siang itu seusai shalat Jumat, ratusan warga
berkumpul untuk bersiap menyaksikan ritual tahunan ini yang berlangsung dari
Balai Desa Ambarketawang, dan diakhiri di pasanggrahan Gunung Gamping,
Sleman, Yogyakarta, dengan menyembelih sepasang pengantin (Bekakak) yang
terbuat dari beras ketan.
Menurut mitos Jawa kuno, dahulu bulan Sapar dianggap sebagai bulan sial
dimana seringkali terjadi sejumlah musibah atau kecelakaan. Kepercayaan ini
mendorong masyarakat Jawa untuk tidak menyelenggarakan berbagai hajatan
seperti pernikahan terutama pada hari rabu terakhir di bulan ini.
Hingga saat ini, masyarakat Jawa di sekitaran kawasan Ambarketawang,
Gamping, Sleman, Yogyakarta, dimana lokasi ini merupakan tempat didirikannya
Kraton Yogyakarta untuk pertama kalinya, masih melaksanakan ritual Saparan
dengan maksud sebagai wujud doa Pada Yang Maha Kuasa agar dihindarkan dari
mara bahaya. Otomatis, ritual adat ini memiliki latar belakang sejarah yang
berasal dari Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat.
Dikisahkan bahwa ada sepasang suami-istri yang merupakan abdi dhalem
setia Kraton pada masa Sri Sultan Hamengku Buwono I (Pangeran Mangkubumi)
bernama Kyai Wirasuta dan Nyi Wirasuta. Sebagai Kanjeng Sinuhun yang
pertama, Sultan Hamengku Buwono I bermaksud mendirikan sebuah istana
(Kraton) sebagai kediaman kerajaannya. Sembari menunggu pembangunan
selesai, Sultan memilih beristirahat sejenak di sebuah pasanggrahan yang
terletak di Desa Ambarketawang yang pada waktu itu sebagian besar
masyarakatnya bermata pencaharian dengan menambang batu gamping.
Setelah selesainya Kraton dibangun, Sultan beserta para abdi dhalem
hendak kembali ke Kraton namun tidak dengan kedua abdi dhalem tadi. Kyai dan
Nyi Wirasuta memilih untuk menetap di pasanggrahan bekas tempat singgah
Sultan pertama tersebut. Malapetaka tak diduga terjadi, pada Jumat Kliwon bulan
Sapar, Gunung Gamping runtuh dan menewaskan kedua abdi dhalem tersebut.
Anehnya, jasad mereka tidak ditemukan hingga sekarang.
Seiring

berjalannya

waktu,

masyarakat

Ambarketawang,

Gamping

diresahkan dengan musibah serupa yang terjadi tiap bulan Sapar. Masyarakat
setempat meyakini arwah Kyai dan Nyi Wirasuta masih menempati Gunung
Gamping. Mengetahui keresahan tersebut, Sri Sultan bertitah pada masyarkat
Ambarketawang agar tiap bulan Sapar mengadakan upacara selamatan dengan

menyembelih sepasang pengantin (Bekakak) yang terbuat dari campuran beras
ketan yang dimaksudkan untuk menggantikan Kyai dan Nyi Wirasuta serta warga
lain yang tertimpa musibah longsornya Gunung Gamping agar tidak terjadi
bencana serupa di wilayah ini. Ritual adat ini berlangsung terus menerus hingga
sekarang dengan tidak mengurangi nilai dan makna dari tiap prosesinya. Ritual
Saparan Bekakak yang dahulu sebagai wujud tolak bala masyarakat Jawa saat ini
telah terintegrasi pada mitos sejarah dan legenda lokal yang tetap diuri-uri
secara konsisten oleh masyarakat setempat lebih dari sebuah ritual budaya,
namun sebagai komoditi bagi daya tarik wisata lokal maupun manca Negara.
i.

Ruwatan
Ruwatan, sebagai salah satu warisan upacara tradisional Jawa sampai

sekarang

masih

terlestarikan.

Terlestarikannya

upacara

ini

oleh

karena

keberadaaannya memang dianggap masih bermanfaat bagi pelestarinya.
Lepas dari itu, menurut beberapa ahli Ruwatan semula berkembang di
dalam suatu cerita Jawa kuno yang pada pokoknya memuat masalah penyucian.
Penyucian ini menyangkut pembebasan para dewa yang terkena kutukan atau
tidak suci (diturunkan derajatnya) menjadi binatang, raksasa, manusia, dan
sebagainya. Ruwatan ini dilakukan untuk membebaskan dewa-dewa bernoda itu
agar menjadi dewa kembali.
Ruwat

juga

sering

diartikan

sebagai

upaya

untuk

mengatasi

atau

menghindarkan sesuatu kesulitan (batin) yang mungkin akan diterima seseorang
di dalam mengarungi kehidupannya. Ruwatan biasanya selalu diikuti dengan
pertunjukan wayang kulit yang mengambil lakon tertentu (misalnya Murwakala
atau Sudamala). Munculnya Ruwatan juga disebabkan oleh adanya keyakinan
bahwa manusia yang dianggap cacat keberadaannya (karena kelahirannya atau
kesalahannya dalam berperilaku) perlu “ditempatkan” atau dikembalikan dalam
tata kosmis yang benar agar perjalanan hidupnya menjadi lebih tenang,
tenteram, sehat, sejahtera, dan bahagia. Orang yang dianggap cacad karena
kelahiran dan juga karena kesalahannya dalam bertindak dalam masyarakat
Jawa disebut sebagai wong sukerta. Dalam keyakinan Jawa wong sukerta ini
kalau tidak diruwat akan menjadi mangsa Batara Kala.
Batara Kala adalah putra Batara Guru yang lahir karena nafsu yang tidak
terkendalikan. Ceritanya, waktu itu Batara Guru dan Dewi Uma sedang
bercengkerama dengan menaiki seekor lembu melintas di atas samudera. Tiba-

tiba hasrat seksual Batara Guru timbul. Ia ingin menyetubuhi istrinya di atsa
punggung Lembu Andini. Dewi Uma menolaknya. Akhirnya sperma Batara Guru
pun terjatuh ke tengah samudera. Sperma ini kemudian menjelma menjadi
raksasa yang dikenal bernama Batara Kala. Sperma yang jatuh tidak pada
tempatnya ini dalam bahasa Jawa disebut sebagai kama salah kendhang
gemulung. Jadi Batara Kala ini merupakan perwujudkan dari kama salah itu.
Dalam perkembangannya, Batara Kala minta makanan yang berwujud
manusia kepada Batara Guru. Batara Guru mengijinkan asal yang dimakannya
itu adalah manusia yang digolongkan dalam kategori wong sukerta. Wong
sukerta atau orang-orang yang digolongkan sebagai wong sukerta ini ternyata
memiliki beberapa versi pula. Salah satu versi menyatakan bawah golongan
wong sukerta ada 19 jenis, ada pula sumber yang menyatakan bahwa jenis wong
sukerta ada 60 macam, 147, 136, dan sebagainya.
Untuk melaksanakan Ruwatan ini orang yang menyelenggarakan biasanya
akan melengkapi syarat-syarat yang diperlukan, di antaranya adalah sajen.
Sajen untuk upacara Ruwatan secara garis besar terdiri atas: tuwuhan,
ratus/kemenyan wangi, kain mori putih dengan panjang sekitar 3 meter, kain
batik 5 (lima) helai), padi segedeng (4 ikat sebelah-menyebelah ujung gawang
kelir), bermacam-macam nasi, bermacam-macam jenang, jajan pasar, benang
lawe, berbagai unggas sepasang-sepasang, aneka rujak, sajen buangan, air tujuh
sumber, aneka umbi-umbian, aneka peralatan pertukangan, aneka peralatan
pertanian, dan sebagainya.



Sumber Daya Alam Di DIY
Potensi sumber daya alam yang ada di provinsi DIY bervariasi, antara lain :
a) Sumber Daya Hutan
Luas hutan negara di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta seluas
17.064,364 Ha atau 5,36luas wilayah. Menurut fungsi hutan maka
Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dapat dibedakan menjadi hutan
lindung seluas 1.461,53 Ha , hutan wisata 118,5465 Ha ,hutan cagar
alam 164,7875 Ha dan hutan produksi seluas 15.329,5 Ha .

Di

antara

4 kabupaten

dan

1 kota,

Kabupaten

Gunungkidul

mempunyai kawasan hutan produksi terluas, yaitu 13.221,5 Ha dan
622,25 Ha dimanfaatkan sebagai hutan pendidikan yang dikelola
oleh Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada. Sedangkan
Kabupaten Sleman mempunyai dengan luas 1.744,864 Ha yang
dimanfaatkan sebagai hutan lindung, hutan wisata dan hutan cagar
alam, yaitu hutan cagar alam Plawangan-Turgo seluas 164,75 Ha.
Bencana alam yang terbesar pada akhir Nopember 1994 dengan
adanya lahar dan awan panas Gunung Merapi menghanguskan
kawasan hutan seluas 749,30 hektar. Sebagai Hutan Taman Wisata
terdiri dari Hutan Taman Wisata Plawangan Turgo 117,5 ha dan
Gunung Gamping 1,0465 Ha.
Wilayah pengelolaan hutan dibagi menjadi 5 wilayah Bagian Daerah
Hutan (BDH) yaitu BDH Playen seluas 4.111,9578 Ha, BDH Paliyan
4.151,1202 Ha, BDH Panggang 1.606,7965 Ha, BDH Karangmojo
3.351,6256 Ha, dan BDH Kulonprogo 3.842,864 Ha. Di samping itu,
masih terdapat lahan kritis seluas 28.000 Ha, yang meliputi seluas
3.000 Ha merupakan lahan kritis di dalam kawasan dan seluas
25.000 Ha merupakan lahan kritis di luar kawasan hutan yang
memerlukan penanganan yang serius. Perkembangan luas jenis
tanaman

kehutanan

di

Propinsi

Daerah

Istimewa

Yogyakarta

disajikan pada Tabel II-2.
Untuk meningkatkan fungsi konservasi hutan di Propinsi Daerah
Istimewa Yogyakarta , maka kegiatan rehabilitasi hutan senantiasa
mendapat perhatian dan penanganan pertama melalui kegiatankegiatan lain yang mendukung.
Produksi hasil hutan yang dominan yaitu minyak kayu putih, karena
tegakan-tegakan kayu yang mencapai masak tebang semakin
berkurang dan luas tanaman muda semakin bertambah.
Pendapatan asal jasa taman wisata menempati urutan ke dua
setelah minyak kayu putih. Usaha dalam rangka meningkatkan
produksi dan pendapatan dilakukan melalui kegiatan diversifkasi
serta pengembangan dan peningkatan taman wisata. Pada lokasi
RPKH kayu putih dilakukan pemeliharaan tanaman serta penanganan

pada lahan kosong, belukar, dan konversi pada lokasi yang terdapat
tanaman jenis kayu lain.
Dalam

tahun

anggaran

1997/1998

sebagai

kelanjutan

tahun

sebelumnya dilaksanakan kegiatan hutan kemasyarakatan untuk
meningkatkan

interaksi

positif

masyarakat

desa

hutan

dalam

pembangunan hutan serta upaya meningkatkan kesejahteraannya.
b) Sumber Daya Air
Potensi sumberdaya air yang tersedia di Propinsi Daerah Istimewa
Yogyakarta meliputi sumberdaya air permukaan berupa debit sungai
dan bendung air dan airtanah. Sumberdaya air permukaan berupa
debit sungai mengalami fuktuasi antar waktu sebagai fungsi dari
perbedaan musim yang berlangsung di kawasan ini.
Potensi air permukaan di Kabupaten Gunungkidul selain berupa
aliran sungai ketersediaannya berupa genangan atau telaga. Selain
ketersediaannya, potensi air dapat dilihat dari kualitas airnya.
Kualitas air menentukan peruntukan air, baik sebagai airminum,
irigasi, maupun air untuk kegiatan industri.
Ketersediaan air secara umum dipertimbangkan berdasar input air
(hujan), ketersediaan dan kehilangan (losses) yang dikenal sebagai
neraca air. Kondisi neraca airtanah setempat di Propinsi Daerah
Istimewa Yogyakarta diuraikan sebagai berikut:
1. Kondisi Neraca Airtanah di Kawasan Resapan Air
Kawasan resapan air terletak di lereng Gunung Merapi yang meliputi
wilayah Tempel, Turi, Pakem, Cangkringan, Sleman, Ngemplak, dan
sekitarnya. Sebagai sampel pengamatan adalah stasiun Pakem (687
mdpl).
Dari perhitungan menunjukkan bahwa daerah ini memiliki curah
hujan dan surplus (baik periode maupun jeluk) relatif lebih tinggi
dibandingkan

daerah

lain,

sehingga

pengisian

airtanahnya

cenderung lebih banyak. Diduga karena berada di bawah lereng
Gunung Merapi, yang mempunyai latar belakang yang tinggi,
sehingga peluang terjadinya hujan lebih besar. Suhu udara yang
relatif rendah juga memperlambat laju kehilangan air melalui proses
evapotranspirasi.

Daerah ini mengalami periode defsit airtanah sekitar 15 periode (5
bulan lebih) dari akhir Juni sampai pertengahan Oktober. Pada
kenyataannya masalah defsit air dapat dikurangi dengan adanya
sumber mata air yang berasal dari G. Merapi (Kaliurang), sehingga
para

petani

dapat

bercocok

tanam

sepanjang

tahun

secara

bergantian padi-padi-palawija.

2. Kawasan Pertanian Lahan Basah
Daerah yang berpotensi sebagai kawasan pertanian lahan basah
terletak di sebelah selatan Kabupaten Sleman (Seyegan, Minggir,
Moyudan, Godean, Gamping, dan Berbah), serta sebagian besar
Kabupaten Bantul, kecuali Pajangan dan sekitarnya yang digunakan
untuk pertanian lahan kering. Sebagai pewakil diambil data stasiun
penakar hujan Moyudan (96 dpal) dan Sanden (5 m dpal). Hasil
perhitungan neraca air menunjukkan bahwa daerah Moyudan,
mengalami surplus 140 hari sedangkan Sanden dan sekitarnya 50
hari. Periode defsit Moyudan berkisar 190, dan Sanden 270 hari
setiap tahunnya. Dengan demikian periode masa tanam daerah
Moyudan dan sekitarnya tanpa bantuan irigasi selama 180 hari
(Moyudan dan sekitarnya), yang berawal dari pertengahan bulan
Nopember sampai awal Maret namun tidak kontinyu, karena curah
hujan yang tidak merata pada bulan-bulan tersebut.
3. Kawasan Pertanian Lahan Kering
Kawasan pertanian lahan kering tersebar di Sleman (Ngaglik, Depok,
Kalasan,

dan

Mlati),

Bantul

(Pajangan

dan

sekitarnya),

dan

Gunungkidul (Playen, Karangmojo, Paliyan, Semanu, dan Wonosari).
Sebagai sampel digunakan stasiun Kalasan, Pajangan, Semin, dan
Playen.
Daerah Kalasan dan sekitarnya mengalami surplus 259 mm/tahun
yang berlangsung selama 100 hari secara tidak kontinyu, sedangkan
periode defsit berkisar 706 mm/tahun selama 240 hari. Periode
masa tanam selama 130 hari berlangsung dari akhir Nopember
sampai pertengahan April tahun berikutnya. Dengan penambahan air
irigasi sebanyak 25 mm pada bulan Desember dan akhir masa

tanam, maka periode masa tanam bisa kontinyu dan meningkat 30
hari sehingga menjadi 130 hari.
Daerah Pajangan dan sekitarnya mengalami surplus sebesar 453
mm/tahun yang berlangsung selama 130 hari, sedangkan periode
defsit sekitar 617 mm/tahun selama 210 hari. Periode masa tanam
daerah ini 160 hari yang berlangsung dari awal Desember sampai
akhir April tahun berikutnya. Dengan penambahan

air irigasi

sebanyak 141 mm pada akhir masa tanam, maka periode masa
tanam bisa kontinyu dan meningkat 60 hari. Dengan demikian
periode masa tanam di daerah tersebut bisa mencapai 280 hari.
Daerah Semin dan sekitarnya mengalami surplus 628 mm/tahun
selama

180

hari.

Sedangkan

daerah

Playen

dan

sekitarnya

mengalami surplus sekitar 808 mm/tahun selama 140 hari dan defsit
sekitar 462 mm/tahun selama 180 hari yang berlangsung secara
kontinyu.

4. Kawasan Cagar Alam dan Hutan Lindung
Sebagai stasiun sampel dari kawasan cagar alam (Tepus, Rongkop,
dan Panggang) adalah stasiun penakar hujan Tepus, sedangkan
untuk kawasan hutan lindung yang meliputi Gunungkidul sebelah
utara, Patuk, dan Ponjong, digunakan dari stasiun Patuk. Daerah
Tepus mengalami surplus sebanyak 988 mm/tahun selama 150 hari
dan defsit sebanyak 570 mm/tahun selama 180 hari. Sedangkan
defsit sebanyak 570 mm/tahun.
c) Sumber Daya Tambang
Kondisi

geologi

dan

geomorfologi

wilayah

Daerah

Istimewa

Yogyakarta yang beragam mengakibatkan terjadinya variasi potensi
geologi yang diwujudkan dalam potensi bahan tambang. Bahan
tambang terbesar di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta berupa
bahan galian Golongan C yang tersebar di seluruh Daerah Istimewa
Yogyakarta. Sumber daya mineral atau tambang yang ada di DIY
adalah Bahan Galian C yang meliputi, pasir, kerikil, batu gamping,

kalsit, kaolin, dan zeolin serta breksi batu apung. Selain bahan galian
Golongan C tersebut, terdapat bahan galian Golongan A yang berupa
Batu Bara. Batu bara ini sangat terbatas jumlahnya, begitu pula
untuk bahan galian golongan B berupa Pasir Besi (Fe), Mangan (Mn),
Barit (Ba), dan Emas (Au) yang terdapat di Kabupaten Kulon Progo.

LAMPIRAN

DAFTAR PUSTAKA

http://id.wikipedia.org/wiki/Daerah_Istimewa_Yogyakarta
http://www.jogjakota.go.id/
http://www.yogyes.com/id/yogyakarta-tourism-object/
http://id.wikipedia.org/wiki/Candi_Prambanan
http://www.yogyes.com/id/yogyakarta-tourism-object/candi/prambanan/
http://www.yogyes.com/id/yogyakarta-tourism-object/candi/ratu-boko/
http://coretanpetualang.wordpress.com/petualangan-budaya/budayajawa/keraton-yogyakarta-istana-budaya-dan-keindahan-jawa/

http://uniknyajogja.blogspot.com/2012/11/uniknya-ritual-mubengbeteng-di-kraton.html
http://uniknyajogja.blogspot.com/2012/11/ritual-unik-bekakak.html
http://ruwatan-ruwatan.blogspot.com/
http://portalweb.jogjaprov.go.id/index.php