AKAL DAN WAHYU; Antara Perdebatan dan Pembelaan dalam Sejarah
AKAL DAN WAHYU;
Antara Perdebatan dan Pembelaan dalam Sejarah
Masbukin dan Alimuddin Hassan
Fakultas Tarbiyah UIN Sultan Syarif Kasim Riau Institute for Southeast Asian Islamic Studies (ISAIS)
bukin_99@yahoo.co.id bidara_palawa@yahoo.co.id
Abstact
Tulisan ini mendiskusikan tentang peran akal dan wahyu dalam sejarah Islam. Perdebatan ini kemudian melahirkan sikap-sikap intoleransi dalam Islam. Masing-masing bersiteguh akan kebenaran yang dimiliki. Agaknya pada dua abad pertama Islam banyak beredar hadits-hadits yang menjunjung tinggi akal. Tetapi karena hadits-hadits itu lebih mendukung “kaum liberal”, maka dalam perkembangan lebih lanjut dikenakan prasangka sebagai lemah dan tidak sah, sehingga juga tidak banyak dimuat dalam kitab-kitab hadit hasil pembukuan masa-masa sesudahnya
Kata kunci : Akal, Wahyu dan sumber hukum Islam
Pendahuluan
perbuatan yang baik dan buruk. Term akal sudah melebur dalam bahasa
Dalam doktrin agama ada dua sumber Indonesia dengan arti yang sudah
untuk mendapatkan pengetahuan dan umum diterima, yaitu pikiran. Artinya,
petunjuk kebenaran: al-ulum al-naqliyah (ilmu- pikiran identik dengan akal.
ilmu naqli) berdasarkan wahyu; dan al-ulum aqliyah (ilmu-ilmu rasional) berdasarkan akal.
Wahyu berasal dari bahasa Arab, Akal berasal dari bahasa Arab, dari kata:
al-wahy dan kata al-wahy, menurut „aqala, ya‟qilu, „aqlan. Secara etimologis
Harun Nasution, adalah kata Arab asli bermakna mengikat atau menahan, mengerti,
dan bukan merupakan kata pinjaman dan membedakan. Berangkat dari pengertian
dari bahasa asing. Wahyu berarti suara, ini, maka akal merupakan daya yang terdapat
api dan kecepatan. Sementara itu dalam diri manusia untuk dapat menahan
mengandung pengertian atau mengikat manusia dari perbuatan jahat
wahyu
pemberian secara sembunyi-sembunyi dan buruk. Demikian juga akal adalah salah
dan cepat. Tetapi kemudian wahyu satu unsur yang membedakan manusia
lebih dikenal sebagai penyampaian dengan makhluk yang lain, lantaran akal
firman Allah kepada orang pilihan- dapat membedakan dan mengerti antara
Nya agar disampaikan kepada manusia Nya agar disampaikan kepada manusia
kebenaran yang sama. wahyu Allah yang disampaikan kepada Nabi
Akal dalam Timbangan al- Qur’an
Muhammad SAW terkumpul semuanya
dan Hadis
dalam al- Qur‟an (Harun Nasution, 1986a: 5).
pada dasarnya Dan pada galibnya, dipahami bahwa
Al- Qur‟an
apresiasi dan wahyu dan akal masing-masing dipandang
memberikan
penghargaan terhadap penggunaan sebagai objek dan subjek. Satu ilustrasi yang
akal yang dimiliki oleh manusia. menarik yang diberikan oleh Fathurraman
Sehigga rasionalitas menjadi ukuran Jamil (1995: 20) prihal akal dan wahyu. Di
dan pembeda hakiki antara manusia mana wahyu sebagai sumber hukum
dengan makhluk hidup yang lain diandaikan sebagai “negatif film” yang akan
(Nurcholish Madjid, 1997: 162). menjadi dasar bagi terwujudnya sebuah foto.
Akallah yang memberikan kemampuan Sementara akal diibaratkan sebagai ”tukang kepada Adam (manusia), misalnya, cuci cetak foto” yang ikut serta menentukan untuk mengenal dunia sekelilingnya. hasil cetakan, apakah baik atau buruk
Atas dasar kemampuan itulah manusia hasilnya. Ditambahkan, tanpa negatif film
dipilih oleh Tuhan sebagai khalifahnya tukang cuci cetak tidak dapat mencetak foto
di bumi; dan bukan malaikat meskipun yang dimaksud. Namun, perlu juga diingat
senatiasa bertasbih memuji Allah dan bahwa tanpa tukang cuci, maka negatif foto
mengkuduskannya (Q.S. al-Baqarah selamanya akan tetap menjadi negatif foto,
[2]: 30-34). Dengan begitu, al- Qur‟an gelap dan sulit untuk diketahui apa
mengakui keunggulan manusia dan sesungguhnya yang ada di dalamnya.
memberikan kebebasan untuk Karenanya, kalau intrepretasi wahyu
menguasai dan mengatur alam (Ali, atas wahyu lebih dominan akan bersifat
t.th: 403). Tetapi meskipun begitu, di objektif; sebaliknya kalau intrepretasi akal
balik kebebasan manusia tersebut atas wahyu lebih dominan akan bersifat
harus diiringi dengan tanggung jawab, subjektif. Sehingga pada gilirannya, sumber
baik sosiologis maupun teologis. pengetahuan dan petunjuk kebenaran yang
Dalam pada itu, Nabi Muham- didasarkan atas wahyu bersifat absolut dan
mad sendiri dalam memaknai firman mutlak; sebaliknya yang didasarkan atas akal
Allah tersebut juga memberikan bersifat relatif dan nisbi kebenarannya
kebebasan kehendak dan keharusan (Harun Nasution, 1986a: 1). Mengingat
penggunaan akal sebagai-mana yang kedua sumber kebenaran tersebut sama-
termaktub dalam sabda-sabdanya. 1 sama berasal dan/atau “diciptakan” (?)
Tuhan sehingga adalah absurd dan tidak
1 Di sini kami sebutkan beberapa hadits
intellegible kalau ternyata terdapat kontradiksi
yang jarang terdengar di kalangan orang Sunni, tetapi akrab di telinga orang Syi‟ah, di
di dalamnya (Nurcholish Madjid, 1997: 67-
antaranya:
68), sehingga idealnya merupakan suatu
Allah tidak akan menerima shalat seorang
keniscayaan kalau hasil pencapaian antara
hamba, juga tidak pada puasanya, hajinya, umrahnya, sedekahnya, jihadnya, dan apapun
Sabda-sabda Nabi itu sangat berbekas di 3 dan Hasan Basri serta Washil bin kalangan para sahabat, sehingga kebebasan
Atha‟, pendiri aliran rsionalisme secara dan rasionalitas mula-mula tumbuh di 4 formal, Mu‟tazilah.
Madinah. Gagasan
kebebasan
dan
Berkenaan dengan ini, banyak rasionalitas ini mendapat bentuk yang lebih
indikasi yang menunjukkan bahwa tepat lewat kata-kata Ali bin Abi Thalib.
Islam pada masa klasik telah terlibat Kemudian, dari sini gagasan ini menyebar ke
dalam perdebatan yang cukup luas dan Basrah dan Kufah dan pada akhirnya sampai
ramai, dalam suasana kehidupan di Baghdad lewat sarjana-sarjana Islam
liberal dan rasional, sepe 2 rti Ja‟far al-Shadik,
ia
menguasai
beberapa bahasa asing.
Karenanya, ia acap kali berhubungan dengan
jenis kebaikan yang diucapkannya, jika ia tidak sarjana dan budayawan dari kalangan agama menggunakan akalnya. Telah sampai kepada kami
Kristen, Yahudi, dan Zoroaster; dan dengan bahwa ketika menciptakan akal, Allah memerintahkan
mereka ia sering melakukan dialog-dialog dan kepadanya (akal), “Duduklah”, dan ia pun duduk.
bertukar pikiran. Ja‟far al-Shadik merupakan Lalu perintah- Nya lagi, “Majulah”, maka ia pun maju;
bapak rasionalisme dalam Islam di mana Abu lalu perintah- Nya lagi, “Lihatlah”, dan ia pun melihat;
Hanifah dan Imam Malik pernah berguru. lalu perintah- Nya lagi, “Bicaralah”, dan ia pun bicara,
Sehingga dari kedua muridnya ini sangat lalu perintah- Nya lagi, “Perhatikan” dan ia pun
pengaruh dan unsur memperhatikan,
terlihat
sekali
rasionalitasnya dalam membangun sistem “Dengarkanlah”, dan ia pun mendengarkan, lalu
hukum yang mereka bangun, terutama sekali perintah- Nya lagi, “Mengertilah”, dan ia pun
tampak pada diri Abu Hanifah (Ali, t.th: 411). mengerti. Kemudian Allah berfirman kepadanya,
3 Ia adalah seorang kelahiran Madinah “Demi kemuliaan-Ku, keagungan-Ku, kebesaran-Ku,
dan sungguh-sungguh pernah duduk bersama kekuatan-Ku dan kekuatan-Ku atas makhluk-Ku, Aku
dengan keluarga dan keturunan nabi dan tidaklah menciptakan makhluk yang lebih mulia bagi-
menghirup pemikiran liberal dan rasional Ku dan lebih Aku cinta daripada engkau, juga lebih
darinya. Dan ketika tinggal di Basrah, ia tinggi kedudukannya daripada engkau. Sebab dengan
halaqah-halaqah yang segera engkaulah Aku disembah, dengan engkaulah Aku
membuka
dikerumuni oleh peserta didik, termasuk dari dipuja-puji, dengan engkaulah Aku memberi, dengan
Irak. Ia seorang guru besar yang menentang engkaulah Aku menyiksa dan bagi engkaulah pahala.
sikap Jabariyah. Dan di antara muridnya yang Seorang Bani Qusyayr datang kepada Nabi SAW
terkenal adalah Abu Huzaifah Washil bin dan berkata: “Kami dahulu di zaman jahiliah
Atha‟, yang belakangan menjadi pencetus menyembah berhala dan kami dahulu berpendapat
lahirnya aliran teologi Mu‟tazilah (Ali, t.th: bahwa berhala itu dapat memberi mudarat dan
manfaat”. Maka Rasulullah bersabda, “Telah 4 Melalui aliran te ologi Mu‟tazilah beruntunglah kamu orang yang baginya Allah telah
rasionalisme dalam Islam menyebar ke seluruh menganugerahi akal”.
masyarakat terpelajar yang ada pada masa Akal („aql) adalah belenggu („iql) untuk melawan
pemerintahan dinasti Abbasyiah sehingga lahir kebodohan. Jiwa adalah seperti hewan yang paling
beberapa orang filosuf Muslim, misalnya buruk. Jika ia tidak mempunyai akal, ia berkeliaran
seperti al-Kindi, al-Farabi, dan Ibn Sina. dalam kebingungan, sebab akal adalah belenggu untuk
Bahkan resonansi rasionalisme bergaung di melawan kebodohan....lalu dari akal tumbuhlah
beberapa perguruan tinggi yang ada di cabang pertimbangan (hilm), yaitu pertimbangan
Andalusia, dan pada gilirannya melahirkan pengetahuan, dari pengetahuan tumbuh petunjuk
sederet pemikir dan filosuf muslim, misalnya yang benar, timbul pantangan, dari pantangan timbul
seperti Ibn Bajjah, Ibn Tufail dan pada pengendalian diri, dari pengendalian diri timbul rasa
puncaknya pada diri Ibn Rushd. Pada era ini malu dan dari rasa malu ada ketakutan, dari ketakutan
perkembangan ilmu pengetahuan dan filsafat muncul amal baik (Lihat, Nurcholish Madjid, 1997:
tumbuh dangan pesat dan dahsyatnya ditandai 50-51; Murata, 1996: 315).
dengan lahirnya sejumlah ahli dalam berbagai 2 Ia merupakan kepala keturunan nabi
lapangan dan disiplin ilmu pengetahuan, Muhammad. Ja‟far al-Shadik adalah seorang yang
seperti dalam bidang kedokteran, fisika, sangat rasionalis dan liberal. Ia seorang yang sangat
matematika, astronomi, sejarah dan dalam terpelajar, seorang penyair, filosuf dan rupa-rupanya
bidang lainnya (Harun Nasution, 1975).
intelektual yang lebih bebas dan terbuka Nasution (1986a: 76), masalah daripada
relevansi dan univikasi antara wahyu Sehubungan dengan ini Nurcholish Madjid
masa-masa
sesudahnya.
dan akal telah menjadi bahan polemik (1997: 49-50), mengatakan:
yang akut dan perdebatan yang berkepanjangan di kalangan ulama-
Agaknya pada dua abad pertama Islam banyak beredar hadits-hadits yang
(sarjana-sarjana Muslim) menjunjung tinggi akal. Tetapi karena
ulama
terutama di kalangan para teolog hadits-hadits itu lebih mendukung
Muslim. Di kalangan mereka ada yang “kaum
memberikan peran dan kedudukan perkembangan lebih lanjut dikenakan atas otoritas wahyu yang lebih
prasangka sebagai lemah dan tidak sah, sehingga juga tidak banyak dimuat
dominan dan besar, misalnya mereka dalam
dari kubu Mu‟tazilah. Sebaliknya, ada pembukuan masa-masa sesudahnya.
pula yang memberikan peran dan Sebagai contoh, adalah seorang pemikir
kedudukan atas otoritas wahyu yang Islam, al-Harits ibn Asad al-Muhasibi, justru lebih dominan dan tinggi,
yang wafat pada 243 H (tujuh puluh tahun sebelum wafat al-Bukhari). Dia
misalnya kubu ini diwakili oleh adalah salah seorang tokoh “rasionalis”
Asy‟ariyah.
yang sangat dini dalam Islam, yang Di kalangan teolog Muslim
sistematis. Dia juga seorang agamawan diskusi tentang akal dan wahyu yang saleh dengan kecenderungan
menempati posisi sentral dalam kesufian yang kuat”.
wacana pemikiran dan intelektual Dalam
meraka. Ini mudah untuk dipahami Nurcholish Madjid (1997: 50), al-Muhasibi
karya-karyanya,
menurut
karena ilmu kalam sebagai ilmu yang menuturkan hadits-hadits yang sangat
membahas soal-soal ketuhanan dan mengesankan, sebagaimana hadits yang kami
soal hubungan timbal balik antara kutip di awal tulisan ini. Al-Muhasibi
manusia dengan Tuhan sudah barang menolak pandangan sebagian ulama yang
tentu memerlukan akal dan wahyu menyatakan bahwa hadits-hadits tentang akal
sebagai sumbernya. Akal dianu- itu palsu (maudhu'), bikin-bikinan atau dhaif.
gerahkan Tuhan secara potensial Baginya, hadits-hadits itu adalah absah,
berupaya sedemikian rupa untuk karena maknanya sejalan dengan berbagai
membangun proposisi-proposisi yang gambaran dan ajaran al- Qur‟an. Dan hadits-
logis sehingga dapat membawa sampai hadits itu cukup menggambarkan suasana
kepada pengetahuan tentang hal-hal yang memberikan dorongan kepada kaum
yang berkaitan dengan soal ketuhanan. muslim klasik untuk menjunjung tinggi akal
Sedangkan wahyu yang diturunkan dan memikirkan rasional. Tuhan kepada manusia membawa
pengkhabaran yang berisi penjelasan-
Akal dan Wahyu:
Timbangan
Mutakallimin
penjelasan yang perlu mengenai hal- hal yang menyangkut Tuhan sendiri,
Sepanjang sejarah tradisi pemikiran
mengenai hal-hal yang dan intelektual Islam, menurut Harun
dan dan
2. Kalau ya, apakah akal dapat kewajiban-kewajibannya terhadap Tuhan
mengetahui kewajiban berterima (Harun Nasution, 1990: 54-55).
kasih pada Tuhan?; Dalam meresponi persoalan-persoalan
3. Apakah akal dapat mengetahui yang teologis tersebut di antara teolog Muslim
baik dan yang buruk?; mempunyai pendirian yang berbeda-beda.
4. Kalau ya, apakah akal dapat Dan ternyata perbedaan corak pandangan
mengetahui bahwa manusia wajib teologis meraka banyak ditentukan oleh
berbuat baik dan menjahui berbuat bagaimana pandangan dan apresiasi mereka
jahat?
terhadap kedudukan dan peran akal dan wahyu. Barangkat dari pandangan mereka
Karena Mu‟tazilah menempat- tentang kedudukan dan peran akal dan
kan akal pada kedudukan dan peran wahyu secara general mereka dapat dipilah
yang tinggi, kalau dirujuk kepada menja di dua kelompok: Mu‟tazilah dan
empat persoalan teologis di atas, tidak Asy‟ariyah. Bagi Mu‟tazilah, karena otoritas
aneh kalau Mu‟tazilah memandang akal lebih dominan dan diutamakan, maka
keempat persoalan tersebut dapat mereka berpihak kepada kebebasan
oleh akal. Baginya, kehendak manusia untuk melakukan
diketahui
mengetahui hakekat ketuhanan dapat perbuatannya; dan Tuhan tidak mempunyai
diketahui lewat pembuktian argumen kebebasan dan kehendak yang mutlak
kosmologis, sedangkan hakekat baik terhadap manusia. Sebaliknya, Asy‟ariyah
dan buruk tidak ditentukan oleh karena otoritas wahyu yang lebih dominan
Tuhan, tetapi oleh essensi baik-buruk dan diutamakan, maka mereka mempunyai
itu sendiri. Menurut Mu‟tazilah adalah pandangan bahwa manusia tidak memiliki
absurd bahwa dusta, misalnya, itu kebebasan
buruk karena Tuhan telah menentukan perbuatannya, dan Tuhan adalah milik
itu buruk dan hal itu akan menjadi kebebasan dan kehendak yang mutlak
baik jika Tuhan menghendaki dan tersebut (Harun Nasution, 1986b: 80-118).
mengatakan baik. Ini mustahil karena dusta essensinya memang buruk yang
Sementara itu, menurut Harun melekat pada dirinya. Dengan
Nasution, bahwa persoalan kemampuan demikian, maka peluang akal manusia
akal dalam mengetahui Tuhan dan untuk mengetahui sangat besar.
mengetahui kebaikan-kejahatan, kemudian Artinya, baik dan buruk pada akhirnya
masing-masing terbagi menjadi: mengetahui dapat diketahui oleh akal bagi
kewajiban berterima kasih kepada Tuhan Mu‟tazilah, dua pokok pertama dapat dan mengetahui kewajiban barbuat baik dan
diketahui lewat akal. Sedangkan dua kewajiban meninggalkan perbuatan jahat.
kewajiban berikutnya juga dapat Sehingga lebih lanjut, menurut Harun
diketahui oleh akal manusia dengan Nasution, terumuskan sebagai berikut:
mengerahkan
pemikiran yang
1. Apakah akal dapat mengetahui (adanya) sungguh-sungguh dan radikal. Tuhan?;
Sebaliknya, bagi Asy‟ariyah karena zakat; kapan mesti menjalankan puasa; wahyu mempunyai kedudukan dan peran
dan di mana seharusnya kita yang dominan dan besar, maka kalau dirujuk
menunaikan ibadah haji. keempat persoalan teologis di atas, kedua
Kedua, Akal benar dapat kewajiban
– mengetahui
kewajiban
mengetahui baik dan jahat, tetapi tidak (berterima kasih) kepada Tuhan dan
serta kewajiban kewajiban berbuat baik dan meninggalan
seluruhnya;
mengerjakan kebaikan dan kewajiban perbuatan jahat – hanya dapat diketahui meninggalkan kejahatan, hanya garis lewat wahyu. Sementara itu, dalam
besarnya. Umpamanya, akal dapat mengetahui eksistensi Tuhan, di kalangan
sebagian kejahatan, Asy‟ariah menyebutkan bahwa Tuhan dapat
mengetahui
ketidakadilan. Tetapi diketahui lewat dalil dan argumen penciptaan
misalnya
kejahatan, seperti zina tidak dapat alam oleh Tuhan (argumen kosmologis). Ini
diketahui oleh akal. Dan di antara artinya bahwa mengetahui eksistensi Tuhan
perbuatan baik yang tidak dapat dapat diketahui lewat akal. Sedangkan
diketahui oleh akal, misalnya adalah tentang soal baik dan buruk, karena essensi
hewan untuk baik dan buruk ditentukan oleh Allah maka
penyembelihan
keperluan tertentu. Ketiga, akal tidak dengan sendirinya juga hanya dapat
tahu kadar balasan pahala dari suatu diketahui lewat wahyu (Harun Nasution,
perbuatan kebaikan dangan perbuatan 1986b: 80-118).
kebaikan yang lainnya; (juga) akal tidak Meskipun Mu‟tazilah memberikan
mengetahui kadar suatu hukuman apresiasi terhadap otoritas akal yang sangat
perbuatan jahat dibandingkan dengan dominan dan besar, namun perlu ditegaskan
perbuatan jahat lainnya. Masalah ini bahwa mereka tidak pernah mengklaim
hanya dapat diketahui lewat wahyu. bahwa akal merupakan satu-satunya sumber
Untuk itu, wahyu memberikan pengetahuan dan kebenaran. Misalnya, ketika
penjelasan rinci mengenai upah dan Mu‟tazilah menyatakan bahwa Tuhan wajib
hukuman yang akan diterima manusia mengirim rasul bagi manusia adalah bukti
di akhirat kelak. Keempat, wahyu bahwa Mu‟tazilah memberikan tempat yang
menurut al-Khayyar, terhormat dan mulia bagi wahyu. Lebih
berfungsi,
sebagaimana yang dikutip oleh Harun lanjut, misalnya Mu‟tazilah mengungkapkan
Nasution (1986b: 80-118; Muhammad keterbatasan akal yang harus dicover oleh
Nazir, 1992: 92), lewat pengiriman kelebihan wahyu. Pertama, akal betul dapat
rasul-rasul adalah untuk menguji mengetahui kewajiban berterima kasih
manusia: siapa yang patuh dan siapa kepada Tuhan, tetapi wahyulah yang
yang ingkar kepada Tuhan. Karenanya, menerangkan kepada manusia cara yang
Tuhan menyediakan dua tempat di tepat untuk berterima kasih dan menyembah
akhirat: surga dan neraka; dan manusia kepada Tuhan. Wahyu yang memberikan
diberi kebebasan untuk memilih salah penjelasan rinci, misalnya berapa kali shalat
satu di antara keduanya. Kelima, fungsi sehari-semalam; bagaimana aturan-aturan
lain dari wahyu adalah mengingatkan lain dari wahyu adalah mengingatkan
disamakan dengan akal kesepuluh. mengetahui Tuhan. Betul akal dapat
Bahkan lebih lanjut disebut-sebut mengetahui kewajiban terhadap Tuhan,
bahwa akal kesepuluh identik atau tetapi manusia kerap kali lalai, maka wahyu
setidak-tidaknya dapat berhubungan datang untuk mengingatkan manusia. Benar
dangan malaikat Jibril. Kalau begini akal dapat mengenal Tuhan, namun lewat
halnya, karena kebenaran yang jalan yang berliku-liku, dan wahyu datang
diperoleh Nabi dengan wahyu lewat untuk memperpendek dan mempermudah
malaikat Jibril, dan kebenaran yang jalan tersebut.
diterima oleh filosuf dengan akal yang mampu berhubungan dan malaikat
Dari paparan ini, dapat ditarik Jibril, maka tidak ada pertentangan
kesimpulan bahwa fungsi wahyu bagi Mu‟tazilah mempunayi fungsi konfirmasi antara akal dan wahyu dalam Islam
(Netton, 1992: 49). Begitu juga dengan dan informasi; memperkuat apa yang telah
Ibn Tufail, lewat karyanya yang sangat diketahui oleh akal dan menjelaskan apa
ilustratif, Hayy bin Yaqzan, suatu karya yang belum /tidak diketahui oleh akal. Di
novel ellagoris yang menganalogikan antara kedua fungsi tersebut, diperoleh kesan
bahwa wahyu di kalangan Mu‟tazilah lebih akal dengan Hayy bin Yaqzan dan wahyu dengan analogi seorang ulama
banyak berfungsi sebagai konfirmasi yang bernama Asal yang masing-
ketimbang sebagai informasi. masing hidup di pulau terpencil. 5
Akal dan Wahyu: Timbangan Para Filosuf
Selanjutnya, Ibn Rushd juga mengarang suatu risalah untuk
Di kalangan para filosuf Muslim menyelaraskan antara akal wahyu
persoalan univikasi akal dan wahyu telah (filsafat dan syari‟ah) (Ibn Rushd, mendapat perhatian yang pertama dan 1972: 31; Nurcholish Madjid, 1984:
utama. Univikasi antara akal dan wahyu telah 215). Bahkan, sesungguhnya polemik
menyita perhatian mereka yang paling awal kalam yang ortodoks (orientasi wahyu
untuk diselesaikan dengan segera sebelum lahiriah) dan filsafat liberal (orientasi
memasuki persoalan-persoalan filosofis akal ellagoris) yang diwakili oleh
lainnya (Madhkur, 1993: 8). Beberapa nama polemik posthumous antara al-Ghazali
filosuf yang berusaha untuk mencari (Tahafut al-Falasifah) dan Ibn Rushd
relevansi dan mengupayakan univikasi antara (Tahaut al-Tahafut) dapat dikatakan
akal dan wahyu sebagai representasi dari masih dalam koridor akal dan wahyu
filsafat dan agama secara umum adalah (Nurcholis Madjid, 1992: 280; Bello,
filosuf al-Kindi (Atiyeh, 1983: 17).
Kemudian upaya al-Kindi ini diteruskan dan
5 Menurut Sulaiman Dunia, pulau-pulau
disempurnakan oleh al-Farabi. Lewat teori
yang dimaksud kemungkinan pulau-pulau di
emanasinya, ia mengidentifikasi akal aktif Nusantara [Indonesia]. Lihat, misalnya, Harun
Nasution (1986a: 55); Abdul Halim Mahmud
(Active Intellect - al- „Aql al-Fa‟al) sebagai akal
(1982: 50 dan 73); Majid Fahry (1970: 295;
yang M.M. Syarif (1994: 47); Ahmad Fuad al- tertinggi dalam hirarki teori
Ahwani (1995: 104).
1989: 69). Suatu pengecualian, seorang kesempurnaan adalah akal,” Untuk itu, filosuf Muslim, al-Razi tidak mempercayai
akal adalah analog mikrosmik Nabi wahyu dan kenabian. Menurut filosuf ini,
(Murata, 1996: 316). akal sudah cukup memadai untuk
Mengingat, baik wahyu maupun mengetahui dan membedakan baik dan
akal sama-sama bersumber dari Allah, buruk. Baginya karya-karya ilmiah lebih
seperti yang disampaikan kepada Nabi berguna dan bernilai tinggi dibandingkan
Muhammad ataupun yang tercermin dengan Kitab Suci. Gagasan seperti ini
pada diri Nabi Muhammad, maka al- sangat berani karena mencederai ajaran
Qur‟an dan as-Sunnah (lalu menjadi pokok agama. Al-Razi memang seorang
sama-sama memberikan filosuf yang sangat rasional dan liberal. Tiada
Hadits)
apresiasi yang sangat tinggi kepada pemikir Muslim sepanjang sejarah tradisi
akal. Adalah dapat dipahami kalau pemikiran dan intelektual Islam yang
kemudian akal diakui sebagai sumber serasional dan seliberal dia. Tetapi
hukum Islam yang ketiga setelah al- persoalannya, apakah ini benar-benar
as-Sunnah, yang merupakan pendapat murni darinya; jangan-
Qur‟an
dan
diistilahkan 6 dengan Ijtihad. jangan itu tidak lebih adalah tuduhan lawan
polemiknya (Harun Nasution, 1992: 23;
6 Melihat wahyu dan akal sama-sama dari
Syarif, 1994: 47).
Allah, maka dapat dikatakan, menurut Harun Nasution (1995: 56), sebenarnya sumber
Unifikasi antara wahyu dan akal, yang
hukum hanya dua nash dan ijtihad, dengan
konon tidak bertentangan, kalau mau peran ganda Nabi, penerima wahyu, pemilik
akal.. Meskipun begitu, sampai saat ini masih
dipersonifikasikan –terlepas dari apakah
diperdebatkan apakah ijtihad tersebut sebagai
Nabi Muhammad itu syar‟i atau bukan –
sumber hukum Islam atau hanya sekedar metode dalam penetapan hukum. Bagi yang
dalam bentuk manusia, maka Nabi
berpendapat bahwa ijtihad merupakan sumber
Muhammad adalah wujud paripurnanya.
hukum Islam ketiga karena dengan ijtihadlah sehingga ajaran Islam selalu sesuai dan relevan
Sehingga, para sahabat Nabi (untuk tidak
serta mampu menghadapi dan sekaligus
mengatakan pengikutnya) meyakini dan
menjawab tantangan zaman. Karenanya, kalau tidak termaktub baik dalam al- Qur‟an maupun
mengetahui bahwa kebijaksanaan apapun
dalam Hadits, maka ijtihad harus dijadikan
yang diberikan oleh Nabi Muhammad adalah
sumber. Dalam berhujjah, bagi kelompok ini
berdasarkan suatu hidayah dari Allah, tidak menggunakan hadits Mu'az ibn Jabal yang
sangat masyhur tersebut. Sebaliknya, bagi yang
saja atas dasar wahyu, tetapi juga nampak
berpendapat bahwa ijtihad bukan merupakan
sebagai kebijaksanaan Nabi Muhammad
sumber hukum tetapi hanya merupakan metode. Dengan juga menggunakan hadits
sendiri (Nurcholish Madjid, 1997: 67-68).
yang sama, kelompok ini berpendirian bahwa hadits tersebut mengisyaratkan dengan jelas
Bahkan menurut seorang filosuf,
bahwa sumber hukum Islam hanya al- Qur‟an
Mulla Muhsin Faydh Kasyani, dan ini relatif
dan Hadits. Kalau sekiranya tidak terdapat dalam keduanya, barulah ijtihad dipergunakan
berani, mengatakan, “Akal adalah hukum
dengan ketentuan tetap merujuk kepada al-
(syariah) yang diwahyukan dalam diri manusia;
Qur‟an dan hadits. Dalam mencermati kedua
begitu juga hukum (syariah) yang diwahyukan itu pola pikir yang berbeda ini, Fathurrahman
Djamil (1995: 21-22 dan 26) memberikan
adalah akal di luar manusia. Pendeknya, sumber
kesimpulan dengan berpihak kepada pendapat
yang disebut belakangan, “Agaknya, ijtihad tidak dapat dikatakan sebagai sumber hukum
dari semua sifat baik dan asal-usul dari semua
Karenanya, tulisan ini berupaya untuk Kufah dan Irak; dan aliran kedua mengungkapkan (i) jejak-jejak rasionalitas
berkembang di Madinah. Masing- Islam yang awalnya begitu jelas tampak,
masing kedua aliran ini dipelopori oleh namun belakangan terlihat semakin redup;
Imam Abu Hanifah dan Imam Malik (ii) wujud aktivitas akal yang perlu ditopang
(Jalaluddin Rakhmat, dalam Budhy dengan semangat ijtihad di dalam memahami
Munawar Rahman, 1995: 372). nash al- Qur‟an dan Hadits.
Namun demikian, kedua aliran
Akal dan Wahyu dalam Timbangan
ini tetap menganggap al- Qur‟an dan
Sejarah
as-Sunnah sebagai sumber utama hukum Islam. 9 Perbedaan penggunaan
Dalam perkembangan sejarah Islam, akal baru muncul tatkala ijtihad
khususnya dalam bidang hukum terjadi dilakukan dalam keadaan tidak ada
pertentangan di kalangan para pendiri
mengatur secara jelas mazhab dalam hal porsi penggunaan akal
wahyu
permasalahan yang sedang dihadapi. dan wahyu dalam memahami dan
Atau hadits ahad yang kandungannya menjabarkan ajaran Islam di bidang hukum.
bertentangan dengan akal, apakah Aliran pertama , adalah mereka yang
hadits itu yang dipakai atau pendapat mengutamakan penggunaan akal; aliran ini
7 akal yang didahulukan. kemudian disebut ahl al- ra‟yi (rasional). Kedua , adalah mereka yang mengutamakan
Dalam sejarah perkembangan penggunaan hadits dalam memahami wahyu;
hukum Islam, penggunaan akan dan dan aliran ini disebut ahl al-Hadits
wahyu bagi mazhab-mazhab yang ada (ortodoks). 8 Aliran pertama berkembang di
dasar pemikiran mereka bahwa syari‟ itu
dalam Islam. Ia tidak lebih sekedar metode untuk hanyalah Allah dan Rasul-Nya. Tugas menyelesaikan persoalan-persoalan baru yang tidak
menurut mereka bukanlah terdapat secara eksplisit dalam al- Qur‟an atau Hadits.
Mujtahid
menciptakan hukum, tetapi menemukan Rujukan utamanya tetap kedua sumber utama
hukum yang telah dikemukakan oleh syari‟ tersebut. Jika ijtihad dinyatakan sebagai sumber
tersebut. Karena aliran ini banyak diserap oleh hukum, maka kedudukan hasil ijtihadnya sama
ulama kalam, seperti Asy‟ariyah, al-Ghazali, dengan wahyu Allah yang transendental dan
dan lain-lain, maka aliran ini dinamakan aliran mempunyai kebenaran mutlak”. Padahal, hasil ijtihad
kalam. Aliran ini oleh sebagian orang juga bersifat relatif dan nisbi. Sementara itu, suatu yang
dinamakan aliran tradisional. Aliran ini juga relatif dan nisbi tidak dapat dijadikan sebagai sumber
dinamai aliran ahlul hadits. hukum.
9 Abu Zahrah (1987: 248) mengungkapkan 7 Aliran rasional adalah ijtihad yang berpandangan
seorangpun sahabat bahwa hukum syari‟at itu merupakan suatu yang dapat
bahwa
tidak
meninggalkan wahyu demi akalnya atau ditelaah esensi-esensi yang mendasari ketentuan-
yang dipandangnya. ketentuan doktrinnya dengan mengacu kepada
kemaslahatan
Sesungguhnya kemaslahatan yang difatwakan kemaslahatan ummat. Dalam hal ini para mujtahid
para sahabat tidak bertentangan dengan rasional mengkaji illat untuk setiap norma hukum
wahyu, tetapi mengaplikasikan wahyu secara dengan melihat pada setiap sisi yang memungkinkan
baik, berdasarkan pemahaman yang benar untuk memperoleh illat sebanyak-banyaknya, sehingga
akan maksud-maksud s yara‟. mereka dapat leluasa melakukan kajian analogis
10 Bagi aliran kalam atau ortodoks, dengan memelihara kepentingan hidup manusia dan
jawabannya jelas, yaitu alternatif pertama, masyarakat secara keseluruhan.
hadits yang dipakai; sebaliknya demikian, 8 Aliran ortodoks adalah aliran ijtihad yang kajian
aliran rasional memilih jawaban alternatif hukumnya lebih banyak berorientasi pada ayat al-
terakhir, pendapat akal yang didahulukan Qur‟an dan as-Sunnah Nabi, sebagai implikasi dari
(Kafrawi Ridwan [ed], 1994: 99-100).
berbeda intensitasnya. Ali Yafi melukiskan lebih diprioritaskan dalam proses sebagai lingkaran-lingkaran:
pengambilan hukum daripada hadits. Mazhab ini dipelopori oleh
1. Lingkaran yang paling dalam merupakan Imam Hanafi (Jalaluddin Rakhmat,
kelompok yang
paling
sedikit
dalam Taufik Adnan Amal, 1989: menggunakan akalnya. Prinsip mereka
Dinamika rasionalitas dalam pengambilan hukum tidak
20-21).
mencapai puncaknya pada masa memperkenankan penggunaan akal.
Kaedah mereka pasca tabi‟in yang dipelopori oleh
la ra‟yu li al-din (akal tidak Imam Hanafi yang bergelar Abu
ada tempat dalam agama). Mazhab yang Hanifah. 11 Kalangan Abu Hanifah
menggunakan kaidah ini disebut sebagai (pengikut Imam Hanafi), yang
mazhab al-Zhahiri, karena diprakarsai dikenal banyak mempergunakan
oleh Daud al-Zhahiri yang dilanjutkan akal dalam berijtihad, memberikan
oleh Ibn Hazm. syarat-syarat yang cukup ketat
2. Merupakan
untuk dapat menerima sebuah mempergunakan akalnya agak lebih
mazhab
yang
hadits ahad. 12 Dan ketika hadits intens dari kelompak pertama. Mazhab ini
ahad tersebut bertentangan dengan disebut mazhab Hambali yang dipelopori
akal, maka hadits ahad tersebut oleh Imam Ahman Ibn Hambal. Doktrin
ditinggal. 13
mereka menyatakan bahwa hadits dha‟if harus diprioritaskan dari pada akal.
3. Merupakan
11 Nama sebenarnya adalah Nu‟man bin
mazhab
yang
Tsabit bin Zutha (80-150), sedangkan Abu
mempergunakan akalnya lebih intens dari
Hanifah, menurut al-Maraghi, diberikan oleh
lingkaran kedua. Kelompok ini disebut masyarakat karena kecenderungannya pada
kebenaran,
kerajinan beribadah serta
mazhab Maliki yang dipelopori oleh
keikhlasan dalam beramal. Karena intensitas
Imam Malik. Doktrinnya menyatakan
penggunaan akal yang begitu besar, sehingga ketika Raqabah Ibn Musqilah ditanya tentang
bahwa penggunaan
akal
harus
diri Abu Hanifah, dia berkomentar, “Abu
diperhatikan guna
pertimbangan
Hanifah adalah orang yang paling pintar tentang apa yang belum terjadi, tetapi paling
kemaslahatan. Kaedah mereka adalah al-
bodoh tentang apa yang telah terjadi.” Yang
Mashalihu al-Mursalah .
dimaksud dengan apa yang sudah terjadi adalah hadits-hadits Nabi; apa yang belum
4. Merupakan mazhab yang menggunakan
terjadi adalah ketetapan hukum berdasarkan
intensitas akalnya lebih besar dari yang akal (qiyas) (Jalaluddin Rakhmat, dalam Taufik
Adnan Amal, 1989: 20-21).
sebelumnya. Aliran ini disebut mazhab
12 Abu
Hanifah memang sedikit
Syafi‟i yang dipelopori oleh Imam Syafi‟i.
meriwayatkan hadits. Kata Ibnu Khaldun, hal ini
dikarenakan
Abu Hanifah sangat
Doktrin mereka
dalam
proses
memperketat syarat-syarat penerimaan hadits.
pengambilan hukum lebih banyak
Dan menurut Ahmad Amin, kurangnya hadits pada Abu Hanifah menunjukkan bahwa dia
mempergunakan qiyas.
tidak puas dengan penyampaian hadits saja, dia menguji dengan pertimbangan psikologis
5. Merupakan mazhab yang paling intens
dan konteks sosial (Jalaluddin Rakhmat, dalam
dalam penggunaan akal dan frekuensi
Taufik Adnan Amal, 1989: 20-21).
13 penggunaan akalnya lebih banyak. Akal Abu Hanifah pernah dilaporkan berkata,
“Seandainya Rasulullah berjumpa denganku, ia
Perkembangan penggunaan akal lebih tidak penyebab utamanya adalah kaum lanjut, menunjuk relatif keluar pada batas-
mu‟tazilah sendiri, yang di awal sejarah batas toleransi, tentu menurut ukuran aliran
pemikiran Islam tradisional, yang agaknya kembali mulai
perkembangan
disebut-sebut sebagai pelopor penggu- berani. Ini misalnya dapat dilihat dari
naan akal. Sebab dalam perkem- pendapat Abu Yusuf, salah seorang murid
bangannya lebih lanjut, ternyata Hanafiah mengatakan, “Suatu nash yang
Mu‟tazilah tidak luput dari lembaran dulu dasarnya adat, kemudian adat itu telah
hitam sejarah yang memalukan dunia berubah, maka gugur pula ketentuan hukum
pemikiran bebas. Menurut Nurcholish yang terdapat dalam nash tersebut. 14 Atau
Madjid, ketika kaum Mu‟tazillah pendapat Najam al-Din al-Thufi, ahli hukum
mendapat angin oleh rezim Abbasiyah terkenal bermazhab Hanafiah, mengatakan.
di Baghdad, karena ajaran mereka “bahwa apabila terjadi tabrakan antara
diangkat menjadi aturan resmi negara, kepentingan umum dengan nash dan ijma‟,
yaitu di masa kekhalifahan al-Makmun, maka wajib didahulukan atau dimenangkan
mereka melancarkan apa yang dikenal kepentingan umum (Munawir Sjadzali, 64). 15 dengan mihna.
Berangkat dari kenyataan di atas, Sayid Ketika Mutawakkil naik menjadi Amier Ali menyimpulkan, bahwa Islam yang
khalifah situasi politik berbalik secara dibawa oleh nabi Muhammad tidak
total. Ulama dari kalangan ahli hadis, sedikitpun mengandung suatu yang dapat
hukum, dan para qadi yang selama ini merintangi kemajuan dan menghambat
tidak mendapat tempat dan bahkan perkembangan intelektualitas manusia. Lalu
termasuk mendapat siksa akibat proses apa sebabnya, sejak abad kedua belas
mihnah , misalnya termasuk Imam Masehi, pemikiran rasional dan liberal
Ahmad bin Hambal, maka pada masa (filsafat) hampir-hampir lenyap dan akhirnya
khalifah Mutawakkil mendapat tempat paham jabariyah dan anti rasionalisme yang
strategis. Sehingga akibatnya, kaum berkembang di dunia Islam?
rasionalis dan liberal tersingkir dari pusat kekuasaan dan bahkan diusir
Sebagaimana telah disinggung, bahwa dari Baghdad. Tidak hanya itu,
hadits-hadits tentang akal itu banyak ditolak menurut Sayed Amier Ali, pengajaran
oleh sebagian ulama atau sekurang- kurangnya diragukan keabsahannya, paling
15 Mihnah adalah suatu gerakan untuk
memeriksa paham pribadi atau inquisition, yang
akan mengambil banyak pendapatku. Bukankah dengan itu orang-orang yang tidak sepaham agama itu ra‟yu yang baik?” Barangkali ini penegasan
dengan mereka dikejar-kejar dan disiksa, kalau tentang keharusan hadits tunduk atas analisis rasional
perlu dibunuh. Salah seorang korban mihnah, (Jalaluddin Rakhmat, dalam Taufik Adnan Amal,
ialah sarjana keagamaan besar, Ahmad Ibn 1989: 20-21).
Hambal, pendiri mazhab Hambali yang 14 Misalnya Nabi pernah menyatakan, bahwa
banyak dianut di Arabiah. Karena itu, untuk jual beli gandum itu dipergunakan ukuran
perlawanan yang sengit kepada penggunaan takaran, mengikuti adat setempat waktu itu. Di
akal secara bebas, sebagaimana yang dianut banyak wilayah dunia Islam untuk jual beli gandum
oleh kaum Mu‟tazilah, kemudian muncul dari dipergunakan ukuran timbangan. Apakah kebiasaan
kalangan Hambali, yang juga dikenal sebagai menggunakan timbangan itu tidak dibenarkan karena
ahlu al-hadits (Nurcholish Madjid, 1997: 67- menyalahi petunjuk Nabi?
filsafat dan ilmu pengetahuan rasional Nurcholish Madjid (1997: 52-53) dilarang dan beberapa perguruan tinggi
mengungkapkan bahwa dalam banyak ditutup. Bahkan buku-buku filsafat yang
hal terjadi sikap-sikap tidak adil kepada telah dihasilkan dibakar dan pengarangnya
kitab suci. Jika kaum ortodoks berhasil dibunuh. 16 Dalam pada itu, Abu Hasan al-
membendung rasionalitas dengan Asy‟ari tampil dengan membawa aliran
menaruh curiga yang berlebihan teologi baru, teologi yang menentang
kepada hadits-hadits tentang akal, kebebasan manusia. Pada akhirnya aliran
mereka tidak berbuat apa-apa terhadap teologi inilah yang berkuasa dan menjadi
ayat-ayat suci yang dengan tegas sekali anutan resmi mayoritas ummat Islam (Harun
manusia untuk Nasution (1995: 56).
mendorong
menggunakan akalnya. Dalam perkembangan sejarah lebih
Akal dan Wahyu dalam Timbangan
lanjut, persengketaan antara kaum ortodoks
Ahli Fiqh
dan kaum rasionalis, akhirnya secara formal
17 Dalam Islam sumber hukum dimenangkan oleh kaum ortodoks. yang paling otoritatif adalah Allah
Sekurang-kurangnya, secara lahir mereka
18 semata-mata. Semua orang, termasuk mendominasi
pemikiran
keagamaan.
Rasulullah, tunduk kepada hukum- hukum Allah. Dilihat dari segi ini,
16 Sayed Amier Ali (t.th: 439-340) dalam
maka Rasulullah bertugas melaksa-
memberikan penilaian terhadap sejarah, sepertinya tidak fair. Karena ia telah terobsesi dan kagum
nakan dan menyampai perintah-
terhadap rasionalisme Mu‟tazilah sehingga ia tidak
perintah Allah kepada ummat manusia
melihat dan mengungkapkan kesalahan sejarah yang
telah dilakukan oleh Mu‟tazilah. Benar Mu‟tazilah (Amiur Nuruddin, 1987: 69). Kare-
yang telah memainkan peran penting dalam
nanya, segala
ketentuan yang
membangun kebesaran
bersumber dari Allah, al- Qur‟an; dan
pemikiran, tetapi pada kenyataanya ia sendirilah yang meruntuhkannya
lewat
gerakan
mihnah yang
yang diperinci, diberi contoh dan
dilancarkannya. Karenanya, ketika situasi politik
tafsirkan oleh Rasulullah, as-Sunnah,
berubah adalah wajar kalau lawan politik mereka melakukan upaya-upaya balas dendam, seperti apa
harus dilaksanakan. Jadi al- Qur‟an dan
yang pernah Mu‟tazilah lakukan terhadap diri mereka.
as-Sunnah merupakan sumber hukum
Namun disayangkan, dan di sinilah Sayed Amier Ali ada benarnya, bahwa yang turut menjadi korban
(Ahmad Hasan, 1984: 103).
adalah ilmu pengetahuan dan filsafat serta lenyapnya semangat rasionalisme dan liberalisme di kalangan
Dalam posisinya sebagai al-
umat Islam.
mubayyinah (pemberi penjelasan),
17 Sebagai konsekuensi logisnya, maka timbullah
Rasulullah sudah barang tentu terlibat
hadits-hadits yang mengutuk penggunaan akal. Sekedar contoh, sebagaimana diriwayatkan oleh Ibn
dalam berbagai aspek kehidupan
Abbas, Nabi bersabda: “Orang yang menafsirkan al-
ummat Islam. Karena sedemikian
Qur‟an menurut pendapatnya harus siap menempati tempatnya di dalam api neraka”. Dan ironisnya lagi, Umar, yang dikenal seorang rasionalis, diriwayatkan
akal terus berlanjut. Menurut Sayeed Hossein pernah menyeru kepada masyarakat untuk berhati-
Nasr (1991: 109), kegiatan intelektual tidak hati terhadap orang yang mendukung akal karena
mati, seperti tudingan orang orientalis, dengan mereka
meninggalnya Bapak Orientalis Islam, Ibn (Muhammad Muslehuddin, 1991: 109).
adalah musuh
hadits-hadits
Nabi
Rushd. Tudingan tersebut, menurutnya, terlalu 18 Ini mungkin hanya berlaku di dunia Sunni,
cacat dan sulit sedangkan di dunia Syi‟ah tradisi penghargaan kepada
banyak
memiliki
dipertanggungjawabkan.
kompleksnya persoalan yang dihadapi
“mandat” kepada ummat Islam, maka Rasulullah membuat
memberikan
sahabat-sahabatnya untuk penggarisan (Amiur Nuruddin, 1987: 70).
memutuskan suatu perkara, sekalipun Rasulullah menggariskan dalam sabdanya:
itu terjadi di hadapan beliau sendiri Sesungguhnya aku adalah manusia. Bila aku
(Ibn Hazm, Juz IV, 1345 H: 25). memerintahkan suatu tentang agamamu, maka
Di antara sahabatnya yang terimalah itu. Dan bila aku menyuruh tentang
kepercayaan untuk sesuatu berdasarkan pendapatku, maka aku adalah manusia 19
diberikan
memutuskan suatu perkara adalah (Muslim, Juz IV, t.th: 95). „Amr Ibn al-„Ash. Diriwayatkan bahwa
Sewaktu Islam sudah merambah ke pada suatu kali Rasulullah berkata mana-mana, maka persoalannya menjadi kepada „Amr ibn al-„Ash, agar lain. Nabi sendiri “membatasi dirinya” hanya memutuskan suatu persoalan hukum. persoalan-persoalan agama dan masalah Lalu „Amr bertanya: “Apakah saya yang jelas ada nash al- Qur‟annya. Sementara akan berijtihad, padahal engkau ada?” persoalan-persoalan kemasyarakatan yang Rasulullah menjawab: “Ya, jika engkau tidak tersentuh secar eksplisit oleh al- Qur‟an betul (dalam berijtihad), maka bagimu dan Hadits semakin menuntut peran yang dua pahala. Tetapi jika engkau salah besar dari akal yang diwujudkan dalam
20 (dalam berijtihad), maka engkau bentuk Ijtihad. Untuk itu, Rasulullah sering
mendapat satu pahala” (Amiur Nuruddin, 1987: 54).
19 Menurut penelitian Sayyid Muhammad Musa, seperti yang ditulis oleh Amiur Nuruddin (1987: 70),
Di samping ijtihad, term yang
status hadits tersebut diperdebatkan oleh para ulama.
Muhammad „Abd al-Hamid menyebutkan bahwa sering dipergunakan untuk menggam-
hadits tersebut juga diriwayatkan oleh Bukhari, al-
barkan pendapat pribadi yang orisinil
Tirmidzi, al- Nasa‟i, dan Ibn Majah. Catatan lain yang
adalah al- 21 ra‟y. Muhammad Anis
diketemukan bahwa yang dimaksud dengan al- ra‟y adalah dalam urusan duniawi. Sedangkan komentar lain menyebutkan bahwa hadits tersebut bukan
saat, ia diberi tahu orang bahwa matahari berasal dari Rasulullah, tetapi berasal dari rawi, karena
terlihat kembali di ufuk barat (karena hadits itu diriwayatkan secara maknawi.
sebenarnya memang belum terbenam). Atas 20 Term al-Ijtihad, sebagaimana yang diuraikan
dasar ini dikhabarkan „Umar menyatakan: dalam Lisan al- „Arab, terambil dari kata al-Jahd dan al-
“Bukan soal yang gawat. Kami sudah Juhd , secara etimologis berarti al-Thaqah (tenaga dan
berijtihad (qad ijtihadna)”. Begitu juga pada kuasa). Sementara al-Ijtihad dan al-Tajahud, berarti
kasus ketika Abu Bakar mengirim tentara di “penumpahan segala kesempatan dan tenaga”
bawah komando Khalid Ibn Walid; dan (Jamaluddin Muhammad Ibn Muharram, Juz III, t.th:
Khalid membunuh seseorang, meskipun 107-109). Istilah ini merupakan term generik yang ada
sudah tidak berdaya, lantaran istri orang sebelum
tersebut berada pada puncak kecantikannya. misalnya, seperti qiyas, istihsan, dan lain-lain dan juga
Dan ia malam harinya Khalid “mengawani” berlaku untuk term, misalnya “tawa‟il” (yang secara
wanita tersebut. Peristiwa ini dipertanyakan jujur, semuanya tidak mungkin melepaskan diri dari
orang (sahabat), dengan enteng Abu Bakar penggunaan
menjawab, “dia telah melakukan ijtihad, dan disistematisasikan. Namun, istilah ini dalam periode
akal), yang
kemudian
lebih
dia ternyata salah”. Meskipun demikian ia awal dipergunakan dalam pengertian sempit dan lebih
tetap dapat pahala satu. khusus. Misalnya dapat dilihat, seperti dalam kasus
21 Secara etimologis al- ra‟y berarti berikut ini, ada kasus mengenai diri „Umar Ibn
perenungan (al-tadabbur) dan pemikiran Khaththab, bahwa suatu hari pada bulan Ramadhan,
secara kontemplatif. Secara terminologis „Umar mengumumkan tibanya saat berpuasa ketika
bermakna: Suatu keputusan yang dicapai oleh matahari tampaknya telah terbenam. Setelah beberapa
seseorang setelah melakukan pemikiran,
„Ubaidah, Ketua Jurusan Fiqh Perbandingan
petunjuk. Muadz pada Universitas Al-Azhar, dalam bukunya,
diketemukan
menjawab bahwa dalam keadaan Tarikh al-Fiqh al-Islami , seperti yang dikutip
demikian dia akan berijtihad dengan oleh Amir Nuruddin, telah memberikan
mempergunakan akalnya. “Segala puji gambaran yang cukup baik tentang
bagi Allah yang telah memandu utusan hubungan ijtihad dan al- ra‟y. Ia mengatakan:
Rasulullah kepada (kebajikan) yang Ijtihad sahabat (di samping pengertiannya)
diridha‟inya,” seru Rasul dengan mencakup pengistimbatan hukum dari al- 22 puas.
Kitab dan al-Sunnah, juga mencakup Dari dialog Rasulullah dengan pengambilan
pertimbangan yang benar (al- Mu‟adz Ibn Jabal di atas, secara
ra‟y al-shahih),
baik pertimbangan itu didasarkan kepada implisit mengungkapkan bahwa tiada Qiyas, penyamaan hukum sesuatu yang 23 tempat bagi akal jika terdapat nash,
tidak disebutkan teksnya kepada selainnya, termasuk penetapan hukum atas dasar al- Mursalah. Oleh sebab itu, ijtihad
mengandung pengertian yang luas (umum), 22 Redaksi ini dikutip secara langsung dari sementara dari al- Munawir Sjadzali (33). Meskipun hadits ra‟y adalah bagian dari
ijtihad, dan Qiyas adalah bagian dari al- ra‟y
tersebut, menurut peneliti Ilmu Hadits, adalah
hadits Mursal, tetapi, sepertinya hadits inilah
(Amiur Nuruddin, 1987: 56).
yang mendasari diberlakukannya ijtihad. Hadits ini seringkali dikutip bila seseorang
Di samping riwayat itu, banyak lagi
membahas masalah ijtihad, lihat misalnya,
riwayat-riwayat lain yang menggambarkan
Abdul Wahab Khallaf (1975: 62); Said
penggunaan ijtihad. Di antaranya yang paling Ramadhan (1986: 51).
23 Pendapat seperti ini dapat dilihat pada
populer adalah hadits taqriri , yang
diri Imam al-Ghazali, seperti tersebut dalam
memberikan persetujuan kepada Mu‟adz Ibn kitabnya, al-Qistas al-Musthatim, dan bahkan
pada kitabnya yang lain, al- Iqtisal fi I‟tiqad,
Jabal, ketika Rasulullah mengangkatnya
menyebutkan bahwa akal tidak mungkin
sebagai hakim di Yaman. Rasulullah bertanya
menjadi penilai, termasuk mempergunakan akal untuk mena‟wilkan ayat-ayat al-Qur‟an.
kepadanya: “Dengan apa engkau nantinya
Karena al- Qur‟an, menurut hemat al-Ghazali,
menghakimi perkara?” “Dengan Kitab
tidak terdapat di dalamnya suatu ayat yang
Allah,” jawab Mu‟adz Ibn Jabal. “Kalau tidak secara tegas bertentangan dengan akal (Bello,
1989: 52-53).
terdapat petunjuk dalam kitab Allah?”
Term “Nash” secara harfiah berarti
“Dengan Sunnah Rasulullah”. “sesuatu yang jelas”, dan secara teknis “nash”
bermakna “suatu perintah yang jelas, yang secara tertulis nyata dalam al- Qur‟an dan al-
Kemudian Rasulullah
bertanya
Hadits dalam kaitannya dalam masalah
bagaimana kalau dalam sunnah Rasul tidak
tertentu. Menurut Ahmad Hasan (1984: 111), adalah al-Syaybani sengaja yang paling pertama kali menggunakan istilah tersebut. Para ahli
perenungan, dan pencarian yang sungguh akan hukum awal pada umumnya menggunakan kebenaran dalam kasus di mana petunjuk-petunjuk
istilah Kitab dan Sunnah, bukan nash. Namun, (dalil-dalil) yang diperoleh saling bertentangan.
as- Syafi‟i (1993: 126) mempergunakan istilah Menurut Ahmad Hasan (1984: 105), di kalangan
tersebut sebagai lawan dari Ra‟y yang sudah orang- orang Arab, kata ra‟y sering dipergunakan
berkembang sebelum as- Syafi‟i sendiri di terhadap pendapat dan keahlian yang pertimbangan
kalangan para ahli hadits, tetapi yang diadopsi dengan baik dalam memecahkan persoalan yang
oleh as-Syafi'i sebagai prinsip hukum. Konsep dihadapi. Seseorang yang memiliki persepsi mental
nash, dalam tulisan as- Syafi‟i, tampaknya dan pertimbangan yang bijaksana dikenal sebagai zu
adalah sebagai lawan dari Ra‟y. Semakin Ra‟y al- ra‟y.
dibuang semakin ruang lingkup ijtihad dibuang semakin ruang lingkup ijtihad
cara merujuk kepada sumber utama sekali lagi, kalau kita cermati dialog di atas,