BAB II TINJAUAN PUSTAKA - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Unexpected Result dalam Penerapan Teknologi pada Dua Tahun Pertama: Sebuah Kajian Kelembagaan pada Kasus PT. Pasti Sukses

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Adopsi Teknologi

  Kontribusi sebuah teknologi bagi pertumbuhan ekonomi adalah ketika teknologi tersebut diterapkan (Martins dan Oliveira, 2008). Dalam kenyataannya, penerapan teknologi tersebut mengalami dinamika seperti yang digambarkan dalam kurva difusi inovasi teknologi, seperti digambarkan di bawah ini.

  Kurva Difusi Inovasi Gambar 2

  Gambar 2.1 Kurva Difusi Inovasi Sumber: jpnicols.com Rogers (dalam Sciffman et al., 2010) menjelaskan kurva tersebut merupakan pemodelan tentang bagaimana minat terhadap sebuah teknologi dipengaruhi oleh proses penyebaran informasi. Setiap konsumen yang memiliki minat yang sama terhadap sebuah teknologi tidak selalu mendapatkan informasi mengenai teknologi baru tersebut pada waktu yang bersamaan. Serangkaian pertimbangan dilakukan konsumen sebelum memutuskan untuk mencoba (atau tidak mencoba) dan melanjutkan (atau berhenti) menggunakan sebuah teknologi (Hall dan Khan, 2002). Adapun dalam proses tersebut, terdapat empat elemen pokok persebaran sebuah teknologi, yaitu: adanya suatu inovasi, komunikasi pada saluran komunikasi tertentu, jangka waktu, dan lingkup sistem sosial tertentu. Keempat elemen pokok tersebut membawa teknologi untuk menyebar melalui proses adopsi teknologi. Pada awalnya para early adopters mengadopsi teknologi yang diciptakan oleh para

  

innovator. Kemudian seiring dengan meluasnya

  pemahaman mengenai teknologi baru tersebut, early

  

majority meniru apa yang dilakukan para early

adopters dan begitu seterusnya hingga difusi teknologi

  berada pada titik jenuh.

  Setiap tahapan adopsi diawali dengan membandingkan besaran biaya dan capaian manfaat yang akan diterima, meskipun terkadang manfaat tersebut hanyalah sebatas asumsi (Hall dan Khan, 2002). Dalam kurva tersebut, dapat dipahami setiap individu memiliki asumsi yang berbeda-beda terhadap capaian manfaat dari penerapan sebuah teknologi. Di samping itu, dukungan sumber daya, toleransi terhadap resiko dan keinginan naluriah untuk mengimitasi menjadi faktor penting penentu keputusan untuk mengadopsi sebuah teknologi.

  Keberadaan teknologi dalam sebuah organisasi dapat mengubah sistem kerja organisasi tersebut (Woodward, 1965). Perubahan tersebut sendiri terjadi akibat adanya interaksi antara manusia dalam konteks personal maupun organisasi dengan teknologi tersebut. Komisi Ekonomi dan Sosial untuk Asia Pasifik (UNESCAP) telah membagi teknologi ke dalam empat komponen, yaitu technoware,

  

humanware, infoware, dan orgaware. Technoware

  sendiri mencakup peralatan fisik dan infrasktruktur fisik manusia, sementara itu humanware mencakup pengetahuan, keterampilan dan pengalaman, selanjutnya infoware terkait dengan dokumentasi proses, prosedur, teknik, pengamatan dan desain yang terungkap melalui publikasi dan dokumentasi, dan yang terakhir orgaware yang mengkomodasi pengelolaan, keterkaitan, dan pengaturan organisasi untuk mencapai hasil yang positif (Rumanti dan Hadisurya, 2017). Fokus dalam penelitian ini adalah untuk meneliti orgaware di mana dipercayai penyusunan aturan-aturan yang tepat dapat mengoptimalkan proses adopsi teknologi yang dilakukan.

2.2 Teori Kelembagaan

  Teori Kelembagaan mempelajari interaksi interpersonal secara mikro pada rerangka kerja global yang makro (Scott, 2001). Sejak ditemukannya, teori kelembagaan telah berkembang begitu pesat dengan masuknya kontribusi dari berbagai disiplin ilmu. Secara umum, teori Kelembagaan terbagi dalam Teori Kelembagaan Lama dan Teori Kelembagaan Baru. Sejarah terbaginya teori kelembagaan tersebut bermula dari penelitian yang dilakukan oleh Meyer (1978) dan Fennel (1980) yang mendapati adanya isomorfisme atau kesamaan ketika persaingan yang terjadi.

  Pada masa itu persaingan yang awalnya diisi dengan perebutan pangsa pasar dan sumber daya, berubah menjadi ajang untuk mendapatkan pengakuan atau legitimasi dalam aspek politik, sosial dan ekonomis. Fenomena ini menarik untuk diamati dan digali lebih dalam, hingga pada tahun 1983, DiMaggio dan Powell mendapati isomorfisme yang terjadi merupakan ‘buah’ dari interaksi suatu organisasi dengan lingkungan di sekitarnya. Dengan kata lain, organisasi sebagai sebuah entitas, mengambil keputusan dengan pertimbangan historis sesuai dengan pengalaman yang diketahui atau dialami ketika dia berinteraksi dengan lingkungannya. Ketika sebuah entitas mengalami suatu kegagalan, entitas yang lain cenderung belajar dari kejadian tersebut dan berusaha untuk menghindari kesalahan yang sama. Sementara itu, ketika sebuah entitas mengalami keberhasilan, entitas lain berusaha menirunya.

  Siklus tersebut berlangsung terus menerus dan berkelanjutan sehingga meski persaingan menjadi semakin sengit, produk dan perilaku yang dihasilkan menjadi semakin mirip satu sama lain. Sementara itu, temuan DiMaggio dan Powell tentang keterlibatan aspek historikal dalam pengambilan keputusan ini dianggap tidak sejalan dengan Teori Kelembagaan yang sudah ada pada saat itu. Teori yang berkembang pada saat itu menyatakan bahwa setiap tindakan yang dilakukan oleh organisasi didasarkan pada pertimbangan rasional individu-individu yang ada di dalamnya. Perbedaan sudut pandang antara Teori Kelembagaan yang ada saat itu dengan temuan DiMaggio dan Powell membawa lahirnya Teori Kelembagaan Baru yang diperkenalkan dalam tulisan mereka pada tahun 1991, yang berjudul Introduction

  to New Institutionalism.

  Meski keduanya sama-sama mempelajari bagaimana pilihan bersama begitu tertanam mendalam dan fleksibel dalam sebuah struktur sosial, namun keduanya memiliki perbedaan mendasar mengenai alasan dibalik sebuah pilihan diambil. Pada Teori Kelembagaan Lama, setiap pilihan sosial yang dilakukan oleh sebuah lembaga dilakukan dengan pertimbangan logis, sementara itu pada Teori Kelembagaan Baru, pilihan tersebut terjadi karena adanya pola pikir yang telah terbentuk oleh pengalaman di masa lalu. Dengan kata lain, Teori Kelembagaan Baru membawa pemahaman secara induktif mengenai bagaimana sebuah organisasi bertindak dan berperilaku.

  Dalam membangun pemahaman induktif tersebut, pada para penganut Teori Kelembagaan Baru meyakini terdapat tiga mekanisme yang memicu terjadinya isomorfisme. Ketiga mekanisme tersebut mencakup pada aspek koersif, mimetik, dan normatif (DiMaggio dan Powell, 1983). Pada aspek koersif, setiap entitas dianggap mengambil keputusan dengan mempertimbangkan aspek politis seperti pengakuan publik, atau posisi politik yang strategis secara sosial maupun ekonomis. Adanya tekanan persuasif yang berkembang di masyarakat membawa suatu entitas pada pilihan ke pihak mana dia akan menempatkan dirinya. Kemudian, pada aspek mimetik, setiap entitas dianggap memiliki kecenderungan untuk meniru entitas lain untuk mengurangi resiko yang ditimbulkan akibat dari ketidakpastian masa depan. Perilaku meniru ini kemudian meluas dan membentuk suatu ritual yang homogen dan teroganisir pada suatu ekologi. Dan yang terakhir, pada aspek normatif, diakui keberadaan norma-norma yang ditetapkan memberikan kontribusi pada isomorfisme yang ada. Kontribusi ini sendiri merujuk pada pernyataan Max Weber (dalam Collins, 1980) yang menyatakan bahwa hukum merasionalisasi kebutuhan akan sebuah kontrol.

  Ketiga aspek tersebut kemudian saling bersinergi dan membentuk sebuah lembaga dengan sikap dan pola pikir, lengkap dengan seperangkat aturan dan pemahaman untuk menegakkannya. Sehingga dapat dikatakan resistensi yang terjadi dalam perspektif kelembagaan adalah sebuah fenomena tertanamnya sebuah lembaga dengan begitu kuat, sehingga ketika salah satu aspek –dalam hal ini aspek normatif– mencoba mengubahnya maka lembaga tersebut melawan dan mempertahankan eksistensi dirinya (Markvart, 2009). Lebih lanjut Markvart menerangkan, setiap perilaku manusia dibatasi oleh konteks kelembagaan yang tertanam kepadanya. Dengan kata lain, seorang aktor bisa saja menerima perubahan, namun dia memilih menolak karena pemahaman bersama yang telah tertanam sebelumnya membatasi dirinya untuk bertindak mengikuti arus perubahan tersebut. Mengacu pada temuan Markvart tersebut, maka penelitian mengenai resistensi dalam perspektif kelembagaan lebih tepat menggunakan Teori Kelembagaan Baru.

2.3 Adopsi Teknologi dalam Perspektif Kelembagaan

  Teori kelembagaan meyakini tindakan seorang aktor sangat dipengaruhi oleh konteks kelembagaan di mana entitas tersebut beroperasi (Shonk & Bravo, 2010). Artinya, belum tentu seorang aktor mengambil langkah penyelesaian yang sama terhadap suatu masalah bila ditempatkan pada situasi yang berbeda. Dalam penelitian ini, manajemen puncak PT. Pasti Sukses mendapati sekumpulan masalah lengkap dengan solusi yang diambil dari berbagai tempat dengan konteks kelembagaan yang berbeda, dan menggabungkannya untuk memperkecil resiko terulangnya masalah. Namun, keputusan yang diambil malah memicu munculnya serangkaian masalah baru yang diasumsikan sebagai kegagalan dalam proses pelembagaan.

  Dalam setiap adopsi teknologi yang dilakukan, proses pelembagaan mutlak perlu dilakukan. Setiap teknologi yang masuk, akan merubah cara kerja, dan perubahan cara kerja haruslah diikuti dengan perubahan pola pikir. Salah satu cara untuk membentuk pola pikir baru agar teknologi yang diadopsi dapat diterima adalah dengan mensosialisasikan alasan dibalik keputusan adopsi teknologi. Asumsi setiap individu dalam organisasi terhadap teknologi yang diadopsi akan memberi dampak terhadap berhasil tidaknya adopsi teknologi tersebut (Djogo, 2003). Dengan kata lain, asumsi setiap individu perlu disamakan dengan tujuan organisasi, sehingga pada akhirnya terbentuk suatu asumsi yang seragam, termasuk mau menerima perubahan yang terjadi akibat keputusan adopsi tersebut.

  Kegagalan dalam menciptakan keseragaman diasumsikan sebagai kegagalan sebuah organisasi dalam melembagakan prinsip-prinsip yang dianut pada anggotanya. Pada kasus adopsi teknologi, melembagakan prinsip-prinsip yang dianut dimulai dari datangnya suatu teknologi yang baru bagi karyawan, dan diikuti dengan perubahan pola kerja yang dilakukan agar teknologi tersebut dapat mendatangkan manfaat. Berangkat dari pemikiran tersebut, diyakini keseragaman dalam sebuah organisasi menjanjikan peningkatan efisiensi. Melalui proses rekrutmen, penyeragaman perilaku, gaya berpakaian dan cara-cara dalam melakukan pekerjaan, keseragaman dibentuk dengan mengesampingkan keberagaman yang muncul pada organisasi (DiMaggio dan Powell, 1983).

  Keseragaman dalam sebuah organisasi dibentuk dapat dibentuk dengan berbagai cara. Tidak hanya melalui mekanisme normatif seperti birokratisasi melalui seperangkat aturan baku, namun keseragaman dapat pula dibentuk melalui mekanisme mimetik dan koersif. Dengan memanfaatkan mekanisme mimetik, seorang aktor akan terdorong menjadi sama agar dapat diterima pada lingkungannya, sementara itu tekanan koersif akan mendorong seorang aktor untuk mengikuti cara-cara yang dilakukan oleh lingkungannya karena memandang cara itu sebagai cara termudah. Studi kelembagaan baru meyakini setiap aktor terikat dalam lebih dari satu kelembagaan (Kraatz dan Block, 2008), dan memberikan dampak yang signifikan tentang bagaimana dia memutuskan melakukan sesuatu dengan cara-cara tertentu sesuai tempatnya berada (Johnston, 2013). Adanya keterikatan seorang aktor pada lebih dari satu kelembagaan dapat memicu pertentangan, hingga pada akhirnya dia dapat memilih mana yang lebih rasional baginya. Fenomena ini pada akhirnya dapat menggangu proses penyeragaman perilaku. Hingga pada akhirnya menimbulkan efek samping tersendiri di luar berhasil atau tidak berhasilnya tujuan organisasi. Pada penelitian ini, efek samping yang terjadi disebut dengan istilah unexpected result. Dengan mengacu pada literasi tersebut, dapat disusun sebuah kerangka pemikiran teoritis sebagai berikut.

  Kelembagaan Rasionalisasi Perilaku

  Hasil

  • Berhasil • Tidak Berhasil
  • Gambar 3 Kerangka Pemikiran Teoritis Unexpected Result

      Gambar 2.4 Kerangka Pemikiran Teoritis

      Melalui kerangka pemikiran teoritis di atas dapat dirumuskan sejumlah hipotesis, yaitu :

      1. Fenomena permasalahan yang muncul pada PT. Pasti Sukses disebabkan oleh perilaku karyawan yang kontraproduktif.

      2. Perilaku kontraproduktif tersebut telah terasionalkan pada karyawan dan berseberangan dengan usaha-usaha rasionalisasi yang dilakukan oleh manajemen.

      3. Karyawan dan manajemen memiliki pola kelembagaan yang berbeda satu sama lain, sehingga terjadi pertentangan dalam proses pelembagaan.

      4. Pertentangan tersebut pada akhirnya menimbulkan unexpected result pada proses pelembagaan.