JAJAK PENDAPAT DAN PEMILU DI INDONESIA

  JAJAK PENDAPAT DAN PEMILU DI INDONESIA Kinerja Lembaga Jajak Pendapat dalam Meramal Hasil Pemilu 1999 dan 2004 LEMBAGA SURVEY INDONESIA (LSI) 2004

  

JAJAK PENDAPAT DAN PEMILU DI INDONESIA :

Kinerja Lembaga Jajak Pendapat dalam Meramal

Hasil Pemilu 1999 dan 2004

Daftar Isi

  Halaman

  Pendahuluan

  I Memprediksi Hasil Pemilu

  II Pengalaman Gallup Poll dan Social Weather Stations

  III Jajak Pendapat dan Ramalan Pemilu 1999

  IV Jajak Pendapat dan Ramalan Pemilu 2004

  V Kesulitan dan Tantangan Jajak Pendapat di Indonesia

  VI Exit Poll dan Quick count

  VII Jajak Pendapat Non Ilmiah

  VIII Penutup Daftar Pustaka

  PENDAHULUAN

  Pemilihan umum bukan hanya hari penentuan bagi partai politik tetapi juga bagi lembaga jajak pendapat. Kami di Lembaga Survei Indonesia (LSI) kerap berkelakar, Pemilu akan menjadi ajang apakah LSI akan lolos electoral treshold ataukah tidak. Istilah ini kami pakai sekedar kelakar apakah ramalan jajak pendapat LSI mendekati atau tidak dengan hasil aktual Pemilu 5 April lalu. Jika ramalan LSI gagal atau tidak sesuai dengan kenyataan aktual Pemilu, tentu kredibilitas kami sebagai lembaga jajak pendapat akan berkurang.

  LSI sendiri melakukan jajak pendapat (survei) nasional tiap tiga bulan sekali untuk merekam opini publik yang berkembang saat itu.Menghadapi Pemilu, selain survei bulan Agustus dan November 2003, kami membuat survei nasional di bulan Maret 2004. Data lapangan dikumpulkan dari tanggal 8-20 Maret 2004. Tentu ada alasan pokok kenapa kami melakukan wawancara lapangan mendekati hari Pemilu. Kami ingin merekam pendapat publik sampai masa akhir menjelang hari pencoblosan. Kami juga ingin mengetahui efek kampanye di kalangan pemilih. Wawancara lapangan itu, dengan bantuan dan dedikasi pewawancara lapangan sebanyak 350 orang, bisa diselesaikan tepat waktu. Sekarang tinggal publikasi hasil jajak pendapat itu.

  Ketika memutuskan mempublikasikan hasil survei, kami diliputi perasaan was-was. Sejumlah kolega menyarankan agar hasil survei itu disimpan dulu di laci meja, menunggu hari Pemilihan. Publikasi hasil jajak pendapat menjelang hari pemilihan 1 rawan terhadap tuduhan mempengaruhi pemilih. Hasil jajak pendapat itu baru dikeluarkan setelah pencobloan dan dipakai sekedar menjelaskan preferensi pemilih. Sejumlah orang juga menyarakan agar menunda publikasi hasil, tetapi dengan alasan menjada kredibilitas LSI. Sebagai lembaga yang baru berdiri ( pertengahan tahun 2003), LSI sebaiknya tidak ikut meramalkan atau memprediksi hasil Pemilu. Sebab jika gagal, orang tidak akan mempercayai lagi hasil jajak pendapat LSI. 1 Efek ini kerap disebut sebagai bandwagon effect. Secara sederhana efek ini dapat

  

digambarkan sebagai berikut. Hasil jajak pendapat dapat mempengaruhi pilihan pemilih,

karena orang cenderung mengikuti penapat mayoritas. Jika partai A disebut oleh lembaga

jajak pendapat memenangkan Pemilu, pemilih akan cenderung memilih partai A. Ini karena

hasil jajak pendapat akan mengesankan pertama kalai kalau partai A populer, dan popularitas

partai itu akan mendorong pemilih untuk menjatuhkan pilihan pada partai populer----ini

terutama terjadi pada pemilih yang sampai menjelang hari pemilihan masih bimbang akan

memilih partai mana.

  Profesi pollster sendiri kerap disamakan dengan dokter. Kredibilitas seorang dokter diukur dari apakah dokter bisa mendiagnosa dengan tepat penyakit seorang pasien. Diagnosa yang baik akan menentukan obat dan jenis tindakan yang akan dilakukan untuk penyembuhan. Pollster, lewat riset dan metode yang dipakai juga berusaha untuk mendiagnosa ( merumuskan) pendapat masyarakat. Kredibilitas pollster dan lembaga jajak pendapat akhirnya dikur dari apakah hasilnya sama taau tidak dengan hasil Pemilu. Berbeda dengan survei pemasaran, survei politik bisa dengan mudah hasilnya dikonfirmasi dengan hasil aktual Pemilu. Jika dalam jajak pendapat partai A memenangkan Pemilu, publik dengan mudah akan menilai apakah hasil aktual Pemilu juga menghasilan partai A sebagai pemenang.

  Rasa was-was itu juga dipicu oleh perkembangan politik yang dinamis dan sukar diprediksikan menjelang hari pencoblosan 5 April. Survei yang kami lakukan pada bulan Agustus dan November 2003 secara konsisten menempatkan Golkar sebagai pemenang Pemilu menggeser PDI Perjuangan. Survei sejenis sampai akhir tahun 2003 ( seperti yang dilakukan oleh CESDA-LP3ES, IRI, IFES, Balitbang PDIP) juga menempatkan Golkar sebagai pemenang dengan angka cukup signifikan meninggalkan PDIP. Tetapi menjelang kampanye bulan Maret 2004, partai Golkar yang semula muncul dengan ide inovatif berupa konvensi, tampil kurang menggigit. Sebaliknya, PDIP memanfaatkan kampanye Pemilu untuk memperbaiki citra dengan konsolidasi besar-besar dan penayangan iklan yang masih di media massa. Menjelang kampanye, politik Indonesia juga ditandai dengan kemunculan Partai Demokrat, partai yang semula kurang diperhitungkan. Setelah pendiri Partai Demokrat, Susilo Bambang Yudhoyono keluar dari kabinet, popularitas partai ini tampak naik yang ditandai dengan kampanye Partai Demokrat yang selalu dihadiri banyak simpatisan. Peristiwa politik yang dinamis itu membuat prediksi pemenang Pemilu makin sulit dilakukan dibandingkan dnegan masa sebelum kampanye.

  Kami akhirnya memutuskan mempublikasikan hasil jajak pendapat itu lewat sebuah 2 konferensi pers tanggal 2 April di Hotel Sari Pan Pasific, Jakarta. Publikasi itu tentu bukan dimaksudkan untuk mempengaruhi pemilih. Kami memilih tanggal itu sebagai bentuk pertanggungjawaban akademis kepada publik. Konferensi pers itu dimuat 2 oleh sejumlah suratkabar keesokan harinya, dan menjadi bahan laporan utama

  

Lihat materi konferensi pers 2 April 2004, Efek Kampanye dan Kemungkinan Perubahan Kekuasaan Melalui Pemilu 2004. sebuah majalah berita. Lewat publikasi yang dekat dengan hari pencoblosan 5 April itu, orang akan dengan mudah membandingkan hasil survei LSI itu dengan hasil aktual Pemilu. Orang bisa menilai secara terbuka apakah ramalan LSI mendekati atau tidak dengan kenyataan aktual Pemilu. Tentu ada perbedaan mendasar antara ramalan yang dibuat oleh lembaga jajak pendapat dengan ramalan seorang paranormal. Ramalan dari paranormal bersumber dari intuisi dan perasaan, sementara lembaga jajak pendapat mendasarkan ramalannya pada riset dan data lapangan.

  Sama seperti politisi yang menunggu dengan perasaan berdebar apakah namanya lolos atau tidak sebagai anggota DPR, kami juga menunggu hasil Pemilu itu dengan perasaan berdebar. Hasil Pemilu yang diumumkan 5 Mei menunjukkan ramalan LSI tepat. Ketepatan itu bukan hanya pada pemenang Pemilu dan komposisi pemenang tetapijug prediksi perolehan suara yang tidak jauh berbeda dengan angka aktual yang bisa dicapai partai politik. Ini bukan hanya keberhasilan LSI. Ini adalah keberhasilan lembaga jajak pendapat di Indonesia. Buku ini mendokumentasikan kinerja lembaga jajak pendapat dalam meramal hasil Pemilu. Argumen yang diusung oleh buku ini, jika jajak pendapat dilakukan dengan metode yang benar maka hasilnya bisa dengan tepat bisa memprediksi pemenang Pemilu. Jajak pendapat di Indonesia bisa mengikuti jejak lembaga jajak pendapat di negara-negara Barat yang telah menempati posisi penting karena terbukti tepat dalam merekam opini publik. Buku ini disusun tentu saja tidak dimaksudkan sebagai media gagah-gagahan. Buku ini hanya memberi ilustrasi dan gambaran bahwa jajak pendapat bisa menjadi alat ukur yang terpercaya. Jajak pendapat harus diakui masih barang baru di Indonesia. Tidak semua orang percaya dengan jajak pendapat. Argumen yang sering dilontarkan mereka yang tidak percaya dengan jajak pendapat adalah, metode ini hanya cocok di negara Barat dan 3 mustahil diterapkan di Indonesia. Sejumlah orang bahkan acapkali melontarkan penilaian miring terhadap lembaga jajak pendapat, seperti lembaga jajakpendapat dibayar oleh partai A dengan sengaja untuk mendongkrak suara partai itu. Lembaga 3 jajak pendapat, kami tentu saja tidak bisa menghalangi penilaian seperti itu.

  

Politisi juga tidak mendasarkan kegiatan dan kebijakan berdasarkan hasil jajak pendapat.

Dukungan terhadap partai atau tokoh politik tertentu misalnya masih dilihat dari cara yang tradisional, seperti berapa banyak pawai atau kampanye terbuka dihadiri oleh simpatisan. Lembaga jajak pendapat justru harus membuktikan dirinya kepada publik, bahwa hasil riset yang dilakukan bisa dengan tepat merekam opini publik. Buku ini hadir diantaranya sebagai bukti bahwa jika dilakukan dengan benar, jajak pendapat bisa dengan tepat merekam pendapat masyarakat. Buku ini pertama kali akan menguaraikan pengalaman jajak pendapat dan Pemilu di negara lain, dalam hal ini Amerika dan Filipina. Bagaimana di dua negara itu jajak pendapat telah menjadi alat yang terpercaya untuk merekam pilihan masyarakat saat Pemilu. Dilanjutkan dengan tinjauan jajak pendapat Pemilu 1999 dan Pemilu 2004.

I.MEMPREDIKSI HASIL PEMILU

  Pemilu adalah pertaruhan bagi lembaga jajak pendapat. Lewat Pemilu, publik bisa menilai apakah ramalan lembaga jajak pendapat benar atau tidak. Pertanyaan penting untuk diajukan adalah, apakah jajak pendapat perolehan suara Pemilu di Indonesia bisa diandalkan? Apakah hasil jajak pendapat itu bisa memprediksikan dengan tepat hasil Pemilu yang sesungguhnya?

JAJAK PENDAPAT PEMILU MASA ORDE BARU

  Jajak pendapat terutama mengenai Pemilu adalah barang baru. Selama puluhan tahun masa Orde Baru kegiatan ini bisa dikatakan mati. Memang ada beberapa lembaga jajak pendapat yang mengadakan survei tentang berbagai hal. Tetapi tidak ada yang berbicara tentang Pemilu. Sekurang-kurangnya ada dua alasan kenapa kegiatan jajak pendapat mengenai Pemilu tidak berkembang semasa Orde Baru. Pertama, kegiatan mengukur opini publik terutama yang berhubungan dengan masalah politik masih tabu dilakukan, kalau tidak seseorang bisa dituduh menggulingkan pemerintahan atau subversif. Pengalaman SUBURI. Jajak pendapat mengenai politik adalah barang baru di Indonesia. Usaha untuk mengetahui poendapat umum yang berkembang akan selalu dihalang-halangi. Titik balik dari kemunduran jajak pendapat politik adalah peristiwa survei PT SUBURI 4 di tahun 1972. Lembaga survei ini didirikan tahun 1967. Sejarahnya, saat itu Sjarif

  Thajib, Duta Besar Indonesia di Amerika, menyatakan perlunya lembaga riset di Indonesia. Thajib tampaknya terpesona dengan suburnya lembaga penjaringan opini publik ini di Amerika. Kesempatan itu datang ketika Asia Research Organization yang berpusat di Manila menawarkan diri masuk dan menjalankan bisnis riset di Indonesia. Masuknya SUBURI ke Indonesia juga dibantu oleh Panitia Penanaman Modal Asing ( saat itu diketuai oleh Prof Sadli dari Universitas Indonesia ) yang merasa di Indonesia perlu adanya biro riset. Meski baru berdiri, SUBURI mendapat banyak proyek penelitian terutama dari lembaga dan departemen pemerintah serta 5 4 kedutaan asing. SUBURI misalnya mendapat kontrak penelitian dengan pemerintah

  

Tinjauan menarik mengenai kasus survei SUBURI dan survei lain sepanjang Orde Baru, lihat

Daniel Dhakidae,”Social Will, Political Demand and Public Opinion,” Makalah pada seminar 5 Opini Publik dan Demokrasi yang diadakan oleh LP3ES, 23 Juni 1993 Mengenai sejarah PT SUBURI, lihat Tempo 17 Juni 1972 Jakarta tentang perbaikan kampung dan departemen penerangan mengenai TVRI. Lembaga riset ini juga pernah membuat penelitian mengenai pendidikan dan keluarga berencana dari pemerintah. Dinas Penerangan AS (USIS) telahd ua kali memakai jasa PT SUBURI. Yang pertama soal pendapat pendengar radio Suara 6 Amerika dan kedua soal bacaan berbahasa Inggris yang dikeluarkan oleh USIS.

  Lembaga ini mati untuk selamanya, setelah membuat survei mengenai politik di tahun 1972. Survei politik sebenarnya bukan hal baru bari SUBURI. Sebelumnya, di tahun 1969 lembaga ini pernah membuat Pre Election Survey (PES) dengan dana dari BAKIN. Survei tahun 1972 yang menghebohkan itu ingin mengukur pendapat masyarakat mengenai persoalan ekonomi dan sosial. Survei dilakukan di Jawa Tengah, Jawa Barat, Jawa Timur dan Jakarta. Ada 53 buah pertanyaan yang diajukan, tetapi yang akhirnya menyulut kontroversi adalah pertanyaan nomor 38. Pertanyaan itu berbunyi: “ Sekarang kami mohon sudilah Bapak memberi penilaian pada beberap orang yang terhormat sebagai berikut tentang sifat-sifatnya dalam menjalnkan kepemimpinan mereka, menilai pejabat tinggi tersebut dari 1 sampai 10. Dengan catatan 1 terendah dan 10 tertinggi”. Nama-nama itu adalah 1. Gubernur Jawa Bart Solihin, 2. Menteri Ekuin Sri Sultan Hamengkubuwono, 3. Presiden Soeharto, 4. Jenderal Nasuition, 5. Gubernur Jakarta Ali Sadikin, 6. Menteri Luar Negeri Adam Malik, 7. Direktur Utam Pertamina Ibnu Sutowo, 8. Menteri Perdagangan Soemitro. Menurut pengakuan pengelola SUBURI, Soeharto dicantumkan dalam urutan tiga karena dalam metodologi penelitian pertanyaan harus oibyektif dan tidak memberi sugesti kepada responden. Karena itu tokoh yang 7 dianggap penting selalu ditempatkan pada tempat yang tidak mencolok.

  Pertanyaan SUBURI itu tidak ada yang aneh dan tidak ada yang salah secara metodologi. Tetapi ketika dinilai secara politik, pertanyaan itu dicurigai macam- macam. Survei itu pertamakali dipersoalkan ketika tenaga peneliti lapangan yang mewawancari penduduk di Semarang. Satuan Tugas Intelejen Kodam VII menangkap tenaga pewawancara lapangan. Kodam VII di Semarang mencurigai 8 6 kegiatan survei itu sebagai spionase. Menteri Dalam Negeri, Amirmachmud 7 Tempo, 1 Juli 1972 8 Tempo, 1 Juli 1972

Pejabat militer di Kodam VII mengatakan ada tiga macam bentuk kegiatan intelejen:

  

intelejen perang, intelejen teknis dan intelejen strategis. Apa yang dilakukan oleh PT SUBURI

oleh Kodam VII dikategorikan sebagai bentuk intelejen strategis. Kodam VII menuduh PT menuduh SUBRI melakukan tindakan subversi yang bisa mengganggu ketertiban dan 9 kemanan masyarakat. Tidak begitu jelas, siapa yang membiayai penelitian ini.

  Majalah Tempo yang mewawancari sejumlah sumber menegarai partai Golkar yang menyewa PT SUBURI untuk melakukan penelitian tersebut. Karena riset ini, lembaga ini ditutup dan dicabut ijinnya. Direkturnya, John M. Digregorio diminta angkat kaki 10 dari Indonesia. Peristiwa survei SUBURI ini bukan hanya menutup perusahaan riset tertua ini, tetapi juga menjadi sinyal matinya survei opini publik di Indonesia. Penelitian mengenai masalah sosial dan politik menjadi sulit untuk dilakukan. Kalaupun dilakukan, tidak menyentuh soal partai, Pemilu atau presiden kalau tidak ingin dicap melakukan kegiatan subversi. Ijin melakukan survei juga diperketat. Setelah kasus SUBURI, dan berlaku hingga masa Orde Baru, setiap penelitian harus seizin Gubernur dan Laksus Kopkamtibda. Sebelum ijin keluar, Laksus Kopkamtibda 11 akan meneliti terlebih dahulu kegiatan penelitian dan instrumen yang dipakai.

  Pasca jajak pendapat SUBURI, sangat sedikit survei atau jajak pendapat mengenai politik di Indonesia. Sebagaian besar penelitian itu dilakukan untuk keperluan studi di perguruan tinggi. Selain karena birokrasi penelitian, minimnya pengukuran opini publik mengenai politik ini diperparah oleh sikap pemerintah dan pejabat yang tidak senang kalau hasil kinerjanya dinilai. Apalagi kalau penelitian itu hasilnya buruk bagi pemerintah. Kegiatan penelitian karena itu tidak dianggap sebagai cermin untuk mengetahui kelemahan dan antisipasi langkah masa depan. Penelitian sebaliknya acap dipandang menyebarluaskan keburukan kepada masyarakat. Selain survei mengenai Pemilu, survei soal korupsi atau kemiskinan misalnya bisa dengan mudah dituduh oleh pejabat pemerintah menyebarluaskan kebohongan kepada 12 masyarakat. Karena berbagai kendala itu, tidak mengherankan jikalau riset yang

  

SUBURI menjual hasil survei kepada negara blok Barat atau blok Timur. Tujuannya adalah 9 memata-matai Indonesia. Lihat Tempo, 17 Juni 1972 10 Tempo, 1 Juli 1972; Tempo, 24 Juni 1972 11 Tempo, 30 September 1972; Tempo, 14 Oktober 1972 12 Tempo, 8 Juli 1972

Peristiwa unik mengenai ini adalah penelitian mengenai peta kemiskinan yang dibuat oleh

Bappenas tahun 1993. Peta itu mengkategorikan 1.236 kecamatan di Indonesia ( atau 34 persen) sebagai miskin atau sangat miskin. Peta itu dibuat dari data di tingkat desa. Ukuran

yang dipakai ada tujuh indikator, yang salah satunya adalah tingkat pendapatan desa per kapita. Data itu diambil dan dikalkulasikan Kantor Bangdes di kabupaten, terus dinaikkan ke tingkat provinsi. Peta itu menjadi ramai dan digugat bukan karena hasilnya, tetapi karenanya datanya dianggap memalukukan oleh sejumlah kepala daerah. Sejumlah gubernur dan bupati

protes karena peta itu membuat malu daerah, dan merak ramai-ramai menolakj peta yang dibuat oleh Bappenas. Peristiwa ini menunjukkan bagaimana penelitian dengan indikator dan ukuran tertentu dinilai bukan dari kadar penelitiannya, tetapi dari aspek di luar penelitian itu banyak berkembang semasa Orde Baru adalah survei non politik, seperti survei pemasaran yang tumbuh sejak tahun 1970-an.

  Alasan kedua kenapa jajak pendapat mengenai politik ( lebih spesifik Pemilu) lama absen dikarenakan sifat Pemilu di Indonesia sendiri. Sepanjang Orde Baru, Golkar muncul sebagai kekuatan mayoritas dengan suara di atas 70%. Karena itu, meramal siapa pemenang Pemilu menjadi kegiatan yang sia-sia karena hasil Pemilu memang sudah diketahui jauh sebelum Pemilu dilakukan. Pemilu masa Orde Baru juga ditandai dengan mobilisasi besar-besaran untuk mendukung dan memenangkan Golkar. Mobilisasi itu bisa formal (dengan mengerahkan dukungan birokrasi dan dana) juga informal. Pemilu masa Orde Baru itu sendiri tidaklah benar-benar merupakan Pemilu dalam arti sesungguhnya, karena memang sejak awal sudah didesain untuk memenangkan Golkar. Pemilu itu juga diwarnai banyak kecurangan dan pelanggaran yang tidak ditindaklanjuti. Melakukan jajak pendapat tentang pemilu sama sekali tidak berguna, karena hasil jajak pendapat pasti tidak bisa dibandingkan dengan hasil Pemilu.

JAJAK PENDAPAT PEMILU PASCA ORDE BARU

  Kegiatan jajak pendapat mengenai Pemilu itu baru berkembang setelah Pemilu yang demokratis tahun 1999. Jajak pendapat mengenai Pemilu makin marak pada Pemilu 2004. Kalau soal Pemilu relatif baru, kegiatan jajak pendapat untuk tema lain sebenarnya sudah marak sejak tahun 1990-an. Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) sejak tahun 1992 aktif melakukan jajak pendapat dengan berbagai tema. Sejumlah peneliti LP3ES mempelajari metode jajak pendapat ini di beberapa lembaga jajak pendapat di Amerika dan Filipina. Topik yang diangkat LP3ES pada tahap awal belum menyentuh politik, tetapi soal sosial seperti kebebasan pers, komitmen nasional dan sebagainya. LP3ES juga bekerjasama dengan beberapa media ( seperti majalah Tajuk ) membuat jajak pendapat secara rutin dari berbagai isu aktual yang berkembang saat itu. Selain LP3ES, Litbang Kompas juga lembaga yang bisa dicatat aktif melakukan jajak pendapat sejak tahun 1990-an. Litbang Kompas mengangkat berbagai jajak pendapat lewat telepon mengenai isu-isu kebijakan publik.

  

sendiri---seperti menghina atau memalukan daerah. Lihat mengenai kasus peta kemiskinan ini

dalam Tempo, 8 Mei 1993; Tempo, 15 Mei 1993.

  LP3ES membuat jajak pendapat mengenai Pemilu sejak tahun 1997. Hasil jajak pendapat itu memperoleh angka presisi yang baik. Dua tahun kemudian, LP3ES 13 membuat jajak pendapat dengan populasi wilayah Jawa. Di tahun 1999 ini, selain LP3ES tercatat ada 3 lembaga jajak pendapat lain yang menyelenggarakan survei mengenai Pemilu, yakni RPC (Resource Productivity Center), IFES (International Foundation for Election Systems), Litbang Kompas dan Komite Pemberdayaan Pemilih (KPP)-Lab Politik Fisip UI. RPC adalah lembaga yang bergerak dalam bidang survei dan penelitian. Selain soal politik, RPC melakukan sejumlah jajak pendapat lain dengan beragam tema. RPC juga menyelenggarakan riset pemasaran dan survei khalayak di sejumlah media. IFES adalah lembaga nirlaba asal Amerika Serikat yang mengkhususkan diri pada reformasi sistem Pemilu di banyak negara. Jajak pendapat adalah salah satu lini kegiatan IFES selain kegiatan lain seperti diskusi rancangan undang-undang Pemilu, pendidikan pemilih dan sebagainya.

  Pada Pemilu 2004, lebih banyak lagi lembaga yang membuat jajak pendapat mengenai Pemilu. Selama satu tahun (April 2003-Maret 2004) paling tidak ada 7 lembaga yang membuat jajak pendapat soal Pemilu. Selain LP3ES dan IFES, ada 5 lembaga baru yang membuat jajak pendapat yakni Badan Penelitian dan Pengembangan PDIP Perjuangan (Balitbang PDIP), DRI (Danareksa Research Institute), IRI (International Republican Institute), Lembaga Survey Indonesia (LSI), dan Soegeng Sarjadi Syndicated. Balitbang PDIP adalah organ resmi dari PDIP yang bertanggungjawab dalam melakukan kajian dan masukan kepada Dewan Pimpinan Pusat PDIP. IRI adalah lembaga nirlaba yang menginduk pada partai Republik Amerika. Sama seperti IFES, kegiatan survei adalah salah satu dari sejumlah kegiatan IRI selain pendidikan politik, pemberdayaan pemilih.

  Sementara DRI adalah badan di bawah Danareksa. Survei ini adalah bagian dari survei lain yang dilakukan oleh DRI mengenai ekonomi. Meski sejak lama menjalankan riset, survei mengenai politik baru dilakukan oleh DRI menjelang Pemilu 2004. Lembaga baru lain adalah Soegeng Sarjadi Syndicated (SSS). Lembaga ini didirikan tahun 1998 dan sejak 1999 melakukan jajak pendapat atas sejumlah isu diantaranya soal etnis Tionghoa, Soeharto dan sebagainya. SSS pada awalnya banyak bekerjasama dengan Laboratorium Ilmu Politik UI dalam menyelenggarakan 13 jajak pendapat. Pada Pemilu 2004, SSS melakukan seri jajak pendapat Wawancara E.Shobirin Nadj, dari CESDA-LP3ES, 5 Mei 2004. untukmengukur sentimen publk. Total ada 8 jajak pendapat yang dilakukaan SSS 14 dari Mei 2002 hingga April 2004. Lembaga jajak pendapat lain yang baru adalah LSI (Lembaga Survey Indonesia). LSI adalah lembaga yang mengkhususkan diri pada survei opini publik di Indonesia. Lembaga ini baru didirikan pada pertengahan tahun 2003, dan mulai melakukan survei nasional sejak Agustus 2003. Secara rutin, LSI melakukan survei tiap tiga bulan sekali untuk merekam sentimen publik.

  URGENSI RAMALAN PEMILU Soal maramal hasil Pemilu adalah sesuatu yang krusial bagi lembaga jajak pendapat.

  Kenapa? Kita bisa tengok pendapat tokoh jajak pendapat, George Gallup. Menurut Gallup, jajak pendapat adalah upaya untuk mengetahui opini publik tetapi tidak dilakukan dengan menanyakan kepada semua orang ( seperti halnya Pemilu atau referendum). Opini publik itu diketahui lewat sejumlah orang yang dikenal sebagai sampel. Teknik ilmiah dan metode statistik yang modern menurut Gallup bisa menjamin bahwa sampel yang diambil representasi dengan suara semua anggota masyarakat. Lembaga jajak pendapat tidak perlu bertanya kepada semua anggota masyarakat, cukup mengambil sampel ( dengan dasar dan metode ilmiah), dan hasilnya bisa mencerminkan suara seluruh masyarakat. Dengan sampel, menurut Gallup, jajak pendapat bisa dilakukan tiap hari dengan biaya yang murah. Kita bisa tahu suara publik dari hari ke hari. Pemerintah bisa mendapatkan informasi apa saja 15 masalah yang dikeluhkan oleh publik dengan data yang lebih akurat.

  Logika pemakaian sampel itu justru letak pangkal soalnya. Bagaimana kita yakin bahwa sampel mewakili populasi? Bagaimana kita bisa yakin bahwa pendapat dari 2.000 orang responden sama dengan pendapat 147 juta pemilih Indonesia? Pemilu adalah satu-satunya jalan bagi lembaga jajak pendapat untuk menguji akurasi dari suatu sampel. Lewat Pemilu, lembaga jajak pendapat bisa membuktikan, bahwa dengan metode penarikan sampel yang benar dan ketat, suara dari 2.000 orang sama dengan suar 147 juta pemilih. Jika Pemilu adalah populasi (masyarakat yang telah aktual menggunakan hak pilihnya), maka jajak pendapat adalah sampel (orang yang dipilih sebagai sampel). Kalau prinsip acak (random) bekerja, kalau teknik

  14 15 Wawancara Sukardi Rinakit, direktur eksekutif Soegeng Sarjadi Syndicated, 4 Mei 2004.

  

Lebih lanjur lihat George Gallup, “ Opinion Polling in a Democracy,” dalam Judith M.Tanur

(ed), Statistics: A Guide to the Unknown, Second Edition, California,Wadsworth & Brooks Inc,1985. penarikan sampel dilakukan secara ketat, seharusnya hasil sampel secara statistik tidak berbeda jauh dengan populasi.

  PEMILU JAJAK PENDAPAT POPULASI SAMPEL 147 pemilih 1000-5000 responden

  Di negara Barat, seperti Amerika, jajak pendapat Pemilu dipakai untuk membuktikan kepada publik bahwa teknik penarikan sampel yang mereka pakai bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Buktinya, hasil survei mereka sama persis dengan hasil Pemilu aktual. Di Indonesia, sampai saat ini masih banyak suara sumbang mengenai akurasi lembaga jajak pendapat. Pemilu adalah kesempatan bagi lembaga jajak pendapat untuk belajar sekaligus membuktikan kepada publik Indonesia bahwa apa yang telah mereka kerjakan bisa dipertanggungjawabkan. Caranya sederhana, bandingkan antar hasil jajak pendapat dengan hasil Pemilu. Kalau hasilnya sama, maka metode yang yang dipakai oleh lembaga jajak pendapat tersebut bisa dipertanggungjawabkan. Meski sederhana, cara itu mengandung resiko yang berat. Lembaga yang gagal memprediksi pemenang Pemilu, bisa kehilangan kredibilitasnya. Di Amerika bahkan kesalahan yang dibuat oleh lembaga jajak pendapat sering berujung pada penghentian kegiatan jajak pendapat oleh lembaga. Pertanyaan kemudian adalah, ukuran apa yang dipakai untuk menilai jajak pendapat berhasil dan gagal? Kriteria apa yang bisa dipakai untuk memvonis apakah lembaga jajak pendapat benar atau salah? Menurut Daniel Dhakidae, ada dua kriteria yang bisa dipakai untuk menilai kualitas dari lembaga jajak pendapat yang memprediksi 16 hasil Pemilu. Pertama, akurasi, yakni sejauh mana lembaga jajak pendapat secara benar memprediksi partai pemenang Pemilu dan komposisi peringkat pemenang Pemilu. Akurasi berkaitan dengan benar tidaknya ramalan lembaga jajak pendapat (correctness). Jika lembaga jajak pendapat memprediksi partai A yang memenangkan Pemilu, maka ramalan itu baru bisa dianggap presisi jika hasil Pemilu memang memposisikan partai A sebagai pemenang. Akurasi yang lebih baik jika 16 lembaga jajak pendapat bukan hanya bisa memprediksi partai A sebagai pemenang

  

Lihat Daniel Dhakidae,” Pemilu, Ramalan dan Lembaga Jajak Pendapat,” Kompas,14 Agustus 1999. tetapi juga bisa memprediksi urutan pemenang, dari partai A sampai E misalnya masing-masing dengan urutan 1 sampai sekian.

  Kedua, presisi. Jika akurasi berkaitan dengan correctness, maka presisi berkaitan dengan ketepatan (exactness). Lembaga jajak pendapat dituntut bukan hanya tepat dalam memprediksi pemenang Pemilu, tetapi juga memprediksi perolehan suara masing-masing partai. Makin dekat ramalan perolehan partai dengan hasil perolehan partai yang sebenarnya di Pemilu, maka makin bagus pula kinerja dari lembaga jajak pendapat.

AKURASI PRESISI

  

Sejauh mana lembaga jajak Sejauh mana lembaga jajak

pendapat bisa dengan tepat pendapat bisa memprediksi

memprediksi pemenang Pemilu dan perolehan suara masing-masing struktur (posisi) peringkat partai partai pemenang Pemilu

II. PENGALAMAN GALLUP POLL DAN SOCIAL WEATHER STATIONS Di Indonesia, masih banyak orang yang tidak percaya dengan jajak pendapat.

  Pertanyaan yang kerap muncul adalah apakah suara dari sampel yang hanya 2.000 orang bisa menggambarkan suara pemilih di Indonesia yang mencapai 147 juta orang? Apakah mungkin suara pemilih sebanyak itu bisa tergambar lewat sampel yang hanya berjumlah ribuan saja. Kegiatan jajak pendapat lalu dipandang sebagai usaha sia-sia, kalau tidak sebagai usaha buang-buang waktu. Jajak pendapat di Indonesia belum dianggap sebagai alat ukur yang terpercaya untuk mengetahui pendapat umum. Celakanya, ketidakpercayaan pada jajak pendapat ini bukan hanya melanda masyarakat awam, tetapi juga akademisi atau politisi. Banyak diantara mereka yang pernah mengecap pendidikan di luar negeri. Debat mengenai jajakpendapat di Indonesia, acapkali bahkan diwarnai dengan perdebatan yang tidak bermutu seperti siapa orang di belakang lembaga jajak pnedapat atau agenda apa yang dibawa oleh lembaga jajak pendapat. Jika di Indonesia orang masih berdebat apakah jajak pendapat bisa dipercaya atau tidak, atau apakah sampel menggambarkan populasi atau tidak, di negeri Barat perdebatan ini sudah usai sebelum perang Dunia II. Tidak pernah terdengar pernyataan politisi atau akademisi yang meragukan atau tidak mempercayai jajak pendapat. Bahkan karena percaya bahwa jajakpendapat adalah alat yang terpercaya untuk mengukur pendapat umum, di Amerika jajakpendapat dianggap sebagai pilar kelima demokrasi----setelah yudikatif, eksekutif, legislatif, dan pers. Kepercayaan pada jajak pendapat ini memang tidak timbul satu malam. Kunci kepercayaan itu adalah lembaga jajak pendapat sendiri yang berhasil membuktikan diri bahwa metode dan alat yang mereka pakai akurat dan tepat. Di Indonesia masih banyak orang mempertanyakan kebenaran jajakpendapat, mungkin karena belum banyak bukti keberhasilan jajak pendapat dalam menggambarkan opini yang berkembang di masyarakat.

  GALLUP POLL Gallup Poll acapkali dijadikan sebagai ukuran lembaga jajak pendapat yang berhasil.

  Lembaga ini bukan hanya bisa akurat memprediksi presiden terpilih tetapi juga secara presisi memproyeksikan perolehan suara presiden. Dari tahun 1936 hingga 17 2000, rata-rata selisih prediksi Gallup hanya berada pada kisaran angka 1.5 %.

  Artinya, jika Gallup memprediksikan kandidat A mendapat 40% suara, angka sebenarnya ( hasil Pemilu) tidak lebih besar atau lebih kecil dari angka itu. Pada tahun-tahun tertentu (seperti tahun 1972), selisih antara angka prediksi dan hasil 18 aktual hanya 0.2%. Keberhasilan ini tidak terjadi pada satu malam. Setelah melewati proses jatuh bangun, Gallup Poll bisa membangun suatu sistem yang terpercaya dan bisa mengukur dengan valid opini publik yang berkembang di Amerika. 19 Gallup Poll berdiri tahun 1930-an. Saat itu lembaga ini terbilang kecil bahkan tidak dikenal. Lembaga jajak pendapat yang dikenal saat itu adalah majalah Literary

  

Digest. Majalah ini hanyakah salah satu dari sekian puluh media yang menjamur

  dengan kegiatan jajak pendapat. Media yang melakukan jajak pendapat bisa terangkat gengsinya, apalagi kalau berhasil meramal dengan benar siapa presiden Amerika. Tetapi prinsip statistik modern dengan pemakaian sampel probabilitas belum dikenal luas saat itu. Lembaga jajak pendapat di tahun-tahun itu berpikir linear, semakin banyak orang yang diwawancarai maka semakin baik. Lembaga jajak pendapat lalu berlomba membuat jajak pendapat dengan jumlah sampel puluhan juta orang. Gengsi lembaga jajak pendapat bahkan diukur dari berapa banyak orang yang berhasil diwawancarai atau memasukkan jawabannya. Karena banyaknya suara yang masuk itu, jajak pendapat ini sering dikenal sebagai pemilihan tidak resmi (straw vote).

  Majalah Literary Digest sendiri adalah lembaga yang paling menonjol era ini karena dikenal mampu menghimpun suara puluhan juta. Lembaga ini memulai jajak 17 pendapat dari tahun 1916. Pada tahun 1920, Literary Digest memakai 11 juta suara.

  

Lihat Herbert F Weisberg, John A. Krosnick and Bruce D. Bowen, An Introduction to Survey

Research, Polling and Data Analysis, Third Edition, Thousand Oaks, California, Sage

Publication, 1996, hal. 151 18 Memang Gallup Poll pernah membuat kesalahan prediksi, tetapi kesalahan itu masih bisa

dimaafkan. Yang paling terkenal adalah pemilihan tahun 2000 lalu. Gallup memprediksi Gore

yang menang, padahal yang menang adalah George W. Bush. Tetapi kesalahan ini dimaafkan

karena basis jajak pendapat Gallup adalah popular vote, bulan electoral vote. Dan memang

kalau dilihat perolehan suara nasional (popular vote), Gore mendapat suara lebih besar dari

19 Bush.

  

Profil dan sejarah Gallup ( dan sejumlah organisasi jajak pendapat besar di Amerika) lihat

David W.Moore, The Superpollster:How They Measure and Manipulate Public Opinion in America, Second Edition,New York,Four Walls Eight Windows,1995. Angka ini bertambah di tahun 1920 dengan 16.5 juta suara. Sampai tahun 1932,

Literary Digest selalu akurat memprediksi siapa pemenang Pemilu di Amerika.

Ramalan yang benar ini bukan hanya membuat citra Literary Digest makin bagus tetapi juga mendorong Digest untuk menambah jumlah suara yang ikut menjawab presiden pilihan. Tetapi sebuah musibah menimpa Literary Digest pada tahun 20

  1936. Digest salah memprediksi kemenangan presiden yang membuat majalah ini menghentikan kegiatan jajak pendapat untuk selamanya. Saat itu ada dua calon yakni Alfred M.Landon ( Republik) dan Franklin D.Roosevelt (Demokrat). Literary

  

Digest memprediksi Alfred M.Landon yang memenangkan Pemilu. Pemilu

  sesungguhnya justru Roosevelt yang menang. Kenapa Digest bisa mengalami kesalahan prediksi padahal sampel yang dipakai mencapai 10 juta orang? Kesalahan utama Literary Digest adalah pada teknik pengambilan sampel. Sampel Digest diambil dari buku telepon dan pendaftaran mobil---semacam STNK.Tahun 1936 di Amerika ditandai dengan masa malaise, dengan pengangguran yang tinggi.Lebih banyak orang yang yang tidak makmur dibandingkan dengan warga yang berkecukupan. Mereka ini diabaikan dalam jajak pendapat Literary Digest. Akibatnya, suara publik yang miskin yang lebih condong memilih Roosevelt tidak bisa diprediksikan oleh Digest.

  Kesalahan Digest ini membawa efek sampingan. Ahli jajak pendapat mulai memikirkan teknik statistik yang bisa dipakai untuk meramalkan suara pemilih. Kegagalan Digest itu juga membuat publik Amerika mulai terbiasa dengan satu nama, Gallup Poll. Lembaga dengan pendiri George Gallup ini, sama sekali tenggelam di bawah kebesaran nama Literary Digest. Di tahun 1936 itu, ketika Digest salah memprediksi, Gallup justru berhasil memprediksi kemenangan Roosevelt. Yang dilakukan Gallup saat itu adalah membuat sampel yang menjamin tercapainya reporesentasi dengan memperhitungkna terlebih dahulu proporsi untuk partai Demokrat dan Republik. Keberhasilan Gallup ini membuat publik Amerika mulai menoleh kepada lembaga-lembaga baru. Selain Gallup, nama lain yang muncul saat itu adalah Ropper dan Crosley. Pemilihan presiden Amerika tahun 1940 dan 1944 juga berhasil diprediksikan oleh Gallup dan lembaga jajak pendapat baru 20 ini.

  

Analisis lebih terperinci mengenai peristiswa tahun 1936 ini lihat Mervin D.Field,”Political

Opinion in The United States of America,” dalam Robert M.Worcester (ed), Political Opinion

Polling:An International Review, New York, St. Martin Press, 1983, hal.198-208.

  Tabel : Ramalan Gallup dan Hasil Pemilu Aktual di AS 1972-2000 TAHUN Kandidat Survei Gallup Hasil Aktual Pemilu Selisih Rata-Rata Kesalahan

  1.1 Nixon 62 61.8 0.2 1972 McGovern 38 38.2 -0.2

  2.2 Carter 48 50.1 -2.1 Ford 49 48.1 0.9 McCarthy 2

  0.9

  1.1 1976

  Other 1

  0.9

  0.1

  0.2 Nixon 43 43.5 -0.5 Humphrey 42 42.9 -0.9

  1.4 1980

  1968 Wallace 15

  13.6

  1.4

  0.9 Johnson 64

  61.3 2.7 1964 Goldwater 36 38.7 -2.7

  2.7 Kennedy 51

  50.1 0.9 1960 Nixon 49 49.9 -0.9

  Other 1 1.6 -0.6

  6.6

  Bush 48 47.9 0.1 Gore 46 48.4 -2.4

  Perot 7 8.5 -1.5

  2000 Nader 4

  2.7

  1.3

  1.3 Clinton 52

  50.1

  1.9 Dole 41 41.4 -0.4 1996

  1.3 Clinton 49

  0.2 Reagan 47 50.8 -3.8 Carter 44 41 3 Anderson 8

  43.3

  5.7 Bush 37 37.7 -0.7 1992

  Perot 14 19 -5

  3.8 Bush 56 53 2.1 1988 Dukakis 44 46.1 -2.1

  2.1 Reagan 59 59.2 -0.2 1984 Mondale 41

  40.8

  0.2

  0.9 Rata-rata kesalahan Gallup Poll 1960-2000 = 1.5 Tetapi lembaga jajak pendapat ini mengalami ujian berat, ketika tahun 1948 kembali mengalami kegagalan seperti halnya yang terjadi di tahun 1936. Saat itu dua kandidat yang bertarung memperebutkan kursi presiden adalah Harry S. Truman (Demokrat) dan Thomas E. Dewey (Republik). Semua lembaga jajak pendapat (Gallup, Ropper dan Crosley) memprediksi Thomas E. Dewey yang akan memenangkan pemilihan. Kenyataannya, Truman menang atas Dewey dengan selisih suara 5 persen. Kesalahan itu sangat memalukan karena suratkabar yang terbit di hari pemilihan memuat analisis dan prediksi lembaga jajak pendapat yang menempatkan Dewey sebagai pemenang. Lembaga jajak pendapat mengalami krisis kedua setelah tahun 1936. Kepercayaan publik makin turun terhadap jajak pendapat.

  Untungnya, kejadian tahun 1948 itu tidak diikuti dengan pembubaran secara massal lembaga jajak pendapat seperti terjadi di tahun 1936. Lembaga jajak pendapat seperti Gallup mulai menerapkan prionsip probabilitas dalam pengambilan sampel. Dengan prinsip probabilitas ini, sampel yang diambil lebih terjamin derajat representasinya. Lewat pengambilan sampel yang ketat, lembaga jajak pendapat tidak perlu mewawancarai puluhan atau ratusan ribu orang. Cukup dengan sampel sebanyak 2.000 hingga 5.000 orang asal diambil secara acak (random) dan dengan prinsip pengambilan sampel benar, hasilnya bisa menggambarkan suara pemilih. Sejak 1948 itu, kesalahan prediksi lembaga jajak pendapat menjadi lebih kecil. Lembaga jajak pendapat bukan hanya berhasil memprediksikan siapa yang akan memenangkan Pemilu tetapi juga memprediksi dengan tepat berapa perolehan suara masing-masing kandidat. Sehingga muncul adagium, presiden di Amerika sudah diketahui sebelum rakyat Amerika datangke biliksuara dan menentukanpresiden pilihan mereka.

SOCIAL WEATHER STATIONS

  Tidak benar kalau dikatakan jajak pendapat ini hanya cocok di negara maju. Jajak pendapat asal dilakukan dengan hati-hati bisa memprediksi hasil Pemilu seperti halnya di Amerika. Kita bisa mengacu kepada jajak pendapat yang dilakukan oleh lembaga Social Weather Stations (SWS) di Filipina.

  Perlu dicatat, kegiatan jajak pendapat dan prediksi pemenang Pemilu mempunyai tradisi yang panjang di Filipina. Sejak tahun 1946, kegiatan ramal meramal siapa pemenang Pemilu lewat jajak pendapat ini sudah dikenal oleh publik Filipina. Tetapi baiknya, Ferdinand Marcos di tahun 1972 membuat kegiatan jajakpendapat ini praktis terhenti. Filipina mengalami era baru sistem otoriterisme dimana segala hal yang berbau politik dan berurusan dengan negara dilarang. Tumbangnya Marcos di tahun 1983, membuat kegiatan jajak pendapat yang pernah tenggelam kembali muncul ke permukaan. Social Weather Stations lahir pada era ini. Lembaga ini berdiri tahun 1985 sebagai organisasi non profit dan non partisan. Kegiatan utamanya adalah membuat survei dengan metode statistik modern isu-isu nasional termasuk Pemilu. SWS membuat laporean secara berkala indikator kepercayaan publik atas kondisi sosial, ekonomi dan politik. Sejak tahun 1992, lembaga ini membuat jajak pendapat pemilihan presiden, dan secara tepat memprediksi 21 pemenang Pemilu.

  Pemilihan presiden di Filipina sendiri mempunyai sistem yang unik. Presiden dan wakil presiden dipilih secara langsung tiap enam tahun sekali. Berbeda dengan di Indonesia dimana presiden dan wakil presiden merupakan pasangan satu paket, di Filipina presien dan wakil presiden dipilih secara terpisah. Bisa terjadi kemungkinan, presiden dan wakil presiden berasal dari partai yang berbeda. Selain Pemilu untuk memilih presiden dan wakil presiden, Pemilu juga dilakukan untuk memilih 24 anggota senat (senator). Berbeda dengan di Indonesia atau Amerika dimana senator berasal dari daerah pemilihan tertentu, di Filipina tidak dikenal daerah pemilihan atau senator dari negara bagian tertentu. Calon anggota senat bersaing secara nasional memperebutkan 24 kursi. Karena itu jajak pendapat untuk meramalkan siapa anggota senat yang lolos relatif sulit. Meski demikian, SWS terbukti berhasil meramal dengan tepat pemenang Pemilu di Filipina semenjak tahun 1992. Di tahun 1992 lembaga ini juga bisa memprediksi Fidel Ramos sebagai presiden dan tahun 1998 dengan presiden Joseph Estrada. Pemilihan anggota senat di tahun 1987, 1992, 1995, 1998 dan 2001 juga telah dapat diprediksi oleh SWS 22 satu minggu sebelum hari pemungutan suara.

  Dalam setiap surveinya, SWS memakai sampel sebesar 1.000 responden. Jumlah sampel sebesar ini cukup untuk memprediksi suara pemilih Filipina yang berjumlah sekitar 23 juta suara. Medan yang dihadapi oleh SWS hampir mirip dengan di Indonesia, dimana lembaga jajak pendapat dihadapkan pada populasi yang heterogen dengan suku bangsa yang beraneka, dan jenjang sosial pendidikan yang berlainan pula. Prediksi SWS bukan hanya akurat tetapi juga presisi. Rata-rata kesalahan prediksi SWS hanya berkisar pada angka 2.5%. Kebenaran prediksi SWS

  21 Mengenai SWS dan sejarah jajak pendapat di Filipina, lihat tulisan Linda Luz Guerrero and

Mahar Mangahas, Opinion Polling in the Philippines:An Encyclopedia Article,Occasional Paper,

22 SWS 2002. Makalah ini tersedia dalam situs SWS, http://www. sws.org.ph.

  

Tinjauan umum mengenai survei SWS dan Pemilu di Filipina lihat Mahar Mangahas, Linda

Guerrero and Geraldo Sandoval, Opinion Polling and National Elections in The

Philippines,1992-2001, Occasional Paper, 2001. Makalah ini tersedia dalam situs SWS, http://www. sws.org.ph. ini turut membuat bukan hanya pamor SWS naik tetapi juga kepercayaan publik terhadap jajak pendapat. 23 Tabel:Prediksi SWS dan Hasil Aktual Pemilu di Filipina Tahun 1992-1998

  Hasil Survei (26 April-4 Mei) Aktual Pemilu Selisih PRESIDEN 1992 % Rank % Rank %

  2

  9.9 5 -0.9

  V. Magsaysay

  3.1

  6

  3.4 6 -0.3 Kalaw 2

  7

  1.3

  7

  0.7 Kesalahan Absolut Rata-Rata Survei SWS= 1.2

  Hasil Survei (2-4 Mei) Aktual Pemilu Selisih PRESIDEN 1998 % Rank % Rank %

  Estrada 33

  1

  39.9 1 -6.9 De Venecia

  15

  15.9 2 -0.9 Roco 11

  0.9 Pimentel 9

  3

  13.8 3 -2.8 Osmena 11

  4

  12.4 4 -1.4 Lim 10

  5

  8.7

  5

  1.3 De Villa

  6

  6

  4.9

  6

  1.1 Santiago

  2 8 3 7 -1

  5

  4

  Ramos 26.8

  6

  1

  23.6

  1

  3.3 Santiago 25

  2

  19.7

  2

  5.3 Cojuanco 16.2

  3

  18.2 3 -2 Mitra 14.1

  4

  14.6 4 -0.6 Marcos 6.5

  5

  10.3 5 -3.7 Salonga 8

  10.2 6 -2.3 Laurel 3.3

  14.2

  7

  3.4 7 -0.1

  Kesalahan Absolut Rata-Rata Survei SWS= 2.4 Hasil Survei (26 April-4 Mei) Aktual Pemilu Selisih WAKIL PRESIDEN 1992 % Rank % Rank %

  Estrada 30.6

  1

  33 1 -2.4 Fernan 21.3

  2

  21.7 2 -0.4 Osmena 18.9

  3

  16.5

  3

  2.5 R. Magsaysay

  15.1

  4

  Kesalahan Absolut Rata-Rata Survei SWS= 2.2 23 Sebuah survei yang pernah dilakukan oleh SWS membuktikan kepercayaan publik Filipina atas jajak pendapat. Lima dari enam warga Filipina percaya bahwa prediksi pemenang Pemilu yang dilakukan oleh lembaga jajak pendapat selalu benar.Lebih dari itu publik di Filipina juga percaya bahwa sampel 1.000orang yang diambil secara tepat dapat merefleksikan seluruh populasi.Lihat Linda Luz Guerrero and Mahar Mangahas,”Polling About Polls in the Philippines,”Social Weather Bulletin, No.9-10,Mei 1997. Artikel ini tersedia dalam situs SWS, http://www. sws.org.ph.

  Hasil Survei (2-4 Mei) Aktual Pemilu Selisih WAKIL PRESIDEN 1998 % Rank % Rank %

  1.8 Tatad 2

  7

  0.9

  7

  2.1 6 -0.1 Santiago 2

  6

  2.9 5 -0.9 Sueno 2

  5

  4

  Arroyo 42

  9.2

  3

  13 3 -3 Osmena 11

  4

  22.1 2 -4.1 Orbos 10

  2

  49.6 1 -7.6 Angara 18

  1

  1.1 Kesalahan Absolut Rata-Rata Survei SWS= 2.6