Jukung dan Budaya bantaran Sungai

JUKUNG DAN BUDAYA SUNGAI
Oleh: Irfan Noor, M.Hum
Dosen IAIN Antasari Banjarmasin

Festival Jukung Hias 2006 yang baru saja digelar dalam perhelatan Hari Ulang Tahun
kota Banjarmasin ke-480 seakan-akan menjadi event di akhir tahun. Sungguh, festival itu
benar-benar membuat saya mengelana ke masa lalu, sebuah masa kecil yang sering bermainmain di pinggiran sungai. Jika tidak berenang atau memancing, maka main jukung-jukung-an di
atas sungai merupakan permainan yang amat membahagiakan di masa kecil itu. Di masa lalu
di tahun 70-an hingga 80-an kita masih sering menyaksikan lalu lalang jukung-jukung di
beberapa sungai kecil yang terdapat di jantung kota Banjarmasin.
Sekarang, pemandangan seperti itu sudah tidak lagi menghias wajah kota kita. Yang
lebih menyedihkan lagi, kekotoran yang menghias sungai-sungai di kota Banjarmasin ini juga
mulai menjangkiti sungai-sungai yang ada di daerah-daerah Hulu Sungai. Hampir sudah lazim
saat ini, sungai-sungai di daerah ini dihiasi oleh sampah-sampai yang menimbulkan aroma
yang membuat perut kita mual.
Tiba-tiba saja, ingatan masa lalu ini menyentak kesadaran saya untuk mencerna lebih
dalam makna di balik perhelatan budaya yang begitu akbar itu untuk sekedar berefleksi
perjalanan kota kita ini di tahun 2007 ke depan.
Budaya Banjar adalah Budaya Sungai
Sejak dulu, ketika kita berbicara tentang Banjar, maka salah satu keunikan geografis
yang mencuat terhadap daerah ini adalah sungai-sungainya. Dengan menyesuaikan pada

kondisi lingkungan yang ada, maka tidaklah mengherankan jika pemusatan penduduk di
Kalimantan Selatan berbasis di tepian sepanjang sungai-sungai yang ada. Dengan keadaan
seperti inilah, kehidupan sungai menjadi salah satu ciri yang menonjol dari masyarakat Banjar
(Bambang Sugiyanto: 2004).

Sehingga kita dapat saksikan bahwa di hampir semua tepian sungai-sungai di
Kalimantan Selatan pasti terdapat kampung-kampung kecil. Pola pemukiman yang
dikembangkan di tepian sungai-sungai itu pada awalnya berbentuk memanjang sepanjang
tepian sungai dengan arah hadap rumah ke arah sungai. Tidak ada yang membangun rumah
dengan membelakangi sungai. Bahkan pada perkembangan bentuk-bentuk rumah tradisional,
masyarakat Banjar juga mengembangkan jenis rumah yang sangat akrab dengan sungai, yaitu
bentuk rumah tradisional Lanting. Sayangnya, saat ini, rumah lanting tersebut sudah hampir
punah.
Jelaslah di sini bahwa perahu atau jukung mempunyai peran yang sangat penting bagi
penduduk di sepanjang sungai. Perahu menjadi satu-satunya alat transportasi untuk dapat
menjangkau daerah sekitarnya, sekaligus berfungsi sebagai alat Bantu perdagangan dan
keperluan lainnya. Mereka dapat mengangkut hasil pertanian atau perkebunan dan sekaligus
menjualnya langsung dari perahu tersebut. Pertemuan ratusan perahu yang membawa hasil
bumi dan barang kebutuhan hidup inilah yang membentuk apa yang sekarang disebut dengan
“pasar terapung”. Lokasi berjual-beli yang dilakukan di atas air dengan perahu sebagai alat

atau sarana yang utama. Saat ini masih bisa kita saksikan model pasar seperti ini sebagaimana
yang terdapat di pinggiran sungai Kuin Cerucuk dan Lok Baintan (Bambang Sugiyanto:
2004).
Pola kehidupan yang kemudian terbentuk di sekitar ketiga sub-suku Banjar yang
dilingkupi oleh kondisi geografis sungai itu adalah pola yang juga erat kaitannya dengan
kondisi geografis yang khas pada daerah ini, yakni kebudayaan sungai. Di sisi yang bersamaan,
daerah Banjar juga menjadi tempat tumbuh dan berkembangnya Islam yang secara geografis
bisa dikategorikan sebagai wilayah pesisir. Wilayah pesisir ini, tentunya, merupakan kontras
dari wilayah pedalaman. Islam di wilayah pesisir ini memiliki ciri-ciri yang berbeda dengan
Islam yang berada di pedalaman. Islam di wilayah pesisir, pada umumnya, adalah Islam
kosmopolit karena memiliki kecenderungan yang sangat intens terlibat kontak dan interaksi
dengan Islam yang datang dari luar. Dengan demikian, corak Keislaman masyarakat Banjar
bisa diasumsikan sangat dipengaruhi oleh dinamika yang ada di luar wilayahnya.
Demikianlah pada umumnya kehidupan masyarakat Banjar pada beberapa puluh
tahun yang lalu yang kental dengan budaya sungai. Memang tidak dapat dipungkiri bahwa
suatu kebudayaan atau budaya bukanlah sesuatu yang bersifat statis, tetapi merupakan
sesuatu yang bersifat dinamis. Kebudayaan merupakan media manusia dalam menyesuaikan

diri dengan kondisi lingkungan alam agar dapat mempertahankan kehidupannya. Perubahan
kebudayaan merupakan sesuatu yang sangat wajar dalam rangkaian kehidupan manusia.

Perubahan itu tentunya didasari oleh adanya perubahan kondisi lingkungan alam atau
perubahan nilai-nilai yang terjadi pada masyarakat itu sendiri (Bambang Sugiyanto: 2004).
Budaya Sungai yang Termarjinalisasi
Seiring derap modernisasi yang dijalankan di daerah ini, perubahan pun terjadi dalam
tata nilai urang Banjar. Budaya sungai urang Banjar lambat laun mengalami pergeseran yang
sangat signifikan. Sungai-sungai tidak lagi menjadi sesuatu yang terpenting dalam kehidupan
urang Banjar. Dari sini penulis mulai berpikir lagi, modernisasikah yang salah atau kita sendiri
yang salah memahami dan menerapkan modernisasi ?
Bagaimana tidak. Dulu kebudayaan Banjar berkembang dari kehidupan sungai, yang
kemudian melahirkan tata nilai dan artifak-artifak budaya yang bernuasa sungai. Dari sungai,
nenek moyak urang Banjar mendapatkan inspirasi untuk dapat mengembangkan pemukiman
di atas rawa atau di dekat sungai dengan tetap mempertahankan kelestariannya, sehingga
berdirilah bentuk-bentuk rumah panggung yang memang sangat sesuai bahasa alam yang ada
di sekitarnya. Sementara di daerah pinggiran sungai, pendirian rumah-rumah panggung juga
ditata apik sesuai dengan konsep dan tata nilai tradisional yang memandang sungai sebagai
halaman atau teras rumah. Pandangan ini yang mengatur bahwa semua rumah yang dibangun
di pinggiran sungai semuanya harus menghadap ke sungai, tidak boleh ada yang
membelakanginya. Bahkan pemerintah Belanda pun pernah melarang pembangunan rumah
yang membelakangi sungai di kota Banjarmasin.
Sekarang, atas nama modernisasi, pola-pola pembangunan pemukiman dan usaha

telah mengalami perubahan. Hampir di semua sungai kita akan mendapati deretan
perumahan atau warung-warung penduduk yang membelakangi sungai. Hampir semua
rumah atau bangunan lainnya saat ini dibangun oleh urang Banjar dengan cara diuruk.
Perubahan pola pemukiman masyarakat yang tidak lagi memandang sungai sebagai teras atau
halaman depan sebuah rumah mengakibatkan perubahan pola pemukiman di sepanjang
bantaran sungai. Pola pemukiman yang baru ini banyak mengambil lahan di atas sungai
sehingga rumah-rumah tersebut mengurangi lebar badan sungai. Kejadian ini tentunya akan
berdampak pada semakin cepatnya pendangkalan sungai-sungai sehingga sekaligus
mengurangi daya tampung sungai terhadap limpasan air pada waktu hujan datang.

Berkurangnya daya tampung ini akan pada menurunya atau hilangnya fungsi sungai sebagai
pembagi aliran air pada saat pasang atau banjir dating, sehingga genangan air dapat segera
dialirkan ke muara atau laut.
Sekarang ini juga, sungai-sungai di sepanjang jalan Ahmad Yani, Veteran, dan
Soetoyo S sudah tidak berfungsi lagi. Selain tertutup oleh jembatan-jembatan yang dibuat
tanpa memikirkan pola aliran air, sungai-sungai itu juga mengalami pendangkalan yang hebat
akibat sampah-sampah yang bertebaran di mana-mana.
Tidak ada lagi budaya sungai yang sangat menjaga dan memelihara kebersihan dan
kelestarian sungai tampaknya mulai luntur oleh lajunya denyut pembangunan. Masyarakat
Banjar secara umum sudah tidak lagi memandang sungai sebagai sesuatu yang perlu dijaga

dan dipelihara lagi. Perubahan tata nilai yang terkait dengan sungai sebagai sumberdaya air,
jalur transportasi dan keperluan lain yang penting bagi kehidupan manusia mulai bergeser
dengan adanya pembangunan jalan-jalan darat.
Beginikah potret budaya sungai masyarakat Banjar sekarang ini ? Akhirnya, tanpa kita
sadari semua dengan hilangnya sungai-sungai yang membelah kota ini secara lambat laun
telah menyebabkan pemiskinan budaya sungai di daerah ini. Padahal kita tahu semua bahwa
budaya sungai merupakan sumber utama dari sistem atau tata nilai yang dihayati atau dianut
masyarakat Banjar, yang selanjutnya membentuk sikap mental atau pola berpikir mereka.
Ini mungkin yang menjadi penyebab mengapa warga di daerah ini sangat susah diajak
menjaga kebersihan dan eksistensi sungai, karena sungai-sungai sudah tidak berarti lagi bagi
mereka. Ketidakberartian ini, tentunya, lantaran budaya sungai bukan lagi bagian tata nilai
urang Banjar masa kini.
Dari Festival Jukung Menuju Pentas Revitalisasi Sungai
Di tengah-tengah budaya sungai yang sedikit demi sedikit mengalami peminggiran
dalam arus modernisasi, budaya sungai pun tidak lagi menjadi tata nilai yang hidup di tengah
masyarakat. Budaya sungai kini hanya bisa menjadi tontonan eksotis masa lalu dalam bentuk
festival dan aset parawisata. Secara tidak sadar, kita justru telah melakukan proses fosilisasi
dan mesiumisasi terhadap gejala-gejala budaya yang ada di masyarakat, hingga meletakkan
hanya semata-mata gejala masa lalu.
Lalu ketika budaya sungai telah berganti dan sekedar tontonan, tidak ada lagi sumber

utama dari sistem atau tata nilai yang bisa dihayati masyarakat untuk membentuk sikap

mental atau pola berpikir urang Banjar masa kini dalam menyesuaikan diri dengan kondisi
lingkungannya. Sikap mental inilah yang kemudian mempengaruhi dan membentuk pola
tingkah laku urang Banjar masa kini yang kontra dengan lingkungannya. Adanya sungai
bukannya untuk dimanfaatkan dan dikelola sebagai sumber daya kehidupan, namun kini
perilaku umum urang Banjar telah berubah menjadi cenderung menistakan keberadaan
sungai-sungai yang ada. Jika tidak dijadikan tempat membuang sampah, sungai-sungai diuruk
untuk kepentingan ekonomis-individual semata. Tidak ada lagi nilai-nilai kelestarian.
Jika kita sepakat bahwa jukung adalah salah satu bentuk perwujudan material dari
kebudayaan sungai, maka tentunya eksistensi kebudayaan sungai itu sendiri pastilah sangat
ditentukan oleh keberadaan landasan pembentuk dari kebudayaan itu sendiri, yakni sungai.
Oleh karena itu, ketika ada usaha untuk kembali menghidupkan budaya sungai, maka
mau tidak mau kita juga harus melakukan revitalisasi sungai-sungai itu sendiri sebagai
landasan fisik kebudayaan sungai itu sendiri. Hal ini karena budaya hanya bisa berkembang
dalam lingkup lingkungan yang juga bisa menjadi sarana pendukungnya. Upaya
menghidupkan kembali budaya sungai karenannya haruslah dilakukan secara seiring antara
menghidupkan wujud material budaya (jukung) dengan merevitalisasi landasan pembentuk
budayanya (sungai). Tanpa begitu, kita akan secara sengaja mendudukkan budaya sungai
hanya tontonan semata.

Dengan demikian, sudah saatnya pemerintah daerah kini menyadari perubahan yang
terjadi di masyarakat ini. Dan sudah saatnya kita sama-sama berusaha mentransformasikan
Festival Jukung menjadi sarana dan momentum untuk merevitalisasikan sungai-sungai yang
ada sebagai sarana penopang utama kelangsungan budaya sungai yang kita dambakan. Di
sinilah diperlukan political will pemerintah untuk bersikap tegas terhadap setiap perilaku dan
tindakan masyarakat yang cenderung merusak kelestarian sungai. Dan sudah saatnya pula
pembangunan di kota ini lebih mempertimbangkan kelestarian sungai. Mudah-mudahan kita
bisa. []