Seputar Masalah dan Kinerja Program Peng (1)
Seputar Masalah dan Kapasitas Pengembangan Masyarakat dan Desa1
Oleh:
R. Yando Zakaria2
Pengantar
Kebijakan tentang Desa yang baru, yakni Undang-Unang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa
telah diberlakukan. Satu simpul penting dari kebaruan kebijakan tentang desa ini jika
dibandingkan dengan kebijakan-kebijakan sebelumnya adalah bahwa desa tidaklah sekedar
pemerintahan desa, namun desa sebagai suatu kesatuan sosial-budaya, ekonomi, dan juga politik
dan hukum. Maka, kebijakan dan regulasi tentang desa ke depan harus lebih dari sekedar
‘pemerintahan desa’ itu. Kebijakan dimaksud haruslah mengarah pada realisasi pengakuan atas
hak asal-usul yang melihat desa baik sebagai persekutuan sosial dan budaya; desa sebagai
persekutuan hukum, politik, dan pemerintahan; dan desa sebagai persekutuan ekonomi (sebagai
ekspresi dari penguasaan desa atas sumber-sumber kehidupan yang menjadi ulayatnya.
Dengan simpul pemikiran yang demikian itu kita ingin merevitalisasi desa sebagai
‘modal sosial’ dalam menyongsong masa depan yang (bakal) tidak mudah itu. Baik karena
faktor-faktor lokal, nasional, dan global. Selain itu, kebijakan baru dimaksud dimaksudkan juga
untuk mengkonsolidasi kembali sistem tenurial ‘yang kadung amburadul’ dan ‘menyingkarkan
hak-hak masyarakat adat’ melalui pengakuan hak-hak asali desa sebagai dasar bagi ‘pembaruan
desa’ cq. ‘reforma agraria’, sebagaimana telah diamanatkan dalam TAP MPR IX/2001.
Undang-Undang tentang Desa yang baru saja ditetapkan ini adalah undang-undang pertama
pasca-pencabutan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa yang
diamanatkan oleh reformasi. Sebelumnya, melalui pemberlakukan Undang-Undang Nomor 22
1
Tulisan ini dimungkinkan oleh keterlibatan penulis sebagai Short Term Consultant pada PNPM Support Facility
dalam periode tahun 2013.
2
Praktisi antropologi. Pemerhati desa dan masyarakat (hukum) adat. Pengajar tamu pada Jurusan Ilmu Politik dan
Ilmu Pemerintahan, FISIPOL UGM; dan Fellow pada Lingkar pembaran Desa dan Agraria (KARSA), Yogyakarta.
Mantan Tenaga Ahli Pansus RUU Desa DPR RI. Bahan ini dipersiapkan dalam rangka advokasi pengakuan dan
perlindungan hak‐hak masyaakat (hukum) adat di Indonesia.
Tahun 1999 yang kemudian digantikan oleh Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah, desa hanya diatur oleh peraturan-perundangan setingkat Peraturan
Pemerintah.
Setidaknya ada 5 (lima) perubahan pokok yang dikandung dalam UU Desa yang baru.
Kelima perubahan pokok itu tentu saja diharapkan mampu memperbaiki kualitas kehidupan
warga negara yang tinggal di desa-desa Indonesia. Perubahan-perubahan pokok dimaksud
adalah, melalui UU Desa yang baru inilah untuk pertama kalinya desa-desa yang ada di Negeri
ini akan diatur melalui sistem pengaturan yang beragam. UU Desa yang baru memperkenakan
dua jenis desa dan desa adat. Jika desa terbentuk berdasarkan ukuran-ukuran demografis dan
adminsitratif, desa adat terbentuk karena desa adat itu memang memiliki sejarah dan hak asalusulnya.3
Lima%Perubahan%Mendasar:%
Kri2k%yang%adil%adalah%kri2k%yang%melihat%perubahan%secara%
holis2k.%Tidak%parsial!%
Jenis%Desa%yang%
beragam%
(BAB%II%,%III%&%XIII)%
Demokra2sasi%Desa%
!%pemberdayaan%&%
Pendampingan%(BAB%
V,%VI,%XII,%XIII)%
Perencanaan%yang%
terintegrasi:%
Desa%membangun;%
membangun%desa%
(BAB%IX,%X,%XI)%
Kewenangan%
berdasarkan%prinsip%
rekognisi%dan%
subsidiaritas%
(BAB%IV,%V,%VII,%&%XIII)%
Konsolidasi%
Keuangan%dan%Aset%
Desa%
(BAB%VIII,%X,%&%XI)%
11%
3
Ulasan lebih jauh tentang kelima perubahan yang dibawa oleh Undang‐undang Desa yang baru ini silahkan lihat
R. Yando Zakaria, 2014. “Menimbanng‐nimbang Kemslahatan Undang‐Undang Desa”. Semula Bahan Bacaan ini
dipersiapkan untuk kegiatan sosialisasi pasca penetapan UU Desa. Untuk pertama kalinya disampaikan pada
kegiatan yang diselenggarakan oleh Perkumpulan QBar (Padang), Perkumpulan HUMA (Jakarta) dan Fakultas
Hukum Universitas Andalas, Padang. Di Padang, tanggal 7 Januari 2014. Silahkan taut ke
https://www.academia.edu/5596371/Menimbang‐nimbang_Kemaslahatan_Undang‐Undang_Desa_2013
Seiring dengan perubahan yang relatif mendasar itu, pertanyaan yang mengemuka adalah
apakah
para
pemangku
siap
menghadapi
tantangan‐tantangan
dalam
pengimplemenrasiannya di masa depan? Apakah para pemangku kepentingan, utamanya
Pemerintah, siap mengemban tugasnya agar kebijakan baru ini sampai pada tujuan yang
ingin disasarnya?
Terkait dengan pertanyaan‐pertanyaan itu, tulisan ini memberikan gambaran umum
bagaimana kapasitas terpasang dan kinerja program pengembangan kapasitas masyarakat
dan desa. Khususnya yang diselenggarakan oleh balai‐balai pengembangan masyarakat dan
desa yang diselenggarakan oleh Kementerian Dalam Negeri.
Masalah Desa dan Perdesaan
Dalam Buku II, Bab IX, Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun
2010 ‐ 2014, khususnya pada Butir 9.2.1.5 dikatakan bahwa “Pembangunan perdesaan
menghadapi masalah‐masalah, antara lain:
•
belum optimalnya kebijakan dan program‐program dari berbagai sektor yang
berpengaruh baik langsung maupun tidak langsung terhadap kehidupan
masyarakat perdesaan;
•
belum optimalnya koordinasi antar pemerintah desa dan kabupaten/kota serta
berkembangnya mekanisme koordinasi dengan berbagai pemangku kepentingan
termasuk K/L dalam pembangunan perdesaan; serta
•
masih belum optimalnya keberpihakan dari kepemimpinan lokal dan kelembagaan
pemerintahan baik di pusat maupun di daerah dalam pembangunan perdesaan”
(Hal. II. 9 – 58).
Persoalan‐persoalan itu, secara lebih rinci,
menyangkut
belum
kelembagaan;
sumberdaya
optimalnya
rendahnya
manusia
peran
kapasitas
dan
masyarakat
perdesaan; terbatasnya alternatif lapangan
kerja yang berkualitas; rendahnya akses
pada permodalan; rendahnya ketersediaan
dan akses pada sarana dan pra‐sarana;
rendahnya
tingkat
ketahanan
pangan;
meningkatnya degradasi sumberdaya alam
dan
lingkungan
optimalnya
hidup;
dan
perlindungan
belum
Problem Statement:
Masalah Desa & Perdesaan (RPJM Pusat 2009 ‐ 2014)
• Belum optimalnya peran kelembagaan
– Lemahnya kemandirian Desa
– Lemahnya perencanaan pembangunan Desa
– Lemahnya kapasitas Pemerintahan Desa, Lembaga‐
lembaga desa, dan lembaga‐lembaga kemasyarakat.
– Lemahnya kapasitas Pemerintah Daerah dalam
mengatur dan mengurus desa
• Rendahnya kapasitas sumberdaya manusia dan
masarakat perdesaan
– Rendahnya kualitas sumber daya manusia ditandai
oleh tingkat pendidikan, dan
– Penduduk desa yang memiliki tingkat pendidikan yang
relatif baik banyak bermigrasi terutama ke daerah
perkotaan.
• Terbatasnya alternatif lapangan kerja yang
berkualitas
– Lebih dari separuh desa atau 39.913 desa (Podes
2008) yang sebagian masyarakatnya bekerja ke luar
negeri (TKI).
• Rendahnya akses pada permodalan
– Posisikredit usaha kecil hanya mencapai 13,13% dari
total kredit;
– potensikolateral yang dimiliki rumah tangga
perdesaan jugarendah.
kepada
• Rendahnya ketersediaan dan akses pada sarana dan
prasarana
Terbatasanya sarana pelayanan sosial
Terbatasnya saranakomunikais dan informasi
Terbatasnya saranatransportasi
Terbatasnya pelayanan energi dan kelistrikan
Belum memadainya kuallitas lingkungan hunian serta
sarana‐prasarana pemukiman
– Belum memadainya kualitas dan kuantitas penataan
ruang
–
–
–
–
–
• Rendahnya tingkat ketahanan pangan
– Penyusutan kepemilikan lahan oleh petani gurem
(kepemilikan lahan kurang atau sama dengan 0,5
hektar) semakin meningkat.
• Meningkatnya degradasi SDA dan Lingkungan Hidup
– Padatahun 2008, bencana yang paling sering terjadi di
perdesaan adalah banjir (15.143 desa atau 22,52
persen dari total jumlah desa), longsor (19 persen) dan
paling sedikit adalah gempa bumi disertai tsunami (54
desaatau 0.08 persen dari jumlah desa). Pencemaran
yang sering terjadi di perdesaan adalah pencemaran
air (7.654 desa), udara (33 persen), suara (21 persen)
danpaling sedikit terjadi adalah pencemaran tanah
(1.110 desa)
• Belum optimalnya perlindungan kepada
masyarakat, masyarakat adat, dan tenaga kerja yang
bekerja di luar negeri
masyarakat, masyarakat hukum adat, dan
tenaga kerja yang bekerja di luar negeri.
Pendalaman (Tingkat Sistem, Tingkat Nasional):
Gambaran Umum Rencana Tindak Pengembangan Kapasitas
Untuk mengatasi permasalah dimaksud,
Program/Kegiatan Prioritas Sasaran (antara lain)
PROGRAM PEMBERDAYAAN
MASYARAKAT DAN
PEMERINTAHAN
DESA
Peningkatan Kapasitas
Penyelenggaraan
Pemerintahan Desa dan
Kelurahan
dalam dokumen rencana tindakan yang
menjadi bagian integral dari dokumen
Perkiraan kebutuhan
anggaran Thn 2010 – 2014
(Rp. Milyar)
RPJMN 2010 – 2014 itu ditetapkan pula
sejumlah
Mengembangkan manajemen
pemerintahan desa yang
efektif, dengan tetap mengakui
dan menghormati kesatuan
masyarakat hukum adat
beserta hak‐hak tradisionalnya
sepanjang masih hidup dan
sesuai perkembangan
masyarakat.
134,5
Peningkatan Keberdayaan
Masyarakat Dan
Desa Lingkup Regional
Meningkatkan kapasitas
Aparat dan Masyarakat dalam
pelaksanaan pembangunan
desa.
311,3
Peningkatan Kapasitas
Kelembagaan Dan
Pelatihan Masyarakat
Pelayanan pengembangan
kelembagaan dan pelatihan
masyarakat sesuai standar.
311,3
Yakni,
program/kegiatan
peningkatan
prioritas.
kapasitas
penyelenggaraan Pemerintahan Desa dan
Kelurahan; peningkatan keberdayaan
masyarakat dan desa lingkup regional; dan
peningkatan kapasitas kelembagaan dan
pelatihan masyarakat, dengan rumusan
sasaran dan indikasi biaya yang dibutuhkan
sebagaimana dapat dilihat pada tabel yang
bersangkutan.
Menurut peraturan perundangan‐undangan
terkait, yakni Peraturan Pemerintah Nomor
38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan
Pemerintahan
antara
Pemerintahan
Daerah
Pemerintahan
Daerah
Pemerintah,
Provinsi,
dan
Kabupaten/Kota,
kegiatan‐kegiatan yang berkaitan dengan
pemberdayaan masyarakat dan desa ini
dirumuskan sebagai bagian dari Urusan
Pemerintahan yang harus dilaksanakan baik
oleh Pemerintah (Pusat), maupun oleh
Pemerintah
Daerah
Provinsi
dan
PembagianUrusan PemerintahanBidang PemberdayaanMasyarakat dan Desa
menurutPeraturan PemerintahNomor 37 Tahun 2007 Tentang Pembagian Urusan
PemerintahanantaraPemerintah, PemerintahanDaerah Provinsi, dan Pemerintahan
Daerah Kabupaten/Kota
1. Sub Bidang Pemerintahan Desa dan
Kelurahan
1. Pengembangan Kapasitas Pemerintah Desa dan
Kelurahan Pusat? Propinsi? Kabupaten/Kota?
2. Sub Bidang Penguatan Kelembagaan dan
PengembanganPartisipasi Masyarakat
1. Penguatan Kelembagaan
2. Masyarakat Pelatihan Masyarakat
3. Pengembangan Manajemen Pembangunan
Partisipatif
4. Peningkatan Peran Masyarakat dalam Penataan
dan Pendayagunaan Ruang Kawasan Perdesaan
3. Sub Bidang Pemberdayaan Adat dan
PengembanganKehidupan Sosial Budaya
Masyarakat
1. Pemberdayaan Adat Istiadat dan Budaya
Nusantara
2. Pemberdayaan Perempuan
3. Pemberdayaan dan Kesejahteraan
Keluarga (PKK) Peningkatan Kesejahteraan
Sosial
4. Sub Bidang Pemberdayaan Usaha Ekonomi
Masyarakat
1. Pemberdayaan Ekonomi Penduduk Miskin
2. Pengembangan Usaha Ekonomi Keluarga
dan Kelompok Masyarakat
3. Pengembangan Lembaga Keuangan Mikro
Perdesaan
4. Pengembangan Lembaga Keuangan Mikro
Perdesaan
5. Pengembangan Pertanian Pangan dan
Peningkatan Ketahanan Pangan Masyarakat
5. Sub Bidang Pemberdayaan Masyarakat dalam
PengelolaanSumber Daya Alam dan Teknologi
Tepat Guna
1. Fasilitasi Konservasi dan Rehabilitasi
Lingkungan
2. Fasilitasi Pemanfataan Lahan dan Pesisir
Pedesaan
3. Pemasyarakatan dan Kerjasama Teknologi
Pedesaan
Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota.
Urusan Pemerintahan Bidang Pemberdayaan Masyarakat dan Desa ini, sebagaimana dapat
dilihat pada Tabel terkait, kemudian terbagi‐bagi lagi ke dalam sejumlah urusan Su Bidang
dan Sub‐sub Bidang.
Kapasitas Terpasang Pemberdayaan Masyarakat dan Desa
Dalam rangka pelaksanaan urusan pemerintahan Bidang Pemberdayaan Masyarakat dan
Desa itu Pemerintah melalui Peraturan Menteri Nomor 41 Tahun 2010 tentang Organisasi
dan Tata Kerja Kementerian Dalam Negeri, telah pula membentuk Direktorat Jenderal
Pemberdayaan Masyarakat dan Desa yang ditugaskan untuk ‘merumuskan serta
melaksanakan kebijakan dan standarisasi teknis bidang pemberdayaan masyarakat dan
desa’ (Pasal 669). Tugas dimaksud mencakup pelaksanaan fungsi‐fungsi (a) perumusan
kebijakan di bidang pemberdayaan masyarakat dan desa; (b) pelaksanaan kebijakan di
bidang di bidang pemberdayaan masyarakat dan desa; (c) penyusunan norma, standar,
prosedur, dan kriteria di bidang pemberdayaan masyarakat dan desa; (d) pemberian
bimbingan teknis dan evaluasi di bidang pemberdayaan masyarakat dan desa; dan (e)
pelaksanaan administrasi Direktorat Jenderal Pemberdayaan Masyarakat dan Desa (Pasal
670).
Untuk melaksanakan tugas dan fungsi‐
fungsi dimaksud, pada Direktorat Jenderal
Tata Kelembagaan Direktorat Jenderal Pemberdayaan
Masyarakat dan Desa dan Pelaksanaan Urusan Pemerintahan
Bidang Pemberdayaan Masyarakat dan Desa
Pemmberdayaan Masyarakat dan Desa
No. Direktorat (Berdasarkan
Permendagri 41/2010)
dibentuk 5 (lima) Direktorat, yang masing‐
Bidang Pengembangan Kapasitas
Masyarakat dan Desa (Berdasarkan PP
38/2007)
1.
Direktorat Pemerintahan Desa dan
Kelurahan;
Sub Bidang Pemerintahan Desa dan
Kelurahan
masing bertanggungjawab melaksanakan
2.
Direktorat Kelembagaan dan
Pelatihan Masyarakat;
Sub Bidang Penguatan Kelembagaan dan
Pengembangan Partisipasi Masyarakat
tugas dan fungsi pada Sub‐Bidang tertentu,
3.
Direktorat Pemberdayaan Adat dan
Sosial Budaya Masyarakat;
Sub Bidang Pemberdayaan Adat dan
Pengembangan Kehidupan Sosial Budaya
Masyarakat
sebagaimana yang dapat dilihat apda Tabel
4.
Direktorat Usaha Ekonomi
Masyarakat; dan
Sub Bidang Pemberdayaan Usaha
Ekonomi Masyarakat
terkait.
5.
Direktorat Sumber Daya Alam dan
Teknologi Tepat Guna Perdesaan.
Sub Bidang Pemberdayaan Masyarakat
dalam Pengelolaan Sumber Daya Alam
dan Teknologi Tepat Guna
Pembagian tugas dan fungsi antara instansi Pusat, Propinsi, dan Kabupaten/Kota dalam
upaya pemberdayaan masyarakat dan desa pun kemudian diatur sedemikian rupa.
Sebagaimana yang dapat dipelajari dari Lampiran Peraturan Pememrintah Nomor 38
Tahun 2007, khususnya pada Halaman 579 hingga Halaman 600, jika instansi Pemerintah
(Pusat) lebih berperan pada penyusunan pedoman, koordinasi dan pembinaan, serta
monitoring dan evaluasi pada skala Nasional, demikian pula peran instnasi Pemerintah
Daerah Provinsi untuk skala Provinsi, instansi pada tingkat Kabupaten/Kota lebih
berperan pada aspek pelaksanaan di tingkat lapangan.
Meski begitu, hasil kajian yang dilakukan untuk mencermati kinerja program‐program
pengembangan
kapasitas
desa
ini
menujukkan
perkembangan
yang
belum
menggembirakan. Misalnya, dalam rangka melaksanakan kegiatan‐kegiatan pengembangan
kapasitas untuk pemberdayaan masyarakat dan desa, sejak pertengahan tahun 1960‐an
lalu, ketika itu Departemen Dalam Negeri, membentuk apa yang kini dikenal sebagai Balai
Pemberdayaan Masyarakat dan Desa, yang saat ini berada di 3 lokasi, yakni Lampung,
Yogyakarta, dan Malang.4
4 Alison Atwell, “Review of PMD Training Centers for The Ministry of Home Affair, Indonesia”. International
Projecs Groups – University of the Sunshine Coast, Queensland, Australia, 2011.
Dari ketiga unit balai ini, Balai Besar Pemberdayaan Masyarakat dan Desa yang terletak di
Malang adalah lembaga yang tertua dan relative lebih besar dari unit yang berada di
Lampung dan Yogyakarta. Pertama kali didirikan berdasarkan Surat Keputusan Menteri
Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 1965.5
Adapun pengguna jasa Balai ini adalah
TUGAS POKOK DAN FUNGSI BALAI BESAR PMD MALANG
(Pasal 2, PERMENDAGRI NO.21/2006)
pengguna langsung, dalam hal ini adalah
• MELAKSANAKAN KEGIATAN PELATIHAN
BAGI MASYARAKAT, MELIPUTI :
para Kepala Desa, Aparat Desa, dan juga
1. KADER PEMBANGUNAN,
2. PERANGKAT PEMERINTAHAN,
3. ANGGOTA BADAN PERMUSYAWARATAN
DESA,
4. PENGURUS LEMBAGA MASYARAKAT, DAN
5. PARA WARGA MASYARAKAT DESA DAN
KELURAHAN.
unsur‐unsur yang terkait dengan kegiatan
Pemerintahan Lainnya, seperti LKMD,
LPMD, bahkan hingga Kepala Dusun dan
Ketua
RW/Ketua
RT,
dan
warga
masyarakat sekalipun.
Materi yang diberikan adalah materi‐materi yang berhubungan langsung dengan
penyelenggaraan tugas masing‐masing pihak yang terkait dengan penyelenggaraan
Pemerintahan Desa itu. Setidaknya, ada 17 macam modul yang digunakan dalam program
pembekalan yang dilaksanakan oleh Balai Besar ini.
5 Hingga saat ini keberadaan Balai ini telah mengalami berbagai perubahan dan penyesuaian sebagaimana
yang diatur dalam 4 Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri lainnnya. Pada tahun 1968, melalui Kepmendagri
Nomor 25 Tahun 1968 Tanggal 9 April 1968 balai ini disempurnakan menjadi Balai Litbang Bangdes. PAda
tahun 1987, melalui Kepmendagri Nomor 14 Tahun 1987 berubah menjadi Balai Pengkaderan Pembangunan
Desa. Pada tahun 2000, setelah masa reformasi, melalui Kepmendagri Nomor 12 Tahun 2000 berubah lagi
menjadi Balai Pemberdayaan Masyarakat Desa, sebelum menjadi Balai Besar Pemberdayaan Masyarakat dan
Desa Malang melalui Permendagri Nomor 21 Tahun 2006 (Departemen Dalam Negeri, Direktorat Jenderal
Pemberdayaan Masyarakat dan Desa, Balai Besar Pemberdayaan Masyarakat dan Desa Malang, “Selayang
Pandang Balai Besar Pemberdayaan Masyarakat dan Desa Malang”. Bahan yang dipresentasikan pada Focus
Group Disscussion antara pimpinan dan konsultan PNPM Support Fasility (PSF) – Bank Dunia, Kanotr Jakarta
dengan Pimpinan dan Pangajar/Fasilitator Balai Besar Pemberdayaan Masyarakat dan Desa, Malang, di
Malang, 25 Juli 2013.
Wilayah
layanan
yang
menjadi
tanggungjawab Balai Besar PMD di
Malang ini amatlah luas. Mencakup 14
wilayah Propinsi, 497 kota, dan 399
Kabupaten (Data lebih rinci dapat di
lihat pada Tabel terkait). Sebagaimana
yang akan diulas lebih rinci dalam
bagian berikut, jika dikaitkan dengan
tugas utamanya yang langsung melayani
upaya pengembangan kapasitas pada
DATABASE 14 PROVINSI WILAYAH KERJA
BALAI BESAR PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DAN DESA MALANG
NAMA
PROV.
NO.
JML
KAB/KOTA
JML
KAB.
JML
KOTA
JML
KEC.
JML
DESA/KEL
1.
JATIM
38
29
9
660
8.513
2.
BALI
9
8
1
57
710
3.
NTB
10
8
2
116
904
4.
NTT
21
20
1
284
2.845
5.
SULUT
15
11
4
149
1.464
6.
SULTENG
11
10
1
147
1.664
7.
SULSEL
24
21
3
303
2.936
8.
SULTRA
12
10
2
185
1.942
9.
GORONTALO
6
5
1
65
562
10.
SULBAR
5
5
0
65
532
11.
MALUKU
11
9
2
72
901
12.
MALUKU UTARA
9
7
2
110
1.002
13.
PAPUA
29
28
1
344
3.575
14.
PAPUA BARAT
11
10
1
127
1.286
497
399
98
6.487
28.836
JUMLAH
7
tingkat pengguna langsung, luas wilayah layanan, jumlah staf dan dana operasional yang
dialokasikan setiap tahunnya, kinerja Balai Besar menjadi persoalan yang perlu dikaji
secara lebih serius.
Pada tahun anggaran 2013/2014 Balai
RENCANA KEGIATAN
PELATIHAN TA. 2013
Besar PMD Malang menerima anggaran
sekitar Rp. 11 Milyar. Dengan anggaran
PEMDES/KEL
KELEMBAGAAN
MASYARAKAT
sebesar itu Balai Besar PMD Malang ‘hanya’
mampu menyelenggarakan 105 Angkatan
a. Jenis
: 16
b. Angkatan : 47
b. Angkatan
: 58
c. Peserta
c. Jumlah Peserta : 1.740 org
a. Jenis
: 15
: 1.410 org
Pelatihan, yang melibatkan 3.150 orang
peserta.
105 Angkatan
Jumlah peserta : 3.150 orang
16
Jika dikaitkan dengan jumlah ketrampilan yang dibutuhkan (17 jenis ketrampilan) serta
jumlah desa (28.836) x jumlah Kepala Desa dan Aparat Desa (rata 7 orang/desa), maka
dengan segera kita menemukan keterbatasan layanan Balai Besar PMD Malang ini. Belum
lagi jika dikaitkan pada kebutuhan pengembangan kapasitas pada sisi kelembagaan
masyarakat. Keterbatasan ini menjadi berlipat‐lipat.
Kemampuan layanan Balai Besar PMD Malang juga terkait dengan ketersediaan tenaga
pengajar cq. Fasilitator di lembaga itu. Jumlah tenaga yang sedikit dan jumlah pelatihan
yang banyak dengan mudah menjebak para pengajar/fasilitator ke dalam kejenuhan.
“Bahkan sakit saja tidak boleh di sini,” keluh seorang faslitator dalam suatu kesempatan.6
Hal ini tentu tidak sehat bagi pengembangan iklim ajar‐mengajar yang menuntut
kesegaran, agar inovasi‐inovasi dalam proses ajar‐mengajar dapat terjadi. Dalam
keterbatasan yang ada, pemerataan layan juga harus dilakukan. Dengan situasi yang
demikian, maka bukan tidak mungkin sebuah Kabupaten baru akan mendapat jatah
layanan lagi dalam rentang 10 – 15 tahun kemudian.7
Belum sesuai kebutuhan
Jika dicermati, apa yang diperankan oleh Balai Besar Pemberdayaan Masyarakat dan Desa
Malang ini, sepertinya belum sesuai dengan pembagian peran sebagaimana yang telah
digariskan dalam Peraturan Pememrintah Nomor 38 Tahun 2007 sebagaimana telah
dijelaskan di atas.
Pengamatan pada penguatan kapasitas pada Tingkat Individual, utamanya terkait denga
keberadaan modul‐modul yang digunakan pengembangan kapasitas pada tingkat individu
juga menunjukkan perkembangan yang belum menggembirakan. Berdasarkan pada hasil
kajian terhadap sumber‐sumber sekunder dan kajian lapangan, Djohani dan Prajoko
(2013),8 antara lain, berkesimpulan bahwa bagi aparat pemerintahan desa program
pengembangan kapasitas yang mereka terima umumnya bersifat bimbingan teknis.
Pelatihan‐pelatihan yang lebih luas dari sekedar bimbingan teknis relatif jarang dilakukan
oleh Pemerintah (Pusat dan Daerah). Yang menarik, boleh jadi terkait dengan keterbatasan
Pemerintah dalam menyelenggarakan kegiatan pengembangan kapasitas sebagaimana
telah dibahas di atas, pihak non‐pemerintah pun kadang harus menyelengaarakan
6 Focus Group Disscussion antara pimpinan dan konsultan PNPM Support Fasility (PSF) – Bank Dunia, Kanotr
Jakarta dengan Pimpinan dan Pangajar/Fasilitator Balai Besar Pemberdayaan Masyarakat dan Desa, Malang,
di Malang, 25 Juli 2013.
7 Dalam laporannya, hitung‐hitungan Dr. Alison Atwell (2011) lebih ekstrim lagi. Atwell menulis “…
according to the current rate of training, the state of facilities and the number of available trainers it would
require 687 years to train the 2.6 million nominated village and municipal stakeholders”. Semua ‘mission
imposible’!!!
8 Rianingsih Djohani dan Ludiro Pradjoko (2013), “Pelatihan dan Penguatan Kapasitas Desa”. Hasil penelitian
yang disponsori oleh PNPM Support Fasility – Bank Dunia Kantor Jakarta yang dipresentasikan pada
Lokakarya Pengembangan Program Penguatan Kapasitas Desa. Diselenggarakan oleh PNPM Support Fasility
– Bank Dunia Kantor Jakarta , di Jakarta, 25 Juni 2013.
pelatihan sejenis (Kasus ‘Program Pelatihan Aparatur Desa’, YAO, NTT). Akibatnya,
sumberdaya untuk melakukan kegiatan pengembangan kapasitas yang memampukan
masyarakat desa sebagai pelaku utama pembangunan desa menjadi makin terbatas.
Kegiatan‐kegiatan pelatihan yang ditujukan untuk membangun dan menguatkan kesadaran
kritis, serta meningkatkan posisi dan daya tawar masyarakat dan/atau desa dalam
pengelolaan pembangunan, sebagaimana pesan pokok yang ada dalam Panduan CLAPP
(Mitra Samya & ACCESS) misalnya hampir tidak pernah dilakukan oleh Pemerintah
(sampai pada kadar tertentu mulai dilakukan PNPM Integrasi), kecuali oleh beberapa
organisasi masyarakat sipil yang didukung oleh beberapa lembaga donor.
Oleh sebab itu, meminjam kerangka analisis yang dikembangkan oleh GTZ ‐ SfDM, Support
for Decentralization Measures (2005),9 pembagian peran antar‐instansi pemerintah dari
segala tingkatan dan keterhubungan antara program‐program penguatan kapasitas pada
Tingkat Sistem, Tingkat Unit, dan Tingkat Individual terkait dengan upaya‐upaya
pengembangan kapasitas untuk pemberdayaan masyarakat dan desa perlu ditinjau dan
ditata‐ulang (redesign).
Kebutuhan ke Depan
Dengan urian ringkas di atas maka
dapatlah dikatakan bahwa menyusun
ulang
grand
design
cq.
strategi
Tiga Tingkat Kapasitas
3 tingkat PK
Terkait dengan upaya pengembangan kerangka hukum dan
kebijakan baru atau perubahan hukum/kebijakan yang ada,
yang memungkinkan berbagai pihak menjalankan perannya
dalam upaya‐upaya pengembangan kapasitas desa
Tingkat Unit
Serangkaian upaya untuk memperluasan struktur manajemen,
proses dan prosedur kerja. Tidak hanya dalam organisasi
tertentu, namun juga pengelolaan hubungan antara organisasi
yang berbeda dan sektor (publik, swasta dan masyarakat) yang
berkepentingan dengan upaya pengembangan kapasitas desa
Tingkat Individual
Serangkaian proses untuk melengkapi individu dengan
serangkaian pengetahuan, keterampilan dan sikap, termasuk
akses terhadap informasi, yang memungkinkan mereka untuk
bekerja efektif.
pengembangan kapasitas kelembagaan
pemerintahan desa dan kelembagaan
masyarakat desa demi meningkatnya
kinerja
pemerintahan
desa
dan
Deskripsi
Tingkat Sistem
kelembagaan masyarakat ke taraf yang
lebih baik di masa‐masa mendatang
9 Lihat GTZ‐ SfDM, Support for Decentralization Measures/ Proyek Pendukung Pemantapan Penataan
Desentralisasi/P4D. Guidelines on Capacity Building in the Regions. Module C: Supplementary Information and
References. SfDM Report 2005‐4 (2005). Kerjasama GTZ dan Departemen Dalam Negeri Republik Indonesia.
menjadi suat keniscayaan.
Dalam grand design yang baru itu, antara lain, perlu dipikirkan ulang apa peran strategis
yang seharusnya diperankan oleh instnasi‐instnasi semacam balai pemberdayaan
masyarakt dan desa yang berada di bawah naungan Kementerian Dalam Negeri itu. Apakah
benar melayani langsung kebutuhan para pengguna akhir atau Balai ini seharusnya lebih
berperan dalam merancang dan mengevaluasi kurikulum, serta melakukan serangkain ToT
pada tingkatan tertentu saja.
Demikian pula dengan pembagian peran yang harus dilakukan oleh instnasi Pemerintah di
tingkat Provinsi dan Kabupaten, serta komponen masyarakat sipil lainnya. Tidaklah
berlebih jika semua peran para‐pihak itu sebaiknya terpetakan ke dalam sebuah peta jalan
yang menjadi pedoman bersama.***
Oleh:
R. Yando Zakaria2
Pengantar
Kebijakan tentang Desa yang baru, yakni Undang-Unang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa
telah diberlakukan. Satu simpul penting dari kebaruan kebijakan tentang desa ini jika
dibandingkan dengan kebijakan-kebijakan sebelumnya adalah bahwa desa tidaklah sekedar
pemerintahan desa, namun desa sebagai suatu kesatuan sosial-budaya, ekonomi, dan juga politik
dan hukum. Maka, kebijakan dan regulasi tentang desa ke depan harus lebih dari sekedar
‘pemerintahan desa’ itu. Kebijakan dimaksud haruslah mengarah pada realisasi pengakuan atas
hak asal-usul yang melihat desa baik sebagai persekutuan sosial dan budaya; desa sebagai
persekutuan hukum, politik, dan pemerintahan; dan desa sebagai persekutuan ekonomi (sebagai
ekspresi dari penguasaan desa atas sumber-sumber kehidupan yang menjadi ulayatnya.
Dengan simpul pemikiran yang demikian itu kita ingin merevitalisasi desa sebagai
‘modal sosial’ dalam menyongsong masa depan yang (bakal) tidak mudah itu. Baik karena
faktor-faktor lokal, nasional, dan global. Selain itu, kebijakan baru dimaksud dimaksudkan juga
untuk mengkonsolidasi kembali sistem tenurial ‘yang kadung amburadul’ dan ‘menyingkarkan
hak-hak masyarakat adat’ melalui pengakuan hak-hak asali desa sebagai dasar bagi ‘pembaruan
desa’ cq. ‘reforma agraria’, sebagaimana telah diamanatkan dalam TAP MPR IX/2001.
Undang-Undang tentang Desa yang baru saja ditetapkan ini adalah undang-undang pertama
pasca-pencabutan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa yang
diamanatkan oleh reformasi. Sebelumnya, melalui pemberlakukan Undang-Undang Nomor 22
1
Tulisan ini dimungkinkan oleh keterlibatan penulis sebagai Short Term Consultant pada PNPM Support Facility
dalam periode tahun 2013.
2
Praktisi antropologi. Pemerhati desa dan masyarakat (hukum) adat. Pengajar tamu pada Jurusan Ilmu Politik dan
Ilmu Pemerintahan, FISIPOL UGM; dan Fellow pada Lingkar pembaran Desa dan Agraria (KARSA), Yogyakarta.
Mantan Tenaga Ahli Pansus RUU Desa DPR RI. Bahan ini dipersiapkan dalam rangka advokasi pengakuan dan
perlindungan hak‐hak masyaakat (hukum) adat di Indonesia.
Tahun 1999 yang kemudian digantikan oleh Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah, desa hanya diatur oleh peraturan-perundangan setingkat Peraturan
Pemerintah.
Setidaknya ada 5 (lima) perubahan pokok yang dikandung dalam UU Desa yang baru.
Kelima perubahan pokok itu tentu saja diharapkan mampu memperbaiki kualitas kehidupan
warga negara yang tinggal di desa-desa Indonesia. Perubahan-perubahan pokok dimaksud
adalah, melalui UU Desa yang baru inilah untuk pertama kalinya desa-desa yang ada di Negeri
ini akan diatur melalui sistem pengaturan yang beragam. UU Desa yang baru memperkenakan
dua jenis desa dan desa adat. Jika desa terbentuk berdasarkan ukuran-ukuran demografis dan
adminsitratif, desa adat terbentuk karena desa adat itu memang memiliki sejarah dan hak asalusulnya.3
Lima%Perubahan%Mendasar:%
Kri2k%yang%adil%adalah%kri2k%yang%melihat%perubahan%secara%
holis2k.%Tidak%parsial!%
Jenis%Desa%yang%
beragam%
(BAB%II%,%III%&%XIII)%
Demokra2sasi%Desa%
!%pemberdayaan%&%
Pendampingan%(BAB%
V,%VI,%XII,%XIII)%
Perencanaan%yang%
terintegrasi:%
Desa%membangun;%
membangun%desa%
(BAB%IX,%X,%XI)%
Kewenangan%
berdasarkan%prinsip%
rekognisi%dan%
subsidiaritas%
(BAB%IV,%V,%VII,%&%XIII)%
Konsolidasi%
Keuangan%dan%Aset%
Desa%
(BAB%VIII,%X,%&%XI)%
11%
3
Ulasan lebih jauh tentang kelima perubahan yang dibawa oleh Undang‐undang Desa yang baru ini silahkan lihat
R. Yando Zakaria, 2014. “Menimbanng‐nimbang Kemslahatan Undang‐Undang Desa”. Semula Bahan Bacaan ini
dipersiapkan untuk kegiatan sosialisasi pasca penetapan UU Desa. Untuk pertama kalinya disampaikan pada
kegiatan yang diselenggarakan oleh Perkumpulan QBar (Padang), Perkumpulan HUMA (Jakarta) dan Fakultas
Hukum Universitas Andalas, Padang. Di Padang, tanggal 7 Januari 2014. Silahkan taut ke
https://www.academia.edu/5596371/Menimbang‐nimbang_Kemaslahatan_Undang‐Undang_Desa_2013
Seiring dengan perubahan yang relatif mendasar itu, pertanyaan yang mengemuka adalah
apakah
para
pemangku
siap
menghadapi
tantangan‐tantangan
dalam
pengimplemenrasiannya di masa depan? Apakah para pemangku kepentingan, utamanya
Pemerintah, siap mengemban tugasnya agar kebijakan baru ini sampai pada tujuan yang
ingin disasarnya?
Terkait dengan pertanyaan‐pertanyaan itu, tulisan ini memberikan gambaran umum
bagaimana kapasitas terpasang dan kinerja program pengembangan kapasitas masyarakat
dan desa. Khususnya yang diselenggarakan oleh balai‐balai pengembangan masyarakat dan
desa yang diselenggarakan oleh Kementerian Dalam Negeri.
Masalah Desa dan Perdesaan
Dalam Buku II, Bab IX, Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun
2010 ‐ 2014, khususnya pada Butir 9.2.1.5 dikatakan bahwa “Pembangunan perdesaan
menghadapi masalah‐masalah, antara lain:
•
belum optimalnya kebijakan dan program‐program dari berbagai sektor yang
berpengaruh baik langsung maupun tidak langsung terhadap kehidupan
masyarakat perdesaan;
•
belum optimalnya koordinasi antar pemerintah desa dan kabupaten/kota serta
berkembangnya mekanisme koordinasi dengan berbagai pemangku kepentingan
termasuk K/L dalam pembangunan perdesaan; serta
•
masih belum optimalnya keberpihakan dari kepemimpinan lokal dan kelembagaan
pemerintahan baik di pusat maupun di daerah dalam pembangunan perdesaan”
(Hal. II. 9 – 58).
Persoalan‐persoalan itu, secara lebih rinci,
menyangkut
belum
kelembagaan;
sumberdaya
optimalnya
rendahnya
manusia
peran
kapasitas
dan
masyarakat
perdesaan; terbatasnya alternatif lapangan
kerja yang berkualitas; rendahnya akses
pada permodalan; rendahnya ketersediaan
dan akses pada sarana dan pra‐sarana;
rendahnya
tingkat
ketahanan
pangan;
meningkatnya degradasi sumberdaya alam
dan
lingkungan
optimalnya
hidup;
dan
perlindungan
belum
Problem Statement:
Masalah Desa & Perdesaan (RPJM Pusat 2009 ‐ 2014)
• Belum optimalnya peran kelembagaan
– Lemahnya kemandirian Desa
– Lemahnya perencanaan pembangunan Desa
– Lemahnya kapasitas Pemerintahan Desa, Lembaga‐
lembaga desa, dan lembaga‐lembaga kemasyarakat.
– Lemahnya kapasitas Pemerintah Daerah dalam
mengatur dan mengurus desa
• Rendahnya kapasitas sumberdaya manusia dan
masarakat perdesaan
– Rendahnya kualitas sumber daya manusia ditandai
oleh tingkat pendidikan, dan
– Penduduk desa yang memiliki tingkat pendidikan yang
relatif baik banyak bermigrasi terutama ke daerah
perkotaan.
• Terbatasnya alternatif lapangan kerja yang
berkualitas
– Lebih dari separuh desa atau 39.913 desa (Podes
2008) yang sebagian masyarakatnya bekerja ke luar
negeri (TKI).
• Rendahnya akses pada permodalan
– Posisikredit usaha kecil hanya mencapai 13,13% dari
total kredit;
– potensikolateral yang dimiliki rumah tangga
perdesaan jugarendah.
kepada
• Rendahnya ketersediaan dan akses pada sarana dan
prasarana
Terbatasanya sarana pelayanan sosial
Terbatasnya saranakomunikais dan informasi
Terbatasnya saranatransportasi
Terbatasnya pelayanan energi dan kelistrikan
Belum memadainya kuallitas lingkungan hunian serta
sarana‐prasarana pemukiman
– Belum memadainya kualitas dan kuantitas penataan
ruang
–
–
–
–
–
• Rendahnya tingkat ketahanan pangan
– Penyusutan kepemilikan lahan oleh petani gurem
(kepemilikan lahan kurang atau sama dengan 0,5
hektar) semakin meningkat.
• Meningkatnya degradasi SDA dan Lingkungan Hidup
– Padatahun 2008, bencana yang paling sering terjadi di
perdesaan adalah banjir (15.143 desa atau 22,52
persen dari total jumlah desa), longsor (19 persen) dan
paling sedikit adalah gempa bumi disertai tsunami (54
desaatau 0.08 persen dari jumlah desa). Pencemaran
yang sering terjadi di perdesaan adalah pencemaran
air (7.654 desa), udara (33 persen), suara (21 persen)
danpaling sedikit terjadi adalah pencemaran tanah
(1.110 desa)
• Belum optimalnya perlindungan kepada
masyarakat, masyarakat adat, dan tenaga kerja yang
bekerja di luar negeri
masyarakat, masyarakat hukum adat, dan
tenaga kerja yang bekerja di luar negeri.
Pendalaman (Tingkat Sistem, Tingkat Nasional):
Gambaran Umum Rencana Tindak Pengembangan Kapasitas
Untuk mengatasi permasalah dimaksud,
Program/Kegiatan Prioritas Sasaran (antara lain)
PROGRAM PEMBERDAYAAN
MASYARAKAT DAN
PEMERINTAHAN
DESA
Peningkatan Kapasitas
Penyelenggaraan
Pemerintahan Desa dan
Kelurahan
dalam dokumen rencana tindakan yang
menjadi bagian integral dari dokumen
Perkiraan kebutuhan
anggaran Thn 2010 – 2014
(Rp. Milyar)
RPJMN 2010 – 2014 itu ditetapkan pula
sejumlah
Mengembangkan manajemen
pemerintahan desa yang
efektif, dengan tetap mengakui
dan menghormati kesatuan
masyarakat hukum adat
beserta hak‐hak tradisionalnya
sepanjang masih hidup dan
sesuai perkembangan
masyarakat.
134,5
Peningkatan Keberdayaan
Masyarakat Dan
Desa Lingkup Regional
Meningkatkan kapasitas
Aparat dan Masyarakat dalam
pelaksanaan pembangunan
desa.
311,3
Peningkatan Kapasitas
Kelembagaan Dan
Pelatihan Masyarakat
Pelayanan pengembangan
kelembagaan dan pelatihan
masyarakat sesuai standar.
311,3
Yakni,
program/kegiatan
peningkatan
prioritas.
kapasitas
penyelenggaraan Pemerintahan Desa dan
Kelurahan; peningkatan keberdayaan
masyarakat dan desa lingkup regional; dan
peningkatan kapasitas kelembagaan dan
pelatihan masyarakat, dengan rumusan
sasaran dan indikasi biaya yang dibutuhkan
sebagaimana dapat dilihat pada tabel yang
bersangkutan.
Menurut peraturan perundangan‐undangan
terkait, yakni Peraturan Pemerintah Nomor
38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan
Pemerintahan
antara
Pemerintahan
Daerah
Pemerintahan
Daerah
Pemerintah,
Provinsi,
dan
Kabupaten/Kota,
kegiatan‐kegiatan yang berkaitan dengan
pemberdayaan masyarakat dan desa ini
dirumuskan sebagai bagian dari Urusan
Pemerintahan yang harus dilaksanakan baik
oleh Pemerintah (Pusat), maupun oleh
Pemerintah
Daerah
Provinsi
dan
PembagianUrusan PemerintahanBidang PemberdayaanMasyarakat dan Desa
menurutPeraturan PemerintahNomor 37 Tahun 2007 Tentang Pembagian Urusan
PemerintahanantaraPemerintah, PemerintahanDaerah Provinsi, dan Pemerintahan
Daerah Kabupaten/Kota
1. Sub Bidang Pemerintahan Desa dan
Kelurahan
1. Pengembangan Kapasitas Pemerintah Desa dan
Kelurahan Pusat? Propinsi? Kabupaten/Kota?
2. Sub Bidang Penguatan Kelembagaan dan
PengembanganPartisipasi Masyarakat
1. Penguatan Kelembagaan
2. Masyarakat Pelatihan Masyarakat
3. Pengembangan Manajemen Pembangunan
Partisipatif
4. Peningkatan Peran Masyarakat dalam Penataan
dan Pendayagunaan Ruang Kawasan Perdesaan
3. Sub Bidang Pemberdayaan Adat dan
PengembanganKehidupan Sosial Budaya
Masyarakat
1. Pemberdayaan Adat Istiadat dan Budaya
Nusantara
2. Pemberdayaan Perempuan
3. Pemberdayaan dan Kesejahteraan
Keluarga (PKK) Peningkatan Kesejahteraan
Sosial
4. Sub Bidang Pemberdayaan Usaha Ekonomi
Masyarakat
1. Pemberdayaan Ekonomi Penduduk Miskin
2. Pengembangan Usaha Ekonomi Keluarga
dan Kelompok Masyarakat
3. Pengembangan Lembaga Keuangan Mikro
Perdesaan
4. Pengembangan Lembaga Keuangan Mikro
Perdesaan
5. Pengembangan Pertanian Pangan dan
Peningkatan Ketahanan Pangan Masyarakat
5. Sub Bidang Pemberdayaan Masyarakat dalam
PengelolaanSumber Daya Alam dan Teknologi
Tepat Guna
1. Fasilitasi Konservasi dan Rehabilitasi
Lingkungan
2. Fasilitasi Pemanfataan Lahan dan Pesisir
Pedesaan
3. Pemasyarakatan dan Kerjasama Teknologi
Pedesaan
Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota.
Urusan Pemerintahan Bidang Pemberdayaan Masyarakat dan Desa ini, sebagaimana dapat
dilihat pada Tabel terkait, kemudian terbagi‐bagi lagi ke dalam sejumlah urusan Su Bidang
dan Sub‐sub Bidang.
Kapasitas Terpasang Pemberdayaan Masyarakat dan Desa
Dalam rangka pelaksanaan urusan pemerintahan Bidang Pemberdayaan Masyarakat dan
Desa itu Pemerintah melalui Peraturan Menteri Nomor 41 Tahun 2010 tentang Organisasi
dan Tata Kerja Kementerian Dalam Negeri, telah pula membentuk Direktorat Jenderal
Pemberdayaan Masyarakat dan Desa yang ditugaskan untuk ‘merumuskan serta
melaksanakan kebijakan dan standarisasi teknis bidang pemberdayaan masyarakat dan
desa’ (Pasal 669). Tugas dimaksud mencakup pelaksanaan fungsi‐fungsi (a) perumusan
kebijakan di bidang pemberdayaan masyarakat dan desa; (b) pelaksanaan kebijakan di
bidang di bidang pemberdayaan masyarakat dan desa; (c) penyusunan norma, standar,
prosedur, dan kriteria di bidang pemberdayaan masyarakat dan desa; (d) pemberian
bimbingan teknis dan evaluasi di bidang pemberdayaan masyarakat dan desa; dan (e)
pelaksanaan administrasi Direktorat Jenderal Pemberdayaan Masyarakat dan Desa (Pasal
670).
Untuk melaksanakan tugas dan fungsi‐
fungsi dimaksud, pada Direktorat Jenderal
Tata Kelembagaan Direktorat Jenderal Pemberdayaan
Masyarakat dan Desa dan Pelaksanaan Urusan Pemerintahan
Bidang Pemberdayaan Masyarakat dan Desa
Pemmberdayaan Masyarakat dan Desa
No. Direktorat (Berdasarkan
Permendagri 41/2010)
dibentuk 5 (lima) Direktorat, yang masing‐
Bidang Pengembangan Kapasitas
Masyarakat dan Desa (Berdasarkan PP
38/2007)
1.
Direktorat Pemerintahan Desa dan
Kelurahan;
Sub Bidang Pemerintahan Desa dan
Kelurahan
masing bertanggungjawab melaksanakan
2.
Direktorat Kelembagaan dan
Pelatihan Masyarakat;
Sub Bidang Penguatan Kelembagaan dan
Pengembangan Partisipasi Masyarakat
tugas dan fungsi pada Sub‐Bidang tertentu,
3.
Direktorat Pemberdayaan Adat dan
Sosial Budaya Masyarakat;
Sub Bidang Pemberdayaan Adat dan
Pengembangan Kehidupan Sosial Budaya
Masyarakat
sebagaimana yang dapat dilihat apda Tabel
4.
Direktorat Usaha Ekonomi
Masyarakat; dan
Sub Bidang Pemberdayaan Usaha
Ekonomi Masyarakat
terkait.
5.
Direktorat Sumber Daya Alam dan
Teknologi Tepat Guna Perdesaan.
Sub Bidang Pemberdayaan Masyarakat
dalam Pengelolaan Sumber Daya Alam
dan Teknologi Tepat Guna
Pembagian tugas dan fungsi antara instansi Pusat, Propinsi, dan Kabupaten/Kota dalam
upaya pemberdayaan masyarakat dan desa pun kemudian diatur sedemikian rupa.
Sebagaimana yang dapat dipelajari dari Lampiran Peraturan Pememrintah Nomor 38
Tahun 2007, khususnya pada Halaman 579 hingga Halaman 600, jika instansi Pemerintah
(Pusat) lebih berperan pada penyusunan pedoman, koordinasi dan pembinaan, serta
monitoring dan evaluasi pada skala Nasional, demikian pula peran instnasi Pemerintah
Daerah Provinsi untuk skala Provinsi, instansi pada tingkat Kabupaten/Kota lebih
berperan pada aspek pelaksanaan di tingkat lapangan.
Meski begitu, hasil kajian yang dilakukan untuk mencermati kinerja program‐program
pengembangan
kapasitas
desa
ini
menujukkan
perkembangan
yang
belum
menggembirakan. Misalnya, dalam rangka melaksanakan kegiatan‐kegiatan pengembangan
kapasitas untuk pemberdayaan masyarakat dan desa, sejak pertengahan tahun 1960‐an
lalu, ketika itu Departemen Dalam Negeri, membentuk apa yang kini dikenal sebagai Balai
Pemberdayaan Masyarakat dan Desa, yang saat ini berada di 3 lokasi, yakni Lampung,
Yogyakarta, dan Malang.4
4 Alison Atwell, “Review of PMD Training Centers for The Ministry of Home Affair, Indonesia”. International
Projecs Groups – University of the Sunshine Coast, Queensland, Australia, 2011.
Dari ketiga unit balai ini, Balai Besar Pemberdayaan Masyarakat dan Desa yang terletak di
Malang adalah lembaga yang tertua dan relative lebih besar dari unit yang berada di
Lampung dan Yogyakarta. Pertama kali didirikan berdasarkan Surat Keputusan Menteri
Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 1965.5
Adapun pengguna jasa Balai ini adalah
TUGAS POKOK DAN FUNGSI BALAI BESAR PMD MALANG
(Pasal 2, PERMENDAGRI NO.21/2006)
pengguna langsung, dalam hal ini adalah
• MELAKSANAKAN KEGIATAN PELATIHAN
BAGI MASYARAKAT, MELIPUTI :
para Kepala Desa, Aparat Desa, dan juga
1. KADER PEMBANGUNAN,
2. PERANGKAT PEMERINTAHAN,
3. ANGGOTA BADAN PERMUSYAWARATAN
DESA,
4. PENGURUS LEMBAGA MASYARAKAT, DAN
5. PARA WARGA MASYARAKAT DESA DAN
KELURAHAN.
unsur‐unsur yang terkait dengan kegiatan
Pemerintahan Lainnya, seperti LKMD,
LPMD, bahkan hingga Kepala Dusun dan
Ketua
RW/Ketua
RT,
dan
warga
masyarakat sekalipun.
Materi yang diberikan adalah materi‐materi yang berhubungan langsung dengan
penyelenggaraan tugas masing‐masing pihak yang terkait dengan penyelenggaraan
Pemerintahan Desa itu. Setidaknya, ada 17 macam modul yang digunakan dalam program
pembekalan yang dilaksanakan oleh Balai Besar ini.
5 Hingga saat ini keberadaan Balai ini telah mengalami berbagai perubahan dan penyesuaian sebagaimana
yang diatur dalam 4 Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri lainnnya. Pada tahun 1968, melalui Kepmendagri
Nomor 25 Tahun 1968 Tanggal 9 April 1968 balai ini disempurnakan menjadi Balai Litbang Bangdes. PAda
tahun 1987, melalui Kepmendagri Nomor 14 Tahun 1987 berubah menjadi Balai Pengkaderan Pembangunan
Desa. Pada tahun 2000, setelah masa reformasi, melalui Kepmendagri Nomor 12 Tahun 2000 berubah lagi
menjadi Balai Pemberdayaan Masyarakat Desa, sebelum menjadi Balai Besar Pemberdayaan Masyarakat dan
Desa Malang melalui Permendagri Nomor 21 Tahun 2006 (Departemen Dalam Negeri, Direktorat Jenderal
Pemberdayaan Masyarakat dan Desa, Balai Besar Pemberdayaan Masyarakat dan Desa Malang, “Selayang
Pandang Balai Besar Pemberdayaan Masyarakat dan Desa Malang”. Bahan yang dipresentasikan pada Focus
Group Disscussion antara pimpinan dan konsultan PNPM Support Fasility (PSF) – Bank Dunia, Kanotr Jakarta
dengan Pimpinan dan Pangajar/Fasilitator Balai Besar Pemberdayaan Masyarakat dan Desa, Malang, di
Malang, 25 Juli 2013.
Wilayah
layanan
yang
menjadi
tanggungjawab Balai Besar PMD di
Malang ini amatlah luas. Mencakup 14
wilayah Propinsi, 497 kota, dan 399
Kabupaten (Data lebih rinci dapat di
lihat pada Tabel terkait). Sebagaimana
yang akan diulas lebih rinci dalam
bagian berikut, jika dikaitkan dengan
tugas utamanya yang langsung melayani
upaya pengembangan kapasitas pada
DATABASE 14 PROVINSI WILAYAH KERJA
BALAI BESAR PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DAN DESA MALANG
NAMA
PROV.
NO.
JML
KAB/KOTA
JML
KAB.
JML
KOTA
JML
KEC.
JML
DESA/KEL
1.
JATIM
38
29
9
660
8.513
2.
BALI
9
8
1
57
710
3.
NTB
10
8
2
116
904
4.
NTT
21
20
1
284
2.845
5.
SULUT
15
11
4
149
1.464
6.
SULTENG
11
10
1
147
1.664
7.
SULSEL
24
21
3
303
2.936
8.
SULTRA
12
10
2
185
1.942
9.
GORONTALO
6
5
1
65
562
10.
SULBAR
5
5
0
65
532
11.
MALUKU
11
9
2
72
901
12.
MALUKU UTARA
9
7
2
110
1.002
13.
PAPUA
29
28
1
344
3.575
14.
PAPUA BARAT
11
10
1
127
1.286
497
399
98
6.487
28.836
JUMLAH
7
tingkat pengguna langsung, luas wilayah layanan, jumlah staf dan dana operasional yang
dialokasikan setiap tahunnya, kinerja Balai Besar menjadi persoalan yang perlu dikaji
secara lebih serius.
Pada tahun anggaran 2013/2014 Balai
RENCANA KEGIATAN
PELATIHAN TA. 2013
Besar PMD Malang menerima anggaran
sekitar Rp. 11 Milyar. Dengan anggaran
PEMDES/KEL
KELEMBAGAAN
MASYARAKAT
sebesar itu Balai Besar PMD Malang ‘hanya’
mampu menyelenggarakan 105 Angkatan
a. Jenis
: 16
b. Angkatan : 47
b. Angkatan
: 58
c. Peserta
c. Jumlah Peserta : 1.740 org
a. Jenis
: 15
: 1.410 org
Pelatihan, yang melibatkan 3.150 orang
peserta.
105 Angkatan
Jumlah peserta : 3.150 orang
16
Jika dikaitkan dengan jumlah ketrampilan yang dibutuhkan (17 jenis ketrampilan) serta
jumlah desa (28.836) x jumlah Kepala Desa dan Aparat Desa (rata 7 orang/desa), maka
dengan segera kita menemukan keterbatasan layanan Balai Besar PMD Malang ini. Belum
lagi jika dikaitkan pada kebutuhan pengembangan kapasitas pada sisi kelembagaan
masyarakat. Keterbatasan ini menjadi berlipat‐lipat.
Kemampuan layanan Balai Besar PMD Malang juga terkait dengan ketersediaan tenaga
pengajar cq. Fasilitator di lembaga itu. Jumlah tenaga yang sedikit dan jumlah pelatihan
yang banyak dengan mudah menjebak para pengajar/fasilitator ke dalam kejenuhan.
“Bahkan sakit saja tidak boleh di sini,” keluh seorang faslitator dalam suatu kesempatan.6
Hal ini tentu tidak sehat bagi pengembangan iklim ajar‐mengajar yang menuntut
kesegaran, agar inovasi‐inovasi dalam proses ajar‐mengajar dapat terjadi. Dalam
keterbatasan yang ada, pemerataan layan juga harus dilakukan. Dengan situasi yang
demikian, maka bukan tidak mungkin sebuah Kabupaten baru akan mendapat jatah
layanan lagi dalam rentang 10 – 15 tahun kemudian.7
Belum sesuai kebutuhan
Jika dicermati, apa yang diperankan oleh Balai Besar Pemberdayaan Masyarakat dan Desa
Malang ini, sepertinya belum sesuai dengan pembagian peran sebagaimana yang telah
digariskan dalam Peraturan Pememrintah Nomor 38 Tahun 2007 sebagaimana telah
dijelaskan di atas.
Pengamatan pada penguatan kapasitas pada Tingkat Individual, utamanya terkait denga
keberadaan modul‐modul yang digunakan pengembangan kapasitas pada tingkat individu
juga menunjukkan perkembangan yang belum menggembirakan. Berdasarkan pada hasil
kajian terhadap sumber‐sumber sekunder dan kajian lapangan, Djohani dan Prajoko
(2013),8 antara lain, berkesimpulan bahwa bagi aparat pemerintahan desa program
pengembangan kapasitas yang mereka terima umumnya bersifat bimbingan teknis.
Pelatihan‐pelatihan yang lebih luas dari sekedar bimbingan teknis relatif jarang dilakukan
oleh Pemerintah (Pusat dan Daerah). Yang menarik, boleh jadi terkait dengan keterbatasan
Pemerintah dalam menyelenggarakan kegiatan pengembangan kapasitas sebagaimana
telah dibahas di atas, pihak non‐pemerintah pun kadang harus menyelengaarakan
6 Focus Group Disscussion antara pimpinan dan konsultan PNPM Support Fasility (PSF) – Bank Dunia, Kanotr
Jakarta dengan Pimpinan dan Pangajar/Fasilitator Balai Besar Pemberdayaan Masyarakat dan Desa, Malang,
di Malang, 25 Juli 2013.
7 Dalam laporannya, hitung‐hitungan Dr. Alison Atwell (2011) lebih ekstrim lagi. Atwell menulis “…
according to the current rate of training, the state of facilities and the number of available trainers it would
require 687 years to train the 2.6 million nominated village and municipal stakeholders”. Semua ‘mission
imposible’!!!
8 Rianingsih Djohani dan Ludiro Pradjoko (2013), “Pelatihan dan Penguatan Kapasitas Desa”. Hasil penelitian
yang disponsori oleh PNPM Support Fasility – Bank Dunia Kantor Jakarta yang dipresentasikan pada
Lokakarya Pengembangan Program Penguatan Kapasitas Desa. Diselenggarakan oleh PNPM Support Fasility
– Bank Dunia Kantor Jakarta , di Jakarta, 25 Juni 2013.
pelatihan sejenis (Kasus ‘Program Pelatihan Aparatur Desa’, YAO, NTT). Akibatnya,
sumberdaya untuk melakukan kegiatan pengembangan kapasitas yang memampukan
masyarakat desa sebagai pelaku utama pembangunan desa menjadi makin terbatas.
Kegiatan‐kegiatan pelatihan yang ditujukan untuk membangun dan menguatkan kesadaran
kritis, serta meningkatkan posisi dan daya tawar masyarakat dan/atau desa dalam
pengelolaan pembangunan, sebagaimana pesan pokok yang ada dalam Panduan CLAPP
(Mitra Samya & ACCESS) misalnya hampir tidak pernah dilakukan oleh Pemerintah
(sampai pada kadar tertentu mulai dilakukan PNPM Integrasi), kecuali oleh beberapa
organisasi masyarakat sipil yang didukung oleh beberapa lembaga donor.
Oleh sebab itu, meminjam kerangka analisis yang dikembangkan oleh GTZ ‐ SfDM, Support
for Decentralization Measures (2005),9 pembagian peran antar‐instansi pemerintah dari
segala tingkatan dan keterhubungan antara program‐program penguatan kapasitas pada
Tingkat Sistem, Tingkat Unit, dan Tingkat Individual terkait dengan upaya‐upaya
pengembangan kapasitas untuk pemberdayaan masyarakat dan desa perlu ditinjau dan
ditata‐ulang (redesign).
Kebutuhan ke Depan
Dengan urian ringkas di atas maka
dapatlah dikatakan bahwa menyusun
ulang
grand
design
cq.
strategi
Tiga Tingkat Kapasitas
3 tingkat PK
Terkait dengan upaya pengembangan kerangka hukum dan
kebijakan baru atau perubahan hukum/kebijakan yang ada,
yang memungkinkan berbagai pihak menjalankan perannya
dalam upaya‐upaya pengembangan kapasitas desa
Tingkat Unit
Serangkaian upaya untuk memperluasan struktur manajemen,
proses dan prosedur kerja. Tidak hanya dalam organisasi
tertentu, namun juga pengelolaan hubungan antara organisasi
yang berbeda dan sektor (publik, swasta dan masyarakat) yang
berkepentingan dengan upaya pengembangan kapasitas desa
Tingkat Individual
Serangkaian proses untuk melengkapi individu dengan
serangkaian pengetahuan, keterampilan dan sikap, termasuk
akses terhadap informasi, yang memungkinkan mereka untuk
bekerja efektif.
pengembangan kapasitas kelembagaan
pemerintahan desa dan kelembagaan
masyarakat desa demi meningkatnya
kinerja
pemerintahan
desa
dan
Deskripsi
Tingkat Sistem
kelembagaan masyarakat ke taraf yang
lebih baik di masa‐masa mendatang
9 Lihat GTZ‐ SfDM, Support for Decentralization Measures/ Proyek Pendukung Pemantapan Penataan
Desentralisasi/P4D. Guidelines on Capacity Building in the Regions. Module C: Supplementary Information and
References. SfDM Report 2005‐4 (2005). Kerjasama GTZ dan Departemen Dalam Negeri Republik Indonesia.
menjadi suat keniscayaan.
Dalam grand design yang baru itu, antara lain, perlu dipikirkan ulang apa peran strategis
yang seharusnya diperankan oleh instnasi‐instnasi semacam balai pemberdayaan
masyarakt dan desa yang berada di bawah naungan Kementerian Dalam Negeri itu. Apakah
benar melayani langsung kebutuhan para pengguna akhir atau Balai ini seharusnya lebih
berperan dalam merancang dan mengevaluasi kurikulum, serta melakukan serangkain ToT
pada tingkatan tertentu saja.
Demikian pula dengan pembagian peran yang harus dilakukan oleh instnasi Pemerintah di
tingkat Provinsi dan Kabupaten, serta komponen masyarakat sipil lainnya. Tidaklah
berlebih jika semua peran para‐pihak itu sebaiknya terpetakan ke dalam sebuah peta jalan
yang menjadi pedoman bersama.***