PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM DILIHAT DAR

PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM DILIHAT DARI
PERSPEKTIF HUBUNGAN PUSAT – DAERAH
Oleh : Muhammad Taufiq Mansyur

Pendahuluan
Negara Indonesia dari dulu sudah dikenal akan kekayaan sumber daya alamnya. Dengan wilayah
yang terbentang sangat luas dari Aceh sampai ke Papua, kekayaan alam Indonesia bervariasi dari sumber
daya alam mineral dan sumber daya alam yang terletak di daratan dan dalam kandungan bumi Indonesia.
Kekayaan alam yang sedemikian besar ini tentu bila dikelola dengan baik akan memberikan kemakmuran
yang sebesar-besarnya bagi rakyat Indonesia. Namun, sudah menjadi rahasia umum bahwa pengeloaan
sumber daya alam di negara kita ini masih jauh dari harapan sehingga apa yang diharapkan akan
membawa kesejahteraan bagi masyarakat, sejauh ini belum tercapai dan hanya dinikmati oleh golongan
tertentu saja.
Terkait dengan pengelolaan sumber daya alam ini sendiri, Undang-Undang Dasar 1945 sebagai
konstitusi negara sudah mengamanatkan khususnya dalam Pasal 33 ayat 3 yang berbunyi, “bumi dan air
dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesarbesarnya kemakmuran rakyat”, sehingga disimpulkan bahwa negaralah yang menjadi pengelola sumber
daya alam, dalam hal ini diwakilkan oleh Pemerintah (pusat) sebagai penyelenggara negara.
Melihat penafsiran bahwa pemerintah pusat adalah penyelenggara negara dan didukung dengan
fakta bahwa sumber daya alam Indonesia mulai dikelola secara serius di era orde baru yang sentralistik,
maka tidak mengherankan bila pengelolaan sumber daya alam selama ini sifatnya terlalu sentralistik.
Namun sejalan dengan semangat otonomi daerah yang mulai bergaung semenjak runtuhnya era orde baru

yang ditandai dengan reformasi 1998, maka disusunlah sebuah aturan baru yang dianggap bisa
mengakomodir semangat otonomi daerah tersebut. Inilah kemudian yang mendasari lahirnya undangundang no. 22/1999 tentang pemerintahan daerah yang kemudian diperbaharui melalui undang-undang
32/2004 dan terakhir undang-undang 23/2014. Selain undang-undang tentang pemerintahan daerah yang
mengatur tentang desentralisasi dan otonomi daerah, bersamaan dengan itu dikeluarkan juga undangundang yang mengatur perimbangan keuangan antara pusat dan daerah melalui undang-undang no.
25/1999 dan undang-undang no. 33/2004.
Secara umum, melalui undang-undang tentang pemerintahan daerah dan perimbangan keuangan
antara pusat dan daerah diatas, dijelaskan bahwa daerah diberikan kewenangan penuh untuk mengatur
dan mengurus sendiri urusan rumah tangga dan keuangannya. Lebih lanjut dijelaskan juga bahwa karena
daerah sudah diberikan hak otonomi maka terkait dengan pengelolaan sumber daya alam, kewenangan
pengelolaannya diberikan kepada Pemerintah Daerah. Akan tetapi, tidak semua pengelolaan sumber daya
alam diberikan kepada daerah, terutama untuk sumber daya alam yang “gemuk” seperti minyak bumi dan
gas bumi, pengelolaannya masih dikuasai oleh pemerintah pusat. Dalam tulisan singkat berikut ini,
penulis akan mencoba mengeksplorasi pengelolaan sumber daya alam ditinjau dari hubungan pusat dan
daerah.
Pengelolaan Sumber Daya Alam
Semenjak reformasi 1998 menggantikan era orde baru, banyak perubahan fundamental yang
mengikuti, terutama dalam hal penyelenggaraan urusan pemerintahan. Salah satu perubahan fundamental
yang dimaksud adalah perubahan sistem pemerintahan Indonesia dari yang awalnya sentralistik di bawah
kepemimpinan suharto, menjadi sistem pemerintahan yang desentralistik yang dikukuhkan melalui
undang-undang nomor 22/1999 tentang pemerintahan daerah. Perubahan ini tentu membawa angin segar,

terutama bagi daerah-daerah di luar Jawa, karena sesuai dengan tujuannya, pemberiaan otonomi yang
seluas-luasnya diharapkan dapat memangkas pelayanan kepada masyarakat sehingga lebih efisien dan
mempercepat tercapainya tujuan negara yaitu kesejahteraan masyarakat.
Pemberian otonomi kepada daerah kemudian diikuti dengan perimbangan keuangan antara
pemerintah pusat dan daerah. Melalui undang-undang no. 33/2004, daerah didukung dalam hal
penyelenggaraan otonomi melalui pemberian sumber-sumber pendanaan dan pemanfaatan sumber daya
alam yang ada di daerahnya. Pasal 5 ayat (1) uu 33/2004 menyebutkan bahwa penerimaan daerah berasal

dari pendapatan daerah dan pembiayaan. Selanjutnya dalam ayat (2) disebutkan bahwa penerimaan
daerah itu terdiri dari tiga aspek, yaitu:
1. Penerimaan Asli Daerah (PAD)
2. Dana Perimbangan
3. Lain-Lain pendanaan yang sah
Dari ketiga aspek diatas, penulis akan berfokus pada poin nomor dua, yaitu Dana Perimbangan,
karena di dalam poin inilah terkandung penjelasan mengenai dana bagi hasil yang berkaitan erat dengan
hasil pengelolaan sumber daya alam sebagaimana disebutkan dalam pasal 10 undang-undang yang sama
bahwa dana perimbangan terdiri dari tiga item, yaitu:
1. Dana Bagi Hasil
2. Dana Alokasi Umum, dan
3. Dana Alokasi Khusus

Dana Bagi Hasil yang dimaksud diatas itu terdiri dari pajak dan sumber daya alam. Dalam
undang-undang no. 33/2004 ini dijelaskan bahwa, yang termasuk dalam sumber daya alam yang nantinya
pengelolaan dan hasilnya akan dibagi antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah adalah:
1.
2.
3.
4.
5.
6.

Kehutanan
Pertambangan Umum
Perikanan
Pertambangan Minyak Bumi
Pertambangan Gas Bumi
Pertambangan Panas Bumi

Inilah sumber daya alam yang dimiliki oleh bangsa Indonesia yang harus dikelola sebaik-baiknya
untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Dari enam item sumber daya alam yang ada diatas, sebagian
besar hasilnya dikembalikan kepada daerah penghasil. Namun ada juga sumber daya alam yang

pengelolaan dan hasilnya lebih besar dimiliki oleh pemerintah pusat. Dari pasal 14 uu no. 33/2004
diketahui, bahwa:
1. Untuk sumber daya kehutanan, pertambangan umum, perikanan, dan pertambangan panas bumi,
sebanyak 80% hasil pengelolaannya diberikan kepada daerah, dan 20% nya oleh pemerintah
pusat.
2. Untuk pertambangan minyak bumi, hanya sekitar 15,5 % hasil pengelolaannya diberikan kepada
daerah, sedangkan 84.5 % lainnya oleh pemerintah pusat.
3. Untuk pertambangan gas bumi, sekitar 30,5 % diberikan kepada daerah, dan lebihnya 69,5 %
oleh pemerintah pusat.
Dari data diatas dapat dilihat bahwa sebagian besar sumber daya alam hasilnya diberikan ke
daerah dengan perbandingan 80 : 20. Hanya ada dua jenis sumber daya alam yang perbandingan
pembagiannya lebih banyak ke pemerintah pusat, yaitu sumber daya pertambangan minyak bumi dan
sumber daya pertambangan gas bumi atau biasa disebut Migas. Akan tetapi, sektor Migas ini menurut
para ahli merupakan sektor yang paling menguntungkan. Makanya, oleh beberapa ahli, disebutkan bahwa
pemerintah pusat memang sudah memberikan lebih banyak hasil pengelolaan sumber daya alam kepada
daerah sesuai dengan amanat undang-undang, tapi masih lebih besar yang dikelola oleh pemerintah pusat.
Ada beberapa pertimbangan mengapa pemerintah pusat masih memegang kuasa yang lebih besar untuk
sektor migas. Salah satu pertimbangan yang cukup kontroversial adalah pemerintah pusat (dalam hal ini
pejabat-pejabat yang ada di pusat) masih belum siap kehilangan sumber dana yang besar. Tetapi tentunya
alasan seperti ini belum teruji kebenarannya. Pertimbangan yang lebih normatif bisa kita lihat contohnya

dalam penjelasan undang-undang no. 22 tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi. Disitu dijelaskan
bahwa mengingat Minyak dan Gas Bumi merupakan sumber daya alam strategis takterbarukan yang
dikuasai negara dan merupakan komoditas vital yang memegang peranan penting dalam penyediaan
bahan baku industri, pemenuhan kebutuhan energi di dalam negeri, dan penghasil devisa negara yang
penting, maka pengelolaannya perlu dilakukan seoptimal mungkin agar dapat dimanfaatkan bagi sebesarbesarnya kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. Lebih lanjut dijelaskan bahwa, tujuan pemanfaatan
sumber daya alam sektor migas menitikberatkan pada peran pemerintah pusat adalah:
1. terlaksana dan terkendalinya Minyak dan Gas Bumi sebagai sumber daya alam dan sumber daya
pembangunan yang bersifat strategis dan vital;
2. mendukung dan menumbuhkembangkan kemampuan nasional untuk lebih mampu bersaing;

3. meningkatnya pendapatan negara dan memberikan kontribusi yang sebesar-besarnya bagi
perekonomian nasional, mengembangkan dan memperkuat industri dan perdagangan Indonesia;
4. menciptakan lapangan kerja, memperbaiki lingkungan, meningkatnya kesejahteraan dan
kemakmuran rakyat.
Menurut penulis, tidak akan menjadi masalah yang substansial mengenai pengelolaan migas yang
masih lebih banyak oleh pemerintah pusat, karena pada prinsipnya, antara pemerintah pusat dan daerah
hanya terbedakan oleh lokusnya saja. Selama apa yang menjadi tujuan diatas tercapai, maka harusnya
baik-baik saja. Terbukti dari pengamatan penulis, dan juga dari beberapa sumber bacaan diketahui bahwa
dengan persentase yang kecil saja, daerah penghasil migas seperti Riau dan Kaltim memiliki APBD yang
lebih besar secara umum dibanding daerah lainnya. Hanya saja, peruntukannya yang masih lebih banyak

kepada pembangunan fisik berupa gedung perkantoran yang megah dan tunjangan kinerja bagi pejabat
dan PNS yang besar. Dari dua provinsi yang disinggung diatas, masih belum bisa dikatakan sejahtera bila
kita melihat kondisi masyarakatnya terutama yang hidup di pedesaan. Hal ini diperparah dengan kondisi
lingkungan yang semakin mengkhawatirkan akibat eksploitasi yang tidak berwawasan lingkungan. Yang
harusnya lebih menjadi perhatian adalah banyaknya sumber daya alam, khususnya sektor migas, yang
pengelolaannya diberikan kepada pihak asing. Data kompas tahun 2012 menyebutkan bahwa, Pertamina
selaku BUMN yang harusnya mengelola Migas dalam negeri malah hanya mengelola sekitar 30 % dari
total migas yang ada di Indonesia ini. Sedangkang 70 % lainnya dikelola oleh pihak asing, seperti
Chevron dan Exxon Mobile melalui kontrak kerja sama. Selain sektor migas, yang juga meprihatinkan
adalah sektor pertambangan umum dengan contoh kasus Provinsi Papua dan PT. Freeport. Seperti yang
diketahui bahwa sejak 1967, PT. Freeport diberikan kewenangan oleh pemerintah (pusat) untuk
mengelola tambang tembaga dan emas yang ada di Timika, Papua, melalui kontrak karya (KK). Hal ini
menjadi memiriskan dengan kenyataan bahwa bagian dari pemerintah Indonesia dari hasil tambang ini
adalah hanya sekitar 1 % untuk emas dan sekitar 1 – 3 % untuk tembaga. Bisa dibayangkan berapa
keuntungan yang dikeruk oleh perusahaan asing tersebut (tentunya dengan memperhatikan banyaknya
investasi yang telah mereka gelontorkan). Dan kondisi antara Indonesia dan PT. Freeport ini sudah
menyalahi amanat undang-undang khususnya Undang-undang nomor 4 tahun 2009 tentang Mineral dan
Batu Bara sehingga pemerintah harusnya mengambil sikap untuk melakukan renegosiasi.
Penutup
Sebagai negara yang memiliki kekayaan sumber daya alam yang sangat besar, Indonesia

seharusnya sudah bisa berdiri sejajar dengan negara-negara maju di dunia. Tapi sayangnya masih banyak
daerah yang tertinggal dan memiliki tingkat kemiskinan yang cukup tinggi. Dengan otonomi daerah, dan
melalui perimbangan keuangan dan pemberian kewenangan yang cukup besar kepada daerah untuk
mengurus sendiri rumah tangganya dan mengelola sumber dayanya, diharapkan daerah-daerah di seluruh
Indonesia bisa mempercepat kesejahteraan rakyatnya yang secara akumulatif artinya kesejahteraan rakyat
Indonesia. Namun tidak bisa dipungkiri, pengelolaan yang masih buruk, banyaknya sumber daya asing
yang menguasai sumber daya alam kita, dan belum optimalnya perimbangan keuangan dan bagi hasil
sumber daya alam antara pusat dan daerah membuat tujuan untuk mensejahterakan rakyat masih berjalan
sangat lambat.