2 PENDIDIKAN DAN PEMBERDAYAAN PEREMPUAN SEBAGAI MITRA SEJAJAR LAKI-LAKI Amiruddin Dosen Tetap Prodi Manajemen Pendidikan Islam STAI Muara Bulian infostai-muarabulian.ac.id Abstract - View of PENDIDIKAN DAN PEMBERDAYAAN PEREMPUAN SEBAGAI MITRA SEJAJAR LAKI
2
PENDIDIKAN DAN PEMBERDAYAAN PEREMPUAN
SEBAGAI MITRA SEJAJAR LAKI-LAKI
Amiruddin *
* Dosen Tetap Prodi Manajemen Pendidikan Islam STAI Muara
Bulian [email protected]
Abstract
Education is a special thing only given tu human.
Because it is only human can thraigh education.
Education was essentially interded to form a perpect,
human being human out wardly and inwardly,
forming a happy human in the word and the here
after. There fore, Islam considers that education is a
right and a duty for every followers both men and
women. This paper discurses how the image of
women in the era of early education, namely
education middle eastern woman approximately 14
centuries ago, and Indonesian women‟s education
during the early era either before birth or arrival of
Islam as well as after birth or arrival of Islam. it
turned out that in the period before the islamic,
education has not been fully enjoyed by women. The
are considered hot so important to learn and they
are placed in the number two position after men.
After arrival of Islam, women get a fresh breeze and
there are new colors for their. Women were given
equal rights with men which in the end the degree
they also raised as a human.
Pendidikan adalah hal yang khusus hanya diberikan
tu manusia. Karena hanya manusia dapat thraigh
pendidikan. Pendidikan pada dasarnya interded
untuk membentuk perpect, manusia manusia keluar
wardly dan batin, membentuk manusia bahagia
dalam kata dan di sini setelah. Ada kedepan, Islam
memandang bahwa pendidikan adalah hak dan
kewajiban bagi setiap pengikut laki-laki dan
137
At-Tasyrih, Volume 1, Nomor 2, Maret 2016: 136-158
perempuan. Makalah ini discurses bagaimana citra
perempuan di era pendidikan awal, yaitu pendidikan
wanita timur tengah sekitar 14 abad yang lalu, dan
pendidikan perempuan Indonesia selama era awal
baik sebelum kelahiran atau kedatangan Islam serta
setelah lahir atau kedatangan Islam. ternyata bahwa
pada periode sebelum Islam, pendidikan belum
sepenuhnya dinikmati oleh perempuan. The
dianggap panas sehingga penting untuk belajar dan
mereka ditempatkan di posisi nomor dua setelah
laki-laki. Setelah kedatangan Islam, perempuan
mendapatkan angin segar dan ada warna baru bagi
mereka. Perempuan diberi hak yang sama dengan
laki-laki yang pada akhirnya gelar mereka juga
dibesarkan sebagai manusia
Keywords: Pendidikan, Pemberdayaan Perempuan,
Mitra Laki-laki
Pendahuluan
Pembahasan ini dikedepankan bukan hendak memberontak
terhadap nilai-nilai patriarki yang hidup dalam budaya masyarakat
Indonesia, dan bukan pula sebagai dukungan terhadap aliran
Feminisme, akan tetapi hanya sebuah gagasan yang meloncat dari
dalam pikiran, ingin berubah bentuk dari abstrak menjadi kongkrit,
dari hanya sebuah ide menjadi sebuah tulisan ringan. Sebagai
ungkapan solidaritas terhadap kaum perempuan, yang agak sedikit
termarginalkan di negeri ini. Diskursus atau pembicaraan tentang
masalah perempuan tidak akan pernah habis-habisnya untuk
diungkapkan. Seolah-olah tidak pernah basi dan selalu akan tetap
menarik untuk dijadikan sebagai topik pembahasan. Sampai hari ini,
permasalah tentang perempuan banyak dibicarakan dari segala aspek
dan dari sudut pandang yang berbeda- beda.
Pra Islam, kaum perempuan selalu berada di bawah
kezalimanan kaum laki-laki, tidak memperoleh hak-hak menurut
undang-undang dan tidak mendapatkan kedudukan dalam
masyarakat sesuai dengan kewajaran yang seharusnya diberikan
kepada mereka. Perempuan sama sekali tidak mempunyai hak untuk
mendapatkan pendidikan, perempuan harus tinggal di rumah dan
tidak mempunyai kontribusi dalam kehidupan bermasyarakat,
dipaksa kawin dan ditindak, diwarisi dan tidak mewarisi, dikuasai
dan tidak pernah menguasai. Kondisi ini sangat menyedihkan bagi
perempuan, mereka tidak diberi kebebasan dalam segala urusan yang
sesuai dengan porsinya dan tidak diberikan kesempatan untuk
Pendidikan dan Pemberdayaan Perempuan... – Amiruddin 138
menikmati kehidupan termasuk mengenyam bangku pendidikan.
Kondisi yang menyedihkan bagi perempuan ini, lebih disebabkan
sebagai akibat konstruksi budaya masyarakat semata dan bukan
bagian dari doktrin agama. Masih banyak stigma di tengah
masyarakat dan sebagian mereka percaya bahwa perempuan itu tidak
perlu sekolah. Bahkan yang lebih ironis lagi ada yang beranggapan
bahwa mengajar perempuan bagaimana cara membaca dan menulis
adalah bertentangan dengan syari‟ah dan merupakan suatu bentuk
pelanggaran terhadap aturan Tuhan.1 Sebuah kondisi yang sangat
memprihatinkan jika semua masyarakat beranggapan seperti itu.
Padahal salah satu misi Rasulullah diutus ke permukaan bumi ini
adalah untuk mengangkat harkat dan martabat perempuan.
Disejajarkan dengan kaum laki-laki sesuai dengan fitrahnya sebagai
seorang perempuan. Baik dalam bidang ekonomi, politik, seni, sosial
dan budaya, serta dalam kontek pendidikan. Karena pendidikan
merupakan bagian yang sangat penting bagi perempuan, sebab
merekalah yang paling bertanggung jawab untuk mendidik anakanaknya. Merekalah yang paling banyak bersentuhan dengan dunia
anak, dan mereka pulalah yang paling banyak memberikan warna
terhadap anak-anaknya. Bagaimana mungkin perempuan akan
mampu mendidik anaknya secara optimal jika kondisi mereka sendiri
sangat terbelakang atau tidak berpendidikan. Jadi pendidikan itu
berperan sangat penting bagi perempuan, sebagai modal bagi mereka
untuk menciptakan hubungan yang harmonis, saling menghargai dan
memahami antara laki-laki dan perempuan, baik dalam kehidupan
keluarga, bermasyarakat dan berbangsa serta bernegara.
Potret dan Sejarah Pendidikan Perempuan Timur Tengah Era
Awal
Tidak dapat dipungkiri bahwa perempuan selalu didiskusikan
dalam berbagai kesempatan dan berbagai bidang, tidak terkecuali
dalam bidang pendidikan, baik pada masa klasik maupun pada masa
sekarang, bahkan dalam kajian fiqh terdapat pembahansana khusus
tentang perempuan, yaitu Fiqh Nisa‟. Akan tetapi perempuan hanya
sebagai subjek pembahasan, sehingga seringkali muncul dalam
berbagai macam wacana pemikiran adalah perempuan hanya sebagai
subjek pemikiran, dan tidak terlibat dalam wacana pemikiran
tersebut. Oleh karena itu, menjadi wajar apabila kita lihat dalam
buku-buku atau kitab-kitab, maka indeksnya akan dipenuhi oleh
nama laki-laki, sedangkan nama perempuan hanya disebut apabila
1
M. Arif Budiman, Qasim Amin dan Emansipasi Wanita di Mesir, dalam Majalah
Hermeneia PPS IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Vol. 1, No. 2, Edisi JuliDesember, 2002, hlm. 251.
139
At-Tasyrih, Volume 1, Nomor 2, Maret 2016: 136-158
kajian itu membicarakan tentang sejarah perempuan.2 Kenyataan
sejarah membuktikan bahwa pada masa sebelum Islam, kaum
perempuan selalu ditempatkan pada posisi objek dan menempati
posisi kedua setelah laki-laki. Perempuan dianggap kurang berharga,
sehingga
seringkali
dieksploitasi
melebihi
batas-batas
prikemanusiaan. Penempatan-perempuan dalam posisi yang rendah
itu tidak hanya meliputi wilayah pemikiran, tetapi juga pada wilayah
sikap dan prilaku dalam realitas kehidupan sehari-hari. Tradisi yang
menghiasi sejarah bangsa Arab sebelum Islam datang, yang biasa
disebut zaman jahiliyah, yaitu sebagian dari bangsa Arab melakukan
pembunuhan terhadap anak perempuan yang sering disebut dengan
wa‟dul banat. Kebiasaan membunuh bayi perempuan ini diabadikan
dalam al-Qur‟an surat an-Nahl ayat 58, yang artinya:
“Dan apabila seseorang dari mereka diberi kabar dengan
(kelahiran) anak perempuan, hitamlah (merah padamlah)
mukanya, dan dia sangat marah. Ia menyembunyikan dirinya
dari orang banyak, disebabkan buruknya berita yang
disampaikan kepadanya. Apakah dia akan memeliharanya
dengan
menanggung
kehinaan
ataukah
akan
menguburkannya ke dalam tanah (hidup-hidup)? Ketahuilah
alangkah buruknya apa yang mereka tetapkan itu.3
Berita kelahiran anak perempuan pada masa jahiliyah
memberi kesan tentang sikap suami yang enggan menerimanya. Ada
dua pilihan yang timbul dalam benaknya menghadapi anak
perempuan itu, dibiarkan hidup dalam keadaan hina atau ditanam
hidup-hidup?. Seharusnya kehadiran anak perempuan tetap
disyukuri, dilimpahkan kepadanya kasih sayang yang sama dengan
kasih sayang yang diberikan kepada laki-laki, diberikan pendidikan
dan dibanggakan. Ada tiga alasan pada waktu itu mengapa anak
perempuan itu dibunuh, Pertama, khawatir jatuh orang tua pada
lembah kemiskinan dengan menanggung biaya hidup anak
perempuan yang lahir, apalagi menurut mereka anak perempuan
tidak produktif. Kedua, khawatir jatuhnya anaknya pada lembah
kemiskinan jika mereka dewasa nanti, ketiga, khawatir menanggung
aib akibat ditawan dalam peperangan sehingga diperkosa atau karena
terjadi perzinahan.4 Sebelum datangnya Islam, tradisi pendidikan
bangsa Arab pada dasarnya terbatas pada tradisi lisan. Pewarisan
2
3
4
Samsul Nizar, Sejarah dan Pergolakan Pemikiran Pendidikan Islam, ( Jakarta:
Quantum Teaching, 2005), hlm. 37.
Anonim, Al-Qur‟an dan Terjemahannya, (Semarang: Toha Putra, 1989), hlm.
410.
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, Pesan, kesan, dan keserasian al-Qur‟an,
Vol. ke-7. (Jakarta: Lentera Hati, 2004), Cet Ke-4, hlm. 260-262.
Pendidikan dan Pemberdayaan Perempuan... – Amiruddin 140
ilmu pengetahuan, nilai dan tradisi berlangsung dari mulut kemulut.
Materi pendidikan mencakup pengetahuan dan keterampilan dasar
sesuai dengan kondisi kehidupan setempat masyarakat pada waktu
itu. Pada saat itu, masyarakat Arab adalah terdiri dari masyarakat
pribumi yang buta aksara, meskipun kemampuan hafalan mereka
rata-rata sangat mengagumkan. Pada waktu permulaan nabi
menyiarkan Islam, di Mekkah telah ada beberapa orang yang telah
pandai baca tulis yang terdiri dari 17 orang Quraisy dan ditambah
lima orang perempuan. Mereka adalah Umar bin Khattab, Ali bin
Abi Tholib, Usman bin Affan, Abu Ubaidah bin Jarrah, Talhah,
Yazid bin Abi Sopyan, Abu Huzaifah bin Utbah, Hathib bin Amr,
Abu Salamah bin Abdul As‟ad al-Makhzumy, Aban bin Sa‟id bin alAsh bin Umaiyah, Khalid bin Sa‟id dan saudaranya, Abdullah bin
Sa‟d bin Abu Sarh al Amiry, Huwithib bin Abdul Uzza, Abu Sopyan
bin Harb, Muawiyah bin Abi Sopyan, Juhaim bin As Shalt.
Sedangkan dari pihak perempuan adalah Hafsah istri nabi, Ummi
Kalsum bin Uqbah, Aisyah binti Sa‟d, as-Syifak binti Abdullah alAdawiyah, Karimah binti al-Miqdad. Sedangkan siti Aisyah dan
Ummi Salamah keduanya istri nabi bisa membaca, tetapi tidak bisa
menulis.5
Ada juga riwayat yang menyebutkan bahwa pada waktu itu
sudah ada kuttab (semacam sekolah khusus untuk anak-anak) yang
mengajarkan menulis dan membaca, walaupun demikian budaya
baca tulis ini belum mewarnai kehidupan masyarakat pada waktu itu.
Karena warisan budaya mereka pada waktu itu adalah budaya lisan,
menghafal syair-syair dan puisi-puisi yang indah, nasab (urutan garis
keturunan) pun mereka hafal. Mereka mewarisi budaya dan tradisi
tersebut secara lisan, sehingga kepandaian membaca dan menulis
tidak merupakan hal yang penting dalam tradisi budaya mereka.
Dengan tradisi lisan tersebut mereka terkenal dengan orang-orang
yang kuat hafalan.6 Setelah Rasul menerima wahyu dari Allah SWT,
maka mulailah beliau menjalankan tugasnya secara sembunyisembunyi. Hal ini dilakukan mengingat situasi yang menuntut
demikian, yang belum memungkinkan bagi beliau untuk berdakwah
(mendidik) secara terbuka atau terang-terangan. Beliau mulai dengan
keluarga dekatnya dengan mengajak istrinya, Khadijah (perempuan
pertama yang langsung mendapatkan pendidikan Islam dari Rasul)
untuk beriman dan menerima petunjuk-petunjuk dari Allah SWT.
Kemudian diikuti oleh sepupu beliau Ali bin Abi Thalib, Zaid bin
Haritsah, dan Abu Bakar Shiddiq, secara berangsur-angsur ajakan
Jalaluddin dan Usman Sa‟id, Filsafat Pendidikan Islam: Konsep dan
Perkembangan Pemikirannya, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1996), hlm.
117
6
Ibid., hlm. 18.
5
141
At-Tasyrih, Volume 1, Nomor 2, Maret 2016: 136-158
tersebut disampaikan dikalangan keluarga dekat dari suku Quraisy,
antara lain yang beriman atau mempercayai dakwah Rasul ini adalah
Usman bin Affan, Zubair bin Awwam, Sa‟ad bin Abi Waqas,
Abdurrahman bin Auf, Talhah bin Ubaidillah, Abu Ubaidah bin
Jarrah, Arqam bin Abi Arqam, Said bin Zaid, termasuk dari kaum
perempuan, yaitu Fatimah bin Khattab.7
Kehadiran Islam ini telah dimulai suatu warna baru bagi
kaum perempuan dengan diberikannya kemerdekaan dan hak-hak
mereka yang selama ini tidak pernah mereka dapatkan, derajat
mereka terangkat sebagai manusia. Selain itu, dalam ajaran Islam
terkandung unsur-unsur persamaan antara manusia, baik antara lakilaki dan perempuan maupun antar bangsa, suku, dan keturunan yang
merupakan tema utama sekaligus prinsip dalam ajaran Islam.
Perbedaan yang diakui dalam Islam dan kemudian menjadi ukuran
tinggi rendahnya seseorang hanyalah nilai ibadah dan taqwanya
kepada Allah SWT. Ide ini secara eksplisit ditegaskan dalam alQur‟an surat al-Hujurat ayat 13, yang artinya:
“Hai manusia, Sesungguhnya kami menciptakan kamu dari
seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan
kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu
saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling
mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling
taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui
lagi Maha Mengenal”.8
Penjelasan di atas dapat dipahami bahwa derajat manusia
sama di sisi Allah, tidak ada perbedaan antara satu suku dengan suku
lainnya, tidak ada juga perbedaan pada nilai kemanusiaan antara lakilaki dan perempuan. Karena semua diciptakan dari laki-laki dan
perempuan. Oleh sebab itu, berusahalah untuk meningkatkan
ketakwaan agar menjadi manusia yang termulia di sisi Allah SWT. 9
Oleh karena itu, manusia dalam pandangan Islam, baik laki-laki
maupun perempuan memiliki kedudukan yang sama. Maka Islam
juga tidak membeda-bedakan antara amal perbuatan yang dilakukan
oleh laki-laki dan perempuan, sebagaimana firman Allah SWT dalam
surat Ali Imran ayat 195, yang artinya:
“Maka Tuhan mereka memperkenankan permohonannya
(dengan berfirman): "Sesungguhnya Aku tidak menyianyiakan amal orang-orang yang beramal di antara kamu,
baik laki-laki atau perempuan, (karena) sebagian kamu
7
Zuhairini, dkk, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1992), hlm. 14.
Anonim, Al-Qur‟an dan Terjemahannya..., hlm. 847.
9
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah..., hlm. 260.
8
Pendidikan dan Pemberdayaan Perempuan... – Amiruddin 142
adalah turunan dari sebagian yang lain10. Maka orang-orang
yang berhijrah, yang diusir dari kampung halamannya, yang
disakiti pada jalan-Ku, yang berperang dan yang dibunuh,
Pastilah akan Ku-hapuskan kesalahan-kesalahan mereka dan
Pastilah Aku masukkan mereka ke dalam surga yang
mengalir sungai-sungai di bawahnya, sebagai pahala di sisi
Allah. dan Allah pada sisi-Nya pahala yang baik."11
Paparan di atas dapat dipahami bahwa laki-laki dan perempuan
sama haknya di hadapan Allah SWT dalam menerima balasan.
Dengan demikian dapat dipahami bahwa tidak ada yang lebih di
antara keduanya kecuali dalam hal amal perbuatan. Dengan
Amalnya, perempuan dapat mengangkat derajatnya menuju derajat
yang paling tinggi di sisi Allah SWT. Islam mengakui kehormatan
perempuan sebagai manusia dan mengingkari perlakuan kasar yang
biasa dilakukan oleh sebagian umat. Memang harus diakui bahwa
kaum muslimin agak sedikit terbelakang dalam hal mendidik dan
memberi pengajaran terhadap kaum perempuan. Karena masih ada
tradisi yang berkembang di tengah masyarakat menganggap
pendidikan terhadap perempuan itu tidak penting. 12
Mendiskusikan kaitan feminisme dan Islam tidak akan kita
lepaskan dari kehadiran al-Qur‟an sebagai buku petunjuk samawi
yang secara komprehensif dan lugas memaparkan hak asasi
perempuan dan laki-laki yang sama, hak itu meliputi hak dalam
beribadah, berkeyakinan, pendidikan, potensi spiritual, hak sebagai
manusia dan eksistensi menyeluruh pada hampir semua sektor
kehidupan. Lebih jauh Islam datang sebagai revolusi yang
mengeliminasi diskriminasi kaum jahiliyah atas perempuan dengan
pemberian hak warisan, menegaskan persamaan status dan hak
dengan laki-laki, pelarangan nikah tanpa jaminan bagi perempuan
dan mengeluarkan aturan pernikahan yang mengangkat derajat
perempuan pada masa itu dan perceraian yang manusiawi.13 Kondisi
tersebut akhirnya berlalu setelah kedatangan Rasulullah yang
mengembalikan perempuan sebagaimana manusia seutuhnya setelah
mengalami hidup dalam kondisi yang menggenaskan tanpa
kredibilitas apapun dan hanya sebagai komiditi tanpa nilai.
10
Maksudnya sebagaimana laki-laki berasal dari laki-laki dan perempuan, Maka
demikian pula hlmnya perempuan berasal dari laki-laki dan perempuan. keduaduanya sama-sama manusia, tak ada kelebihan yang satu dari yang lain tentang
penilaian iman dan amalnya.
11
Anonim, Al-Qur‟an dan Terjemahannya..., hlm. 110.
12
Ahmad Musthofa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, Terj. Bahrun Abu Bakar dan
Hery Noer Aly, (Semarang: Toha Putra, 1986), Juz ke-4, hlm. 298
13
Kuni Khairunnisa, Gender dalam Agenda Feminisme Kontemporer,
,
http://www.Google.co.id.,
143
At-Tasyrih, Volume 1, Nomor 2, Maret 2016: 136-158
Penghargaan Islam terhadap eksistensi perempuan ditauladani oleh
Rasulullah dalam sisi-sisi kehidupan keluarganya, baik kepada
istrinya, anak-anaknya, dan hubungan beliau dengan perempuanperempuan di masyarakat.
Pada hakikatnya, dakwah dan penanaman ajaran Islam yang
dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW dalam rangka
mengembangkan dan menyebarkan ajaran di permukaan bumi ini
adalah sebuah kegiatan atau proses pendidikan, dan hal ini dilakukan
tidak hanya terbatas bagi kaum laki-laki saja, tetapi juga kepada
kaum perempuan. Rasulullah telah memberikan kesempatan dan
meluangkan waktunya untuk mengajar para perempuan agar sama
dengan kaum laki-laki, yaitu sama mendapatkan pendidikan.
Terlihat jelas bagaimana perempuan pada masa itu mendapatkan hak
untuk menimba ilmu, mengkritik, bersuara, berpendapat dan atas
permintaan muslimah sendiri meminta Rasulullah membuat suatu
majelis tersendiri untuk para perempuan agar mereka lebih leluasa
untuk berdialog dan berdiskusi dengan Rasulullah. Sebagaimana
dijelaskan dalam sebuah hadits yang artinya:
“ Telah datang beberapa perempuan kepada Rasulullah, maka
mereka berkata: “Ya Rasulullah, kami tidak mendapatkan
peluang belajar di majelismu yang dipenuhi oleh laki-laki,
maka berilah kesempatan itu”. Kemudian Rasulullah
menjawab: “Bagianmu adalah di rumah si anu”. Maka beliau
datang kepada mereka (kaum perempuan) pada hari dan
tempat yang telah dijanjikan dan beliau mengajar mereka.14
Hadits di atas tersirat bahwa Nabi memberikan pendidikan dan
pengajaran kepada perempuan, namun tempat dan waktunya berbeda
dengan kaum laki-laki. Rasul memberikan, menyediakan
kesempatan, dan menentukan tempat khusus bagi perempuan untuk
mendapatkan ilmu pengetahuan agama darinya. Hal ini tentunya
sangat sesuai dengan salah satu misi beliau diutus oleh Allah SWT
adalah untuk mengangkat atau memberdayakan harkat dan martabat
kaum perempuan yang sebelumnya tidak dihormati dan dihargai.
Perempuan dianggap sebagai kelompok kelas dua dan tidak terlalu
diperhitungkan. Oleh sebab itu, perempuan pada masa Rasulullah
SAW tidak mau ketinggalan dengan laki-laki. Kaum laki-laki pada
hari Jumat waktu khotbah di masjid dapat menerima pengajaran
langsung dari mulut Nabi, perempuan juga turut sholat Jum‟at
berjamaah di masjid bersama laki-laki, walaupun hal tersebut tidak
termasuk suatu kewajiban bagi mereka. Meskipun demikian, diharian
yang lain kaum perempuan juga meminta kepada Nabi supaya
dikhususkan sehari dalam seminggu untuk mengajarkan mereka.
14
Digital Hadits as-Syarif, Shahih Bukhori, No. 6766.
Pendidikan dan Pemberdayaan Perempuan... – Amiruddin 144
Seperti yang telah dijelaskan dalam hadits di atas tadi. Kadang Nabi
membaca khotbah dua kali waktu sholat hari raya karena ramainya
kaum muslimin yang hadir, satu kali untuk laki-laki dan satu kali
untuk perempuan. Selain itu, ada juga perempuan yang datang
langsung menghadap Nabi untuk menanyakan soal-soal agama yang
tidak mereka ketahui.15
Terlihat juga geliat aktifitas perempuan sahabat Rasulullah
dalam panggung bisnis, politik, pendidikan, keagamaan dan sosial,
dan ikut serta dalam peperangan dengan sektor yang mereka mampu
melakukannya. Sejarah kehidupan istri-istri Rasul pun
mengindikasikan aktifitas aktif dimana Ummul Mukminin Khadijah
r.a. adalah salah satu kampiun bisnis pada waktu itu, Siti Aisyah
adalah perawi hadits dan banyak memberikan fatwa karena
kecerdasannya.16 Rasulullah sebelum pindah ke Yastrib telah
mempersiapkan kader- kader perempuan untuk menjadi guru di
Madinah. Ini dibuktikan dengan pada tahun kedua belas kenabian
orang Madinah datang ke Mekkah, mereka membuat perjanjian yang
pertama dengan Nabi di Aqabah sehingga dinamakan Bai‟ah alAqabah al Ula atau Ba‟atun Nisa‟ karena di dalam rombongan
mereka ada perempuan, yaitu „Afra‟ binti „Abid bin Sa‟labah. Orangorang inilah nantinya yang akan menyebarkan pengetahuan yang
telah mereka dapatkan dari Nabi Muhammad kepada masyarakat
yang ada di Madinah.17
Cara yang dipakai oleh Rasulullah dalam memberikan
pendidikan dan pengajaran adalah dengan menggunakan metode
ceramah, menyampaikan wahyu yang baru diterimanya dan
memberikan penjelasan-penjelasan serta keterangan-keterangannya,
berdialog dan berdiskusi atau Tanya jawab tentang sesuatu yang
berkenaan dengan aqidah maupun ibadah. Kurikulum yang dipakai
adalah al-Qur‟an, karena itu dalam praktiknya tidak saja logis dan
rasional tetapi juga sejalan dengan fitrah. Sehubungan dengan alQur‟an itu sendiri diturunkan secara berangsur-angsur menurut
kebutuhan yang diperlukan pada saat itu. Hasil dari cara yang
demikian ini dapat dilihat dari sikap rohani dan mental para
pengikutnya yang dipancarkan di dalam sikap dan semangat tangguh,
tabah, dan sabar juga aktif dalam memecahkan masalah yang
dihadapinya.
15
Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: PT. Hidakarya Agung,
1990), cet. Ke-6, hlm. 23-24.
16
Kuni Khairunnisa, Gender dalam Agenda Feminisme Kontemporer,
,http://www.Google.co.id, diakses Tanggal 20 Oktober 2009.
17
Ali Mufrodi, Islam di Kawasan Kebudayaan Arab, (Jakarta: Logos, 1997), hlm.
22.
145
At-Tasyrih, Volume 1, Nomor 2, Maret 2016: 136-158
Kemudian Ahmad Syalabi mengemukakan bahwa anak-anak
perempuan hanya menerima pelajaran di rumah dari salah seorang
anggota keluarga, atau dari seorang guru yang khusus didatangkan
untuk mereka. Bagaimanapun juga, pendidikan secara pribadi itu
telah berhasil melahirkan perempuan-perempuan Islam yang
kecerdasan mereka tidak jauh berbeda dengan kecerdasan kaum lakilaki.18 Dalam dunia pendidikan, al-Qur‟an dan hadits memberikan
pujian kepada siapapun, termasuk kepada perempuan yang mampu
meningkatkan prestasinya dalam bidang ilmu pengetahuan.
Disinggung dalam al-Qur‟an sejumlah perempuan yang sukses
meraih prestasi memuaskan, misalnya Ratu Bulqis, Maryam, dan
„Asiyah (istri Fir‟aun). Jadi jelas bahwa perempuan juga
mendapatkan pendidikan dan pengajaran sama dengan laki-laki,
sehingg lahirlah perempuan-perempuan yang berintelektual tinggi,
diantaranya:
a. Khadijah binti Khuwailid, seorang ummul mukminin dan
saudagar terdidik yang selalu mendampingi Nabi dan
berjuang dalam menyiarkan Islam.
b. Aisyah binti Abu Bakar, perempuan cerdas yang memiliki
ilmu pengetahuan dan telah meriwayatkan lebih dari 1000
hadits dengan periwayatan langsung, beliau juga seorang
yang ahli Fiqih, Tafsir, Kedokteran, dan syair-syair.
c. Asma‟ binti Abu Bakar, seorang perempuan yang pemberani
yang selalu mengantarkan makanan kepada Nabi ketika
akan hijrah.
d. Hafsah bin Umar, Fatimah az-Zahra, Sakinah binti Husein
merupakan perempuan yang sangat mencintai ilmu
pengetahuan.
e. Nasibah binti Ka‟ab, Aminah binti Qays al-Ghifariyah,
Ummu Athiyyah al Anshoriyyah, Rabiah bin Mas‟ud
merupakan perempuan yang ikut berperang dengan Nabi,
mereka bertugas merawat orang-orang yang sakit dan
mengobati orang-orang yang luka.
f. Al-Khansa‟, Hindun binti Atabah, Laila binti Salma, Siti
Sakinah binti al-Husein merupakan perempuan yang mahir
dalam bidang syair dan kesusteraaan.19
18
Ahmad Syalabi, Sejarah Pendidikan Islam, Terj. Muchtar Yahya dan M. Sanusi
Latief, (Jakarta: Bulang Bintang, 1970), hlm. 340.
19
Siti Sakinah seorang perempuan yang mahir yang selalu didatangi oleh para ahli
syair dari setiap penjuru negeri, dan jika diadakan perlombaan syair maka
beliaulah yang akan menetapkan mana syair yang terbaik, sehingga ahli syair dan
sastra sering mengadakan pertemuan dirumahnya. Lebih lanjut lihat Asma Hasan
Fahmi, Sejarah dan Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1979),
hlm. 180 .
Pendidikan dan Pemberdayaan Perempuan... – Amiruddin 146
Potret dan Sejarah Pendidikan Perempuan Indonesia Era Awal
Sebelum abad ke-20, gerakan perempuan hanya gerakan yang
bersifat perseorangan, belum dalam bentuk susunan kelompok atau
organisasi, akan tetapi usaha-usaha mereka telah merintis jalan kea
rah kemajuan Indonesia. Perlu dijelaskan bahwa keadaan dan
kedudukan perempuan Indonesia pada waktu itu sangat terbelakang,
karena adat-istiadat yang mengungkung, kurangnya pendidikan dan
pengajaran, kesewenang-wenang dalam perkawinan, dan sebagainya.
Hal ini juga merupakan akibat dari sistem penjajahan yang menindas
dan menghambat kemajuan. Beberapa perintis perempuan menyadari
bahwa hanya dengan jalan pendidikan kedudukan dan peranan
perempuan dapat ditingkatkan dalam keluarga dan masyarakat.
Kartini misalnya, menganjurkan emansipasi perempuan melalui
pendidikan agar perempuan cakap melaksanakan perannya sebagai
ibu rumah tangga dan pendidik pertama dari manusia. Dewi Sartika,
Nyai Dahlan, Rahmah el Yunusiyah adalah pelopor pendidikan
perempuan.20
Penindasan etnis perempuan ini merupakan penindasan
terpanjang sepanjang sejarah. Lebih lama daripada penindasan etnis
kulit hitam di Asia Afrika. Penindasan etnis warna kulit lebih
diuntungkan karena banyak orang simpati dan mendukung
perjuangan persamaan hak untuk semua jenis manusia tanpa
dibedakan warna kulit. Perjuangan Apartheid Nelson Mandela
misalnya, banyak mendapat sempati dunia bahkan diberikan bantuan
konkrit untuk perjuangan tersebut. Sungguh berbeda dengan
perjuangan etnis perempuan. Penindasan ini cendrung dipelihara.
Sayangnya tidak semua kaum perempuan memahami dan
mengetahui penindasan tersebut.21
Pada permulaan tahun 1900, sebelum R.A. Kartini, sudah ada
perempuan dikalangan bangsawan yang giat dalam usaha memajukan
perempuan, tetapi hanya dalam lingkungan kecil. Mereka berusaha
memperoleh pendidikan barat. Hal ini terjadi dikalangan raja-raja di
Jawa, pada awalnya tampak di kraton Paku Alam di Yogyakarta. Di
antara mereka banyak dari golongan muda yang belajar di sekolah
Belanda dengan maksud supaya kemudian dapat bekerja di berbagai
lapangan. Pelopor-pelopor perempuan ini lebih mengutamakan
pendidikan.22 Karena pendidikan akan menambah kesadaran dan
mengembangkan kemampuan yang dapat berguna untuk kemajuan
20
Samsul Nizar, Sejarah dan Pergolakan Pemikiran Pendidikan Islam, (Jakarta:
Quantum Teaching, 2005), hlm. 42.
21
Dadang S. Anshori, dkk, Membincangkan Feminisme, Refleksi Muslimah atas
Peran Sosial Kaum Wanita, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1997), hlm. 5.
22
Sukanti Suryochondro, Potret Pergerakan Wanita di Indonesia, (Jakarta:
Rajawali, 1984), hlm. 80.
147
At-Tasyrih, Volume 1, Nomor 2, Maret 2016: 136-158
masyarakat. Bukan lagi pendidikan yang dilakukan dalam kalangan
keluarga saja mengenai sopan santun, sikap hidup, dan
kerumahtanggaan, melainkan pendidikan sekolah dengan pelajaran
yang lebih luas. Pertama-tama yang mendapatkan perhatiannya
adalah pendidikan anak perempuan kalangan bangsawan karena
diharapkan mereka dapat memberi contoh kepada rakyat umumnya
karena dimasa itu sikap bangsawan selayaknya diikuti oleh rakyat.
Dalam permulaan abad ke-20 lambat laun semakin banyak
perempuan yang mendapat kesempatan memperoleh pendidikan
sekolah. Pandangan bahwa kaum perempuan harus diberi pendidikan
sekolah dan mendapat kedudukan yang lebih baik dalam masyarakat
makin meluas. Kartini mulai membuka sekolahnya di rumahnya
sendiri. Hal ini juga banyak dilakukan oleh kalangan bangsawan
lainnya. Misalnya Dewi Sartika mengepalai sekolah perempuan di
Bandung tahun 1904, selanjutnya sekolah ini diurus oleh sebuah
panitia yang disebut “ Vereniging Kaoetaman Istri”. Atas usaha
kaum pribumi didirikan sekolah “Kaoetaman Istri Minangkabau” di
Padang Panjang dan sekolah “Kerajinan Amai Setia” di Kota
Gedang. Banyak keterampilan kerumahtanggaan yang diajarkan di
sekolah-sekolah ini.23 Kemudian dalam konteks Sumatera Barat ada
tiga srikandi yang memberi kontribus yang cukup besar terhadap
pemberdayaan dan gerakan perempuan di Sumatera Barat khususnya,
yaitu Rahmah el Yunusiyah, Rasuna Said, lebih dikenal sebagai
pejuang melawan Belanda, dan Rohana Kudus juga mempunyai andil
dalam gerakan perempuan dengan menggunakan pers sebagai media
penyebaran ide-idenya.24 Sementara di Yogyakarta, K.H. Ahmad
Dahlan, sebagaimana disebutkan dalam sebuah Koran Bromartani
yang terbit di Surakarta, mengajar anak laki-laki dan perempuan di
Kauman Yogyakarta. Selanjutnya, yang dilakukan oleh Ahmad
Dahlan untuk kaum perempuan adalah mendirikan Aisyiyah pada
tahun 1917.25 dan masih banyak lagi bentuk-bentuk lembaga
pendidikan yang muncul seiring dengan keinginan untuk
memberikan pendidikan yang sama bagi pihak perempuan.
Kesetaraan: Pendidikan Berbasis Gender dan Pemberdayaan
Perempuan di Indonesia
a. Pengertian Gender
Sosialisasi, advokasi dan fasilitasi untuk menyamakan
persepsi tentang pemahaman konsep dasar gender harus terus
dilakukan agar masing-masing individu mengetahui hak dan
kewajibannya sebagai warga negara. Program gender di Indonesia
23
Ibid., hlm. 81-82.
Samsul Nizar, Loc.Cit., hlm. 45-46.
25
Samsul Nizar, Ibid., hlm. 49.
24
Pendidikan dan Pemberdayaan Perempuan... – Amiruddin 148
belum berjalan secara optimal, karena selain dimensi
permasalahannya yang sangat beragam, persepsi dan pemahaman
masyarakat tentang gender masih sering berbeda dan rancu,
mengingat istilah itu bukan berasal dari bahasa Indonesia. 26
Jadi gender itu adalah pandangan atau keyakinan yang
dibentuk masyarakat tentang bagaimana seharusnya seorang
perempuan dan laki-laki bertingkah laku maupun berfikir.
Misalnya pandangan bahwa seorang perempuan idealnya harus
pandai memasak, pandai merawat diri, lemah lembut, atau
keyakinan bahwa perempuan adalah makluk yang sensitif,
emosional, selalu memakai perasaan. Sebaliknya laki-laki sering
dilukiskan berjiwa pemimpin, pelindung, kepala rumah tangga,
rasional, tegas dan sebagainya. 27 Singkatnya gender adalah jenis
kelamin sosial yang dibuat masyarakat, yang belum tentu benar.
Berbeda dengan seks yang merupakan jenis kelamin biologis
ciptaan Tuhan, seperti perempuan mempunyai vagina, payudara,
rahim, bisa melahirkan dan menyusui, sementara laki-laki
memiliki jakun, penis, dan sperma yang sudah ada sejak dulu kala.
Sedangkan menurut Nikamatus Sholihah, gender adalah
pembagian peran kedudukan, dan tugas antara laki-laki dan
perempuan ditetapkan oleh masyarakat berdasarkan sifat
perempuan dan laki-laki yang dianggap pantas sesuai dengan
norma-norma, adat istiadat, kepercayaan, atau kebiasaan
masyarakat. Gender tidak menjadi masalah apabila terjadi
kesepakatan kedua belah pihak di dalam pembagian tugas dan
kedua belah pihak memiliki kesempatan yang sama untuk
melakukan kegiatan lain di luar untuk memenuhi kebutuhan
masyarakat dan mengembangkan diri.
Gender akan dipermasalahkan apabila adanya perbedaan
(diskriminasi) perlakuan dalam akses, partisipasi, kontrol dalam
menikmati hasil pembangunan antar laki-laki dan perempuan. Dan
juga tidak ada kesetaraan dan keadilan dalam pembagian peran,
tanggung jawab, hak, kewajiban serta fungsi sebagai anggota
keluarga maupun masyarakat yang akhirnya tidak menguntungkan
kedua belah pihak. Jadi dapat disimpulkan bahw gender menjadi
masalah jika ada ketimpangan relasi atau ketidakadilan antara
laki-laki dan perempuan dimana satu pihak menjadi korban.
Ketidakadilan gender bisa dialami oleh laki-laki maupun
perempuan, tetapi karena budaya kita yang patriarki atau
mengutamakan laki-laki sehingga perempuanlah yang paling
sering terkena dampaknya. Apa akibat ketidaksetaraan dan
ketidakadilan gender ini, yaitu:
26
27
Nikmatus Sholihah, Gender dan Jenis Kelamin, http://www.Google.co.id.,
Nikmatus Sholihah, Gender dan Jenis Kelamin, http://www.Google.co.id,..
149
At-Tasyrih, Volume 1, Nomor 2, Maret 2016: 136-158
1) Penomorduaan (subordination)
2) Peminggiran (marginalization)
3) Beban ganda ( double burden)
4) Kekerasan (violence)
5) Pelabelan negatif (stereotype).28
Menurut Husein Muhammad keadilan secara umum
didefenisikan sebagai “menempatkan sesuatu secara proporsional
dan memberikan hak kepada pemiliknya”. Defenisi ini
memperlihatkan bahwa dia selalu berkaitan dengan pemenuhan
hak seseorang terhadap orang lain yang seharusnya dia terima
tanpa diminta karena hak itu ada dan menjadi miliknya. Dalam
konteks relasi gender, wujud dari pemenuhan hak atas perempuan
masih merupakan problem kemanusiaan yang serius. Realitas
sosial, kebudayaan, ekonomi dan politik masih menempatkan
perempuan sebagai entitas yang direndahkan. Persepsi
kebudayaan masih melekatkan stereotype yang merendahkan,
mendeskriminasikan dan memarginalkan mereka. Padahal
keadilan adalah gagasan yang paling sentral sekaligus tujuan
tertinggi yang diajarkan oleh setiap agama dan kemanusiaan
dalam upaya meraih cita-cita manusia dalam kehidupan
bersama.29 Dalam konteks Islam, sentralitas ide keadilan ini
dibuktikan melalui penyebutannya di dalam al-Qur‟an lebih dari
50 kali dalam bentuk yang beragam. Di samping menggunakan
kata al-„Adl, tetapi juga menggunakan kata lain yang maknanya
identik dengan keadilan, misalnya al-Qisth, al-Wasath (tengah),
al-Mizan (seimbang), al-Sawa‟/al-Musawah (sama/persamaan),
dan al-Matsil (setara). Lebih dari itu keadilan menjadi salah satu
nama bagi Tuhan dan tugas utama bagi para Rasul.30
Ibnu al-Qayyim al-Jauziyah mengatakan bahwa keadilan
manusia harus diusahakan dari mana pun ia ditemukan karena ia
juga adalah keadilan Tuhan yang hanya untuk tujuan itulah hukum
Tuhan diturunkan. Dengan begitu, interpretasi dan pemaknaan
atas teks ketuhanan yang tidak mampu menangkap esensi keadilan
harus diluruskan.31 Pada tatanan praktis Islam memberikan aturan
yang lebih rinci berkaitan dengan peran dan fungsi masing-masing
dalam menjalani hidup ini. Dimana adakalanya sama dan
adakalanya berbeda antara laki-laki dan perempuan. Akan tetapi
28
Nikmatus Sholihah, Gender dan Jenis Kelamin, http://www.Google.co.id.,
Husein Muhammad, Kesetaraan Gender: Memaknai Keadilan dari Perspektif
Islam, http://www.Google.co.id., diakses pada Tanggal 23 Oktober 2009.
30
Husein Muhammad, Kesetaraan Gender: Memaknai Keadilan dari Perspektif
Islam, http://www.Google.co.id.,
31
Husein Muhammad, Kesetaraan Gender: Memaknai Keadilan dari Perspektif
Islam, http://www.Google.co.id.,
29
Pendidikan dan Pemberdayaan Perempuan... – Amiruddin 150
perbedaan ataupun persamaan ini tidak bisa dinilai dengan adanya
ketidakadilan atau ketidaksetaraan gender.
b. Pendidikan Berbasis Gender
Beranjak dari realitas bahwa biaya pendidikan setiap tahun
mengalami kenaikan dan bertambah mahal. Semuanya itu
semakin membebani orang tua siswa. Akibatnya, bagi siswa yang
berasal dari keluarga miskin, sekolah semakin hanya tinggal
menjadi impian. Untuk menikmati fasilitas pendidikan yang
berkualitas semakin tidak memungkinkan baginya. Banyak anakanak yang berasal dari keluarga miskin hanya mampu
melanjutkan studinya di sekolah yang kualitasnya di bawah
standar. Yang penting bagi mereka biaya terjangkau oleh
pendapatan orang tuanya. Pendidikan yang berkategori unggulan
tentu saja biayanya sangat mahal. Pihak sekolah biasanya
mematok biaya pendidikan yang mahal. Mulai dari sumbangan
pengembangan institusi yang besarnya jutaan rupiah, biaya
seragam, biaya kegiatan ekstrakurikuler, hingga buku teks wajib
yang seharusnya tidak menjadi beban bagi orang tua mereka.
Dampak dari komersialisasi pendidikan ini, lambat laun akan
berdampak pada diskriminasi hak untuk memperoleh fasilitas
pendidikan bagi anak-anak dan keluarga miskin. Padahal,
menikmati pendidikan yang berbiaya murah dan berkualitas
adalah merupakan bentuk perwujudan dari hak asasi manusia, hak
sosial, ekonomi, budaya yang seharusnya menjadi tanggung jawab
negara. Minimnya alokasi anggaran negara untuk pendidikan
memang menjadi salah satu faktor penyebab minim dan buruknya
penyelenggaraan dan kwalitas pendidikan di negara kita ini. Hal
ini juga berdampak pada semakin banyaknya anak-anak usia
sekolah yang tidak bisa meneruskan sekolah.
Menurut data riset Education Watch tahun 2006
menyebutkan bahwa kecendrungan realitas tidak meneruskan
sekolah bagi anak-anak dari keluarga miskin semakin meningkat
persentasenya. Ironisnya lagi kebanyakan anak-anak usia sekolah
dari keluarga miskin yang gagal melanjutkan sekolah ke jenjang
SD, SMP, SMA mayoritas (72,3%) adalah siswa-siswa
perempuan. Adapun penyebabnya adalah minimnya biaya
pendidikan dari keluarganya, juga karena masih terjerat cara
pandang patriarkis orangtua. Mereka menganggap anak-anak
perempuan mereka tidak usah melanjutkan sekolah, lebih baik
langsung dinikahkan saja atau didorong bekerja disektor publik
sebagai pembantu rumah tangga atau buruh informal.32 Sebagian
32
Ari
Kristianawati,
Kesetaraan:
http://www.Google.co.id.,
Pendidikan
Berbasis
Gender,
151
At-Tasyrih, Volume 1, Nomor 2, Maret 2016: 136-158
dari mereka juga beranggapan bahwa setinggi-tingginya
pendidikan perempuan juga tetap akan kembali ke dapur, sumur,
dan sebagainya. Kondisi di atas menjadikan anak-anak perempuan
usia sekolah dari keluarga miskin menjadi kelompok sosial yang
dilanggar hak sosial-ekonomi- dan budayanya. Mereka tidak bisa
mendapatkan hak memperoleh atau menikmati pendidikan yang
berkwalitas dan berbiaya murah. Untuk itulah saat ini perlu bagi
kalangan penggiat pendidikan alternatif untuk mengembangkan
program pendidikan yang berbasis gender atau pendidikan yang
memberdayakan perempuan. Langkah-langkah yang bisa
dilakukan adalah:
1) Perlu dirumuskan reorientasi kurikulum pendidikan
sekolah alternatif yang sensitif gender sehingga ada
penghormatan terhadap hak-hak anak perempuan.
2) Perlu kalangan penggiat pendidikan alternatif untuk
mendesak adanya platfon subsidi anggaran pendidikan
yang khusus untuk anak-anak usia sekolah dari komunitas
perempuan (keluarga miskin) sehingga mereka bisa
melanjutkan studinya, setidaknya sampai lulus jenjang
strata satu.
3) Perlu diimplementasikan program perwujudan kesetaraan
hak pendidikan bagi anak perempuan dalam berbagai
jenjang dan jenis pendidikan.
4) Kesetaraan dalam mengaktualisasikan diri dalam proses
dan kegiatan belajar mengajar.33
Kegagalan instrumen hukum memenuhi keadilan bagi
perempuan lebih disebabkan masih kokohnya pengaruh persepsi
dan konstruksi kebudayaan patriarkis, adalah sebuah keniscayaan
di atas premis kebudayaan dan tradisi ini terminologi hukum dan
kebijakan publik, termasuk postulat fiqih harus dibangun. Dari
sinilah kita perlu membangun kembali makna keadilan
berdasarkan konteks sosial baru dan dengan paradigma keadilan
substantif sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya.
Penyusunan makna keadilan bagi perempua dalam konteks ini
harus didasarkan pada dan dengan mendengarkan pengalaman
perempuan. Pemenuhan keadilan bagaimanapun hanya dapat
tercapai jika kebudayaan dan tradisi masyarakat menunjukkan
pemihakannya kepada para perempuan. Hal lain yang lebih
mendasar adalah pemaknaan keadilan bagi perempuan harus
didasarkan pada paradigma hak asasi manusia. Sebab hak asasi
manusia bukan saja sejalan melainkan juga menjadi tujuan
keputusan Tuhan. Perempuan dalam paradigma ini memiliki
33
Ari
Kristianawati,
Kesetaraan:
http://www.Google.co.id.,
Pendidikan
Berbasis
Gender,
Pendidikan dan Pemberdayaan Perempuan... – Amiruddin 152
seluruh potensi kemanusiaan sebagaimana yang dimiliki oleh lakilaki. Dari sini konstruksi sosial baru yang menjamin keadilan
gender diharapkan lahir menjadi basis pendefenisian kembali
pranata sosial, regulasi, kebijakan politik, dan ekonomi, serta
tidak terkecuali tentang fiqih.34
Ada beberapa prinsip kesetaraan gender di dalam al-Qur‟an,
yaitu:
1) Perempuan dan laki-laki sama-sama sebagai hamba ( Q.S.
al-Zariyat ayat : 56, Q.S. al-Hujurat ayat: 13)
2) Perempuan dan laki-laki sebagai khalifah di bumi (Q.S. alAn‟am ayat 165, al-Baqarah ayat 30
3) Perempuan dan laki-laki menerima perjanjian awal dengan
Tuhan (Q.S. al-A‟raf ayat 172, al-Isra‟ ayat 70)
4) Adam dan hawa terlibat secara aktif dalam drama kosmis
5) Perempuan dan laki-laki sama-sama berpotensi meraih
prestasi.35
Keterlibatan Laki-laki sebagai Mitra dalam Menghentikan
Kekerasan Terhadap Perempuan
Istilah kekerasan terhadap perempuan membawa konotasi
bahwa pelakunya bukan perempuan. Walaupun demikian,
sebenarnya bukan semua pelaku kekerasan terhadap perempuan
adalah laki-laki. Pelaku kekerasan adalah mereka yang dalam relasi
kekuasaan mempunyai kekuasaan yang lebih besar dari korbannya.
Keadaan ini menyebabkan korban tidak berdaya untuk melawan
kekuasaan yang lebih besar. Sebagai contoh adalah kekerasan
terhadap pembantu rumah tangga yang dilakukan oleh majikan
perempuan atau kekerasan pada anak perempuan oleh orang tuanya
atau orang yang lebih dewasa. Disamping itu banyak informasi yang
menyatakan bahwa sebenarnya laki-laki juga menjadi korban dari
nilai dan norma sosial yang ada, dimana laki-laki dianggap sebagai
“superman” yang bisa melakukan semua hal. Dalam banyak aspek,
laki-laki dan perempuan mempunyai kondisi yang sama dimana lakilaki memerlukan bantuan ketika mereka menghadapi masalah. 36
Walau demikian dalam kehidupan sehari-hari banyak laki-laki
berperan dibidang publik dan pengambil keputusan.
Dalam
kaitannya dengan penghapusan kekerasan, mereka sebenarnya
mempunyai peran yang sangat signifikan jika mereka betul-betul
Husein Muhammad, Kesetaraan Gender:‟ Memaknai Keadilan dari Perspektif
Islam, http://www.Google.co.id.,
35
Nasaruddin Umar, Qur an untuk Perempuan, Jaringan Islam Liberal & teater
Utan Kayu, 2002.
36
Heru P. Kasidi, Keterlibatan Laki-laki sebagai Mitra dalam Menghentikan
Kekerasan
dalam
Rumah
Tangga;
Peran
Laki-laki
Intelektual,
http://www.Google.co.id., 21 April 2009.
34
153
At-Tasyrih, Volume 1, Nomor 2, Maret 2016: 136-158
memahami dengan baik persoalan tentang kekerasan terhadap
perempuan. Misalnya dalam keluarga, masyarakat, biasanya seorang
ayah atau laki-laki masih menjadi acuan dan aturan untuk anak lakilaki mereka. Selain itu juga mereka menjadi referensi dan penentu
untuk keputusan terhadap anak perempuan. Perubahan nilai patriarki
di dalam masyarakat, jika dikaitkan dengan penghapusan kekerasan
terhadap perempuan memerlukan upaya tertentu dan tidak selalu
mudah serta memakan waktu. Dalam perkembangan masyarakat kita
hari ini, memang sudah ada perubahan nilai patriarki kea rah
kesetaraan kekuasaan antara laki-laki dan perempuan, namun masih
terbatas. 37
Jika kita lihat peran laki-laki secara umum dalam kehidupan
sehari-hari, dapat kita lihat di bawah ini sebagai pemikiran dalam
pelibatan laki-laki untuk penghapusan kekerasan terhadap
perempuan, yaitu:
1) Laki-laki sebagai pelaku kekerasan terhadap perempuan,
pendekatan yang dapat dilakukan antara lain memberikan
pemahaman baru tentang kekerasan terhadap sesama dan
terhadap perempuan dan mengubah prilaku.
2) Laki-laki masih dianggap berkedudukan lebi,h tinggi,
pendekatannya dengan cara mecari bentuk baru dari nilai
patriarki karena tidak semua nilai patriarki buruk,
membangun image laki-laki baru yang lebih adil terhadap
perempuan.
3) Laki-laki sebagai korban kekerasan, pendekatannya yaitu
perubahan nilai bahwa laki-laki bukan manusia super.
4) Laki-laki sebagai kelompok yang diam atau pemberi restu
terjadinya kekerasan terhadap perempuan, pendekatannya
dengan cara membangun pemahaman tentang kekerasan
terhadap perempuan, dan memberi pemahaman tentang
peran yang dapat dilakukan laki-laki.
5) Laki-laki sebagai kepala rumah tangga, pendekatannya
dengan cara memberikan pemahaman yang baik tenang
peran dan tanggung jawab sebagai kepala rumah tangga.
6) Laki-laki sebagai pembuat keputusan, pendekatannya
dengan cara peningkatan pemahaman tentang kesetaraan
dan keadilan bagi laki-laki dan perempuan
7) Peran pendidikan (patron bagi anak laki-laki),
pendekatannya dengan cara penanaman nilai-nilai budaya
damai dan saling menghormati serta multi kulturalisme
37
Heru P. Kasidi, Keterlibatan Laki-laki sebagai Mitra dalam Menghentikan
Kekerasan
dalam
Rumah
Tangga;
Peran
Laki-laki
Intelektual,
http://www.Google.co.id., 21 April 2009
Pendidikan dan Pemberdayaan Perempuan... – Amiruddin 154
8) Laki-laki sebagai narasumber bagi per group mereka,
pendekatannya dengan cara penanaman nilai-nilai budaya
damai, kesetaraan dan keadilan bagi laki-laki dan
perempuan.38
Pembangunan Pemberdayaan Perempuan Mitra Sejajar Pria
Wanita dengan segala kelebihan dan kekurangannya
ditakdirkan untuk menjadi mitra bagi laki-laki. Mitra artinya teman,
dan arti yang luasnya sebagai teman, perempuan harus diperlakukan
dengan semestinya. Dalam hal ini sangat tidak diharapkan adanya
dominasi dari pihak laki-laki. Sebagai teman, perempuan bukan
subordinat, dia ada bukan untuk ditindas, dia hadir bukan untuk
dieksploitasi. Peribahasa yang sesuai dengan harapan para wanita
jika bekerja sama dalam hal apapun dengan laki-laki adalah ringan
sama dijinjing dan berat sama dipikul. Pemberdayaan perempuan
merupakan sarana penguatan terhadapa perempuan dalam berbagai
bentuk kehidupan sosial, ekonomi, dan politik berdasarkan pada
keterkaitan antara kebebasan pribadi dan aturan masyarakat yang
berlaku. Tahap awal pemberdayan perempuan dapat dibandingkan
dengan tahapan hak. Perempuan miskin, diberbagai budaya tidak
akrab dengan bahasa “hak”, karena itu menjadi tanggung jawab
untuk menjelaskan hal itu kepada mereka. Pembangunan
pemberdayaan perempuan dilakukan untuk menunjang dan
mempercepat tercapainya kualitas hidup dan mitra kesejajaran lakilaki dan perempuan. Hal ini dapat dilaksanakan melalui kegiatan
sosialisasi / advokasi pendidikan dan latihan bagi kaum perempuan
yang bergerak dalam seluruh bidang dan sektor.
1) Tujuan Pembangunan Pemberdayaan Perempuan
a) Meningkatkan sumber daya perempuan perempuan
yang mempunyai kemampuan dan keamanan guna
kemandirian, dengan bakal kepribadian, memiliki rasa
tanggung jawab kemasyarakatan, keimanan dan
ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa.
b) Terciptanya gerak langkah yang terpadu dan harmonis
antara sektor dan sub sektor pemerintah, organisasi
kemasyarakatan dan politik, LSM, tokoh dan pemuka
masyarakat dan agama dalam upaya proses
pembangunan perempuan
2) Sasaran umum Pembangunan pemberdayaan perempuan
a) Meningkatkan kualitas sumber daya manusia
perempuan diberbagai kegiatan sektor dan sub sektor
38
Heru P. Kasidi, Keterlibatan Laki-laki sebagai Mitra dalam Menghentikan
Kekerasan
dalam
Rumah
Tangga;
Peran
Laki-laki
Intelektual,
http://www.Google.co.id., 21 April 2009.
155
At-Tasyrih, Volume 1, Nomor 2, Maret 2016: 136-158
serta lembaga dan non lembaga yang mengutamakan
peningkatan kemampuan dan profesionalisme/keahlian
kaum perempuan.
b) Mewujudkan kepekaan, kepedulian gender dari seluruh
masyarakat,
penentu
kebijakan,
pengambilan
keputusan, perencana dan penegak hukum serta
pembaruan produk hukum yang bermuatan nilai-nilai
sosial budaya serta keadilan yang berwawasan gender.
3) Kebijakan pembangunan pemberdayaan perempuan
a) Mengutamakan gender dalam pembangunan daerah
pada semua sektor melalui kelembagaan/wadah yang
ada untuk mendukung kemajuan dan kemandirian
perempuan
b) Meningkatkan komitmen antara lembaga pemerintah,
swasta dan independent untuk pemberdayaan
perempuan, proses perencanaan, pelaksanaan maupun
pemantauan dan evaluasi
4) Kinerja Pembangunan Pemberdayaan Perempuan
a) Melaksanakan rapat kerja daerah pembangunan
pemberdayaan perempuan
b) Memberi bantuan untuk penunjangan kegiatan
BKOW/Organisasi
perempuan/LSM
Perempuan,
dengan kegiatan, antara lain: pendidikan dan pelatihan,
pelatihan kepemimpinan dan politik, sosialisasi
mengenai hukum, HAM, Kadarkum, serta hak-hak sipil
perempuan
c) Melaksanakan pelatihan Gender di bidang reproduksi
dan kependudukan
d) Bantuan penunjangan untuk hari Anak dan Ibu
e) Melaksanakan evaluasi program pemberdayaan
perempuan39
Berdasarkan uraian di atas, kaum perempuan sudah seharusnya
sadar akan keberadaanya, bahwa ia diciptakan untuk mendampingi
laki-laki. Sebagaimana dahulu siti Hawa diciptakan Allah untuk
mendampingi Nabi Adam di surga. Kaum perempuan menghendaki
para pria memperlakukannya sebagaimana Islam menjunjung tinggi
hak dan kehormatannya. Para wanita banyak berharap, kaum pria
memposisikan dirinya sebagaimana al-Qur‟an memberikan pedoman
yang lengkap mengenai hal itu. Bila semua perempuan ingin
39
Heru P. Kasidi, Keterlibatan Laki-laki sebagai Mitra dalam Menghentikan
Kekerasan
dalam
Rumah
Tangga;
Peran
Laki-laki
Intelektual,
http://www.Google.co.id., 21 April 2009.
Pendidikan dan Pemberdayaan Perempuan... – Amiruddin 156
mewujudkan harapannya, ingin bebas dari semua belenggu, kuncinya
ada ditangan para perempuan itu sendiri. Pepatah bijak mengatakan
bahwa yang paling sayang terhadap diri kita adalah kita sendiri.
Kemandirian bisa meningkatkan kepercayaan diri, bisa menimbulkan
respek dari lawan jenis, serta tidak mustahil akan melahirkan
penghargaan berupa perlakuan yang sesuai dengan kedudukan kita
sebagai makhluk yang merdeka. Dan sebaliknya, ketergantungan
seseorang terhadap orang lain bisa memunculkan perlakuan semenamena dari orang yang merasa dibutuhkan.
Penutup
Dari paparan di atas dapat disimpulkan bahwa Pra Islam, kaum
perempuan selalu berada di bawah kezalimanan kaum laki-laki, tidak
memperoleh hak-hak menurut undang-undang dan tidak
mendapatkan kedudukan dalam masyarakat sesuai dengan kewajaran
yang seharusnya diberikan kepada m
PENDIDIKAN DAN PEMBERDAYAAN PEREMPUAN
SEBAGAI MITRA SEJAJAR LAKI-LAKI
Amiruddin *
* Dosen Tetap Prodi Manajemen Pendidikan Islam STAI Muara
Bulian [email protected]
Abstract
Education is a special thing only given tu human.
Because it is only human can thraigh education.
Education was essentially interded to form a perpect,
human being human out wardly and inwardly,
forming a happy human in the word and the here
after. There fore, Islam considers that education is a
right and a duty for every followers both men and
women. This paper discurses how the image of
women in the era of early education, namely
education middle eastern woman approximately 14
centuries ago, and Indonesian women‟s education
during the early era either before birth or arrival of
Islam as well as after birth or arrival of Islam. it
turned out that in the period before the islamic,
education has not been fully enjoyed by women. The
are considered hot so important to learn and they
are placed in the number two position after men.
After arrival of Islam, women get a fresh breeze and
there are new colors for their. Women were given
equal rights with men which in the end the degree
they also raised as a human.
Pendidikan adalah hal yang khusus hanya diberikan
tu manusia. Karena hanya manusia dapat thraigh
pendidikan. Pendidikan pada dasarnya interded
untuk membentuk perpect, manusia manusia keluar
wardly dan batin, membentuk manusia bahagia
dalam kata dan di sini setelah. Ada kedepan, Islam
memandang bahwa pendidikan adalah hak dan
kewajiban bagi setiap pengikut laki-laki dan
137
At-Tasyrih, Volume 1, Nomor 2, Maret 2016: 136-158
perempuan. Makalah ini discurses bagaimana citra
perempuan di era pendidikan awal, yaitu pendidikan
wanita timur tengah sekitar 14 abad yang lalu, dan
pendidikan perempuan Indonesia selama era awal
baik sebelum kelahiran atau kedatangan Islam serta
setelah lahir atau kedatangan Islam. ternyata bahwa
pada periode sebelum Islam, pendidikan belum
sepenuhnya dinikmati oleh perempuan. The
dianggap panas sehingga penting untuk belajar dan
mereka ditempatkan di posisi nomor dua setelah
laki-laki. Setelah kedatangan Islam, perempuan
mendapatkan angin segar dan ada warna baru bagi
mereka. Perempuan diberi hak yang sama dengan
laki-laki yang pada akhirnya gelar mereka juga
dibesarkan sebagai manusia
Keywords: Pendidikan, Pemberdayaan Perempuan,
Mitra Laki-laki
Pendahuluan
Pembahasan ini dikedepankan bukan hendak memberontak
terhadap nilai-nilai patriarki yang hidup dalam budaya masyarakat
Indonesia, dan bukan pula sebagai dukungan terhadap aliran
Feminisme, akan tetapi hanya sebuah gagasan yang meloncat dari
dalam pikiran, ingin berubah bentuk dari abstrak menjadi kongkrit,
dari hanya sebuah ide menjadi sebuah tulisan ringan. Sebagai
ungkapan solidaritas terhadap kaum perempuan, yang agak sedikit
termarginalkan di negeri ini. Diskursus atau pembicaraan tentang
masalah perempuan tidak akan pernah habis-habisnya untuk
diungkapkan. Seolah-olah tidak pernah basi dan selalu akan tetap
menarik untuk dijadikan sebagai topik pembahasan. Sampai hari ini,
permasalah tentang perempuan banyak dibicarakan dari segala aspek
dan dari sudut pandang yang berbeda- beda.
Pra Islam, kaum perempuan selalu berada di bawah
kezalimanan kaum laki-laki, tidak memperoleh hak-hak menurut
undang-undang dan tidak mendapatkan kedudukan dalam
masyarakat sesuai dengan kewajaran yang seharusnya diberikan
kepada mereka. Perempuan sama sekali tidak mempunyai hak untuk
mendapatkan pendidikan, perempuan harus tinggal di rumah dan
tidak mempunyai kontribusi dalam kehidupan bermasyarakat,
dipaksa kawin dan ditindak, diwarisi dan tidak mewarisi, dikuasai
dan tidak pernah menguasai. Kondisi ini sangat menyedihkan bagi
perempuan, mereka tidak diberi kebebasan dalam segala urusan yang
sesuai dengan porsinya dan tidak diberikan kesempatan untuk
Pendidikan dan Pemberdayaan Perempuan... – Amiruddin 138
menikmati kehidupan termasuk mengenyam bangku pendidikan.
Kondisi yang menyedihkan bagi perempuan ini, lebih disebabkan
sebagai akibat konstruksi budaya masyarakat semata dan bukan
bagian dari doktrin agama. Masih banyak stigma di tengah
masyarakat dan sebagian mereka percaya bahwa perempuan itu tidak
perlu sekolah. Bahkan yang lebih ironis lagi ada yang beranggapan
bahwa mengajar perempuan bagaimana cara membaca dan menulis
adalah bertentangan dengan syari‟ah dan merupakan suatu bentuk
pelanggaran terhadap aturan Tuhan.1 Sebuah kondisi yang sangat
memprihatinkan jika semua masyarakat beranggapan seperti itu.
Padahal salah satu misi Rasulullah diutus ke permukaan bumi ini
adalah untuk mengangkat harkat dan martabat perempuan.
Disejajarkan dengan kaum laki-laki sesuai dengan fitrahnya sebagai
seorang perempuan. Baik dalam bidang ekonomi, politik, seni, sosial
dan budaya, serta dalam kontek pendidikan. Karena pendidikan
merupakan bagian yang sangat penting bagi perempuan, sebab
merekalah yang paling bertanggung jawab untuk mendidik anakanaknya. Merekalah yang paling banyak bersentuhan dengan dunia
anak, dan mereka pulalah yang paling banyak memberikan warna
terhadap anak-anaknya. Bagaimana mungkin perempuan akan
mampu mendidik anaknya secara optimal jika kondisi mereka sendiri
sangat terbelakang atau tidak berpendidikan. Jadi pendidikan itu
berperan sangat penting bagi perempuan, sebagai modal bagi mereka
untuk menciptakan hubungan yang harmonis, saling menghargai dan
memahami antara laki-laki dan perempuan, baik dalam kehidupan
keluarga, bermasyarakat dan berbangsa serta bernegara.
Potret dan Sejarah Pendidikan Perempuan Timur Tengah Era
Awal
Tidak dapat dipungkiri bahwa perempuan selalu didiskusikan
dalam berbagai kesempatan dan berbagai bidang, tidak terkecuali
dalam bidang pendidikan, baik pada masa klasik maupun pada masa
sekarang, bahkan dalam kajian fiqh terdapat pembahansana khusus
tentang perempuan, yaitu Fiqh Nisa‟. Akan tetapi perempuan hanya
sebagai subjek pembahasan, sehingga seringkali muncul dalam
berbagai macam wacana pemikiran adalah perempuan hanya sebagai
subjek pemikiran, dan tidak terlibat dalam wacana pemikiran
tersebut. Oleh karena itu, menjadi wajar apabila kita lihat dalam
buku-buku atau kitab-kitab, maka indeksnya akan dipenuhi oleh
nama laki-laki, sedangkan nama perempuan hanya disebut apabila
1
M. Arif Budiman, Qasim Amin dan Emansipasi Wanita di Mesir, dalam Majalah
Hermeneia PPS IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Vol. 1, No. 2, Edisi JuliDesember, 2002, hlm. 251.
139
At-Tasyrih, Volume 1, Nomor 2, Maret 2016: 136-158
kajian itu membicarakan tentang sejarah perempuan.2 Kenyataan
sejarah membuktikan bahwa pada masa sebelum Islam, kaum
perempuan selalu ditempatkan pada posisi objek dan menempati
posisi kedua setelah laki-laki. Perempuan dianggap kurang berharga,
sehingga
seringkali
dieksploitasi
melebihi
batas-batas
prikemanusiaan. Penempatan-perempuan dalam posisi yang rendah
itu tidak hanya meliputi wilayah pemikiran, tetapi juga pada wilayah
sikap dan prilaku dalam realitas kehidupan sehari-hari. Tradisi yang
menghiasi sejarah bangsa Arab sebelum Islam datang, yang biasa
disebut zaman jahiliyah, yaitu sebagian dari bangsa Arab melakukan
pembunuhan terhadap anak perempuan yang sering disebut dengan
wa‟dul banat. Kebiasaan membunuh bayi perempuan ini diabadikan
dalam al-Qur‟an surat an-Nahl ayat 58, yang artinya:
“Dan apabila seseorang dari mereka diberi kabar dengan
(kelahiran) anak perempuan, hitamlah (merah padamlah)
mukanya, dan dia sangat marah. Ia menyembunyikan dirinya
dari orang banyak, disebabkan buruknya berita yang
disampaikan kepadanya. Apakah dia akan memeliharanya
dengan
menanggung
kehinaan
ataukah
akan
menguburkannya ke dalam tanah (hidup-hidup)? Ketahuilah
alangkah buruknya apa yang mereka tetapkan itu.3
Berita kelahiran anak perempuan pada masa jahiliyah
memberi kesan tentang sikap suami yang enggan menerimanya. Ada
dua pilihan yang timbul dalam benaknya menghadapi anak
perempuan itu, dibiarkan hidup dalam keadaan hina atau ditanam
hidup-hidup?. Seharusnya kehadiran anak perempuan tetap
disyukuri, dilimpahkan kepadanya kasih sayang yang sama dengan
kasih sayang yang diberikan kepada laki-laki, diberikan pendidikan
dan dibanggakan. Ada tiga alasan pada waktu itu mengapa anak
perempuan itu dibunuh, Pertama, khawatir jatuh orang tua pada
lembah kemiskinan dengan menanggung biaya hidup anak
perempuan yang lahir, apalagi menurut mereka anak perempuan
tidak produktif. Kedua, khawatir jatuhnya anaknya pada lembah
kemiskinan jika mereka dewasa nanti, ketiga, khawatir menanggung
aib akibat ditawan dalam peperangan sehingga diperkosa atau karena
terjadi perzinahan.4 Sebelum datangnya Islam, tradisi pendidikan
bangsa Arab pada dasarnya terbatas pada tradisi lisan. Pewarisan
2
3
4
Samsul Nizar, Sejarah dan Pergolakan Pemikiran Pendidikan Islam, ( Jakarta:
Quantum Teaching, 2005), hlm. 37.
Anonim, Al-Qur‟an dan Terjemahannya, (Semarang: Toha Putra, 1989), hlm.
410.
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, Pesan, kesan, dan keserasian al-Qur‟an,
Vol. ke-7. (Jakarta: Lentera Hati, 2004), Cet Ke-4, hlm. 260-262.
Pendidikan dan Pemberdayaan Perempuan... – Amiruddin 140
ilmu pengetahuan, nilai dan tradisi berlangsung dari mulut kemulut.
Materi pendidikan mencakup pengetahuan dan keterampilan dasar
sesuai dengan kondisi kehidupan setempat masyarakat pada waktu
itu. Pada saat itu, masyarakat Arab adalah terdiri dari masyarakat
pribumi yang buta aksara, meskipun kemampuan hafalan mereka
rata-rata sangat mengagumkan. Pada waktu permulaan nabi
menyiarkan Islam, di Mekkah telah ada beberapa orang yang telah
pandai baca tulis yang terdiri dari 17 orang Quraisy dan ditambah
lima orang perempuan. Mereka adalah Umar bin Khattab, Ali bin
Abi Tholib, Usman bin Affan, Abu Ubaidah bin Jarrah, Talhah,
Yazid bin Abi Sopyan, Abu Huzaifah bin Utbah, Hathib bin Amr,
Abu Salamah bin Abdul As‟ad al-Makhzumy, Aban bin Sa‟id bin alAsh bin Umaiyah, Khalid bin Sa‟id dan saudaranya, Abdullah bin
Sa‟d bin Abu Sarh al Amiry, Huwithib bin Abdul Uzza, Abu Sopyan
bin Harb, Muawiyah bin Abi Sopyan, Juhaim bin As Shalt.
Sedangkan dari pihak perempuan adalah Hafsah istri nabi, Ummi
Kalsum bin Uqbah, Aisyah binti Sa‟d, as-Syifak binti Abdullah alAdawiyah, Karimah binti al-Miqdad. Sedangkan siti Aisyah dan
Ummi Salamah keduanya istri nabi bisa membaca, tetapi tidak bisa
menulis.5
Ada juga riwayat yang menyebutkan bahwa pada waktu itu
sudah ada kuttab (semacam sekolah khusus untuk anak-anak) yang
mengajarkan menulis dan membaca, walaupun demikian budaya
baca tulis ini belum mewarnai kehidupan masyarakat pada waktu itu.
Karena warisan budaya mereka pada waktu itu adalah budaya lisan,
menghafal syair-syair dan puisi-puisi yang indah, nasab (urutan garis
keturunan) pun mereka hafal. Mereka mewarisi budaya dan tradisi
tersebut secara lisan, sehingga kepandaian membaca dan menulis
tidak merupakan hal yang penting dalam tradisi budaya mereka.
Dengan tradisi lisan tersebut mereka terkenal dengan orang-orang
yang kuat hafalan.6 Setelah Rasul menerima wahyu dari Allah SWT,
maka mulailah beliau menjalankan tugasnya secara sembunyisembunyi. Hal ini dilakukan mengingat situasi yang menuntut
demikian, yang belum memungkinkan bagi beliau untuk berdakwah
(mendidik) secara terbuka atau terang-terangan. Beliau mulai dengan
keluarga dekatnya dengan mengajak istrinya, Khadijah (perempuan
pertama yang langsung mendapatkan pendidikan Islam dari Rasul)
untuk beriman dan menerima petunjuk-petunjuk dari Allah SWT.
Kemudian diikuti oleh sepupu beliau Ali bin Abi Thalib, Zaid bin
Haritsah, dan Abu Bakar Shiddiq, secara berangsur-angsur ajakan
Jalaluddin dan Usman Sa‟id, Filsafat Pendidikan Islam: Konsep dan
Perkembangan Pemikirannya, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1996), hlm.
117
6
Ibid., hlm. 18.
5
141
At-Tasyrih, Volume 1, Nomor 2, Maret 2016: 136-158
tersebut disampaikan dikalangan keluarga dekat dari suku Quraisy,
antara lain yang beriman atau mempercayai dakwah Rasul ini adalah
Usman bin Affan, Zubair bin Awwam, Sa‟ad bin Abi Waqas,
Abdurrahman bin Auf, Talhah bin Ubaidillah, Abu Ubaidah bin
Jarrah, Arqam bin Abi Arqam, Said bin Zaid, termasuk dari kaum
perempuan, yaitu Fatimah bin Khattab.7
Kehadiran Islam ini telah dimulai suatu warna baru bagi
kaum perempuan dengan diberikannya kemerdekaan dan hak-hak
mereka yang selama ini tidak pernah mereka dapatkan, derajat
mereka terangkat sebagai manusia. Selain itu, dalam ajaran Islam
terkandung unsur-unsur persamaan antara manusia, baik antara lakilaki dan perempuan maupun antar bangsa, suku, dan keturunan yang
merupakan tema utama sekaligus prinsip dalam ajaran Islam.
Perbedaan yang diakui dalam Islam dan kemudian menjadi ukuran
tinggi rendahnya seseorang hanyalah nilai ibadah dan taqwanya
kepada Allah SWT. Ide ini secara eksplisit ditegaskan dalam alQur‟an surat al-Hujurat ayat 13, yang artinya:
“Hai manusia, Sesungguhnya kami menciptakan kamu dari
seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan
kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu
saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling
mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling
taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui
lagi Maha Mengenal”.8
Penjelasan di atas dapat dipahami bahwa derajat manusia
sama di sisi Allah, tidak ada perbedaan antara satu suku dengan suku
lainnya, tidak ada juga perbedaan pada nilai kemanusiaan antara lakilaki dan perempuan. Karena semua diciptakan dari laki-laki dan
perempuan. Oleh sebab itu, berusahalah untuk meningkatkan
ketakwaan agar menjadi manusia yang termulia di sisi Allah SWT. 9
Oleh karena itu, manusia dalam pandangan Islam, baik laki-laki
maupun perempuan memiliki kedudukan yang sama. Maka Islam
juga tidak membeda-bedakan antara amal perbuatan yang dilakukan
oleh laki-laki dan perempuan, sebagaimana firman Allah SWT dalam
surat Ali Imran ayat 195, yang artinya:
“Maka Tuhan mereka memperkenankan permohonannya
(dengan berfirman): "Sesungguhnya Aku tidak menyianyiakan amal orang-orang yang beramal di antara kamu,
baik laki-laki atau perempuan, (karena) sebagian kamu
7
Zuhairini, dkk, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1992), hlm. 14.
Anonim, Al-Qur‟an dan Terjemahannya..., hlm. 847.
9
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah..., hlm. 260.
8
Pendidikan dan Pemberdayaan Perempuan... – Amiruddin 142
adalah turunan dari sebagian yang lain10. Maka orang-orang
yang berhijrah, yang diusir dari kampung halamannya, yang
disakiti pada jalan-Ku, yang berperang dan yang dibunuh,
Pastilah akan Ku-hapuskan kesalahan-kesalahan mereka dan
Pastilah Aku masukkan mereka ke dalam surga yang
mengalir sungai-sungai di bawahnya, sebagai pahala di sisi
Allah. dan Allah pada sisi-Nya pahala yang baik."11
Paparan di atas dapat dipahami bahwa laki-laki dan perempuan
sama haknya di hadapan Allah SWT dalam menerima balasan.
Dengan demikian dapat dipahami bahwa tidak ada yang lebih di
antara keduanya kecuali dalam hal amal perbuatan. Dengan
Amalnya, perempuan dapat mengangkat derajatnya menuju derajat
yang paling tinggi di sisi Allah SWT. Islam mengakui kehormatan
perempuan sebagai manusia dan mengingkari perlakuan kasar yang
biasa dilakukan oleh sebagian umat. Memang harus diakui bahwa
kaum muslimin agak sedikit terbelakang dalam hal mendidik dan
memberi pengajaran terhadap kaum perempuan. Karena masih ada
tradisi yang berkembang di tengah masyarakat menganggap
pendidikan terhadap perempuan itu tidak penting. 12
Mendiskusikan kaitan feminisme dan Islam tidak akan kita
lepaskan dari kehadiran al-Qur‟an sebagai buku petunjuk samawi
yang secara komprehensif dan lugas memaparkan hak asasi
perempuan dan laki-laki yang sama, hak itu meliputi hak dalam
beribadah, berkeyakinan, pendidikan, potensi spiritual, hak sebagai
manusia dan eksistensi menyeluruh pada hampir semua sektor
kehidupan. Lebih jauh Islam datang sebagai revolusi yang
mengeliminasi diskriminasi kaum jahiliyah atas perempuan dengan
pemberian hak warisan, menegaskan persamaan status dan hak
dengan laki-laki, pelarangan nikah tanpa jaminan bagi perempuan
dan mengeluarkan aturan pernikahan yang mengangkat derajat
perempuan pada masa itu dan perceraian yang manusiawi.13 Kondisi
tersebut akhirnya berlalu setelah kedatangan Rasulullah yang
mengembalikan perempuan sebagaimana manusia seutuhnya setelah
mengalami hidup dalam kondisi yang menggenaskan tanpa
kredibilitas apapun dan hanya sebagai komiditi tanpa nilai.
10
Maksudnya sebagaimana laki-laki berasal dari laki-laki dan perempuan, Maka
demikian pula hlmnya perempuan berasal dari laki-laki dan perempuan. keduaduanya sama-sama manusia, tak ada kelebihan yang satu dari yang lain tentang
penilaian iman dan amalnya.
11
Anonim, Al-Qur‟an dan Terjemahannya..., hlm. 110.
12
Ahmad Musthofa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, Terj. Bahrun Abu Bakar dan
Hery Noer Aly, (Semarang: Toha Putra, 1986), Juz ke-4, hlm. 298
13
Kuni Khairunnisa, Gender dalam Agenda Feminisme Kontemporer,
,
http://www.Google.co.id.,
143
At-Tasyrih, Volume 1, Nomor 2, Maret 2016: 136-158
Penghargaan Islam terhadap eksistensi perempuan ditauladani oleh
Rasulullah dalam sisi-sisi kehidupan keluarganya, baik kepada
istrinya, anak-anaknya, dan hubungan beliau dengan perempuanperempuan di masyarakat.
Pada hakikatnya, dakwah dan penanaman ajaran Islam yang
dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW dalam rangka
mengembangkan dan menyebarkan ajaran di permukaan bumi ini
adalah sebuah kegiatan atau proses pendidikan, dan hal ini dilakukan
tidak hanya terbatas bagi kaum laki-laki saja, tetapi juga kepada
kaum perempuan. Rasulullah telah memberikan kesempatan dan
meluangkan waktunya untuk mengajar para perempuan agar sama
dengan kaum laki-laki, yaitu sama mendapatkan pendidikan.
Terlihat jelas bagaimana perempuan pada masa itu mendapatkan hak
untuk menimba ilmu, mengkritik, bersuara, berpendapat dan atas
permintaan muslimah sendiri meminta Rasulullah membuat suatu
majelis tersendiri untuk para perempuan agar mereka lebih leluasa
untuk berdialog dan berdiskusi dengan Rasulullah. Sebagaimana
dijelaskan dalam sebuah hadits yang artinya:
“ Telah datang beberapa perempuan kepada Rasulullah, maka
mereka berkata: “Ya Rasulullah, kami tidak mendapatkan
peluang belajar di majelismu yang dipenuhi oleh laki-laki,
maka berilah kesempatan itu”. Kemudian Rasulullah
menjawab: “Bagianmu adalah di rumah si anu”. Maka beliau
datang kepada mereka (kaum perempuan) pada hari dan
tempat yang telah dijanjikan dan beliau mengajar mereka.14
Hadits di atas tersirat bahwa Nabi memberikan pendidikan dan
pengajaran kepada perempuan, namun tempat dan waktunya berbeda
dengan kaum laki-laki. Rasul memberikan, menyediakan
kesempatan, dan menentukan tempat khusus bagi perempuan untuk
mendapatkan ilmu pengetahuan agama darinya. Hal ini tentunya
sangat sesuai dengan salah satu misi beliau diutus oleh Allah SWT
adalah untuk mengangkat atau memberdayakan harkat dan martabat
kaum perempuan yang sebelumnya tidak dihormati dan dihargai.
Perempuan dianggap sebagai kelompok kelas dua dan tidak terlalu
diperhitungkan. Oleh sebab itu, perempuan pada masa Rasulullah
SAW tidak mau ketinggalan dengan laki-laki. Kaum laki-laki pada
hari Jumat waktu khotbah di masjid dapat menerima pengajaran
langsung dari mulut Nabi, perempuan juga turut sholat Jum‟at
berjamaah di masjid bersama laki-laki, walaupun hal tersebut tidak
termasuk suatu kewajiban bagi mereka. Meskipun demikian, diharian
yang lain kaum perempuan juga meminta kepada Nabi supaya
dikhususkan sehari dalam seminggu untuk mengajarkan mereka.
14
Digital Hadits as-Syarif, Shahih Bukhori, No. 6766.
Pendidikan dan Pemberdayaan Perempuan... – Amiruddin 144
Seperti yang telah dijelaskan dalam hadits di atas tadi. Kadang Nabi
membaca khotbah dua kali waktu sholat hari raya karena ramainya
kaum muslimin yang hadir, satu kali untuk laki-laki dan satu kali
untuk perempuan. Selain itu, ada juga perempuan yang datang
langsung menghadap Nabi untuk menanyakan soal-soal agama yang
tidak mereka ketahui.15
Terlihat juga geliat aktifitas perempuan sahabat Rasulullah
dalam panggung bisnis, politik, pendidikan, keagamaan dan sosial,
dan ikut serta dalam peperangan dengan sektor yang mereka mampu
melakukannya. Sejarah kehidupan istri-istri Rasul pun
mengindikasikan aktifitas aktif dimana Ummul Mukminin Khadijah
r.a. adalah salah satu kampiun bisnis pada waktu itu, Siti Aisyah
adalah perawi hadits dan banyak memberikan fatwa karena
kecerdasannya.16 Rasulullah sebelum pindah ke Yastrib telah
mempersiapkan kader- kader perempuan untuk menjadi guru di
Madinah. Ini dibuktikan dengan pada tahun kedua belas kenabian
orang Madinah datang ke Mekkah, mereka membuat perjanjian yang
pertama dengan Nabi di Aqabah sehingga dinamakan Bai‟ah alAqabah al Ula atau Ba‟atun Nisa‟ karena di dalam rombongan
mereka ada perempuan, yaitu „Afra‟ binti „Abid bin Sa‟labah. Orangorang inilah nantinya yang akan menyebarkan pengetahuan yang
telah mereka dapatkan dari Nabi Muhammad kepada masyarakat
yang ada di Madinah.17
Cara yang dipakai oleh Rasulullah dalam memberikan
pendidikan dan pengajaran adalah dengan menggunakan metode
ceramah, menyampaikan wahyu yang baru diterimanya dan
memberikan penjelasan-penjelasan serta keterangan-keterangannya,
berdialog dan berdiskusi atau Tanya jawab tentang sesuatu yang
berkenaan dengan aqidah maupun ibadah. Kurikulum yang dipakai
adalah al-Qur‟an, karena itu dalam praktiknya tidak saja logis dan
rasional tetapi juga sejalan dengan fitrah. Sehubungan dengan alQur‟an itu sendiri diturunkan secara berangsur-angsur menurut
kebutuhan yang diperlukan pada saat itu. Hasil dari cara yang
demikian ini dapat dilihat dari sikap rohani dan mental para
pengikutnya yang dipancarkan di dalam sikap dan semangat tangguh,
tabah, dan sabar juga aktif dalam memecahkan masalah yang
dihadapinya.
15
Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: PT. Hidakarya Agung,
1990), cet. Ke-6, hlm. 23-24.
16
Kuni Khairunnisa, Gender dalam Agenda Feminisme Kontemporer,
,http://www.Google.co.id, diakses Tanggal 20 Oktober 2009.
17
Ali Mufrodi, Islam di Kawasan Kebudayaan Arab, (Jakarta: Logos, 1997), hlm.
22.
145
At-Tasyrih, Volume 1, Nomor 2, Maret 2016: 136-158
Kemudian Ahmad Syalabi mengemukakan bahwa anak-anak
perempuan hanya menerima pelajaran di rumah dari salah seorang
anggota keluarga, atau dari seorang guru yang khusus didatangkan
untuk mereka. Bagaimanapun juga, pendidikan secara pribadi itu
telah berhasil melahirkan perempuan-perempuan Islam yang
kecerdasan mereka tidak jauh berbeda dengan kecerdasan kaum lakilaki.18 Dalam dunia pendidikan, al-Qur‟an dan hadits memberikan
pujian kepada siapapun, termasuk kepada perempuan yang mampu
meningkatkan prestasinya dalam bidang ilmu pengetahuan.
Disinggung dalam al-Qur‟an sejumlah perempuan yang sukses
meraih prestasi memuaskan, misalnya Ratu Bulqis, Maryam, dan
„Asiyah (istri Fir‟aun). Jadi jelas bahwa perempuan juga
mendapatkan pendidikan dan pengajaran sama dengan laki-laki,
sehingg lahirlah perempuan-perempuan yang berintelektual tinggi,
diantaranya:
a. Khadijah binti Khuwailid, seorang ummul mukminin dan
saudagar terdidik yang selalu mendampingi Nabi dan
berjuang dalam menyiarkan Islam.
b. Aisyah binti Abu Bakar, perempuan cerdas yang memiliki
ilmu pengetahuan dan telah meriwayatkan lebih dari 1000
hadits dengan periwayatan langsung, beliau juga seorang
yang ahli Fiqih, Tafsir, Kedokteran, dan syair-syair.
c. Asma‟ binti Abu Bakar, seorang perempuan yang pemberani
yang selalu mengantarkan makanan kepada Nabi ketika
akan hijrah.
d. Hafsah bin Umar, Fatimah az-Zahra, Sakinah binti Husein
merupakan perempuan yang sangat mencintai ilmu
pengetahuan.
e. Nasibah binti Ka‟ab, Aminah binti Qays al-Ghifariyah,
Ummu Athiyyah al Anshoriyyah, Rabiah bin Mas‟ud
merupakan perempuan yang ikut berperang dengan Nabi,
mereka bertugas merawat orang-orang yang sakit dan
mengobati orang-orang yang luka.
f. Al-Khansa‟, Hindun binti Atabah, Laila binti Salma, Siti
Sakinah binti al-Husein merupakan perempuan yang mahir
dalam bidang syair dan kesusteraaan.19
18
Ahmad Syalabi, Sejarah Pendidikan Islam, Terj. Muchtar Yahya dan M. Sanusi
Latief, (Jakarta: Bulang Bintang, 1970), hlm. 340.
19
Siti Sakinah seorang perempuan yang mahir yang selalu didatangi oleh para ahli
syair dari setiap penjuru negeri, dan jika diadakan perlombaan syair maka
beliaulah yang akan menetapkan mana syair yang terbaik, sehingga ahli syair dan
sastra sering mengadakan pertemuan dirumahnya. Lebih lanjut lihat Asma Hasan
Fahmi, Sejarah dan Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1979),
hlm. 180 .
Pendidikan dan Pemberdayaan Perempuan... – Amiruddin 146
Potret dan Sejarah Pendidikan Perempuan Indonesia Era Awal
Sebelum abad ke-20, gerakan perempuan hanya gerakan yang
bersifat perseorangan, belum dalam bentuk susunan kelompok atau
organisasi, akan tetapi usaha-usaha mereka telah merintis jalan kea
rah kemajuan Indonesia. Perlu dijelaskan bahwa keadaan dan
kedudukan perempuan Indonesia pada waktu itu sangat terbelakang,
karena adat-istiadat yang mengungkung, kurangnya pendidikan dan
pengajaran, kesewenang-wenang dalam perkawinan, dan sebagainya.
Hal ini juga merupakan akibat dari sistem penjajahan yang menindas
dan menghambat kemajuan. Beberapa perintis perempuan menyadari
bahwa hanya dengan jalan pendidikan kedudukan dan peranan
perempuan dapat ditingkatkan dalam keluarga dan masyarakat.
Kartini misalnya, menganjurkan emansipasi perempuan melalui
pendidikan agar perempuan cakap melaksanakan perannya sebagai
ibu rumah tangga dan pendidik pertama dari manusia. Dewi Sartika,
Nyai Dahlan, Rahmah el Yunusiyah adalah pelopor pendidikan
perempuan.20
Penindasan etnis perempuan ini merupakan penindasan
terpanjang sepanjang sejarah. Lebih lama daripada penindasan etnis
kulit hitam di Asia Afrika. Penindasan etnis warna kulit lebih
diuntungkan karena banyak orang simpati dan mendukung
perjuangan persamaan hak untuk semua jenis manusia tanpa
dibedakan warna kulit. Perjuangan Apartheid Nelson Mandela
misalnya, banyak mendapat sempati dunia bahkan diberikan bantuan
konkrit untuk perjuangan tersebut. Sungguh berbeda dengan
perjuangan etnis perempuan. Penindasan ini cendrung dipelihara.
Sayangnya tidak semua kaum perempuan memahami dan
mengetahui penindasan tersebut.21
Pada permulaan tahun 1900, sebelum R.A. Kartini, sudah ada
perempuan dikalangan bangsawan yang giat dalam usaha memajukan
perempuan, tetapi hanya dalam lingkungan kecil. Mereka berusaha
memperoleh pendidikan barat. Hal ini terjadi dikalangan raja-raja di
Jawa, pada awalnya tampak di kraton Paku Alam di Yogyakarta. Di
antara mereka banyak dari golongan muda yang belajar di sekolah
Belanda dengan maksud supaya kemudian dapat bekerja di berbagai
lapangan. Pelopor-pelopor perempuan ini lebih mengutamakan
pendidikan.22 Karena pendidikan akan menambah kesadaran dan
mengembangkan kemampuan yang dapat berguna untuk kemajuan
20
Samsul Nizar, Sejarah dan Pergolakan Pemikiran Pendidikan Islam, (Jakarta:
Quantum Teaching, 2005), hlm. 42.
21
Dadang S. Anshori, dkk, Membincangkan Feminisme, Refleksi Muslimah atas
Peran Sosial Kaum Wanita, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1997), hlm. 5.
22
Sukanti Suryochondro, Potret Pergerakan Wanita di Indonesia, (Jakarta:
Rajawali, 1984), hlm. 80.
147
At-Tasyrih, Volume 1, Nomor 2, Maret 2016: 136-158
masyarakat. Bukan lagi pendidikan yang dilakukan dalam kalangan
keluarga saja mengenai sopan santun, sikap hidup, dan
kerumahtanggaan, melainkan pendidikan sekolah dengan pelajaran
yang lebih luas. Pertama-tama yang mendapatkan perhatiannya
adalah pendidikan anak perempuan kalangan bangsawan karena
diharapkan mereka dapat memberi contoh kepada rakyat umumnya
karena dimasa itu sikap bangsawan selayaknya diikuti oleh rakyat.
Dalam permulaan abad ke-20 lambat laun semakin banyak
perempuan yang mendapat kesempatan memperoleh pendidikan
sekolah. Pandangan bahwa kaum perempuan harus diberi pendidikan
sekolah dan mendapat kedudukan yang lebih baik dalam masyarakat
makin meluas. Kartini mulai membuka sekolahnya di rumahnya
sendiri. Hal ini juga banyak dilakukan oleh kalangan bangsawan
lainnya. Misalnya Dewi Sartika mengepalai sekolah perempuan di
Bandung tahun 1904, selanjutnya sekolah ini diurus oleh sebuah
panitia yang disebut “ Vereniging Kaoetaman Istri”. Atas usaha
kaum pribumi didirikan sekolah “Kaoetaman Istri Minangkabau” di
Padang Panjang dan sekolah “Kerajinan Amai Setia” di Kota
Gedang. Banyak keterampilan kerumahtanggaan yang diajarkan di
sekolah-sekolah ini.23 Kemudian dalam konteks Sumatera Barat ada
tiga srikandi yang memberi kontribus yang cukup besar terhadap
pemberdayaan dan gerakan perempuan di Sumatera Barat khususnya,
yaitu Rahmah el Yunusiyah, Rasuna Said, lebih dikenal sebagai
pejuang melawan Belanda, dan Rohana Kudus juga mempunyai andil
dalam gerakan perempuan dengan menggunakan pers sebagai media
penyebaran ide-idenya.24 Sementara di Yogyakarta, K.H. Ahmad
Dahlan, sebagaimana disebutkan dalam sebuah Koran Bromartani
yang terbit di Surakarta, mengajar anak laki-laki dan perempuan di
Kauman Yogyakarta. Selanjutnya, yang dilakukan oleh Ahmad
Dahlan untuk kaum perempuan adalah mendirikan Aisyiyah pada
tahun 1917.25 dan masih banyak lagi bentuk-bentuk lembaga
pendidikan yang muncul seiring dengan keinginan untuk
memberikan pendidikan yang sama bagi pihak perempuan.
Kesetaraan: Pendidikan Berbasis Gender dan Pemberdayaan
Perempuan di Indonesia
a. Pengertian Gender
Sosialisasi, advokasi dan fasilitasi untuk menyamakan
persepsi tentang pemahaman konsep dasar gender harus terus
dilakukan agar masing-masing individu mengetahui hak dan
kewajibannya sebagai warga negara. Program gender di Indonesia
23
Ibid., hlm. 81-82.
Samsul Nizar, Loc.Cit., hlm. 45-46.
25
Samsul Nizar, Ibid., hlm. 49.
24
Pendidikan dan Pemberdayaan Perempuan... – Amiruddin 148
belum berjalan secara optimal, karena selain dimensi
permasalahannya yang sangat beragam, persepsi dan pemahaman
masyarakat tentang gender masih sering berbeda dan rancu,
mengingat istilah itu bukan berasal dari bahasa Indonesia. 26
Jadi gender itu adalah pandangan atau keyakinan yang
dibentuk masyarakat tentang bagaimana seharusnya seorang
perempuan dan laki-laki bertingkah laku maupun berfikir.
Misalnya pandangan bahwa seorang perempuan idealnya harus
pandai memasak, pandai merawat diri, lemah lembut, atau
keyakinan bahwa perempuan adalah makluk yang sensitif,
emosional, selalu memakai perasaan. Sebaliknya laki-laki sering
dilukiskan berjiwa pemimpin, pelindung, kepala rumah tangga,
rasional, tegas dan sebagainya. 27 Singkatnya gender adalah jenis
kelamin sosial yang dibuat masyarakat, yang belum tentu benar.
Berbeda dengan seks yang merupakan jenis kelamin biologis
ciptaan Tuhan, seperti perempuan mempunyai vagina, payudara,
rahim, bisa melahirkan dan menyusui, sementara laki-laki
memiliki jakun, penis, dan sperma yang sudah ada sejak dulu kala.
Sedangkan menurut Nikamatus Sholihah, gender adalah
pembagian peran kedudukan, dan tugas antara laki-laki dan
perempuan ditetapkan oleh masyarakat berdasarkan sifat
perempuan dan laki-laki yang dianggap pantas sesuai dengan
norma-norma, adat istiadat, kepercayaan, atau kebiasaan
masyarakat. Gender tidak menjadi masalah apabila terjadi
kesepakatan kedua belah pihak di dalam pembagian tugas dan
kedua belah pihak memiliki kesempatan yang sama untuk
melakukan kegiatan lain di luar untuk memenuhi kebutuhan
masyarakat dan mengembangkan diri.
Gender akan dipermasalahkan apabila adanya perbedaan
(diskriminasi) perlakuan dalam akses, partisipasi, kontrol dalam
menikmati hasil pembangunan antar laki-laki dan perempuan. Dan
juga tidak ada kesetaraan dan keadilan dalam pembagian peran,
tanggung jawab, hak, kewajiban serta fungsi sebagai anggota
keluarga maupun masyarakat yang akhirnya tidak menguntungkan
kedua belah pihak. Jadi dapat disimpulkan bahw gender menjadi
masalah jika ada ketimpangan relasi atau ketidakadilan antara
laki-laki dan perempuan dimana satu pihak menjadi korban.
Ketidakadilan gender bisa dialami oleh laki-laki maupun
perempuan, tetapi karena budaya kita yang patriarki atau
mengutamakan laki-laki sehingga perempuanlah yang paling
sering terkena dampaknya. Apa akibat ketidaksetaraan dan
ketidakadilan gender ini, yaitu:
26
27
Nikmatus Sholihah, Gender dan Jenis Kelamin, http://www.Google.co.id.,
Nikmatus Sholihah, Gender dan Jenis Kelamin, http://www.Google.co.id,..
149
At-Tasyrih, Volume 1, Nomor 2, Maret 2016: 136-158
1) Penomorduaan (subordination)
2) Peminggiran (marginalization)
3) Beban ganda ( double burden)
4) Kekerasan (violence)
5) Pelabelan negatif (stereotype).28
Menurut Husein Muhammad keadilan secara umum
didefenisikan sebagai “menempatkan sesuatu secara proporsional
dan memberikan hak kepada pemiliknya”. Defenisi ini
memperlihatkan bahwa dia selalu berkaitan dengan pemenuhan
hak seseorang terhadap orang lain yang seharusnya dia terima
tanpa diminta karena hak itu ada dan menjadi miliknya. Dalam
konteks relasi gender, wujud dari pemenuhan hak atas perempuan
masih merupakan problem kemanusiaan yang serius. Realitas
sosial, kebudayaan, ekonomi dan politik masih menempatkan
perempuan sebagai entitas yang direndahkan. Persepsi
kebudayaan masih melekatkan stereotype yang merendahkan,
mendeskriminasikan dan memarginalkan mereka. Padahal
keadilan adalah gagasan yang paling sentral sekaligus tujuan
tertinggi yang diajarkan oleh setiap agama dan kemanusiaan
dalam upaya meraih cita-cita manusia dalam kehidupan
bersama.29 Dalam konteks Islam, sentralitas ide keadilan ini
dibuktikan melalui penyebutannya di dalam al-Qur‟an lebih dari
50 kali dalam bentuk yang beragam. Di samping menggunakan
kata al-„Adl, tetapi juga menggunakan kata lain yang maknanya
identik dengan keadilan, misalnya al-Qisth, al-Wasath (tengah),
al-Mizan (seimbang), al-Sawa‟/al-Musawah (sama/persamaan),
dan al-Matsil (setara). Lebih dari itu keadilan menjadi salah satu
nama bagi Tuhan dan tugas utama bagi para Rasul.30
Ibnu al-Qayyim al-Jauziyah mengatakan bahwa keadilan
manusia harus diusahakan dari mana pun ia ditemukan karena ia
juga adalah keadilan Tuhan yang hanya untuk tujuan itulah hukum
Tuhan diturunkan. Dengan begitu, interpretasi dan pemaknaan
atas teks ketuhanan yang tidak mampu menangkap esensi keadilan
harus diluruskan.31 Pada tatanan praktis Islam memberikan aturan
yang lebih rinci berkaitan dengan peran dan fungsi masing-masing
dalam menjalani hidup ini. Dimana adakalanya sama dan
adakalanya berbeda antara laki-laki dan perempuan. Akan tetapi
28
Nikmatus Sholihah, Gender dan Jenis Kelamin, http://www.Google.co.id.,
Husein Muhammad, Kesetaraan Gender: Memaknai Keadilan dari Perspektif
Islam, http://www.Google.co.id., diakses pada Tanggal 23 Oktober 2009.
30
Husein Muhammad, Kesetaraan Gender: Memaknai Keadilan dari Perspektif
Islam, http://www.Google.co.id.,
31
Husein Muhammad, Kesetaraan Gender: Memaknai Keadilan dari Perspektif
Islam, http://www.Google.co.id.,
29
Pendidikan dan Pemberdayaan Perempuan... – Amiruddin 150
perbedaan ataupun persamaan ini tidak bisa dinilai dengan adanya
ketidakadilan atau ketidaksetaraan gender.
b. Pendidikan Berbasis Gender
Beranjak dari realitas bahwa biaya pendidikan setiap tahun
mengalami kenaikan dan bertambah mahal. Semuanya itu
semakin membebani orang tua siswa. Akibatnya, bagi siswa yang
berasal dari keluarga miskin, sekolah semakin hanya tinggal
menjadi impian. Untuk menikmati fasilitas pendidikan yang
berkualitas semakin tidak memungkinkan baginya. Banyak anakanak yang berasal dari keluarga miskin hanya mampu
melanjutkan studinya di sekolah yang kualitasnya di bawah
standar. Yang penting bagi mereka biaya terjangkau oleh
pendapatan orang tuanya. Pendidikan yang berkategori unggulan
tentu saja biayanya sangat mahal. Pihak sekolah biasanya
mematok biaya pendidikan yang mahal. Mulai dari sumbangan
pengembangan institusi yang besarnya jutaan rupiah, biaya
seragam, biaya kegiatan ekstrakurikuler, hingga buku teks wajib
yang seharusnya tidak menjadi beban bagi orang tua mereka.
Dampak dari komersialisasi pendidikan ini, lambat laun akan
berdampak pada diskriminasi hak untuk memperoleh fasilitas
pendidikan bagi anak-anak dan keluarga miskin. Padahal,
menikmati pendidikan yang berbiaya murah dan berkualitas
adalah merupakan bentuk perwujudan dari hak asasi manusia, hak
sosial, ekonomi, budaya yang seharusnya menjadi tanggung jawab
negara. Minimnya alokasi anggaran negara untuk pendidikan
memang menjadi salah satu faktor penyebab minim dan buruknya
penyelenggaraan dan kwalitas pendidikan di negara kita ini. Hal
ini juga berdampak pada semakin banyaknya anak-anak usia
sekolah yang tidak bisa meneruskan sekolah.
Menurut data riset Education Watch tahun 2006
menyebutkan bahwa kecendrungan realitas tidak meneruskan
sekolah bagi anak-anak dari keluarga miskin semakin meningkat
persentasenya. Ironisnya lagi kebanyakan anak-anak usia sekolah
dari keluarga miskin yang gagal melanjutkan sekolah ke jenjang
SD, SMP, SMA mayoritas (72,3%) adalah siswa-siswa
perempuan. Adapun penyebabnya adalah minimnya biaya
pendidikan dari keluarganya, juga karena masih terjerat cara
pandang patriarkis orangtua. Mereka menganggap anak-anak
perempuan mereka tidak usah melanjutkan sekolah, lebih baik
langsung dinikahkan saja atau didorong bekerja disektor publik
sebagai pembantu rumah tangga atau buruh informal.32 Sebagian
32
Ari
Kristianawati,
Kesetaraan:
http://www.Google.co.id.,
Pendidikan
Berbasis
Gender,
151
At-Tasyrih, Volume 1, Nomor 2, Maret 2016: 136-158
dari mereka juga beranggapan bahwa setinggi-tingginya
pendidikan perempuan juga tetap akan kembali ke dapur, sumur,
dan sebagainya. Kondisi di atas menjadikan anak-anak perempuan
usia sekolah dari keluarga miskin menjadi kelompok sosial yang
dilanggar hak sosial-ekonomi- dan budayanya. Mereka tidak bisa
mendapatkan hak memperoleh atau menikmati pendidikan yang
berkwalitas dan berbiaya murah. Untuk itulah saat ini perlu bagi
kalangan penggiat pendidikan alternatif untuk mengembangkan
program pendidikan yang berbasis gender atau pendidikan yang
memberdayakan perempuan. Langkah-langkah yang bisa
dilakukan adalah:
1) Perlu dirumuskan reorientasi kurikulum pendidikan
sekolah alternatif yang sensitif gender sehingga ada
penghormatan terhadap hak-hak anak perempuan.
2) Perlu kalangan penggiat pendidikan alternatif untuk
mendesak adanya platfon subsidi anggaran pendidikan
yang khusus untuk anak-anak usia sekolah dari komunitas
perempuan (keluarga miskin) sehingga mereka bisa
melanjutkan studinya, setidaknya sampai lulus jenjang
strata satu.
3) Perlu diimplementasikan program perwujudan kesetaraan
hak pendidikan bagi anak perempuan dalam berbagai
jenjang dan jenis pendidikan.
4) Kesetaraan dalam mengaktualisasikan diri dalam proses
dan kegiatan belajar mengajar.33
Kegagalan instrumen hukum memenuhi keadilan bagi
perempuan lebih disebabkan masih kokohnya pengaruh persepsi
dan konstruksi kebudayaan patriarkis, adalah sebuah keniscayaan
di atas premis kebudayaan dan tradisi ini terminologi hukum dan
kebijakan publik, termasuk postulat fiqih harus dibangun. Dari
sinilah kita perlu membangun kembali makna keadilan
berdasarkan konteks sosial baru dan dengan paradigma keadilan
substantif sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya.
Penyusunan makna keadilan bagi perempua dalam konteks ini
harus didasarkan pada dan dengan mendengarkan pengalaman
perempuan. Pemenuhan keadilan bagaimanapun hanya dapat
tercapai jika kebudayaan dan tradisi masyarakat menunjukkan
pemihakannya kepada para perempuan. Hal lain yang lebih
mendasar adalah pemaknaan keadilan bagi perempuan harus
didasarkan pada paradigma hak asasi manusia. Sebab hak asasi
manusia bukan saja sejalan melainkan juga menjadi tujuan
keputusan Tuhan. Perempuan dalam paradigma ini memiliki
33
Ari
Kristianawati,
Kesetaraan:
http://www.Google.co.id.,
Pendidikan
Berbasis
Gender,
Pendidikan dan Pemberdayaan Perempuan... – Amiruddin 152
seluruh potensi kemanusiaan sebagaimana yang dimiliki oleh lakilaki. Dari sini konstruksi sosial baru yang menjamin keadilan
gender diharapkan lahir menjadi basis pendefenisian kembali
pranata sosial, regulasi, kebijakan politik, dan ekonomi, serta
tidak terkecuali tentang fiqih.34
Ada beberapa prinsip kesetaraan gender di dalam al-Qur‟an,
yaitu:
1) Perempuan dan laki-laki sama-sama sebagai hamba ( Q.S.
al-Zariyat ayat : 56, Q.S. al-Hujurat ayat: 13)
2) Perempuan dan laki-laki sebagai khalifah di bumi (Q.S. alAn‟am ayat 165, al-Baqarah ayat 30
3) Perempuan dan laki-laki menerima perjanjian awal dengan
Tuhan (Q.S. al-A‟raf ayat 172, al-Isra‟ ayat 70)
4) Adam dan hawa terlibat secara aktif dalam drama kosmis
5) Perempuan dan laki-laki sama-sama berpotensi meraih
prestasi.35
Keterlibatan Laki-laki sebagai Mitra dalam Menghentikan
Kekerasan Terhadap Perempuan
Istilah kekerasan terhadap perempuan membawa konotasi
bahwa pelakunya bukan perempuan. Walaupun demikian,
sebenarnya bukan semua pelaku kekerasan terhadap perempuan
adalah laki-laki. Pelaku kekerasan adalah mereka yang dalam relasi
kekuasaan mempunyai kekuasaan yang lebih besar dari korbannya.
Keadaan ini menyebabkan korban tidak berdaya untuk melawan
kekuasaan yang lebih besar. Sebagai contoh adalah kekerasan
terhadap pembantu rumah tangga yang dilakukan oleh majikan
perempuan atau kekerasan pada anak perempuan oleh orang tuanya
atau orang yang lebih dewasa. Disamping itu banyak informasi yang
menyatakan bahwa sebenarnya laki-laki juga menjadi korban dari
nilai dan norma sosial yang ada, dimana laki-laki dianggap sebagai
“superman” yang bisa melakukan semua hal. Dalam banyak aspek,
laki-laki dan perempuan mempunyai kondisi yang sama dimana lakilaki memerlukan bantuan ketika mereka menghadapi masalah. 36
Walau demikian dalam kehidupan sehari-hari banyak laki-laki
berperan dibidang publik dan pengambil keputusan.
Dalam
kaitannya dengan penghapusan kekerasan, mereka sebenarnya
mempunyai peran yang sangat signifikan jika mereka betul-betul
Husein Muhammad, Kesetaraan Gender:‟ Memaknai Keadilan dari Perspektif
Islam, http://www.Google.co.id.,
35
Nasaruddin Umar, Qur an untuk Perempuan, Jaringan Islam Liberal & teater
Utan Kayu, 2002.
36
Heru P. Kasidi, Keterlibatan Laki-laki sebagai Mitra dalam Menghentikan
Kekerasan
dalam
Rumah
Tangga;
Peran
Laki-laki
Intelektual,
http://www.Google.co.id., 21 April 2009.
34
153
At-Tasyrih, Volume 1, Nomor 2, Maret 2016: 136-158
memahami dengan baik persoalan tentang kekerasan terhadap
perempuan. Misalnya dalam keluarga, masyarakat, biasanya seorang
ayah atau laki-laki masih menjadi acuan dan aturan untuk anak lakilaki mereka. Selain itu juga mereka menjadi referensi dan penentu
untuk keputusan terhadap anak perempuan. Perubahan nilai patriarki
di dalam masyarakat, jika dikaitkan dengan penghapusan kekerasan
terhadap perempuan memerlukan upaya tertentu dan tidak selalu
mudah serta memakan waktu. Dalam perkembangan masyarakat kita
hari ini, memang sudah ada perubahan nilai patriarki kea rah
kesetaraan kekuasaan antara laki-laki dan perempuan, namun masih
terbatas. 37
Jika kita lihat peran laki-laki secara umum dalam kehidupan
sehari-hari, dapat kita lihat di bawah ini sebagai pemikiran dalam
pelibatan laki-laki untuk penghapusan kekerasan terhadap
perempuan, yaitu:
1) Laki-laki sebagai pelaku kekerasan terhadap perempuan,
pendekatan yang dapat dilakukan antara lain memberikan
pemahaman baru tentang kekerasan terhadap sesama dan
terhadap perempuan dan mengubah prilaku.
2) Laki-laki masih dianggap berkedudukan lebi,h tinggi,
pendekatannya dengan cara mecari bentuk baru dari nilai
patriarki karena tidak semua nilai patriarki buruk,
membangun image laki-laki baru yang lebih adil terhadap
perempuan.
3) Laki-laki sebagai korban kekerasan, pendekatannya yaitu
perubahan nilai bahwa laki-laki bukan manusia super.
4) Laki-laki sebagai kelompok yang diam atau pemberi restu
terjadinya kekerasan terhadap perempuan, pendekatannya
dengan cara membangun pemahaman tentang kekerasan
terhadap perempuan, dan memberi pemahaman tentang
peran yang dapat dilakukan laki-laki.
5) Laki-laki sebagai kepala rumah tangga, pendekatannya
dengan cara memberikan pemahaman yang baik tenang
peran dan tanggung jawab sebagai kepala rumah tangga.
6) Laki-laki sebagai pembuat keputusan, pendekatannya
dengan cara peningkatan pemahaman tentang kesetaraan
dan keadilan bagi laki-laki dan perempuan
7) Peran pendidikan (patron bagi anak laki-laki),
pendekatannya dengan cara penanaman nilai-nilai budaya
damai dan saling menghormati serta multi kulturalisme
37
Heru P. Kasidi, Keterlibatan Laki-laki sebagai Mitra dalam Menghentikan
Kekerasan
dalam
Rumah
Tangga;
Peran
Laki-laki
Intelektual,
http://www.Google.co.id., 21 April 2009
Pendidikan dan Pemberdayaan Perempuan... – Amiruddin 154
8) Laki-laki sebagai narasumber bagi per group mereka,
pendekatannya dengan cara penanaman nilai-nilai budaya
damai, kesetaraan dan keadilan bagi laki-laki dan
perempuan.38
Pembangunan Pemberdayaan Perempuan Mitra Sejajar Pria
Wanita dengan segala kelebihan dan kekurangannya
ditakdirkan untuk menjadi mitra bagi laki-laki. Mitra artinya teman,
dan arti yang luasnya sebagai teman, perempuan harus diperlakukan
dengan semestinya. Dalam hal ini sangat tidak diharapkan adanya
dominasi dari pihak laki-laki. Sebagai teman, perempuan bukan
subordinat, dia ada bukan untuk ditindas, dia hadir bukan untuk
dieksploitasi. Peribahasa yang sesuai dengan harapan para wanita
jika bekerja sama dalam hal apapun dengan laki-laki adalah ringan
sama dijinjing dan berat sama dipikul. Pemberdayaan perempuan
merupakan sarana penguatan terhadapa perempuan dalam berbagai
bentuk kehidupan sosial, ekonomi, dan politik berdasarkan pada
keterkaitan antara kebebasan pribadi dan aturan masyarakat yang
berlaku. Tahap awal pemberdayan perempuan dapat dibandingkan
dengan tahapan hak. Perempuan miskin, diberbagai budaya tidak
akrab dengan bahasa “hak”, karena itu menjadi tanggung jawab
untuk menjelaskan hal itu kepada mereka. Pembangunan
pemberdayaan perempuan dilakukan untuk menunjang dan
mempercepat tercapainya kualitas hidup dan mitra kesejajaran lakilaki dan perempuan. Hal ini dapat dilaksanakan melalui kegiatan
sosialisasi / advokasi pendidikan dan latihan bagi kaum perempuan
yang bergerak dalam seluruh bidang dan sektor.
1) Tujuan Pembangunan Pemberdayaan Perempuan
a) Meningkatkan sumber daya perempuan perempuan
yang mempunyai kemampuan dan keamanan guna
kemandirian, dengan bakal kepribadian, memiliki rasa
tanggung jawab kemasyarakatan, keimanan dan
ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa.
b) Terciptanya gerak langkah yang terpadu dan harmonis
antara sektor dan sub sektor pemerintah, organisasi
kemasyarakatan dan politik, LSM, tokoh dan pemuka
masyarakat dan agama dalam upaya proses
pembangunan perempuan
2) Sasaran umum Pembangunan pemberdayaan perempuan
a) Meningkatkan kualitas sumber daya manusia
perempuan diberbagai kegiatan sektor dan sub sektor
38
Heru P. Kasidi, Keterlibatan Laki-laki sebagai Mitra dalam Menghentikan
Kekerasan
dalam
Rumah
Tangga;
Peran
Laki-laki
Intelektual,
http://www.Google.co.id., 21 April 2009.
155
At-Tasyrih, Volume 1, Nomor 2, Maret 2016: 136-158
serta lembaga dan non lembaga yang mengutamakan
peningkatan kemampuan dan profesionalisme/keahlian
kaum perempuan.
b) Mewujudkan kepekaan, kepedulian gender dari seluruh
masyarakat,
penentu
kebijakan,
pengambilan
keputusan, perencana dan penegak hukum serta
pembaruan produk hukum yang bermuatan nilai-nilai
sosial budaya serta keadilan yang berwawasan gender.
3) Kebijakan pembangunan pemberdayaan perempuan
a) Mengutamakan gender dalam pembangunan daerah
pada semua sektor melalui kelembagaan/wadah yang
ada untuk mendukung kemajuan dan kemandirian
perempuan
b) Meningkatkan komitmen antara lembaga pemerintah,
swasta dan independent untuk pemberdayaan
perempuan, proses perencanaan, pelaksanaan maupun
pemantauan dan evaluasi
4) Kinerja Pembangunan Pemberdayaan Perempuan
a) Melaksanakan rapat kerja daerah pembangunan
pemberdayaan perempuan
b) Memberi bantuan untuk penunjangan kegiatan
BKOW/Organisasi
perempuan/LSM
Perempuan,
dengan kegiatan, antara lain: pendidikan dan pelatihan,
pelatihan kepemimpinan dan politik, sosialisasi
mengenai hukum, HAM, Kadarkum, serta hak-hak sipil
perempuan
c) Melaksanakan pelatihan Gender di bidang reproduksi
dan kependudukan
d) Bantuan penunjangan untuk hari Anak dan Ibu
e) Melaksanakan evaluasi program pemberdayaan
perempuan39
Berdasarkan uraian di atas, kaum perempuan sudah seharusnya
sadar akan keberadaanya, bahwa ia diciptakan untuk mendampingi
laki-laki. Sebagaimana dahulu siti Hawa diciptakan Allah untuk
mendampingi Nabi Adam di surga. Kaum perempuan menghendaki
para pria memperlakukannya sebagaimana Islam menjunjung tinggi
hak dan kehormatannya. Para wanita banyak berharap, kaum pria
memposisikan dirinya sebagaimana al-Qur‟an memberikan pedoman
yang lengkap mengenai hal itu. Bila semua perempuan ingin
39
Heru P. Kasidi, Keterlibatan Laki-laki sebagai Mitra dalam Menghentikan
Kekerasan
dalam
Rumah
Tangga;
Peran
Laki-laki
Intelektual,
http://www.Google.co.id., 21 April 2009.
Pendidikan dan Pemberdayaan Perempuan... – Amiruddin 156
mewujudkan harapannya, ingin bebas dari semua belenggu, kuncinya
ada ditangan para perempuan itu sendiri. Pepatah bijak mengatakan
bahwa yang paling sayang terhadap diri kita adalah kita sendiri.
Kemandirian bisa meningkatkan kepercayaan diri, bisa menimbulkan
respek dari lawan jenis, serta tidak mustahil akan melahirkan
penghargaan berupa perlakuan yang sesuai dengan kedudukan kita
sebagai makhluk yang merdeka. Dan sebaliknya, ketergantungan
seseorang terhadap orang lain bisa memunculkan perlakuan semenamena dari orang yang merasa dibutuhkan.
Penutup
Dari paparan di atas dapat disimpulkan bahwa Pra Islam, kaum
perempuan selalu berada di bawah kezalimanan kaum laki-laki, tidak
memperoleh hak-hak menurut undang-undang dan tidak
mendapatkan kedudukan dalam masyarakat sesuai dengan kewajaran
yang seharusnya diberikan kepada m