BHP (Badan Hukum Pendidikan)

  

BHP (BADAN HUKUM PENDIDIKAN)

By: Moh. Fuad Zaenul Arwan

I. PENDAHULUAN

  Pendidikan sebagai sebuah sarana menciptakan manusia yang unggul dan berkualitas akan semakin terhambat dan juah dari harapan, jika arus globalisasi dan industrialisasi tidak mampu disikapi dengan menghadirkan kekuatan nilai sebagai filternya. Hal ini penting, mengingat sering terkuaknya problematika, dehumanisasi, dekadensi dan tindakan tidak bermoral yang dilakukan kalangan terpelajar dan terdidik yang mencoreng dunia pendidikan. Sehingga banyak asumsi yang cukup ironis bahwa dunia pendidikan saat ini berjalan di tempat, surat dan tidak ada harapan dalam perbaikan.

  Masuknya arus globalisasi dan industrialisasi sebagai titik tolak tanda kemajuan zaman di satu sisi merupakan angin segar bagi pertumbuhan suatu negara, terutama dari sisi pendapatan negara dan tentu saja ukuran peradaban itu sendiri. Di sisi yang lain, yang harus diwaspadai dari hadirnya era ini adalah perubahan signifikan dari pola dan gaya hidup manusia yang mengarah pada gaya hidup instan, hipokrit, orientasi sesaat dan tidak mengindahkan nilai-nilai moral. Jika arus globalisasi dan industrialisasi ini tidak dihadapi dengan bijak, maka sudah barang tentu akan merugikan banyak hal, terutama pembagunan aspek moralitas yang menjadi standar kepribadian suatu bangsa.

  Lembaga Pendidikan yang dikelola oleh lembaga pendidikan dari berbagai jenjang memiliki hambatan yang cukup signifikan seiring dengan timbulnya persoalan di atas. Salah satunya adalah lembaga pendidikan tinggi. Perguruan tinggi sebagai lembaga pendidikan yang berorientasi dalam menciptakan intelektual muda yang berkualitas dan menjadi tolak ukur bagi masyarakat dalam menilai produk perguruan tinggi tersebut.

II. RUMUSAN MASALAH

  

1. Apa penyebab munculnya Badan Hukum Pendidikan (BHP)?

  2. Apa pengertian Badan Hukum Pendidikan (BHP)?

  3. Hubungan RUU BHP: Pintu Neo-Liberalisme?

  4. Bagaimana Sikap dan Dampak yang Dihadapi PTN Paska Lahirnya

  BHP?

III. PEMBAHASAN

1. Sebab Munculnya Badan Hukum Pendidikan (BHP)

  Pengelolaan sumber daya manusia merupakan isu sentral dalam pengelolaan perguruan tinggi. Sebuah lembaga pendidikan termasuk perguruan tinggi diharuskan menghasilkan SDM yang mampu

  pertama; mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi, kedua;

  mengolah potensi-potensi pembangunan, ketiga; meningkatkan produktifitas, modal, dan investasi; serta keempat; SDM yang peka dan termotivasi untuk menerapkan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam Salah satu upaya pemerintah untuk meningkatkan SDM dan kapasitas otonomi perguruan tinggi, maka dilakukan perubahan status badan hukum perguruan tinggi negri (PTN) menjadi Badan Hukum Milik Negara (BHMN). Jadi Badan Hukum Pendidikan (BHP) merupakan tranformasi dari Badan Hukum Milik Negara (BHMN).

  Terdapat beberapa alasan mendasar pemerintah mengubah status badan hukum perguruan tinggi (PTN), yaitu:

  1. Guna menjalankan amanat UU nomor 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional, apad pasal 51 ayat 2 tentang prinsip pelaksanaan pengelolaan satuan pendidikan tinggi yang dilaksanakan secara otonom dan pasal 53 ayat 1-3 tentang badan 1 sistem pendidikan tinggi yang dilaksanakan secara mandiri,

  Hasbullah, Otonomi Pendidikan: Kebijakan Otonomi Daerah dan Implikasinya Terhadap Penyelenggaraan Pendidikan (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2007), hlm. 136 berorientasi mutu, prinsip nirlaba, serta mempu mengelola dana pendidikan secara mandiri.

  2. Pemerintah mengalami kendala pendidikan yang cukup serius, akibatnya banyak institusi pendidikan yang terbengkalai tanpa ada perhatian pengembangan dari pemerintah. Kendala pendanaan ini mungkin memang pemerintah tidak memiliki cukup dana untuk membiayai pendidikan, atau bisa saja karena penyimpangan dana pendidikan yang tidak tepat peruntukannya.

  3. Banyaknya kalangan yang menilai kinerja perguruan tinggi negeri dirasa masih kurang memuaskan sehingga perlu adanya treatment baru dalam pengelolaannya. Dapat dilihat dari tingginya inefisiensi yang dilakukan di beberapa PTN. Pola pelayanan para

  stakeholders dianggap masih probirokrat sehingga kesan layanan yang masih lambat, dan tidak produktif.

  Banyak kalangan yang menilai bahwa pengelolaan lembaga Perguruan Tinggi belum mencapai hakekat dan tujuan pendidikan itu sendiri. Beberapa pendapat berasumsi dengan berbagai keprihatinan tehadap pengelolaan lembaga pendidikan tinggi.

  1. Munculnya paham liberalisme dan bahkan neoliberalisme, memunculkan paradigma bahwa pendidikan tidak hanya berkutat tentang bagaimana proses transformasi nilai itu diberikan kepada peserta didik. Sebagai upaya dalam menciptakan manusia yang unggul dan berkualitas sesuai dengan amanat Undang-Undang, melaikan pendidikan dapat dijadikan sebagai obyek dan peserta didik sebagai capted market, lembaga pendidikan sebagai media untuk mendapatkan keuntungan finansial dari kalangan kapital

  

  (PemodalImbasnya adalah lahirnya komersialisasi pendidikan di

2 Har Tilaar, Kekuasaan dan Pendidikan : Suatu Tinjauan Dari Perspektif Studi Kultural,

  (Magelang : Indonesiatera, 2003), hlm. 245

  Perguruan Tinggi (PT) dan sudah barang tentu, kuliah di PT hanya mampu dicapai oleh orang-orang mampu (the have), dan sebaliknya, kuliah di PT hanya menjadi kembang tidur bagi kalangan miskin (the poor).

  2. Adanya harapan perbaikan dalam sistem pendidikan nasional dengan lahirnya perubahan paradigma dari sentralistik ke desantralisasi dalam wujud otonomi daerah belum sepenuhnya dijalankan meskipun sudah tertuang dalam amanat Undang- Undang No. 20 Tahun 2003, yaitu pendelasian otoritas pendidikan pada daerah dan mendorong otonomisasi di tingkat sekolah, serta pelibatan masyarakat dalam program-program kurikuler serta pengembagan lainnya dan menjadikan pemerintah bersifat fasilitator terhadap berbagai usulan dan pengembangan

  

  pendidikaHal ini dapat dilihat dari standar mutu kelulusan pendidikan, kurikulum, dan kebijakan makro lainnya dalam segi oprasionalnya tidak sesuai dengan asas disentralisasi. Kasus standar kelulusan, yaitu Ujian Nasional (UN) yang terus mendapat sorotan dari berbagai praktisi pendidikan tentang masih kuatnya intervensi pusat.

2. Pengertian Badan Hukum Pendidikan (BHP)

  RUU BHP adalah Rancangan Undang-Undang Badah Hukum Perguruan Tinggi yang bertujuan melengkapi sejumlah badan hukum yang sudah ada. Adapun jenis badan hukum yang selama ini dikenal adalah perseroan terbatas (PT), koperasi, yayasan, perusahaan umum (perum), badan layanan umum (BLU), perhimpunan, dan yang paling baru adalah badan hukum milik negara (BHMN). Berbagai jenis badan hukum, kecuali BHMN, dianggap kurang memadai sebagai

3 Dede Rosyada, Paradigma Pendidikan Demokratis : Sebuah Model Pelibatan Masyarakat

  dalam Penyelenggaraan Pendidikan, (Jakarta : Kencana Prenada Media Group, 2007), hlm. 7

  "kendaraan" yang mengelola pendidikan. PT jelas kurang pas karena fungsi PT adalah mencari keuntungan. Apalagi berbagai organ dalam PT tidak dapat digunakan untuk mengakomodasi pengurus lembaga pendidikan, seperti kepala sekolah dan rektor. Demikian pula dengan Setidaknya ada dua alasan mendasar mengapa RUU BHP dimunculkan: 1) Lembaga pendidikan "negeri" yang selama ini merupakan bagian dari instansi pemerintah dalam bentuk unit pelaksana teknis (UPT) ingin dimandirikan dengan status sebagai badan hukum. UPT yang menjadi badan hukum bukanlah lembaga pendidikan, melainkan Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas). Kalaupun pengurus lembaga pendidikan dapat mengikatkan lembaganya dengan pihak ketiga, kewenangan tersebut berasal dari pendelegasian kewenangan yang dimiliki oleh Menteri Pendidikan Nasional. 2) Dimunculkannya RUU BHP terkait dengan penyelenggaraan pendidikan oleh pihak swasta. Hampir semua penyelenggara pendidikan swasta dilakukan oleh badan hukum berupa yayasan. Penggunaan yayasan memunculkan dua kepengurusan, yaitu pengurus yayasan dan pengurus lembaga pendidikan. Pengelolaan lembaga pendidikan diserahkan kepada institusi yang dikenal dalam lembaga tersebut. Dalam beberapa tahun terakhir kerap muncul perselisihan antara pengurus Yayasan dan pengurus lembaga pendidikan. Bagi Depdiknas kehadiran RUU BHP diharapkan menjadi solusi untuk menghilangkan kepengurusan ganda. Namun di sisi lain, RUU BHP menjadi sumber kekhawatiran bagi pengurus yayasan. Hal ini karena fungsi pengurus yayasan akan hilang. Pengurus yayasan akan

4 Lihat RUU BHP situs www. Depdiknas.org. 23/10/2009

  merupakan bagian dari lembaga pendidikan. Bila RUU BHP menjadi UU, pengurus yayasan tidak akan lagi memiliki kewenangan yang selama ini ada, seperti pengangkatan kepala sekolah dan rektor berikut perangkatnya. Bahkan pengurus yayasan tidak dapat lagi bertindak sebagai pemilik dari lembaga pendidikan

  

3. RUU BHP: Pintu Neo-Liberalisme

  Dalam konsideran UU No. 20 tahun 2003 tentang SISDIKNAS Butir c. telah dirumuskan sebagai berikut: “sistem pendidikan nasional harus mampu menjamin pemerataan kesempatan pendidikan, peningkatan mutu serta relevansi dan efisiensi manajemen pendidikan untuk menghadapi tantangan sesuai dengan tuntuan perubahan kehidupan lokal, nasional, dan global sehingga perlu dilakukan pembaharuan pendidikan secara terencana, terarah, dan berkesinambungan.

  Untuk mencapai tujuan tersebut Pemerintah menetapkan perlunya penataan dan restrukturisasi sistem pendidikan pada tataran nasional sampai satuan pendidikan sehingga sistem tersebut memiliki kredibilitas yang tinggi dan akuntabel terhadap publik. Salah satu penataan untuk mencapai tujuan tersebut adalah menetapkan penyelenggara dan/atau satuan pendidikan formal harus berbentuk badan hukum pendidikan. UU No. 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas menetapkan dalam Pasal 53 (1) s/d (4) sebagai berikut: 1) Penyelengara dan/atau satuan pendidikan formal yang didirikan oleh Pemerintah dan masyarakat berbentuk badan hukum pendidikan. 5 (1) berfungsi memberikan pelayanan kepada peserta didik.

  Hikmahanto Juwana, Apa Tujuan RUU BHP, http://www.kompas.com/kompas-cetak/0611/20/humaniora/3105718.htm. 25/10/2009

  3) Badan hukum sebagaimana dimasudkan dalam ayat (1) berprinsip nirlaba dan dapat mengelola dana secara mandiri untuk memajukan sistem pendidikan. 4) Ketentuan tentang badan hukum pendidikan diatur dengan

  

  Prof. Dr. Winarno Surakhmad, M.Sc.,Ed. mengatakan, keterbatasan itu mengakibatkan bahwa "inti permasalahan pendidikan" yang fundamental tidak pernah tersentuh, apalagi terpecahkan. Mem- BHP-kan dunia pendidikan seperti yang dicanangkan pemerintah (berdasarkan draf Depdiknas), beserta segala implikasinya (terutama privatisasi dan komersialisasi), serta segala konsekuensi dan dampaknya (terutama biaya dan kualitas), diperhitungkan akan lebih banyak mudaratnya daripada manfaatnya bagi masyarakat. Masih harus dimasalahkan apakah mati hidupnya pendidikan nasional dewasa ini ditentukan ada tidaknya BHP. Sedikitnya, gagasan ini dapat membunuh inisiatif, kreativitas, dan spontanitas masyarakat, apabila diterapkan dengan diagnosis yang salah, dan dengan terapi yang salah,

  

  Perubahan paradigma pendidikan yang dilakukan oleh Pemerintah pastilah dipengaruhi oleh pandangan WTO tentang sektor industri atau usaha produktif. Sektor Primer adalah bidang-bidang usaha ekstraksi hasil tambang dan pertanian. Sektor Sekunder adalah semua bidang usaha pengolahan bahan dasar menjadi barang, bangunan, produk manufaktur dan barang yang diperlukan oleh publik (utilities). Sektor tersier adalah semua bidang usaha jasa untuk merubah wujud benda fisik (physical services), keadaan manusia

  6 Sofian Effendi, Implikasi RUU BHP dan Perpres No. 77/2007 Terhadap Perguruan Tinggi

Islam Swasta, disampaikan dalam Konferensi PTIS se-Indonesia tanggal 08 September 2007 di

7 UII. Download tgl 26/10/2009.

  Sali Iskandar, Pro-Kontra Rencana Mem-BHP-kan Dunia Pendidikan (2005), 10/2009

  (human services) dan benda simbolik (information and communication services). Sesuai dengan tipologi tersebut, WTO menetapkan pendidikan sebagai salah satu bidang usaha sektor tersier, karena kegiatan pokoknya ialah mentransformasi orang yang tidak berpengetahuan dan orang yang tidak berketrampilan menjadi orang berpengetahuan dan orang yang memiliki ketrampilan.

  Upaya reformasi pendidikan melalui kehidupan demokratis, terutama dalam hal pemerataan dalam bidang pendidikan sesuai dengan amanat Undang-Undang No. 20 tahun 2003 tidak akan tercapai. Pendidikan dianggap telah menjadi barang mahal, tidak terjangkau, dan hanya bagi golongan mampu yang mengenyamnya. Bila demikian, dapat dikatakan sudah terjadi ambiguitas antara idealisasi pendidikan yang mengusung aspek egaliter, pemerataan, relevansi dan efesiensi. Dari aspek efesiensi, barangkali pemerintah cukup efesien, karena yang seharusnya lembaga PT disubsidi pemerintah tidak lagi, sehingga pemerintah dapat mengalokaskan angaran untuk aspek lainnya.

4. Sikap dan Dampak yang Dihadapi PTN Paska Lahirnya BHP

  Pengaruh globalisasi yang ditandai dengan hadirnya WTO dan GATT sebagai kekuatan monopoli pasar, sudah barang tentu berpengaruh pada pengambilan kebijakan pemerintah dalam sektor pendidikan. Sehingga implikasi yang muncul adalah komersialisasi pendidikan itu sendiri. Persoalannya adalah bagaimana sikap perguruan tinggi saat ini menghadapi derasnya arus globalisasi dan libealisasi tersebut.

  a. Perguruan tinggi harus bersikap kritis dalam menyikapi kebijakan pemerintah melalui RUU BHP dengan memberikan pemikiran persoalan hidup masyarakat yang dilindungi oleh negara. Pemikiran tersebut melihat dengan sikap bijak tentang dampak yang akan ditimbulkan, bila RUU BHP disahkan menjadi Undang- Undang dan sudah barang tentu akan dilaksanakan ditingkat operasional. Dilihat bagaimana dampak positif dan negatifnya terhadap keberlangsungan kehidupan berbangsa dan bernegara, serta keberlangsungan reformasi pendidikan yang tengah berjalan.

  b. Perguruan tinggi sudah harus berfikir tentang bagaimana mutu atau kualitas lembaga pendidikan tinggi bisa jauh lebih baik dengan meningkatkan standar mutu melalui ketrlibatan akreditasi nasional dan bahkan standar internasional. Hal ini penting untuk menambah daya saing perguruan tinggi buan saja pada level nasional, akan tetapi internasional yang selama ini, Indonesia dipandang jauh tertinggal dengan negara-negara lain yang sudah menerapkan standar mutu sebagai bagian pencapaian tujuan pendididikan.

  Dalam realitas kelahiran PT BHMN pada akhirnya mendulang sejumlah kontrovensi dan menimbulkan dampak yang cukup signifikan dalam pengelolaan pendidikan dilapangan. Di antara dampak langsung dari PT BHMN adalah semakin mahalnya biaya pendidikan yang harus ditanggung oleh masyarakat

  Konsekuensinya

  keharusan almamater untuk lebih bersifat entrepreneurial, dengan lebih berorientasi pada sektor bisnis dan manajemen yang lebih efesien dan efektif. Disini dapat dipahami kebutuhan perguruan tinggi yang besar dan mahal untuk membiayai penyelenggaraan proses pendidikan yang baik dan bermutu.

IV. ANALISIS

  Mem-BHP kan perguruan tinggi menurut hemat kami, bahwa ada upaya untuk swastanisasi lembaga perguruan tinggi, dimana peran pemerintah dalam pengelolaan dan manajemen, terutama yang berkaitan BHMN semakin kecil. Pengelolaan diserahkan sepenuhnya kepada pihak 8 Hasbullah, Ibid, hlm. 137 swasta (baca : pemodal) yang menanamkan kepemilikan melalui saham. Sehingga yang terjadi adalah ketidakbebasan pergurua tinggi dari aspek nilai-nilai yang dimiliki pihak swasta. Pendidikan tinggi dapat dijadikan sebuah sarana komersil bagi pemilik modal untuk meraup keuntungan.

  Jika hal ini terjadi, maka lembaga pendidikan tinggi akan dihinggapi oleh budaya corporate, yaitu yang dikuasai oleh konsumerisme dan hubungan-hubungan atau kekuatan pasar. Hal ini merupakan bahaya dalam kehidupan demokrasi karena nilai-nilai moral mulai menghilang dalam kehidupan publik. Budaya corporate ini merupakan sumber kekuasaan di

  

  RUU BHP yang diusulkan pemerintah kepada DPR dan bila disahkan akan menjadi Undang-Undang, penulis melihat bahwa persoalan pendidikan di Indonesia lebih banyak didekati dan dipahami dari aspek politik dimana hegemoni negara begitu kuat untuk memposisikan diri sebagai kekuatan absolut dan mengatur dirinya dalam bentuk kebijakan yang kurang populis, yang seharusnya pendidikan disikapi dengan landasan filosofis dan demokratis. Maka bila dilahat apa yang dilakukan pemerintah melalui perpres No. 76 dan 77 tahun 2007 dan diusukan menjadi BHP lebih banyak modharatnya, ketimbang manfaatnya.

V. KESIMPULAN

  Pengelolaan sumber daya manusia merupakan isu sentral dalam pengelolaan perguruan tinggi. Sebuah lembaga pendidikan termasuk perguruan tinggi diharuskan menghasilkan SDM yang mampu pertama; mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi, kedua; mngolah potensi- potensi pembangunan, ketiga; meningkatkan produktifitas, modal, dan investasi; serta keempat; SDM yang peka dan termotivasi untuk menerapka ilmu pengetahuan dan teknologi dalam pembangunan (Surakhmad, 1999:

9 Har Tilaar, Op.Cit, hal 245

  RUU BHP adalah Rancangan Undang-Undang Badah Hukum Perguruan Tinggi yang berujuan melengkapi sejumlah badan hukum yang sudah ada. Adapun jenis badan hukum yang selama ini dikenal adalah perseroan terbatas (PT), koperasi, yayasan, perusahaan umum (perum), badan layanan umum (BLU), perhimpunan, dan yang paling baru adalah badan hukum milik negara (BHMN). Berbagai jenis badan hukum, kecuali BHMN, dianggap kurang memadai sebagai "kendaraan" yang mengelola pendidikan. PT jelas kurang pas karena fungsi PT adalah mencari keuntungan. Apalagi berbagai organ dalam PT tidak dapat digunakan untuk mengakomodasi pengurus lembaga pendidikan, seperti kepala sekolah dan rektor. Demikian pula dengan koperasi, perum, dan BLU.

VI. PENUTUP

  Demikian makalah ini kami sampaikan, semoga dapat bermanfaat bagi kita semua. Khususnya bagi para pembaca yang budiman. Penulis menyadari dalam penulisan makalah ini masih terdapat banyak kesalahan baik dari segi penjelasannya maupun penulisnya. Oleh karena itu diharapkan saran dan kritiknya yang konstruktif.