Perbandingan Kebijakan Militer Politik I

Perbandingan Kebijakan Militer Politik Indonesia dan Malaysia
Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Perbandingan Politik
Dosen Pengampu: Prof. Dr. Yahya A. Muhaimin & Ayu Diasti Rahmawati, MA.

disusun oleh:
Gde Aditya Widyatama
14/368472/SP/26431

JURUSAN HUBUNGAN INTERNASIONAL
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK
UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2015

ABSTRAKSI
Kebijakan suatu negara, baik itu dalam negeri maupun luar negeri, memiliki akibat
yang tentunya sangat besar bagi keadaan negara tersebut. Tidak terkecuali kebijakan militer
di suatu negara. Setiap negara pasti memiliki kekuatan militer yang berbeda-beda, yang
membuat kebijakan militernya tersebut juga akan berbeda-beda. Kebijakan suatu negara
tersebut tentunya tidak terlepas dari keputusan elit politik dalam negara tersebut. Elit politik
sangat berperan penting dalam putusan kebijakan suatu negara. Dimana kebijakan suatu

negara ini akan membawa impact yang dapat menguntungkan atau merugikan bagi negara
tersebut.
Indonesia dan Malaysia merupakan negara tetangga yang sama-sama menghuni
kawasan Asia Tenggara. Keduanya berperan penting dalam membangun kestabilan kawasan.
Dengan kekuatan militer yang mumpuni, keduanya dapat menjadi salah satu negara tumpuan
di Asia Tenggara. Namun pada kenyataannya kedua negara tetangga ini tidak terlepas dari
konflik. Kedekatan secara teritorial membuat kedua negara ini sering berseteru dalam kasus
persengketaan wilayah. Dengan sama-sama memiliki kekuatan militer yang baik, walaupun
tidak seimbang, kebijakan militer dari elit politik kedua negara tentunya sangat bersifat
krusial. Hal ini menjadi menarik untuk dibahas lebih lanjut. Dalam paper ini, akan dibahas
apa saja perbedaan kebijakan militer dari kedua negara tetangga ini. Selain itu akan dibahas
juga faktor-faktor yang mempengaruhi kebijakan militer politik oleh Indonesia dan Malaysia.
Kata kunci: Keamanan Nasional, The Power Elite, Kebijakan, Militer, Indonesia, Malaysia

KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan
izin dan kekuatan bagi penulis sehingga dapat menyelesaikan karya tulis berjudul
‘Perbandingan Kebijakan Militer Politik Indonesia dan Malaysia’ ini tepat waktu.
Karya Tulis ini penulis buat untuk melengkapi tugas akhir semester yang diberikan
dalam mata kuliah Perbandingan Politik Ilmu Hubungan Internasional Tahun 2015. Ucapan

terima kasih penulis sampaikan kepada:
1. Bapak Prof. Dr. Yahya A. Muhaimin selaku Dosen Mata Kuliah Perbandingan
Politik Ilmu Hubungan Internasional UGM
2. Mbak Ayu Diasti Rahmawati, MA. selaku Dosen Mata Kuliah Perbandingan
Politik Ilmu Hubungan Internasional UGM
3. Kak Ajeng, Kak Dewi, dan Kak Jelita selaku Tutor Mata Kuliah
Perbandingan Politik Ilmu Hubungan Internasional UGM
4. Semua Pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.
Penulis menyadari bahwa karya tulis ini masih memiliki banyak kekurangan. Hal
tersebut disebabkan oleh keterbatasan pengetahuan dan wawasan penulis. Oleh karena itu,
penulis mengharapkan adanya saran kritik yang bersifat membangun demi kesempurnaan
karya tulis ini.
Akhirnya penulis mengharapkan karya tulis ini dapat bermanfaat bagi pembaca pada
umumnya.

Yogyakarta, 30 Desember 2015
Penulis

DAFTAR ISI
ABSTRAKSI ………………………………………………………………………………


ii

KATA PENGANTAR …………………………………………………………………… iii
DAFTAR ISI ……………………………………………………………………………… iv
BAB I PENDAHULUAN…………………………………………………………………

1

1.1 Latar Belakang………………………………………………………………………….

1

1.2 Rumusan Masalah………………………………………………………………………. 3
1.3 Landasan Konseptual………………………………………………………………….... 3
1.3.1 Keamanan Nasional (Charles Maier)………………………………………………….. 3
1.3.2 The Power Elite (C.Wright Mills)……………………………………………………... 3
1.4 Argumentasi Utama……………………………………………………………………... 4
BAB II PEMBAHASAN…………………………………………………………………... 5
2.1 Kekuatan Militer Indonesia dan Malaysia……………………………………………….. 5

2.2 Indonesia dan Malaysia Dalam Perebutan Sipadan-Ligitan…………………………….. 12
2.3 Indonesia dan Malaysia Dalam Perebutan Ambalat…………………………………….. 14
BAB III PENUTUP……………………………………………………………………….. 17
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………………………… v

BAB I
PENDAHULUAN
1.1

Latar Belakang
Dalam paham realisme, kehidupan sistem politik tak akan mampu dilepaskan dari

kekuatan militer yang ada di dalam suatu negara. Paham realisme merupakan paham yang
beranggapan bahwa kekuatan suatu negara dapat diukur dan ditentukan melalui keadaan atau
kapasitas militer dari negara tersebut1. Militer yang baik akan menciptakan negara yang kuat
dan secara otomatis memiliki pengaruh dengan negara-negara sekitarnya. Dalam sebuah
negara, proses pembentukan struktur dan kekuatan militer dilakukan oleh panglima perang
seperti jenderal, tetapi masih diatasi oleh pemimpin negara tertinggi. Mengingat fungsi
militer yang sangat vital, maka negara pada saat ini berlomba-lomba untuk membangun
kekuatan militer dan bersaing dengan negara-negara lainnya, terutama dengan negara

disekitarnya.
Indonesia tergolong sebagai negara yang masih berkembang. Bila dilihat dari
kacamata liberalis yang sedang banyak berkembang di kancah dunia internasional ini,
Indonesia masih tergolong negara yang kurang dipandang karena kondisi ekonominya yang
masih sering mengalami naik turun. Namun hal itu bila dilihat dari kacamata liberalis yang
menganggap ekonomi dan pasar sebagai aktor utama perkembangan dan pengukur kekuatan
negara. Lain ceritanya bila kita lihat melalui kacamata realisme yang memandang kekuatan
militer merupakan indikator dominan yang digunakan untuk mengukur kekuatan negara.
Seorang ahli realisme, Machiavelli, pernah mengatakan “gold alone will not procure good
soldiers, but good soldiers will always procure gold.”.2 Pandangan realisme terhadap keadaan
dunia internasional memang sangat berfokus pada militer dan perang. Bila suatu negara
memiliki militer yang mumpuni, maka negara tersebut dapat menciptakan hegemoni terhadap
negara-negara sekitarnya, bahkan seluruh dunia.
Indonesia saat ini termasuk sebagai negara yang dipandang dalam bidang militernya.
Menurut globalfirepower.com, indeks kekuatan militer Indonesia saat ini senilai 0,5231 dan
menempati posisi ke 12 dunia, di atas Australia (13), Italia (16) maupun Pakistan (17). Persis
1 W. Pinem, ‘Teori Realisme dalam Hubungan Internasional’, Seni Berpikir (daring), 27 Desember 2014,
, diakses pada 16 September
2015.
2 T. Cohn, Global Political Economy, Routledge, London, 2011, p. 56.


di atas Indonesia adalah Israel.3 Tentu tidak diragukan lagi bila dibandingkan dengan negaranegara di Asia Tenggara. Kekuatan militer Indonesia menempati posisi nomor satu atau dapat
dikatakan yang terkuat di Asia Tenggara. Hal ini yang membuat Indonesia sebagai negara
kepulauan memiliki kekuatan yang memadai untuk memanfaatkan poros maritimnya dalam
bidang militer. Selain diuntungkan dengan negara kepulauan yang banyak difasilitasi perairan
untuk berlatih angkatan laut, Indonesia juga dikaruniai daerah yang luas. Fasilitas perang
seperti pesawat tempur, kapal selam, bahkan tank tempur pun dapat dikatakan sangat
memadahi di Indonesia.
Memang secara statistik Indonesia berada diatas angin dalam bidang militer di
kawasan Asia Tenggara, namun secara head-to-head, kekuatan Indonesia masih belum
merata. Daerah yang luas juga bisa dianggap sebagai kelemahan bagi Indonesia karena
tuntutan bagi cakupan militer semakin tinggi karena banyaknya daerah yang harus
dipertahankan. Bila dibandingkan dengan Malaysia, Indonesia sebenarnya masih memiliki
kekurangan. Malaysia memang hanya menempati peringkat ke-35 dengan nilai 0,9612.
Namun ada beberapa sektor dimana Malaysia dianggap lebih unggul dibandingkan Indonesia.
Contohnya adalah dibidang penyediaan pesawat tempur. Pesawat tempur Malaysia banyak
sekali yang sudah diperbaruhi dan dapat dikatakan sangat canggih mengikuti perkembangan
militer dunia saat ini, sementara itu Indonesia sendiri seperti hanya menunggu hibah pesawat
tempur dari negara lain. Untuk anggaran sendiri, Indonesia juga dirasa masih kurang untuk
memaksimalkan sektor militernya, sementara negara-negara lain saat ini mulai sadar akan

keamanan negara dirasa penting di keadaan dunia internasional yang tengah bergejolak. Bila
dibandingkan dengan negara tetangga lainnya, yakni Singapura, anggaran Indonesia dalam
memfasilitasi militernya masih dirasa kurang. Jeda anggaran Indonesia dengan Singapura
mencapai lebih dari 3 juta USD pada tahun 2014. 4 Faktor lain yang dapat mendorong
perkembangan militer suatu negara adalah kebijakan yang diambil oleh elit-elit politik dalam
suatu negara. Indonesia dan Malaysia sama-sama pernah dipimpin oleh pemerintahan yang
tergolong otoriter. Indonesia dipimpin oleh Soeharto sementara Malaysia dipimpin oleh
Mahathir, dimana kedua tokoh ini memerintah hampir di jangka waktu yang bersamaan.
Presiden Soeharto sendiri diberitakan memiliki hubungan yang dekat dengan Perdana
3 ‘Countries Ranked by Military Strength’, Global Fire Power (daring), 14 November 2014,
, diakses pada 16 September 2015.
4 M. Aqila, ‘Indonesia Tak Berdaya Melawan Malaysia atau Singapura’, Kompasiana (daring), 2 Januari 2015,
http://www.kompasiana.com/muhammadaqila/indonesia-tak-berdaya-melawan-malaysia-atausingapura_54f900a3a33311695d8b46db, diakses pada 16 September 2015.

Menteri Mahathir. Namun kedua tokoh ini sama-sama dihadapi dengan masalah sengketa
pulau, yakni Sipadan-Ligitan, dimana keduanya harus saling berhadapan satu sama lain.

1.2

Rumusan Masalah



1.3

Bagaimana perbandingan kebijakan militer politik Indonesia dan Malaysia?

Landasan Konseptual


Keamanan Nasional (Charles Maier)
Charles Maier, pada tahun 1990, menyatakan bahwa keamanan nasional adalah

kemampuan untuk mengontrol kondisi-kondisi dalam maupun luar negeri yang juga
memerlukan opini publik dari masyarakat untuk menikmati hak menentukan nasib sendiri,
otonomi, kemakmuran serta kesejahteraan yang diterapkan sendiri secara nasional 5. Dari
definisi keamanan nasional tersebut dapat dilihat dampak yang akan ditimbulkan kekuatan
militer suatu negara dari sisi keamanan bagi negara tersebut. Dalam teori keamanan nasional
juga terdapat beberapa elemen yang menjadi indikator aman tidaknya keamanan suatu
negara. Kekuatan militer tentu saja menjadi faktor yang terpenting dalam keamanan nasional,
namun bukan berarti kita bisa mengesampingkan faktor-faktor penting lainnya. Joseph J.

Romm dalam buku ‘Defining National Security: The Nonmilitary Aspects’ (1993)
menjelaskan beberapa faktor non-militer lain yang mempengaruhi keamanan sebuah negara.
Keadaan politik, ekonomi, sumber daya alam, energi, lingkungan menjadi salah satu kunci
utama dalam keamanan nasional suatu negara6.


The Power Elite (C. Wright Mills)
Dalam berjalannya suatu sistem politik di masyarakat, ada kecenderungan elit

berbentuk tunggal dan memiliki pengaruh dan kekuasaan di seluruh cabang kehidupan seperti
ekonomi, politik dan kultural. Di setiap cabang-cabang kehidupan yang penting (ekonomi,
sosial, politik), akan muncul sekelompok orang yang memiliki kekuasaan yang lebih besar
5 C.S. Maier, Peace and Security for the 1990s, Unpublished paper for the MacArthur Fellowship Program,
Social Science Research Council, June 12, 1990.
6 J. J. Romm, Defining National Security: The Nonmilitary Aspects, Council on Foreign Relations, New York,
1993.

daripada yang lain. Orang atau sekelompok orang yang memiliki kekuasaan dalam bidang
ekonomi, dinyatakan sebagai elit di bidang ekonomi. Orang atau sekelompok orang yang
memiliki kekuasaan dalam bidang politik dinyatakan sebagai elit di bidang politik. Akan

tetapi tidak tertutup kemungkinan adanya orang atau sekelompok orang yang memiliki
kekuasaan dalam lebih dari satu bidang kehidupan. Dimungkinkan juga yang bersangkutan
selain menjadi elit di bidang ekonomi menjadi elit di bidang politik7.

1.4

Argumentasi Utama
Penulis memiliki argumen bahwa kekuatan militer Indonesia berada diatas Malaysia,

namun ada beberapa faktor yang membuat Malaysia lebih unggul. Seperti yang telah
tercantum dalam sub-bab latar belakang, dengan kekuatan militer yang jauh diatas Malaysia,
Indonesia masih saja bisa kehilangan wilayah teritorialnya, contohnya Sipadan-Ligitan yang
jatuh ke tangan Malaysia. Diatas kertas memang Indonesia lebih unggul, namun dalam
implikasinya belum tentu Indonesia lebih unggul. Penulis juga memiliki argumen bahwa elit
politik termasuk sebagai faktor penentu yang sangat signifikan bagi penentuan kekuatan
militer suatu negara. Seperti contohnya Soeharto dan Mahathir yang menjadi tokoh penting
dalam pembangunan kembali Indonesia dan Malaysia. Oleh karena itu elit politik seperti
mereka perlu diperhitungkan keberadaannya dalam militer suatu negara.

BAB II

7 C. W. Mills, The Power Elite: New Edition, Oxford University Press, New York, 1970.

PEMBAHASAN
2.1

Kekuatan Militer Indonesia dan Malaysia
Salah satu fungsi utama dari keberadaan militer di suatu negara adalah untuk mengisi

peran pertahanan dan menjaga kedaulatan wilayah. Berada tepat di tengah dua samudera dan
dua benua, Indonesia merupakan negara yang sarat akan ancaman. Berbentuk negara
kepulauan terbesar, Indonesia merupakan negara yang sebagian besar celah pertahanannya
berada di kawasan lautan. Kekuatan militer meliputi segala aspek alat negara dan sumber
daya yang terdapat di suatu negara yang dapat difungsikan dengan segera untuk keperluan
perang. Perangkingan kekuatan militer yang dilakukan oleh Global Fire Power (GFP)
didasari penilaian atas sejumlah indikator kekuatan militer, yaitu personil, sistem
persenjataan (alutsista), kekuatan maritim, kekuatan logistik, sumber daya alam, kekuatan
geografis, dan finansial8. Masing-masing indikator memiliki beberapa sub indikator yang
akan membentuk kekuatan inti pertempuran. Menurut saya, cukup menarik dimana GFP
memisahkan kekuatan maritim dari kekuatan alutsista. Diindikasi hal ini berkaitan dengan
latar belakang politik pertahanan di beberapa negara berupa offensive atau defensive di mana
seluruh permukaan bumi lebih banyak diliputi oleh wilayah perairan. Strategi militer dan
pertahanan nantinya akan mengkombinasikan keseluruhan unsur tersebut untuk menjadi
sebuah kekuatan untuk mendukung sikap politik, termasuk apabila diputuskan untuk
menyatakan perang dengan negara lain.
Dalam doktrin Hankamrata disebutkan apabila salah satu bentuk ancaman atas
kedaulatan wilayah akan memperhitungkan dari ancaman regional atau ancaman kawasan 9.
Indonesia terletak di kawasan Asia Tenggara yang berdampingan pula dengan Australia.
Dalam hal ini, setidaknya terdapat 5 negara yang berpotensi menjadi ancaman kedaulatan,
yaitu Australia, Malaysia, Singapura, Thailand, dan Filipina. Hal ini berdasarkan pada fakta
apabila Indonesia masih memiliki masalah berupa persengketaan perbatasan dengan dengan
negara-negara tetangga. Persengketaan perbatasan akan sangat memungkinkan untuk memicu
terjadinya pergesekan yang dapat memicu terjadinya perang.

8 ‘Military power comparison results for Indonesia vs. Malaysia’, Global Fire Power (daring), 28 Oktober 2015,
, diakses pada 24 Desember 2015.
9 ‘Sistem Pertahanan Negara Kesatuan Republik Indonesia - Bagian 4’, The Global Review (daring), 1 Juni 2009,
, diakses pada
24 Desember 2015.

Dari 8 kekuatan kunci militer suatu negara, kemudian dibuatkan menjadi 8 unsur yang
secara langsung akan berpengaruh terhadap keputusan perang, yaitu kekuatan personil,
kekuatan udara, kekuatan darat, kekuatan laut, kekuatan logistik, kekuatan sumber daya alam,
kekuatan finansial, dan keunggulan geografis. Kekuatan udara, laut, dan darat sudah mulai
diuraikan, karena akan berperan dalam pengembilan keputusan dan strategi militer dalam
jangka pendek. Perbandingan kekuatan militer yang akan diulas berikut ini berdasarkan 8
kekuatan kunci militer yang berperan dalam pengambilan keputusan perang10.

(Sumber: Global Fire Power, 2015)
Dari segi personil, Indonesia termasuk unggul. Dengan dukungan jumlah penduduk
yang jauh lebih besar, Indonesia nampaknya memiliki keadaan yang mendukung untuk
menopang kekuatan personil. Hal ini terlihat di seluruh sub personil berselisih cukup
signifikan dengan Malaysia. Dapat dikatakan Indonesia masih memiliki peluang yang cukup
besar untuk mewujudkan bentuk perang gerilya, termasuk pertempuran kota, apabila
pertahanan terluar berhasil ditembus dan dikuasai musuh. Perbedaan statistik yang cukup
jauh ini juga tentunya akan mempermudah Indonesia bila terjadi perang dengan Malaysia.
Bayangkan bila Malaysia berhasil terprovokasi oleh pernyataan Soekarno, yakni “Ganyang
Malaysia!”.

10 ‘Military power comparison results for Indonesia vs. Malaysia’, Global Fire Power (daring), 28 Oktober 2015,
, diakses pada 25 Desember 2015.

(Sumber: Global Fire Power, 2015)
Dalam bidang air power, Indonesia bisa dikatakan cukup unggul dengan memiliki
lebih banyak lapangan udara yang berfungsi sebagai pangkalan militer atau dapat difungsikan
menjadi pangkalan militer. Dari jumlah total pesawat tempur juga Indonesia melampaui
kemampuan Malaysia. Namun mungkin ada beberapa jenis pesawat yang dimana Malaysia
lebih unggul dalam soal jumlah dan kualitas. Dari jumlah pesawat tempur sendiri, Indonesia
kalah 12 angka dari Malaysia, dimana pesawat tempur tentunya sangat penting dalam
berlangsungnya perang udara. Kualitas pesawat tempur Indonesia juga masih kurang karena
jarang sekali terjadi pembaharuan di sektor ini. Contohnya Indonesia masih menggunakan
pesawat F-5 E/F TNI yang sudah sangat tua. Walaupun sudah ada rencana untuk mengganti
pesawat jenis tersebut dengan pesawat yang baru, namun sampai saat ini belum juga diganti.
Tentunya hal ini sangat berbeda dengan pesawat tempur milik Malaysia yang lebih banyak
dan hampir seluruh pesawat tempurnya baru11.

11 ‘Kekuatan Alutsista TNI Terbaru 2015 Mulai Diperhitungkan Dunia’, Militer Indonesia (daring), 23 Juli 2015,
,
diakses pada 25 Desember 2015.

(Sumber: Global Fire Power, 2015)
Seluruh indikator diatas akan sangat dibutuhkan dalam pertempuran yang akan
menghadapi musuh darat maupun musuh laut. Dalam kekuatan darat, bila dilihat dari segi
kuantitas, Indonesia lebih unggul. Sekalipun Malaysia memiliki jumlah tank lebih sedikit dari
Indonesia, tetapi Malaysia memiliki senjata anti tank jauh lebih banyak dan lebih modern 12.
Kekuatan laut juga menjadi kunci atas setiap kemenangan pertempuran yang menentukan
jalannya sejarah. Sebagai negara kepulauan terbesar dengan luas wilayah laut paling besar di
Asia Tenggara, Indonesia nampaknya justru tidak memiliki keunggulan yang signifikan.
Indikator di sini memang masih terlalu abstrak, karena kekuatan kapal selam Indonesia di sini
merupakan kapal perang teknologi 1980 yang telah diremajakan. Lain ceritanya dengan kapal

12 E. Wijayanti, ‘Perbandingan Militer Indonesia vs Malaysia’, Kompasiana (daring), 10 Februari 2015, <
http://www.kompasiana.com/estherlima/perbandingan-militer-indonesia-vsmalaysia_54f357f0745513942b6c71ef>, diakses pada 25 Desember 2015.

selam milik Malaysia yang dibeli pada tahun 2000an, yang tentunya memiliki kecanggihan
teknologi yang lebih maju13.

(Sumber: Global Fire Power, 2015)
Kekuatan logistik yang dimasukkan ke dalam daftar berikut ini merupakan segala
bentuk sumber daya yang dengan segera dapat dipersiapkan untuk mendukung pertempuran
langsung. Indonesia bisa dikatakan memiliki keunggulan dalam aspek kekuatan logistik
dengan melihat banyaknya angkatan kerja (labor force). Menurut saya, panjang akses jalan
raya maupun kereta api tidak selalu signifikan seperti ukuran yang terlihat, karena tergantung
dengan luas wilayah dan kondisi pulau atau kepulauan. Dengan memiliki kekuatan angkatan
kerja yang dapat difungsikan menjadi militer atau paramiliter, setidaknya Indonesia masih
memiliki kekuatan untuk melakukan strategi gerilya dan perang perkotaan yang paling sulit,
ketika musuh telah masuk menembus ruang wilayah pertahanan di daratan. Berbeda dengan
Malaysia yang memiliki angkatan kerja yang sedikit. Namun mungkin bila melakukan
strategi gerilya, Malaysia akan jauh lebih efektif ketimbang Indonesia, karena Malaysia
hanya terdiri dari 2 pulau besar. Sementara Indonesia terdiri dari ratusan pulau. Sulit untuk
mengamankan seluruh wilayah Indonesia.

13 ‘Perbandingan Kekuatan Militer Indonesia vs Malaysia’, Isi Waktu (daring), 2 Juli 2015, <
http://isiwaktu.com/perbandingan-kekuatan-militer-indonesia-vs-malaysia/>, diakses pada 25 Desember 2015.

(Sumber: Global Fire Power 2015)
Setiap pertempuran akan membutuhkan sumber daya alam atau energi, terutama untuk
keperluan kebutuhan masyarakat sehari-hari. Situasi perang akan menyebabkan orientasi
pemenuhan kebutuhan energi bagi masyarakat sipil akan dialihkan untuk keperluan militer.
Di sinilah salah satu kunci kekuatan dalam pertempuran, yaitu kekuatan negara dalam
menguasai sumber daya alamnya. Sekalipun Indonesia dikatakan memiliki lebih banyak
cadangan minyak, tetapi jumlah penduduknya pun cukup besar, yaitu mencapai di atas 240
juta jiwa dengan konsumsi per hari di atas 1 juta barel. Data mengenai minyak bumi di sini
tidak sepenuhnya valid, tetapi setidaknya menggambarkan kemampuan bertahan suatu negara
dalam kondisi perang.

(Sumber: Global Fire Power 2015)
Perang ataupun persiapannya membutuhkan biaya yang tidak sedikit, serta
membutuhkan kemampuan pengelolaan keuangan nasional yang memadai. Ada 4 unsur di
dalam kekuatan finansial, yaitu external debt, anggaran pertahanan (defense budget),
cadangan devisa dan emas (reserve of foreign exchange and gold), dan kemampuan
pembayaran (purchasing power). Unsur yang paling perlu diperhatikan adalah cadangan
devisa dan belanja pertahanan. Dari dua unsur tadi, Indonesia lebih unggul dengan memiliki
cadangan devisa maupun belanja pertahanan dibandingkan Malaysia. Indonesia memiliki
kemampuan pembelian yang besar. Ini berarti, dari sisi finansial, Indonesia memiliki peluang
yang lebih besar untuk mentransformasikan aset-aset ekonominya dalam membiayai dan
mempersiapkan perang. Sekalipun demikian, kemampuan pembelian membutuhkan waktu

dan mekanisme politik yang tidak semudah mentransfer pembiayaan seperti pada cadangan
devisa dan belanja pertahanan.

(Sumber: Global Fire Power 2015)
Salah satu kekuatan militer yang dibutuhkan dalam peperangan adalah keunggulan
geografis. Keunggulan tersebut dapat menjadi celah pertahanan atau sebaliknya dimanfaatkan
menjadi basis pertahanan. Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, Indonesia lebih
unggul dalam memiliki luas wilayah perairan (waterways) dan garis pantai (coastline).
Adapun di sini ada 3 negara yang memiliki kawasan perbatasan daratan (shared border),
yaitu Indonesia, Malaysia, dan Thailand. Namun untuk Indonesia dan Malaysia yang
berbatasan langsung, tentunya memiliki kendala saling berebut teritori. Dengan bentuk peta
geografis berupa kepulauan tentunya akan lebih sulit untuk menjaga wilayah kedaulatan yang
dimiliki oleh Indonesia dan Malaysia. Contoh kasusnya tentu adalah perebutan SipadanLigitan dan Ambalat oleh kedua negara tetangga ini, yang akan dibahas pada sub bab
berikutnya.
Data kekuatan militer yang dirilis oleh GFP diambil berdasarkan data yang dihimpun
oleh CIA Fact and Statistic14. Masih terlalu abstrak untuk dapat diketahui gambaran kekuatan
yang kongkrit, karena hanya berbasis pada pendekatan kuantitatif. Segala unsur yang
membentuk kekuatan militer di suatu negara bukan hanya mengenai aspek kuantitatifnya,
melainkan aspek kualitatif. Masalah lain mengenai keakuratan data misalnya pada kelompok
helikopter yang saat ini sudah terbagi ke dalam beberapa fungsi, seperti helikopter angkut
logistik/pasukan dan helikopter serang. Fakta lain yang tidak bisa diabaikan pula adalah
pengalaman perang di masa lalu yang membentuk cara berpikir dalam membangun strategi
militer di saat yang paling mendesak.
14 ‘Military power comparison results for Indonesia vs. Malaysia’, Global Fire Power (daring), 28 Oktober 2015,
, diakses pada 25 Desember 2015.

Terlepas dari hal tersebut, kita bisa mengkaitkan seluruh statistik milik GFP diatas
dengan teori Charles Maier dan J. J. Romm. Kekuatan militer tentu saja menjadi faktor yang
terpenting dalam keamanan nasional, namun bukan berarti kita bisa mengesampingkan
faktor-faktor penting lainnya. J. J. Romm dalam buku ‘Defining National Security: The
Nonmilitary Aspects’ (1993) menjelaskan beberapa faktor non-militer lain yang
mempengaruhi keamanan sebuah negara. Keadaan politik, ekonomi, sumber daya alam,
energi, lingkungan menjadi salah satu kunci utama dalam keamanan nasional suatu negara 15.
Hal yang unik yang dapat kita temukan disini adalah faktor-faktor yang dipaparkan oleh J. J.
Romm, yang merupakan faktor-faktor non-militer, digunakan oleh beberapa pihak, contohnya
GFP, untuk mengukur kekuatan atau tingkat militer dari suatu negara. Dapat ditarik garis
besar bahwa kedua teori milik Charles Maier dan J. J. Romm ini dapat digunakan untuk
mengukur tingkat keamanan nasional suatu negara. Walaupun teori J. J. Romm merupakan
terusan dari teori keamanan nasional milik Charles Maier, namun akhirnya teori beliau akan
mengarah kepada kekuatan militer juga, yang diukur dan dapat menjadi patokan tingkat
keamanan nasional suatu negara.

2.2

Indonesia dan Malaysia dalam Perebutan Sipadan-Ligitan
Lengsernya Soekarno dan berpindahnya kursi presiden ke Soeharto membuat arah

kebijakan luar negeri terhadap Malaysia pun berubah. Pemerintahan pada masa Orde Baru
cenderung berfokus pada normalisasi hubungan dengan Malaysia. Politik konfrontasi kepada
Malaysia selama masa Soekarno akhirnya diselesaikan pada masa Orde Baru. Normalisasi
hubungan dimulai dari Perundingan Bangkok, yang diadakan pada tanggal 29 Mei sampai
dengan 1 Juni 1966 antara Menteri Luar Negeri Indonesia Adam Malik dan Menteri Luar
Negeri Malaysia Tun Abdul Razak. Perundingan tersebut menghasilkan keputusan untuk
pemulihan dalam hubungan dan menghentikan sikap permusuhan antar kedua negara, serta
tidak membahas lebih dahulu status Sabah dan Serawak sebagai salah satu persyaratan dalam
normalisasi hubungan kedua negara. Hal-hal yang dianggap mendasar tidak dibahas dalam
perundingan Bangkok, dan hal tersebut memancing amarah dari Presiden Soekarno. Beliau
menganggap Adam Malik terlalu lembut dalam menyikapi persoalan antara Indonesia dan
Malaysia. Agar tidak terjadi perbedaan penafsiran antara Indonesia dan Malaysia, maka
selanjutnya kontak antar kedua negara terus dilakukan secara konstan, agar Malaysia tidak
15 J. J. Romm, Defining National Security: The Nonmilitary Aspects, Council on Foreign Relations, New York,
1993.

menaruh curiga lagi kepada Indonesia yang dianggap belum sungguh-sungguh dalam
pemulihan hubungan diplomatik antar kedua negara. Melalui sidang kabinet Ampera,
masalah Malaysia diupayakan sudah dapat diselesaikan sebelum tanggal 17 Agustus 1966.
Akhirnya hubungan berhasil dinormalisasi di Jakarta melalui piagam Jakarta Accord pada
tanggal 11 Agustus 196616.
Setelah normalisasi, hubungan Indonesia dan Malaysia menjadi lebih harmonis.
Kedekatan antara Presiden Soeharto dengan Perdana Menteri Mahathir Muhammad
menunjukkan hal tersebut. Namun meski begitu, di era Orde Baru inilah, “bibit” dari
permasalahan perbatasan dengan Malaysia muncul. Pada tanggal 9 sampai 22 September
1969, Indonesia dan Malaysia mengadakan pertemuan di Kuala Lumpur untuk merundingkan
tentang penetapan batas landas kontinen.17 Perjanjian ini akhirnya diterima kedua belah pihak
ditandatangani pada 27 Oktober 1969. Dalam perjanjian tersebut kedua negara
mempersengketakan kepemilikan dua pulau, yakni Sipadan dan Ligitan. Menurut Hasjim
Djalal, Indonesia tidak ingin melihat Malaysia memasukkan kedua pulau tersebut dalam
wilayah negara tetangganya tersebut, begitu pula sebaliknya.18 Setelah perundingan tersebut,
masalah kembali muncul ketika Malaysia mengeluarkan peta wilayahnya pada 1979. Tidak
hanya Indonesia, negara lain seperti Filipina juga mengajukan protes terhadap peta tersebut.
Peta ini menjadi awal permasalahan Ambalat yang nantinya memanas pada era Reformasi.
Semenjak itu, Presiden Soeharto mulai meningkatkan upaya untuk mengatasi masalah
perbatasan dengan Malaysia melalui jalur diplomasi. Berkali-kali pertemuan dilakukan,
terutama menjelang dan pada tahun 1990an. Pada pertemuan di Langkawi, sekitar tahun
1993, Presiden Soeharto dan Perdana Menteri Mahatir Muhamad mengadakan pertemuan
empat mata, yang intinya menyepakati untuk menyelesaikan masalah tersebut secara
bilateral.19
Hingga pada akhirnya perundingan mencapai titik jenuh, munculah rekomendasi
untuk menyelesaikan masalah sengketa Sipadan-Ligitan melalui Mahkamah Internasional
(International Court of Justice/ICJ). Pada 1997 kedua negara menyepakati usulan tersebut.
Dari kasus diatas dapat dilihat bahwa meski sudah ada upaya normalisasi hubungan dengan
16 ‘Pelaksanaan Hubungan Bilateral Indonesia Malaysia pada Masa Orde Baru’, Academica (daring),
, diakses pada 25 Desember 2015.
17 M. Abubakar, Menata Pulau-Pulau Kecil Perbatasan, Kompas Media Nusantara, Jakarta, 2006, p.84.
18 J.G. Butcher, The International Court of Justice and the Territorial Dispute between Indonesia and Malaysia
in the Sulawesi Sea, Contemporary Southeast Asia, Vol. 35, No. 2 ,2013, p.238
19 Butcher, p. 240.

Malaysia, masalah lain justru muncul, yakni terkait perbatasan. Namun patut diapresiasi
upaya dari pemerintah untuk menyelesaikan masalah melalui jalan diplomasi. Apalagi saat itu
Indonesia juga sudah mulai efektif menggunakan buah perjuangan Djuanda yakni aturan
UNCLOS (yang nantinya dikenal juga dengan LOSC) yang sudah diakui PBB. Perlu dicatat
juga pada saat itu Presiden Soeharto juga mengeluarkan kebijakan pembentukan Badan
Pengelola Perbatasan melalui Keputusan Presiden Nomor 44 Tahun 1994 tentang Badan
Pengendali Pelaksanaan Pembangunan Wilayah Perbatasan di Kalimantan. Hal tersebut
dimaksudkan untuk mendorong pembangunan kawasan perbatasan antara Indonesia dan
Malaysia, khususnya di Kalimantan.20
Sikap elit disini sangat berperan penting dalam menemukan cerita akhir dari suatu
kejadian. Keputusan Soeharto pada saat itu juga menuai banyak tentangan dari masyarakat
karena akan membuat Indonesia lemah dimata Malaysia dan dunia internasional. Hal ini
membuktikan teori milik C.W. Mills. Beliau mengatakan bahwa dalam berjalannya suatu
sistem politik di masyarakat, ada kecenderungan elit berbentuk tunggal dan memiliki
pengaruh dan kekuasaan di seluruh cabang kehidupan seperti ekonomi, politik dan kultural.
Di sini kita lihat kebijakan Soeharto menuai reaksi dari masyarakat luas dan membawa
pengaruh bagi Indonesia dalam kurun waktu jangka panjang. Menurut analisis saya, Soeharto
saat itu sangat memperhitungkan keadaan ekonomi Indonesia yang belum sepenuhnya pulih
setelah mengalami penurunan yang drastis. Perhitungan untuk mengeluarkan kekuatan militer
sebagai tenaga pengawas pulau Sipadan-Ligitan juga tentunya akan menguras tabungan
negara. Selain itu Soeharto juga memiliki upaya untuk menjaga dengan Perdana Menteri
Malaysia saat itu, Mahathir. Keputusan Soeharto melepas Sipadan-Ligitan akhirnya berbuah.
Walaupun tidak berhubungan langsung, namun ekonomi Indonesia berangsur membaik di
bawah kekuasaan tangan dingin Soeharto.

2.3

Indonesia dan Malaysia dalam Perebutan Ambalat
Dalam kasus Ambalat yang merupakan wilayah yang terletak di Laut Selebes di

bagian timur Borneo, telah menjadi sengketa sejak Malaysia mengeluarkan peta yang
mengklaim sebagian besar Ambalat pada tahun 1979. Ambalat menjadi sangat penting karena
wilayah tersebut kaya akan gas alam dan minyak bumi. Klaim Indonesia atas Ambalat adalah
20 Moeldoko , Kompleksitas Pengelolaan Perbatasan; Tinjauan dari Perspektif Kebijakan Pengelolaan
Perbatasan Indonesia, p.6

atas dasar sejarah dan perjanjian internasional. Klaim sejarah menyatakan bahwa Ambalat
merupakan wilayah Kesultanan Bulungan di Kalimantan Timur. Hal tersebut didukung
dengan dasar 1928 Dutch British Borneo Convention, Dutch-British Agreement of 1930, 1982
UN Common Law of the Sea Pasal 76 dan 77, dan juga UU No. 17 Tahun 1984 yang
menyatakan bahwa Ambalat masuk dalam teritori perairan Indonesia 21. Klaim atas dasar
pengelolaan atau effective occupation juga telah dilakukan Indonesia dengan memberikan
konsesi eksplorasi pada perusahaan Italia pada tahun 1999 dan Amerika Serikat pada tahun
2004 di East Ambalat dan Ambalat. Sedangkan dari pihak Malaysia, klaim berdasarkan
kemenangan klaim Sipadan-Ligitan pada tahun 2002 yang berarti Ambalat otomatis juga
masuk wilayahnya. Untuk itu, Malaysia pada tahun 2005 memberikan konsesi minyak
kepada perusahan Inggris-Belanda di ND7 dan ND622.
Pelanggaran perbatasan juga dilakukan Malaysia melalui provokasi militer seperti
mengirim kapal perang, pesawat, dan jet yang melewati wilayah klaim. Menyikapi
pelanggaran perbatasan oleh Malaysia, Indonesia mengirimkan armada perang ke perbatasan.
Namun untuk mencegah terjadinya perang, TNI AL mengeluarkan SK bahwa TNI AL hanya
boleh menembak ketika Malaysia menembak mereka lebih dulu. Hal tersebut dilakukan
karena bila Indonesia terprovokasi dan menyerang Malaysia, maka akan mengundang
kecaman dari dunia internasional sehingga Malaysia bisa mendapat klaim atas Ambalat. Jalan
perang juga dapat menurunkan citra Indonesia karena dianggap menyimpang dari tujuan
ASEAN untuk menghindari perang. Presiden SBY pada saat itu menyatakan secara tegas
bahwa Indonesia hanya akan mengambil langkah perang bila tidak ada acara lain23. Berbeda
dengan penanganan Sipadan-Ligitan yang lewat penyelesaian yudisial, SBY lebih memilih
jalan diplomasi bilateral tanpa campur tangan pihak ketiga untuk menangani sengketa
Ambalat ini. Hingga tahun 2009, telah diadakan sebanyak 24 perundingan antara Indonesia
dengan Malaysia24. Sayangnya, hingga dua periode kepemimpinan SBY berakhir, negosiasi
yang selama ini dilakukan masih menemui jalan buntu dan jalan perang juga tidak ditempuh
21 A. Kusumadewi, ‘Sejarah Panjang Kemelut RI-Malaysia di Ambalat’, CNN Indonesia (daring), 17 Juni 2015, , diakses pada 26 Desember 2015.
22 ‘Pekan Ini Indonesia Melayangkan Teguran Untuk Shell’, Liputan 6 (daring), 14 Maret 2015, <
http://m.liputan6.com/news/read/97512/pekan-ini-indonesia-melayangkan-teguran-untuk-shell>, diakses
pada 26 Desember 2015.
23 A. S. Karni, ‘Ambalat: RI-Malaysia’, Arsip Gatra (daring), 11 Juni 2009, < http://arsip.gatra.com/artikel.php?
id=127254>, diakses pada 26 Desember 2015.
24 I. Rosidi, ‘SBY Minta Deplu Lakukan Akselerasi Diplomatik’, Okezone (daring), 3 Juni 2009, <
http://news.okezone.com/read/2009/06/03/1/225831/sby-minta-deplu-lakukan-akselerasi-diplomatik>,
diakses pada 26 Desember 2015.

sehingga wilayah Ambalat masih sengketa. Satu kesepakatan yang tercapai antara keduanya
adalah untuk menghindari perang dalam menyelesaikan sengketa. SBY juga tidak
melaksanan tuntutan sebagian besar rakyat Indonesia dan DPR-RI untuk menarik Dubes dan
menutup sementara Kedutaan Besar Indonesia di Malaysia.
Dalam kasus Ambalat ini terlihat sekali Indonesia lebih bersikap agresif dalam
pengamanan pulau tersebut. Hal ini merupakan upaya Indonesia agar tidak lagi kehilangan
pulau seperti Sipadan-Ligitan. Indonesia lebih berani untuk mengerahkan kekuatan militernya
untuk mengawasi pulau Ambalat. Namun disini Indonesia harus berhati-hati untuk
menghindari upaya provokasi dari pihak Malaysia. SBY yang merupakan lulusan militer
tentunya memiliki kepahaman terhadap alutsista yang tinggi. Kekuatan militer Indonesia
yang sangat besar pada saat itu berhasil dikendalikan oleh SBY untuk menghindari bentrok
dengan Malaysia, yang mencoba untuk memprovokasi Indonesia, dan dengan mudah
mendapatkan Ambalat. Hal ini membuktikan walaupun kekuatan militer Indonesia lebih
maju, namun belum tentu Indonesia dapat dengan mudah mendapatkan segalanya. Malaysia
yang memiliki kekuatan militer di bawah Indonesia memilih cara yang tepat untuk
mengalahkan dominasi militer Indonesia.

BAB III
PENUTUP
3.1

Kesimpulan
Statistik menjelaskan bahwa secara kuantitas Indonesia jauh unggul dengan Malaysia

dalam hal kekuatan militer. Jumlah personel Indonesia jauh melebihi jumlah personel
Malaysia. Jumlah tank dan kapal selam Indonesia jauh lebih banyak dibanding Malaysia.
Namun statistik hanya menunjukan Indonesia unggul dari segi kuantitas dibanding Malaysia.
Dari segi kualitas, Indonesia dapat dikatakan masih tertinggal dibandingkan Malaysia.
Memang Indonesia memiliki jumlah pasukan darat yang lebih banyak dibandingkan
Malaysia, namun secara kualitas Malaysia melebihi kemampuan Indonesia. Contohnya
Malaysia memiliki senjata anti tank yang tidak dimiliki Indonesia. Kapal selam Malaysia
juga tergolong bagu dibanding kapal selam Indonesia. Hal yang harus disusul Indonesia
adalah dari segi pembaharuan instrumen militer, seperti pesawat tempur, kapal selam, dan
sebagainya untuk menyaingi kualitas militer Malaysia. Statistik diatas kertas memang tidak
dapat digunakan menjadi satu-satunya tolak ukur militer suatu negara. Segi kualitas dan
pengalaman juga perlu diperhitungkan dalam hal tersebut.
Pulau Sipadan-Ligitan menjadi salah satu contoh dimana kebijakan militer suatu
negara mempengaruhi hasil akhir dari suatu kasus. Presiden Soeharto yang pada saat itu
dihadapi dengan keadaan dalam negeri yang kurang mendukung membuat pengawasannya
terhadap pulau Sipadan-Ligitan menjadi berkurang. Beliau memilih untuk tidak mengerahkan
kekuatan militernya secara lebih, paling tidak untuk mengawasi pergerakan Malaysia di
Sipadatan-Ligitan. Namun kembali teringat bahwa kebijakan elit akan membawa dampak
besar terhadap kehidupan negara dan masyarakat luas. Dengan memilih tidak
menginvestasikan tabungan negara untuk kemajuan militer pada saat itu, Soeharto lebih
memilih membangun ekonomi dari dalam negeri untuk kesejahteraan masyarakat luas.
Kasus Ambalat yang sampai saat ini belum selesai juga cukup membuat Indonesia
kewalahan, Namun kali ini Indonesia lebih berani dalam mengerahkan militernya untuk
mengamankan Ambalat. Malaysia nampak selalu memiliki siasat untuk mengalahkan
Indonesia. Pada sengketa Sipadan-Ligitan, Malaysia menolak mediasi melalui ASEAN, yang
akhirnya dimediasi oleh ICJ dengan kemenangan Malaysia. Kali ini di Ambalat, Malaysia

melakukan provokasi melalui pelanggaran-pelanggaran yang menggunakan militer mereka.
Tentunya mereka memancing Indonesia untuk mengerahkan kekuatan militernya agar
terprovokasi dan akhirnya Malaysia akan dengan mudah mendapatkan Ambalat. Namun
sekali lagi kebijakan elit menentukan segalanya. SBY yang merupakan lulusan kemiliteran
memilih kebijakan untuk sabar dan menyelesaikan sengketa ini dengan jalur diplomasi.
Namun sampai pergantian kursi kepresidenan, kasus sengketa Ambalat antara Indonesia dan
Malaysia juga belum terselesaikan.

Daftar Pustaka
Sumber Buku:
Abubakar, M., Menata Pulau-Pulau Kecil Perbatasan, Kompas Media Nusantara, Jakarta,
2006, p.84.
Butcher, J.G., The International Court of Justice and the Territorial Dispute between
Indonesia and Malaysia in the Sulawesi Sea, Contemporary Southeast Asia, Vol. 35,
No. 2 ,2013, pp. 238-240.
Cohn, T., Global Political Economy, Routledge, London, 2011, p. 56.
Maier, C.S., Peace and Security for the 1990s, Unpublished paper for the MacArthur
Fellowship Program, Social Science Research Council, June 12, 1990.
Mills, C.W., The Power Elite: New Edition, Oxford University Press, New York, 1970.
Moeldoko, Kompleksitas Pengelolaan Perbatasan; Tinjauan dari Perspektif Kebijakan
Pengelolaan Perbatasan Indonesia, p.6.
Romm, J.J., Defining National Security: The Nonmilitary Aspects, Council on Foreign
Relations, New York, 1993.

Sumber Daring:
Aqila, M., ‘Indonesia Tak Berdaya Melawan Malaysia atau Singapura’, Kompasiana
(daring), 2 Januari 2015, http://www.kompasiana.com/muhammadaqila/indonesia-takberdaya-melawan-malaysia-atau-singapura_54f900a3a33311695d8b46db,

diakses

pada 16 September 2015.
‘Countries Ranked by Military Strength’, Global Fire Power (daring), 14 November 2014,
, diakses pada 16 September
2015.
Karni, A.S., ‘Ambalat: RI-Malaysia’, Arsip Gatra (daring), 11 Juni 2009, <
http://arsip.gatra.com/artikel.php?id=127254>, diakses pada 26 Desember 2015.

‘Kekuatan Alutsista TNI Terbaru 2015 Mulai Diperhitungkan Dunia’, Militer Indonesia
(daring),

23

Juli

2015,

, diakses pada 25 Desember 2015.
Kusumadewi, A., ‘Sejarah Panjang Kemelut RI-Malaysia di Ambalat’, CNN Indonesia
(daring), 17 Juni 2015, ,

diakses

pada

26

Desember 2015.
‘Military power comparison results for Indonesia vs. Malaysia’, Global Fire Power (daring),
28

Oktober

2015,

, diakses pada 24 Desember 2015.
‘Pekan Ini Indonesia Melayangkan Teguran Untuk Shell’, Liputan 6 (daring), 14 Maret 2015,
, diakses pada 26 Desember 2015.
‘Pelaksanaan Hubungan Bilateral Indonesia Malaysia pada Masa Orde Baru’, Academica
(daring),
, diakses pada 25
Desember 2015.
‘Perbandingan Kekuatan Militer Indonesia vs Malaysia’, Isi Waktu (daring), 2 Juli 2015, <
http://isiwaktu.com/perbandingan-kekuatan-militer-indonesia-vs-malaysia/>, diakses
pada 25 Desember 2015.
Pinem, W., ‘Teori Realisme dalam Hubungan Internasional’, Seni Berpikir (daring), 27
Desember

2014,

, diakses pada 16 September 2015.
Rosidi, I., ‘SBY Minta Deplu Lakukan Akselerasi Diplomatik’, Okezone (daring), 3 Juni
2009,

, diakses pada 26 Desember 2015.

‘Sistem Pertahanan Negara Kesatuan Republik Indonesia - Bagian 4’, The Global Review
(daring), 1 Juni 2009, , diakses pada 24 Desember 2015.
Wijayanti, E., ‘Perbandingan Militer Indonesia vs Malaysia’, Kompasiana (daring), 10
Februari

2015,

, diakses pada 25 Desember
2015.