4. BAB IV - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Unexpected Result dalam Penerapan Teknologi pada Dua Tahun Pertama: Sebuah Kajian Kelembagaan pada Kasus PT. Pasti Sukses
BAB IV 4. TEMUAN DAN PEMBAHASAN
4.1 Proses Adopsi Teknologi
4.1.1 Teknologi yang Diadopsi
Pada tahun 2014 Grup PT. Pasti Sukses membuka unit pabrik baru dengan mengadopsi teknologi terbaru. Adapun teknologi yang digunakan pada unit adalah sebagai berikut:
- Mesin Auto Spreading • Mesin Auto Cutter • Mesin Auto Sewing CNC
- Mesin Bobok Kantong Sebagai informasi, proses produksi pada industri garment dimulai dari proses pembuatan pola. Pola tersebut dibuat dengan software khusus dengan memperhitungkan rasio dari panel dan jumlah order yang turun untuk suatu ukuran. Panel sendiri adalah bagian-bagian dari garment, yang nantinya akan digabungkan untuk membentuk sebuah garment. Panel tersebut bisa berupa panel body, panel lengan dan lain sebagainya. Masing-masing panel memiliki ukuran yang berbeda-beda dan kebutuhan kuantitas yang berbeda-beda. Misal, ketika pada musim tersebut
order untuk jaket berukuran L lebih banyak daripada
ukuran S, maka panel yang perlu dibuat untuk ukuran
L harus lebih banyak dari pada panel berukuran S. Oleh karena itu, proses pembuatan pola harus benar- benar memperhatikan jumlah panel agar jumlah potongan material yang dihasilkan sesuai dengan kebutuhan produksi.
Setelah pola dibuat dengan panjang dan lebar gelaran yang telah ditentukan sebelumnya, kain digelar sesuai dengan panjang dan lebar tersebut. Pada proses ini mesin auto spreading digunakan. Dengan menggunakan mesin ini, gelaran kain dapat dilakukan dengan akurat dan termonitor. Setelah gulungan kain diletakkan pada mesin, mesin akan berjalan secara otomatis menggelar kain sesuai ukuran yang sudah ditentukan, dan memotong ujung kain untuk membuat gelaran berikutnya. Pada proses tersebut, mesin auto
spreading dapat menggelar sampai habis kain yang
ada pada gulungan, atau menggelar dengan jumlah lapisan yang sudah ditentukan. Jumlah lapisan dan ukuran kain yang digelar perlu sekali dimonitor untuk mendeteksi bila diperlukan perubahan pola terkait perubahan order atau kesalahan dalam pembuatan pola.
Kain yang telah digelar tersebut, selanjutnya dipotong dengan menggunakan mesin auto cutter. Gambar pola yang telah dibuat sebelumnya, diinput kedalam mesin, selanjutnya mesin akan memotong gelaran kain sesuai dengan pola yang telah dibuat sebelumnya. Setelah melalui proses tersebut, potongan kain yang saat ini disebut panel, didistribusikan ke bagian sewing untuk disatukan menjadi pieces garmen. Pada proses sewing, terdapat proses-proses yang sederhana namun berulang, seperti membuat
quilting. Quilting adalah teknik menjahit dengan
membagi sebuah panel besar menjadi bagian-bagian panel kecil untuk disatukan kembali menjadi panel besar tersebut sehingga memberi kesan menggembung. Model pakaian yang menggunakan teknik quilting biasanya pakaian-pakaian outer yang digunakan pada cuaca dingin. Dengan adanya mesin
auto sewing CNC, proses quilting dapat dilakukan
dengan cepat. Bila sebelumnya proses quilting dilakukan oleh manusia, maka dengan mesin tersebut, operator hanya perlu meletakkan panel di atas mesin, lalu menekan satu tombol agar mesin menjahit panel tersebut sesuai dengan pola yang telah dibuat sebelumnya. Sehingga panel tersebut bisa dapat segera disatukan melalui proses jahit manual. Proses lain yang diotomatisasi dengan teknologi tinggi adalah proses pembuatan kantong. Proses pembuatan kantong yang sebelumnya dilakukan secara manual, yaitu membuat potongan, dan menjahit kain interlining atau bagian dalam kantong, dapat dilakukan secara otomatis dalam satu proses.
Meski mesin-mesin tersebut dikatakan sebagai mesin-mesin otomatis, dalam pengoperasiannya mesin tersebut masih memerlukan campur tangan manusia. Pemaknaan dari otomatis tersebut tidak dapat disandingkan dengan mesin-mesin berteknologi advance seperti pada industri otomotif di mana campur tangan manusia sangat sedikit dibutuhkan dalam pengoperasiannya.
Kalau di garment kan setau ibu belum ada mesin yang pakai robot kayak di industri otomotif misalnya, si operator cukup jalankan dan awasi mesin, semua sudah jalan sendiri. Kalau di garment secanggih-canggihnya mesin masih butuh dioperasikan oleh manusianya ... … dalam mengoperasikan mesin-mesin tersebut tetap butuh kedisiplinan, semakin kompleks mesin yang dijalankan justru harus
semakin tinggi kedisiplinannya, …
(N2)
Berangkat dari pernyataan tersebut, maka dapat dikatakan teknologi yang diadopsi pada industri ini tidak dapat berjalan optimal tanpa kedisiplinan yang baik dari operatornya.
4.1.2 Pengambilan Keputusan Adopsi Teknologi Dalam dinamika difusi inovasi Grup PT.
Pasti Sukses dapat dikelompokkan dalam kategori
early adopter yang artinya, mereka mengadopsi teknologi lebih awal dari pada para kompetitor pada bidang industri ini. Hal ini diperkuat oleh pernyataan partisipan sebagai berikut.
… pengalaman Ibu di garment sudah 16 tahun, tempat kita ini termasuk paling cepat dalam mengadopsi teknologi. Ada yang baru apa, sekiranya masuk hitungan, langsung dibeli, jadi bukan kita ikut-ikutan pabrik lain, tapi pabrik lain yang belajar dari kita.
(N2)
Kecepatan dalam mengadopsi teknologi sendiri dipengaruhi oleh keluasan akses dari teknologi itu sendiri.
… mesin-mesin baru tersebut bisa dapat dari supplyer yang kasih demo, atau dari pameran industri garment, … (N2)
Sementara itu pengambilan keputusan untuk mengadopsi teknologi banyak dipengaruhi oleh pengalaman-pengalaman organisasi di masa lalu. Dalam kasus ini, proses pengambilan keputusan adopsi teknologi didasarkan pada beberapa faktor seperti dikutip dari pernyataan partisipan berikut ini.
Buyer ga pernah tuntut kita untuk pakai mesin apa, ya memang ada buyer yang semacam itu, tapi tidak dengan buyer kita, mereka bebaskan kita pakai mesin apa aja, asal hasil yang
dicapai sesuai dengan standar mereka….
… Standar produktivitas kalau menurut buyer kan kualitas, kuantitas, sama ketepatan waktu… kualitas sama kuantitas kadangberseberangan, teknologi tadi yang menjembatani.
(N2) Pertimbangannya ya beli mesin-mesin itu inves Mas, apalagi style nya udah kebaca di depan, unit kita bakal banyak ngerjain outer sama pants, beli mesin yang bisa fleksibel untuk ngerjain style-style itu.
(N5)
Dari pernyataan tersebut, standar produk yang ditetapkan oleh buyer menjadi faktor yang mempengaruhi keputusan adopsi teknologi.
4.1.3 Ekspektasi Manfaat dari Adopsi Teknologi
Pengambilan keputusan investasi teknologi pastilah didasarkan pada ekspektasi capaian manfaat di masa mendatang. Untuk menghasilkan produk yang sama dalam jumlah yang banyak, ketepatan kualitas menjadi isu penting. Produk garmen yang dihasilkan haruslah seragam hingga ke setiap detailnya, bahkan sama dengan standar kualitas produk yang ditetapkan
buyer. Untuk itu teknologi diadopsi untuk mengurangi
kemungkinan kesalahan dalam menciptakan produk yang tepat secara kualitas.
… kualitas sama kuantitas kadang berseberangan, teknologi tadi yang menjembatani.
(N2)
Di samping itu, efisiensi menjadi isu penting dalam pencapaian produk yang berkualitas. Efisiensi sendiri dapat berupa menghemat waktu atau menghemat tenaga kerja untuk mendapatkan hasil yang sama.
… Kapasitas naik, jumlah orang turun, cycletime jadi singkat, … (N1) … dulu proses itu dikerjakan 4-5 orang, sekarang dikerjakan 1 orang saja sudah cukup, dari sisi efisiensi, kita berhemat waktu dan hemat orangnya. Kalau dikerjakan 5 orang
kan jadi muncul transfer timenya juga ...
(N2)
Selanjutnya, untuk menghadapi datangnya order yang berbeda-beda pada setiap musimnya, maka teknologi yang diadopsi harus tetap fleksibel. Fleksibel di sini artinya, meski mesin tersebut mampu menghasilkan produk yang berkualitas secara efisien, mesin tersebut haruslah tetap dapat dioperasikan dalam mengerjakan style apapun.
… style-style yang memiliki kemiripan tersebut dibelikan mesin- mesin spesial untuk
menghemat waktu dan tenaga kerja …
(N2)Yang terakhir, capaian manfaat diharapkan dengan pengadopsian teknologi tersebut, adalah kemudahan dalam pengoperasian. Sehingga dapat mengurangi learning time, atau memungkinkan perusahaan untuk merekrut karyawan non-skill.
... Aku jadi ga butuh karyawan ber-skill.
(N1)
… yang gampang diterapkan Mas, kalau sulit sama aja malah ga ada gunanya … … kalau sulit kan anak-anak malah pada ga mau pakai …
(N2)
Sebagai upaya untuk memenuhi standar
buyer seperti yang telah disebutkan sebelumnya,
teknologi diadopsi dengan harapan memberikan manfaat berupa ketepatan kualitas, efisiensi, fleksibilitas, dan kemudahan dalam pengoperasiannya.
4.1.4 Proses Pelembagaan Teknologi
Seperti dijelaskan sebelumnya, dalam setiap adopsi teknologi yang dilakukan, proses pelembagaan mutlak perlu dilakukan. Menciptakan suatu kesamaan tujuan dan ekspektasi antara manajemen dan operator menjadi hal penting agar teknologi dapat diterima dan dimanfaatkan sesuai dengan tujuannya. Proses pelembagaan dilakukan dengan cara-cara mimetis dan normatif melalui metode training dan penggunaan aturan-aturan dalam menjalankan operasional. Sebelum unit baru dibuka, karyawan sudah terlebih dahulu dipekerjakan pada unit yang sudah ada sebelumnya. Selama masa tersebut, karyawan tidak hanya dilatih cara-cara menggunakan teknologi atau pelaksanaan tata pengelolaannya. Perilaku dan pola pikirnya juga dibentuk agar sesuai dengan etika kerja yang berlaku di perusahaan selama mereka berada pada unit yang telah ada sebelumnya. Dengan cara tersebut diharapkan unit yang baru tersebut dapat lebih matang dan lebih cepat memberikan hasil ketika mulai beroperasi nantinya.
4.2 Hambatan yang Terjadi pada Proses Adopsi
TeknologiDalam usaha untuk mencapai hasil yang diharapkan pada dua tahun pertamanya, terdapat beberapa hambatan yang harus dihadapi oleh PT. Pasti Sukses dalam proses adopsi teknologi. Meskipun persiapan telah dilakukan sebaik mungkin, hambatan muncul ketika implementasi dilakukan di lapangan. Partisipan level operator menjelaskan, permasalahan teknis, seperti kualitas kelistrikan yang buruk.
Kalau dulu karena listrik Mas, pernah juga karena kesalahan kita sih, namanya juga lagi belajar, tapi kebanyakan karena listrik. Sekarang udah ga pernah.
(N3)
Di samping itu, menurut partisipan level operator, dukungan dari vendor mesin masih terbatas bila teknologi benar-benar baru turut menyumbang faktor penghambat adopsi teknologi.
Masalahnya kalau rusak ya lama perbaikannya Mas. Kan pada ga tau ya rusaknya apa. Teknisinya kadang juga bingung rusaknya apa.
(N4) Sementara itu pada partisipan level supervisor dan manajemen, rendahnya kedisiplinan karyawan dianggap sebagai penghambat proses adopsi yang dilakukan.
… sebenarnya udah pada bisa (disiplin), tapi ya itu Mas, harus diinget-ingetin terus biar pada stabil outputnya. … Auditor udah disebar ke mana-mana, tetep aja susah Mas.
(N5) … mesin kita kan bukan full otomatis, masih ada pengaruh manusianya, jadi kadang hasil yang dicapai ga bisa stabil.
(N2)
Mereka susah diiket, kerja suka-suka …
… Susah buat ikut aturan. Lha wong mereka terbiasa kerja suka-suka kok…(N1)
Terakhir, luasnya pekerjaan yang diberikan pada level supervisor disebut menjadi penghambat proses adopsi teknologi.
… Kita kadang overload Mas, anak-anak musti diawasi bener baru bisa output bagus, sementara kadang kita diundang meeting sama produksi, meeting sama buyer, meeting temuan-temuan reject, nanti ditinggal sebentar udah kacau lagi.
(N4)
Dari pernyataan-pernyataan tersebut dapat difaktorkan penghambat adopsi teknologi yang terjadi pada objek penelitian yaitu, permasalahan kesiapan infrastruktur, dukungan dari vendor yang masih terbatas, rendahnya kedisiplinan, dan lemahnya pengawasan akibat desain pekerjaan yang terlalu luas, seperti digambarkan pada Tabel 3 sebagai berikut.
Tabel 3. Faktor Penghambat Adopsi Teknologi
Ditemukan pada Jenis N N N N N
Permasalahan Hambatan
1
2
3
4
5 M M O O S Eksternal Kualitas kelistikan ✓ ✓ Eksternal Dukungan vendor ✓ ✓ Internal Rendahnya
✓ ✓ ✓ kedisiplinan Internal Lemahnya
✓ pengawasan
4.3 Kegagalan pada Dua Tahun Pertama
Kegagalan pada dua tahun pertama adopsi teknologi ditandai dengan buruknya capaian profit seperti yang telah digambarkan pada Gambar 1.1. Meski target capaian profit sudah dibuat senyata mungkin dengan disesuaikan dengan kondisi di lapangan, hasil yang didapat dari operasional unit baru tersebut masih jauh dari target yang ditetapkan.
Sebanyak 12.000 karyawan menempati unit baru sejak akhir tahun 2014, dan mengoperasikan mesin-mesin terbaik pada waktu itu. Pengalaman mengelola industri apparel selama lebih dari 30 tahun membawa optimisme akan pencapaian profit sesuai dengan target yang telah ditetapkan. Ketersediaan karyawan baru yang masih muda dengan keterbukaan terhadap teknologi, mentorship dari unit-unit lain yang telah berpengalaman, mesin-mesin terbaru dengan teknologi yang lebih maju, dan seperangkat sistem tata kelola yang sudah mapan menciptakan asumsi bahwa unit tersebut akan sukses, karena formula yang sama telah diterapkan pada unit-unit pendahulunya.
Namun, apa yang terjadi di lapangan tidaklah sama dengan asumsi manajemen. Seiring dengan berjalannya waktu, berbagai penghambat seperti yang telah dijelaskan sebelumnya muncul dan menciptakan hasil yang tidak pernah diduga sebelumnya. Di antara faktor-faktor penghambat tersebut, masalah kedisiplinan menjadi perhatian dalam penelitian ini. Seperti dijelaskan oleh partisipan, penggunaan teknologi pada industri garmen masih bergantung pada kedisiplinan operatornya. Otomatisasi yang dilakukan sebatas hanya penyederhanaan proses. Sementara itu ketrampilan operator masih sangat diperlukan untuk menghasilkan produk yang stabil dari sisi kualitas.
Fenomena ketidakdisiplinan ini dipahami sebagai suatu bentuk resistensi. Karyawan pada level operator telah mendapatkan pembekalan yang berlangsung selama masa trainingnya. Pelatihan yang dilakukan di unit sebelumnya, seharusnya memberikan hasil berupa karyawan siap kerja dengan pola pikir dan perilaku yang serupa dengan unit tempat di mana dia dilatih. Namun, pada kenyataannya resistensi muncul ketika mereka ditempatkan di unit yang baru, di mana unit yang baru tersebut berdekatan dengan lokasi tempat tinggal mereka. Salah satu partisipan berpendapat kondisi alam di lokasi tersebut telah membentuk pola pikir yang begitu kuat terlembaga.
Pola pikir mereka beda. Maaf ya sebelumnya, daerah sini daerah kering, tapi banyak sawah. Artinya apa? Di sini daerah tadah hujan. Kalau tadah hujan, berarti mereka bekerja cuma 3-4 bulan dalam setahun sebagai petani, sisanya kerja serabutan mereka. Akibatnya apa? Itu udah ketanem dipikiran mereka. Trus pas pabrik dibuka, dimodel cara kerja kayak pabrik ga bisa. Mereka susah diiket, kerja suka-suka. … Susah buat ikut aturan. Lha wong mereka terbiasa kerja suka-suka kok…
(N1)
Usaha manajemen untuk melembagakan prinsip-prinsip yang berlaku pada karyawan secara mimetis tidak berhasil dilakukan. Karyawan menjadi resisten terhadap usaha-usaha perusahaan untuk merubah kebiasaan mereka. Perilaku resisten ini terlihat dari fenomena keberanian karyawan untuk melanggar peraturan perusahaan demi menghindari sanksi-sanksi sosial yang ditetapkan masyarakat. Misal, ketika waktu panen tiba, acara keagamaan dan adat setempat, serta ketika ada acara hajat kerabat jauh, karyawan nekat tidak masuk meskipun izin tidak diberikan karena tidak dilakukan secara prosedural. Karyawan yang melanggar peraturan perusahaan sendiri diberikan sanksi mulai dari teguran hingga pemutusan hubungan kerja. Usaha manajemen untuk menertibkan karyawan malah mengakibatkan turnover karyawan menjadi tinggi. Jumlah karyawan terus menerus menurun seperti digambarkan dalam Gambar
4.1. 10000 14000 12000
Turnover Profile
2000 4000 6000 80001408 1411 1502 1505 1508 1511 1602 1605 1608 1611 1702 1705 1708 Gambar 4 4.1 Grafik Turnover Profile Agustus 2014-Agustus 2017 PT. Pasti Sukses
Gambar 4.1
Grafik Turnover Profile Agustus 2014 – Agustus 2017
PT. Pasti Sukses
Keputusan yang diambil oleh manajemen dengan memberlakukan sanksi tegas pada karyawan yang tidak disiplin menimbulkan masalah baru. Banyaknya karyawan yang keluar tidak dapat diimbangi dengan pelamar yang berminat untuk bergabung dengan PT. Pasti Sukse. Akibatnya banyak dari mesin-mesin produksi yang tidak dioperasikan. Hal ini jelas memperparah kerugian yang harus ditanggung oleh unit. Seperti digambarkan pada Gambar 4.2, capaian pendapatan setiap mesin tidak mampu mencapai targetnya.
Daily Earning/Machine
20.00
15.00
10.00
5.00
- Apr May Jun Jul Aug Sep Oct Nov Dec Jan Feb Mar Apr '16 '16 '16 '16 '16 '16 '16 '16 '16 '17 '17 '17 '17 Gambar 5 4.2 Grafik Daily Earning per Maching April 2016 - April 2017 PT. Pasti Sukses
Earning Target
Gambar 4.2
Grafik Daily Earning per Machine April 2016 – April
2017 PT. Pasti Sukses
Meski capaian pendapatan buruk, partisipan pada level manajemen tetap optimis bahwa adopsi teknologi yang dilakukan berhasil atau sedang dalam proses menuju keberhasilan.
Kalau dibilang berhasil, bisa dikatakan sedang dalam proses. Ya kalau dinilai mungkin sudah 80%an lah.
(N1) Sejauh yang Ibu lihat berhasil kok, cuman ya itu masalahnya, mesin kita kan bukan full
otomatis, masih ada pengaruh manusianya, jadi kadang hasil yang dicapai ga bisa stabil.
(N2)
Namun mereka tidak menampik adanya
unexpected result dari proses adopsi teknologi yang
dilakukan. Ketika peneliti mengajukan pertanyaan apakah masalah kedisiplinan telah diduga akan pernah memberikan dampak terhadap adopsi teknologi hingga seperti ini, partisipan menjawab, sama sekali tidak terduga seperti kutipan di bawah ini.
Ga sama sekali. Baru kejadian di sini.
(N1) Iya Mas, semakin ke sini baru sadar Mas. (N2)
Berdasarkan temuan-temuan yang didapatkan dari lapangan, dapat disimpulkan bahwa unexpected
result terjadi pada proses adopsi teknologi yang dilakukan di salah satu unit PT. Pasti Sukses.
4.4 Unexpected Result pada Awal Dua Tahun Pertama
Dalam konteks kelembagaan, diyakini setiap keputusan yang diambil di hari ini adalah hasil bentukan dari pengalaman-pengalaman yang terjadi di masa lalu. Pengalaman PT. Pasti Sukses telah membawanya kepada keputusan mengadopsi teknologi, dimana telah terbentuk pola pikir, ketika mereka mengadopsi suatu teknologi, maka akan mendapatkan produk berkualitas dengan mudah, efisien, dan fleksibel bila digunakan kembali, hingga pada akhirnya didapatkan manfaat ekonomis dari mesin tersebut. Namun, kenyataannya capaian manfaat ekonomis tidak sesuai target yang diharapkan. Narasumber dari level manajemen, tetap optimis bahwa mereka mampu mencapai profit yang diharapkan, hanya saja waktu yang mereka butuhkan lebih dari target yang ditentukan. Masalah-masalah yang dihadapi oleh manajemen dipandang sebagai sesuatu yang tidak terduga, namun masih dihadapi dengan optimisme. Sementara itu, cara-cara yang mereka pakai belum membuahkan hasil yang sesuai karena hambatan-hambatan seperti digambarkan Tabel 3.
Faktor-faktor eksternal dan internal yang menjadi hambatan pada dua tahun pertama dapat disebut sebagai bagian dalam proses learning time. Namun tidak selalu hambatan tersebut dapat diatasi dengan mudah. Hambatan yang bersifat teknis dapat dengan mudah dihadapi, seperti masalah infrastruktur yang dapat segera diatasi dengan pembenahan infrastruktur. Sementara itu dukungan dari vendor yang buruk juga dapat segera diatasi seiring dengan berjalannya waktu. Pengalaman narasumber pada level manajemen dan supervisor dalam menghadapi masalah ini membuat mereka tidak mempermasalahkan hambatan-hambatan yang bersifat teknis. Berarti faktor historikal terbukti memberi pengaruh seorang aktor dalam memandang sebuah fenomena.
Sementara itu, hambatan di luar hal teknis seperti masalah kedisiplinan dan sistem pengawasan bagi manajemen dipandang sebagai sebuah masalah besar. Kelembagaan yang tertanam, melihat tidak ada masalah dengan cara mereka menanamkan 59-nilai kedisiplinan, dan sistem pengawasan yang mereka bangun. Masalah ini menjadi hal yang unexpected terlebih ketika masalah-masalah ini memberi dampak negatif pada capaian profit. Dari hasil wawancara yang dilakukan, tersirat adanya ketidakterdugaan atas perilaku resisten yang terjadi pada karyawan. Sanksi sanksi yang diberikan untuk mendisiplinkan karyawan malah membuat karyawan memilih untuk meninggalkan perusahaan, yang artinya kegagalan pelembagaan terjadi selepas masa training dilakukan.
Seharusnya pada masa training, para karyawan mengalami proses unfreeze, dan move dari kelembagaan yang telah mereka bawa ke kelembagaan baru yang telah disesuaikan dengan kebutuhan perusahaan. Kemudian, kelembagaan baru tersebut di-
refreeze sebelum mereka kembali bekerja, dan diawasi
dengan sistem pengendalian yang telah disusun sebelumnya (Dent dan Goldberg, 1999). Namun, pada kenyataannya dengan adanya kedekatan para karyawan dengan lokasi pembentuk kelembagaan yang telah ada sebelumnya, proses refreeze yang dilakukan gagal. Kelembagaan bentukan perusahaan menjadi kehilangan pengaruhnya dalam membentuk perilaku dan pola pikir.
Setiap kelembagaan memiliki logika yang berbeda-beda dalam memandang suatu tindakan yang diwujudkan melalui prinsip-prinsip yang nampak pada kelembagaan tersebut (Thornton, Ocasio dan Lounsbury 2012). prinsip-prinsip kelembagaan yang ada pada lembaga industri berbeda dengan prinsip- prinsip kelembagaan ada pada lembaga pertanian. Pada lembaga industri, kelembagaan didasarkan pada capaian profit, dan menuntut perilaku dengan kedisiplinan tinggi. Nilai-nilai kedisiplinan itu mungkin berbeda dengan nilai-nilai kedisiplinan pada lembaga pertanian. Gesekan-gesekan yang terjadi antara kedua kelembagaan tersebut muncul ketika karyawan dihadapkan pada dua pilihan, mengikuti peraturan perusahaan namun mendapatkan sanksi sosial dari lingkungannya, atau sebaliknya.
Pada penelitian ini, ditemukan sebagian besar karyawan lebih memilih menghindari sanksi sosial lingkungannya daripada mengikuti aturan-aturan perusahaan. Sejalan dengan pernyataan Kraatz dan Block (2008) mengenai pluralitas logika, masyarakat modern dihadapkan pada sebuah pluralitas logika yang mengharuskan dirinya untuk bertukar peran dan logika ketika harus berada dalam lingkungan yang berbeda seperti lingkungan kerja, lingkungan masyarakat, dan lingkungan keagamaan. Tuntutan kelembagaan industri dan kelembagaan lain yang telah ada sebelumnya memicu pertentangan yang kuat bagi para karyawan. Mekanisme normatif yang dilakukan oleh perusahaan dalam hal ini dianggap memberikan tekanan terlalu kuat bagi karyawan.
Kesuksesan pada waktu-waktu lampau juga memberikan dampak pada keputusan manajemen. Dalam permasalahan yang mereka hadapi, manajemen tetap optimis bahwa mereka dalam kondisi baik-baik saja. Desain pekerjaan pada level supervisor tidak berubah, meski dikeluhkan pengawasan terhadap kedisiplinan operator kurang. Desain yang mereka tiru dari unit lain dianggap tetap sesuai dalam kondisi mereka saat itu. Baik manajemen maupun karyawan saling memaksakan tuntutan akan logika yang dibangun oleh dua kelembagaan yang bertentangan. Akibatnya, jurang kesenjangan antara kelembagaan yang tertanam pada karyawan dan manajemen menjadi semakin dalam (Thornton, Ocasio dan Lounsbury 2012). Sementara itu harapan untuk mencipta keseragaman dalam usaha meningkatkan produktivitas menjadi semakin sulit diraih. Temuan ini sendiri mendukung pernyataan DiMaggio dan Powell (1983) yang menyebutkan, sebagai usaha untuk meningkatkan efisiensi organisasi akan mengesampingan keberagaman melalui proses penyeragaman dalam berbagai cara, dan penelitian ini menunjukkan kegagalan proses penyeragaman memberi dampak negatif pada organisasi.
4.5 Akhir Dua Tahun Pertama
Masalah tersebut pada akhirnya mencapai titik balik. Usaha untuk bangkit dilakukan oleh PT. Pasti Sukses. Belajar dari pengalaman yang mereka alami tersebut membawa mereka untuk melakukan beberapa pembenahan antara lain dengan mengganti jajaran manajemen, dan memberikan kesempatan bagi karyawan yang telah keluar untuk kembali bergabung. Sistem pengawasan juga dibenahi, sehingga pada akhirnya turnover karyawan dapat ditekan, dan jumlah karyawan tidak terus menerus mengalami penurunan, namun dapat stabil pada angka 4000an. Profit yang didapatkan berangsur-angsur meningkat bahkan mampu menembus angka yang ditargetkan.
Pengalaman historikal yang dialami oleh PT. Pasti Sukses memberikan sumbangsih baru dalam kelembagaan yang ada pada diri PT. Pasti Sukses. Sumbangsih tersebut berupa pengalaman bahwa cara- cara yang biasa mereka gunakan dan berhasil kadang harus disesuaikan dengan kondisi sosial sesuai dengan konteks kelembagaan tempat di mana mereka berada.
Pengetahuan tersebut pada akhirnya mendorong dirinya untuk melakukan perbaikan di masa selanjutnya (Markvart, 2009) melalui sebuah perubahan institusional. Perubahan institusional yang dilakukan oleh manajemen PT. Pasti Sukses dipicu oleh faktor eksternal yaitu kondisi situasi sosial masyarakat. Dengan menambahkan aspek kondisi situasi sosial masyarakat sebagai salah satu aspek yang dipertimbangkan menempatkan unit usaha baru juga dapat menjadi pelajaran yang dapat diambil dalam kasus ini. Unit-unit yang ada sebelumnya mungkin memiliki kecocokan karakteristik dengan kelembagaan yang telah terbentuk, sehingga unit-unit lain dapat menghadapi masa learning time dengan lebih baik dengan segala keterdugaan manajemen. Namun sebaliknya, pada kondisi situasi sosial dengan karakteristik yang bertentangan dengan kelembagaan perusahaan, masa learning time akan menjadi berat dan penuh dengan unexpected result. Meyer (dalam Smet, Greenwod dan Lounsbury, 2015) menyatakan, guncangan eksternal dapat melemahkan kelembagaan, namun juga memungkinkan para aktor untuk merefleksikan dan mempertimbangkan alternatif yang tidak terpikirkan sebelumnya.