Seputar Masalah dan Kinerja Program Peng (1)

Seputar Masalah dan Kapasitas Pengembangan Masyarakat dan Desa1 
 
Oleh: 
R. Yando Zakaria2 
Pengantar  
Kebijakan tentang Desa yang baru, yakni Undang-Unang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa
telah diberlakukan. Satu simpul penting dari kebaruan kebijakan tentang desa ini jika
dibandingkan dengan kebijakan-kebijakan sebelumnya adalah bahwa desa tidaklah sekedar
pemerintahan desa, namun desa sebagai suatu kesatuan sosial-budaya, ekonomi, dan juga politik
dan hukum. Maka, kebijakan dan regulasi tentang desa ke depan harus lebih dari sekedar
‘pemerintahan desa’ itu. Kebijakan dimaksud haruslah mengarah pada realisasi pengakuan atas
hak asal-usul yang melihat desa baik sebagai persekutuan sosial dan budaya; desa sebagai
persekutuan hukum, politik, dan pemerintahan; dan desa sebagai persekutuan ekonomi (sebagai
ekspresi dari penguasaan desa atas sumber-sumber kehidupan yang menjadi ulayatnya.
Dengan simpul pemikiran yang demikian itu kita ingin merevitalisasi desa sebagai
‘modal sosial’ dalam menyongsong masa depan yang (bakal) tidak mudah itu. Baik karena
faktor-faktor lokal, nasional, dan global. Selain itu, kebijakan baru dimaksud dimaksudkan juga
untuk mengkonsolidasi kembali sistem tenurial ‘yang kadung amburadul’ dan ‘menyingkarkan
hak-hak masyarakat adat’ melalui pengakuan hak-hak asali desa sebagai dasar bagi ‘pembaruan
desa’ cq. ‘reforma agraria’, sebagaimana telah diamanatkan dalam TAP MPR IX/2001.
Undang-Undang tentang Desa yang baru saja ditetapkan ini adalah undang-undang pertama

pasca-pencabutan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa yang
diamanatkan oleh reformasi. Sebelumnya, melalui pemberlakukan Undang-Undang Nomor 22
                                                             
1

  Tulisan ini dimungkinkan oleh keterlibatan penulis sebagai Short Term Consultant pada PNPM Support Facility 
dalam periode tahun 2013. 
2
 Praktisi antropologi. Pemerhati desa dan masyarakat (hukum) adat. Pengajar tamu pada Jurusan Ilmu Politik dan 
Ilmu  Pemerintahan,  FISIPOL  UGM;  dan  Fellow  pada  Lingkar  pembaran  Desa  dan  Agraria  (KARSA),  Yogyakarta. 
Mantan  Tenaga  Ahli  Pansus  RUU  Desa  DPR  RI.  Bahan  ini  dipersiapkan  dalam  rangka  advokasi  pengakuan  dan 
perlindungan hak‐hak masyaakat (hukum) adat di Indonesia. 

Tahun 1999 yang kemudian digantikan oleh Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah, desa hanya diatur oleh peraturan-perundangan setingkat Peraturan
Pemerintah.
Setidaknya ada 5 (lima) perubahan pokok yang dikandung dalam UU Desa yang baru.
Kelima perubahan pokok itu tentu saja diharapkan mampu memperbaiki kualitas kehidupan
warga negara yang tinggal di desa-desa Indonesia. Perubahan-perubahan pokok dimaksud
adalah, melalui UU Desa yang baru inilah untuk pertama kalinya desa-desa yang ada di Negeri

ini akan diatur melalui sistem pengaturan yang beragam. UU Desa yang baru memperkenakan
dua jenis desa dan desa adat. Jika desa terbentuk berdasarkan ukuran-ukuran demografis dan
adminsitratif, desa adat terbentuk karena desa adat itu memang memiliki sejarah dan hak asalusulnya.3

Lima%Perubahan%Mendasar:%
Kri2k%yang%adil%adalah%kri2k%yang%melihat%perubahan%secara%
holis2k.%Tidak%parsial!%
Jenis%Desa%yang%
beragam%
(BAB%II%,%III%&%XIII)%

Demokra2sasi%Desa%
!%pemberdayaan%&%
Pendampingan%(BAB%
V,%VI,%XII,%XIII)%

Perencanaan%yang%
terintegrasi:%
Desa%membangun;%
membangun%desa%

(BAB%IX,%X,%XI)%

Kewenangan%
berdasarkan%prinsip%
rekognisi%dan%
subsidiaritas%
(BAB%IV,%V,%VII,%&%XIII)%

Konsolidasi%
Keuangan%dan%Aset%
Desa%
(BAB%VIII,%X,%&%XI)%

11%

                                                             
3

 Ulasan lebih jauh tentang kelima perubahan yang dibawa oleh Undang‐undang Desa yang baru ini silahkan lihat 
R.  Yando  Zakaria,  2014.  “Menimbanng‐nimbang  Kemslahatan  Undang‐Undang  Desa”.  Semula  Bahan  Bacaan  ini 

dipersiapkan  untuk  kegiatan  sosialisasi  pasca  penetapan  UU  Desa.  Untuk  pertama  kalinya  disampaikan  pada 
kegiatan  yang  diselenggarakan  oleh  Perkumpulan  QBar  (Padang),  Perkumpulan  HUMA  (Jakarta)  dan  Fakultas 
Hukum  Universitas  Andalas,  Padang.  Di  Padang,  tanggal  7  Januari  2014.  Silahkan  taut  ke 
https://www.academia.edu/5596371/Menimbang‐nimbang_Kemaslahatan_Undang‐Undang_Desa_2013   

Seiring dengan perubahan yang relatif mendasar itu, pertanyaan yang mengemuka adalah 
apakah 

para 

pemangku 

siap 

menghadapi 

tantangan‐tantangan 

dalam 


pengimplemenrasiannya  di  masa  depan?  Apakah  para  pemangku  kepentingan,  utamanya 
Pemerintah,  siap  mengemban  tugasnya  agar  kebijakan  baru  ini  sampai  pada  tujuan  yang 
ingin disasarnya? 
Terkait  dengan  pertanyaan‐pertanyaan  itu,  tulisan  ini  memberikan  gambaran  umum 
bagaimana kapasitas terpasang dan kinerja program pengembangan kapasitas masyarakat 
dan desa. Khususnya yang diselenggarakan oleh balai‐balai pengembangan masyarakat dan 
desa yang diselenggarakan oleh Kementerian Dalam Negeri. 
Masalah Desa dan Perdesaan 
Dalam Buku II, Bab IX, Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 
2010  ‐  2014,  khususnya  pada  Butir  9.2.1.5  dikatakan  bahwa  “Pembangunan  perdesaan 
menghadapi masalah‐masalah, antara lain: 


belum  optimalnya  kebijakan  dan  program‐program  dari  berbagai  sektor  yang 
berpengaruh  baik  langsung  maupun  tidak  langsung  terhadap  kehidupan 
masyarakat perdesaan; 



belum  optimalnya  koordinasi  antar  pemerintah  desa  dan  kabupaten/kota  serta 

berkembangnya  mekanisme  koordinasi  dengan  berbagai  pemangku  kepentingan 
termasuk K/L dalam pembangunan perdesaan; serta 



masih belum optimalnya keberpihakan dari kepemimpinan lokal dan kelembagaan 
pemerintahan  baik  di  pusat  maupun  di  daerah  dalam  pembangunan  perdesaan” 
(Hal. II. 9 – 58). 

Persoalan‐persoalan  itu,  secara  lebih  rinci, 
menyangkut 

belum 

kelembagaan; 
sumberdaya 

optimalnya 

rendahnya 

manusia 

peran 

kapasitas 

dan 

masyarakat 

perdesaan;  terbatasnya  alternatif  lapangan 
kerja  yang  berkualitas;  rendahnya  akses 
pada  permodalan;  rendahnya  ketersediaan 
dan  akses  pada  sarana  dan  pra‐sarana; 
rendahnya 

tingkat 

ketahanan 


pangan; 

meningkatnya  degradasi  sumberdaya  alam 
dan 

lingkungan 

optimalnya 

hidup; 

dan 

perlindungan 

belum 

Problem Statement:
Masalah Desa & Perdesaan (RPJM Pusat 2009 ‐ 2014)
• Belum optimalnya peran kelembagaan

– Lemahnya kemandirian Desa
– Lemahnya perencanaan pembangunan Desa
– Lemahnya kapasitas Pemerintahan Desa, Lembaga‐
lembaga desa, dan lembaga‐lembaga kemasyarakat.
– Lemahnya kapasitas Pemerintah Daerah dalam
mengatur dan mengurus desa

• Rendahnya kapasitas sumberdaya manusia dan
masarakat perdesaan
– Rendahnya kualitas sumber daya manusia ditandai
oleh tingkat pendidikan, dan
– Penduduk desa yang memiliki tingkat pendidikan yang 
relatif baik banyak bermigrasi terutama ke daerah
perkotaan.

• Terbatasnya alternatif lapangan kerja yang 
berkualitas
– Lebih dari separuh desa atau 39.913 desa (Podes 
2008) yang sebagian masyarakatnya bekerja ke luar 
negeri (TKI).


• Rendahnya akses pada permodalan
– Posisikredit usaha kecil hanya mencapai 13,13% dari
total kredit;
– potensikolateral yang dimiliki rumah tangga
perdesaan jugarendah.

kepada 

• Rendahnya ketersediaan dan akses pada sarana dan
prasarana
Terbatasanya sarana pelayanan sosial
Terbatasnya saranakomunikais dan informasi
Terbatasnya saranatransportasi
Terbatasnya pelayanan energi dan kelistrikan
Belum memadainya kuallitas lingkungan hunian serta
sarana‐prasarana pemukiman
– Belum memadainya kualitas dan kuantitas penataan
ruang








• Rendahnya tingkat ketahanan pangan
– Penyusutan kepemilikan lahan oleh petani gurem 
(kepemilikan lahan kurang atau sama dengan 0,5 
hektar) semakin meningkat.

• Meningkatnya degradasi SDA dan Lingkungan Hidup
– Padatahun 2008, bencana yang paling sering terjadi di
perdesaan adalah banjir (15.143 desa atau 22,52 
persen dari total jumlah desa), longsor (19 persen) dan
paling sedikit adalah gempa bumi disertai tsunami (54 
desaatau 0.08 persen dari jumlah desa). Pencemaran
yang sering terjadi di perdesaan adalah pencemaran
air (7.654 desa), udara (33 persen), suara (21 persen) 
danpaling sedikit terjadi adalah pencemaran tanah
(1.110 desa)

• Belum optimalnya perlindungan kepada
masyarakat, masyarakat adat, dan tenaga kerja yang 
bekerja di luar negeri

masyarakat,  masyarakat  hukum  adat,  dan 
tenaga kerja yang bekerja di luar negeri. 

 

Pendalaman (Tingkat Sistem, Tingkat Nasional):
Gambaran Umum Rencana Tindak Pengembangan Kapasitas

Untuk  mengatasi  permasalah  dimaksud, 

Program/Kegiatan Prioritas  Sasaran (antara lain)
PROGRAM PEMBERDAYAAN
MASYARAKAT DAN 
PEMERINTAHAN
DESA
Peningkatan Kapasitas
Penyelenggaraan
Pemerintahan Desa dan
Kelurahan

dalam  dokumen  rencana  tindakan  yang 
menjadi  bagian  integral  dari  dokumen 

Perkiraan kebutuhan
anggaran Thn 2010 – 2014 
(Rp. Milyar)

RPJMN  2010  –  2014  itu  ditetapkan  pula 
sejumlah 

Mengembangkan manajemen
pemerintahan desa yang
efektif, dengan tetap mengakui
dan menghormati kesatuan
masyarakat hukum adat
beserta hak‐hak tradisionalnya
sepanjang masih hidup dan 
sesuai perkembangan
masyarakat.

134,5

Peningkatan Keberdayaan
Masyarakat Dan
Desa Lingkup Regional

Meningkatkan kapasitas
Aparat dan Masyarakat dalam
pelaksanaan pembangunan
desa.

311,3

Peningkatan Kapasitas
Kelembagaan Dan
Pelatihan Masyarakat

Pelayanan pengembangan 
kelembagaan dan pelatihan
masyarakat sesuai standar.

311,3

Yakni, 

program/kegiatan 
peningkatan 

prioritas. 
kapasitas 

penyelenggaraan  Pemerintahan  Desa  dan 
Kelurahan;  peningkatan    keberdayaan 
masyarakat  dan  desa  lingkup  regional;  dan 
peningkatan  kapasitas  kelembagaan  dan 
pelatihan  masyarakat,  dengan  rumusan 
sasaran dan indikasi biaya yang dibutuhkan 
sebagaimana  dapat  dilihat  pada  tabel  yang 
bersangkutan. 
 

Menurut  peraturan  perundangan‐undangan 
terkait,  yakni  Peraturan  Pemerintah  Nomor 
38 Tahun 2007 tentang  Pembagian Urusan 
Pemerintahan 

antara 

Pemerintahan 

Daerah 

Pemerintahan 

Daerah 

Pemerintah, 
Provinsi, 

dan 

Kabupaten/Kota, 

kegiatan‐kegiatan  yang  berkaitan  dengan  
pemberdayaan  masyarakat  dan  desa  ini 
dirumuskan  sebagai  bagian  dari  Urusan 
Pemerintahan yang harus dilaksanakan baik 
oleh  Pemerintah  (Pusat),  maupun  oleh 
Pemerintah 

Daerah 

Provinsi 

dan 

PembagianUrusan PemerintahanBidang PemberdayaanMasyarakat dan Desa
menurutPeraturan PemerintahNomor 37 Tahun 2007 Tentang Pembagian Urusan
PemerintahanantaraPemerintah, PemerintahanDaerah Provinsi, dan Pemerintahan
Daerah Kabupaten/Kota
1. Sub Bidang Pemerintahan Desa dan
Kelurahan
1. Pengembangan Kapasitas Pemerintah Desa dan
Kelurahan  Pusat? Propinsi? Kabupaten/Kota?

2. Sub Bidang Penguatan Kelembagaan dan
PengembanganPartisipasi Masyarakat
1. Penguatan Kelembagaan
2. Masyarakat Pelatihan Masyarakat
3. Pengembangan Manajemen Pembangunan 
Partisipatif
4. Peningkatan Peran Masyarakat dalam Penataan
dan Pendayagunaan Ruang Kawasan Perdesaan

3.   Sub Bidang Pemberdayaan Adat dan
PengembanganKehidupan Sosial Budaya
Masyarakat
1. Pemberdayaan Adat Istiadat dan Budaya
Nusantara
2. Pemberdayaan Perempuan
3. Pemberdayaan dan Kesejahteraan
Keluarga (PKK) Peningkatan Kesejahteraan
Sosial

4.  Sub Bidang Pemberdayaan Usaha Ekonomi
Masyarakat
1. Pemberdayaan Ekonomi Penduduk Miskin
2. Pengembangan Usaha Ekonomi Keluarga
dan Kelompok Masyarakat
3. Pengembangan Lembaga Keuangan Mikro
Perdesaan
4. Pengembangan Lembaga Keuangan Mikro
Perdesaan
5. Pengembangan Pertanian Pangan dan
Peningkatan Ketahanan Pangan Masyarakat
5. Sub Bidang Pemberdayaan Masyarakat dalam
PengelolaanSumber Daya Alam dan Teknologi
Tepat Guna
1. Fasilitasi Konservasi dan Rehabilitasi
Lingkungan
2. Fasilitasi Pemanfataan Lahan dan Pesisir
Pedesaan
3. Pemasyarakatan dan Kerjasama Teknologi
Pedesaan

Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota.  
 
Urusan Pemerintahan Bidang Pemberdayaan Masyarakat dan Desa ini, sebagaimana dapat 
dilihat pada Tabel terkait, kemudian terbagi‐bagi lagi ke dalam sejumlah urusan Su Bidang 
dan Sub‐sub Bidang. 
Kapasitas Terpasang Pemberdayaan Masyarakat dan Desa 
Dalam  rangka  pelaksanaan  urusan  pemerintahan  Bidang  Pemberdayaan  Masyarakat  dan 
Desa itu Pemerintah melalui Peraturan Menteri Nomor 41 Tahun 2010 tentang Organisasi 
dan  Tata  Kerja  Kementerian  Dalam  Negeri,  telah  pula  membentuk  Direktorat  Jenderal 
Pemberdayaan  Masyarakat  dan  Desa  yang  ditugaskan  untuk  ‘merumuskan  serta 
melaksanakan  kebijakan  dan  standarisasi  teknis  bidang  pemberdayaan  masyarakat  dan 
desa’  (Pasal  669).  Tugas  dimaksud  mencakup  pelaksanaan  fungsi‐fungsi  (a)  perumusan 
kebijakan  di  bidang  pemberdayaan  masyarakat  dan  desa;  (b)  pelaksanaan  kebijakan  di 
bidang  di  bidang  pemberdayaan  masyarakat  dan  desa;  (c)  penyusunan  norma,  standar, 
prosedur,  dan  kriteria  di  bidang  pemberdayaan  masyarakat  dan  desa;  (d)  pemberian 
bimbingan  teknis  dan  evaluasi  di  bidang  pemberdayaan  masyarakat  dan  desa;  dan  (e) 

pelaksanaan administrasi Direktorat Jenderal Pemberdayaan Masyarakat dan Desa  (Pasal 
670). 
Untuk  melaksanakan  tugas  dan  fungsi‐
fungsi  dimaksud,  pada  Direktorat  Jenderal 

Tata Kelembagaan Direktorat Jenderal Pemberdayaan
Masyarakat dan Desa dan Pelaksanaan Urusan Pemerintahan
Bidang Pemberdayaan Masyarakat dan Desa

Pemmberdayaan  Masyarakat  dan  Desa 

No. Direktorat (Berdasarkan
Permendagri 41/2010)

dibentuk  5  (lima)  Direktorat,  yang  masing‐

Bidang Pengembangan Kapasitas
Masyarakat dan Desa (Berdasarkan PP 
38/2007)

1.

Direktorat Pemerintahan Desa dan 
Kelurahan; 

Sub Bidang Pemerintahan Desa dan
Kelurahan

masing  bertanggungjawab  melaksanakan 

2.

Direktorat Kelembagaan dan
Pelatihan Masyarakat; 

Sub Bidang Penguatan Kelembagaan dan
Pengembangan Partisipasi Masyarakat

tugas dan fungsi pada Sub‐Bidang tertentu, 

3.

Direktorat Pemberdayaan Adat dan
Sosial Budaya Masyarakat; 

Sub Bidang Pemberdayaan Adat dan
Pengembangan Kehidupan Sosial Budaya
Masyarakat

sebagaimana yang dapat dilihat apda Tabel 

4.

Direktorat Usaha Ekonomi 
Masyarakat; dan 

Sub Bidang Pemberdayaan Usaha 
Ekonomi Masyarakat

terkait. 

5.

Direktorat Sumber Daya Alam dan
Teknologi Tepat Guna Perdesaan.

Sub Bidang Pemberdayaan Masyarakat
dalam Pengelolaan Sumber Daya Alam
dan Teknologi Tepat Guna

 
Pembagian  tugas  dan  fungsi  antara  instansi  Pusat,  Propinsi,  dan  Kabupaten/Kota  dalam 
upaya  pemberdayaan  masyarakat  dan  desa  pun  kemudian  diatur  sedemikian  rupa. 
Sebagaimana  yang  dapat  dipelajari  dari  Lampiran  Peraturan  Pememrintah  Nomor  38 
Tahun 2007, khususnya pada Halaman 579 hingga Halaman 600, jika instansi Pemerintah 
(Pusat)  lebih  berperan  pada  penyusunan  pedoman,  koordinasi  dan  pembinaan,  serta 
monitoring  dan  evaluasi  pada  skala  Nasional,  demikian  pula  peran  instnasi  Pemerintah 
Daerah  Provinsi  untuk  skala  Provinsi,  instansi  pada  tingkat  Kabupaten/Kota  lebih 
berperan pada aspek pelaksanaan di tingkat lapangan. 
Meski  begitu,  hasil  kajian  yang  dilakukan  untuk  mencermati  kinerja  program‐program 
pengembangan 

kapasitas 

desa 

ini 

menujukkan 

perkembangan 

yang 

belum 

menggembirakan. Misalnya, dalam rangka melaksanakan kegiatan‐kegiatan pengembangan 
kapasitas  untuk  pemberdayaan  masyarakat  dan  desa,  sejak  pertengahan  tahun  1960‐an 
lalu, ketika itu Departemen Dalam Negeri, membentuk apa yang kini dikenal sebagai Balai 
Pemberdayaan  Masyarakat  dan  Desa,  yang  saat  ini  berada  di  3  lokasi,  yakni  Lampung, 
Yogyakarta, dan Malang.4 

                                                             
4  Alison Atwell, “Review of PMD Training Centers for The Ministry of Home Affair, Indonesia”. International 

Projecs Groups – University of the Sunshine Coast, Queensland, Australia, 2011. 

Dari ketiga unit balai ini, Balai Besar Pemberdayaan Masyarakat dan Desa yang terletak di 
Malang  adalah  lembaga  yang  tertua  dan  relative  lebih  besar  dari  unit  yang  berada  di 
Lampung  dan  Yogyakarta.  Pertama  kali  didirikan  berdasarkan  Surat  Keputusan  Menteri 
Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 1965.5  
Adapun  pengguna  jasa  Balai  ini  adalah 

TUGAS POKOK DAN FUNGSI BALAI BESAR PMD MALANG
(Pasal 2, PERMENDAGRI NO.21/2006)

pengguna  langsung,  dalam  hal  ini  adalah 
• MELAKSANAKAN KEGIATAN PELATIHAN
BAGI MASYARAKAT, MELIPUTI :

para  Kepala  Desa,  Aparat  Desa,  dan  juga 

1. KADER PEMBANGUNAN,
2. PERANGKAT PEMERINTAHAN,
3. ANGGOTA BADAN PERMUSYAWARATAN
DESA,
4. PENGURUS LEMBAGA MASYARAKAT, DAN
5. PARA WARGA MASYARAKAT DESA DAN
KELURAHAN.

unsur‐unsur  yang  terkait  dengan  kegiatan 
Pemerintahan  Lainnya,  seperti  LKMD, 
LPMD,  bahkan  hingga  Kepala  Dusun  dan 
Ketua 

RW/Ketua 

RT, 

dan 

warga 

masyarakat sekalipun. 
 
 
Materi  yang  diberikan  adalah  materi‐materi  yang  berhubungan  langsung  dengan 
penyelenggaraan  tugas  masing‐masing  pihak  yang  terkait  dengan  penyelenggaraan 
Pemerintahan Desa itu. Setidaknya, ada 17 macam modul yang digunakan dalam program 
pembekalan yang dilaksanakan oleh Balai Besar ini. 

                                                             
5  Hingga  saat  ini  keberadaan  Balai  ini  telah  mengalami  berbagai  perubahan  dan  penyesuaian  sebagaimana 

yang diatur dalam 4 Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri lainnnya. Pada tahun 1968, melalui Kepmendagri 
Nomor 25 Tahun 1968 Tanggal 9 April 1968 balai ini disempurnakan menjadi Balai Litbang Bangdes.  PAda 
tahun 1987, melalui Kepmendagri Nomor 14 Tahun 1987 berubah menjadi Balai Pengkaderan Pembangunan 
Desa.  Pada  tahun  2000,  setelah  masa  reformasi,  melalui  Kepmendagri  Nomor  12  Tahun  2000  berubah  lagi 
menjadi Balai Pemberdayaan Masyarakat Desa, sebelum menjadi Balai Besar Pemberdayaan Masyarakat dan 
Desa  Malang  melalui  Permendagri  Nomor  21  Tahun  2006  (Departemen  Dalam  Negeri,  Direktorat  Jenderal 
Pemberdayaan  Masyarakat  dan  Desa,  Balai  Besar  Pemberdayaan  Masyarakat  dan  Desa  Malang,  “Selayang 
Pandang Balai Besar Pemberdayaan Masyarakat dan Desa Malang”. Bahan yang dipresentasikan pada Focus 
Group Disscussion antara pimpinan dan konsultan PNPM Support Fasility (PSF) – Bank Dunia, Kanotr Jakarta 
dengan  Pimpinan  dan  Pangajar/Fasilitator  Balai  Besar  Pemberdayaan  Masyarakat  dan  Desa,  Malang,  di 
Malang, 25 Juli 2013. 

Wilayah 

layanan 

yang 

menjadi 

tanggungjawab  Balai  Besar  PMD  di 
Malang  ini  amatlah  luas.  Mencakup  14 
wilayah  Propinsi,  497  kota,  dan  399 
Kabupaten  (Data  lebih  rinci  dapat  di 
lihat  pada  Tabel  terkait).  Sebagaimana 
yang  akan  diulas  lebih  rinci  dalam 
bagian  berikut,  jika  dikaitkan  dengan 
tugas utamanya yang langsung melayani 
upaya   pengembangan    kapasitas   pada  

DATABASE 14 PROVINSI WILAYAH KERJA
BALAI BESAR PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DAN DESA MALANG
NAMA
PROV.

NO.

JML
KAB/KOTA

JML
KAB.

JML
KOTA

JML
KEC.

JML
DESA/KEL

1.

JATIM

38

29

9

660

8.513

2.

BALI

9

8

1

57

710

3.

NTB

10

8

2

116

904

4.

NTT

21

20

1

284

2.845

5.

SULUT

15

11

4

149

1.464

6.

SULTENG

11

10

1

147

1.664

7.

SULSEL

24

21

3

303

2.936

8.

SULTRA

12

10

2

185

1.942

9.

GORONTALO

6

5

1

65

562

10.

SULBAR

5

5

0

65

532

11.

MALUKU

11

9

2

72

901

12.

MALUKU UTARA

9

7

2

110

1.002

13.

PAPUA

29

28

1

344

3.575

14.

PAPUA BARAT

11

10

1

127

1.286

497

399

98

6.487

28.836

JUMLAH

7

 

tingkat  pengguna  langsung,  luas  wilayah  layanan,  jumlah  staf  dan  dana  operasional  yang 
dialokasikan  setiap  tahunnya,  kinerja  Balai  Besar  menjadi  persoalan  yang  perlu  dikaji 
secara lebih serius. 
Pada  tahun  anggaran  2013/2014  Balai 

RENCANA KEGIATAN
PELATIHAN TA. 2013

Besar  PMD  Malang  menerima  anggaran 
sekitar  Rp.  11  Milyar.  Dengan  anggaran 

PEMDES/KEL

KELEMBAGAAN
MASYARAKAT

sebesar itu Balai Besar PMD Malang  ‘hanya’ 
mampu  menyelenggarakan  105  Angkatan 

a. Jenis

: 16

b. Angkatan : 47

b. Angkatan

: 58

c. Peserta

c. Jumlah Peserta : 1.740 org

a. Jenis

: 15

: 1.410 org

Pelatihan,  yang  melibatkan  3.150  orang 
peserta.   

105 Angkatan
Jumlah peserta : 3.150 orang
16

 

Jika  dikaitkan  dengan  jumlah  ketrampilan  yang  dibutuhkan  (17  jenis  ketrampilan)  serta 
jumlah  desa  (28.836)  x  jumlah  Kepala  Desa  dan  Aparat  Desa  (rata  7  orang/desa),  maka 
dengan segera kita menemukan keterbatasan layanan Balai Besar PMD Malang ini. Belum 
lagi  jika  dikaitkan  pada  kebutuhan  pengembangan  kapasitas  pada  sisi  kelembagaan 
masyarakat. Keterbatasan ini menjadi berlipat‐lipat. 
Kemampuan  layanan  Balai  Besar  PMD  Malang  juga  terkait  dengan  ketersediaan  tenaga 
pengajar  cq.  Fasilitator  di  lembaga  itu.  Jumlah  tenaga  yang  sedikit  dan  jumlah  pelatihan 

yang  banyak  dengan  mudah  menjebak  para  pengajar/fasilitator  ke  dalam  kejenuhan. 
“Bahkan sakit saja tidak boleh di sini,” keluh seorang faslitator dalam suatu kesempatan.6 
Hal  ini  tentu  tidak  sehat  bagi  pengembangan  iklim  ajar‐mengajar  yang  menuntut 
kesegaran,  agar  inovasi‐inovasi  dalam  proses  ajar‐mengajar  dapat  terjadi.  Dalam 
keterbatasan  yang  ada,  pemerataan  layan  juga  harus  dilakukan.  Dengan  situasi  yang 
demikian,  maka  bukan  tidak  mungkin  sebuah  Kabupaten  baru  akan  mendapat  jatah 
layanan lagi dalam rentang 10 – 15 tahun kemudian.7 
Belum sesuai kebutuhan 
Jika dicermati, apa yang diperankan oleh Balai Besar Pemberdayaan Masyarakat dan Desa 
Malang  ini,  sepertinya  belum  sesuai  dengan  pembagian  peran  sebagaimana  yang  telah 
digariskan  dalam  Peraturan  Pememrintah  Nomor  38  Tahun  2007  sebagaimana  telah 
dijelaskan di atas. 
Pengamatan  pada  penguatan  kapasitas  pada  Tingkat  Individual,  utamanya  terkait  denga 
keberadaan modul‐modul yang digunakan pengembangan kapasitas pada tingkat individu 
juga  menunjukkan  perkembangan  yang  belum  menggembirakan.  Berdasarkan  pada  hasil 
kajian  terhadap  sumber‐sumber  sekunder  dan  kajian  lapangan,  Djohani  dan  Prajoko 
(2013),8  antara  lain,  berkesimpulan  bahwa  bagi  aparat  pemerintahan  desa  program 
pengembangan  kapasitas  yang  mereka  terima  umumnya  bersifat  bimbingan  teknis. 
Pelatihan‐pelatihan yang lebih luas dari sekedar bimbingan teknis relatif jarang dilakukan 
oleh Pemerintah (Pusat dan Daerah). Yang menarik, boleh jadi terkait dengan keterbatasan 
Pemerintah  dalam  menyelenggarakan  kegiatan  pengembangan  kapasitas  sebagaimana 
telah  dibahas  di  atas,  pihak  non‐pemerintah  pun  kadang  harus  menyelengaarakan 
                                                             
6  Focus Group Disscussion antara pimpinan dan konsultan PNPM Support Fasility (PSF) – Bank Dunia, Kanotr 

Jakarta dengan Pimpinan dan Pangajar/Fasilitator Balai Besar Pemberdayaan Masyarakat dan Desa, Malang, 
di Malang, 25 Juli 2013. 
7    Dalam  laporannya,  hitung‐hitungan    Dr.  Alison  Atwell  (2011)  lebih  ekstrim  lagi.  Atwell  menulis  “… 
according  to  the  current  rate  of  training,  the  state  of  facilities  and  the  number  of  available  trainers  it  would 
require  687  years  to  train  the  2.6  million  nominated  village  and  municipal  stakeholders”.  Semua  ‘mission 
imposible’!!! 
8  Rianingsih Djohani dan Ludiro Pradjoko (2013), “Pelatihan dan Penguatan Kapasitas Desa”. Hasil penelitian 
yang  disponsori  oleh  PNPM  Support  Fasility  –  Bank  Dunia  Kantor  Jakarta  yang  dipresentasikan  pada 
Lokakarya Pengembangan Program Penguatan Kapasitas Desa. Diselenggarakan oleh PNPM Support Fasility 
– Bank Dunia Kantor Jakarta , di Jakarta, 25 Juni 2013. 

pelatihan  sejenis  (Kasus  ‘Program  Pelatihan  Aparatur  Desa’,  YAO,  NTT).  Akibatnya, 
sumberdaya  untuk  melakukan  kegiatan  pengembangan  kapasitas  yang  memampukan 
masyarakat  desa  sebagai  pelaku  utama  pembangunan  desa  menjadi  makin  terbatas. 
Kegiatan‐kegiatan pelatihan yang ditujukan untuk membangun dan menguatkan kesadaran 
kritis,  serta  meningkatkan  posisi  dan  daya  tawar  masyarakat  dan/atau  desa  dalam 
pengelolaan  pembangunan,  sebagaimana  pesan  pokok  yang  ada  dalam  Panduan  CLAPP 
(Mitra    Samya  &  ACCESS)  misalnya  hampir  tidak  pernah  dilakukan  oleh  Pemerintah 
(sampai  pada  kadar  tertentu  mulai  dilakukan  PNPM  Integrasi),  kecuali  oleh  beberapa 
organisasi masyarakat sipil yang didukung oleh beberapa lembaga donor. 
Oleh sebab itu, meminjam kerangka analisis yang dikembangkan oleh GTZ ‐ SfDM, Support 
for  Decentralization  Measures  (2005),9  pembagian  peran  antar‐instansi  pemerintah  dari 
segala  tingkatan  dan  keterhubungan  antara  program‐program  penguatan  kapasitas  pada 
Tingkat  Sistem,  Tingkat  Unit,  dan  Tingkat  Individual  terkait  dengan  upaya‐upaya 
pengembangan  kapasitas  untuk  pemberdayaan  masyarakat  dan  desa  perlu  ditinjau  dan 
ditata‐ulang (redesign). 
Kebutuhan ke Depan 
Dengan  urian  ringkas  di  atas  maka 
dapatlah  dikatakan  bahwa  menyusun 
ulang 

grand 

design 

cq. 

strategi 

Tiga Tingkat Kapasitas
3 tingkat PK

Terkait dengan upaya pengembangan  kerangka hukum dan
kebijakan baru atau perubahan hukum/kebijakan yang ada, 
yang memungkinkan berbagai pihak menjalankan perannya
dalam upaya‐upaya pengembangan kapasitas desa

Tingkat Unit

Serangkaian upaya untuk memperluasan struktur manajemen, 
proses dan prosedur kerja. Tidak hanya dalam organisasi 
tertentu, namun juga pengelolaan hubungan antara organisasi 
yang berbeda dan sektor (publik, swasta dan masyarakat) yang 
berkepentingan dengan upaya pengembangan kapasitas desa

Tingkat Individual

Serangkaian proses untuk melengkapi individu dengan 
serangkaian pengetahuan, keterampilan dan sikap, termasuk
akses terhadap informasi, yang memungkinkan mereka untuk 
bekerja efektif.

pengembangan  kapasitas  kelembagaan 
pemerintahan  desa  dan  kelembagaan 
masyarakat  desa  demi  meningkatnya 
kinerja 

pemerintahan 

desa 

dan 

Deskripsi

Tingkat Sistem

kelembagaan  masyarakat  ke  taraf  yang 
lebih  baik  di  masa‐masa  mendatang 

                                                             
9  Lihat GTZ‐ SfDM, Support for Decentralization Measures/ Proyek Pendukung Pemantapan Penataan 

Desentralisasi/P4D. Guidelines on Capacity Building in the Regions.  Module C: Supplementary Information and 
References. SfDM Report 2005‐4 (2005). Kerjasama GTZ dan Departemen Dalam Negeri Republik Indonesia.   

 

menjadi suat keniscayaan. 
Dalam grand design yang baru itu, antara lain,  perlu dipikirkan ulang apa peran strategis 
yang  seharusnya  diperankan  oleh  instnasi‐instnasi  semacam  balai  pemberdayaan 
masyarakt dan desa yang berada di bawah naungan Kementerian Dalam Negeri itu. Apakah 
benar  melayani  langsung  kebutuhan  para  pengguna  akhir  atau  Balai  ini  seharusnya  lebih 
berperan dalam merancang dan mengevaluasi kurikulum, serta melakukan serangkain ToT 
pada tingkatan tertentu saja. 
Demikian pula dengan pembagian peran yang harus dilakukan oleh instnasi Pemerintah di 
tingkat  Provinsi  dan  Kabupaten,  serta  komponen  masyarakat  sipil  lainnya.  Tidaklah 
berlebih  jika semua peran para‐pihak itu sebaiknya terpetakan ke dalam sebuah peta jalan 
yang menjadi pedoman bersama.***