Dimana Allah Tinggal Sebelum Bersemayam

Dimana Allah Tinggal Sebelum Bersemayam di Atas Arasy?
Bismillahirrahmaanirrahiim.
Alhamdulillah wa syukru lillahi, laa haula wa laa quwwata illa billah. Was shalatu was salamu
‘ala Rasulillah Muhammad wa ‘ala alihi wa ashabihil kiram ajma’in. Amma ba’du.
Salah satu sumber penulisan dalam blog ini ialah pertanyaan-pertanyaan pembaca dalam forum
diskusi. Kadang suatu pertanyaan tidak cukup dijawab di forum diskusi, sehingga perlu diberikan
jawaban yang lebih luas dalam wujud artikel tersendiri. Walhamdulillah.
Pertanyaan sebagian pembaca tentang tuduhan adanya kesamaan antara konsep Tauhid dengan
teologi Trinitas Kristiani, alhamdulillah sudah ditulis (tetapi belum dipublikasikan). Dan kini ada
lagi pertanyaan dari pembaca tentang “tempat tinggal” Allah Ta’ala.
Isi lengkap pertanyaan dari saudara @ Awam (setelah di-edit seperlunya) adalah sebagai berikut:
“Saya mau tanya kepada Mas Abisyakir dan @ Ahmad (salah seorang pembaca yang
berkomentar dalam artikel “Allah Ta’ala Ada di Langit”). Kalau memang Allah ada
(bersemayam) di langit atau di atas Arasy, lalu dimanakah Allah tinggal sebelum Arasy dan
langit diciptakan oleh Allah? Apa mungkin Allah berpindah tempat? Sedangkan yang saya tahu,
itu sangat mustahil! Tolong beri penjelasan yang masuk akal!”
Si penanya merasa ragu (atau tidak yakin), bahwa Allah Ta’ala ada di atas langit, seperti yang
disebutkan dalam ayat-ayat Al Qur’an maupun Sunnah. Sebagai alasan dari keraguan itu, dia
melontarkan pertanyaan seputar “dimana Allah tinggal” sebelum Dia menciptakan langit dan
Arasy.
Dengan memohon karunia Allah, ilmu, dan petunjuk-Nya, mari kita kaji persoalan ini lebih jauh.


“Keruwetan Akal Membawa Keruwetan Jiwa”.
PERTAMA, dalil yang menyatakan bahwa Allah itu ada di atas Arasy setidaknya ada 7 ayat
dalam Al Qur’an yang secara qath-i menjelaskan hal itu. Ia adalah: Surat Al A’raaf ayat 54,

Yunus ayat 3, Ar Ra’du ayat 2, Thaha ayat 5, Al Furqan ayat 59, As Sajadah ayat 4, dan Al Hadid
ayat 4. Bahkan dalam Surat Al Baqarah ayat 29 disebutkan: “Tsumma istawa ilas sama’i
fasauwahunna sab’a samawaat” (kemudian Dia istiwa menuju ke langit, lalu Dia ciptakan 7
tingkat langit). Sebagai orang Muslim, sebelum kita berpikir masuk akal atau tidak, semestinya
harus mengimani ayat-ayat ini. Kalau tidak demikian, berarti kita membuat syarat-syarat dalam
keimanan kita. Misalnya, kalau masuk akal diimani, kalau tak masuk akal ditolak. Janganlah
demikian, sebab hal itu dianggap tidak tulus dalam beragama.
KEDUA, dalam ajaran Islam banyak perkara yang bersifat ghaib. Ghaib bisa karena waktu
(misalnya peristiwa-peristiwa di masa lalu, atau di masa depan). Ghaib bisa karena ruang
(misalnya letaknya sangat jauh, atau sangat kecil, sehingga tak tampak oleh penglihatan normal).
Ghaib juga bisa karena wujudnya (misalnya ada makhluk halus yang tak tampak, padahal mereka
ada dan eksis, seperti jin, Malaikat, ruh, dll.).
Di antara perkara ghaib itu ada yang Allah ajarkan, dan ada pula yang tidak Dia ajarkan. Contoh,
hanya sebagian saja dari ribuan Nabi dan Rasul yang disebutkan kisahnya dalam Kitabullah dan
Sunnah. Terhadap berita-berita yang Allah ceritakan, ya kita imani; adapun yang tidak Dia

ceritakan, kita menahan diri untuk tidak masuk ke wilayah itu, agar tidak menjadi sesat
karenanya. Na’udzubillah min dzalik.
Informasi atau ilmu tentang dimana posisi Allah Ta’ala sebelum Diri-Nya menciptakan langit
dan Arasy, adalah termasuk hal-hal sangat ghaib yang tidak diceritakan dalam Kitab-Nya. Kalau
terhadap kisah Nabi-nabi tertentu yang tidak dikisahkan dalam Al Qur’an, kita mau menahan diri
untuk tidak mengorek-ngorek kisah seperti itu; lalu bagaimana mungkin kita akan
mempertanyakan posisi Allah sebelum Dia menciptakan langit dan Arasy? Apa perlunya? Kalau
misalnya kita sudah tahu, apakah itu bisa meningkatkan keimanan, atau membuat akal justru
semakin liberal dengan fantasi-fantasi ala Bani Israil lainnya?
KETIGA, dalam Al Qur’an atau Sunnah dijelaskan, bahwa Allah Ta’ala bersemayam di atas
Arasy. Arasy itu ada di atas langit yang ke-7. Bagaimana cara Allah bersemayam di atas Arasy,
hal itu merupakan perkara ghaib. Kita tidak boleh mengatakan, Allah disana “duduk”, “berdiri”,
“menempel”, “mengambang”, dll. Karena memang semua itu tak dijelaskan oleh-Nya dan oleh
Nabi-Nya Shallallah ‘Alaihi Wasallam. Termasuk pertanyaan, apakah Arasy itu berupa ruang,
udara kosong, dimensi nihil, atau apapun? Semua itu tidak usah dipikirkan dan ditanyakan.
Dengan sendirinya, jika Istiwa’ Allah di atas Arasy tak usah ditanyakan, maka bagaimana
keadaan Allah sebelum menciptakan Arasy, lebih tak perlu ditanyakan lagi.
KEEMPAT, munculnya pertanyaan, dimana Allah sebelum Dia menciptakan langit dan Arasy,
hal ini lahir karena kesalahan berpikir sangat fatal, yaitu sejak awal sudah mempersepsikan
Allah seperti makhluk. Misalnya, suatu saat kita melihat seekor burung hinggap di pohon depan

rumah. Maka pikiran logis kita akan segera bergerak: “Dari mana nih burung? Kok pagi-pagi
sudah nongol di depan rumah?” Nah, untuk makhluk, kita bisa berpikir seperti itu, karena
makhluk terikat oleh hukum-hukum Sunnatullah yang berlaku atasnya. Dalam masalah makhluk
kita selalu berpikir “darimana ini”, “akan kemana”, “nanti menjadi apa”, “prosesnya
bagaimana”, dll. Tetapi untuk Allah Ta’ala, Dia terbebas dari semua ikatan-ikatan hukum yang
berlaku pada makhluk-Nya.

Kalau manusia memanjat, dia akan menjadi tinggi; kalau terjun ke bawah, akan menjadi rendah;
kalau berlari akan menjadi cepat; kalau diam diri, dia tak bergerak; kalau kehujanan akan merasa
dingin; kalau tertimpa terik sinar matahari, akan kepanasan. Manusia atau makhluk terikat
hukum-hukum demikian. Tetapi Allah Ta’ala tidak terikat semua itu. Dia bisa berbuat apapun
yang Dia inginkan, sehingga ada ayat Al Qur’an yang berbunyi: “Idza arada syai’an an yaqula
lahu kun fa yakun” (kalau Dia menginginkan sesuatu, tinggal mengatakan “kun” maka jadilah
apa yang Dia inginkan itu).
Bersemayamnya Allah di atas Arasy adalah bagian dari kehendak-Nya. Dia ingin apapun dan
bagaimanapun, itu hak Dia sebagai Pencipta alam semesta dan kehidupan. Kita sebagai manusia
tak punya hak mencampuri urusan Rububiyyah-Nya. Misalnya, sebelum menciptakan langit dan
Arasy, Allah berkehendak demikian dan demikian, maka semua itu hak-Nya belaka. Kita tak bisa
menolak atau mencampuri. Bila makhluk terikat oleh dimensi-dimensi, maka Allah tak terikat
apapun. Dia mandiri dan independen. “Allahus Shamad” (Allah, bergantung kepada-Nya semua

makhluk).
KELIMA, dalam sebuah riwayat disebutkan, bahwa ada kalanya dalam diri manusia timbul
pikiran-pikiran aneh karena bisikan syaitan. Misalnya dia berpikir, bahwa alam semesta ini
diciptakan oleh Allah. Lalu siapa yang menciptakan Allah? Nabi menasehatkan, kalau ada
bisikan-bisikan seperti itu, seorang Muslim cukup mengatakan, “Amantu billahi wa bi
Rusulihi” (aku beriman kepada Allah dan kepada Rasul-rasul-Nya). HR. Imam Ahmad.
Dzat Allah sangat berbeda dengan makhluk-Nya. Allah menciptakan, tetapi tidak membutuhkan
diciptakan. Allah adalah Awal, tetapi tanpa diawali. Dia ada, tanpa diadakan. Dia adalah Akhir,
tetapi tanpa diakhiri. Allah bisa membolak-balikkan siang dan malam, gelap dan terang, panas
dan dingin, sesuka diri-Nya. Jadi kita tidak perlu bertanya, “Siapa yang menciptakan Allah?”
Sebab logika demikian hanya berlaku bagi makhluk-Nya. Allah Ta’ala ada tanpa diadakan, Dia
kuasa tanpa diberi kekuasaan, Dia mencipta tanpa pernah terciptakan. Dia bisa membolakbalikkan dimensi-dimensi tanpa berkurang sedikit pun Kemuliaan dan Keagungan-Nya. Dia
Tinggi tanpa ada yang lebih tinggi dari-Nya, Dia bisa turun tanpa menjadi lebih rendah. Allah
tidak terikat sifat-sifat makhluk-Nya.
Kalau manusia mencari hal-hal di luar semua itu, ingin menerobos hakikat-hakikat seputar Sifat
Rubibiyyah Allah; demi memuaskan hawa nafsu akalnya, jelas dia akan binasa. Na’udzubillah
min dzalik. Ketahuilah, akal manusia dibatasi oleh hukum-hukum yang berlaku di alam semesta
(universe). Sedangkan Allah bebas dari semua hukum-hukum itu. Sekali-kali, jangan memahami
Allah dengan ukuran-ukuran makhluk-Nya.
KEENAM, ada logika yang diyakini sebagian orang, “Kalau Allah di atas Arasy, lalu dimana

Dia sebelum Arasy itu diciptakan? Apakah Dia sebelumnya berada di suatu “tempat”, kemudian
pindah ke atas Arasy? Mungkinkah Dzat Allah berpindah-pindah? Sungguh mustahil.” Logika
demikian kan sangat kelihatan kalau si penanya berpikir dalam dimensi makhluk. Dia ingin
memahami Allah dengan persepsi makhluk. Sebenarnya, Allah mau mengambil “posisi”
dimanapun, itu hak Dia. Andaikan Allah tidak menunjuki diri-Nya di atas Arasy, tidak ada
masalah bagi-Nya. Tetapi karena kasih-sayang Allah, di atas Keghaiban-Nya, Dia ingin
memudahkan manusia memahami keghaiban itu, maka Dia berkehendak istiwa’ di atas Arasy.

Dengan demikian, manusia mendapati satu kemudahan ketika ditanya “aina Allah” (dimana
Allah). Maka kita bisa menjawab secara pasti: Fis sama’i ‘alal Arsy (di langit, di atas Arasy).
Mungkinkah Allah berpindah-pindah dari satu posisi ke posisi lain? Mula-mula, Anda harus
bebaskan Dzat Allah dari ikatan-ikatan yang berlaku atas makhluk-Nya. Makhluk dibatasi oleh
dimensi-dimensi, sedangkan Allah bebas dari semua itu. Kemudian, ingat selalu bahwa Allah
memiliki Sifat Iradah (Maha Berkehendak). Kalau Allah berkehendak berbuat sesuatu, tidak ada
satu pun yang mampu menghalangi-Nya. Seperti sebuah doa yang diajarkan oleh Nabi Shallallah
‘Alaihi Wasallam: “Allahumma laa mani’a li maa a’thaita, wa laa mu’thiya li maa mana’ta”
(ya Allah, tidak ada yang sanggup menolak apa yang Engkau berikan, dan tidak ada yang bisa
menerima apa yang Engkau tolak).
Jika demikian, lalu bagaimana insan-insan yang lemah, otak-otak yang bodoh, dan hawa nafsu
yang meluap-luap ini, hendak menolak Sifat-sifat Allah, jika Dia berkehendak terhadap sesuatu.

Itulah bahayanya, cara-cara Takwil itu nantinya kerap kali menjadi jalan untuk mengingkari
Sifat-sifat Allah. Mulanya Takwil, lama-lama menjadi Jahmiyyah atau Zindiqah (atheis).
Na’udzubillah wa na’udzubillah min kulli dalik.
KETUJUH, para ulama sering mengatakan “tafakkaruu fi khalqillah wa laa tafakkaruu fi
dzatillah” (silakan berpikir tentang ciptaan Allah, namun jangan berpikir tentang Dzat-Nya).
Ungkapan seperti ini tidak mengada-ada. Bukannya manusia tak boleh berpikir tentang Allah,
tetapi otaknya tak akan bisa memahami Dzat Allah dengan segala Sifat-Nya. Dalam Surat Al
A’raaf ayat 143, Musa ‘Alaihissalam pernah meminta ingin melihat Dzat Allah. Kemudian
Allah berkata kepada Musa, “Lan taraniy” (engkau tak akan sanggup melihat-Ku). Lalu Allah
memperlihatkan diri-Nya kepada gunung, seketika itu gunung tersebut hancur berkeping-keping
karena takut kepada Allah. Melihat gunung hancur, Musa langsung pingsan. Hal ini merupakan
batas demarkasi sifat kebebasan manusia dalam mendayagunakan potensi dan kekuatan nalarnya.
Manusia tak boleh melebihi ambang demarkasi itu, agar otak dan kehidupannya tidak menjadi
binasa. Nas’alullah al ‘afiyah.
Singkat kata, dimana kedudukan Allah sebelum menciptakan langit dan Arasy, semua itu adalah
keghaiban belaka. Sama ghaibnya dengan bagaimana keadaan Allah beristiwa’ di atas Arasy.
Kita tidak dibebani kewajiban untuk menelisik masalah-masalah seperti itu. Akal kita tak akan
sampai pada kebenaran hakiki dalam hal seperti ini, kecuali kelak kita bisa tanyakan semua itu
kepada Allah Ta’ala di Akhirat nanti (dengan syarat, harus masuk syurga dulu).
Dalam pertanyaan seperti ini tak ada penjelasan yang bisa memuaskan akal secara sempurna,

kecuali akal orang-orang beriman yang rela mengimani Kitabullah dan As Sunnah; serta tidak
menjadikan otak-nya sebagai hukum dan agama, dalam kehidupan ini.
Semoga bermanfaat, berkenan, dan mendapat barakah dari Allah Ta’ala. Allahumma amin.
Walhamdulillahi Rabbil ‘alamiin.
Wallahu a’lam bisshawab.
[Abahnya Syakir].

Dokumen yang terkait

Analisis Kinerja Keuangan Perbankan Sebelum dan Sesudah Merger dan Akuisisi (Studi Pada Perbankan yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia Periode 2008-2012) Analysis of Banking Financial Performance Before and After Merger and Acquisition (Studies in Banki

7 55 8

Analisis Komparasi Rasio Keuangan Sebelum dan Sesudah Konvergensi Penuh International Financial Reporting Standard (IFRS) Di Indonesia (Studi Pada Perusahaan Manufaktur yang Terdaftar Di Bursa Efek Indonesia)

3 46 9

Analisis Komparatif Harga Saham Sebelum dan Sesudah Pembagian Dividen: Studi pada Perusahaan-Perusahaan Sektor Properti yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEl) Tahun 2010

1 28 1

VIDEO KLIP SEBAGAI INTERPRETASI LIRIK LAGU (Analisis Semiotik Video Klip Lagu ‘Selamat Tinggal Gelap’ yang dinyanyikan oleh Sweeter Band)

1 24 2

Membuka Pintu Rizki Allah

0 31 2

PERBEDAAN PERILAKU PROSOSIAL DITINJAU DARI TEMPAT TINGGAL (Studi pada Remaja yang Tinggal di Pondok Pesantren dan yang Tinggal bersama Orang Tua)

5 29 21

Analisis Perbandingan Operating Leverage dan Financial Leverage Sebelum dan Sesudah Krisis Ekonomi Global 2008 pada Perusahaan Subsektor Perkebunan yang Terdaftar di BEI (Comparative Analysis of Operating Leverage and Financial Leverage Before and After T

0 12 7

Frekuensi dan Distribusi Kecelakaan Lalu Lintas Kendaraan Bermotor di Kabupaten Jember Sebelum dan Sesudah Safety and Responsible Riding to My Jember 2007

0 24 12

Perbedaan Kadar Asam Urat Sebelum Dan Sesudah Terapi Bekam Basah (Al-Hijamah)

2 49 66

Analisis Faktor Yang Mempengaruhi Kurs Rupiyah Sebelum Dan Setelah Diterapkannya Free Floating Exchange Rate System

0 24 103