Metodologi penelitian sosial pokok bahasan (1)

A. Pendekatan Teologis
Dalam kamus Inggris Indonesia, kata theology diartikan ilmu agama.[1] sedangkan
menurut Harun Nasution teologi adalah ilmu yang membahas ajaran-ajaran dasar dari suatu
agama. Setiap orang yang ingin menyelami seluk-beluk agamanya secara mendalam, perlu
mempelajari teologi yang terdapat dalam agama yang dianutnya. Mempelajari teologi akan
memberi seseorang keyakinan-keyakinan yang berdasarkan pada landasan yang kuat, yang
tidak mudah diumbang-ambing oleh peredaran zaman.[2]
Pendekatan teologis dalam memahami agama secara harfiah dapat diartikan sebagai
upaya memahami agama dengan menggunakan kerangka ilmu Ketuhanan yang bertolak dari
satu keyakinan bahwa wujud empirik dari suatu keagamaan dianggap sebagai yang paling
benar dibandingkan dengan lainnya. Sebagaimana kita ketahui, tidak bisa tidak teologi pasti
mengacu kepada agama tertentu. Loyalitas terhadap kelompok sendiri, komitmen, dan
dedikasi yang tinggi serta penggunaan bahasa yang bersifat subjektif, yakni bahasa sebagai
pelaku, bukan sebagai pengamat adalah merupakan ciri yang melekat pada bentuk pemikiran
teologis. Karena sifat dasarnya yang partikularistik, maka dengan mudah kita dapat
menemukan teologi Kristen-Katolik, teologi Kristen Protestan, dan begitu seterusnya. Dan
jika diteliti lebih mendalam lagi, dalam intern umat beragama tertentu pun masih dapat
dijumpai berbagai paham atau sekte keagamaan. Menurut informasi yang diberikan The
Encyclopedia of American Religion, di Amerika Serikat saja terdapat 1200 sekte keagamaan.
Satu di antaranya adalah sekte Davidian yang pada bulan April 1993 pemimpin sekte
Davidian bersama 80 orang pengikut fanatiknya melakukan bunuh diri massal setelah

berselisih dengan kekuasaan pemerintah Amerikat. Dalam Islam sendiri, secara tradisional,
dapat dijumpai teologi Mu’tazilah, Asy’ariyah, dan Maturidiyah.[3]
Kritik Terhadap Pendekatan Teologis
Pendekatan teologi dalam pemahaman keagamaan adalah pendekatan yang
menekankan pada bentuk forma atau simbol-simbol keagamaan yang masing-masing bentuk
forma atau simbol-simbol keagamaan tersebut mengklaim dirinya sebagai yang paling benar
sedangkan yang lainnya sebagai salah. Aliran teologi yang satu begitu yakin dan fanatik
bahwa pahamnya yang benar sedangkan yang lainnya sebagai yang salah, sehingga
memandang paham orang lain keliru, sesat, kafir, murtad, dan seterusnya. Demikian pula
paham yang dituduh keliru, sesat, dan kafir itu pun menuduh kepada lawannya sebagai yang
sesat dan kafir. Dalam keadaan demikian, maka terjadilah proses saling mengkafirkan, salah
menyalahkan dan seterusnya. Dengan demikian, antara satu aliran dan aliran lainnya tidak
terbuka dialog atau saling menghargai. Yang ada hanyalah ketertutupan (eksklusifisme),
sehingga yang terjadi adalah pemisahan dan terkotak-kotak.

Perbedaan dalam bentuk forma teologis yang terjadi di antara berbagai mazhab dan
aliran teologi keagamaan adalah merupakan realitas dan telah menyejarah. Pluralitas dalam
perbedaan tersebut seharusnya tidak membawa mereka saling bermusuhan dan selalu
menonjolkan segi-segi perbedaannya masing-masing secara arogan, tetapi sebaiknya
dicarikan titik persamaannya untuk menuju pada substansi dan misi agama yang paling suci

yang antara lain mewujudkan rahmat bagi seluruh alam yang dilandasi pada prinsip keadilan,
kemanusiaan, kebersamaan, kemitraan, saling menolong, saling mewujudkan kedamaian dan
seterusnya. Jika misi tersebut dapat dirasakan, maka fungsi agama bagi kehidupan manusia
segera dapat dirasakan.
Dari uraian tersebut terlihat bahwa pendekatan teologis dalam memahami agama
menggunakan cara berpikir deduktif, yaitu cara berpikir yang berawal dari keyakinan yang
diyakini benar dan mutlak adanya, karena ajaran yang berasal dari Tuhan, sudah pasti benar,
sehingga tidak perlu dipertanyakan lebih dahulu melainkan dimulai dari keyakinan yang
selanjutnya diperkuat dengan dalil-dalil dan argumentasi. Pendekatan teologis sebagaimana
disebutkan di atas, telah menunjukkan adanya kekurangan yang antara lain bersifat eksklusif,
dogmatis, dan sebagainya. Kekurangan ini dapat dapat diatasi dengan cara melengkapinya
dengan pendekatan sosiologis sebagaimana telah diuraikan diuraikan di atas. Sedangkan
kelebihannya, melalui pendekatan teologis ini seseorang akan memiliki sikap milintasi dalam
beragama, yakni berpegang teguh kepada agama yang diyakininya sebagai yang benar, tanpa
memandang dan meremehkan agama lainnya. Dengan pendekatan yang demikian seseorang
akan memiliki sikap fanatis terhadap agama yang dianutnya.
B. Pendekatan Normatif
Kata normatif berasal dari bahasa Inggris norm yang berarti norma, ajaran, acuan,
ketentuan tentang masalah yang baik dan buruk, yang boleh dilakukan dan yang tidak boleh
dilakukan.[4] Dalam hubungan ini kata norma erat hubungannya dengan akhlak, yaitu

perbuatan yang muncul dengan mudah dari kesadaran jiwa yang bersih dan dilakukan atas
kemauan sendiri, bukan berpura-pura dan bukan pula paksaan. Selanjutnya karena akhlak,
merupakan inti dari agama, bahkan inti ajaran al-Qur’an, maka norma sering diartikan pula
agama. karena agama tersebut berasal dari Allah, dan sesuatu yang berasal dari Allah pasti
benar adanya, maka norma tersebut juga diyakini pasti benar adanya, tidak boleh dilanggar,
dan wajib dilaksanakan.[5]
Pendekatan normatif adalah pendekatan yang memandang agama dari segi ajarannya
yang pokok dan asli dari Tuhan yang didalamnya belum terdapat pemikiran manusia. Dalam
pendekatan normatif ini agama dilihat sebagai suatu kebenaran yang mutlak dari Tuhan yang
di dalamnya belum terdapat penalaran pemikiran manusia. Dalam kaitan ini agama tampil
sangat prima dengan seperangkat cirinya yang khas. Untuk agama Islam misalnya, secara
normatif pasti benar, menjunjung nilai-nilai luhur. Untuk bidang sosial, agama tampil

menawarkan nilai-nilai kemanusiaan, kebersamaan, kesetiakawanan, tolong-menolong,
tenggang rasa, persamaan derajat dan sebagainya.[6]
Sedangkan untuk bidang ekonomi agama tampil menawarkan keadilan, kebersamaan,
kejujuran, dan saling menguntungkan. Untuk bidang ilmu pengetahuan, agama tampil
mendorong pemeluknya agar memiliki ilmu pengetahuan dan teknologi yang setinggitingginya, menguasai keterampilan, keahlian, dan sebagainya. Demikian pula untuk bidang
kesehatan, lingkungan hidup, kebudayaan, politik, dan sebagainya agama tampil sangat ideal
dan yang dibangun berdasarkan dalil-dalil yang terdapat dalam ajaran agama yang

bersangkutan.

[1]

John M. Echols, Kamus Inggris Indonesia, (Jakarta: Gramedia, 1979) h.

586.
Harun Nasution, Teologi Islam Aliran-aliran Sejarah Analisa
Perbandingan, (Jakarta: UI Press, 1972), h. iv.
[3]
Lihat, Harun Nasution, Teologi Islam (Ilmu Kalam), (Jakarta: UI Press,
1978), h. 32.
[4]
John M. Echols, Kamus Inggris Indonesia, h. 396.
[5]
Abuddin Nata, Peta Keragaman Pemikiran Islam di Indonesia (Jakarta: PT
RajaGrafindo, 2001), h. 28.
[6]
Objek penelitian normatif Islami di sini adalah asas-asas, doktrin, konsep,
sistematika dan substansi hukum Islam yang bersumber pada al-Qur’an dan

Sunnah Rasul, baik menurut aliran klasik maupun kontemporer. Lihat. M. Tahir
Azhari, “Penelitian Agama Islam: Tinjauan Disiplin Ilmu Hukum,” Tradisi Baru
Penelitian Agama Islam Tinjauan Antar Disiplin Ilmu, (Bandung: Pusjarlit, 1998),
h. 138.
[2]