BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah - Peranan Badan Permusyawaratan Desa (BPD) Dalam Pembangunan Pertanian Di Desa Batukarang Kecamatan Payung Kabupaten Karo

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

  Indonesia adalah negara agraris dimana sebagian besar penduduknya hidup dari hasil bercocok tanam atau bertani, sehingga pertanian merupakan sektor yang memegang peranan penting dalam kesejahteraan kehidupan penduduk Indonesia. Sekalipun di berbagai daerah ekosistem wilayahnya ada yang sudah berubah menjadi daerah perkotaan dan perindustrian, namun pertanian masih tetap merupakan andalan utama bagi kehidupan masyarakat. Hingga saat ini sektor pertanian walau secara proporsi menurun selama lima tahun terakhir masih merupakan sektor penyerap tenaga kerja tertinggi. Pada Februari 2013, tercatat sebanyak 39,96 juta orang atau 35 persen dari total tenaga kerja yang bekerja berpenghasilan dengan mengais rezeki di sektor pertanian. (http://ekonomi. kompasiana.com/agrobisnis/2013//09/26/surveipendapatanrumah-tangga-usahaper tanian-2013-596021.html).

  Sebagai salah satu pilar ekonomi negara dan dasar bagi kelangsungan pembangunan ekonomi yang berkelanjutan, sektor pertanian diharapkan dapat meningkatkan pendapatan penduduk yang masih di bawah garis kemiskinan serta mampu memberikan pemecahan permasalahan bagi bangsa Indonesia. Karena sektor pertanian mempunyai 4 fungsi yang sangat fundamental bagi pembangunan suatu bangsa, yaitu :

  1. Mencukupi pangan dalam negeri

  2. Penyediaan lapangan kerja

  3. Penyediaan bahan baku untuk industri, dan

  4. Sebagai penghasil devisa bagi negara Sebagai sektor yang mempunyai peranan strategis dalam struktur pembangunan perekonomian nasional, sudah seharusnya sektor ini berkembang dan mendapat perhatian yang lebih serius dari pemerintah. Namun, perjalanan pembangunan pertanian Indonesia hingga saat ini masih belum dapat menunjukkan hasil yang maksimal jika dilihat dari tingkat kesejahteraan petani dan kontribusinya pada pendapatan nasional. Potensi pertanian Indonesia sangat besar, akan tetapi pada kenyataannya sampai saat ini sebagian besar dari petani kita masih banyak yang termasuk dalam golongan miskin. (http://www. paskomnas.com/id/berita/Kondisi-Pertanian-Indonesia-saat-ini-Berdasarkan-Pand angan-Mahasiswa-Pertanian-Indonesia.php). Bahkan desa yang merupakan wilayah sentra pertanian di Indonesia justru tidak mengalami perkembangan, baik dari segi kualitas hidup maupun kesejahteraan masyarakat desa itu sendiri.

  Pembangunan pertanian di masa yang akan datang tidak hanya dihadapkan untuk memecahkan masalah-masalah yang ada, namun juga dihadapkan pula pada tantangan untuk menghadapi perubahan tatanan politik di Indonesia yang mengarah pada era demokratisasi yakni tuntutan otonomi daerah dan pemberdayaan petani. Disamping itu, dihadapkan pula pada tantangan untuk mengantisipasi perubahan tatanan dunia yang mengarah pada globalisasi dunia.

  Oleh karena itu, pembangunan pertanian di Indonesia tidak saja dituntut untuk menghasilkan produk-produk pertanian yang berdaya saing tinggi namun juga mampu mengembangkan pertumbuhan daerah serta pemberdayaan masyarakat.

  Ketiga tantangan tersebut menjadi sebuah kerja keras bagi kita semua apabila menginginkan pertanian kita dapat menjadi pendorong peningkatan kesejahteraan masyarakat dan dapat menjadi motor penggerak pembangunan bangsa.

  Desa Batukarang merupakan salah satu desa yang memproduksi hasil-hasil pertanian terutama tanaman holtikultura dalam jumlah yang besar, yang bisa memenuhi permintaan dari daerah lain. Desa ini termasuk dalam wilayah administrasi Kecamatan Payung, Kabupaten Karo. Dimana, Kabupaten Karo merupakan daerah yang terkenal sebagai sentra tanaman holtikultura di Sumatera Utara.

  Desa Batukarang memiliki topografi dataran tinggi dengan ketinggian antara ± 850 s/d 11.200 meter di atas permukaan laut. Secara umum Desa Batukarang beriklim tropis dengan udara sejuk yang dipengaruhi oleh iklim pegunungan dengan tipe-tipe iklim kering. Rata-rata suhu udara sebesar 19,8°C dengan suhu maksimum 25,8°C dengan suhu minimum 14,3°C. Sepanjang tahun daerah ini hanya mengalami dua kali pertukaran musim, yaitu musim hujan dan musim kemarau. Musim hujan berlangsung sepanjang bulan September sampai bulan Maret pada tahun berikutnya, dan musim kemarau berlangsung dari bulan April hingga Agustus. Rata-rata curah hujan di daerah ini berkisar 2500 mm pertahun. Dengan kondisi ini, Desa Batukarang memiliki potensi yang sangat besar dalam sektor pertanian.

  Kondisi alam yang mendukung, membuat penduduk Desa Batukarang memiliki kemauan dan kerja keras yang kuat dalam bidang pertanian. Penduduk Desa Batukarang sendiri sebahagian besar bermata pencaharian sebagai petani. Ada juga penduduk yang bekerja sebagai pegawai negeri, pedagang, wiraswasta, dan lain sebagainya, namun mereka tetap memiliki lahan pertanian bahkan masih menyempatkan diri untuk bekerja di ladang. Hal ini kemudian membuat penduduk Desa Batukarang tidak pernah kekurangan bahan pangan. Bahkan usaha pertanian di desa ini telah menyediakan pekerjaan bagi orang-orang di luar Kabupaten Karo, sebagai buruh tani atau lebih dikenal dengan istilah aron.

  Luas areal kawasan Desa Batukarang adalah 1370 Ha. Dengan penggunaan lahan terbesar untuk pertanian. Penggunaan tanah di Desa Batukarang sebagian besar digunakan untuk lahan pertanian cabai dan padi baik pertanian lahan kering maupun pertanian lahan basah / sawah. Kesuburan tanah menjadikan desa Batukarang sebagai tempat yang ideal dan pertanian menjadi sumber kehidupan pokok dan utama bagi penduduknya. Pertanian padi adalah yang utama sehubungan dengan makanan pokok adalah beras. (Proposal Penelitian Kurnia Putra Bangun, 2008. Pengaruh Tingkat Pendidikan Terhadap Partisipasi Politik Masyarakat di Dalam Pemilihan Kepala Daerah Tahun 2005 di Kabupaten Karo. Medan : Universitas Sumatera Utara).

  Meskipun desa Batukarang memiliki potensi yang besar dalam sektor pertanian, namun hal ini tidak menjamin bahwa produksi pertanian di desa ini berkembang. Selain itu, jika dibandingkan dengan desa-desa pertanian lainnya di Indonesia, seperti yang ada di Bali, maka pembangunan pertanian di desa ini sangat tertinggal jauh. Selain dari produksi pertanian itu sendiri, desa-desa pertanian di Bali telah dikembangkan menuju desa agrowisata. Dimana usaha pertanian di samping tetap berproduksi, dikembangkan juga menjadi kawasan wisata alam tanpa meninggalkan fungsi utamanya sebagai lahan pertanian produktif. Sehingga hal ini bisa lebih meningkatkan pendapatan petani.

  Pembangunan pertanian di Bali dilakukan secara sungguh-sungguh dan terencana dengan baik, dengan melihat peluang-peluang yang ada. Pengembangan agrowisata di wilayah ini pun dilakukan dengan melihat potensi pariwisata yang cukup besar dengan objek wisata yang beraneka ragam yang dimilikinya. Dan upaya ini telah membawa keberhasilan tersendiri bagi Bali. Wisatawan yang berkunjung ke Bali belakangan ini memiliki kecenderungan tidak sekedar menikmati keunikan sosial budaya, tetapi juga perhatian akan lingkungan yang semakin meningkat. (Sudibya, Bagus. 2002. “Pengembangan Ecotourism di Bali: Kasus Bagus Discovery Group”. Makalah disampaikan pada Ceramah Ecotourism di Kampus STIM-PPLP Dhyana Pura, Dalung, Kuta pada tanggal 14 Agustus 2002). Bahkan para wisatawan yang datang selalu menyempatkan diri untuk mengunjungi desa-desa agrowisata di Bali, baik yang datang untuk tujuan dapat melihat langsung dan mengikuti proses panen serta mengetahui tentang bagaimana hasil-hasil pertanian itu dipasarkan maupun yang datang hanya untuk menikmati pemandangan alam dan udara yang segar.

  Desa Batukarang sendiri memiliki potensi untuk berkembang seperti desa- desa pertanian di Bali. Dimana Kabupaten Karo juga memiliki objek-objek wisata yang banyak dan beraneka ragam. Bahkan Karo sendiri menjadi salah satu tujuan wisata terbesar di Sumatera Utara, selain Danau Toba yang ada di Samosir. Namun hingga saat ini pertanian di Desa Batukarang tidak berubah dari keadaan yang sebelumnya. Dimana pertanian hanya ditujukan untuk sekedar memenuhi kebutuhan masyarakat dan belum memanfaatkan potensi-potensi yang ada secara maksimal. Padahal sejak berlakunya otonomi daerah, desa sudah diberi kewenangan untuk berkreasi dan mengembangkan daerahnya sesuai dengan potensi yang ada.

  Desa memiliki hak untuk mengurus, mengatur rumah tangganya sendiri yang disebut otonomi desa. Desa tidak lagi berada dibawah pemerintahan kecamatan seperti sebelumnya. Untuk itulah telah diterbitkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No 72 Tahun 2005 tentang pemerintahan desa.

  Dimana inti dari peraturan ini adalah memberikan kesempatan kepada masyarakat desa untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri, dengan persyaratan yang diamanatkan yakni diselenggarakan dengan memperhatikan prinsip-prinsip demokrasi, peran serta masyarakat, pemerataan, keadilan, serta memperhatikan potensi dan keanekaragaman daerah. (http://repository.unhas.ac.id/handle/1 23456789/253).

  Dengan peraturan ini, pemerintah desa harus melakukan sendiri aktivitas perencanaan, pelaksanaan, hingga pengawasan. Untuk itulah pemerintah desa harus membuat dan menetapkan sendiri peraturan perundang-undangan untuk lingkup desa masing-masing. Peraturan inilah yang kemudian dikenal sebagai peraturan desa. Penetapan peraturan desa sendiri dilakukan oleh Badan Permusyawaratan Desa bersama dengan Kepala Desa. Jadi, Kepala Desa sebagai lembaga eksekutif di tingkat desa, sedangkan Badan Permusyawaratan Desa sebagai lembaga legislatif di ditingkat desa.

  Pembentukan Badan Permusyawaratan Desa tersebut pada dasarnya merupakan implementasi dari demokrasi dalam penyelenggaraan pemerintahan desa; yang berfungsi dalam pembuatan dan pelaksanaan Peraturan Desa, Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa, dan Keputusan Kepala Desa. Badan Permusyawaratan Desa yang selanjutnya disebut BPD adalah Badan Permusyawaratan yang terdiri atas pemuka-pemuka masyarakat yang ada di Desa yang berfungsi mengayomi adat istiadat, membuat Peraturan Desa, menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat, serta melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan pemerintahan desa. BPD sebagai Badan Permusyawaratan merupakan wahana untuk melaksanakan demokrasi berdasarkan Pancasila. BPD berkedudukan sejajar dan menjadi mitra dari Pemerintah Desa. BPD mempunyai fungsi, yaitu: (1) mengayomi yaitu menjaga kelestarian adat istiadat yang hidup dan berkembang di Desa yang bersangkutan sepanjang menunjang kelangsungan pembangunan; (2) legislasi yaitu merumuskan dan menetapkan Peraturan Desa bersama-sama Pemerintah Desa; (3) pengawasan yaitu meliputi pengawasan terhadap pelaksanaan Peraturan Desa, Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa serta Keputusan Kepala Desa; dan (4) menampung aspirasi masyarakat yaitu menangani dan menyalurkan aspirasi yang diterima dari masyarakat kepada Pejabat atau Instansi yang berwenang. (http://www.sundul.desa.id/2013/06/bpd- desa-sundul-tahun-2013-2018.html).

  Mencermati fungsi BPD khususnya dalam hal legislasi di desa, maka dapat dikatakan bahwa BPD memiliki peran yang sangat penting dan strategis dalam proses pemerintahan di desa. BPD secara langsung dapat mempengaruhi dinamika kehidupan masyarakat desa dan sangat menentukan kemana arah pembangunan suatu desa. Untuk itulah, peran BPD sangat menentukan dalam pembangunan pertanian di Desa Batukarang. Hal ini dikarenakan keberhasilan pembangunan sektor pertanian tidak hanya bergantung pada seberapa besar potensi yang dimiliki, tetapi juga peran dari pemerintah.

  Berdasarkan uraian latar belakang di atas maka peneliti tertarik untuk melihat lebih dalam bagaimana sebenarnya peran BPD dalam pembangunan

  “Peranan Badan

  pertanian. Untuk itu peneliti mengangkat judul

  Permusyawaratan Desa (BPD) dalam Pembangunan Pertanian Di Desa Batukarang Kecamatan Payung Kabupaten Karo’’.

1.2 Rumusan Masalah

  Untuk mempermudah penelitian ini nantinya dan agar penelitian ini memiliki arah yang jelas dalam menginterpretasikan fakta dan data kedalam penulisan skripsi, maka terlebih dahulu dirumuskan permasalahan yang akan diteliti.

  Berdasarkan uraian latar belakang masalah yang telah dikemukakan di atas maka rumusan masalah yang akan dijawab melalui penelitian ini adalah: “ Bagaimana Peranan Badan Permusyawaratan Desa (BPD) Dalam Pembangunan Pertanian Di Desa Batukarang Kecamatan Payung Kabupaten Karo’’.

  1.3 Tujuan Penelitian

  Setiap penelitian yang dilakukan tentu mempunyai sasaran yang hendak dicapai atau apa yang menjadi tujuan penelitian dalam penyelenggaraanya.

  Dengan demikian adapun yang menjadi tujuan dalam penelitian ini adalah :

  1. Untuk mengetahui Peranan Badan Permusyawaratan Desa di desa Batukarang Kecamatan Payung Kabupaten Karo dalam Pembangunan Pertanian.

  2. Untuk mengetahui masalah atau kendala yang dihadapi oleh Badan Permusyawaratan Desa dalam menjalankan Perannya pada Pembangunan Pertanian di desa Batukarang Kecamatan Payung Kabupaten Karo.

  1.4 Manfaat Penelitian

  Disamping tujuan yang hendak dicapai, maka suatu penelitian harus mempunyai manfaat yang jelas. Adapun yang menjadi manfaat penelitian ini adalah :

  1. Bagi penulis, sebagai suatu tahap untuk melatih dan mengembangkan kemampuan berfikir ilmiah serta kemampuan untuk menuliskannya ke dalam bentuk karya tulis ilmiah berdasarkan kajian-kajian teori yang diperoleh ilmu administrasi negara FISIP USU khususnya pada konsentrasi pembangunan.

  2. Bagi instansi, sebagai bahan masukan bagi Badan Permusyawaratan Desa dalam pelaksanaan kegiatannya.

  3. Secara akademis, penelitian ini diharapkan bisa memperkaya khasanah ilmiah dan referensi dalam penelitian ilmu sosial khusunya bagi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara dan bagi kalangan penulis lainnya yang tertarik dalam bidang ini.

1.5 Kerangka Teori

1.5.1 Pembangunan Desa

  Teori pembangunan dalam ilmu sosial dapat dibagi ke dalam dua paradigma besar, modernisasi dan ketergantungan (Lewwellen 1995, Larrin 1994, Kiely 1995 dalam Tikson, 2005). Paradigma modernisasi mencakup teori-teori makro tentang pertumbuhan ekonomi dan perubahan sosial dan teori-teori mikro tentang nilai-nilai individu yang menunjang proses perubahan. Paradigma ketergantungan mencakup teori-teori keterbelakangan (under-development) ketergantungan (dependent development) dan sistem dunia (world system theory) sesuai dengan klassifikasi Larrain (1994).

  Sedangkan Tikson (2005) membaginya kedalam tiga klassifikasi teori pembangunan, yaitu modernisasi, keterbelakangan dan ketergantungan. Dari berbagai paradigma tersebut itulah kemudian muncul berbagai versi tentang pengertian pembangunan.

  Pembangunan dapat diartikan sebagai suatu upaya terkoordinasi untuk menciptakan alternatif yang lebih banyak secara sah kepada setiap warga negara untuk memenuhi dan mencapai aspirasinya yang paling manusiawi (Nugroho dan Rochmin Dahuri, 2004).

  Tema pertama adalah koordinasi, yang berimplikasi pada perlunya suatu kegiatan perencanaan seperti yang telah dibahas sebelumnya. Tema kedua adalah terciptanya alternatif yang lebih banyak secara sah. Hal ini dapat diartikan bahwa pembangunan hendaknya berorientasi kepada keberagaman dalam seluruh aspek kehidupan. Ada pun mekanismenya menuntut kepada terciptanya kelembagaan dan hukum yang terpercaya yang mampu berperan secara efisien, transparan, dan adil. Tema ketiga mencapai aspirasi yang paling manusiawi, yang berarti pembangunan harus berorientasi kepada pemecahan masalah dan pembinaan nilai-nilai moral dan etika umat.

  Siagian (1994) memberikan pengertian tentang pembangunan sebagai “Suatu usaha atau rangkaian usaha pertumbuhan dan perubahan yang berencana dan dilakukan secara sadar oleh suatu bangsa, negara dan pemerintah, menuju modernitas dalam rangka pembinaan bangsa (nation

  building )”. Sedangkan Ginanjar Kartasasmita (1994) memberikan pengertian

  yang lebih sederhana, yaitu sebagai “suatu proses perubahan ke arah yang lebih baik melalui upaya yang dilakukan secara terencana”.

  Menurut Deddy T. Tikson (2005) bahwa pembangunan nasional dapat pula diartikan sebagai transformasi ekonomi, sosial dan budaya secara sengaja melalui kebijakan dan strategi menuju arah yang diinginkan. Transformasi dalam struktur ekonomi, misalnya, dapat dilihat melalui peningkatan atau pertumbuhan produksi yang cepat di sektor industri dan jasa, sehingga kontribusinya terhadap pendapatan nasional semakin besar. Sebaliknya, kontribusi sektor pertanian akan menjadi semakin kecil dan berbanding terbalik dengan pertumbuhan industrialisasi dan modernisasi ekonomi. Transformasi sosial dapat dilihat melalui pendistribusian kemakmuran melalui pemerataan memperoleh akses terhadap sumber daya sosial-ekonomi, seperti pendidikan, kesehatan, perumahan, air bersih, fasilitas rekreasi, dan partisipasi dalam proses pembuatan keputusan politik. Sedangkan transformasi budaya sering dikaitkan, antara lain, dengan bangkitnya semangat kebangsaan dan nasionalisme, disamping adanya perubahan nilai dan norma yang dianut masyarakat, seperti perubahan dan spiritualisme ke materialisme/sekularisme. Pergeseran dari penilaian yang tinggi kepada penguasaan materi, dari kelembagaan tradisional menjadi organisasi modern dan rasional.

  Dengan demikian, proses pembangunan terjadi di semua aspek kehidupan masyarakat, ekonomi, sosial, budaya, politik, yang berlangsung pada level makro (nasional) dan mikro (commuinity/group). Makna penting dari pembangunan adalah adanya kemajuan/perbaikan (progress), pertumbuhan dan diversifikasi.

  Berarti jelaslah bahwa suatu pembangunan tidak lain merupakan suatu proses pertumbuhan dan perubahan yang memiliki ciri-ciri sebagai berikut : a. Berencana dan dilaksanakan secara sadar.

  b. Selalu diarahkan pada usaha peningkatan atau menuju kepada keadaan yang lebih baik.

  c. Berlangsung terus-menerus.

  Taliziduhu Ndraha (1982:71) mengemukakan bahwa: “pembangunan desa merupakan setiap pembangunan yang di dalam prosesnya masyarakat desa harus berpartisipasi aktif”. Sementara Soewignjo (1985:24) juga mengemukakan pendapat mengenai pembangunan desa yaitu: “Pembangunan desa yaitu perencanaan pembangunan dari, oleh, dan untuk masyarakat desa.”

  Dari defenisi di atas mengisyaratkan dengan jelas bahwa keikutsertaan masyarakat dalam proses penentuan pembangunan di desanya adalah sangat dominan. Melibatkan mental dan emosi masyarakat desa yang dapat mendorong mereka untuk menyumbang bagi tercapainya tujuan masyarakat dengan jalan mendiskusikan, menentukan keinginan, merencanakan dan mengerjakan secara bersama-sama untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan berbasis partisipasi masyarakat.

  Dalam penjelasannya oleh Syahyuti dari Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, partisipasi adalah proses tumbuhnya kesadaran terhadap kesalinghubungan di antara stakeholders yang berbeda dalam masyarakat, yaitu antara kelompok-kelompok sosial dan komunitas dengan pengambil kebijakan dan lembaga-lembaga jasa lain. Secara sederhana, partisipasi dapat dimaknai sebagai “the act of taking part or sharing in something” . Dua kata yang dekat dengan konsep partisipasi adalah “engagement” dan “involvement” .

  Partisipasi dapat didefinisikan sebagai proses dimana seluruh pihak dapat membentuk dan terlibat dalam seluruh inisitaif pembangunan. Maka, pembangunan yang partisipatif adalah proses yang melibatkan masyarakat secara aktif dalam seluruh keputusan substansial yang berkenaan dengan kehidupan mereka. Dalam bidang politik dan sosial, partisipasi bermakna sebagai upaya melawan ketersingkiran. Jadi, dalam partisipasi, siapapun dapat memainkan peranan secara aktif, memiliki kontrol terhadap kehidupannya sendiri, mengambil peran dalam masyarakat, serta menjadi lebih terlibat dalam pembangunan. Pada akhirnya, tujuan partisipasi adalah untuk meningkatkan inisiatif masyarakat terhadap pengelolaan sumberdaya untuk pembangunan.

  Jika dicermati, makna partisipasi berbeda-beda menurut mereka yang terlibat, misalnya antara pengambil kebijakan, pelaksana di lapangan, dan masyarakat. Para ahli telah mampu membuat pengklasifikasian partisipasi. Misalnya, ada yang berpendapat bahwa sesungguhnya ada tujuh karakteristik tipologi partisipasi, yang berturut-turut semakin dekat kepada bentuk yang ideal, yaitu :

  1. Partisipasi pasif atau manipulatif. Ini merupakan bentuk partisipasi yang paling lemah. Karakteristiknya adalah masyarakat menerima pemberitahuan apa yang sedang dan telah terjadi. Pengumuman sepihak oleh pelaksana pembangunan tidak memperhatikan tanggapan masyarakat sebagai sasaran program. Informasi yang dipertukarkan terbatas pada kalangan profesional di luar kelompok sasaran belaka.

  2. Partisipasi informatif. Masyarakat menjawab pertanyaan-pertanyaan penelitian untuk pembangunan, namun tidak berkesempatan untuk terlibat dan mempengaruhi proses penelitian. Akurasi hasil penelitian, tidak dibahas bersama masyarakat.

  3. Partisipasi konsultatif. Masyarakat berpartisipasi dengan cara berkonsultasi, sedangkan orang luar mendengarkan, menganalisa masalah dan pemecahannya. Belum ada peluang untuk pembuatan keputusan bersama. Para profesional tidak berkewajiban untuk mengajukan pandangan masyarakat (sebagai masukan) untuk ditindaklanjuti.

  4. Partisipasi insentif. Masyarakat memberikan korbanan dan jasa untuk memperoleh imbalan insentif berupa upah, walau tidak dilibatkan dalam proses pembelajaran atau eksperimen-eksperimen yang dilakukan. Masyarakat tidak memiliki andil untuk melanjutkan kegiatan-kegiatan setelah insentif dihentikan.

  5. Partisipasi fungsional. Masyarakat membentuk kelompok sebagai bagian pelaksana pembangunan, setelah ada keputusan-keputusan utama yang disepakati. Pada tahap awal, masyarakat tergantung kepada pihak luar, tetapi secara bertahap menunjukkan kemandiriannya.

  6. Partisipasi interaktif. Masyarakat berperan dalam analisis untuk perencanaan kegiatan dan pembentukan atau penguatan kelembagaan.

  Cenderung melibatkan metoda interdisipliner yang mencari keragaman perspektif dalam proses belajar yang terstruktur dan sistematis.

  Masyarakat memiliki peran untuk mengontrol atas pelaksanaan keputusan-keputusan mereka, sehingga memiliki andil dalam keseluruhan proses kegiatan.

  7. Mandiri (self mobilization). Masyarakat mengambil inisiatif sendiri secara bebas (tidak dipengaruhi oleh pihak luar) untuk merubah sistem atau nilai-nilai yang mereka junjung. Mereka mengembangkan kontak dengan lembaga-lembaga lain untuk mendapatkan bantuan dan dukungan teknis serta sumber daya yang diperlukan. Masyarakat memegang kendali atas pemanfaatan sumberdaya yang ada dan atau digunakan. Akhir-akhir ini telah lahir konvergensi antara hasrat pelibatan masyarakat dalam perumusan kebijakan dan implementasinya dengan terciptanya good

  governance . Telah diupayakan mencari berbagai bentuk baru partisipasi yang

  bersifat lebih langsung. Intinya adalah bagaimana masyarakat dapat mempengaruhi pemerintahan desa dan memaksa mereka agar lebih accountable.

1.5.2 Pemerintahan Desa

  Dengan dikeluarkannya UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, desa atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah yurisdiksi, berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan atau dibentuk dalam sistem Pemerintahan Nasional dan barada di Kabupaten atau Kota. Landasan pemikiran dalam pengaturan mengenai desa adalah keanekaragaman, partisipasi, otonomi asli, demokratisasi dan pemberdayaan masyarakat.

  Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, mengakui otonomi yang dimiliki oleh desa ataupun dengan sebutan lainnya dan kepada desa melalui pemerintahan desa dapat diberikan penugasan ataupun pendelegasian dari pemerintah ataupun pemerintah daerah untuk melaksanakan urusan pemerintah tertentu. Sedangkan desa di luar desa geneologis yaitu desa yang bersifat administratif seperti desa yang dibentuk karena pemekaran desa ataupun karena transmigrasi ataupun karena alasan lain yang warganya pluralistis, majemuk, ataupun heterogen, maka otonomi desa akan diberikan kesempatan untuk tumbuh dan berkembang sesuai dengan perkembangan desa itu sendiri.

  Desa dapat melakukan perbuatan hukum, baik hukum publik maupun hukum perdata, memiliki kekayaan, harta benda, dan bangunan serta dapat dituntut dan menuntut di pengadilan. Untuk itu kepala desa dengan persetujuan BPD mempunyai wewenang untuk melakukan perbuatan hukum dan mengadakan perjanjian yang saling menguntungkan.

  Desa memiliki sumber pembiayaan berupa pendapatan desa, bantuan pemerintah dan pemerintah daerah, pendapatan lain-lain yang sah, sumbangan pihak ketiga dan pinjaman desa. Berdasarkan hak asal-usul desa yang bersangkutan, kepala desa mempunyai wewenang untuk mendamaikan perkara atau sengketa dari para warganya. Dalam upaya meningkatkan dan mempercepat pelayanan kepada masyarakat yang bercirikan perkotaan dibentuk kelurahan sebagai unit pemerintahan kelurahan yang berada di dalam daerah kabupaten dan/atau daerah kota.

  Dalam penyelenggaraan Pemerintahan Desa dibentuk Badan Permusyawaratan Desa (BPD) atau sebutan lain yang sesuai dengan budaya yang berkembang di desa bersangkutan, yang berfungsi sebagai lembaga pengaturan dan pengawasan penyelenggaraan Pemerintahan Desa, seperti dalam pembuatan dan pelaksanaan Peraturan Desa, Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa, dan keputusan Kepala Desa. Di desa dibentuk lembaga kemasyarakatan yang berkedudukan sebagai mitra kerja pemerintah desa dalam memberdayakan masyarakat desa.

  Kepala Desa pada dasarnya bertanggungjawab kepada rakyat desa yang dalam tata cara dan prosedur pertanggungjawabannya disampaikan kepada Bupati atau walikota melalui Camat. Kepada Badan Permusyawaratan Desa, Kepala Desa wajib memberikan keterangan laporan pertanggungjawabannya dan kepada rakyat menyampaikan informasi pokok-pokok pertanggungjawabannya namun tetap harus memberi peluang kepada masyarakat melalui Badan Permusyawaratan Desa untuk menanyakan dan atau meminta keterangan lebih lanjut terhadap hal-hal yang berhubungan dengan pertanggungjawaban tersebut.

  Desa tidak lagi merupakan level administrasi, tidak lagi menjadi bawahan daerah tetapi menjadi independent community, sehingga setiap warga desa dan masyarakat desanya berhak berbicara atas kepentingannya sendiri dan bukan dari atas ke bawahan seperti selama ini terjadi. Desa dapat dibentuk, dihapus, dan/atau digabungkan dengan memperhatikan asal- usulnya atas prakarsa masyarakat dengan persetujuan pemerintahan kabupaten dan DPRD.

  Di desa dibentuk pemerintah desa yang terdiri atas kepala desa atau yang disebut dengan nama lain dan perangkat desa. Perangkat Desa terdiri atas sekretaris desa dan perangkat desa lainnya seperti perangkat pembantu kepala desa terdiri dari sekretaris desa, pelaksana teknis lapangan seperti kepala urusan dan unsur kewilayahan seperti kepala dusun atau dengan sebutan lain.

  Penyelenggaraan pemerintah desa merupakan subsistem dari sistem penyelenggaraan pemerintah sehingga desa memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakatnya. Kepala desa bertanggungjawab pada BPD dan menyampaikan laporan pelaksanaan tugas tersebut kepada bupati.

  Dalam menjalankan Pemerintahan Desa, pemerintah desa menerapkan prinsip koordinasi, integrasi, dan sinkronisasi. Sedangkan dalam menyelenggara- kan tugas dan fungsinya, kepala desa:

  a. Bertanggung jawab kepada rakyat melalui BPD; dan

  b. Menyampaikan laporan mengenai pelaksanaan tugasnya kepada Bupati tembusan Camat.

  Dalam menjalankan tugas dan kewajibannya sebagai penanggungjawab utama dalam bidang pembangunan Kepala Desa dapat dibantu lembaga kemasyarakatan yang ada di desa. Sedangkan dalam menjalankan tugas dan fungsinya, sekretaris desa, kepala seksi, dan kepala dusun berada di bawah serta tanggungjawab kepada Kepala Desa, sedang kepala urusan berada di bawah dan bertanggungjawab kepada sekretaris desa.

  Menurut UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah pasal 209, urusan pemerintah yang menjadi kewenangan desa adalah sebagai berikut.

  a. Urusan pemerintahan yang sudah ada berdasarkan hak asal-usul desa.

  b. Urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan kabupaten atau kota yang diserahkan pengaturannya kepada desa.

  c. Tugas pembantuan dari pemerintah, pemerintah provinsi, dan atau pemerintah kabupaten atau kota.

  d. Urusan pemerintahan lainnya yang oleh peraturan perundang-undangan diserahkan kepada desa.

1.5.3 Badan Permusyawaratan Desa (BPD)

1.5.3.1 Definisi Badan Permusyawaratan Desa (BPD)

  Badan Permusyawaratan Desa adalah merupakan perwujudan demokrasi dalam penyelenggaraan pemerintahan desa. BPD dapat dianggap sebagai “Parlemen”-nya desa. BPD merupakan lembaga baru di desa pada era otonomi daerah di Indonesia. Sedangkan penggunaan nama atau istilah BPD tidak harus seragam pada seluruh desa di Indonesia dan dapat disebut dengan nama lain.

  BPD mempunyai peran yang besar dalam membantu Kepala Desa untuk menyusun perencanaan desa dan pembangunan desa secara keseluruhan. Dalam UU No. 32 dijelaskan bahwa pembangunan kawasan pedesaan yang dilakukan oleh kabupaten/ kota dan atau pihak ketiga mengikutsertakan pemerintah desa dan Badan Permusyawaratan Desa. Dalam rangka pemberdayaan dan penguatan desa, pemerintah mendorong terbentuknya Badan Perwakilan Desa (BPD) yang dalam UU.No.32 tahun 2004 , menjadi Badan Permusyawaratan Desa.

  Dalam melaksanakan kewenangan yang dimilikinya untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakatnya, Badan Permusyawaratan Desa (BPD) sebagai lembaga legeslasi (menetapkan kebijakan desa) dan menampung serta menyalurkan aspirasi masyarakat bersama Kepala Desa. Lembaga ini pada hakikatnya adalah mitra kerja pemerintah desa yang memiliki kedudukan sejajar dalam menyelenggarakan urusan Pemerintahan Desa, pembangunan dan pemberdayaan masyarakat. Sebagai lembaga legislasi, Badan Permusyawaratan Desa (BPD) memiliki hak untuk menyetujui atau tidak terhadap kebijakan desa yang dibuat oleh Pemerintah Desa.

  Lembaga ini juga dapat membuat rancangan peraturan desa untuk secara bersama-sama Pemerintah Desa ditetapkan menjadi peraturan desa. Disini terjadi mekanisme check and balance system dalam penyelenggaraan Pemerintahan Desa yang lebih demokratis. Sebagai lembaga pengawasan, Badan Permusyawaratan Desa (BPD) memiliki kewajiban untuk melakukan kontrol terhadap implementasi kebijakan desa, Anggaran dan Pendapatan Belanja Desa (APBDes) serta pelaksanaan keputusan Kepala Desa. Selain itu, dapat juga dibentuk lembaga kemasyarakatan desa sesuai kebutuhan desa untuk meningkatkan partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan pembangunan.

  Dengan adanya kontrol BPD tersebut membuat pembangunan di desa semakin terarah dan program-program dalam meningkatkan pembangunan pertanian di desa akan lebih terawasi dan terlaksana dengan pembentukan BPD.

1.5.3.2 Fungsi, Wewenang dan Hak Anggota Badan Permusyawaratan Desa (BPD)

  Adanya mekanisme kontrol melalui sebuah lembaga perwakilan, tidak semata dengan terwujudnya lembaga BPD. Melainkan sangat ditentukan pula dari proses pembentukannya serta bagaimana kapasitas kerja dari anggota BPD tersebut sesudahnya. Kesadaran politik masyarakat terutama dalam hal peran serta, menentukan kebijakan yang akan diambil, sangat dibutuhkan.

  Badan Perwakilan Desa (BPD) yang ada selama ini berubah namanya menjadi Badan Permusyawaratan Desa. BPD merupakan perwujudan demokrasi dalam penyelenggaraan Pemerintahan Desa sebagai unsur penyelenggara Pemerintah Desa. Dalam pasal 29 Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 Badan Permusyawaratan Desa berkedudukan sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Desa, serta Dalam pasal 209 UU No 32 tahun 2004 Junto pasal 209 UU No 12 Tahun 2008 Junto Pasal 34 Peraturan Pemerintah Nomor 72 tahun 2005 disebutkan bahwa fungsi dari Badan Permusyawaratan Desa ialah menetapkan Peraturan Desa bersama Kepala Desa, menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat, oleh karenanya BPD sebagai Badan Permusyawaratan yang berasal dari masyarakat desa, disamping menjalankan fungsinya sebagai jembatan penghubung antara kepala desa dengan masyarakat desa, juga harus menjalankan fungsi utamanya, yakni fungsi representasi. Perubahan ini didasarkan pada kondisi faktual bahwa budaya politik lokal yang berbasis pada filosofi “musyawarah untuk mufakat”. Musyawarah berbicara tentang proses, sedangkan mufakat berbicara tentang hasil. Hasil yang baik diharapkan diperoleh dari proses yang baik. Melalui musyawarah untuk mufakat, berbagai konflik antara para elit politik dapat segera diselesaikan secara arif, sehingga tidak sampai menimbulkan goncangan-goncangan yang merugikan masyarakat luas.

  Keanggotaan BPD seperti yang disebutkan dalam pasal 30 PP No 72 tahun 2005 adalah wakil dari penduduk desa bersangkutan berdasarkan keterwakilan wilayah. Anggota BPD terdiri dari Ketua Rukun Warga, pemangku adat, golongan profesi, pemuka agama dan tokoh atau pemuka masyarakat lainnya. Masa jabatan anggota BPD adalah 6 tahun dan dapat diangkat/diusulkan kembali untuk 1 kali masa jabatan berikutnya. Pimpinan dan Anggota BPD tidak diperbolehkan merangkap jabatan sebagai Kepala Desa dan Perangkat Desa. BPD berfungsi menetapkan Peraturan Desa bersama Kepala Desa, menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat.

  Adapun jumlah anggota Badan Permusyawaratan Desa ditentukan berdasarkan jumlah penduduk desa yang bersangkutan dengan ketentuan menurut PP nomor 72 tahun 2005 tentang pemerintahan desa, sebagai berikut :

  a. Jumlah penduduk desa sampai dengan 1.500 jiwa, jumlah anggota BPD sebanyak 5 (lima) orang b. Jumlah penduduk desa antara 1.501 sampai dengan 2.000 jiwa, jumlah anggota BPD sebanyak 7 (tujuh) orang c. Jumlah penduduk desa antara 2.001 sampai dengan 2.500 jiwa, jumlah anggota BPD sebanyak 9 (sembilan) orang d. Jumlah penduduk desa antara 2.501 sampai dengan 3.000 jiwa, jumlah anggota BPD sebanyak 11 (sebelas) orang e. Jumlah penduduk lebih dari 3.000 jiwa, jumlah anggota BPD sebanyak 13 (tiga belas) orang Dalam Pasal 35 PP No 72 Tahun 2005, dijelaskan BPD mempunyai wewenang: a) Membahas rancangan Peraturan Desa bersama Kepala Desa

  b) Melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan Peraturan Desa dan Peraturan Kepala Desa

  c) Mengusulkan pengangkatan dan pemberhentian Kepala Desa

  d) Membentuk panitia pemilihan Kepala Desa

  e) Menggali, menampung, menghimpun, merumuskan,dan menyalurkan aspirasi masyarakat dan menyusun tata tertib BPD.

  Dan dalam pasal 37 PP No 72 Tahun 2005, Anggota BPD mempunyai hak: a) Mengajukan rancangan Peraturan Desa

  b) Mengajukan pertanyaan

  c) Menyampaikan usul dan pendapat

  d) Memilih dan dipilih

  e) Memperoleh tunjangan

  Sedangkan yang dimaksud dengan Peraturan Desa ialah produk hukum tingkat desa yang ditetapkan oleh Kepala Desa bersama Badan Permusyawaratan Desa dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan desa (pasal 55 PP No 72 tahun 2005). Peraturan desa dibentuk dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan desa, dengan demikian maka pemerintahan desa harus merupakan penjabaran lebih lanjut dari peraturan-peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dan tidak boleh bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi serta harus memperhatikan kondisi sosial budaya masyarakat desa setempat dalam upaya mencapai tujuan pemerintahan, pembangunan dan pelayanan masyarakat jangka panjang, menengah dan jangka pendek.

1.5.3.3 Hubungan Kerja Kepala Desa dengan Badan Permusyawaratan Desa (BPD)

  Hubungan kerja Kepala Desa dengan BPD, dilakukan melalui pengertian dan kedudukan, tugas dan fungsi serta kemampuan melaksanakan tugas dan fungsi tersebut. Tugas dan fungsi Kepala Desa dalam UU NO. 32 Tahun 2004 tidak merinci apa saja yang menjadi tugas dan fungsinya tersebut, tetapi menekankan supaya di atur lebih lanjut oleh Peraturan Daerah Kabupaten atau Kota berdasarkan Peraturan Pemerintah. Secara umum dapat dikatakan bahwa tugas dan fungsi Kepala Desa adalah : a. Memimpin penyelenggaraan Pemerintahan Desa

  b. Membina kehidupan masyarakat desa dalam arti sosial dan ekonomi c. Memelihara kehidupan yang harmonis di tengah-tengah masyarakat desa

  d. Mewakili desa dalam beberapa peristiwa hukum dan atau menunjuk kuasa hukumnya.

  Badan Permusyawaratan Desa (BPD) yang anggota-anggotanya merupakan wakil dari penduduk desa yang di tetapkan dengan cara musyawarah dan mufakat, berfungsi menetapkan Peraturan Desa bersama Kepala Desa, menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat. (Pasal 210 ayat 1 dan Pasal 209 UU No. 32 Tahun 2004).

  Kedudukan Kepala Desa dan BPD dapat dikatakan. Pertama, sebagai pihak yang bermitra kerja dalam proses penyelenggaraan Pemerintahan Desa, karena BPD bersama Kepala Desa menetapkan Peraturan Desa. Di samping itu, Kepala Desa memimpin penyelenggaraan Pemerintahan Desa, BPD secara institusional mewakili penduduk desa bertindak sebagai pengawas terhadap penyelenggaraan Pemerintahan Desa. Di sisi lain adanya fungsi BPD untuk menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat. Kedua, Kepala Desa bertanggung jawab kepada penduduk desa melalui BPD dalam arti kultural dan etika.

  Selanjutnya mengenai kemampuan melaksanakan tugas dan fungsi dapat dikatakan sebagai pelengkap dalam harmonisasi atau disharmonisasi hubungan kerja. Hubungan kerja dalam mekanisme kemitraan mengenai penetapan Peraturan Desa, pada kelaziman umum, tedapat kondisi penyusunan rencana perundang-undangan dapat dilakukan oleh salah satu pihak, namun yang prinsip- prinsip rancangan Peraturan Perundang-undangan wajib mendapat persetujuan dari pihak lain sebagai mitra yang dtentukan. Hal yang sama berlaku dalam mekanisme peyusunan dan pengesahan Rancangan Peraturan Desa. Rancangan Peraturan Desa dapat dibuat oleh Kepala Desa atau BPD dan mendapat pengesahan dari salah satunya.

  Dinamika penetapan peraturan desa pada umumnya dapat terlaksana sesuai harapan walaupun melalui beberapa ketegangan akibat adanya tuntutan perubahan dan perbaikan naskah atau materi yang diusulkan, dan hal itu adalah suatu kewajaran. Ketegangan yang sesungguhnya terjadi apabila Peraturan Desa dilaksanakan dengam Keputusan Kepala Desa.

  Hubungan kerja BPD, secara institusional mewakili penduduk desa, bertindak sebagai pengawas terhadap penyelenggaraan Pemerintah Desa. Obyek- obyek pengawasan dapat berupa implementasi Peraturan Desa, mekanisme pelayanan masyarakat, operasionalisasi pemerintahan secara umum dan pelaksanaan program pembangunan desa. Pekerjaan menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat sesungguhnya merupakan fungsi namun dalam aplikasi penyaluran aspirasi tersebut diperlukan kerja kemitraan. Kemitraan dalam penyelenggaraan Pemerintahan Desa antara Kepala Desa dan BPD adalah suatu keniscayaan. Bagaimana mungkin aspirasi masyarakat dapat terwujud jika tidak dibarengi dengan kesungguhan dan tekad yang tinggi dari semua unsur penyelenggara Pemerintahan Desa. BPD menjembatani antara aspirasi yang tumbuh, Kepala Desa operator aspirasi dan BPD secara berkelanjutan memotivasi tumbuhnya aspirasi, terwujudnya aspirasi menuju peningkatan partisipasi dalam rangka pemberdayaan masyarakat secara keseluruhan.

  Pertanggungjawaban Kepala Desa secara normatif, UU No 32 tahun 2004 tidak mengatur tentang pertanggungjawaban tersebut, tetapi secara etika dan kultural, pertanggungjawaban Kepala Desa adalah hal pokok terutama dalam membangun “TRUST’ dan peningkatan pemberdayaan.

  Semenjak adanya otoritas formal ditingkat desa dalam bentuk institusi pemerintahan desa, Kepala Desa selalu lahir sebagai hasil pemilihan langsung oleh penduduk desa. Oleh karena itu wajar apabila Kepala Desa melaporkan kinerja yang telah dicapainya kepada penduduk yang memilihnya.

  Sebagai pemimpin yang terpilih, tampilan Kepala Desa adalah sosok kebapakan yang terbuka apalagi dalam lingkungan masyarakat gemeinschaft, rasa tanggung jawab merupakan hal yang di junjung tinggi, pemimpin lah yang pertama-tama harus bertanggung jawab terhadap kelompok yang dipimpinnya.

1.5.4 Pertanian

  Secara umum pengertian dari pertanian adalah suatu kegiatan manusia yang termasuk di dalamnya yaitu bercocok tanam, peternakan, perikanan dan juga kehutanan. Sebagian besar mata pencaharian masyarakat di Negeri Indonesia adalah sebagai petani, sehingga sektor pertanian sangat penting untuk dikembangkan di negara kita.

  Sejalan dengan peningkatan peradaban manusia, pertanianpun berkembang menjadi berbagai sistem. Mulai dari sistem yang paling sederhana sampai sistem yang canggih dan padat modal. Berbagai teknologi pertanian dikembangkan guna mencapai produktivitas yang diinginkan.

  Kemajuan ilmu dan teknologi, peningkatan kebutuhan hidup manusia, memaksa manusia untuk memacu produktifitas menguras lahan, sementara itu daya dukung lingkungan mempunyai ambang batas toleransi. Sehingga, peningkatan produktivitas akan mengakibatkan kerusakan lingkungan, yang pada ujungnya akan merugikan manusia juga. Berangkat dari kesadaran itu maka muncullah tuntutan adanya sistem pertanian berkelanjutan.

  Di desa Batukarang sendiri sebagian besar penduduknya bermata pencaharian sebagai petani. Tanah yang subur dan iklim yang sesuai disertai dengan kemauan dan kerja keras membuat penduduk desa Batukarang tidak pernah kekurangan bahan pangan.

  Jenis tanaman yang utama di Desa Batukarang adalah tanaman cabai. Produksinya di pasarkan pada umumnya kepada penulak atau dengan sebutan di desa tersebut tokeh baik yang datang maupun yang berdomisili di desa tersebut.

  Selain itu, masyarakat juga menjual hasil pertaniannya ke pajak (tiga) di kota Kabanjahe yang merupakan Ibukota provinsi. Jenis tanaman lainnya yang ditanam di ladang oleh masyarakat adalah padi, tembakau, jagung, dan sayur-sayuran.

  Para perencana dan pelaksana seperti Badan Permusyawaratan Desa (BPD) dalam pembangunan pertanian di desa Batukarang sendiri perlu diberikan wewenang yang lebih luas dalam merencanakan daerahnya. Karena mereka lebih mengetahui potensi dan kendala daerahnya. Meskipun banyak lembaga-lembaga masyarakat seperti LKMD, PKK, Karang Taruna, dan perkumpulan-perkumpulan remaja dan kelompok-kelompok tani di desa Batukarang sendiri yang sifatnya membangun. Namun, peran dari BPD tersebut sangat besar kepada masyarakat desa.

  Dalam sektor pertanian di desa Batukarang, Badan Permusyawaratan Desa sebagai penampung aspirasi masyarakat haruslah dapat melakukan pembangunan yang merata dalam sektor pertanian. BPD dalam meningkatkan sumber daya manusia pada sektor pertanian tidak hanya diarahkan pada peningkatan produktifitas petani, namun harus diarahkan pula pada peningkatan partisipasi petani dalam setiap proses pengambilan keputusan yang menyangkut kepentingan mereka.

  Pertanian diarahkan pada berkembangnya pertanian yang maju, efisien, dan tangguh. Pengertian maju, efisien dan tangguh dalam Pertanian mencakup konsep-konsep mikro dan makro yaitu bagi sektor pertanian sendiri maupun dalam hubungannya dengan sektor-sektor lain di luar pertanian, misalnya industri, transportasi, dan keuangan. Selanjutnya kegiatan pertanian bertujuan untuk meningkatkan hasil dan mutu produksi, meningkatkan pendapatan dan taraf hidup petani dan memperluas lapangan kerja dan kesempatan kerja.

1.5.5 Pembangunan Pertanian

  Bagi Negara-negara sedang berkembang, pembangunan pertanian pada abad-21 bertujuan untuk mengembangkan sistem pertanian yang berkelanjutan juga harus mampu meningkatkan kualitas sumber daya manusia yang akan menunjang sistem tersebut. Peningkatan sumber daya manusia disini tidak dibatasi maknanya dalam artian peningkatan produktifitas mereka saja, namun yang tidak kalah penting adalah untuk meningkatkan kemampuan para petani agar dapat lebih berperan dalam berbagai proses pembangunan.

Dokumen yang terkait

Peranan Badan Permusyawaratan Desa (BPD) Dalam Perencanaan Pembangunan Desa (Studi Tentang Proyek Desa Di Desa Gunung Tua Panggorengan Kecamatan Panyabungan)

35 350 77

Peranan Badan Permusyawaratan Desa (BPD) Dalam Pembangunan Pertanian Di Desa Batukarang Kecamatan Payung Kabupaten Karo

1 71 103

BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Masalah - Pelaksanaan Fungsi Pengawasan Badan Permusyawaratan Desa (Studi Tentang Pelaksanaan Fungsi Pengawasan Pada Badan Permusyawaratan Desa (BPD) di Desa Telaga Sari Kecamatan Tanjung Morawa Kabupaten Deli Serdang

0 0 38

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - Optimalisasi Peran Badan Permusyawaratan Desa (BPD) Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Desa (Studi Pada BPD Desa Aek Goti Kecamatan Silangkitang Kabupaten Labuhanbatu Selatan)

1 16 11

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - Perkembangan Psikososial Anak Usia Sekolah Pasca Erupsi Sinabung di Desa Batukarang Kecamatan Payung Kabupaten Karo

0 0 7

BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Masalah - Kinerja Badan Permusyawaratan Desa (Bpd) Dalam Otonomi Desa

0 0 22

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - Penyalahgunaan Narkoba pada Kalangan Remaja di Desa Batukarang, Kecamatan Payung, Kabupaten Karo

0 1 12

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah - Peranan Badan Permusyawaratan Desa (BPD) Dalam Perencanaan Pembangunan Desa (Studi Tentang Proyek Desa Di Desa Gunung Tua Panggorengan Kecamatan Panyabungan)

0 1 27

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - Peranan Kepemimpinan Kepala Desa Dalam Meningkatkan Partisipasi Masyarakat Dalam Pembangunan Fisik Studi Pada Kantor Kepala Desa Palding Jaya Sumbul Kecamatan Tigalingga Kabupaten Dairi)

0 2 44

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - Proses Perencanaan Partisipatif Dan Implementasinya Dalam Pembangunan Di Desa Pakkat Kecamatan Pakkat Kabupaten Humbang Hasundutan

0 0 56