ELASTISITAS HUKUM ISLAM (Studi Konsep Hukum Al-Sha’rani Dalam Kitab Al-Mizan Al-Kubro) M. Adib Hamzawi Abstract - ELASTISITAS HUKUM ISLAM (Studi Konsep Hukum Al-Sha’rani Dalam Kitab Al-Mizan Al-Kubro

ELASTISITAS HUKUM ISLAM
(Studi Konsep Hukum Al-Sha’rani Dalam Kitab Al-Mizan Al-Kubro)
M. Adib Hamzawi*

Abstract
The Islamic education convised had absolute truth. But the truth of fiqih as Islamic
education aplication concept not ever confessed absolute, the procces of fiqih formulation
influenced by approach methode, surrounding and social-culture atmosphere, mujtahid
turned up distinction wich implicated to pluralist of Islamic law. Beside it was gleaming
activity in the beginning of Islam. But another side the result of vanery ikhtilaf exactly
made broked fraternity of religious life. The singular truth claim and primordialisme
behavior of people made weak the shari’ah shine clamed as sali{h li kulli zaman wa almakan. Where is the recite about ikhtilaf needed to look for the solution in ordered the
variety became bless and impact and impact of was destruktif for moeslem people. AlSha’rani by means of his creation al-Mi>zan al-Kubra with explanatoris evaluative
character was one of Ulama’ found the handling ikhtilaf concept. Fiqih in al-Sha’rani
perspective had to look in elastition a manner two valence that was azimah had tashdi>d
character and rukhsoh had takhfif character. In ordered the plurality of fiqih not to
negative impact the pluratition of fiqih not to negative impact. Al-Sha’rani gave two
concept in holding ikhtilaf problem. The first the meaning shari’ah in a extensive manner
the second the employing Al-Jami wa al-Taufiq method. Finnaly moslem people had to
always breadned firmament knowledge about Islmic shari’ah. Where as application had
to be classifier about situation and condition wich incuded it. By means Islam as Rahmah

lil’alamin religion materialized.
Keywords : al-Sha’rani, fiqh, shari’ah, al-mizan
Pendahuluan
Ajaran Islam diyakini memiliki
kebenaran absolut, final dan berlaku
sepanjang zaman (salih li kull al-zaman wa
al-makan). Konsekuensinyasegala yang
berkaitan dengan Islam, harus bisa
mengejawantahkan universalitas Islam
tersebut, tak terkecuali hukum Islam1.
Hukum Islam yang dalam istilah teknis
* Dosen Tetap STAI Hasanuddin Pare Kediri
Abdurrahman Wahid, “Menjadikan Hukum
Islam sebagai Penunjang Pembangunan” Jurnal
Prisma, (Jakarta: LP3ES, nomor 4, Agustus, 1995),
37. Lihat juga dalam Sayyed Hossein Nasser, Islamic
Life and Thought (Albany: State University of New
York Press, 1981), 24-27.
1


24

akademis disebut fiqih2 mencakup semua
aspek perilakuumat Islam. Oleh karena itu,
apa yang secara sederhana dinamakan
2Pengertian

hukum Islam sebagai terjemah
dari istilah fiqih seperti yang penulis gunakan,
sekalipun cukup populer namun belum menjadi
konvensi yang disepakati oleh seluruh pengkaji
hukum Islam. Coulson misalnya, ia mengartikan
fiqih sebagai jurisprudensi Islam. Sedangkan Watt
justru menganggap bahwa makna hukum Islam,
fiqih, shari‘ah atau yurisprudensi adalah sama.Ada
juga yang membedakan makna hukum Islam dalam
konteks prinsip-prinsip umumnya (shari‘ah) dan
dalam konteks teknis aplikasinya (fiqih).
Selengkapnya lihat Dahlan Tamrin, Filsafat Hukum
Islam (Malang: UIN Malang Press, 2007), 8. William

Montgomery Watt, Islam, terj. Imron Rosadi
(Yogyakarta: Jendela, 2002), 105.

Jurnal al–Hikmah vol. 4 no. 2 Oktober 2016 24~35

fiqih, sesungguhnya adalah tata hidup
religiusitas Islam itu sendiri3.
Realitanya, kebenaran fiqih sebagai
konsep aplikasi ajaran Islam ternyata tidak
selamanya diakui absolut. Fiqih sebagai
produk penalaran intelektual ulama
(ijtihad) sangat dipengaruhi lingkungan
historis dan atmosfir sosio-kultur yang
melingkupi pribadi para mujtahid. Selain
itu, pemilihan metode dan pola pendekatan
juga turut mempengaruhi hasil sebuah
ijtihad4. Pada akhirnya, dalam satu
persoalaan fiqihdapat memiliki beragam
rumusan hukum yang dinamakan ikhtilaf
(perbedaan kesimpulan hukum di antara

ulama).
Luasnya ikhtilaf yang berimplikasi
pluralitas fiqihsesunguhnya merupakan
berkah bagi umat Islam. Tersedia berbagai
alternatif pengamalan ajaran agama yang
bisa dipilih oleh seorang mukallaf sesuai
dengan kondisi yang mengitarinya.
Pluralitas hukum seperti itulah yang
menjadikan hukum Islam terlihat elastis.
Dan karena elastisitasnya, hukum Islam
dapat berkembang di lingkungan yang
memiliki sosio-budaya yang sangat kontras
sekalipun di dalam waktu yang bersamaan.
Kajian mengenai ikhtilaf merupakan
hal yang penting bagi para pengkaji hukum
Islam. Khusus bagi ulama, kapasitas
pemahaman yang memadai tentang ikhtilaf
menjadi tidak terelakkan. Pentingnya
memahami
ikhtilaf

tergambar
dari
peribahasa Arab klasik;“man lam ya‘rif alikhtilaf lam yashum raihat al-fiqh”5
(Barangsiapa belum memahami selukbeluk ikhtilaf, niscaya tidak akan bisa
merasakan aroma fiqih).

JND Anderson, Islamic Law in Modern
World (New York: New York University Press,
1959), 4.
4Lahmuddin Nasution, Pembaruan Hukum
Islam (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2002), 13.
5Noel
J.
Coulson,
Konflik
dalam
Yurisprudensi Islam, terj. Fuad (Yogyakarta: Navila,
2001), 26.
3


M. Adib Hamzawi, Elastisitas Hukum Islam…

Pada realitasnya, keragaman konsep
hukum ternyata menimbulkan dilema
tersendiri bagi umat Islam. Lahirnya
madhhab-madhhab hukum yang menjadi
kecemerlangan
aktivitas
intelektual
generasi awal umat Islam, ternyata juga
menimbulkan efek yang tidak diinginkan
oleh para pendirinya. Di antara efek
tersebut ialah terganggunya ukhuwwah di
antara umat Islam dan munculnya
kesulitan dalam merumuskan hukum
dalam bentuk respon bersama terhadap
permasalahan baru yang timbul kemudian6.
Efek lainnya adalah menurunnya intensitas
dialog intelektual lintas madhhab secara
sehat. Pola sektarian yang muncul dari para

pengikut madhab berbanding lurus dengan
kecenderungan melemahnya kreativitas
dan semangat inovasi untuk menciptakan
produk fiqih yang baru.
Dalam
konteks
kehidupan
bermasyarakat, sikap intelektual seperti itu
sama
dengan
menyuburkan
bibit
konservatisme dan memupuk semangat
fanatisme sektarian yang bisa berakibat
destruktif7. Tersedianya berbagai rumusan
hukum tidak dapat dimanfaatkan secara
maksimal oleh sebagian besar masyarakat
Muslim yang terdidik untuk secara apriori
mengafiliasikan dirinya dengan aliran
madhhab tertentu secara kaku. Pada

akhirnya, pluralitas fiqih yang seharusnya
menjadi “berkah” belum bisa terefleksikan
secara sempurna dalam kehidupan umat
Islam.
Menanggapi
keadaan
tersebut,
sejumlah ulama berupaya melakukan
terobosan dengan melaksanakan studi
hukum lintas aliran (muqaranah al-

6Ubaid
al-Haqq, “Kebangkitan Kembali
Islam; Tantangan dan Perubahan” dalam Taufiq
Kamal (ed), Tradisi dan Kebangkitan Islam Asia
Tenggara (Jakarta: LP3ES, 1988), 460-465. Lihat
juga Anderson, Islamic Law, hlm. 81-95.
7 A. Syarif al-Din al-Musawi. Isu-Isu Penting
Ikhtilaf, Terj (Bandung: Mizan, 1993), 18.


25

madhahib)8. Salah satunya adalah Abī alMawāhib Abd.al-Wahāb binAhmad bin‘Ali
al-Shāfi‘i(898- 972 H./ 1492-1565 M.) atau
yang lebih dikenal dengan al-Sha‘rani.
Dalam magnum opus-nya, al-Mizan alKubra, al-Sha‘rani menuangkan konsep
bahwa
keragaman
pemikiran
dan
pengamalam hukum dalam kehidupan
umat bukan hanya realitas historis (das
sein) yang harus diterima, namun juga
merupakan
keharusan
moral
(das
sollen)9.Baginya, kebenaran hukum Islam
tidak boleh hanya dibatasi pada mujtahid
tertentu. Oleh karenanya, ia meyakini

kebenaran kesimpulan hukum semua
mujtahid,
khususnya
empat
imam
madhhab. Lebih jauh lagi, kesimpulan
hukum semua mujtahid menurutnya tidak
hanya harus diterima dalam konteks
kebenaran teoritiknya, namun pada level
aplikasinya juga memiliki kedudukan
setara.
Berbagai rumusan hukum dalam
satu masalah yang dihasilkan oleh para
imam madhhab menurut al-Sha‘rani pada
dasarnya tetap berada dalam bingkai
shari‘ah yang benar. Sebab dari keragaman
tersebut ada hukum yang termasuk
kategori berat, sedang dan ringan yang
pelaksanaanya
disesuaikan

dengan
pengamalnya.
Apabila
seseorang
mengamalkan
satu
pendapat
atau
madhhab, maka hal itu bukan berarti
pendapat tersebut satu-satunya yang benar
sedangkan
lainnya
dianggap
salah.
Pengamalan
tersebut
semata-mata
pendapat itu yang paling sesuai dengan
kemampuan
dan
kondisi
dirinya10.
Pandangan al-Sha‘rani terhadap fiqih yang
TM. Hasbi ash-Shiddieqy, Pengantar Ilmu
Perbandingan Mazhab (Jakarta: Bulan Bintang,
1975), 5. Lihat juga dalam Romli SA, Muqaranah
Mazahib fil Ushul (Jakarta: Gaya Media Pratama,
1999), 7.
9al-Sha‘rani,
al-Mizan al-Kubra, Juz I
(Lebanon: Dar al-Fikr, tt), 6.
10Ibid, hlm. 5.
8

26

elastis seperti itu berbeda dengan
kebanyakan ulama yang menyatakan
bahwa jika terdapat banyak pendapat
mengenai satu masalah, maka pada
prinsipnya yang benar hanyalah satu11.
Kajian tentang konsep elastisitas alSha’rani perlu dilakukan karena dua
tinjuan. Tinjauan pertama dari sisi alSha’rani sebagai pengarang kitab al-Mizan
al-Kubro. Figur al-Sha’rani adalah ulama
yang berafiliasi pada madhhab Shafi‘i
sebagaimana mayoritas penduduk muslim
Indonesia. Maka cukup relevan bila
berupayamengaplikasikan
ide-ide
alSha‘rani dalam
menciptakan harmoni
kehidupan beragama bagi umat Islam
Indonesia yang bercorak plural dan
terafiliasi dalam berbagai aliran dan
kelompok.
Tinjauan kedua adalah dari sisi kitab
al-Mizan al-Kubro. Al-Mizan al-Kubro
adalah kitab yang mengupas permasalahan
ikhtilaf dengan cukup komprehensif.AlMizan berisi perbandingan materi hukum
fiqih beserta argumen yang mendasarinya,
sekaligus juga berisi pandangan ontologis
mengenai ikhtilaf berikut penjelasannya.
Atas dasar itu, maka kajian mengenai kitab
al-Mizan
menjadi
signifikan
untuk
dilakukan.
Dibandingkan dengan penelitian
maupun karya yang telah ada sebelumnya,
kajian tentang elastisitas hukum Islam yang
penulis laksanakan sama sekali berbeda.
Tulisan yang ada sebelumnya belum ada
yang membahas tentang bagaimana bentuk
dari elastisitas hukum itu sendiri dan
praktiknya dalam kehidupan. Sedangkan
penelitian ini justru memfokuskan untuk
menelaah konsep-konsep aplikatif dari
elastisitas hukum Islam yang ditawarkan
11 Amir Sa’id al-Zaybari, Kaifa Takunu
Faqihan; Mukhtasar Kitab al-Faqih wa al-Mutafaqqih
li al-Khatib al-Baghdadi (tt: Dar Ibn Hazm, tt), 133.

Jurnal al–Hikmah vol. 4 no. 2 Oktober 2016 24~35

oleh al-Sha‘rani dalam kitab al-Mizan alKubra.
Konsep Elastisitas Hukum al-Sha’rani
dalam al-Mizan al-Kubro
Karakteristik pemikiran al-Sha‘rani
adalah kuatnya visi membangun spirit
toleransi dan persaudaraan diantara kaum
muslimin. Visi membangun kehidupan
sosial yang pluralistik namun harmonis
di bawah payung ajaran hukum yang elastis
tersebut terutama diekspresikan lewat dua
pokok pandangan : (a) Pemaknaan
shari'ahIslam dalam perspektif yang luas.
(b) Prinsip penanganan ikhtilafdan konsep
aplikasinya.
1. Ruang Lingkup Shari‘ah
Shari‘ah12 Islam dalam perspektif alSha’rani memiliki cakupan makna yang luas
dan tidak terbatas pada pengertian yang
tersurat dalam al-Qur’an atau hadist(ma
shahidat lahu al-Shari‘ah sarihan). Cakupan
Shari‘ah juga meliputi semua pendapat
para ulama yang berkompeten melakukan
ijtihad atas kedua sumber pokok
tersebutsepanjang kesimpulannya sejalan
dengan kaidah universalnya (al-qawa‘id al‘ammah). Secara eksplisit al-Sha’rani
menyatakan: “Seluruh produk pemikiran
hukum (fiqih) dari berbagai madhhab, baik
yang masih eksis dan berkembang hingga
sekarang ini (al-madhahib al-musta‘malah)
maupun yang telah punah (al-madhahib almundarisah), tercakup dalam pengertian
Shari‘ah”.13
Deskripsi
di
atas
menggambarkan pandangan al-Sha’rani
literal kata Shari‘ah(bahasa
Indonesia: "syariat") berarti jalan menuju tempat
air. Sedangkan secara terimonologis terdapat
beragam arti.Ketika formulasi teologi Islam
dikristalkan untuk pertama kalinya pada abad ke-9
H/ 13 M, kata Shari‘ahmulai digunakan dalam
pengertian yang sistematis, maknanya dibatasi
untuk menyebut hukum saja, Lihat Muhammad
Saied al-Asymawi, “Fiqh Islam” dalam Heijer,
Johannes den. Et. al. (eds). Islam Negara dan Hukum,
(Jakarta: INIS, 1993), 119-31.
13al-Sha'rani, al-Mizan al-Kubro, Juz. I., 9.
12Secara

M. Adib Hamzawi, Elastisitas Hukum Islam…

tentang urgensi pemahaman yang luas dan
mendasar mengenai Shari‘ah.
Atas dasar pemikiran tersebut, alSha’rani menolak pola pikir dikotomik yang
membedakan secara konseptual (dan
kemudian memisahkan secara mutlak)
antara Shari‘ahdengan fiqih. Dalam
pemahaman
dikotomik
itu,
Shari‘ahdiartikan sebagai ketentuan hukum
(mengenai bidang-bidang tertentu) yang
memiliki nilai kebenaran mutlak dan
abadi.Alasannya adalah keberadaannya
dijelaskan secara eksplisit dalam teks
keagamaan14. Sedangkan fiqih berisi
konsep-konsep hukum (mengenai bidangbidang tertentu) yang nilai keberadaannya
bersifat relatif dan situasional, karena tidak
tercantum secara eksplisit dalam nass
melainkan dari hasil interpretasi para
ulama.15
Al-Sha’rani berpandangan bahwa
aturan Shari‘ah tersusun dari rangkaian alQur’an, hadist dan atsar dan qowl ulama.
Orang yang dengan sengaja mengeluarkan
atau mengabaikan salah satunya, maka
dianggap melakukan tindakan ceroboh,
bodoh dan dangkal pengetahuannya.16
Mengikuti pandangan imam Shafi‘i, alSha’rani berpendapat bahwa berpegang
pada dua hadist atau dua pendapat hukum
(qawl) sekaligus adalah lebih baik dari
pada hanya memakai salah satu dan
mengabaikan yang lain. Sikap demikian
menurutnya merupakan salah satu indikasi
kesempurnaan iman.17
Misalnya mengenai keadilan (QS. 16: 90),
kesabaran (QS. 2: 45), konsistensi dalam berpegang
pada kebenaran(QS. 41: 30), empati (QS. 107: 1-3),
dll.
15 Pandangan seperti ini mendapatkan
kritik dari para pakar studi Islam kontemporer
seperti Fazlurrahman, Muhammad Syahrur dan
Muhammad Said al-Asymawi. Lihat Johannes den
Heijer dan Syamsul Anwar (eds.), Islam Negara dan
Hukum, 122-3.
16 al-Sha‘rani, al-Mizan al-Kubro, Juz I, 9.
17 Ibid., Juz I, 3.
14

27

Keragaman pendapat para ulama
merupakan sesuatu yang alamiah dan tidak
perlu dipersoalkan, karena merupakan
konsekuensi logis dari perbedaan pilihan
sumber (dalil), metode, dan pendekatan
yang
digunakan
mujtahid
dalam
menafsirkan sumber pokok yang berupa alnusus al-shar‘iyah.
Misalnya, dalam
penggunaan analisis bahasa, sebagian
ulama memahami perintah (al-amr) dalam
nash sebagai petunjuk hukum wajib, namun
ada pula yang memahaminya sebagai
hukum sunah (nadb).18 Perbedaan ini tentu
membuka peluang terjadinya perbedaan
kesimpulan hukum yang dihasilkan.
Kesimpulan hukum yang dihasilkan
oleh para mujtahid, baik wajib, sunahatau
lainnya adalah benar, karena semua
didasarkan pada sumber Shari‘ah yang
sahih. Masalah sesungguhnya tidak terletak
pada sumbernya (dalil), namun pada
pilihan interpretasinya terhadap dalil itu
dan konteks situasi saat penerapannya.
2. Prinsip Penanganan Masalah Ikhtilaf
Dalam permasalahan ikhtilaf yang
yang berdampak pada disintegrasi umat, alSha’rani menawarkan tiga konsep sebagai
berikut :
a. Justifikasi kebenaran Seluruh Mujtahid
Kesempurnaan
Shari‘ah
Islam
menurut al-Sha’rani tidak diperoleh
berdasarkan pemahaman makna nash
secara literal. Pemaknaan secara literalistik
justru
akan
mencitrakan
ketidaksempurnaan Islam. Kesempurnaan
hukum Shari‘ah adalah ketika semua ayat
al-Qur’an, hadist sahih dan semua qawl
dihimpun sebagai sebuah kesatuan dengan
dua martabat yang berbeda.19
18Ibn
Subki dalam Matn Jam‘ alJawami‘memberikan rincian tentang makna kalimat
perintah ini menjadi 26 kemungkinan yang
berbeda-beda. Lihat Taj al-Din Abd. al-Wahab bin
’Ali al-Subki, Jam‘ al-Jawami‘, Juz I(Mesir: Maktabah
Dar al-Kutub al-Arabiyyah, tt), 372-374.
19 al-Sha‘rani, al-Mizan al-Kubro, Juz I, 27.

28

Seluruh
produk
fiqih
yang
20
dihasilkan para mujtahid
(khususnya
empat madhhab utama), pada dasarnya
benar semua dan secara proporsional tetap
boleh diamalkan sepanjang masa. Semua
konsep hukum tersebut juga tetap berada
dalam lingkup cakupan makna Shari‘ah
Islam.21 Apabila ada ikhtilaf di antara para
mujtahid, maka perbedaannya bukan pada
jenis, apalagi esensi kebenaran dan nilai
etik religiusnya. Perbedaan tersebut hanya
sebatas pada tingkatan, intensitas atau
posisinya dalam kerangka pikir yang
menurut al-Sha’rani bagaikan dua sisi
timbangan (martabat), yakni takhfif
(meringankan)
dan
tashdid
(memberatkan). Selain itu, perbedaan juga
terjadi karena ada pendapat yang lebih
jauh dan lebih dekat dari posisi (maqam)

20 Dalam al-Mizan al-Kubroal-Sha‘rani tidak
menyebutkan nama-nama atau kriteria yang rinci
mengenai mujtahid, sehingga kurang jelas apakah
hanya berlaku bagi para ulama mujtahiddi masa
lalu, khususnya para imam madhhab, atau juga
berlaku bagi para ulama dan pakar hukum yang
hidup di masa-masa sesudahnya, termasuk masa
sekarang dan masa yang akan datang.
Konsekuensinya, pandangan tersebut tidak dapat
digunakan untuk menilai validitas klaim-klaim
kompetensi untuk melakukan ijtihad yang muncul
belakangan.
21 Dalam hal prinsip kebenaran semua hasil
ijtihadini, al-Sha‘rani berbeda pendapat dengan
sebagian besar (jumhur) ulama. Menurut versi
jumhur, jika terjadi keragaman hasil ijtihad,maka
pada dasarnya yang benar hanya satu, sedangkan
lainnya adalah keliru atau minimal kurang
sempurna. Diantara argumen yang mendasari
pendapat tersebut antara lain sabda Rasulullah
SAW. “Jika seorang hakim berijtihad dan hasilnya
benar, maka dia akan mendapatkan dua pahala
sedangkan jika keliru akan mendapat satu pahala".
Kesimpulannya adalah bahwa ijtihadyang dilakukan
hakim ada yang benar dan ada yang salah.
Alasan lainnya adalah karena jika semua
hasil ijtihadadalah benar, maka kemungkinan akan
berkumpul dua hal yang kontradiktif yang secara
logika tidak dapat diterima. Misalnya sebuah akad
nikah itu sah sekaligus fasid. Lihat Amir Sayyid alZaybari, Kaifa Nakunu Faqihan: Mukhtasar Kitab alFaqih wa al-Mutafaqqih li al-Khatib al-Baghdadi, (tt.
Dar Ibn Hazm, tt.), 132-133.

Jurnal al–Hikmah vol. 4 no. 2 Oktober 2016 24~35

masing-masing orang yang mengamalkan
dari
sudut-sudut
intensitas
penghayatannya
terhadap
nilai-nilai
22
esensial Islam, iman dan ihsan.
Keterkaitan antara makna Shari‘ah
Islam dengan berbagai pendapat fiqih hasil
istinbat para ulama menurut al-Sha’rani
adalah laksana pohon dengan rantingnya.23
Shari‘ah dalam pengertiannya yang luas
adalah laksana batang pohon, sementara
madhhab-madhhab fiqih adalah cabang dan
ranting-rantingnya. Selain itu, sumber
pokok semua mujtahidjuga sama, yakni alQur’an dan Sunnah. Dalam hal ini, alSha’rani mengutip pernyataan, Zakariya alAnsari: “Sumber Shari‘ah ibarat samudra
luas. Dari arah manapun kalian mengambil
airnya, semua berasal dari samudra yang
sama”.24
Dalam perspektif seperti itu, alSha’rani nampak ingin menghadirkan
Shari‘ah dalam formatnya yang luas,
toleran dan komprehensif. Ia mengakui
kebenaran hukum yang telah dihasilkan,
baik hukum yang berasal dari the revealed
sourcess25 (al-Qur’an dan al-Hadith),
maupun yang berasal dari non revealed
sourcess (ijtihad). Oleh karena itu, ia
menganjurkan
agar
setiap
muslim
hendaknya mengamalkan semua hadist
sahih yang diketahuinya dan juga semua
pendapat yang telah disimpulkan para
imam.
Keseluruhan pendapat para imam
mujtahid menurut al-Sha’rani pada

al-Sha‘rani, al-Mizan al-Kubro, Juz I, 5.
Di bagian lain dalam kitabnya,al-Sha'rani
mengibaratkan hubungan antara shari‘at Islam dan
madhhab-madhhab fiqh dengan contoh yang lain,
misalnya kaitan antara telapak tangan dan jari-jari
yang mengitarinya. jari manapun yang kita pegang
semuanya terhubungkan pada telapak tangan yang
sama. Ibid., Juz I, 48-54.
24Ibid,.Juz I, 30.
25Istilah ini dipergunakan oleh Muhammad
Hashim Kamali dalam tulisannya ”Law and Society”,
The Oxford History of Islam (Oxford: Oxford
University Press, 1999), 118.
22

23

M. Adib Hamzawi, Elastisitas Hukum Islam…

dasarnya tidak keluar dari konsep dua
martabat mizan, yakni tashdid dan takhfif,
atau ‘azimah dan rukhsah.26 Begitu pula
baik pendapat itu disimpulkan dari mantuq
(pesan yang
tersurat) atau
yang
disimpulkan dari mafhum (pesan yang
tersirat), kesemuanya senantiasa merujuk
kepada cahaya shari'ah.
Di samping argumen di atas, alSha’rani juga mendasarkan pandangannya
pada tradisi episteme yang tidak khas di
kalangan ahli fiqih. Kebenaran para imam
madhhab menurutnya adalah karena dua
hal.
Pertama,
pendapat
mereka
berdasarkan pada makna zahir teks-teks
Shari‘ah. Kedua,pendapat mereka juga
disandarkan pada kedalaman ilmu haqiqah.
Para imam mujtahid disebut al-Sha’rani
menguasai
ilmu
haqiqah
dan
27
Shari‘ahsekaligus.
Sebagaimana
alKhawas, al-Sha’rani berpandangan bahwa
para imam adalah ahli waris Rasulullah
SAW, baik dalam ‘ilmal-ahwal maupun
‘ilmal-aqwal.28
Prinsip justifikasi kebenaran semua
madhhab memiliki makna yang penting
dalam usaha menjaga kohesi sosial
umat.Jika berhasil dimasyarakatkan secara
luas, maka setidaknya dapat menciptakan
dua implikasi yang positif, baik dalam teori
maupun praktis.
Pertama, tidak perlu lagi ada kasus
khilafiah yang tidak dapat dikelola, baik
secara intelektual maupun aktual (apalagi
sampai menimbulkan konflik sosial). Hal
tersebut karena setiap pendapat, dari
madhhab
manapun
asalnya,
selalu
mendapatkan tempat dan aspirasi yang
wajar.Selain itu, terbuka kemungkinan
untuk diamalkan oleh segenap kaum
muslimin, termasuk mereka yang sehariharinya menganut madhhab yang berbeda.
Dengan demikian, pelaksanaan praktik
26Ibid.,Juz

I, 19.
I, 43.
28Ibid.,Juz I, 44.
27Ibid.,Juz

29

keagamaan
senantiasa
berlandaskan
toleransi, dan dapat berkembang ke arah
ukhuwah serta solidaritas yang lebih erat.
Oleh karena semua madhhab diyakini
benar dan berada dalam hidayahAllah SWT,
maka tidak perlu ada reaksi negatif
terhadap siapapun yang berpegang teguh
pada madhhab yang dipercayai. Begitu pula
terhadap mereka yang beralih dari satu
madhhab ke madhhab yang lain karena
alasan tertentu, atau terhadap orang yang
dalam
kondisi
terentu
terpaksa
mengamalkan selain madhhab yang biasa
diikuti.
Kedua, konstruk hukum Islam tidak
akan terlihat rigid dan kaku. Pluralitas
kesimpulan hukum akan menjadikan
hukum Islam terlihat elastis dan dapat
diaplikasikan dalam segala situasi dan
kondisi. Selain itu, karena semua diyakini
benar, maka umat Islam tidak lagi
mengalami hambatan psikologis untuk
saling “meminjam” pandangan keagamaan
pihak lain demi kesempurnaan pemahaman
yang telah mereka ikuti.
b. Stratifikasi Aturan Shari’ah
Al-Sha‘rani tampaknya menyadari
bahwa
prinsip
pembenaran
semua
madhhab yang diusulkannya menimbulkan
pertanyaan
filosofis
yang
serius.
Pertanyaan; “mungkinkah dua pendapat
(atau lebih) yang saling berlawanan dapat
dibenarkan dalam waktu yang sama?”29.
Sebagai contoh, hukum menjalankan
pernikahan yang dinyatakan wajiboleh
sebagian ulama, sementara ulama lainnya
mengatakan
tidak
wajib.
Lalu
dipertanyakan, apakah masuk akal (dalam
arti bisa dibenarkan dari sudut pandang
keagamaan dan logika) jika dikatakan
bahwa hukum nikah adalah wajibsekaligus
tidak wajib.Kasus-kasus lain pula tidak
lepas dari pertanyaan semacam itu.
Untuk menyelesaikan masalah ini,
al-Sha‘ranimenyatakan bahwa seluruh
30

29Ibid.,Juz.

I, 10.

ketentuan Shari’ah mengandung dua
alternatif ketentuan hukum. Pemberlakuan
dua alternatif tersebut dengan skala
prioritas yang berjenjang, yaitu ketentuan
hukum yang lebih ketat (‘azimah) dan yang
lebih ringan (rukhsah).30Tidak ada satu pun
masalah yang diatur dengan satu versi
aturan hukum dan diberlakukan bagi
semua orang secara kaku dalam segala
ruang, waktu, dan kondisi.
Pendapat semua imam mujtahid
menurut al-Sha‘rani tidak ada yang sematamata memilih tashdid dan takhfif saja
dalam segala kasus dan situasi. Pada saat
tertentu, ada ulama mengambil posisi
takhfif, sedangkan pada saat lain cenderung
memilih yang tashdid. Hal itu karena
masing-masing mengambil kesimpulan
berdasarkan dalil-dalil dan ketentuan alShari’ yang (kebetulan) mereka peroleh..31
Manakala mereka mengetahui ada riwayat
sahih bahwa (pada suatu kasus tertentu)
Rasulullah SAW. mengambil posisi tashdid,
maka mereka akan memilih posisi
tashdid.Sebaliknya,jika pada kasus atau
situasi yang lain Rasulullah SAW.
memilihtakhfif,
mereka
pun
akan
mengikutinya.32
Dengan menghimpun pendapat
semua madhhab, maka pengertian Shari’ah
Islam menjadi sangat luas dan lentur.
Mengambil salah satu saja dari alternatifalternatif yang tersedia itu secara ketat
adalah sama sekali tidak dibenarkan.
Karena jika yang dipilih hanya yang tashdid
dan kemudian diberlakukan secara ketat
dan menyeluruh bagi semua orang, maka
dapat
menimbulkan
kesulitan
bagi
sebagian besar umat. Sebaliknya jika yang
dipilih hanya takhfifsaja, maka semarak
syiar Islam akan lenyap dari kehidupan
umat.
Atas dasar pemikiran tersebut,
pendapat semua mujtahid hendaknya
30Ibid.,Juz.

I. 4.
I, 26.
32Ibid.,Juz. I, 5.
31Ibid.,Juz.

Jurnal al–Hikmah vol. 4 no. 2 Oktober 2016 24~35

diletakkan dalam kerangka pikir ‘azimah
dan
rukhsah.Suatu
konsep
hukum
dikategorikan
‘azimah
jika
lebih
mencerminkan
sikap
berhati-hati
(ikhtiyat)dalam
pengamalan
ajaran
agama.Sedangkan konsep hukum yang
lebih
ringan
dikategorikan
sebagai
33
rukhsah.
Hukum ‘azimah harus senantiasa
diprioritaskan dan bersifat mengikat jika
situasinya relevan. Hal itu karena
pengalaman ajaran agama merupakan
cermin dari loyalitas seseorang kepada
Allah. Dalam kondisi normal, seorang
hamba Allah harus memilih untuk
mengamalkan hukum yang mencerminkan
loyalitas paling optimal (’azimah), Jika
kondisinya tidak memungkinkan, barulah
dia boleh mengambil alternatif pada
prioritas berikutnya (rukhsah)34.
Pengertian rukhsah dan ‘azimah di
sini adalah takhfif dan tashdid secara
mutlak dalam pengertian yang luas, di
mana yang satu merupakan pasangan bagi
yang lain.35Begitu pula perbedaan norma
hukum ke dalam kelompok rukhsah dan
‘azimah berlaku di semua aspek kehidupan
manusia.
Konsep rukhsah dan ‘azimah alSha’rani sedikit berbeda dengan pandangan
sebagian ulama. Pertama, dalam konsep
sebagian ulama, bidang-bidang yang
mengandung ketentuan rukhsah dan
‘azimah lingkupnya lebih sempit, yakni
dalam masalah yang secara tegas dijelaskan
dalam nash.Sedangkan menurut al-Sha‘rani,
ruang lingkupnya meliputi semua bidang
kehidupan, sekalipun tidak dijelaskan oleh
nash. Prinsip itu didasarkan pada
generalisasi makna firman Allah, “Dia tidak

33Memang dalam kenyataannya tingkat
kesulitan dalam mengamalkan ketentuan-ketentuan
hukum ‘azimah pada umumnya lebih tinggi
dibandingkan yang rukhs}ah, namun hal ini bukan
menjadi hal yang mutlak.
34 Ibid.
35Ibid.,Juz. I, 14.

M. Adib Hamzawi, Elastisitas Hukum Islam…

membebani hambanya melebihi batas
kemampuan yang dimilikinya”(QS. 2: 233 &
286; 5: 8٧ dan 23:6٢)36.
Kedua, pada umumnya ketentuan
hukum yang dijelaskan secara eksplisit
olehnash dianggap tetap dan seragam bagi
semua orang. Ketentuan ini menjadi target
final dari semua upaya pengamalan aturan
shari’ah.Adapun
menurut
al-Sha‘rani,
konsep distingsi itu hanya sebagai bagian
dari tahapan proses dinamis penghayatan
setiap individu dalam menjalankan ajaran
agamanya.
Selanjutnya
al-Sha‘rani
juga
menyatakan bahwa pada dasarnya semua
mujtahid selalu menyediakan dua alternatif
aturan hukum, yakni ketika hukum itu
diamalkan dalam situasi yang berbeda.
Salah kalau ada yang mengira bahwa jika
seorang imam mujtahid mengambil
pendapat ‘azimahberarti tidak menyetujui
rukhsah pada kondisi yang berbeda, atau
sebaliknya jika imam itu mengambil
pendapat rukhsah tidak menyetujui
‘azimah-nya.37
Secara
substansial,
semua
interpretasi
perintah
dan
larangan
Shari’ahke dalam lima kategori hukum
(wajib, sunah, mubah, makruh dan haram)
merupakan hasil dari sebuah dialektika
penafsiran dalam kerangka stratifikasi ini.
Bagi mereka yang mengambil posisi takhfif,
maka sebuah perintah Shari’ahdipandang
sebagai hukum sunah. Sedangkanbagi yang
mengambil posisi tashdid, maka (demi
menyempurnakan
kualitas
imannya)
perintah itu dimaknai sebagai hukum wajib.
Demikian pula bagi yang mengambil sikap
takhfif, sebuah larangan ditafsirkan sebagai
isyarat hukum makruh, sedangkan bagi
yang mengambil posisi tashdid, larangan
dimaknai sebagai haram.
Meskipun semua pendapat para
ulama adalah benar, namun pengalaman
36
37

Ibid., Juz. I, 4.
al-Sha'rani, al-Mizan al-Kubra, Juz I, 26.

31

aturan Shari’ahbukan urusan selera hingga
berlaku hak pilihan bebas (al-takhyir almutlaq)38. Dalam arti bahwa setiap orang
boleh memilih konsep hukum mana saja
yang disukainya baik yang rukhsah
maupun‘azimah.39Konsep dua martabat
mizan al-Sha‘raniini harus diberlakukan
secara prinsip urutan kewajiban (al-tartib
al-wujubi). Seseorang yang mampu
melaksanakan hukum ‘azimah (tashdid)
secara moral tidak diperbolehkan memilih
untuk mengamalkan aturan hukum yang
lebih ringan (rukhsahatau takhfif).
c. Prinsip
proporsionalisme
dalam
implementasi hukum
Dalam al-Mizan al-Kubra, alSha‘raninampak sangat menganjurkan
prinsip bermadhhab sekaligusmemberikan
petunjuk tentang pemilihan madhhab
hukum yang hendak diamalkan. Pemilihan
madhhab hukumselain ditentukan dari
otentisitas sumber (dalil) dan logika
penyimpulannya (istinbat) secara teoritik,
juga harus memperhatikan konteks dalam
pengamalannya. Dalam arti siapa yang
mengamalkan
dan
dalam
kondisi
40
bagaimana hukum itu diamalkan.
Pemilihan
madhhab
hukum
berdasarkan tiga kriteria di
atas
menunjukkan bahwa nilai etik religius
dalam pengamalan ajaran Shari’ah tidak
semata-mata dilihat dari sisi obyektif
bentuk formalnya. Lebih jauh lagi juga
harus dikaitkan dengan faktor subyektif

Ibid., Juz I, 10.
Seperti dinyatakan oleh al-Sha‘rani,
bagian inilah yang sering disalahpahami, termasuk
oleh para ulama, sehingga mengesankan seolah-olah
al-Mizan memberikan pembenaran terhadap prinsip
pilihan bebas, termasuk yang berdasarkan kemauan
dan selera pribadi.
40Prinsip proporsionalisme mengacu pada
penekananbahwa manusia adalah makhluk yang
bernilai pada dirinya sendiri.Makhluk yang berakal
dan berkehendak sendiri, serta memiliki kebebasan
untuk menentukan pilihan dirinya dan memiliki
kesadaran mandiri atas apa yang menjadi tanggung
jawabnya. Ibid., 104-116.
38

39

32

personal berupa semangat keberagamaan,
hambatan yang dihadapi serta penghayatan
moral individu yang menjalankannya.
Secara formal sejumlah orang bisa
melakukan perbuatan yang sama, misalnya
sama-sama memberikan sedekah senilai
Rp. 100.000,- namun nilai etiknya menurut
Shari’ah bisa berbeda antara orang satu
dengan lainnya.
Pandangan
al-Sha‘ranitersebut
berbeda dengan pandangan para fuqaha’
kebanyakan. Para faqih pada umumnya
berpandangan bahwa kesimpulan hukum
yang diperoleh lewat istinbat merupakan
hasil final yang tinggal diterapkan dan
berlaku untuk selamanya bagi semua
mukallaf. Meskipun kesimpulan itu masih
terbuka peluang untuk dikritisi, dikaji
ulang atau ditangguhkan penerapannya
dengan menggunakan ketentuan hukum
yang lebih ringan dalam kondisi darurat,
namun prinsip aplikasi yang dipakai tetap
bertolak dari asumsi hukum tunggal yang
berlaku secara tetap dan general.41
Di samping itu, pemilihan konsep
hukum
menurut
al-Sha‘rani
harus
dilakukan berdasarkan kondisi individual
yang dinamis42. Setiap muslim harus
mengamalkan pandangan hukum yang
paling proporsional sesuai dengan kondisi
masing-masing.
Dalam
pemilihan
kesimpulan
hukum,
al-Sha‘rani
menyatakan bahwa seorang muqallid bila
kondisinya memungkinkan hendaknya
(atas
kesadarannya
sendiri)
tidak
mengamalkan rukhsah. Meskipun rukhsah
tersebut
merupakan
fatwa
imam

Cara pandang seperti itu, akan
berimplikasi pada pola penilaian moral yang
bersifat "hitam putih" secara ekstrim terhadap
semua orang. Karena semua orang hanya dibedakan
menjadi dua kategori saja, yakni yang patuh (taat)
dan mereka yang melanggar (ma'siyat). Sedangkan
dengan cara pandang al-Mizan,penilaian bersifat
kuantitatif
sesuai
dengan
proporsi
kesempurnaannya dalam menjalankan ajaran
shari‘ah itu.
42 Ibid., Juz. I, 11.
41

Jurnal al–Hikmah vol. 4 no. 2 Oktober 2016 24~35

madhhabnya. Seorang muslim seharusnya
mengamalkan ‘azimah
seperti yang
difatwakan oleh selain imam madhhabnya
jika
memang
mampu.
Al-Sha‘rani
berargumentasi bahwa pada dasarnya
hukum harus mengacu pada pernyataan alShari‘ dan bukan kepada lainnya. Terlebih
lagi bila dalil yang dipergunakan sebagai
dasar hukum selain madhhabnya tersebut
lebih meyakinkan.43
Ukuran untuk memilih pendapat
hukum adalah berdasarkan kemampuan
maksimal masing-masing individu sesuai
dengan kondisi obyektif dan subyektivitas
tingkat “kesadarannya” sendiri. Izin
pengamalan hukum rukhsah hanya berlaku
bagi yang tidak mampu mengamalkan
‘azimah. Dalam kondisi itu, maka hukumhukum rukhsahbagi orang itu telah
menempati
posisi
‘azimah.
Model
pengamalan ajaran agama yang bercorak
komunal dan seragam bagi semua individu
hingga dalam rincian aturan teknisnya
menurut al-Sha’rani bertentangan dengan
prinsip keadilan yang menjadi ruh utama
Shari’ah.
Pola
keseragaman
justru
mengabaikan
dinamika
penghayatan
religius yang seharusnya bergerak dinamis
sepanjang masa.Dalam hal ini, alSha‘ranitampak berupaya mengintrodusir
semacam ide personalisme etik ke dalam
pemikirannya mengenai asas pengamalan
hukum
yang
membedakannya
dari
sebagian fuqaha’ lainnya.
Dari penjelasan di atas dapat
dikemukakan dua catatan penting yang
secara tersirat terdapat dalam pemikiran
al-Sha’rani. Pertama, pengamalan hukum
Shari’ah setiap individu seharusnya terus
bergerak secara dinamis dari hukumhukum yang lebih ringan (takhfif) ke arah
yang lebih berat (tashdid) sejalan dengan
perkembangan religiusitasnya.
Kedua,
pengamalan
hukum
seharusnya tidak dibatasi secara ketat
43

Ibid., Juz I, 10.

M. Adib Hamzawi, Elastisitas Hukum Islam…

dengan
sekat-sekat
madhhab.
alSha‘ranimenyatakan; “Tidaklah sempurna
pengamalan seorang mukmin terhadap
ajaran Shari’ah jika selamanya dia hanya
mengikatkan dirinya secara tetap dengan
satu madhhab tertentu dalam segala hal”.44
Setiap muqallid yang telah berhasil
meningkatkan pemahamannya tentang
hukum hingga mampu “melihat” sumber
mata air yang suci ('ain al-Shari’ah almutahharah), tidak lagi diharuskan
mengikatkan diri hanya kepada suatu
madhhab tertentu. Hal tersebut karena dia
telah dapat melihat keterkaitan antara
pendapat semua imam mujtahid dengan
sumber utama Shari’ah.
Apabila pendapat yang diambil dan
diamalkan tersebut secara kebetulan sesuai
dengan pandangan madhhab tertentu,
maka hal itu disebabkan oleh beberapa hal.
(1). Pendapat tersebut termasuk dalam
dalam kerangka pikir takhfif dan tashdid.
(2). Secara kondisional ia memang berada
pada tingkatan pendapat yang diambil. (3).
Ia atas kesadarannya sendiri memilih
madhhab yang lebih mencerminkan sikap
hati-hati dalam menjalankan ajaran agama
atas dasar motivasi tatawwu'.
Adapun bagi umat Islam yang belum
mampu menyimpulkan secara mandiri
ketentuan hukum Shari’ah dari sumbernya,
diperintahkan
mengikuti
secara
bertanggung jawab salah satu diantara para
mujtahid yang mereka ketahui dan
percayai, tanpa memperdulikan madhhab
manapun yang mereka pilih. Hal ini bukan
untuk
membatasi
kebebasannya,
melainkan demi menghindari sikap
memilih-milih secara tidak bertanggung
jawab, serta dari preferensi berdasarkan
keinginan hawa nafsu, baik yang timbul
dari dirinya sendiri maupun dari orang
yang diikutinya.
Penutup
44

Ibid., Juz I, 27.

33

Permasalahan ikhtilafdalam bentuk
pluralitas hukum Islam tidak semestinya
dibiarkan berujung konflik yang dapat
menyebabkan
disintegrasi
umat.
Keragaman pendapat hukum merupakan
keniscayaan akibat perbedaan metode
istinbat, sudut pandang dan lingkungan
sosio historis sekitar mujtahid. Maka yang
seharusnya dilakukan adalah bagaimana
mengelola keberagaman tersebut agar
menjadi berkah. Salah satu caranya ialah
mengikuti
prinsip
al-Sha’rani
yang
memandang bahwa fiqih bersifat elastis.
Elastisitas hukum Islam dapat
terwujud melaluipemaknaan shari‘ah Islam
secara
luas.
Aplikasinya
dengan
menjustifikasi
kebenaran
kesimpulan
hukum
seluruh
imam
mujtahid,
pemberlakuannya sepanjang masa secara
proporsional sesuai dengan stratifikasinya.
Perbedaan kesimpulan hukum pada
dasarnya tidak saling bertentangan, karena
bermuara pada sumber yang sama. Oleh
karena fitrah manusia diciptakan Allah
dalam dua bentuk, yang kuat dan yang
lemah, maka proporsional berarti bahwa
hukum yang ringan (takhfif) adalah
kemurahan (rukhsah) bagi umat Islam yang
lemah. Adapun hukum yang berat (tashdid)
merupakan ‘azimah dan berlaku bagi umat
Islam yang kuat dan menghendaki
kesempurnaan ibadah.
Kajian ini memerlukan elaborasi
lebih lanjut, mengingat al-Sha’rani dengan
sikap husn al-zannnya menyerahkan
pemilihan kesimpulan hukum antara yang
ringan (takhfif/rukhsah) dan yang berat
(tashdid/‘azimah) pada moral individu
umat Islam. Namun kapasitas pengetahuan
ajaran agama mayoritas umat Islam kurang
memadai, serta meningkatnya gejala
degradasi moral, maka sudah seharusnya
ada kajian khusus yang membahas
mengenai
batasan-batasan
takhyir
(pemilihan) kesimpulan hukum tersebut.
Pada
akhirnya,
umat
Islam
hendaknya senantiasa terus memperluas
34

cakrawala
pengetahuannya
mengenai
shari‘ah Islam. Dengan begitu, konflik
sektarian akibat ta‘assub (fanatisme buta)
madhhab tertentu dapat diminimalisir.
Selain itu, ajaran Islam sudah seharusnya
dilaksanakan secara fleksibel dengan
memperhatikan faktor sosio kultur
masyarakat dan kekuatan individu umat
Islam sebagai pengamalnya. Apabila ini
dapat diaplikasikan, maka syiar Islam
sebagai agama yang rahmah li alalaminakan
terwujud secara lebih
sempurna.
Bibiography

’Awwama, Muhammad. Athar al-Hadith alSharif fi Ikhtilaf Aimmat alFuqaha’.Kairo: Dar al-Salam, 1987.
Abdul, Jamal Aziz.“Dilema Hukum Islam,
antara Kemutlakan dan Kenisbian”,
Jurnal Hermenia, Volume 2, Nomor 1.
Januari, 2005
al-Asymawi, Muhammad Saied. “Fiqh
Islam” dalam Heijer, Johannes den.
et.al. (eds). Islam Negara dan
Hukum.Jakarta: INIS, 1993.
al-Musawi, A. Sharif al-Din. Isu-isu Penting
Ikhtilaf, terj. Bandung: Mizan, 1993.
al-Subki,Taj al-Din Abd. al-Wahab bin
‘Ali.Jam‘ al-Jawami‘. Mesir: Maktabah
Dar al-Kutub al-Arabiyah, tt.
Amin, Ahmad. Duha al-Islam. Kairo:
Maktabah al-Nahd}ah al-Mis}ri>yah,
tt.
Anderson, JND. Islamic Law in Modern
World. New York: New York
University Press, 1959.
Bungin, Burhan (ed). Analisis Data
Penelitian Kualitatif. Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2003.
Coulson, Noel J. Conflicts and Tensions in
Islamic Jurisprudence. Chicago: The
University of Chicago Press, 1969.
Hasbi, T.M. Ash-Shiddieqy. Dinamika dan
Elastisitas Hukum Islam. Jakarta:
Tintamas,1975.

Jurnal al–Hikmah vol. 4 no. 2 Oktober 2016 24~35

Kamal, Taufiq (ed), Tradisi dan Kebangkitan
Islam Asia Tenggara. Jakarta: LP3ES,
1988.
Muhadjir, Noeng. Metodologi Penelitian
Kualitatif. Yogyakarta: Rieka Sarasin,
1996.
Muhammad
Hashim
Kamali
dalam
tulisannya ”Law and Society”, The
Oxford History of Islam (Oxford:
Oxford University Press, 1999),
Nasution, Lahmuddin. Pembaruan Hukum
Islam. Bandung: Remaja Rosdakarya,
2002.
`Qardhawi, Yusuf.‘Awamil al-Sa‘ah wa alMurunah fi al-Shari‘ah al-Islamiyah.
Beirut: Dar al-Fikr. 1998

M. Adib Hamzawi, Elastisitas Hukum Islam…

Romli, SA.Muqaranah Mazahib fil Ushul.
Jakarta: Gaya Media Pratama, 1999.
Sa‘id, Amīr al-Zaybari. Kayfa Takunu
Faqihan; Mukhtasar Kitab al-Faqih wa
al-Mutafaqqih
li
al-Khatib
alBaghdadi. Tt: Dar Ibn Hazm, tt.
Wahid, Abdurrahman. “Menjadikan Hukum
Islam
Sebagai
Penunjang
Pembangunan”.JurnalPrisma. Jakarta:
LP3ES, nomor 4, Agustus, 1995.
Watt, William Montgomery. Islam, terj.
Imron Rosadi. Yogyakarta: Jendela,
2002.
*****

35

Dokumen yang terkait

PENGARUH MANAJEMEN LABA TERHADAP KINERJA PERUSAHAAN DENGAN GOOD CORPORATE GOVERNANCE SEBAGAI VARIABEL MODERASI (Studi Kasus pada Perusahaan Manufaktur yang terdaftar di BEI Tahun 2011 – 2014) Wika Septian Prasetyo , Subchan , Sri Harjanto

1 2 16

A. Pendahuluan - PENGARUH DISIPLIN KERJA DAN KOMITMEN ORGANISASI TERHADAP KINERJA PENGASUH DENGAN KARAKTERISTIK PEKERJAAN SEBAGAI VARIABEL MODERASI PADA AKADEMI KEPOLISIAN SEMARANG

0 0 12

ANALISIS GOOD CORPORATE GOVERNANCE DAN SIZE TERHADAP CORPORATE SOCIAL RESPONSIBILITY YANG BERDAMPAK PADA NILAI PERUSAHAAN DENGAN PROFITABILITAS SEBAGAI VARIABEL MODERATING (Studi Empiris Pada Perusahaan Yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia)

1 3 13

PENGARUH PARTISIPASI, KEMAMPUAN, PELATIHAN DAN PENDIDIKAN PEMAKAI TERHADAP KEPUASAN PEMAKAI YANG BERDAMPAK PADA KINERJA SISTEM INFORMASI AKUNTANSI (Studi Empiris Pada Hotel di Kota Semarang)

0 0 10

PENGARUH PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAH TERHADAP KEMADIRIAN DAERAH YANG BERDAMPAK PADA PERTUMBUHAN EKONOMI DAERAH (Studi Empiris Pada Kabupaten dan Kota di Jawa Tengah)

0 0 10

FENOMENA SOSIAL FUNDAMENTALISME ISLAM

0 0 16

Perilaku Ritual Warok Ponorogo Dalam Perspektif Teori Tindakan Max Weber

1 7 11

KEMAMPUAN Aspergillus wentii DALAM MENGHASILKAN ASAM SITRAT Ririn Puspadewi, Rina Anugrah, Della Sabila Fakultas Farmasi Universitas Jenderal Achmad Yani Cimahi Corresponding author e-mail: ririn.puspadewilecture.unjani.ac.id ABSTRAK - KEMAMPUAN Aspergill

0 0 6

REKONSTRUKSI FIQH: TAWARAN METODOLOGIS MUH{AMMAD SYAH{RÛR Noer Chalida Abstract - REKONSTRUKSI FIQH: TAWARAN METODOLOGIS MUH{AMMAD SYAH{RÛR

0 0 14

Ahmad Hady Wiyono, Etika Belajar Dalam Al-Qur’an

0 0 12