Alkitab yang sama sekaligus berbeda
1
Alkitab: yang sama sekaligus berbeda*
Oleh: Jadesmon Saragih, M.Theol. ‐ Lembaga Alkitab Indonesia†
Pendahuluan
Penerjemahan umumnya dipahami sebagai upaya menyampaikan gagasan dari satu bahasa ke bahasa
lain. Seorang penerjemah harus betul‐betul mengerti gagasan yang ingin dialihbahasakan. Kita sering
mendengar istilah terjemahan bebas yang artinya terjemahan dihasilkan semata‐mata untuk pembaca
(pendengar) bisa mengerti dengan mudah gagasan itu. Terjemahan semacam ini tidak tergantung pada
kosa kata atau struktur yang ada dalam bahasa sumbernya. Tetapi di sisi lain Alkitab tidak bisa
diterjemahkan secara bebas seperti itu. Aspek bahasa, budaya, dan posisi Kitab itu sendiri bagi umat
ikut mempengaruhi. Untuk menggambarkan masalah yang bisa terjadi dalam penerjemahan, kita pasti
pernah mendengar lelucon kalimat dalam bahasa Inggris yang diterjemahkan secara harfiah dari
bahasa Indonesia. Hasilnya jenaka sekali, seperti berikut ini:
No what‐what (tidak apa‐apa)
I want to throw little water away (saya mau buang air kecil)
Benar, contoh‐contoh di atas hanya lelucon. Kita tahu itu lelucon karena kita mengerti betul apa artinya
dalam bahasa sumber (Indonesia). Begitulah cara kerja lelucon! Namun, bagi pendengar yang tidak
tahu menahu bahasa sumbernya, kalimat di atas tentu bukan lelucon; orang akan mengernyitkan dahi
begitu mendengarnya. Dalam hal ini perlu dipahami penerjemahan Alkitab sebagai sebuah bidang yang
membutuhkan keahlian tertentu karena lelucon seperti di atas bisa saja terjadi dalam penerjemahan
Alkitab.
Alkitab adalah kumpulan tulisan‐tulisan yang berisi kesaksian iman umat percaya tentang hubungan
Allah dan umat‐Nya (bnd. Soesilo 2014, 9). Definisi ini menunjukkan karakter Kitab Suci bagi umat
Kristiani, yang membedakannya dari kitab‐kitab suci agama lain. Tulisan singkat ini secara umum
berbicara tentang penerjemahan Alkitab, dan menyampaikan gagasan bahwa tidak ada prinsip tunggal
untuk semua terjemahan. Kita juga akan melihat bahwa penerjemahan yang melibatkan pemahaman
merupakan bagian tak terpisahkan dari sejarah Alkitab itu sendiri.
Sejarah Penerjemahan Alkitab
Seperti umumnya diketahui, Alkitab aslinya ditulis dalam bahasa Ibrani (untuk PL), Aram (sebagian
kecil PL: Dan 2:4–7:28; Ezr 4:8–6:18, 7:12‐26), dan Yunani (seluruh PB). Saat ini Alkitab sudah hadir
dalam banyak bahasa di dunia. Di Indonesia khususnya, penerjemahan Alkitab yang diselenggarakan
LAI sudah menerbitkan Alkitab dalam 33 bahasa, Perjanjian Baru dalam 77 bahasa, dan porsion dalam
329 judul.
*
disampaikan dalam Seminar Penerjemahan Alkitab di Gereja Isa Almasih (GIA) Rajawali, Jakarta Pusat.
Pembina Penerjemahan di Departemen Penerjemahan LAI. Saragih studi teologi di STT Gereja Kalimantan
Evangelis, Banjarmasin (S.Th., 2011); kemudian mendalami studi Perjanjian Baru di Divinity School of Chung Chi
College, The Chinese University of Hong Kong (studi persiapan, 2011‐2012; M.Theol. [Biblical Studies & Early
Christianity], 2015). Minatnya meliputi kajian‐kajian Injil Sinoptik, hermeneutika Alkitab, dan sejarah penerimaan
dan pengaruh Alkitab (Wirkungsgeschichte). Saat ini ikut dilibatkan dalam Revisi Perjanjian Lama TB dan Bibel
Toba. E‐mail: jades@alkitab.or.id
†
2
Mengapa Alkitab diterjemahkan? Karena tidak mungkin setiap orang membacanya dalam bahasa asli.
Alkitab akan tetap Alkitab meskipun dalam bentuk terjemahan. Tuhan tidak menelantarkan pesan‐Nya.
Ia telah dan akan memanggil orang‐orang tertentu untuk melayani di bidang penerjemahan Alkitab.
Selain itu penting untuk mengetahui bahwa penerjemahan telah dilakukan sejak lama sekali.
Terjemahan Lima Kitab Musa (Pentateuch) dibuat ketika Bahasa Ibrani digantikan Bahasa Aram
sebagai bahasa sehari‐hari. Ini terjadi kira‐kira abad ke‐5 dan ke‐6 sebelum Masehi. Kala itu, Kerajaan
Persia menguasai dunia. Penerjemahan Alkitab secara lebih lengkap dilakukan pada abad ke‐2 dan ke‐3
sebelum Masehi. Kala itu, Alkitab Ibrani (Perjanjian Lama) dialihbahasakan ke dalam Bahasa Yunani.
Alkitab terjemahan ini dinamakan Septuaginta (LXX). Konon, di Aleksandria, atas perintah Ptolemaios
II Philadelphos (memerintah 285‐246 SM), 72 penerjemah bekerja secara terpisah, namun akhirnya
menghasilkan terjemahan yang serupa antara satu dengan yang lain. Penting untuk diketahui, Alkitab
terjemahan inilah yang dipakai di dunia Perjanjian Baru. Ketika itu, bahasa Yunani menguasai
kehidupan masyarakat termasuk di Palestina. Bahkan terjemahan itu menjadi pegangan resmi umat
kala itu, tidak kalah sakralnya dari Alkitab Ibrani.
Terjemahan‐terjemahan berperan penting dalam jemaat‐jemaat Kristen di berbagai tempat. Tidak
mengherankan ada banyak terjemahan dalam bahasa‐bahasa, seperti Koptik, Armenia, Arab, Etiopia,
Gotik, dan lain‐lain. Terjemahan penting dalam sejarah gereja adalah terjemahan Alkitab dalam bahasa
Latin (Vulgata). Hieronimus (Jerome) mengerjakan terjemahan ini secara lengkap berdasarkan
terjemahan Latin terdahulu. Vulgata dikerjakan pada abad keempat dan kemudian menjadi pegangan
resmi dalam Gereja Katolik. Alkitab Latin ini hanya tersedia bagi kalangan elite gereja dan sangat
terbatas (Sairin et al. 1994, 33). Inilah yang mewakili periode pertama penerjemahan Alkitab.
Kerinduan untuk menghadirkan Firman Tuhan (baca: Alkitab) untuk semakin banyak orang mendorong
banyak sarjana menerjemahkannya. Hal ini perlu diketahui mengingat kala itu hanya elite gereja saja
yang memiliki dan membaca Alkitab. Salah satu faktor yang mendukung penyebaran Alkitab
terjemahan adalah dengan ditemukannya mesin cetak oleh Johannes Gutenberg (1400‐1468). Mesin
cetak memungkinkan ada Alkitab dengan ketepatan dan keseragaman teks. Dengan demikian berlalu
sudah era di mana banyak macam versi dan varian naskah Alkitab. Sesudah Gutenberg sejarah Alkitab
memasuki era Alkitab cetak (Pelikan 2005, 146). Alkitab pun menjadi lebih terjangkau dan bisa tersebar
dengan lebih luas.
Periode selanjutnya penerjemahan Alkitab berhubungan dengan gerakan Reformasi (Katoppo dalam
LAI 2001, 104). Martin Luther memainkan peranan penting dalam sejarah penerjemahan Alkitab.
Sebagai bagian dari agenda reformasinya Luther menerjemahkan Perjanjian Baru Bahasa Yunani ke
dalam bahasa ibunya, bahasa Jerman. Terbit tahun 1534, Alkitab Luther diterjemahkan langsung dari
bahasa Ibrani dan Yunani. Ini Luther lakukan karena keyakinannya bahwa setiap orang, siapapun dia,
berhak memiliki akses kepada Alkitab. Tidak hanya kaum elite seperti imam, sarjana, bangsawan, yang
boleh membacanya (Sairin et al. 1994: 33), tetapi juga para buruh dan ibu rumah tangga. Hal inilah yang
mencerminkan pandangannya tentang “imamat am orang percaya” (Pelikan 2005, 171).
Di Inggris pada awal abad ke‐17 ada terjemahan yang hingga kini masih banyak dibaca, yaitu King
James Bible. Sebelumnya, pada tahun 1382 John Wycliffe menerjemahkan Alkitab dari bahasa Latin ke
bahasa Inggris. Sekarang ini sudah ada banyak terjemahan dalam Bahasa Inggris yang lebih mudah
dimengerti. Terjemahan‐terjemahan Bahasa Inggris menunjukkan bahwa tidak hanya penerjemahan
itu penting, tetapi juga pemeliharaan terjemahan itu, berupa revisi terjemahan. Karena bahasa dari
waktu ke waktu mengalami perkembangan. Arti sebuah kata bisa bergeser. Dinamika ini perlu
dimengerti oleh umat Kristiani.
3
Periode ketiga penerjemahan Alkitab berlangsung dalam gerakan penginjilan dari Eropa ke Asia dan
Afrika (Katoppo dalam LAI 2001, 106). Sebut saja nama‐nama penginjil‐penerjemah dari The Great Era
seperti Henry Martyn (Parsi), William Carey (Bengali), Robert Morrison (Tionghoa), Robert Moffat
(Setswana), Adoniram Judson (Burma), dll (Ibid.). Di Nusantara sendiri penerjemahan Alkitab dimulai
dengan terjemahan Injil Matius oleh Albert C. Ruyl (1629). Kemudian, seluruh PB dikerjakan Daniel
Brouwerius ke dalam bahasa Melayu (1668). Klinkert menerjemahkan PB ke dalam bahasa Melayu
dialek Semarang pada tahun 1863. Alkitab lengkap diterjemahkan M. Leijdecker (1733) dan H. C.
Klinkert (1879). Sementara itu terbit juga terjemahan‐terjemahan bahasa daerah (Jawa, Dayak Ngaju,
Batak Toba, Bugis, Sunda, dll).
Di abad ke‐20, Bode mengerjakan PB dalam bahasa Melayu yang berlaku di seluruh Nusantara. Alkitab
berbahasa Indonesia (TB) yang dipakai hingga sekarang terbit tahun 1974. Menarik untuk diketahui,
sementara menunggu rampungnya TB, gabungan PL terjemahan Klinkert dan PB Bode diluncurkan
sebagai Alkitab “darurat” yang lebih dikenal sebagai Alkitab Terjemahan Lama pada tahun 1958 (Tjen
2016, 31). Sekarang ini tengah berlangsung revisi PL Terjemahan Baru sementara revisi PB sudah
selesai lebih dulu pada tahun 1997. Bahasa Indonesia memang berkembang sangat pesat. Di setiap
generasi selalu ada corak bahasa yang baru. Oleh karena itu, sangatlah penting untuk menghadirkan
firman Tuhan dalam Bahasa Indonesia yang bisa dipahami oleh setiap generasi pembaca.
Untuk memberi gambaran perkembangan penerjemahan ke dalam bahasa Melayu/Indonesia, berikut
ini Doa Bapa Kami dalam terjemahan‐terjemahan yang dihasilkan di Indonesia (Soesilo 2014, 56‐73):
Tabel 1 Doa Bapa Kami sepanjang sejarah penerjemahan
A. C. Ruyl
(1629)
Bappa kita, jang
berdudok kadalam surga:
bermumin menjadi akan
namma‐mu.
Radjat‐mu mendatang
kahendak‐mu menjadi
di atas bumi seperti di
dalam surga.
Berila kita makannanku
sedekala hari.
Makka ber‐ampunla
pada‐kita doosa kita,
seperti kita ber‐ampun
akan siapa ber‐sala
kapada kita.
D’jang‐an hentar kita
kapada setana seitan,
tetapi muhoon‐la kita dari
pada iblis.
Brouwerius (1668)
Leijdecker (1731)
Revisi Leidecker oleh
Emde et al (1835)
Bappa cami, jang adda de Bapa kamij jang 'ada
Bapa kita, jang ada
Surga, Namma‐mou jaddi disawrga, namamu
disorga! namamoe
bersacti.
depersutjilah kiranja.
depersoetjikan.
Radjat‐mou datang.
Karadja`anmu datanglah. Karadjaanmoe
Candati‐mou jaddi
Kahendakhmu djadilah,
dedatangkan:
bagitou de boumi
seperti didalam sawrga,
kehendakmoe
bagimanna de surga.
demikijenlah di`atas
dedjadikan, seperti
Roti cami derri sa hari hari bumi.
didalam sorga, bagitoe
bri hari ini pada cami.
Rawtij kamij saharij 2
lagi diatas boemi.
Lagi ampon doosa cami,
berilah 'akan kamij pada
Reziki kita sahari‐hari
bagaimanna cami ampon harij 'ini.
brilah akan kita pada hari
capada orang jang salla
Dan 'amponilah pada
ini.
pada cami.
kamij segala salah kamij, Dan ampoenilah pada
Lagi jangan antarken
seperti lagi kamij 'ini
kita segala kasalahan
cami de dalam tsjobahan, meng`amponij pada
kita, saperti lagi kita ini
hanja lepasken cami derri 'awrang jang bersalah
mengampoeni pada
jang djahat.
kapada kamij.
orang jang bersalah
Dan djanganlah
kapada kita.
membawa kamij kapada
Dan djanganlah
pertjawba`an, hanja
membawa kita kapada
lepaskanlah kamij deri
pertjobaan, hanja
pada jang djahat.
lepaskan kita deri pada
jang djahat.
4
Klinkert (1870) – Melayu
tinggi
Bapa kami jang ada
disorga, dipermoeliakan
kiranja Namamoe;
Shellabear (1913) –
Melayu Baba
Ya Bapa kami yang di
shorga,
biar‐lah nama‐mu di‐
kuduskan.
Datanglah kiranja
Datang‐lah kerajaan‐mu.
karadjaanmoe;
Jadi‐lah kahandak‐mu,
kahendakmoe
sperti di shorga bgitu juga
berlakoelah di‐atas boemi di atas bumi.
ini saperti dalam sorga.
Bri‐lah sama kami ini hari
makanan kami yang s‐
Berilah akan kami pada
hari‐s‐hari.
hari ini rezeki jang
Dan ampunkan‐lah
tjoekoep;
hutang‐hutang kami,
Dan ampoenilah segala
sperti kami sudah
salah kami, saperti kami
ampunkan orang yang
pon mengampoeni orang berhutang sama kami.
jang bersalah kapada
Jangan‐lah bawa kami
kami.
masok dalam
pnchoba'an,
Dan djangan bawa akan
ttapi lpaskan‐lah kami
kami kadalam penggoda, deri‐pada yang jahat.
melainkan lepaskanlah
kami daripada jang
djahat
Bode (1938)
Bouma‐Ende (1964)
Ja Bapa kami jang
disoerga,
dipermoeliakanlah kiranja
Namamoe.
Datanglah
keradjaanmoe.
Djadilah kehendakmoe,
seperti disoerga, demikian
djoega diatas boemi.
Berilah kami pada hari ini
makanan kami jang
setjoekoepnja.
Dan ampoenilah kiranya
kepada kami segala
kesalahan kami,
seperti kami ini soedah
mengampoeni orang jang
berkesalahan kepada
kami.
Dan djanganlah
membawa kami kepada
pentjobaan,
melainkan lepaskanlah
kami dari pada jang
djahat
Bapa kami jang di Surga,
Dikuduskanlah NamaMu,
Datanglah KeradjaanMu,
djadilah kehendakMu
diatas bumi seperti
didalam Surga.
Berilah rezeki jang kami
perlu hari ini,
Hapuskanlah utang kami
seperti kami telah
menghapus utang orang
terhadap kami;
djanganlah masukkan
kami kedalam pertjobaan,
tetapi bebaskanlah kami
dari jang djahat.
Sejak 1960 hingga kini di negera‐negara berkembang, termasuk Indonesia, penerjemahan dalam
bahasa‐bahasa yang ada dilakukan bukan lagi oleh misionaris melainkan penutur bahasa itu sendiri.
Menurut Susilo, periode ini juga bisa disebut periode ekumenis yang ditandai kerja sama antara umat
Yahudi, Katolik dan Protestan (Sairin et al. 1994, 66). Ratusan proyek penerjemahan diadakan dengan
semangat yang sama: menghadirkan Firman Tuhan dalam bahasa‐bahasa yang mudah dimengerti.
Penerjemahan Alkitab ke dalam bahasa daerah di Indonesia, yang diselenggarakan LAI, dilakukan
dalam kerjasama dengan gereja‐gereja.
Kompleksitas Penerjemahan Alkitab
Seperti yang diungkapkan Willem Burung (Tjen et al. 2006, 3), bahasa dan budaya merupakan dua
unsur yang tidak dapat dipisahkan dalam kehidupan manusia. Keduanya mempengaruhi penerjemahan
Alkitab. Karena Alkitab ditulis dalam bahasa‐bahasa kuno dan konteks kebudayaan yang berbeda sama
sekali dengan apa yang kita miliki sekarang, maka penerjemahannya membutuhkan usaha yang tidak
sederhana. P. G. Katoppo (LAI 2001, 111) mengamati adanya 5 masalah penerjemahan sebagai berikut:
(1) Soal‐soal leksikal, seperti kata pinjaman, idiom, istilah, arti kata dalam konteks, nama‐nama
tumbuh‐tumbuhan dan binatang, ukuran dan timbangan; (2) Soal‐soal tata bahasa, seperti kata ganti
orang, panjangnya kalimat, urutan kata‐kata; (3) soal‐soal gaya bahasa, seperti kiasan, kata‐kata
mubazir, pertanyaan retoris, kata‐kata halus atau eufemisme; (4) Soal‐soal semantik, seperti informasi
implisit dan eksplisit, padanan terdekat, elipsis; (5) soal‐soal teks dan eksegesis, seperti kemungkinan
terjemahan yang berbeda, teks sumber yang berlainan.
5
Halangan bahasa terutama berkaitan dengan pemakaian bahasa‐bahasa Alkitab itu sendiri. Bahasa
Ibrani Alkitab berbeda dari bahasa Indonesia, Inggris, Jerman, Ibrani modern, dan lain‐lain. Satu contoh
kompleksnya penerjemahan berkaitan dengan bahasa adalah kosa kata yang tidak jelas artinya dalam
Alkitab. Atau yang hanya muncul sekali (hapax legomena [pl]). Misalnya, dalam Rut 3:8, kata
wayyillapet (akar katanya l‐p‐t) tidak jelas artinya sehingga disesuaikan dengan konteks (Ayb 6:18
“berkelok‐kelok”; Hab 16:29 “merangkul”). TB menerjemahkannya dengan “meraba‐raba ke
sekelilingnya”, (bnd. NAB “groped about”) sementara BIMK “membalikkan badan”. LXX menggunakan
kata etarachtē (terusik). Contoh hapax legomena adalah kata Ibrani piym (1Sam 13:21). KJV
menerjemahkannya file (kikir), yaitu alat menajamkan mata bajak, kapak, pisau dll. Namun, TB
menerjemahkannya “dua pertiga syikal”. Melatarbelakangi TB (juga banyak terjemahan modern
lainnya) adalah perkembangan di bidang arkeologi abad 20. Penggalian di beberapa tempat di
Palestina menemukan batu timbangan untuk keperluan dagang. Salah satu batu itu kira‐kira 8 gram
beratnya dan bertuliskan piym (Metzger, 1993: 276).
Kebudayaan Ibrani dan Yunani berbeda dari kebudayaan Asia Tenggara khususnya Indonesia masa kini.
Bisa saja terjadi kesalahpahaman ketika teks tertentu menyiratkan kebudayaan yang berbeda dari yang
dimiliki pembaca Alkitab. Misalnya, Kotynski dan Florimond memberi contoh menarik (Tjen et al. 2006,
114), dalam Wahyu 3:20: “ ... Aku berdiri di muka pintu dan mengetuk ...”. Budaya mengetuk pintu tidak
universal seperti yang dibayangkan masyarakat kita. Orang Tabaru di Maluku Utara tidak perlu
mengetuk pintu ketika mau masuk ke rumah orang lain. Mereka hanya memanggil dari luar dengan
seruan khas, “Ui!”. Kendala budaya seperti ini oleh beberapa kalangan diatasi dengan pendekatan
penafsiran ulang menurut kebudayaan. Dengan pendekatan ini makna teks diungkapkan kembali
dengan kata‐kata sesuai dengan konteks bahasa dan budaya penerima (Soesilo 2014, 46). Kasus
menarik, di Minahasa pernah ada penulis yang mencoba mengungkapkan Yohanes 15:1‐8 sebagai
“Akulah Cengkeh, Pala dan Kopra yang Benar” (Ibid.). Tentu saja pendekatan ini tidak dapat diterima
karena tidak mengindahkan atau menghormati teks asli dan budaya yang melatarbelakanginya.
Selain masalah di atas perlu dipahami masalah yang sebenarnya lebih mendasar. Seperti apakah
sebenarnya teks Ibrani, Aram, atau Yunani yang menjadi dasar terjemahan yang ada? Naskah‐naskah
Perjanjian Baru Yunani ada ribuan jumlahnya. Naskah Masoret yang mendasari PL tidak selalu mudah
dibaca. Oleh sebab itu, dalam penerjemahan penting untuk memperhatikan teks bahasa asli mana
yang dipakai.
Untuk kasus KJV misalnya, naskah Yunani yang menjadi dasar terjemahan ini tergantikan dengan
ditemukan naskah‐naskah yang jauh lebih bermutu. Penemuan papirus‐papirus misalnya dan
perkembangan studi Alkitab (termasuk arkeologi seperti sudah disinggung di atas) mendorong para
ahli mengupayakan terjemahan‐terjemahan baru yang memanfaatkan naskah‐naskah Yunani yang
lebih baik dan kemajuan studi tafsir.
Prinsip-prinsip Penerjemahan
1. Penerjemahan Formal
Terjemahan‐terjemahan utama umumnya adalah terjemahan formal (harfiah), yaitu terjemahan
tradisional yang mengalihbahasakan teks bahasa sumber dengan mempertahankan struktur aslinya.
Alhasil dengan cara menerjemah seperti itu, terjemahan terasa kaku atau janggal. Contoh terjemahan
6
formal dalam bahasa Inggris antara lain:‡ King James Version (1611), Revised Standared Version (1946‐
1957), New American Bible (1970), New American Standard Version (1960‐1995), New International
Version (1973, 1978, 1984, 2011), New King James Version (1979), New Revised Standard Version
(1989), English Standard Version (2001), New English Translation (1996‐2006). Dalam bahasa
Indonesia, Alkitab Terjemahan Baru (1974) yang diterbitkan LAI menerapkan prinsip penerjemahan
formal ini. Penerjemahan yang mengutamakan struktur bahasa sumber (formal‐harfiah dari bahasa
Ibrani, Aram, dan Yunani) ini telah berlangsung lama. Hal ini beralasan karena ada keyakinan bahwa
cara terbaik menerjemahkan teks adalah dengan mereproduksi struktur bersama dengan “keganjilan”
(baca: kekhasan) bahasa sumber. Bahkan ada anggapan susunan kata dan pilihan kata diilhami Tuhan
sehingga pantang untuk diubah (lih. Harun dalam LAI 2001, 44).
2. Penerjemahan Dinamis
Semenjak seperempat abad terakhir ini juga berkembang prinsip berbeda dari penerjemahan formal.
Prinsip ini bertujuan menghasilkan terjemahan yang lebih menekankan penyampaian makna alih‐alih
struktur dan “keganjilan” bahasa sumber. Terjemahan yang dikenal dengan terjemahan
dinamis/fungsional ini juga memperhatikan kekhususan bahasa penerima (Soesilo 2014, 43). Prinsip ini,
menurut Eugene Nida dan Charles Taber (1974, 19), berdasar pada dua kenyataan linguistik: (1) setiap
bahasa yang ada di dunia mencakup semua pengalaman dalam rangkaian simbol verbal tersendiri, dan
(2) setiap bahasa itu berbeda antara satu dengan yang lain dalam hal bagaimana simbol verbal masing‐
masing mengelompokkan berbagai unsur pengalaman itu. Kita bisa sebut saja terjemahan‐terjemahan
Alkitab seperti J. B. Phillips (1958), Today’s English Version/Good News Translation (1966, 1976),
Contemporary English Version (1991, 1995). Dan dalam bahasa Indonesia ada Alkitab Kabar Baik dalam
Bahasa Indonesia Masa Kini (1985). Meskipun demikian, kegemaran banyak orang terhadap terjemahan
harfiah masih sangat besar. Masih ada kecenderungan meyakini terjemahan yang terbaik adalah
terjemahan yang seharfiah mungkin. Bisa dimengerti kenapa terjemahan formal seperti King James
Version, New Revised Standard, Terjemahan Baru, masih mendapat tempat di hati pembaca Kitab Suci
di mana‐mana.
3. Adaptasi
Ada pula terjemahan yang berupa saduran atau adaptasi. Penyadur tidak ragu untuk memasukkan
pandangan teologisnya ke dalam terjemahan. Hal ini dilakukan dengan maksud agar pesan Alkitab
yang dianggap penting tersampaikan dengan hidup (Sairin et al. 1994, 72).
Tabel 2 Contoh Terjemahan Formal (kiri) dan Adaptasi (kanan) (Mazmur 23:1‐4)
Mazmur Daud. TUHAN adalah gembalaku, takkan
kekurangan aku.
2 Ia membaringkan aku di padang yang berumput
hijau, Ia membimbing aku ke air yang tenang;
3 Ia menyegarkan jiwaku. Ia menuntun aku di jalan
yang benar oleh karena nama‐Nya.
4 Sekalipun aku berjalan dalam lembah kekelaman,
aku tidak takut bahaya, sebab Engkau besertaku; gada‐
Mu dan tongkat‐Mu, itulah yang menghibur aku. (Mzm
23:1‐4 ITB)
1 Karena TUHAN adalah Gembalaku maka segala
keperluanku terpenuhi.
2, 3 Ia membaringkan aku di atas rumput hijau dan
menuntun aku sepanjang anak sungai yang tenang
airnya. Ia memulihkan keadaan diriku. Ia menolong aku
untuk melakukan apa yang benar dan yang
memuliakan Dia.
4 Walaupun aku berjalan melalui lembah maut yang
gelap, aku tidak akan takut karena Engkau menyertai
aku untuk menjaga dan membimbing aku sepanjang
jalan. (Mzm 23:1‐4 FAYH)
Hanya Alkitab Bahasa Inggris yang disebutkan di sini karena lebih mudah untuk diakses. Tentu ada contoh‐
contoh dari Alkitab berbahasa Jerman, Perancis, Italia, dll.
‡
7
Lembaga Alkitab Indonesia merupakan anggota persekutuan lembaga‐lembaga Alkitab sedunia.
Sebagai bagian dari keluarga besar lembaga Alkitab di dunia, LAI juga mengikuti prinsip‐prinsip yang
dipedomani oleh banyak lembaga Alkitab di berbagai negara. Salah satu prinsip yang dipedomani
adalah penerjemahan dinamis untuk terjemahan ke dalam bahasa daerah. Meskipun itu, untuk
terjemahan bahasa Indonesia LAI berpedoman pada penerjemahan formal, artinya terjemahan harfiah
diupayakan selama masih bisa dimengerti dan wajar dalam bahasa Indonesia. Prinsipnya tidak berbeda
dari slogan penerjemahan NRSV: “As literal as possible, as free as necessary” (lih. Metzger 1993, 282).
Kedua prinsip penerjemahan di atas memang bisa diterima dan saling melengkapi. Pertanyaan
mendasar dalam melaksanakan pekerjaan penerjemahan Alkitab adalah: Untuk siapakah terjemahan
ini akan ditujukan? Segmen pembaca mana yang mau dicapai dengan terjemahan ini? (LAI 2001, 112).
Terjemahan BIMK misalnya diperuntukkan bagi kalangan umum yang lebih memerlukan terjemahan
yang komunikatif yang bisa menyampaikan pesan Alkitab dengan jelas. TB ditujukan untuk pemakaian
liturgis. Dalam kegiatan pendalaman Alkitab misalnya kedua terjemahan itu bisa digunakan
bersamaan.
Satu aspek penting sekali dalam penerjemahan adalah pengujian. Dalam pengalaman LAI
menghasilkan TB dilakukan pengujian dengan meluncurkan Kabar Baik (1955) yang berisi sejumlah
pilihan ayat‐ayat Alkitab untuk melihat respons jemaat atas bahasa Indonesia yang digunakan tim
penerjemah (Sairin et al. 1994, 50). TB melalui tahap‐tahap penguijian dalam kerjasama dengan gereja‐
gereja di Indonesia dan mendapat masukan yang sangat berharga sebelum peluncurannya. Praktik
serupa tetap dilakukan hingga sekarang dalam proyek‐proyek penerjemahan LAI.
Beberapa Contoh
Bandingkan dua terjemahan (TB, BIMK) berikut ini:
“Dengan berbuat demikian kamu menumpukkan bara api di atas kepalanya.” (Roma 12:20 TB)
“Karena dengan berbuat demikian, Saudara akan membuat dia menjadi malu” (Roma 12:20
BIMK)
TB mewakili prinsip penerjemahan formal yang masih sampai sekarang dikerjakan oleh lembaga‐
lembaga Alkitab dalam keluarga besar UBS. Frase “bara api di atas kepalanya” merupakan terjemahan
formal (harfiah) dari ungkapan Yunani, anthrakas puros ... epi tên kepalên autou. Dalam BIMK, ungkapan
itu diterjemahkan secara dinamis dengan mengungkap arti “membuat ... menjadi malu”. Jelas bahwa
BIMK lebih mudah dipahami. Untuk mengetahui maksud TB pembaca wajib melewati 2 tahap
pemahaman: pertama, ia harus mengerti bahwa “menumpukkan bara api di atas kepala” tidak boleh
dipahami secara harfiah, lalu kedua, mengetahui apa arti ungkapan itu.
Dalam ucapan bahagia pertama yang disampaikan Tuhan Yesus:
“Berbahagialah orang yang miskin di hadapan Allah” (Mat 5:3 TB),
TB memunculkan “orang yang miskin” sebagai padanan hoi ptochoi dalam teks Yunani. Sedangkan
dalam Perjanjian Baru Bahasa Ma’anyan, ayat yang sama diterjemahkan "Tuu sanang marauh ulun sa
kaingkam angaan badaya nelang ekat itegei harap witu Tuhan” (sungguh bahagia orang yang merasa
tidak berdaya dan hanya bergantung pada Tuhan).
Perhatikan kembali kedua terjemahan berikut:
8
“Penghinaan bagi orang yang celaka, demikianlah pendapat orang yang hidup aman suatu
pukulan bagi orang yang tergelincir kakinya.” (Ayub 12:5 TB)
“Kamu menghina orang celaka, sedang hidupmu aman; orang yang hampir jatuh kamu beri
pukulan.” (Ayub 12:5 BIMK)
Dalam puisi Kitab Ayub di atas TB dengan baik mereproduksi struktur puisi teks Ibrani, lapiyd bûz
lə astût sya anan nakhôn ləmô adey ragel. Namun pembaca mungkin akan berpikir keras untuk
memahami pesannya. Di situlah BIMK mengatasinya dengan menerjemahkannya secara dinamis
sehingga pesannya tersampaikan dengan lebih mudah.
Ayat pertama dalam Alkitab diterjemahkan secara berbeda dalam terjemahan berikut:
“In the beginning, when God created the heavens and the earth—" (Kej 1:1 NAB)
“Pada mulanya Allah menciptakan langit dan bumi.” (Kej 1:1 TB)
“Pada mulanya, waktu Allah mulai menciptakan alam semesta,” (Kej 1:1 BIMK)
Mengacu pada teks Ibrani, selain dapat berdiri sendiri sebagai kalimat utama (TB), ayat 1 bisa juga
menjelaskan ayat 2 atau 3 sebagai anak kalimat yang menerangkan waktu (BIMK). Sejalan dengan
BIMK, New American Bible membandingkan kisah penciptaan Kejadian dengan penciptaan dalam
budaya kuno lain, yang memiliki susunan “ketika ... lalu ...”. Kata “ketika” (when) mengantar pada
keadaan awal dunia sebelum penciptaan sehingga ayat 1 tidak bisa berdiri sendiri tetapi berkaitan
dengan ayat selanjutnya (ayat 2). TB mewakili tradisi terjemahan Kej 1:1 yang memahami "pada
mulanya" dalam teks Ibrani sebagai keterangan waktu untuk “Allah menciptakan langit dan bumi” yang
berdiri sendiri. NAB dan BIMK merupakan contoh upaya untuk menghasilkan terjemahan yang
memperhatikan serius bagaimana teks itu sendiri dimengerti oleh penulis aslinya dan dalam konteks
budaya tertentu.
Satu contoh lain, 1 Korintus 5:4‐5 adalah kasus menarik. Bandingkan terjemahan‐terjemahan berikut:
“... aku sama seperti aku hadir telah menjatuhkan hukuman atas dia, yang telah melakukan hal yang
semacam itu. Bilamana kita berkumpul dalam roh, kamu bersama‐sama dengan aku, dengan kuasa
Yesus, Tuhan kita, orang itu harus kita serahkan dalam nama Tuhan Yesus kepada Iblis, ... “ (1Kor 5:4‐5
ITB)
“I have already passed judgment in the name of our Lord Jesus on the one who has been doing this. So
when you are assembled and I am with you in spirit, and the power of our Lord Jesus is present, hand this
man over to Satan for the destruction of the flesh ...” (1Kor 5:3‐5 NIV)
I have already pronounced judgment on the one who did such a thing. When you are assembled in the
name of the Lord Jesus and my spirit is present, with the power of our Lord Jesus, you are to deliver this
man to Satan for the destruction of the flesh, (1Kor 5:3‐5 ESV)
TB, mengikuti NBG (1951), menarik en tô onomati tou kuriou iēsou (dalam nama Tuhan Yesus; ayat 4) ke
ayat 5 untuk menerangkan verba paradounai (menyerahkan). NIV, NRS, TEV menarik frase ini ke ayat 3
untuk menerangkan kekrika (menjatuhkan hukuman). Terjemahan lain, ESV, CEB, NJB, melihatnya
sebagai keterangan untuk sunachthentôn (berkumpul). Jika mengamati teks Yunani sendiri, di mana
tidak ada tanda baca dalam naskah aslinya, alternatif‐alternatif di atas sama‐sama dimungkinkan. Hal
ini merupakan tantangan buat para penerjemah untuk menentukan mana yang paling tepat.
9
Catatan Akhir
Uraian singkat yang dapat disampaikan di atas menunjukkan bahwa pelayanan penerjemahan Alkitab
merupakan bagian dari karakter (nature) Kitab Suci itu sendiri (Alkitab). Alkitab bahasa Jawa yang
menyapa rohani orang‐orang Jawa tidak kalah sakral dibanding Alkitab dalam bahasa lain. Mengenal
pelayanan penerjemahan Alkitab dan kompleksitasnya mengajak kita untuk mengapresiasi lebih lagi
Alkitab yang ada di tangan kita dan membacanya dengan penuh minat akan kebenaran.
Penerjemahan Alkitab adalah bagian kehidupan umat beriman di sepanjang masa sehingga Firman
Tuhan tetap menyapa setiap orang di setiap zaman dan dimengerti dengan lebih baik. Sebagai orang
Kristiani kita percaya bahwa Roh Kudus yang menginspirasi para pewarta dan penerjemah dalam
sejarah Kekristenan juga berkarya dan menyertai penerjemah‐penerjemah di zaman kita.
Akhir kata, kita bisa berkata bahwa Alkitab dalam berbagai bahasa adalah sama sekaligus berbeda.
Menerjemahkan Alkitab bukan hal yang sederhana. Usaha keras penerjemah tidak menjamin pembaca
bisa mudah memahami isi Alkitab. Namun demikian, benar apa yang pernah diungkapkan Sri
Wismoady Wahono (1987, 472) bahwa ketika mencoba memahami pesan Alkitab, kita harus bersikap
terbuka, baik terhadap apa yang bisa kita pahami maupun terhadap apa yang belum bisa kita pahami.
Melalui keterbukaan (atau kejujuran) ini Roh Kudus bekerja dengan cara‐Nya yang tidak kita ketahui.
Pustaka Acuan (+ keterangan)
Lembaga Alkitab Indonesia. 2001. Alkitab dan Komunikasi. Kumpulan Makalah Seminar LAI. Jakarta:
LAI. (Berisi makalah‐makalah seminar dari para pakar dan pemerhati seputar Alkitab dan
komunikasi. Tulisan P. G. Katoppo dan Martin Harun, OFM., serta keynote address Daud Soesilo
bisa menjadi pengantar yang bagus)
Metzger, Bruce M. 1993. “Persistent Problems Confronting Bible Translators” Bibliotheca Sacra 150:
273‐284. (Metzger menguraikan masalah teknis yang harus dihadapi seorang penerjemah, mulai
dari bagaimana mengatasi beragamnya teks Kitab Suci itu sendiri hingga menerjemahkannya)
Newman, Barclay M. & Daniel C. Arichea. 1987. Penuntun Terjemahan Dinamis. Jakarta: LAI. (Panduan
singkat bagaimana menerjemahkan Alkitab dengan pendekatan dinamis‐fungsional. Ditulis oleh
dua konsultan penerjemahan dari Perserikatan Lembaga‐lembaga Alkitab Sedunia)
Nida, Eugene A.& Charles R. Taber. 1974. The Theory and Practice of Translation. Leiden: Brill. (Secara
teknis membahas bagaimana penerjemahan berbasis makna dilakukan. Ditulis oleh dua pakar di
bidang penerjemahan yang pemikirannya mempengaruhi penerjemahan Alkitab hingga kini)
Pelikan, Jaroslav. 2005. Whose Bible Is It? New York: Viking Penguin. (Sejarah yang mudah untuk diikuti
tentang posisi Alkitab dalam tradisi kepercayaan Yahudi dan Kristen)
Sairin, Weinata, J. S. Aritonang, R. Z. Leirissa, Daud Susilo, P. G. Katopo. 1994. Persebaran Alkitab di
Sepanjang Zaman. Jakarta: LAI‐Gunung Mulia. (Kumpulan karangan yang membahas sejarah,
hakikat, dan peranan Alkitab, serta isu kontemporer berkaitan penerjemahannya di Indonesia)
Soesilo, Daud. 2014. Mengenal Alkitab Anda. Edisi kelima. Jakarta: LAI. (Menyediakan informasi
tentang Alkitab dan seluk beluk penerjemahan Alkitab khususnya dalam bahasa Indonesia)
Tjen, Anwar, et al. 2006. Penerjemah, Penerjemahan Alkitab & Pembina Penerjemahan. Jakarta: LAI.
(Kumpulan karangan memperingati ulang tahun P. G. Katoppo ini menyajikan persoalan‐
persoalan konkret dalam penerjemahan Alkitab)
10
Tjen, Anwar. 2016. Alkitab Terjemahan Baru 2: Protokanonika dan Deuterokanonika. Beberapa Kebijakan
dan Prinsip yang Dipedomani. Lembaga Alkitab Indonesia. (Makalah yang disajikan dalam
Konsultasi Alkitab PB TB 2 Wil. Nusa Tenggara dan Bali di STFT Ledalero, Maumere)
Wahono, Sri Wismoady. 1987. Di Sini Kutemukan. Jakarta: Gunung Mulia. (Pengantar yang
komprehensif tentang seluk beluk Alkitab mulai dari sejarah, teologi, budaya, keagamaan, yang
melatarbelakangi penulisan Alkitab)
Alkitab: yang sama sekaligus berbeda*
Oleh: Jadesmon Saragih, M.Theol. ‐ Lembaga Alkitab Indonesia†
Pendahuluan
Penerjemahan umumnya dipahami sebagai upaya menyampaikan gagasan dari satu bahasa ke bahasa
lain. Seorang penerjemah harus betul‐betul mengerti gagasan yang ingin dialihbahasakan. Kita sering
mendengar istilah terjemahan bebas yang artinya terjemahan dihasilkan semata‐mata untuk pembaca
(pendengar) bisa mengerti dengan mudah gagasan itu. Terjemahan semacam ini tidak tergantung pada
kosa kata atau struktur yang ada dalam bahasa sumbernya. Tetapi di sisi lain Alkitab tidak bisa
diterjemahkan secara bebas seperti itu. Aspek bahasa, budaya, dan posisi Kitab itu sendiri bagi umat
ikut mempengaruhi. Untuk menggambarkan masalah yang bisa terjadi dalam penerjemahan, kita pasti
pernah mendengar lelucon kalimat dalam bahasa Inggris yang diterjemahkan secara harfiah dari
bahasa Indonesia. Hasilnya jenaka sekali, seperti berikut ini:
No what‐what (tidak apa‐apa)
I want to throw little water away (saya mau buang air kecil)
Benar, contoh‐contoh di atas hanya lelucon. Kita tahu itu lelucon karena kita mengerti betul apa artinya
dalam bahasa sumber (Indonesia). Begitulah cara kerja lelucon! Namun, bagi pendengar yang tidak
tahu menahu bahasa sumbernya, kalimat di atas tentu bukan lelucon; orang akan mengernyitkan dahi
begitu mendengarnya. Dalam hal ini perlu dipahami penerjemahan Alkitab sebagai sebuah bidang yang
membutuhkan keahlian tertentu karena lelucon seperti di atas bisa saja terjadi dalam penerjemahan
Alkitab.
Alkitab adalah kumpulan tulisan‐tulisan yang berisi kesaksian iman umat percaya tentang hubungan
Allah dan umat‐Nya (bnd. Soesilo 2014, 9). Definisi ini menunjukkan karakter Kitab Suci bagi umat
Kristiani, yang membedakannya dari kitab‐kitab suci agama lain. Tulisan singkat ini secara umum
berbicara tentang penerjemahan Alkitab, dan menyampaikan gagasan bahwa tidak ada prinsip tunggal
untuk semua terjemahan. Kita juga akan melihat bahwa penerjemahan yang melibatkan pemahaman
merupakan bagian tak terpisahkan dari sejarah Alkitab itu sendiri.
Sejarah Penerjemahan Alkitab
Seperti umumnya diketahui, Alkitab aslinya ditulis dalam bahasa Ibrani (untuk PL), Aram (sebagian
kecil PL: Dan 2:4–7:28; Ezr 4:8–6:18, 7:12‐26), dan Yunani (seluruh PB). Saat ini Alkitab sudah hadir
dalam banyak bahasa di dunia. Di Indonesia khususnya, penerjemahan Alkitab yang diselenggarakan
LAI sudah menerbitkan Alkitab dalam 33 bahasa, Perjanjian Baru dalam 77 bahasa, dan porsion dalam
329 judul.
*
disampaikan dalam Seminar Penerjemahan Alkitab di Gereja Isa Almasih (GIA) Rajawali, Jakarta Pusat.
Pembina Penerjemahan di Departemen Penerjemahan LAI. Saragih studi teologi di STT Gereja Kalimantan
Evangelis, Banjarmasin (S.Th., 2011); kemudian mendalami studi Perjanjian Baru di Divinity School of Chung Chi
College, The Chinese University of Hong Kong (studi persiapan, 2011‐2012; M.Theol. [Biblical Studies & Early
Christianity], 2015). Minatnya meliputi kajian‐kajian Injil Sinoptik, hermeneutika Alkitab, dan sejarah penerimaan
dan pengaruh Alkitab (Wirkungsgeschichte). Saat ini ikut dilibatkan dalam Revisi Perjanjian Lama TB dan Bibel
Toba. E‐mail: jades@alkitab.or.id
†
2
Mengapa Alkitab diterjemahkan? Karena tidak mungkin setiap orang membacanya dalam bahasa asli.
Alkitab akan tetap Alkitab meskipun dalam bentuk terjemahan. Tuhan tidak menelantarkan pesan‐Nya.
Ia telah dan akan memanggil orang‐orang tertentu untuk melayani di bidang penerjemahan Alkitab.
Selain itu penting untuk mengetahui bahwa penerjemahan telah dilakukan sejak lama sekali.
Terjemahan Lima Kitab Musa (Pentateuch) dibuat ketika Bahasa Ibrani digantikan Bahasa Aram
sebagai bahasa sehari‐hari. Ini terjadi kira‐kira abad ke‐5 dan ke‐6 sebelum Masehi. Kala itu, Kerajaan
Persia menguasai dunia. Penerjemahan Alkitab secara lebih lengkap dilakukan pada abad ke‐2 dan ke‐3
sebelum Masehi. Kala itu, Alkitab Ibrani (Perjanjian Lama) dialihbahasakan ke dalam Bahasa Yunani.
Alkitab terjemahan ini dinamakan Septuaginta (LXX). Konon, di Aleksandria, atas perintah Ptolemaios
II Philadelphos (memerintah 285‐246 SM), 72 penerjemah bekerja secara terpisah, namun akhirnya
menghasilkan terjemahan yang serupa antara satu dengan yang lain. Penting untuk diketahui, Alkitab
terjemahan inilah yang dipakai di dunia Perjanjian Baru. Ketika itu, bahasa Yunani menguasai
kehidupan masyarakat termasuk di Palestina. Bahkan terjemahan itu menjadi pegangan resmi umat
kala itu, tidak kalah sakralnya dari Alkitab Ibrani.
Terjemahan‐terjemahan berperan penting dalam jemaat‐jemaat Kristen di berbagai tempat. Tidak
mengherankan ada banyak terjemahan dalam bahasa‐bahasa, seperti Koptik, Armenia, Arab, Etiopia,
Gotik, dan lain‐lain. Terjemahan penting dalam sejarah gereja adalah terjemahan Alkitab dalam bahasa
Latin (Vulgata). Hieronimus (Jerome) mengerjakan terjemahan ini secara lengkap berdasarkan
terjemahan Latin terdahulu. Vulgata dikerjakan pada abad keempat dan kemudian menjadi pegangan
resmi dalam Gereja Katolik. Alkitab Latin ini hanya tersedia bagi kalangan elite gereja dan sangat
terbatas (Sairin et al. 1994, 33). Inilah yang mewakili periode pertama penerjemahan Alkitab.
Kerinduan untuk menghadirkan Firman Tuhan (baca: Alkitab) untuk semakin banyak orang mendorong
banyak sarjana menerjemahkannya. Hal ini perlu diketahui mengingat kala itu hanya elite gereja saja
yang memiliki dan membaca Alkitab. Salah satu faktor yang mendukung penyebaran Alkitab
terjemahan adalah dengan ditemukannya mesin cetak oleh Johannes Gutenberg (1400‐1468). Mesin
cetak memungkinkan ada Alkitab dengan ketepatan dan keseragaman teks. Dengan demikian berlalu
sudah era di mana banyak macam versi dan varian naskah Alkitab. Sesudah Gutenberg sejarah Alkitab
memasuki era Alkitab cetak (Pelikan 2005, 146). Alkitab pun menjadi lebih terjangkau dan bisa tersebar
dengan lebih luas.
Periode selanjutnya penerjemahan Alkitab berhubungan dengan gerakan Reformasi (Katoppo dalam
LAI 2001, 104). Martin Luther memainkan peranan penting dalam sejarah penerjemahan Alkitab.
Sebagai bagian dari agenda reformasinya Luther menerjemahkan Perjanjian Baru Bahasa Yunani ke
dalam bahasa ibunya, bahasa Jerman. Terbit tahun 1534, Alkitab Luther diterjemahkan langsung dari
bahasa Ibrani dan Yunani. Ini Luther lakukan karena keyakinannya bahwa setiap orang, siapapun dia,
berhak memiliki akses kepada Alkitab. Tidak hanya kaum elite seperti imam, sarjana, bangsawan, yang
boleh membacanya (Sairin et al. 1994: 33), tetapi juga para buruh dan ibu rumah tangga. Hal inilah yang
mencerminkan pandangannya tentang “imamat am orang percaya” (Pelikan 2005, 171).
Di Inggris pada awal abad ke‐17 ada terjemahan yang hingga kini masih banyak dibaca, yaitu King
James Bible. Sebelumnya, pada tahun 1382 John Wycliffe menerjemahkan Alkitab dari bahasa Latin ke
bahasa Inggris. Sekarang ini sudah ada banyak terjemahan dalam Bahasa Inggris yang lebih mudah
dimengerti. Terjemahan‐terjemahan Bahasa Inggris menunjukkan bahwa tidak hanya penerjemahan
itu penting, tetapi juga pemeliharaan terjemahan itu, berupa revisi terjemahan. Karena bahasa dari
waktu ke waktu mengalami perkembangan. Arti sebuah kata bisa bergeser. Dinamika ini perlu
dimengerti oleh umat Kristiani.
3
Periode ketiga penerjemahan Alkitab berlangsung dalam gerakan penginjilan dari Eropa ke Asia dan
Afrika (Katoppo dalam LAI 2001, 106). Sebut saja nama‐nama penginjil‐penerjemah dari The Great Era
seperti Henry Martyn (Parsi), William Carey (Bengali), Robert Morrison (Tionghoa), Robert Moffat
(Setswana), Adoniram Judson (Burma), dll (Ibid.). Di Nusantara sendiri penerjemahan Alkitab dimulai
dengan terjemahan Injil Matius oleh Albert C. Ruyl (1629). Kemudian, seluruh PB dikerjakan Daniel
Brouwerius ke dalam bahasa Melayu (1668). Klinkert menerjemahkan PB ke dalam bahasa Melayu
dialek Semarang pada tahun 1863. Alkitab lengkap diterjemahkan M. Leijdecker (1733) dan H. C.
Klinkert (1879). Sementara itu terbit juga terjemahan‐terjemahan bahasa daerah (Jawa, Dayak Ngaju,
Batak Toba, Bugis, Sunda, dll).
Di abad ke‐20, Bode mengerjakan PB dalam bahasa Melayu yang berlaku di seluruh Nusantara. Alkitab
berbahasa Indonesia (TB) yang dipakai hingga sekarang terbit tahun 1974. Menarik untuk diketahui,
sementara menunggu rampungnya TB, gabungan PL terjemahan Klinkert dan PB Bode diluncurkan
sebagai Alkitab “darurat” yang lebih dikenal sebagai Alkitab Terjemahan Lama pada tahun 1958 (Tjen
2016, 31). Sekarang ini tengah berlangsung revisi PL Terjemahan Baru sementara revisi PB sudah
selesai lebih dulu pada tahun 1997. Bahasa Indonesia memang berkembang sangat pesat. Di setiap
generasi selalu ada corak bahasa yang baru. Oleh karena itu, sangatlah penting untuk menghadirkan
firman Tuhan dalam Bahasa Indonesia yang bisa dipahami oleh setiap generasi pembaca.
Untuk memberi gambaran perkembangan penerjemahan ke dalam bahasa Melayu/Indonesia, berikut
ini Doa Bapa Kami dalam terjemahan‐terjemahan yang dihasilkan di Indonesia (Soesilo 2014, 56‐73):
Tabel 1 Doa Bapa Kami sepanjang sejarah penerjemahan
A. C. Ruyl
(1629)
Bappa kita, jang
berdudok kadalam surga:
bermumin menjadi akan
namma‐mu.
Radjat‐mu mendatang
kahendak‐mu menjadi
di atas bumi seperti di
dalam surga.
Berila kita makannanku
sedekala hari.
Makka ber‐ampunla
pada‐kita doosa kita,
seperti kita ber‐ampun
akan siapa ber‐sala
kapada kita.
D’jang‐an hentar kita
kapada setana seitan,
tetapi muhoon‐la kita dari
pada iblis.
Brouwerius (1668)
Leijdecker (1731)
Revisi Leidecker oleh
Emde et al (1835)
Bappa cami, jang adda de Bapa kamij jang 'ada
Bapa kita, jang ada
Surga, Namma‐mou jaddi disawrga, namamu
disorga! namamoe
bersacti.
depersutjilah kiranja.
depersoetjikan.
Radjat‐mou datang.
Karadja`anmu datanglah. Karadjaanmoe
Candati‐mou jaddi
Kahendakhmu djadilah,
dedatangkan:
bagitou de boumi
seperti didalam sawrga,
kehendakmoe
bagimanna de surga.
demikijenlah di`atas
dedjadikan, seperti
Roti cami derri sa hari hari bumi.
didalam sorga, bagitoe
bri hari ini pada cami.
Rawtij kamij saharij 2
lagi diatas boemi.
Lagi ampon doosa cami,
berilah 'akan kamij pada
Reziki kita sahari‐hari
bagaimanna cami ampon harij 'ini.
brilah akan kita pada hari
capada orang jang salla
Dan 'amponilah pada
ini.
pada cami.
kamij segala salah kamij, Dan ampoenilah pada
Lagi jangan antarken
seperti lagi kamij 'ini
kita segala kasalahan
cami de dalam tsjobahan, meng`amponij pada
kita, saperti lagi kita ini
hanja lepasken cami derri 'awrang jang bersalah
mengampoeni pada
jang djahat.
kapada kamij.
orang jang bersalah
Dan djanganlah
kapada kita.
membawa kamij kapada
Dan djanganlah
pertjawba`an, hanja
membawa kita kapada
lepaskanlah kamij deri
pertjobaan, hanja
pada jang djahat.
lepaskan kita deri pada
jang djahat.
4
Klinkert (1870) – Melayu
tinggi
Bapa kami jang ada
disorga, dipermoeliakan
kiranja Namamoe;
Shellabear (1913) –
Melayu Baba
Ya Bapa kami yang di
shorga,
biar‐lah nama‐mu di‐
kuduskan.
Datanglah kiranja
Datang‐lah kerajaan‐mu.
karadjaanmoe;
Jadi‐lah kahandak‐mu,
kahendakmoe
sperti di shorga bgitu juga
berlakoelah di‐atas boemi di atas bumi.
ini saperti dalam sorga.
Bri‐lah sama kami ini hari
makanan kami yang s‐
Berilah akan kami pada
hari‐s‐hari.
hari ini rezeki jang
Dan ampunkan‐lah
tjoekoep;
hutang‐hutang kami,
Dan ampoenilah segala
sperti kami sudah
salah kami, saperti kami
ampunkan orang yang
pon mengampoeni orang berhutang sama kami.
jang bersalah kapada
Jangan‐lah bawa kami
kami.
masok dalam
pnchoba'an,
Dan djangan bawa akan
ttapi lpaskan‐lah kami
kami kadalam penggoda, deri‐pada yang jahat.
melainkan lepaskanlah
kami daripada jang
djahat
Bode (1938)
Bouma‐Ende (1964)
Ja Bapa kami jang
disoerga,
dipermoeliakanlah kiranja
Namamoe.
Datanglah
keradjaanmoe.
Djadilah kehendakmoe,
seperti disoerga, demikian
djoega diatas boemi.
Berilah kami pada hari ini
makanan kami jang
setjoekoepnja.
Dan ampoenilah kiranya
kepada kami segala
kesalahan kami,
seperti kami ini soedah
mengampoeni orang jang
berkesalahan kepada
kami.
Dan djanganlah
membawa kami kepada
pentjobaan,
melainkan lepaskanlah
kami dari pada jang
djahat
Bapa kami jang di Surga,
Dikuduskanlah NamaMu,
Datanglah KeradjaanMu,
djadilah kehendakMu
diatas bumi seperti
didalam Surga.
Berilah rezeki jang kami
perlu hari ini,
Hapuskanlah utang kami
seperti kami telah
menghapus utang orang
terhadap kami;
djanganlah masukkan
kami kedalam pertjobaan,
tetapi bebaskanlah kami
dari jang djahat.
Sejak 1960 hingga kini di negera‐negara berkembang, termasuk Indonesia, penerjemahan dalam
bahasa‐bahasa yang ada dilakukan bukan lagi oleh misionaris melainkan penutur bahasa itu sendiri.
Menurut Susilo, periode ini juga bisa disebut periode ekumenis yang ditandai kerja sama antara umat
Yahudi, Katolik dan Protestan (Sairin et al. 1994, 66). Ratusan proyek penerjemahan diadakan dengan
semangat yang sama: menghadirkan Firman Tuhan dalam bahasa‐bahasa yang mudah dimengerti.
Penerjemahan Alkitab ke dalam bahasa daerah di Indonesia, yang diselenggarakan LAI, dilakukan
dalam kerjasama dengan gereja‐gereja.
Kompleksitas Penerjemahan Alkitab
Seperti yang diungkapkan Willem Burung (Tjen et al. 2006, 3), bahasa dan budaya merupakan dua
unsur yang tidak dapat dipisahkan dalam kehidupan manusia. Keduanya mempengaruhi penerjemahan
Alkitab. Karena Alkitab ditulis dalam bahasa‐bahasa kuno dan konteks kebudayaan yang berbeda sama
sekali dengan apa yang kita miliki sekarang, maka penerjemahannya membutuhkan usaha yang tidak
sederhana. P. G. Katoppo (LAI 2001, 111) mengamati adanya 5 masalah penerjemahan sebagai berikut:
(1) Soal‐soal leksikal, seperti kata pinjaman, idiom, istilah, arti kata dalam konteks, nama‐nama
tumbuh‐tumbuhan dan binatang, ukuran dan timbangan; (2) Soal‐soal tata bahasa, seperti kata ganti
orang, panjangnya kalimat, urutan kata‐kata; (3) soal‐soal gaya bahasa, seperti kiasan, kata‐kata
mubazir, pertanyaan retoris, kata‐kata halus atau eufemisme; (4) Soal‐soal semantik, seperti informasi
implisit dan eksplisit, padanan terdekat, elipsis; (5) soal‐soal teks dan eksegesis, seperti kemungkinan
terjemahan yang berbeda, teks sumber yang berlainan.
5
Halangan bahasa terutama berkaitan dengan pemakaian bahasa‐bahasa Alkitab itu sendiri. Bahasa
Ibrani Alkitab berbeda dari bahasa Indonesia, Inggris, Jerman, Ibrani modern, dan lain‐lain. Satu contoh
kompleksnya penerjemahan berkaitan dengan bahasa adalah kosa kata yang tidak jelas artinya dalam
Alkitab. Atau yang hanya muncul sekali (hapax legomena [pl]). Misalnya, dalam Rut 3:8, kata
wayyillapet (akar katanya l‐p‐t) tidak jelas artinya sehingga disesuaikan dengan konteks (Ayb 6:18
“berkelok‐kelok”; Hab 16:29 “merangkul”). TB menerjemahkannya dengan “meraba‐raba ke
sekelilingnya”, (bnd. NAB “groped about”) sementara BIMK “membalikkan badan”. LXX menggunakan
kata etarachtē (terusik). Contoh hapax legomena adalah kata Ibrani piym (1Sam 13:21). KJV
menerjemahkannya file (kikir), yaitu alat menajamkan mata bajak, kapak, pisau dll. Namun, TB
menerjemahkannya “dua pertiga syikal”. Melatarbelakangi TB (juga banyak terjemahan modern
lainnya) adalah perkembangan di bidang arkeologi abad 20. Penggalian di beberapa tempat di
Palestina menemukan batu timbangan untuk keperluan dagang. Salah satu batu itu kira‐kira 8 gram
beratnya dan bertuliskan piym (Metzger, 1993: 276).
Kebudayaan Ibrani dan Yunani berbeda dari kebudayaan Asia Tenggara khususnya Indonesia masa kini.
Bisa saja terjadi kesalahpahaman ketika teks tertentu menyiratkan kebudayaan yang berbeda dari yang
dimiliki pembaca Alkitab. Misalnya, Kotynski dan Florimond memberi contoh menarik (Tjen et al. 2006,
114), dalam Wahyu 3:20: “ ... Aku berdiri di muka pintu dan mengetuk ...”. Budaya mengetuk pintu tidak
universal seperti yang dibayangkan masyarakat kita. Orang Tabaru di Maluku Utara tidak perlu
mengetuk pintu ketika mau masuk ke rumah orang lain. Mereka hanya memanggil dari luar dengan
seruan khas, “Ui!”. Kendala budaya seperti ini oleh beberapa kalangan diatasi dengan pendekatan
penafsiran ulang menurut kebudayaan. Dengan pendekatan ini makna teks diungkapkan kembali
dengan kata‐kata sesuai dengan konteks bahasa dan budaya penerima (Soesilo 2014, 46). Kasus
menarik, di Minahasa pernah ada penulis yang mencoba mengungkapkan Yohanes 15:1‐8 sebagai
“Akulah Cengkeh, Pala dan Kopra yang Benar” (Ibid.). Tentu saja pendekatan ini tidak dapat diterima
karena tidak mengindahkan atau menghormati teks asli dan budaya yang melatarbelakanginya.
Selain masalah di atas perlu dipahami masalah yang sebenarnya lebih mendasar. Seperti apakah
sebenarnya teks Ibrani, Aram, atau Yunani yang menjadi dasar terjemahan yang ada? Naskah‐naskah
Perjanjian Baru Yunani ada ribuan jumlahnya. Naskah Masoret yang mendasari PL tidak selalu mudah
dibaca. Oleh sebab itu, dalam penerjemahan penting untuk memperhatikan teks bahasa asli mana
yang dipakai.
Untuk kasus KJV misalnya, naskah Yunani yang menjadi dasar terjemahan ini tergantikan dengan
ditemukan naskah‐naskah yang jauh lebih bermutu. Penemuan papirus‐papirus misalnya dan
perkembangan studi Alkitab (termasuk arkeologi seperti sudah disinggung di atas) mendorong para
ahli mengupayakan terjemahan‐terjemahan baru yang memanfaatkan naskah‐naskah Yunani yang
lebih baik dan kemajuan studi tafsir.
Prinsip-prinsip Penerjemahan
1. Penerjemahan Formal
Terjemahan‐terjemahan utama umumnya adalah terjemahan formal (harfiah), yaitu terjemahan
tradisional yang mengalihbahasakan teks bahasa sumber dengan mempertahankan struktur aslinya.
Alhasil dengan cara menerjemah seperti itu, terjemahan terasa kaku atau janggal. Contoh terjemahan
6
formal dalam bahasa Inggris antara lain:‡ King James Version (1611), Revised Standared Version (1946‐
1957), New American Bible (1970), New American Standard Version (1960‐1995), New International
Version (1973, 1978, 1984, 2011), New King James Version (1979), New Revised Standard Version
(1989), English Standard Version (2001), New English Translation (1996‐2006). Dalam bahasa
Indonesia, Alkitab Terjemahan Baru (1974) yang diterbitkan LAI menerapkan prinsip penerjemahan
formal ini. Penerjemahan yang mengutamakan struktur bahasa sumber (formal‐harfiah dari bahasa
Ibrani, Aram, dan Yunani) ini telah berlangsung lama. Hal ini beralasan karena ada keyakinan bahwa
cara terbaik menerjemahkan teks adalah dengan mereproduksi struktur bersama dengan “keganjilan”
(baca: kekhasan) bahasa sumber. Bahkan ada anggapan susunan kata dan pilihan kata diilhami Tuhan
sehingga pantang untuk diubah (lih. Harun dalam LAI 2001, 44).
2. Penerjemahan Dinamis
Semenjak seperempat abad terakhir ini juga berkembang prinsip berbeda dari penerjemahan formal.
Prinsip ini bertujuan menghasilkan terjemahan yang lebih menekankan penyampaian makna alih‐alih
struktur dan “keganjilan” bahasa sumber. Terjemahan yang dikenal dengan terjemahan
dinamis/fungsional ini juga memperhatikan kekhususan bahasa penerima (Soesilo 2014, 43). Prinsip ini,
menurut Eugene Nida dan Charles Taber (1974, 19), berdasar pada dua kenyataan linguistik: (1) setiap
bahasa yang ada di dunia mencakup semua pengalaman dalam rangkaian simbol verbal tersendiri, dan
(2) setiap bahasa itu berbeda antara satu dengan yang lain dalam hal bagaimana simbol verbal masing‐
masing mengelompokkan berbagai unsur pengalaman itu. Kita bisa sebut saja terjemahan‐terjemahan
Alkitab seperti J. B. Phillips (1958), Today’s English Version/Good News Translation (1966, 1976),
Contemporary English Version (1991, 1995). Dan dalam bahasa Indonesia ada Alkitab Kabar Baik dalam
Bahasa Indonesia Masa Kini (1985). Meskipun demikian, kegemaran banyak orang terhadap terjemahan
harfiah masih sangat besar. Masih ada kecenderungan meyakini terjemahan yang terbaik adalah
terjemahan yang seharfiah mungkin. Bisa dimengerti kenapa terjemahan formal seperti King James
Version, New Revised Standard, Terjemahan Baru, masih mendapat tempat di hati pembaca Kitab Suci
di mana‐mana.
3. Adaptasi
Ada pula terjemahan yang berupa saduran atau adaptasi. Penyadur tidak ragu untuk memasukkan
pandangan teologisnya ke dalam terjemahan. Hal ini dilakukan dengan maksud agar pesan Alkitab
yang dianggap penting tersampaikan dengan hidup (Sairin et al. 1994, 72).
Tabel 2 Contoh Terjemahan Formal (kiri) dan Adaptasi (kanan) (Mazmur 23:1‐4)
Mazmur Daud. TUHAN adalah gembalaku, takkan
kekurangan aku.
2 Ia membaringkan aku di padang yang berumput
hijau, Ia membimbing aku ke air yang tenang;
3 Ia menyegarkan jiwaku. Ia menuntun aku di jalan
yang benar oleh karena nama‐Nya.
4 Sekalipun aku berjalan dalam lembah kekelaman,
aku tidak takut bahaya, sebab Engkau besertaku; gada‐
Mu dan tongkat‐Mu, itulah yang menghibur aku. (Mzm
23:1‐4 ITB)
1 Karena TUHAN adalah Gembalaku maka segala
keperluanku terpenuhi.
2, 3 Ia membaringkan aku di atas rumput hijau dan
menuntun aku sepanjang anak sungai yang tenang
airnya. Ia memulihkan keadaan diriku. Ia menolong aku
untuk melakukan apa yang benar dan yang
memuliakan Dia.
4 Walaupun aku berjalan melalui lembah maut yang
gelap, aku tidak akan takut karena Engkau menyertai
aku untuk menjaga dan membimbing aku sepanjang
jalan. (Mzm 23:1‐4 FAYH)
Hanya Alkitab Bahasa Inggris yang disebutkan di sini karena lebih mudah untuk diakses. Tentu ada contoh‐
contoh dari Alkitab berbahasa Jerman, Perancis, Italia, dll.
‡
7
Lembaga Alkitab Indonesia merupakan anggota persekutuan lembaga‐lembaga Alkitab sedunia.
Sebagai bagian dari keluarga besar lembaga Alkitab di dunia, LAI juga mengikuti prinsip‐prinsip yang
dipedomani oleh banyak lembaga Alkitab di berbagai negara. Salah satu prinsip yang dipedomani
adalah penerjemahan dinamis untuk terjemahan ke dalam bahasa daerah. Meskipun itu, untuk
terjemahan bahasa Indonesia LAI berpedoman pada penerjemahan formal, artinya terjemahan harfiah
diupayakan selama masih bisa dimengerti dan wajar dalam bahasa Indonesia. Prinsipnya tidak berbeda
dari slogan penerjemahan NRSV: “As literal as possible, as free as necessary” (lih. Metzger 1993, 282).
Kedua prinsip penerjemahan di atas memang bisa diterima dan saling melengkapi. Pertanyaan
mendasar dalam melaksanakan pekerjaan penerjemahan Alkitab adalah: Untuk siapakah terjemahan
ini akan ditujukan? Segmen pembaca mana yang mau dicapai dengan terjemahan ini? (LAI 2001, 112).
Terjemahan BIMK misalnya diperuntukkan bagi kalangan umum yang lebih memerlukan terjemahan
yang komunikatif yang bisa menyampaikan pesan Alkitab dengan jelas. TB ditujukan untuk pemakaian
liturgis. Dalam kegiatan pendalaman Alkitab misalnya kedua terjemahan itu bisa digunakan
bersamaan.
Satu aspek penting sekali dalam penerjemahan adalah pengujian. Dalam pengalaman LAI
menghasilkan TB dilakukan pengujian dengan meluncurkan Kabar Baik (1955) yang berisi sejumlah
pilihan ayat‐ayat Alkitab untuk melihat respons jemaat atas bahasa Indonesia yang digunakan tim
penerjemah (Sairin et al. 1994, 50). TB melalui tahap‐tahap penguijian dalam kerjasama dengan gereja‐
gereja di Indonesia dan mendapat masukan yang sangat berharga sebelum peluncurannya. Praktik
serupa tetap dilakukan hingga sekarang dalam proyek‐proyek penerjemahan LAI.
Beberapa Contoh
Bandingkan dua terjemahan (TB, BIMK) berikut ini:
“Dengan berbuat demikian kamu menumpukkan bara api di atas kepalanya.” (Roma 12:20 TB)
“Karena dengan berbuat demikian, Saudara akan membuat dia menjadi malu” (Roma 12:20
BIMK)
TB mewakili prinsip penerjemahan formal yang masih sampai sekarang dikerjakan oleh lembaga‐
lembaga Alkitab dalam keluarga besar UBS. Frase “bara api di atas kepalanya” merupakan terjemahan
formal (harfiah) dari ungkapan Yunani, anthrakas puros ... epi tên kepalên autou. Dalam BIMK, ungkapan
itu diterjemahkan secara dinamis dengan mengungkap arti “membuat ... menjadi malu”. Jelas bahwa
BIMK lebih mudah dipahami. Untuk mengetahui maksud TB pembaca wajib melewati 2 tahap
pemahaman: pertama, ia harus mengerti bahwa “menumpukkan bara api di atas kepala” tidak boleh
dipahami secara harfiah, lalu kedua, mengetahui apa arti ungkapan itu.
Dalam ucapan bahagia pertama yang disampaikan Tuhan Yesus:
“Berbahagialah orang yang miskin di hadapan Allah” (Mat 5:3 TB),
TB memunculkan “orang yang miskin” sebagai padanan hoi ptochoi dalam teks Yunani. Sedangkan
dalam Perjanjian Baru Bahasa Ma’anyan, ayat yang sama diterjemahkan "Tuu sanang marauh ulun sa
kaingkam angaan badaya nelang ekat itegei harap witu Tuhan” (sungguh bahagia orang yang merasa
tidak berdaya dan hanya bergantung pada Tuhan).
Perhatikan kembali kedua terjemahan berikut:
8
“Penghinaan bagi orang yang celaka, demikianlah pendapat orang yang hidup aman suatu
pukulan bagi orang yang tergelincir kakinya.” (Ayub 12:5 TB)
“Kamu menghina orang celaka, sedang hidupmu aman; orang yang hampir jatuh kamu beri
pukulan.” (Ayub 12:5 BIMK)
Dalam puisi Kitab Ayub di atas TB dengan baik mereproduksi struktur puisi teks Ibrani, lapiyd bûz
lə astût sya anan nakhôn ləmô adey ragel. Namun pembaca mungkin akan berpikir keras untuk
memahami pesannya. Di situlah BIMK mengatasinya dengan menerjemahkannya secara dinamis
sehingga pesannya tersampaikan dengan lebih mudah.
Ayat pertama dalam Alkitab diterjemahkan secara berbeda dalam terjemahan berikut:
“In the beginning, when God created the heavens and the earth—" (Kej 1:1 NAB)
“Pada mulanya Allah menciptakan langit dan bumi.” (Kej 1:1 TB)
“Pada mulanya, waktu Allah mulai menciptakan alam semesta,” (Kej 1:1 BIMK)
Mengacu pada teks Ibrani, selain dapat berdiri sendiri sebagai kalimat utama (TB), ayat 1 bisa juga
menjelaskan ayat 2 atau 3 sebagai anak kalimat yang menerangkan waktu (BIMK). Sejalan dengan
BIMK, New American Bible membandingkan kisah penciptaan Kejadian dengan penciptaan dalam
budaya kuno lain, yang memiliki susunan “ketika ... lalu ...”. Kata “ketika” (when) mengantar pada
keadaan awal dunia sebelum penciptaan sehingga ayat 1 tidak bisa berdiri sendiri tetapi berkaitan
dengan ayat selanjutnya (ayat 2). TB mewakili tradisi terjemahan Kej 1:1 yang memahami "pada
mulanya" dalam teks Ibrani sebagai keterangan waktu untuk “Allah menciptakan langit dan bumi” yang
berdiri sendiri. NAB dan BIMK merupakan contoh upaya untuk menghasilkan terjemahan yang
memperhatikan serius bagaimana teks itu sendiri dimengerti oleh penulis aslinya dan dalam konteks
budaya tertentu.
Satu contoh lain, 1 Korintus 5:4‐5 adalah kasus menarik. Bandingkan terjemahan‐terjemahan berikut:
“... aku sama seperti aku hadir telah menjatuhkan hukuman atas dia, yang telah melakukan hal yang
semacam itu. Bilamana kita berkumpul dalam roh, kamu bersama‐sama dengan aku, dengan kuasa
Yesus, Tuhan kita, orang itu harus kita serahkan dalam nama Tuhan Yesus kepada Iblis, ... “ (1Kor 5:4‐5
ITB)
“I have already passed judgment in the name of our Lord Jesus on the one who has been doing this. So
when you are assembled and I am with you in spirit, and the power of our Lord Jesus is present, hand this
man over to Satan for the destruction of the flesh ...” (1Kor 5:3‐5 NIV)
I have already pronounced judgment on the one who did such a thing. When you are assembled in the
name of the Lord Jesus and my spirit is present, with the power of our Lord Jesus, you are to deliver this
man to Satan for the destruction of the flesh, (1Kor 5:3‐5 ESV)
TB, mengikuti NBG (1951), menarik en tô onomati tou kuriou iēsou (dalam nama Tuhan Yesus; ayat 4) ke
ayat 5 untuk menerangkan verba paradounai (menyerahkan). NIV, NRS, TEV menarik frase ini ke ayat 3
untuk menerangkan kekrika (menjatuhkan hukuman). Terjemahan lain, ESV, CEB, NJB, melihatnya
sebagai keterangan untuk sunachthentôn (berkumpul). Jika mengamati teks Yunani sendiri, di mana
tidak ada tanda baca dalam naskah aslinya, alternatif‐alternatif di atas sama‐sama dimungkinkan. Hal
ini merupakan tantangan buat para penerjemah untuk menentukan mana yang paling tepat.
9
Catatan Akhir
Uraian singkat yang dapat disampaikan di atas menunjukkan bahwa pelayanan penerjemahan Alkitab
merupakan bagian dari karakter (nature) Kitab Suci itu sendiri (Alkitab). Alkitab bahasa Jawa yang
menyapa rohani orang‐orang Jawa tidak kalah sakral dibanding Alkitab dalam bahasa lain. Mengenal
pelayanan penerjemahan Alkitab dan kompleksitasnya mengajak kita untuk mengapresiasi lebih lagi
Alkitab yang ada di tangan kita dan membacanya dengan penuh minat akan kebenaran.
Penerjemahan Alkitab adalah bagian kehidupan umat beriman di sepanjang masa sehingga Firman
Tuhan tetap menyapa setiap orang di setiap zaman dan dimengerti dengan lebih baik. Sebagai orang
Kristiani kita percaya bahwa Roh Kudus yang menginspirasi para pewarta dan penerjemah dalam
sejarah Kekristenan juga berkarya dan menyertai penerjemah‐penerjemah di zaman kita.
Akhir kata, kita bisa berkata bahwa Alkitab dalam berbagai bahasa adalah sama sekaligus berbeda.
Menerjemahkan Alkitab bukan hal yang sederhana. Usaha keras penerjemah tidak menjamin pembaca
bisa mudah memahami isi Alkitab. Namun demikian, benar apa yang pernah diungkapkan Sri
Wismoady Wahono (1987, 472) bahwa ketika mencoba memahami pesan Alkitab, kita harus bersikap
terbuka, baik terhadap apa yang bisa kita pahami maupun terhadap apa yang belum bisa kita pahami.
Melalui keterbukaan (atau kejujuran) ini Roh Kudus bekerja dengan cara‐Nya yang tidak kita ketahui.
Pustaka Acuan (+ keterangan)
Lembaga Alkitab Indonesia. 2001. Alkitab dan Komunikasi. Kumpulan Makalah Seminar LAI. Jakarta:
LAI. (Berisi makalah‐makalah seminar dari para pakar dan pemerhati seputar Alkitab dan
komunikasi. Tulisan P. G. Katoppo dan Martin Harun, OFM., serta keynote address Daud Soesilo
bisa menjadi pengantar yang bagus)
Metzger, Bruce M. 1993. “Persistent Problems Confronting Bible Translators” Bibliotheca Sacra 150:
273‐284. (Metzger menguraikan masalah teknis yang harus dihadapi seorang penerjemah, mulai
dari bagaimana mengatasi beragamnya teks Kitab Suci itu sendiri hingga menerjemahkannya)
Newman, Barclay M. & Daniel C. Arichea. 1987. Penuntun Terjemahan Dinamis. Jakarta: LAI. (Panduan
singkat bagaimana menerjemahkan Alkitab dengan pendekatan dinamis‐fungsional. Ditulis oleh
dua konsultan penerjemahan dari Perserikatan Lembaga‐lembaga Alkitab Sedunia)
Nida, Eugene A.& Charles R. Taber. 1974. The Theory and Practice of Translation. Leiden: Brill. (Secara
teknis membahas bagaimana penerjemahan berbasis makna dilakukan. Ditulis oleh dua pakar di
bidang penerjemahan yang pemikirannya mempengaruhi penerjemahan Alkitab hingga kini)
Pelikan, Jaroslav. 2005. Whose Bible Is It? New York: Viking Penguin. (Sejarah yang mudah untuk diikuti
tentang posisi Alkitab dalam tradisi kepercayaan Yahudi dan Kristen)
Sairin, Weinata, J. S. Aritonang, R. Z. Leirissa, Daud Susilo, P. G. Katopo. 1994. Persebaran Alkitab di
Sepanjang Zaman. Jakarta: LAI‐Gunung Mulia. (Kumpulan karangan yang membahas sejarah,
hakikat, dan peranan Alkitab, serta isu kontemporer berkaitan penerjemahannya di Indonesia)
Soesilo, Daud. 2014. Mengenal Alkitab Anda. Edisi kelima. Jakarta: LAI. (Menyediakan informasi
tentang Alkitab dan seluk beluk penerjemahan Alkitab khususnya dalam bahasa Indonesia)
Tjen, Anwar, et al. 2006. Penerjemah, Penerjemahan Alkitab & Pembina Penerjemahan. Jakarta: LAI.
(Kumpulan karangan memperingati ulang tahun P. G. Katoppo ini menyajikan persoalan‐
persoalan konkret dalam penerjemahan Alkitab)
10
Tjen, Anwar. 2016. Alkitab Terjemahan Baru 2: Protokanonika dan Deuterokanonika. Beberapa Kebijakan
dan Prinsip yang Dipedomani. Lembaga Alkitab Indonesia. (Makalah yang disajikan dalam
Konsultasi Alkitab PB TB 2 Wil. Nusa Tenggara dan Bali di STFT Ledalero, Maumere)
Wahono, Sri Wismoady. 1987. Di Sini Kutemukan. Jakarta: Gunung Mulia. (Pengantar yang
komprehensif tentang seluk beluk Alkitab mulai dari sejarah, teologi, budaya, keagamaan, yang
melatarbelakangi penulisan Alkitab)