EKSISTENSI TRADISI KAJIAN KITAB KUNING DALAM LINGKUP PERUBAHAN SOSIAL (STUDI KASUS DI PESANTREN DARUN NAHDHAH, DAREL HIKMAH, DAN BABUSSALAM)

EKSISTENSI TRADISI KAJIAN KITAB KUNING DALAM LINGKUP PERUBAHAN SOSIAL (STUDI KASUS DI PESANTREN DARUN NAHDHAH, DAREL HIKMAH, DAN BABUSSALAM)

Amrizal

Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Riau e-mail: amrizal@uin-suska.ac.id

Abstrak

Penelitian ini ingin menemukan jawaban tentang bagaimana keberadaan buku kuning buku di pesantren Darun Nahdhah, Darel Hikmah, dan Babussalam dalam ruang lingkup perubahan sosial. Secara umum, ketiga pesantren tersebut telah merespon positif perubahan sosial, untuk melakukan perubahan dan penyesuaian terhadap sistem pendidikan, termasuk untuk menjaga tradisi studi buku kuning tersebut. Dengan kata lain, identitas pesantren dengan buku kuning masih menempel di sekolah masing-masing. Namun, keberadaannya berbeda. Diantaranya, ada yang membuat studi tentang buku kuning sebagai co curriculer, bersama dengan kurikulum lainnya, maka ada juga yang membuatnya hanya melakukan aktivitas ekstra atau ekstra kurikuler tambahan.

Kata kunci : Pesantren, Kitab kuning, Perubahan Sosial.

Abstract

This study wants to find answers about how the existence of stsudy of the yellow book (kitab kuning) at pesantren Darun Nahdhah, Darel Hikmah, and Babussalam within the scope of social change. In general, the three pesantren have responded positively to social change, to make changes and adjustments to the education system, including in order to maintain the tradition of the study of the yellow book. In other words, the identity of pesantren with yellow book still attached at their respective schools. However, its existence is different. Among them, there were made studies of yellow book as co curriculer, together with other curriculum, then there is also making it only limited additional or extra curricular activities.

Keywords : Islmic Boarding School, Ancient Islamic Manuscript, Social Change.

PENDAHULUAN

(pegon), (2) beberapa kyai melakukan penyeder- hanaan (mukhtashar) terhadap kitab-kitab yang

Dalam tradisi intelektual Islam, khususnya ada dalam rangka penyesuaian materi, bahasa, Timur Tengah, dikenal dua istilah untuk menye- maupun pembahasannya, (3) mulai diadopsinya but kategori karya-karya ilmiah berdasarkan kitab-kitab yang tadinya dianggap tabu karena kurun atau format penulisannya. Kategori per- tidak sealiran dengan paham pesantren, tama disebut kitab-kitab klasik (al-qutub al- misalnya kitab-kitab di luar mazhab Syafi'i, (4) qadimah), sedangkan kategori kedua disebut ki- pesantren juga mulai mengaji kitab-kitab al- tab-kitab modern (al-kutub al- ‘ashriyah) (Marzuki `ashriyyah, karya ulama modern (DEPAG RI., Wahid dkk. 1999: 222). Di kalangan pesantren

kitab-kitab tersebut dikenal sebagai kitab kuning Menurut Martin van Bruinessen, seorang atau kitab gundul yang menjadi reference kajian peneliti dari Belanda, pada akhir abad ke-20 ini antara kiyai dan santrinya (Ali Yafie: 1988, 3). judul kitab kuning yang beredar di kalangan pe- Pada penelitian sebelumnya yaitu pada akhir santren Jawa dan Madura jumlahnya mencapai abad ke-19 L. W. C. van den Berg hanya 900 judul. Menurut Steenbrink, hampir seluruh menemukan 54 judul kitab kuning. Meningkat- kitab yang dipakai oleh pesantren tersebut ber- nya jumlah judul kitab kuning disebabkan oleh asal dari zaman pertengahan dunia Islam (Karel beberapa hal, yaitu: (1) banyak kyai yang me-

A. Steenbrink, 1984: 157). Sejauh bukti-bukti nulis kitab sendiri, baik dengan menggunakan historis sangatlah mungkin untuk mengatakan bahasa Arab, maupun dengan menggunakan bahwa kitab klasik atau kitab kuning teks book bahasa lokal yang ditulis dengan Arab Melayu merupakan referencesi dan kurikulum dalam

Sosial Budaya (e-ISSN 2407-1684 | p-ISSN 1979-2603)

Amrizal: Eksistensi Tradisi Kajian Kitab....

sistem pendidikan pesantren. Bahkan bisa dika- menemukan relevansinya dengan perkembang- takan, sejak pertengahan abad ke-19 kajiannya

an kontemporer. Pertama, keilmuan pesantren sudah menjadi massal dan permanen sejak

muncul sebagai upaya pencerahan bagi kelang- ulama Nusantara, khususnya Jawa, kembali dari

sungan peradaban manusia di dunia. Kedua, program belajarnya di mekah (Abdurrahman

pesantren dipandang sebagai lembaga pendi- Wahid, 1984: 8).

dikan, maka kurikulum pengajarannya setidak- Namun, waktu bisa berubah. Ketika kebu-

nya memiliki orientasi terhadap dinamika keki- dayaan dan sistem sosial mengalami perubahan,

nian Amin Haedari, dkk., 2004: 78-79). Sebab maka pendidikan pun ikut berubah atau ditun-

inilah, perlu dibangun manajemen pesantren tut untuk berubah. Karena pendidikan meru-

yang lebih memberdayakan sumber daya manu- pakan subsistem kebudayaan atau subsistem so-

sia agar siap menghadapi gejala modernitas. sial. Bila perubahan sosial dianggap linier, maka

Di antara problem yang dihadapi dunia perubahan ini telah berproses dari era tradi-

pesantren adalah sikap para pengampuh sional (pramodern) ke modern.

pesantren terhadap perubahan sosial yang Bagi sebagian kalangan, perubahan sosial ki-

berpengaruh terhadap keinginan mereka untuk ni menuju era postmodern sekalipun masih ber-

berubah seiring dengan perubahan dimaksud. sifat gejala, namun beberapa wacana postmo-

Maka dalam hal ini, modernisasi pendidikan di dern tengah memasuki percaturan dan dinamika

dunia pesantren mengalami kendala, atau budaya global, antara lain: wacana pluralisme,

menghadapi tantangan yang cukup kompleks. multikulturalisme, liberalisme, relativisme, fundamen-

Hal ini terlihat dari pola pengelolaan pesantren talisme, back to nature, postpositivisme, dan

yang beragam ketika merespon gagasan tentang sebagainya.

modernisasi pendidikan.

Di dalam arus perubahan, pesantren dengan Atmaturida mengkategorikan sikap pondok segala keunikan yang dimilikinya masih diha-

pesantren tersebut kepada tiga sikap, antara lain: rapkan menjadi penopang berkembangnya sis-

(a) Pondok pesantren yang menolak sistem baru tem pendidikan di Indonesia. keaslian dan ke-

dan tetap mempertahankan sistem tradisional- khasan pesantren di samping sebagai khazanah

nya; (b) Pondok pesantren yang memperta- tradisi budaya bangsa, juga merupakan kekuatan

hankan sistem tradisionalnya, dan memasukkan penyangga pilar pendidikan untuk memuncul-

sistem baru dalam bentuk sekolah yang berco- kan pemimpin bangsa yang bermoral. Oleh

rak klasikal, seperti Madrasah Ibtidaiyah, Mad- sebab itu, arus globalisasi mengandaikan tun-

rasah Tsanawiyah, Madrasah Aliyah, dan Ins- tutan profesionalisme dalam mengembangkan

titut/Sekolah Tinggi; (c) Pondok pesantren sumber daya manusia yang bermutu. Realitas

yang tetap mengajarkan kitab klasik, namun di inilah yang menuntut adanya manajemen

lingkungan pondok menyelenggarakan sekolah penge-lolaan lembaga pendidikan sesuai tuntu-

umum, seperti SD, SMP, SMA dan Universitas tan zaman. Signifikansi professionalisme mana-

(Atmaturida, 2001: 28).

jemen pendidikan menjadi sebuah keniscayaan Berdasarkan studi yang penulis lakukan, di tengah dahsyatnya arus industrialisasi dan

pengalaman beberapa pesantren di Pulau Jawa perkembangan teknologi modern (Abdurrah-

dapat dikatakan sedikit berbeda dengan peng- man Wahid, 1984: 8).

alaman masyarakat Riau. Riau sebagai provinsi Dalam memahami gejala modernitas yang

yang berpenduduk mayoritas muslim dan kian dinamis, pesantren sebagaimana diistilah-

mengidentikkan dirinya dengan negeri melayu, kan Gus Dur sebagai ‘sub kultur’ memiliki dua

memiliki sejarah panjang dalam tradisi kepesan- tanggung jawab secara bersamaan, yaitu sebagai

trenan, khusunya tradisi kajian kitab klasik atau lembaga pendidikan agama Islam dan sebagai

kitab kuning.

bagian integral masyarakat yang bertanggung Kampar merupakan salah satu kabupaten di jawab terhadap perubahan dan rekayasa sosial

Riau yang dianggap amat kental dengan tradisi (Amin Haedari, dkk., 2004: 76). Dalam kaitan-

ini, bahkan menyatakan dirinya sebagai serambi nya dengan respon keilmuan pesantren terha-

Mekkahnya Riau. Kabupaten Kampar dapat di- dap dinamika modernitas, setidaknya terdapat

katakan sebagai pusat pesantren tradisionil, dua hal utama yang perlu diperhatikan. Kedua-

yang telah melahirkan banyak tokoh keagamaan nya merupakan upaya kultural keilmuan pesan-

di Riau. Di antara pesantren yang tua di tren, sehingga peradigma keilmuannya tetap

Kampar misalnya Pesantren Darun Nahdhah,

Sosial Budaya, Vol. 13, No. 1, Juni 2016, pp. 73 - 88

Pondok Pesantren Madrasah

juga berarti nilai-nilai yang dipahami, dihayati, Islamiyah Tg. Berulak, Pesantren Darus Salam

Tarbiyah

diamalkan, dan melekat pada seluruh kom- Batu Bersurat, dan sebagainya. Masing-masing

ponen pesantren sebagaimana tersebut di atas. mempertahan-kan ciri tradisionalismenya dan

Dalam kaitan ini, berdasarkan hasil pene- menyatakan dirinya sebagai penegak mazhab

litian para ahli menunjukkan bahwa tradisi yang Syafi ‟iah.

ada di pesantren tersebut antara lain: (1) tradisi Belakangan, didirikan pesantren yang telah

rihlah ilmiah, (2) meneliti, (3) menulis kitab, (4) “termodernisasikan” di Pekanbaru, antara lain;

mem-baca kitab kuning, (5) praktek thariqat, (6) Pesantren Dar al-Hikamah, Pesantren Babus

peng-hafal, (7) berpolitik, dan (8) tradisi ber- Sa-lam, Pesantren Teknologi Riau, dan sebagai-

bahasa Arab, dan (9) tradisi yang bersifat sosial nya. Pesantren Babus Salam misalnya, menerap-

keagamaan lainnya(Abuddin Nata, 2013:315). kan sistem sekolahan di lingkungan Pesantren,

Adapun istilah kajian berasal dari kerja ngaji, seperti SMP dan SMA. Pesantren Dar al-

dan istilah “ngaji” adalah proses bergurunya Hikmah mengidentikkan dirinya (dan ber-

seorang santri terhadap kiai. Menurut Cak Nur, afiliasi) dengan pesantren modern di Jawa,

mgaji adalah bentuk kata kerja aktif dari seperti Pesantren Dar al-Salam di Gontor, Dar

perkataan “kaji, yang berarti “mengikuti jejak al-Najah di Jakarta, dan sebagainya.

haji. Yaitu belajar agama dengan bahasa Arab. Merujuk kepada kategori Atmaturida dan

Tampaknya, karena keadaan pada abad-abad Maghfurin di atas, agaknya tidak ada di antara

lalu memaksa orang untuk tinggal lama di tanah pesantren di Riau, seperti disebutkan di atas,

suci, sehingga memberi kesempatan padanya yang mempertahankan kemurnian tradisi pesan-

untuk belajar agama di Makkah, yang kelak tren. Berhadapan dengan modernisasi yang

diajarkan kepada orang lain ketika pulang. Yang amat pesat, pesantren-pesantren tersebut

perlu dicatat di sini adalah hampir rata-rata merespon-nya dengan mengadakan perubahan

orang-orang yang menjadi pengasuh di pondok atau pemba-haruan, namun respon mereka

pesantren, dulunya adalah orang yang pernah bervariasi. Untuk mengetahui respon tersebut,

mengenyam pendidikan di kota suci. Tokoh penulis akan mengambil tiga pesantren di

utama pendidikan seperti KH. Kholil Bang- provinsi Riau yang memiliki latarbelakang

kalan, KH. Nawawi al-Bantani, KH. Mahfudz berbeda, yaitu Darun Nahdhah di Bangkingan,

al-Tirmasi, bahkan KH. Hasyim al- „Asyari, Darel Hikmah dan Babussalam di Pekanbaru.

mereka semua adalah orang-orang yang meng- enyam pendidikan di Makkah dalam kurun waktu yang lama(Amin Haedari, dkk., 2004: 5).

TRADISI PESANTREN DAN KAJIAN

Selain itu Cak Nur juga menduga bahwa

KITAB KUNING

ngaji berasal dari bentuk kerja aktif “aji” yang

Pengertian Tradisi, Kajian, dan Kitab

berarti “terhormat”, “mahal”, “kadang-kadang”.

Kuning

Keter-kaitan itu bisa dibuktikan dengan adanya kata aji-aji yang berarti

Kata tradisi berasal dari bahasa Inggris, tradition “jimat”. Jadi ngaji dalam

yang berarti tradisi(John M. Echols dan Hassan hal ini berarti “mencari sesuatu yang berharga”,

atau menjadikan diri terhormat, atau berharga. Shadily, 1980: 599). Dalam bahasa Indonesia,

tradisi diartikan sebagai segala sesuatu (seperti Untuk memutuskan mana pernyataan yang adat, kepercayaan, kebiasaan, ajaran, dan

lebih benar dari kedua arti berbeda tersebut sebagainya) yang turun temurun dari nenek

tidak memiliki data sejarah yang pasti. Namun demikian, seluruh alasan yang diungkapkan

moyang hingga anak cucu(W. J. S. Poerwadar- sangat logis dan mengarah kepada kemuliaan minta, 1991: 1089). pesantren, kiai, santri, dan pengajian. Dengan demikian, dapat diketahui bahwa

yang dimaksud dengan tradisi pesantren adalah

Tradisi kitab Kuning di Pesantren

segala sesuatu yang dibiasakan, dipahami, diha- yati, dan dipraktekkan di pesantren, yaitu

Dalam konteks tradisi membaca kitab kuning, berupa nilai-nilai dan implementasinya dalam

seorang peneliti asal Belanda, Martin van kehidupan sehari-hari, sehingga membentuk

Bruinessen, telah menunjukkan dengan jelas kebudayaan dan peradaban yang memebeda-

tentang adanya tradisi membaca kitab kuning di kannya dengan tradisi yang terdapat pada

Pesantren. Melalui bukunya yang berjudul lembaga pendidikan lainnya. Tradisi pesantren

Yellow Book (kitab kuning), Bruinessen meng-

Amrizal: Eksistensi Tradisi Kajian Kitab....

informasi-kan bahwa kitab-kitab karangan para kiai sebaga-imana tersebut di atas, khususnya karya Nawawi al-Bantani dan Mahfudz al- Tirmizi telah menjadi kitab rujukan utama yang dipelajari di pesantren-pesantren di Pulau Jawa dan sekitarnya (Martin van Bruinessen, 1999: 27).

Dalam dunia pesantren, posisi kitab kuning sangat strategis karena kitab kuning dijadikan sebagai text book, references, dan kurikulum dalam sistem pendidikan pesantren. Selain sebagai pedoman bagi tatacara keberagamaan, kitab kuning difungsikan juga oleh kalangan pesan- tren sebagai referensi universal dalam menyi- kapi segala tantangan kehidupan (Abdullah Aly, 2011: 185). Menurut Affandi Mochtar (Said Aqiel Sirajd, 1999: 235-236), ada 2 alasan penting yang mendasari pentingnya posisi kitab kuning sebagai referensi dan kurikulum dalam sistem pendidikan pesantren. Pertama, kebe- naran kitan kuning bagi kalangan pesantren merupakan referensi yang kandungannya sudah tidak perlu dipertanyakan lagi. Kenyataan bahwa kitab kuning yang ditulis sejak lama dan terus dipakai dari masa ke masa menunjukkan bahwa kitab kuning sudah teruji kebenarannya dalam sejarah yang panjang. Kitab kuning dipandang sebagai pemasok teori dan ajaran yang bersandar pada al-Quran dan Hadis Nabi. Kedua, bahwa kitab kuning penting pesantren untuk memfasilitasi proses pemahaman keaga- maan yang mendalam sehingga mampu meru- muskan penjelasan yang segar tetapi tidak ahistoris mengenai ajaran Islam, al-Quran, dan Hadis Nabi.

Pelestarian pengajaran kitab kuning di pesan- tren telah berjalan terus-menerus, dan secara kultural telah menjadi ciri khusus pesantren sam-pai saat ini. Di sini peran kelembagaan pesantren dalam meneruskan tradisi keilmuan klasik sa-ngatlah besar. Pengajaran-pengajaran kitab klasik tersebut pada gilirannya telah menumbuhkan warna tersendiri dalam bentuk paham dan sis-tem nilai tertentu. Sistem nilai ini berkembang secara wajar dan mengakar dalam kultur pesan-tren, baik yang berbentuk dari pengajaran kitab-kitab klasik maupun yang lahir dari pengaruh lingkungan pesantren (Yasmadi, 2005: 90).

Melalui tradisi membaca kitab kuning ini, para kiai pesantren telah berhasil mewarnai corak kehidupan keagamaan masyarakat pada khususnya dan kehidupan sosial kemasya-

rakatan pada umumnya. Kuatnya pengaruh ajaran ahl al-Sunnah wa al- Jama‟ah di kalangan umat Islam, yang dicirikan dengan penggunaan pahan Asy‟ariyah dalam bidang teologi, peng- gunaan paham al- Syafi‟i dalam bidang Fiqh, dan penggunaan Tasawuf al-Ghazali dan Imam al- Junaid dalam bidang tasawuf terjadi karena pengaruh dari tradisi membaca kitab kuning oleh para kiai di pesantren, serta ceramah- ceramah yang mereka sampaikan di masyarakat (Abuddin Nata: 321-322). Kitab-kitab kuning yang diajar-kan di pesantren memiliki tingkatan- tingkatan. Tingkatan-tingkatan tersebut diten- tukan oleh keadaan santri; tingkat pemula (awwaliyah), tingkat menengah (wushtha), dan tingkat tinggi (`aly). Ada juga tingkatan itu ditentukan pola penyajian kitan itu sendiri, seperti pola matan, syarah, dan khasyiyah. Pola lain dalam penyajian kitab yang tampaknya memperkuat kecende-rungan pembagian ting- katan itu adalah kitab-kitab jenis mukhtashar yang merupakan ringkasan dari kitab yang ada, mubassathah atau mutawassithah yang tampaknya berisi tambahan penjelasan, dan muthawwalah yang memberikan tambahan penjelasan yang lebih banyak, namun bukan syarah atau bukan pula khasiyah.

Sebaran Kitab Kuning di Pesantren

Adapun kitab-kitab kuning yang beredar di pesantren-pesantren memiliki beberapa kajian sebagai berikut (Wahid, dkk. : 241-244):

(a) Bidang Bahasa Arab Kitab kuning dalam disiplin bahasa Arab berkaitan erat terutama dengan masalah- masalah nahwu, shorf dan balaghah. Kitab kuning shorf paling dasar bagi para pemula adalah Al-Bina wa Al-Asas karya Mulla Al- Danqari, kemudian dilanjutkan kitab Al- Tashrif buah karya Ibrahmin Al-Zanzani atau kitab Al-Maqshud. Dalam bidang ini, kitab dalam bahasa jawa pun beredar misalnya kitab Al-Amsilah Al-Tashrifiyyah karya Muhammad Ma‟shum bin Ali, asal Lasem, Jawa Tengah dan shorf Mlangi hasil anggitan Kyai Nur Iman dari Mlangi, Yogyakarta. Setelah itu setingkat lebih tinggi ada kitab kuning syarh (komentar) atas Al-Maqshud yaitu Hall Al-Maqal karya Muhammad Ullays (w. 1881 M) dan komentar atas Al-Tashrif yaitu Kaylani karya Ali Ibn Hisyam Al-Kaylani. Sedangkan dalam bidang Nahwu, kitab kuning pemula

Sosial Budaya, Vol. 13, No. 1, Juni 2016, pp. 73 - 88

adalah Al-Awamil Al-Miah karya Abd Al- merupakan syarkh atas Minhaj yaitu Tuhfah Qahir Ibn Abdirrahman Al-Jurjani (w. 471

Al-Muhtaj karya Ibn Hajar Al-Haytami (w. H), Al-Muqaddimah Al-Ajrumiyyah karya

973 H/1565-6 M) dan Nihayah Al-Muhtaj Abu Abdillah Ibn Dawud Al-Shanhaji bin

karya Samsuddin Al-Romli (w. 1004 Ajrum (w. 723 H). Kemudian kajian nahwu

H/1595-6 M). Begitu juga Mughni Al- tingkat menengah menggunakan Al-Durar

Muhtaj karya Khatib Al-Syarbini (w. Al-Bahiyyah yang dikenal dengan „Imrithi

977H/1569-70 M), Kanz Al-Raghibin yang karangan Syarf Ibn Yahya Al-Anshari Al-

lebih dikenal dengan Al-Mahalli karya Imrithi dan lebih tinggi lagi menggunakan

Jalaluddin Al-Mahalli (w. 864 H/1460 M) kitab kuning Al-Mutammimah karya

dan Minhaj Al-Thullab karya Zakariyya Al- Samsuddin Muhammad bin Muhammad

Anshari (w. 926 H1520 M). Generasi ketiga Al- Ru‟yani Al-Khatabi dan Alfiyyah Ibn

dari kitab Al-Muharrar adalah karya Al- Malik beserta kitab kuning syarkh yang

Anshari, Fath Al-Wahhab yang merupakan dikenal dengan Ibn Aqil anggitan Abdullah

ringkasan dari karyanya sendiri yaitu Minhaj bin Abdirrahman Al-Aqil. Adapun yang

Al-Thullab. Kitab kuning lainnya dari membahas balaghah sekurang-kurangnya

generasi ini hanya merupakan ringkasan ada tiga kitab kuning yang terkenal yaitu

dan intisari dari kitab kuning generasi Al-Jauhar Al-Maknun karya Abdurrahman

sebelumnya. Sementara itu dari kitab Fath Al-Akhdari (w. 920 H/1514 M), Al-Mursyid

Al-Wahab lahir dua kitab hasyiyah (komentar Ala Uqud Al- Juman fi ‘Ilm Al-Maani wa Al-

atas komentar), masing-masing oleh Bayan karya Jalaluddin Al-Suyuthi yang

Bujayrimi (w. 1221 H/1806 M) dan Jamal meupakan edisi nadzm dari ‘Ilm Al-Ma’ani

(w. 1204 H/1780-90 M). wa Al-Bayan karya Sirajuddin Al-Sakkaki

Adapun dari kitab Ghayah wa Al-Taqrib dan Al-Risalah Al-Samarqandiyyah karya

karya Abu Syuja juga lahir dan berkembang Abu Al-Qasim Al-Samarqandi.

sejumlah kitab kuning di lingkungan (b) Bidang Ilmu Mantiq

pesantren. Dari kitab ini muncul Al- Iqna’ Kitab kuning yang paling terkenal dalam

karya Syarbini (w. 977 H/1569-70 M), masalah ini adalah Al-Sulam Al-Munawarraq

Kifayah Al-Akhyar karya Al-Dimasyqi (w. fi ‘Ilm Al-Manthiq karya Al-Akhdar,

829 H/1426 M0 danb Fath Al-Qarib karya pengarang kitab Al-Jauhar Al-Maknun.

Ibn Qasim (w. 918 H/1512 M). Garis lain Komentar atas kitab kuning ini dibuatnya

dari fiqh Syafi‟i adalah Kitab Qurrah Al- sendiri dalam Idat Al- Mubham min Ma’ani

‘Ayn karya Al-Malibari. Dari sini lahirlah Al-Sulam. Selain itu ada satu lagi kitab

Nihayah Al-Zayn karya Syaikh Nawawi Al- kuning manthiq yang selalu dikaji di

Bantani dan Fath Al- Mu’in karya lanjutan pesantren yaitu Isaghuzi, karya Atsiruddin

Al-Malibari sendiri. Kemudian dua kitab Mufadhdhal Al-Bahri (w. 663 H/1264 M).

kuning lain lahir dari Fath Al- Mu’in yaitu I’anah Al-Thalibin karya Sayyid Bakri (w.

(c) Bidang Ilmu Fiqh; 1893 M) dan Tarsyih Al-Mustafidin karangan Adapun kitab kuning dalam bidang fiqh

Alwi Al-Saqqaf (w. 1916 M). hampir semua yang beredar termasuk

Dalam daftar Van Den Berg ada garis lain dalam kriteria fiqh Ma dzhab Syafi‟i. Van

yakni kitab kuning elementer abad ke 9 H, Bruinessen mengungkapkan bahwa karya-

yaitu kitab Muqaddimah Al-Hadhramiyyah karya fiqh Syafi‟i berasal atau merupakan

karya Abdullah bin Abdul Karim ba- kreasi lanjutan dari tiga kitab kuning yang

Fadhal. Dari garis ini lahir Minhaj Al-Qawim muncul sebelumnya yaitu Al-Muharrar

karya Ibn Hajar, yang kemudian pada abad karya Al- Rafi‟i (w. 625 H/1226 M), Al-

ke 18 melahirkan Al-Hawasyi Al-Madaniyyah Taqrib karya Abu Syuja‟ Al-Isfahani (w. 593

karya Muhammad bin Sulayman Al-Kurdi. H/1197 M) dan Qurrah Al-Ayn karangan

Melalui garis ini, kitab kuning yang paling Al-Malibari (w. 9756 H/1567 M). Dari

terkenal dan beredar di hampir seluruh garis Al-Muharrar lahir Minhaj Al-Thalibin

pesantren di Jawa hanya kitab Minhaj Al- karya Abu Zakariyya Yahya An-Nawawi (w.

Qawim yang kandungannya terbatas pada 676 H/1277-8 H). Kemudian generasi

fiqh ibadah saja. Adapun dua kitab berikutnya kitab-kitab kuning yang ada

komentar lagi atas kitab Al-Muqadddimah

Amrizal: Eksistensi Tradisi Kajian Kitab....

adalah karya Syaikh Mahfudz Al-Tirmisi dan Busyr Al- Karim bi Syarkh Masail Ta’lim ala Muqaddimat Al-Hadhramiyyah karya Said bin M. Bahsin. (d) Bidang Ushul Fiqh; Dalam bidang Ushul Fiqh pesantren mengenal beberapa kitab di antranya Al- Waraqat karya Imam Al-Haramayn (419- 478 H/1028-1085 M), Al- Luma’ fi Ushul Al- Fiqh karya Abu Ishaq Al-Syairazi Al- Syafi‟i (w. 476 H), Lathaif Al-Isyarat dan Jam’ Al- Jawami’ karya Tajuddin Al-Subki (w. 769 H) serta Al-Asybah wa Al-Nadzair karya Jalaluddin Al-Suyuthi (849-911 H/1445- 1505 M). Kitab Jam’ Al-Jawami’ karya Al- Subki mendapatkan komentar dalam Lubb Al-Ushul karya Abu Zakariya Al-Anshari. Lubb Al-Ushul sendiri mendapatkan komentar oleh Muhammad Al-Jauhari dan Abu Zakariya Al-Anshari dalam Ghayah Al- Wushul. Jalaluddin Al-Mahalli juga mempunyai komentar atas Jam‘ Al-Jawami’ yang kemudian mendapatkan komentar atas komentar dari Al-Bannani. (Hanafi, 2004: 33)

(e) Bidang tafsir dan ilmu tafsir; Dalam bidang tafsir ada kita Jalalain, Munir, lbnu Kasir, Tafsir Yasin, Al Tahbir, Baidowi, Jamiul Bayan/ Tabari, Al Kazin. Adapun dalam bidang ilmu tafsir, yaitu: Tibyan fi Adabi Hamalatil Quran, Asbabun Nuzul, Ilmut Tafsir, Al Burhan fi UlumilQur’an, Al ltqan, Itmamu Diraya.

(e) Bidang hadits dan ilmuhadits; (f) Bidang tauhid;

(h) Bidang tasawuf; Hikam/Syarh, lhya Ulumuddin, Risalah

Muawanah, Nasaihuddiniyah, Sirajuttalibin, Bidayatulhidayah, Tanwirul Qulub, Salalimul

Fudhala, Irsyadul Ibad, Kasyfus Saja, Dalilul Khairat, Hidayatul Adkiya, Sairus Salikin, Hidayatus Salikin, Tanbihul Gafilin, Mudrajus suhud, Irsyad al Fuhul, Zurratun Nasihin, Sabilul Izkar, Mauizatul Mu’minin, Insan Kamil, Al Maftuhah Arabi, Fathu Rabb Al bariyah. Dan dalam bidang akhlak diajarkan: Matan/syarah Ta’limulmuta’allim, Ahlak lil Banin, Akhlak lil Banat, Munadorotul walidiyah, Wasaya, ‘Idotu nnasi’in, ls’adur Rafiq, Tafrihatul Wildan, Wa saya, Nasaihul Ibad, Qamiut Tugyan, Taisirul Khalaq, Nazmul Matlab, Nazmul Akhlaq, Tahliyah, Makarjmul Akhlak, Washiyah Al Mustofa.

Dari sejumlah kajian kitab kuning yang diajarkan di pesantren, fikih merupakan disiplin ilmu yang memperoleh perhatian terbesar (Karel A. Steenbrink: 143-4, 173-4). tapi bukan berarti pelajaran lain diabaikan. Karya-karya fikih yang dipelajari di pesantren berada dalam satu alur pemikiran mazhab, khususnya mazhab al-Syafi'i. Survei van Brinessen dalam hal ini perlu dicatat. la mengungkapkan bahwa karya- karya fikih Syafi'i berasal atau merupakan kreasi lanjutan dari tiga kitab kuning pendahulu; masing-masing kitab al-Muharrar karya Rafi'i (w. 625 H11226 M), kitab al-Taqrib karya Abu Syuja' al-Ishfahani (w. 593 H/1197 M) dan kitab Qurrah al-`Ayn karangan Malibari (w. kira- kira 975 H/1567 M). Ketiga kitab ini masing- masing membuat garis sejarah perkembangan sejumlah kitab tersendiri sesudahnya (Affandi Mochtar: 242-3).

Metode Pembelajaran Kitab Kuning

Diskursus mengenai metode pembelajaran kitab kuning di pondok pesantren Salafiyah tidak akan terlepas dari penggunaan metode tradisional konvensional. Metode pembelajaran dapat diarti-kan sebagai cara-cara yang dipergunakan untuk menyapaikan ajaran sampai ke tujuan. Dalam kaitannya dengan pondok pesantren Salafiyah, ajaran adalah apa yang terdapat dalam kitab kuning atau kitab rujukan atau referensi yang dipegang oleh lembaga tersebut. Dalam perjalan-annya, selama kurun waktu yang panjang pon-dok pesantren jenis ini menerapkan beberapa metode pembelajaran diantaranya; wetonan atau bandongan, sorogan dan hafalan (tahfidz) dan munazharah (musyawarah/muzkarah).

PESANTREN DAN PERUBAHAN SOSIAL

Pengertian Perubahan Sosial

Perubahan berasal dari kata ubah yang diberikan awalan per dan akhiran an. W. J. S. Poerwadar-minta, dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, mengartikan perubahan sebagai keadaan yang berubah dari keadaan yang semula ke dalam bentuk lain (W. J. S. Poerwadarminta, 1998: 87). Sedangkan sosial atau masyarakat adalah kumpulan manusia yang bertempat tinggal di suatu wilayah tertentu dan terikat oleh aturan yang disepakati bersama

Sosial Budaya, Vol. 13, No. 1, Juni 2016, pp. 73 - 88

dalam rangka mencapai tujuan bersama. Pada secara konkret, pesan-tren merespon tantangan masyarakat yang sudah maju kesepakatan

itu dalam berbagai bentuk.

bersama tersebut dido-kumentasikan dalam Pertama, pembaruan substansi atau isi pendi- sebuah undang-undang atau peraturan.

dikan pesantren dengan memasukkan subjek- Sedangkan pada masyarakat yang belum maju

subjek umum dan ketrampilan (vacational). atau tradisional, kesepakatan ter-sebut belum

Kedua, pembaruan metodologi seperti klasikal dituliskan, melainkan masih berupa bentuk

dan penjenjangan; ketiga, pelembagaan, seperti ucapan atau perbuatan yang dibina dan diawasi

kepemimpinan pesantren, diversifikasi lembaga pelaksanaannya

pendidikan; dan keempat, pembaruan fungsi dari Masyarakat yang melanggar undang-undang dan

fungsi pendidikan mencakup fungsi sosial peraturan akan dikenakan sanksi baik perdata

ekonomi.

maupun pidana. Demikian pula orang yang me- Sebagai bukti empirik yang bisa dilihat seka- langgar adat istiadat yang berlaku di masyarakat

rang adalah banyaknya pesantren yang menggu- juga akan dikenai sanksi yang dilaksankan oleh

nakan sistem klasikal, serta pengaturan kuriku- pemangku adat.

lum. Bahkan sebagai bentuk negosiasi. Adapun perubahan sosial merupakan per-

Kebanya-kan pesantren yang berdiri sekarang alihan dari suatu keadaan masyarakat pada suatu

ini menggu-nakan dua sistem pembelajaran keadaan yang baru. Atau bisa juga dikatakan

sekaligus. Sistem klasikal yang disesuaikan sebagai perubahan satu realitas ke dalam bentuk

dengan kurikulum pemerintah yang dilakukan realitas yang lain, yang berbeda dengan realitas

pada jam sekolah biasa, mulai dari jam tujuh asasnya. Ada atau tidaknya suatu perubahan di

sampai setengah dua(an); dan selebihnya da-lam masyarakat hanya dapat dilihat dari

pengajian wetonan, pada waktu- waktu ba‟da gejala-gejala yang tampak. Di antara gejala-

shalat, seperti pasca Ashar, Maghrib, Isya‟, dan gejala tersebut, yaitu: depersonalisasi, adanya

Subuh.

frustasi dan apathy (kelumpuhan mental), Lebih dari itu, beberapa pondok pesantren pertentangan-pertentangan, dan perbedaan-

bahkan mulai menerapkan sistem pembelajaran perbedaan penda-pat mengenai norma-norma

modern secara penuh, di mana pola pembela- susila yang hingga kini dianggap mutlak, adanya

jaran semacam ta‟lim, wetonan dan sorogan pendapat-pendapat yang tidak disetujui oleh

ditiadakan sama sekali. Contoh kasus seperti: banyak orang, terjadinya jarak antara generasi

Pondok pesantren Gontor, Wali Songo Ngabar, (generation gap), dan lain-lain (Astrid S. Susanto,

Al Zaitun, dan lain-lain.

1979: 178). Tentang penolakan pesantren terhadap bu- daya manajemen dan profesionalitas, tampak-

Sebab dan Akibat Perubahan Sosial

nya juga bukanlah sesuatu yang mutlak. Dalam laju perkembangan pondok pesantren secara

Pada 1920-an, terjadi tiga pembaruan penting gradual, pondok-pondok pesantren ini juga yang diadopsi oleh banyak pesantren, terpe- mulai meng-gunakan sistem organisasi dalam ngaruh oleh kemajuan pendidikan Islam dari manajemen pondok. Kiai yang pada mulanya Timur Tengah dan persaingan dengan sistem sebagai poros dari struktur keorganisasian pendidikan Belanda (Jones, Sidney, 1991: 20). secara pelan-pelan mulai bergeser. Proses Pertama, pembukaan beberapa pesantren untuk pergeserannya pun terdiri dari beberapa santri perempuan. Kedua, penggunaan sistem tahapan. Pada tahapan pertama, jika pada madrasah, sejenis sekolah Islam yang diadopsi mulanya seluruh manajemen berada dalam dari Timur Tengah yang memformalkan pendi- tangan kiai, sekarang seorang kiai mulai dikan pesantren melalui penggunaan sistem mengangkat beberapa badal yang disebut kelas bertingkat-tingkat. Ketiga, penambahan pengurus juga seorang kepala pondok/lurah. beberapa pengajaran umum seperti Matamatika Pada tahap ini, sudah mulai ada pembagian dan Bahasa Indonesia pada kurikulum. fungsi keorganisasian, dalam arti tidak setiap Menurut Suwendi, sebagai respon terhadap kegiatan harus melibatkan peran kiai secara gerakan reformasi Islam tersebut, pesantren penuh. Namun demikian, peran kiai masih me-lakukan

tampak kuat. Pengurus menjalankan fungsi, adjustment yang dianggap tidak hanya tetapi tidak begitu substansial. mendukung konti-nuitas pesantren tetapi juga

bermanfaat bagi para santri. Dalam wujudnya

Amrizal: Eksistensi Tradisi Kajian Kitab....

Pada tahapan kedua, masuknya pengajar- Selain itu, muncullah sekolah-sekolah agama pengajar klasikal selain kiai di pondok pesan-

(ibtidaiyah, Tsanawiyah, „Aliyah) serta sekolah- tren. Secara otomatis kiai mulai membutuhkan

sekolah umum dari rahim pesantren sendiri. bantuan dari luar pondok yang difungsikan

Sayangnya, tidak selamanya harapan sesuai untuk mengajar pelajaran-pelajaran tertentu

dengan kenyataan. Terbukti, dengan dibukanya yang tidak dikuasainya. Pun secara otomatis

pendidikan agama dari rahim pesantren inilah manajemen pada tingkat ini lebih profesional.

secara otomatis telah mengurangi jam pengajian Pada tahap ketiga, telah mulai dibentuk

yang dilakukan seorang kiai dalam pesantren. yayasan di mana selain pondok pesantren juga

Masuknya pola pembelajaran dengan kurikulum berdiri sekolah-sekolah umum. Baik Madrasah

modern dan pelajaran-pelajaran umum sesuai Ibtida‟iyah (MI) setingkat SD, Madrasah

dengan ditentukan oleh pemerintah, membuat Tsanawiyah (MTs) setingkat SMP, atau

semakin berkurangnya jam baca kitab kuning Madrasah „Aliyah setingkat SMA. Beberapa

oleh seorang kiai dan santrinya. Banyak urusan setiap lembagaa di bawah yayasan itu,

pesantren akhirnya menjadi pondok yang memiliki kebijakan sendiri. Namun demikian,

“serba nanggung”, alias kemampuan baca peran kiai sebagai kepala yayasan juga masih

kuning santrinya kurang bisa dipertanggung- banyak melakukan intervensi pada hal-hal

jawabkan, sementara kemampuan penyerapan tertentu; misalnya banyaknya – kalau tidak

pelajaran umum juga belum bersaing dengan semuanya – kepala sekolah di bawah yayasan

sekolah umum di luar pesantren. tersebut merupakan anak atau kerabat dari kiai

Lebih jauh, akibatnya adalah defungsional- tersebut.

isasi pondok pesantren. Bila awalnya orang Pada tahap terakhir, hampir sama sengan

pergi ke pesantren dengan niatan untuk tahap ketiga, yaitu pondok pesantren melem-

mendalami ilmu-ilmu keagamaan, justru bagakan dirinya sendiri menjadi yayasan; hanya

berbalik arah. Pesantren seakan menjadi pimpinan pusat tidak lagi terletak pada seorang

“tempat kos” ansich dan tempat kedua setelah kiai tunggal. Pada tahap ini, model kepemim-

pendidikan formal itu sendiri. Orang-orang pinan kharismatik mulai tercerabut dari akarnya,

yang belajar ke pesantren tidak lagi mereka yang di mana munculnya pondok pesantren didasar-

benar-benar ingin belajar agama, dan niatnya kan atas organisasi modern yang berpijak pada

pun tidak semata-mata untuk mendalami ktab sistem birokrasi yang rasional. Sementara itu

kuning belaka tetapi mejadi macam-macam. posisi kiai tidak lagi di puncak pimpinan tapi

Pada saat ini ada kebutuhan besar untuk sudah berada di bawah naugan organisasi. Pada

sistem pendidikan nasional yang baru dan ba- pola ini, siapa yang akan jadi pimpinan akan

nyak siswa pindah dari pesantren dan madrasah dipilih dalam musyawarah tahunan. Salah satu

ke sistem pemerintah. Dampak perubahan ini contoh dari pondok pesantren yang menggu-

adalah pesantren semakin terus-menerus me- nakan metode ini adalah Pondok Pesantren As-

nambah kurikulum umum pada kurikulum aga- Syafi‟iyah di Jakarta yang sudah menjadi yayasan

ma, seringkali melalui peningkatan pembangun- sejak tahun 1963 (Muhammad Jamilun, 2002:

an sekolah madrasah di pesantren (Hefner. 47).

2009, 64-65).

Dalam perkembangan selanjutnya, peranan Pada tahun 1958, untuk menyatukan sistem pesantren terdesak oleh munculnya sekolah-

madrasah swasta dan meningkatkan mutu sekolah agama dan sekolah-sekolah umum baik

pendi-dikannya, DEPAG menciptakan Kuriku- di tingkat dasar maupun tingkat perguruan

lum Madrasah Wajib Belajar. Akan tetapi, tinggi. Realitas seperti ini kemudian membuat

madrasah terus menjaga kurikulum tersendiri, kecenderungan orang tua untuk lebih memilih

jadi sebagai upaya untuk meningkatkan pengua- sekolah agama atau sekolah uum bagi anak-

ksaan peme-rintah atas pendidikan Islam dan anaknya. Pun, kecenderungan ini mau tidak

mengim-plementasikan kurikulum tersebut, mau, membuat beberapa pesantren merombak

DEPAG mulai mendirikan madrasah negeri sedikit pola pembelajarannya untuk menyesuai-

yang diurus oleh pemerintah. Walaupun sudah kan de-ngan zaman yang menghendakinya,

ada madrasah swasta, namun upaya pemerintah Maka hasil-nya, selain masih mempertahannkan

ini mencoba mempengaruhi madrasah swasta pola pem-belajaran lama, beberapa pesantren

untuk meng-adopsi sistem pemerintah. Pada mulai ber-benah diri untuk fastaqul khairat.

tahun 1975 dikeluarkan Surat Keputusan

Sosial Budaya, Vol. 13, No. 1, Juni 2016, pp. 73 - 88

Bersama (SKB) tiga menteri untuk menya-

ga banyak hal didasarkan pada pertimbangan- makan kurikulum mad-rasah melalui implemen-

pertimbangan yang lebih rasional, termasuk tasi kurikulum nasional. DEPAG memutuskan

dalam menyikapi ajaran agamanya. Keempat, bahwa kurikulum ini akan termasuk 70%

tumbuhnya sikap dan orientasi hidup pada pelajaran umum (termasuk ilmu alam, ilmu

kebendaan atau sikap hidup materialistik. Se- sosial, kebudayaan dan bahasa) dan 30%

hingga ukuran-ukuran hidup kebendaan pelajaran beragama (ilmu keagamaan secara

menjadi lebih dominan dibandingkan dengan umum dan fiqih). Madrasah yang me-nerima

hidup batin.

perubahan ini bisa menerima dana dari Kelima, tumbuhnya mobilitas penduduk yang pemerintah dan siswanya bisa mengambil ujian

semakin cepat, sehingga mempercepat proses nasional untuk pendidikan tinggi (Zuhdi: 20).

urbanisasi. Keenam, tumbuhnya sikap hidup yang individualistik, sehingga merenggangkan silatur-

Tradisi Pesantren dalam Tantangan

rahmi dan kebersamaan. Ketujuh, munculnya

Globalisasi

sikap hidup yang cenderung “permisif”, yaitu sikap hidup yang longgar terhadap berbagai

Globalisasi adalah kata yang digunakan untuk mengacu kepada “bersatunya” berbagai negara bentuk penyimpangan, termasuk penyimpangan

terhadap ajaran agamanya.

dalam globe menjadi satu entitas. Globalisasi Berhadapan dengan modernitas, kalangan se-cara istilah berarti perubahan-perubahan santri merupakan kalangan yang paling lama struktural dalam seluruh kehidupan negara me-lakukan reaksi penerimaan. Gaung kejayaan bangsa yang mempengaruhi fundamen- yang ditawarkan tidak juga membuat mata ter- fundamen dasar pengaturan hubungan antara belalak untuk segera mengambil mentah- manusia, organisasi-organisasi sosial, dan mentah tradisi modernitas itu. Namun demikan, pandangan-pandangan dunia(Azyumardi Azra, bukan berarti orang-orang santri lantas bersikap Pendidikan, 1999: 44). proteksionis dan apatis terhadap laju Memahami pengaruh proses globalisasi ini perkembangan zaman yang telah dihembuskan adalah sangat penting pada topik pesantren.

oleh modernitas.

Ketika kita membahas perubahan-perubahan Dengan berpegang teguh pada prinsip pada pendidikan pesantren di Indonesia, kita adigum”al-Muhafazh harus mengakui proses-proses perubahan sosial ah ‘ala al-Qadim al-Shaalih wa

al-Ahzdu bi al-Jadid al- yang lebih luas daripada masyarakat Islam di

Ashlah” kalangan pesantren coba mulai memilah-milah antara

Indonesia saja. Walaupun ada beberapa peng- satu persatu dari gebyar modernitas untuk dicari ikut Islam yang mencoba menolak perubahan sarinya; mana yang bisa digunakan, dan mana dan pengaruh dari masyarakat luar, tidak ada yang tidak. Sayangnya, tindakan yang begitu seorang yang berhasil dalam proses meng- berhati-hati ini, membuat kalangan pesantren abaikan pengaruh-pengaruh ini (Roy: 270). dinilai terlalu lam-ban hingga akhirnya dituding Modernisasi telah membawa dampak begitu oleh orang luar pesantren sebagai masyarakat besar bagi berlangsungnya sebuah realitas sosial. yang apatis terhadap kemajuan zaman. Ada beberapa fenomena – seperti yang dieks- Namun demikian, masih juga ada kalangan plorasi A. Malik Fadjar (A. Malik Fadjar, 1988: pesantren yang dengan terang bersiap apatis 218) yang bisa diungkap mengenai implikasi terhadap modernitas. Ada beberapa alasan dari modernisasi. Pertama, berkembangnya mass reaksi mereka antara lain: pertama, kemunculan culture karena pengaruh kemajuan mass media. mo-dernitas yang dari Barat sangat tidak bisa Seperti televisi, hingga arus informasi tidak lagi lepas dari dunia Barat itu sendiri. Kalangan ini bersifat lokal, tetapi nasional bahkan global. Hal men-curigai bahwa modernisasi sama halnya ini akan berdampak pada kondisi keragaman dengan westernisasi. Kedua, perkembangan ilmu atau pun heterogenitas nilai dalam masyarakat, penge-tahuan dan teknologi yang demikian yang akan berpengaruh terhadap nilai-nilai pesatnya di zaman modern – di Barat, agama yang ada dalam masyarakat. menyebabkan ketimpangan luar biasa antara Kedua, tumbuhnya sikap hidup yang lebih masyarakat Islam dengan masyarakat modern. terbuka sehingga memungkinkan terjadinya Dan pada akhirnya, mereka mempertentangkan proses perubahan dalam berbagai bidang antara tradisi dan modernitas menjadi sesuatu kehidupan, termasuk kehidupan beragama.

Ketiga, tumbuhnya sikap hidup rasional, sehing-

Amrizal: Eksistensi Tradisi Kajian Kitab....

yang tak beralasan; mengingat pada dasarnya untuk menghormati santri yang besar begitu tradisi sendiri bersifat dialogis dan berkembang.

pun sebaliknya seorang santri yang besar Sebagaimana yang dikatakan Arkoun, bahwa

diharapkan untuk menyayangi yang kecil. sikap proteksionisme beberpa kalangan Islam

Dengan demikian, pola pembelajaran di terhadap modernitas bisa saja disingkirkan jika

pesantren tidak mengenal klasifikasi rangking mereka konsisten memperlakukan tradisi

kelas karena hanya akan mencerabut sifat sebagai “a living dialogue grounded in common

kemanusiaan anak didik belaka. Siswa seakan freference to particular creative event”, maka usaha

menjadi robot yang setiap hari disuguhi modernisasi sebagai suatu bentuk tindakan

persaingan-persaigan tanpa ada rasa cinta kasih. kultural menjadi amat penting, dan juga dapat

Ketiga, pesantren juga mengajarkan rasa tang- berlangsung dalam perangkat tradisi yang

gungjawab yang tinggi, terlebih pada santri- dinamis (dialogis). Sebab, pada dasarnya setiap

santri yang sudah lama di pondok pesantren. tradisi tidak menentang kemajuan. Pola seperti

Peng-angkatan beberapa santri yang dianggap inilah yang secara persis terjadi di Barat dalam

cukup capable untuk menjadi badal atau wakil permulaan modernisasi (Suadi Putro, 1998: 45).

sang kiai, merupakan pola pembelajaran Kemudian, menghadapi krisis kemanusiaan

kepemimpinan yang sangat efektif. Pada fase seperti inilah ternyata lembaga pondok pesan-

inilah seorang santri dituntut tidak hanya belajar tren menjadi semacam jawaban yang ditunggu-

bersikap profesional dengan berbagai macam tunggu- kalau tidak disebut sebagai sebuah so-

admin-istrasinya. Lebih dari itu, naluri mendidik lusi. Tanpa merendahkan sistem pendidikan

dan rasa peduli terhadap adik santri juga mulai yang ada, tampaknya pembelajaran yang dite-

diajarkan. Ilmu adalah praktis bukan pada rapkan di pondok peantren –masih- lebih

tataran kognitif saja.

efektif dibandinkan dengan pendidikan umum Keempat, proses interaksi antar santri yang lainnya.

begitu beragam dalam pondok pesantren, Beberapa hal yang bisa dijadikan alasan

lengap dengan perilaku hariannya, lebih meng- antara lain (Amin Haedari, 2004: 30-32):pertama,

ajarkan sikap sosial dibandingkan dengan pem- dengan menggunakan sistem pembelajaran pon-

belajaran di sekolah umum. Dalam kehidupan dok pe-santren ternyata lebih memungkinkan

pesantren, seorang santri sudah dilatih sejak tercapai-nya target pembelajaran pendidikan

dini untuk bekerjasama dengan sesama, tidak siswa pada tiga aspek potensi; (1) aspek kognitif

langsung se-cara praktek. Kegiatan harian dapat diperoleh dengan menggunakan sistem

semisal mem-persiapkan makanan dilakukan pembelajaran harian yang diberikan oleh se-

bersama-sama.

orang kiai. Karena, sistem pembelajaran di Kelima, pondok pesantren juga mengajarkan dalam kelas atau pun di dalam pondok inilah

kehidupan disiplin untuk para santri. Minimal yang telah menjadi sarana pemberian pengertian

sehari lima kali seorang santri dikontrol (meng- berbagai macam disiplin ilmu yang diajarkan di

ajak tapi condong ke arah perintah) untuk men- sana. (2) dan (3) aspek afektif dan psikomotor

jalankan ibadah shalat fardhu secara berjama‟ah. dapat diperoleh dengan praktek harian. Realitas

Keenam, dalam dunia pesantren, aspek di lapangan menunjukkan bahwa pada

kemandirian betul-betul ditekankan. Dua puluh kenyataan-nya, kehidupan seorang kiai yang

empat jam, ia lalui setiap harinya dalam sebuah disaksikan oleh santri dan praktek tauladan kiai

asrama yang terpisah dengan orang tua. Segala dalam meng-amalkan disiplin ilmu yang dimi-

macam aktivitas dilakukan secara mandiri. likinya meru-pakan pembelajaran terbesar da-

HASIL PENELITIAN

lam rangka pencapaian dua potensi tersebut.

Pesantren Darun Nahdhah

Selain itu, kehidupan bersama antara kiai dan santri, pada akhirnya lebih menumbuhkan

Sekilas tentang Pesantren Darun Nahdhah

hubungan emo-sional di antara keduanya. Per- Pondok Pesantren Darun Nahdhah Thawalib hatian yang besa yang dberikan kiai kepada

Bangkinang merupakan kelanjutan dari santrinya merupakan nilai plus yang tidak

Madrasah Daarul Mu‟allimin pimpinan H. Syeh dimiliki oleh lembaga-lembaga pendidikan lain.

Abdul Malik yang didirikan pada tahun 1923. Kedua, tradisi kasih sayang dan saling meng-

Pesantren ini menggunakan sistem pendidikan hormati merupakan acuan yang dijadikan stan-

khalaqah dan klasikal. Pada awalnya, ia hanya dar utama. Seorang santri yang kecil diwajibkan

diperuntukkan bagi santri laki-laki. Sebenarnya

Sosial Budaya, Vol. 13, No. 1, Juni 2016, pp. 73 - 88

ketika itu pesantren telah banyak mengalami ke- ijazah Madrasah Aliyah Kemeterian Agama bagi majuan. Namun ketika Jepang masuk ke

calon mahasiswa barunya, maka Darun Nadhah wilayah tersebut 21 Maret 1942, membuat

merubah sistem pendidikannya dengan menga- kegiatan Darul Mu‟allimin terhenti total.

dopsi kurikulum madrasah, dengan harapan Kurang lebih enam tahun kegiatan Madrasah

para alumninya bisa melanjutkan pendidikannya Darul Mu‟allimin terhenti, almarhum Abuya H.

ke jenjang yang lebih tinggi. M. Nur Mahyuddin, salah seorang murid almar-

Konsekuensi logis dari masuknya sistem hum Syekh Abdul Malik mengambil prakarsa

madrasah pada pesantren Darun Nahdhah ber- untuk menghidupkan kembali Madrasah.

pengaruh pada pergeseran penggunaan sumber Setelah melalui musyawarah, akhirnya pada

belajar. Pada sumber belajar yang digunakan tanggal 11 Januari 1948 disepakati untuk

oleh para santri tidak lagi terbatas pada kitab- menghidupkan kembali pondok tersebut

kitab Islam klasik (kitab kuning). Buku-buku Is- dengan nama Daarun Nahdhah Thawalib

lam kontemporer yang diterbitkan dalam ba- Bangkinang (PPDN-TB). Pendirian tersebut

hasa Indonesia juga telah memasuki pesantren ditandai dengan penerimaan santri baru untuk

Daarun Nahdhah. Hal ini berarti para santri Ibtidaiyah. Barulah pada tanggal 18 Agustus

memiliki sumber belajar lain sebagai komple- 1948 pesantren tersebut membuka jenjang

men dari kitab kuning. Hal demikian telah me- pendidikan Tsanawiyah dan Aliyah.

ngurangi intensitas kajian dan perhatian santri Adapun kegiatan pendidikan formal yang

ter-hadap kitab kuning. Walaupun de-mikian, dilasanakan pesantren Darun Nahdhah saat ini

secara formal pesantren ini tidak mengabaikan meliputi jenjang Tsanawiyah dengan 1048 santri

kajian kitab kuningtapi masih menjadikan dan Aliyah dengan 446 santri, yang saat ini para

sebagai referensi pokok atau kurikulum inti santri terdiri dari laki-laki dan perempuan.

(core curriculum) dalam sistem pendidikannya. Tenaga pengajar/guru berjumlah 91 orang, 15%

Dengan demikian, Darun Nahdhah dapat di- berpendidikan S2, 75% berpendidikan S1 dari

katakan menerapkan kurikulum terpadu dalam berbagai disiplin ilmu, selebihnya para pegawai

sistem pendidikannya; kurikulum madrasah di tamatan S1 dan SLTA.

bawah naungan Kementerian Agama dan kuri- Sejak masa berdirinya sampai saat ini Darun

kulum pesantren (baca: kitab kuning). Untuk ti- Nahdha telah melakukan perubahan mendasar

dak menggeser kedudukan kitab kuning dalam pada sistem pendidikannya; (1) Sejak tahun

kurikulum pesantren maka kurikulum madrasah 1970 pesantren ini telah memasukkan sistem

pada matapelajaran Fiqh, Akidah Akhlak, Qur- madra-sah (di bawah naungan Kementerian

an Hadis, Sejarah Kebudayaan Islam, dan Agama) ke dalam sistem pendidikan

bahasa Arab materi-materinya diambil dari pendidikannya, baik untuk tingkat Tsanawiyah

kitab-kitab kuning.

Dokumen yang terkait

ISLAMISASI DI RIAU (Kajian Sejarah dan Budaya Tentang Masuk dan Berkembangnya Islam di Kuntu Kampar) Ellya Roza dan Yasnel Dosen Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN Suska Riau Abstract - ISLAMISASI DI RIAU (Kajian Sejarah dan Budaya Tentang Masuk dan Berke

0 0 25

KAJIAN TINGKAT KONTINUM KAPITAL SOSIAL FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN DALAM MENGWUJUDKAN VISI, MISI DAN TUJUAN UIN SULTAN SYARIF KASIM RIAU Ansharullah Program Studi Pendidikan Ekonomi, Fakultas Tarbiyah dan Keguruan, Universitas Islam Sultan Syarif Kasim

0 0 19

MERAWAT JIWA MENJAGA TRADISI : Dzikir Dan Amal Thariqah Qadiriyah Naqsabandiyah Dalam Rehabilitasi Korban NAPZA Sebagai Terapis Ala Islam Nusantara

1 1 11

PENERAPAN METODE TALKING STICK UNTUK MENINGKATKAN KREATIVITAS BERPIKIR SISWA DALAM PENDIDIKAN AGAMA ISLAM SISWA KELAS V SDN 125 PEKANBARU

0 1 6

TRADISI ULAMA TRANSFORMATIF MINANGKABAU DALAM MEMBANGUN PENDIDIKAN KARAKTERISTIK BERBASIS RESPONSIF TEOLOGIS DAN KONTRIBUSINYA TERHADAP PENGUATAN MORALITAS Silfia Hanani Email: silfia_hananiyahoo.com ABSTRACT - TRADISI ULAMA TRANSFORMATIF MINANGKABAU DALA

0 1 12

KESALEHAN SOSIAL DALAM TASAWUF PRESPEKTIF ALQURAN

0 1 14

PERAN ORANG TUA DALAM MEMBINA KARAKTER ANAK SHALEH SEBAGAI UPAYA MEWUJUDKAN MASYARAKAT MADANI MENUJU VISI RIAU 2020

0 1 10

STAFFING DALAM ALQURAN DAN HADIS DITINJAU DARI MANAJEMEN PENDIDIKAN Tuti Andriani Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN Suska Riau e-mail: tiadelwys_sweetyahoo.com Abstract - STAFFING DALAM ALQURAN DAN HADIS DITINJAU DARI MANAJEMEN PENDIDIKAN

0 0 16

NYANYIAN BAGANDU MASYARAKAT SIAK HULU KABUPATEN KAMPAR DAN IMPLIKASINYA PADA MATA PELAJARAN IPS SD

0 0 14

MANAJEMEN LEMBAGA PENDIDIKAN ISLAM BERBASIS MASYARAKAT DAN SEKOLAH

0 0 12