Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Jagongan sebagai Pendampingan Pastoral Budaya: Kajian Pastoral Budaya kepada Warga Jemaat GITJ Sembaturagung-Pati yang Mengalami Kedukaan

BAB III ASAL USUL, PELAKSANAAN DAN PEMAKNAAN JAGONGAN DI SEMBATURAGUNG Bab ini akan memaparkan mengenai hasil penelitian terhadap Jagongan kematian di

  masyarakat Sembaturagung. Data diperoleh melalui teknik wawancara. Bab ini akan disajikan sebagai berikut:

  I. Gambaran Umum Desa Sembaturagung.

  1.1 Kondisi Geografis.

  Desa Sembaturagung merupakan salah satu desa yang ada di kecamatan Jakenan, Kabupaten pati. Kecamatana Jakenan pada masa kolonial menjadi ibukota Kawedanan yang membawahi Kecamatan Jaken, Jakenan, Pucakwangi, dan Winong. Namun setelah Indonesia merdeka, terjadilah pemusatan pemerintahan yang ada di Pati, sehingga Jakenan menjadi sebuah

  1

  kecamatan seperti halnya kecamatan Jaken, Pucakwangi dan Winong . Kecamatan Jakenan terletak di bagi an timur Kabupaten Pati (sekitar 16 km ke arah timur kota Pati). Berada di ketinggian antara 10-25 meter dpl. Tepatnya berada di koordinat 6°45'0?LS,111°11'0?BT - 7°4'29?LS,111°9'3?BT. Kecamatan ini berbatasan dengan:  Sebelah utara berbatasan dengan Kecamatan Juwana.

   Sebelah timur berbatasan dengan Kecamatan Jaken.  Sebelah selatan berbatasan dengan Kecamatan Pucakwangi dan Winong.  Sebelah barat berbatasan dengan Kecamatan Pati Kota dan dibatasi oleh sungai terbesar di Kabupaten Pati, Sungai Juwana.

  Seluruh wilayah kecamatan Jakenan terletak di dataran rendah dengan tanah berjenis aluvial. Wilayah barat yang menjadi daerah aliran sungai Juwana setiap tahun pada musim penghujan menjadi langganan banjir akibat meluapnya Sungai Juwana. Secara administratif, kecamatan Jakenan terdiri atas 23 desa yang terbagi ke dalam 58 Rukun Warga (RW) dan 341 Rukun Tetangga (RT). Desa-desa tersebut adalah: Bungasrejo, Dukuhmulyo, Glonggong, Jakenan, Jatisari, Kalimulyo, Karangrejo Lor, Karangrowo, Kedungmulyo, Mantingan Tengah, Ngastorejo, Plosojenar, Puluhan Tengah, Sembaturagung, Sendangsoko, Sidoarum, Sidomulyo, Sonorejo, Tambahmulyo, Tanjungsari, Tlogorejo, Tondokerto, dan Tondomulyo.

1.2 Kondisi Demografis.

  Mata pencaharian penduduk kecamatan Jakenan sebagian besar adalah bertani dengan memanfaatkan lahan pertanian berupa sawah tadah hujan. Sebagian lagi menggantungkan hidup sebagai buruh pada berbagai industri yang ada di kota Juwana dan Pati kota. Karena minimnya lapangan pekerjaan yang tersedia maka tidak sedikit warga yang pergi merantau ke lain daerah bahkan ke luar negeri, seperti umumnya warga kabupaten Pati lainnya. Selain padi, produk pertanian daerah ini adalah tebu, kedelai, dan kacang hijau. Kecamatan Jakenan mempunyai empat pasar: Pasar Jakenan yang diberi nama pasar Gorejo, pasar ini digunakan sebagai pasar orang dan pasar hewan, namun pasar ini mulai sepi beberapa tahun terakhir. Pasar Sembaturagung yang disebut pasar Jagan, bertempat di desa Sembaturagung dibuka setiap hari, di desa Glonggong ada sebuah pasar kecil yang biasa disebut pasar

  dadak’an karena hanya ada

  di saat fajar sampai jam 9an pagi dan pasar yang terakhir ada di Banglean yang terdapat di desa Tambahmulyo.

1.2.1 Desa Sembaturagung.

  Sembaturagung merupakan salah satu desa di kecamatan Jakenan, desa ini terbagi atas

  2

  dua dukuh yaitu dukuh Gang Malang dan Mbatur, dengan luas wilayah :  Pemukiman 44 ha.

   Sawah 196,276 ha.  Ladang atau tegalan 49.460 ha.  Perikanan (kolam, empang) 14,14 ha.

  Jumlah penduduk Sembaturagung adalah sebagai berikut: 960 kepala keluarga, 3.197 jiwa, 1.559 laki-laki dan 1638 perempuan. Struktur mata pencaharian warga desa Sembaturgung adalah sebagai berikut: Petani 1.257 orang, Pedagang 256 orang, Pns 89 orang, Buruh 116 orang, Peternak 9 orang, Nelayan /perikanan 2 orang, Industri kecil 40 orang, dan Jasa 6 orang. 94 persen penduduk kecamatan Jakenan adalah suku Jawa, sedangkan sisanya adalah warga keturunan Thionghua dan dari luar pulau Jawa yang menikah dengan warga masyarakat setempat atau sedang mencari nafkah di desa ini.

  1.3. Jemaat GITJ Sembaturagung.

  1.3.1 Profil GITJ Sembaturagung.

  Sejarah berdirinya gereja GITJ (Gereja Injili di Tanah Jawa) Sembaturagung diawali

  3

  dengan bertobatnya Slamet Santosa diawal bulan juli 1967. Slamet Santosa yang pada waktu itu berprofesi sebagai sekertaris desa memiliki pengaruh yang cukup kuat di masyarakat sehingga beliau dengan mudah mengajak masyarakat untuk ikut menerima layanan kristiani. Dibantu dengan sepupunya yang bernama Supomo (Purnawirawan TNI), mereka terus mengajak banyak warga menerima layanan kristiani. Setelah berjalan tiga bulanan, maka oleh pendeta Susanto harso yang waktu itu melayani di GITJ Juwana dan Pendeta S. Djojodiharjo yang bertindak sebagai ketua sinode GITJ meresmikan pepanthan (cabang pelayanan) Sembaturagung sebagai bagian dari cabang pelayanan GITJ induk Juwana.

  Seiring dengan berjalannya waktu, pepanthan Sembaturagung semakin berkembang secara kuantitas maupun kualitasnya, sehingga pada tanggal 17 oktober 2001 pepanthan GITJ Sembaturagung didewasakan sebagai gereja yang mandiri dengan pendeta Rukani sebagai gembala jemaatnya. Pada saat didewasakan sebagai gereja yang mandiri, jumlah jemaat secara keseluruhan yaitu mulai dari anak-anak sekolah minggu sampai dewasa ada 128 jiwa. Keseluruhan warga jemaat ini hanya berasal dari satu desa saja, yaitu desa Sembaturagung. 3 Buku sejarah gereja GITJ Sembaturgung terbitan 2016. Sejarah ini selalu dibacakan dalam ibadah

  Sampai pada tanggal 5 oktober 2017, jumlah warga jemaat GITJ Sembaturagung berjumlah 289 jiwa yang terdiri dari laki-laki 92 jiwa, perempuan 119 jiwa, kaum muda 32 jiwa,

  4

  remaja 11 jiwa dan 34 anak-anak sekolah minggu. 98% warga jemaat berasal suku Jawa sehingga budaya dan nilai-nilai kearifan lokal Jawa begitu terasa dalam komunitas ini. Bahasa pengantar dalam setiap bentuk pelayanan ibadah hampir keseluruhannya memakai bahasa Jawa sebagai bahasa ibu mereka.

  Gereja GITJ Sembaturagung ini menganut sistem konggregasional sinodal yang artinya gereja setempat memiliki kewenangan untuk mengelola seluruh penatalayanan jemaat lokalnya dengan mengacu kepada tata gereja yang disepakati oleh seluruh gereja-gereja anggota sinode

  5

  yang telah ditetapkan dalam sidang raya. Artinya bahwa setiap gereja lokal atau setempat dari sinode GITJ diberi keleluasaan untuk mengembangkan pelayanan sesuai konteksnya, namun tidak bertentangan dengan tata dasar tata laksana sinode (Tata Gereja).

  1.3.2 Pelayanan Kematian di GITJ Sembaturagung.

  Secara umum proses pelayanan kematian pada warga jemaat yang meninggal dunia tidak terlalu banyak perbedaan dengan warga desa yang mengalami kematian. Hanya saja pada beberapa bagian sudah mengalami sedikit modifikasi oleh karena pengaruh kekristenan. Jika pada pemberitaan dukacita pada saudara yang beragama muslim biasanya disiarkan lewat pengeras suara di masjid atau mushola, namun jika yang meninggal adalah warga nasrani maka berita dukacita ini biasanya disampaikan dari mulut ke mulut ataupun melalui alat telekomunikasi seperti handphone. Pernah juga beberapa kali ada anggota nasrani yang meninggal dunia namun pemberitaan kabar dukacita tersebut disiarkan lewat pengeras suara di

  6 masjid yang ada di desa ini, namun lebih banyak disampaikan dari mulut ke mulut.

  Sama seperti pada proses perawatan jenasah pada umumnya, setiap warga jemaat yang meninggal juga disuceni. Artinya dimandikan dan dirawat sedemikian rupa sebagai bentuk 4 Data diambil dari buku keanggotaan gereja GITJ Sembaturagung tahun 2017. perawatan dan penghormatan yang terakhir bagi almarhum yang biasanya akan dipimpin oleh seorang majelisbagian diakonia. Setelah selesai dibersihkan dan beri pakaian yang baru atau yang pantas, maka layon akan diletakkan di ruang tengah supaya setiap anggota keluarga, kerabat dan siapa saja yang hendak memberi penghormatan terakhir akan dapat dengan mudah melakukannya.

  Sementara di rumah duka sedang ada proses perawatan bagi jenasah yang meninggal, maka di pemakaman juga terjadi proses pembuatan liang lahat sebagai tempat peristirahatan yang terakhir bagi almarhum. Ukuran liang lahatnya pun sama dengan yang lain, yaitu dua meter panjangnya serta lebar dan dalamnya masing-masing satu meter, hanya yang membedakannya

  7

  adalah ketiadaan cemuri, sebab jenasah tidak dibungkus kain kafan namun diberi pakaian lengkap lalu dibaringkan di dalam peti kemudian baru dimasukkan ke dalam liang lahat.

  Setelah semua proses persiapan jenasah dan liang lahat selesai, maka di rumah duka akan diadakan Pangabekti panguntape layon (ibadah pemberangkatan jenasah). Ibadah ini selalu dipimpin oleh pendeta jemaat dan biasanya berlangsung hanya 1 sampai 1,5 jam saja, yang kemudian dilanjutkan dengan sambutan dari wakil keluarga yang berduka, dari wakil gereja dan perangkat desa. Prosesi kemudian dilanjutkan dengan pemberangkatan jenasah menuju ke pemakaman. Prosesi ibadah dipemakaman juga berlangsung sangat singkat, berupa pembacaan satu bagian dari kitab suci yang kemudian disambung dengan pembacaan pengakuan iman rasuli secara bersama-sama. Setelah itu maka jenasah almarhum segera ditimbun dengan tanah.

  Ketika proses pemakaman selesai, sebagian besar warga akan pulang ke rumah mereka atau kembali ke pekerjaan mereka yang mereka tinggalkan karena adanya peristiwa kematian tersebut, hanya kerabat dekat dan beberapa tetangga dekat yang langsung kembali ke rumah duka untuk menemani keluarga inti yang sedang berduka. Namun pada malam harinya, masyarakat akan kembali ke rumah duka untuk Njagong. Namun ada perbedaan yang cukup besar dalam proses pendampingan yang dilakukan masyarakat kristen kepada anggota warganya yang mengalami kedukaan dengan masyarakat Sembaturagung yang beragama non kristen. Jika pada masyarakat yang beragama muslim atau penganut kepercayaan melakukan kegiatan pendampingan secara formal sesuai kepercayaan yang mereka percayai tersebut bisa berlangsung selama berhari-hari bahkan berminggu-minggu, namun bagi warga kristen justru hanya berlangsung selama dua malam atau dua hari, yaitu ibadah panglipuran (Penghiburan) malam

  8

  pertama dan kedua saja. Ketetapan tersebut dikarenakan adanya keputusan konven para pengajar se-sinode GITJ. Kesepakatan hasil konven tersebut kemudian dilaksanakan oleh seluruh anggota gereja se-sinode GITJ, tidak terkecuali GITJ Sembaturagung. Itulah sebabnya, sejak diputuskannya hasil konven tersebut maka ibadah penghiburan hanya dilakukan selama dua malam berturut-turut saja.

9 Suwignyo menuturkan bahwa sebenarnya penghiburan selama dua hari dirasakan

  masih sangat kurang oleh keluarga yang berduka. Baginya, kehadiran pendeta, majelis dan segenap jemaat di rumah dukanya menjadi kekuatan tersendiri yang menopang hidupnya. Pujian dan renungan firman Tuhan yang disampaikan oleh pelayan firman begitu menguatkan baginya dalam menjalani hari-hari yang penuh duka tersebut. Hal yang sama juga diungkapkan oleh Saryo:

  “Tinilar dening tiyang ingkang sampun gesang sesarengan kaleh kula langkung saking

  40 tahun punika mboten perkawis ingkang gampil. Saben dinten, rina wengi tansah sesarengan, lajeng kapedotan sesambetan punika saestu sedih sanget. Sinaosa kula mangertos mangke ing kalanggengan badhe pinanggih malih, nanging samangke saestu remuk raose manah kula. Kejawi kekiatan saking Gusti Yesus, bapa pandita, sedaya majelis dan sederek nunggil pitados ingkang sampun mbiyantu abot repote kula saha ngrencangi kula nalika nandang duhkita saestu ngenthengi momotan kawula. Namung kemawon, menawi saget, mbok anggenipun kekempalan panglipuran dipun tambahi

  10 maleh supados griya kula mboten suwung.” 8 Konven adalah sebuah pertemuan bersama para pengajar se-sinode GITJ yang dihadiri oleh para pendeta, pembantu pendeta, pendeta khusus dan guru Injil yang membahas tentang sebuah isu teologi ataupun hal-hal yang perlu dibahas secara ber-sinode. Pada konven tahun 2009 yang bertempat di Bandungan, Ambara, ada dua hal yang menjadi pokok pembahasan yaitu mengenai pelayanan Pangrukti layon (Pelayanan kematian)

bahwa mengenai pelaksanaan pelayanan ibadah penghiburan diputuskan bersama bahwa hanya boleh dilakukan selama dua hari berturut-turut saja. 9 Wawancara dengan Suwignyo pada tanggal 17 Juni 2017 WIB. Suwignyo adalah informan yang mengalami kedukaan karena kematian ibunya. Kehadiran pendeta, seluruh majelis dan segenap jemaat menjadi sumber penghiburan tersendiri bagi hidupnya. Dengan kehadiran banyak orang di rumahnya, Saryo merasa bahwa ada begitu banyak orang yang peduli dan mengasihi dirinya. Hal itu merupakan sebuah motivasi yang besar baginya sehingga terus kuat menjalani hidup meskipun istrinya sudah tidak bersama- sama dia lagi. Ibadah penghiburan selama dua hari baginya terasa begitu kurang, namun apa daya sebab keputusan sudah diambil. Mereka masih mengharapkan agar di luar ibadah tersebut, pendeta dan warga jemaat tetap bersedia hadir untuk menemani mereka melewati masa-masa sedih tersebut.

II. Asal Usul Jagongan.

2.1 Istilah Jagongan.

  Setiap kebudayaan pasti sudah mengembangkan berbagai perangkat dan kebijaksanaan budaya untuk membantu warganya dalam menghadapi setiap tahapan dari siklus perkembangan kehidupan manusia, mulai dari kelahiran sampai kematian. Karena kematian dan kedukaan adalah bagian integral dari siklus perkembangan kehidupan manusia, maka setiap kebudayaan pasti memiliki perangkat dan tata cara dalam membantu masyarakat melewati masa-masa sulit karena kematian dan kedukaan. Dengan perangkat kebudayaan tersebut, anggota masyarakat ditolong secara kultural sehingga tidak merasa kesepian dan sendirian dalam menanggung beban kesedihan.

  Masyarakat Jawa mengenal berbagai upacara bagi orang yang meninggal. Berdasarkan

  11

  penuturan Dwi Kristiyono , berbagai perangkat budaya Jawa yang diciptakan oleh masyarakat Jawa dalam upacara kematian tidak hanya ditujukan bagi orang yang sudah meninggal saja, namun juga bagi anggota keluarga yang ditinggalkan agar bisa melewati dan mengatasi kedukaan mereka. Berbagai bentuk upacara yang dibuat oleh masyarakat sebenarnya adalah

11 Wawancara dengan Dwi Kristiyono pada tanggal 11 Mei 2017. Selain sebagai dalang wayang kulit,

  sebuah bentuk kesatuan dari masyarakat dalam mendampingi (Coorporate caring) sesamanya yang sedang berduka tersebut.

  Di kebudayaan Jawa, kita mengenal upacara yang dilakukan pada saat seseorang

  12

  meninggal (geblag ) dan dikuburkan, kita juga menemukan upacara untuk memperingati orang yang meninggal dunia pada hari ke tiga, ke tujuh, ke empat puluh, ke seratus, mendak ke satu

  13

  (ulang tahun pertama), mendak ke dua (ulang tahun ke dua) dan ke seribu hari . Pada proses upacara itulah masyarakat Jawa mempergunakan istilah Jagongan atau Njagong (Untuk memperpendek kata Jagongan, kebanyakan orang lebih senang mengucapkannya menjadi

  

Njagong ), sebagai sebuah usaha masyarakat dalam melakukan pendampingan kepada keluarga

yang mengalami dukacita.

  Sangat sulit untuk menentukan kapan budaya Jagongan atau Njagong mulai dilakukan oleh masyarakat Jawa dalam mendampingi dan menguatkan saudaranya yang sedang mengalami

  14

  kedukaan. Menurut penuturan Suyita Basuki , orang mulai peduli dengan kesedihan sesamanya sudah sejak awal peradapan manusia, sehingga sangat sulit untuk menentukan secara pasti kapan itu dimulai. Lebih sulit lagi untuk melacaknya sebab belum banyak ahli sejarah yang merekam kegiatan tersebut dalam bentuk tulisan secara detail. Lebih lanjut Basuki juga menuturkan bahwa

  15

  pada sekitar tahun 1864 di daerah Pati dan Jepara pernah muncul istilah Pager layu , sebuah tradisi yang makna dan bentuk pelaksanaan sama dengan Jagongan atau Njagong seperti yang dikenal sekarang ini.

  12 Dwi Kristiyono menuturkan bahwa upacara saat seseorang meninggal (geblag), memang lebih banyak menunjuk kepada perawatan atau pembersihan jasad (layon) supaya siap disemayamkan atau dimakamkan.

  

Geblag sebenarnya memiliki arti saat dimana seseorang itu rebah atau mati, yang kemudian segera disucikan atau

dimandiin sehingga patut untuk dikembalikan kepada asal Jasadnya, yaitu bumi sebab orang Jawa mempercayai bahwa badan wadag (jasad) itu berasal dari bumi atau tanah dan akan dikembalikan ke tanah lagi. 13 14 Wawancara dengan Dwi Kristiyono pada tanggal 11 Mei 2017.

  Wawancara dengan Suyito Basuki pada tanggal 12 Mei 2017. Suyito Basuki adalah seorang dalang wayang kulit, yang juga seorang penggiat kebudayaan Jawa. Beliau tinggal di kota Jepara. 15 Suyita Basuki menuturkan bahwa Pager layu memiliki arti menopang yang berduka (sedang mengalami lelayu atau kematian sehingga mengalami kesedihan) agar bisa bertahan dan mendampinginya melewati Dalam perkembangannya, istilah Pager layu inipun akhirnya berangsur-angsur hilang seiring dengan datangnya istilah baru yang lebih akrab diucapkan di kalangan pemeluk agama Islam yaitu Tilawat dan Takziah. Kedua istilah ini berakar dari budaya agama Islam yang mulai semakin menguat di masyarakat Jawa. Kata Takziah ini memiliki arti dasar menghibur. Takziah dimaksudkan dengan mengunjungi keluarga orang yang meninggal dunia dengan tujuan supaya keluarga yang ditinggalkan dapat terhibur, diberikan kesabaran serta mendoakan orang yang

  16

  meninggal agar dosanya diampuni oleh Allah. Selama proses mendoakan jenasah yang

  17

  meninggal ini, saudara-saudara muslim memakai panduan ayat-ayat Tilawatan. Memang dalam perkembangannya, penggunaan istilah Takziah dan Tilawat inipun lebih sering dipakai meskipun kadang tumpang tindih penggunaannya.

  Selain hadirnya dua istilah yang berbau agama Islam tersebut, masyarakat Jawa di Pati kemudian menghadirkan istilah baru yaitu Jagongan atau Njagong kematian. Informasi yang

  18

  dituturkan oleh Bambang Sumartoyo , bahwa pada sekitar tahun 1860 an, ketika ada seseorang yang akan berangkat mendatangi rumah duka untuk memberi penghiburan bagi keluarga yang berduka, saat ditanya akan pergi kemana, maka dia akan menjawab:”Arep lunga njagong

  kepaten (akan pergi Njagong

  di kematian)”. Dalam perkembangannya, masyarakat Jawa kemudian memakai beberapa istilah untuk mengungkapkan peristiwa pendampingan tersebut.

  Kadang orang mengatakan Jagongan atau Njagong kematian, Nglayat, Takziah kadang juga Tilawat.

  Informan kami selanjutnya menjelaskan bahwa pemakaian istilah yang berhubungan dengan pendampingan kepada keluarga yang mengalami kematian bisa ada beberapa istilah seperti yang sudah dibahas di atas tadi, namun yang umum dipakai oleh masyarakat di Sembaturagung adalah Njagong kepaten seperti yang dikatakanya: 16 Wawancara dengan Parmo pada tanggal 20 Agustus 2017. Parmo adalah salah satu tokoh muslim di desa Sembaturagung. 17 18 Wawancara dengan Parmo pada tanggal 20 Agustus 2017 WIB.

  Wawancara dengan Bambang Sumartoyo pada tanggal 23 Mei 2017. Bambang Sumartoyo adalah

  “Samangke panci kathah istilah ingkang kaginaaken kangge perkawes punika, namung kewamon ingkang limprah dipun ginaaken masyarakat mriki menawi kepengen mbiyantu tetangginipun ingkang bibar nandhang kasisahan karona pepejah, conto ngrencangi ing dalu-dalu sakbibaripun layon sampun dipun sareaken wonten pasarean inggih dipun wastani njagong kepaten utawi jagongan kepaten ing daleme si..., ingkang nandhang

  19 kasisahan”.

  Penggunaan istilah ini memang lebih banyak digunakan oleh generasi tua yang usianya diatas 45 tahunan, sebab bagi para pemuda, terutama yang beragama muslim lebih suka menggunakan istilah Takziah atau Tilawat.

20 Basuki menambahkab bahwa di wilyah Pati bagian utara dan barat laut yang berbatasan

  dengan wilayah kabupaten Jepara menyebutkan bahwa tradisi dimana masyarakat sedang mendampingi kerabat atau masyarakat yang sedang berduka disebutnya sebagai layatan atau

  

nglayat . Artinya bahwa untuk sebuah kegiatan yang sama, masyarakat Jawa di beberapa tempat

  memiliki istilah yang berbeda-beda, namun pada hakekatnya adalah sebuah upaya masyarakat yang secara bersama-sama sebagai sebuah kesatuan dalam memberikan pendampingan dan penguatan kepada anggotanya yang sedang berduka.

2.2 Arti kata Jagongan.

  Kata Jagongan sebenarnya memiliki arti linggihan Sinambi omong-omongan, maksudnya

  21

  adalah duduk bersama sembari berbincang-bincang. Memang secara umum proses Jagongan selalu disematkan kepada mereka yang duduk-duduk sambil berbincang-bincang. Jagongan pada umumnya dilakukan saat tetangga atau kerabat memiliki hajatan yang berupa pernikahan

  

(jagongan manten), khitanan (jagongan sunatan), syukuran kelahiran bayi (jagongan bayek)dan

  22

  lain sebagainya. Pada umunya jagongan dimulai pada sore hari sampai menjelang pagi hari, di beberapa daerah malah penggunaan istilah Jagongan lebih luas lagi, yaitu digunakan untuk setiap kesempatan dimana ada beberapa orang yang duduk-duduk sambil berbincang-bincang,

  19 20 Wawancara dengan Dwi Kristiyono pada tanggal 11 Mei 2017 WIB.

  Wawancara dengan Suyito Basuki pada tanggal 12 Mei 2017.

  23

  entahkah di warung kopi atau warung makan, di teras rumah atau pos kampling . Pokoknya dimana saja asalkan ada beberapa orang yang duduk bersama sambil berbincang-bincang.

  Tetapi masyarakat Sembaturagung mempergunakan istilah Jagongan ini juga sebagai sebuah kegiatan dimana masyarakat secara komunal membantu dan mendampingi sesamanya yang sedang mengalami kedukaan karena peristiwa kematian. Jagongan dipakai sebagai sarana comunity caring di Sembaturagung.

III. Pelaksanaan Jagongan.

  3.1. Pemberitahuan kabar dukacita atau Pemberitaan Lelayu.

  Hal yang pertama kali dilakukan dalam masyarakat Jawa ketika ada yang meninggal dunia adalah segera memberikan panglipuran/penghiburan (pendampingan) kepada keluarga yang kehilangan tersebut. Menolong yang berdukacita agar mampu menerima dengan iklas kepergian almarhum tersebut meskipun tidak mudah. Kerabat dekat dan tetangga akan berusaha menenangkan keluarga yang berduka dengan hadir di sekelilingnya, meyakinkan bahwa ada

  24

  begitu banyak orang yang menemaninya . Setelah keluarga mulai agak tenang, maka akan ada beberapa orang yang dengan segera merawat jenasah dengan menidurkannya secara membujur, terlentang dan menghadap ke atas. Kaki dipan tempat jenasah dibaringkan biasanya direndam dengan dengan air, maksudnya adalah supaya jangan sampai dipan dikerumuni oleh semut atau binatang kecil lainya, juga dibawah dipan biasanya ditaruh dupa wangi atau es batu dalam

  25

  sebuah ember besar untuk menghilangkan bau yang kurang sedap . Selanjutnya jenasah (layon) akan ditutup dengan kain batik atau selendang yang masih baru. Bersamaan dengan itu, ada sebagian orang yang segera memberitahu modin, perangkat desa atau pemimpin agama yang lain tentang lelayu tersebut, ada yang mengumumkannya lewat pengeras suara di masjid atau mushola (bagi yang beragama muslim), namun bagi yang beragama non muslim biasanya dari 23 24 Wawancara dengan Suyita Basuki pada tanggal 12 Mei 2017 WIB.

  Wawancara dengan Dwi Kristiyono pada tanggal 11 Mei 2017 WIB. mulut ke mulut juga sangat cepat sekali kabar dukacita ini tersebar kepada para kerabat dan

  26 masyarakat sekitar .

  Segera setelah masyarakat mendengar berita kematian atau lelayu dari anggota masyarakat, maka mereka akan segera meninggalkan semua pekerjaan yang sedang dilakukan untuk segera pergi ke rumah keluarga yang tertimpa kematian itu. Tidak peduli apakah dia seorang guru, pegawai pemerintahan, tukang bangunan, petani ataupun pedagang di pasar,

  27 mereka akan segera meninggalkan pekerjaannya dan bergegas ke rumah duka .

  3.2. Perawatan Jenasah.

  Setelah sampai di rumah, sebagian orang akan mempersiapkan segala keperluan untuk

  

nyuceni layon (membersihkan jenasah dengan memandikan untuk yang terakhir kali), dengan

  mencari kursi panjang dari kayu atau bambu untuk tempat duduk tiga orang yang akan

  28

  memangku jenasah saat dimandikan nanti . Mencari ember-ember besar atau Blung (semacam tempat tandon air yang berukuran besar, biasanya setiap Rukun Warga/RT pasti memiliki 3 sampai 4 buah sebagai persediaan kalau ada kematian), kemudian mengisinya dengan air bersih untuk upacara nyuceni layon tersebut. Selain itu juga disiapkan sabun mandi yang sudah dipotong-potong, shampo dan minyak wangi untuk keperluan si jenasah. Bersamaan dengan itu, ada sebagian warga yang lainnya akan membersihkan dan membereskan rumah sebelum semakin

  29 banyak orang yang datang.

  Segera setelah pemimpin agama tiba di rumah duka, entahkah modin (kalau yang meninggal dunia memeluk agama Islam), pendeta atau majelis gereja (kalau yang meninggal dunia memeluk agama Kristen), ia akan segera membuka pakaian orang yang meninggal tersebut dan menggantinya dengan kain sarung yang longgar atau dengan jarit, dibantu dengan beberapa

  26 Wawancara dengan Suci Rahayu pada tanggal 18 Juni 2017. Suci rahayu adalah salah seorang tokoh wanita yang biasa merawat jenasah di desa Sembaturagung. 27 Wawancara dengan Imawati pada tanggal 17 Juni 2017 WIB. orang mengikat rahangnya ke atas dengan kain kafan agar tidak terbuka, mengikat kedua kakinya menjadi satu dan melipatkan kedua tangannya di dada.

30 Sriyono menuturkan bahwa sebelum agama-agama berkembang dengan pesat di

  Sembaturagung, yang melakukan tugas itu adalah sesepuh desa atau pemimpin aliran kepercayaan. Jasad kemudian dimandikan oleh anggota keluarga, kerabat atau juga teman-teman dekat, diutamakan perempuan kalau yang meninggal adalah seorang perempuan (tetapi ini tidak menjadi keharusan), dan orang laki-laki kalau yang meninggal laki-laki di bawah pimpinan para sesepuh tadi. Tempat memandikan jenasah biasanya diadakan di samping rumah atau teras rumah, yang penting tempatnya lumayan lebar dengan banyak orang yang membentangkan kain penutup berupa jarit atau sarung-sarung yang lebar sehingga prosesi memandikan ini tidak serta merta bisa dilihat secara langsung. Namun jika ada yang ingin menyaksikannya juga bisa sebab kain yang dibentangkan sambung menyambung itu tidak terlalu tinggi sehingga bisa dengan mudah melihat prosesi tersebut. Cara memandikan layon harus diguyur secara perlahan-lahan dari arah kepala ke kaki dan terus menerus sampai selesai tanpa henti, dengan terus mencoba

  31 membersihkan layon sebersih mungkin .

  Setelah selesai dimandikan maka jenasah akan diletakkan di sebuah ruangan yang lebih lebar supaya para kerabat dan tetangga dapat memberi penghormatan yang terakhir. Setelah jenasah dibaringkan di dalam rumah, maka dengan segera beberapa wanita dan pria akan membereskan area bekas memandikan tersebut, memastikan air bekas memandikan jenasah tersebut mengalir habis, jarit dan sarung serta berbagai peralatan yang dipakai untuk memandikan tadi segera dicuci serta dibersihkan oleh beberapa wanita dan kelarabat yang berduka sehingga semuanya kembali bersih dan rapi. Mesti tidak ada yang memberi instruksi,

  32 namun para warga akan dengan cekatan mengerjakan semuanya itu .

30 Wawancara dengan Sriyono pada tanggal 20 Agustus 2017 WIB. Sriyono adalah salah seorang penganut aliran kepercayaan Sapto Darmo di desa Sembaturagung.

  Beberapa orang yang lain akan menyiapkan tempat duduk bagi para tamu yang akan

  

Njagong di rumah duka, ada yang meminjam para tetangga, ada juga yang memang memesan

  dari tetangga desa yang memiliki persewaan tenda dan kursi. Warga akan dengan sigap memasang tenda, menata kursi, menyiapkan segala sesuatu yang dibutuhkan sehingga pihak keluarga yang berduka tidak perlu lagi memikirkan segala sesuatu yang berhubungan dengan penyiapan tempat bagi para tamu, kebutuhan bagi jenasah dan segala sesuatu bagi proses pemakaman jenasah nanti. Semuanya sudah dibantu disiapkan oleh warga dengan bergotong-

  33 royong .

  3.3. Pembuatan Liang Lahat.

  Sebagian pria yang lain akan pergi ke makam untuk mempersiapkan liang lahat bagi sang jenasah tadi. Tidak ada yang memberi komando, namun saat ada berita kematian, beberapa pria sudah dengan sengaja datang ke pemakaman dengan membawa cangkul, linggis, arit dan

  34

  beberapa peralatan lain yang dibutuhkan untuk membuat liang lahat. Sriyono menuturkan bahwa setiap orang yang datang ke makam ini sudah dengan sadar akan kebiasaannya untuk meringankan beban keluarga yang meninggal dengan menyiapkan liang lahat sebagai tempat peristirahatan yang terakhir, maka mereka akan dengan segera menyiapkan itu. Mereka akan saling bahu membahu, saling bergantian menggali tanah yang biasanya disiapkan dengan ukuran panjang sekitar dua meter, lebar satu meter dan dalamnya sekitar satu tengah meter.

  Sebagiannya lagi akan memasang tenda atau deklet di atas area pemakaman yang akan dijadikan makam manakala peristiwa kematian terjadi dimusim penghujan agar dalam proses penggalian dan pemakaman nantinya tidak basah kuyup. Juga ada beberapa pria yang membuat nisan dari kayu yang diberi nama orang yang meninggal tadi. Dalam perkembangannya memang sekarang banyak nisan beton yang sudah dijual di toko-toko penyedia perlengkapan kematian. Bahkan dahulu, bagi yang menghendaki dimakamkan dengan peti, para pria yang memiliki kemampuan tukang kayu akan bergotong-royong membuat peti bagi jenasah tersebut, selebihnya para pria akan duduk-duduk sambil ngobrol-ngobrol di sekitar area makam sampai semua proses

  35 pemakaman siap dilakukan .

  3.4. Persiapan Di rumah.

  Sementara para wanita yang datang ke rumah duka biasanya akan membawa se”baki” beras (baki adalah semacam tempayan kecil yang mampu menampung beras 1-2 kg, pada zaman dahulu terbuat dari anyaman pohon bambu namun sekarang sudah terbuat dari plastik atau tembaga), juga kadang ada yang membawa mie instan, gula, kopi, teh, minyak goreng dan lain sebagainya. Sementara para pria yang datang ke rumah duka akan membawa sejumlah uang yang dimasukan ke dalam sebuah kotak atau sebuah baki yang ditutupi kain yang sudah disiapkan, biasanya diletakkan di depan rumah orang yang berduka supaya warga yang datang bisa dengan mudah menemukannya (nominal uang yang dimasukan tersebut sesuai dengan kerelaan, tidak ada ukuran standar harus berapa sebab ini lebih kepada kepedulian sosial). Pemberian uang itu merupakan bentuk dukungan dari tetangga, kenalan maupun kerabat kepada keluarga yang berduka. Uang yang terkumpul itu harapannya bisa digunakan untuk membeli keperluan-keperluan bagi kebutuhan jenasah maupun untuk tambahan biaya menjamu yang akan

36 Njagong nantinya .

  Para wanita yang sudah datang akan ada yang sebagian langsung ke dapur untuk secara bersama-sama dengan wanita yang lain memasak nasi dan lauk pauk untuk para pria yang bekerja menggali liang lahat bagi jenasah yang akan dimakamkan nanti, juga untuk suguhan malamnya manakala para tetangga, kenalan dan kerabat yang Njagong untuk memberi

  37

  penghiburan bagi keluarga yang berduka . Pada umumnya para wanita yang memasak makanan tersebut tidak di rumah duka, namun akan memakai rumah kerabat atau rumah tetangga yang letaknya dekat dengan rumah duka. Bagi tetangga yang rumahnya dipakai untuk memasak makanan bagi para tamu atau orang-orang yang ikut Njagong itu, akan dengan sukarela atau 35 Wawancara dengan Parmo pada tanggal 20 Agustus 2017 WIB.

  38

  sukacita mengijinkan rumahnya dipakai untuk memasak. Salah satu informan kami, Imawati menuturkan bahwa rumah yang bersedia dipakai untuk membantu meringankan beban orang yang kesripahan (Kesedihan yang mendalam) pasti akan diberkahi Yang Maha Kuasa sebab rumah itu sudah menjadi saluran berkah bagi sesamanya. Itulah sebabnya kebanyakan orang pasti bersedia jika rumahnya dipakai untuk kebutuhan memasak bagi keluarga yang sedang berdukacita. Jika di rumah yang dipakai itu tidak memiliki peralatan memasak yang cukup memadai maka para wanita akan segera mencari di tetangga yang lain, atau kalau ada yang

  39

  punya di rumahnya maka akan segera pulang dan mengambilnya . Yang menarik adalah bahwa mereka begitu antusias dan bersemangat dalam bekerjasama membantu segala kebutuhan tersebut.

  Sedangkan sebagian wanita yang lainnya, terutama yang lebih tua (yang dituakan seperti halnya pemimpin agama atau pemimpin masyarakat), mereka yang memiliki hubungan kekerabatan dengan yang berduka atau mereka yang memiliki kedekatan hubungan seperti halnya sahabat karib akan dengan segera bergabung dengan anggota keluarga inti yang berduka

  40

  untuk memberi penghiburan (pendampingan) . Ada yang memang terbiasa membantu menenangkan manakala ada yang menangis dengan histeris, atau sekedar duduk berkumpul di sekitaran jenasah yang sudah selesai di suceni. Ada juga beberapa wanita yang merangkai bunga-bunga untuk hiasan keranda (tempat untuk mengusung jenasah), karangan bunga untuk hiasan di atas makam atau juga untuk bunga tabur yang nantinya akan ditaburkan di sepanjang jalan yang akan dilalui oleh iring-iringan usungan jenasah almarhum.

  41

  42 Menurut pengalaman Saryo dan Suwignyo yang diungkapan dengan pernyataan

  yang senada;

  “Saestu pak, nalika kula ningali bilih kathah sederek ingkang rawuh wonten griya

kula, raos sedih kula radi kirang, awit kula ngraosno bilih kathah tiyang ingkang ntresnani

38 39 Wawancara dengan Imawati pada tanggal 17 Juni 2017 WIB. 40 Wawancara dengan Suci Rahayu pada tanggal 18 Juni 2017 WIB. 41 Wawancara dengan Imawat pada tanggal 17 Juni 2017 WIB.

  Saryo adalah informan yang mengalami kedukaan karena meninggalnya Suwarni istrinya pada bulan maret 2017.

  

brayat kula”. Bagi mereka, kehadiran para pemimpin masyarakat, agama, kerabat, tetangga dan

  para wanita yang duduk menemani keluarga yang berduka di sekitar jenasah almarhum sangat besar pengaruhnya bagi jiwa mereka yang sedang tergunjang karena kesedihan. Mereka yang duduk menemani keluarga di samping jenasah, dirasakan bagi yang berduka sebagai kekuatan besar bagi yang berduka dalam melewati masa-masa sulit tersebut.

  Setelah prosesi nyuceni layon selesai, maka keluarga dan warga akan segera meletakkan

  

layon (Jenasah) di ruangan tengah di atas pandosa (balai-balai kecil untuk menidurkan jenasah),

  semua lubang yang ada di badan layon akan di tutup dengan kapas, lalu layon diberi pakaian yang terbaik yang dimiliki saat masih hidup, atau kadang juga dikenakan pakaian yang baru serta sedikit didandani. Memang bagi yang beragama muslim, hanya dibungkus kain mori (kafan)

  43 dengan diikat di tiga tempat yaitu di bagian kaki, pinggang dan atas kepala .

  3.5. Persiapan Pemberangkatan Jenasah.

  Pemakaman orang Jawa di Sembaturagung (apapun agama yang dianut) akan dilaksanakan secepat mungkin sesudah kematian. Walaupun mungkin ada beberapa yang harus menunggu sanak keluarga yang kebetulan berada di tempat yang jauh, namun pada umumnya masyarakat akan berusaha secepat mungkin memakamkan jenasah saudaranya atau kerabatnya yang meninggal tersebut. Sekalipun nilai-nilai agama sudah mulai mewarnai pemahaman masyarakat Jawa di kota Pati, namun kepercayaan lokal hasil warisan leluhur ternyata masih tetap dihidupi. Masyarakat Jawa mempercayai bahwa jenasah orang yang meninggal harus

  44

  sesegera mungkin di makamkan agar rohnya tidak berkeliaran tanpa arah. Masyarakat Jawa mempercayai bahwa jika jasad seseorang yang meninggal dibiarkan berlama-lama dan tidak segera dikebumikan maka rohnya tidak bisa segera kembali ke tempatnya yang layak, namun akan berkeliaran tidak menentu seperti burung yang mencari sarangnya. Itulah juga yang menjadi alasan mengapa ketika ada orang yang meninggal dunia, anak-anak kecil dilarang untuk mendekat, sebab anak-anak masih rentan untuk dihinggapi oleh roh orang yang meninggal dunia.

  Setelah semuanya sudah siap, maka upacara pemberangkatan jenasah menuju ke pemakamannya akan dilakukan dengan diawali memanjatkan doa-doa khusus yang dipanjatkan kepada Yang Murbeng Gesang (manakala yang meninggal adalah penganut aliran kepercayaan Kejawen), bagi yang beragama Islam akan disholatkan dan dibacakan beberapa ayat suci Alquran, sementara bagi yang beragama kristen akan segera dilaksanakan ibadah Panguntape

  

layon (Ibadah pemberangkatan jenasah menuju tempat peristiratan yang terakhir). Setelah proses

  45 doa-doa selesai, maka jenasah akan segera diusung untuk dibawa ke pemakaman .

  Biasanya jenasah akan dipikul oleh empat atau enam pria yang akan membawanya sampai ke liang lahat. Sebelum usungan pergi meninggalkan rumah duka, biasanya akan berhenti

  46

  sejenak di depan pintu atau halaman rumah duka untuk melakukan prosesi brobosan . Brobosan adalah sebuah ritual dimana kerabat atau keluarga berlari-lari kecil secara bolak-balik di bawah usungan yang diangkat itu sebagai lambang bahwa segenap keluarga merelakan dengan iklas

  47

  yang meninggal itu pergi ke alam baka atau sangkan paraning dumadi . Ritual ini menjadi pertanda bahwa jiwa mereka telah iklas dan tenang melepaskan almarhum pergi, perasaan mereka dibuat tenang sehingga tidak ada lagi yang akan menghalang-halangi kepergian almarhum ke tempat peristirahatannya yang terakhir (beberapa tahun terakhir ini prosesi

  

brobosan di kalangan kristiani sudah jarang dilakukan) . Pada umumnya yang memimpin proses

  ini adalah dari anggota keluarga yang paling tua. Proses brobosan tersebut

  brobosan

  dilangsungkan dengan tata cara sebagai berikut:

  1.Peti mati di bawa ke luar menuju ke halaman rumah dan dijunjung tinggi ke atas setelah upacara doa lematian selesai. 2. Anak laki-laki tertua, anak perempuan, cucu laki-laki dan cucu perempuan akan berjalan berurutan melewati pati jenasah yang berada di atas mereka (mrobos) sebanyak tiga kali searah jarum jam. 3.Urutan akan selalu diawali dengan anak laki-laki tertua dan keluarga inti berada diurutan pertama,

  48 anak yang lebih muda beserta keluarganya mengikuti di belakangnya.

  45 46 Wawancara dengan Parmo pada tanggal 20 Agustus 2017 WIB. 47 Wawancara dengan Sriyono pada tanggal 20 agustus 2017 WIB.

  Suwardi Endraswara. Agama Jawa: Ajaran, Amalan dan Asal-usul Kejawen. (Yogyakarta: Narasi-Lembu

  Setelah itu usungan jenasah akan segera dipikul beberapa pria yang secara bergantian mengusungnya ke pemakaman. Mereka yang diwajibkan untuk memikul usungan jenasah almarhum adalah semua kerabat laki-laki dan sahabat karib harus ikut merasakan berat jenasah ini, tujuannya supaya mereka yang bergantian memikul ini juga merasakan beratnya berpisah

  49

  dengan orang yang mereka cintai tersebut. Sebagian besar yang hadir di rumah duka akan mengikuti dari belakang usungan jenasah tersebut sampai dipemakaman.

  3.6. Pemakaman Jenasah.

  Upacara di pemakaman akan berlangsung dengan singkat, jenasah diangkat dan di turunkan di liang lahat dan segera di upacarai sesuai dengan kepercayaan yang dianut oleh almarhum, apapun bentuk kepercayaan yang dianut, upacara pemakaman akan selalu dilaksanakan dengan cepat. Sebelum liang lahat ditutup dengan tanah secara penuh biasanya pihak keluarga akan dengan simbolis melemparkan gumpalan-gumpalan tanah kecil sebagai tanda bahwa mereka iklas ikut mengembalikan layon almarhum kembali ke asalnya, yaitu

  50

  kembali ke tanah atau bumi . Setelah timbunan liang lahat sudah selesai dan membentuk gundukan seperti bukit kecil maka nisan atau pathok di tanjapkan sebagai pertanda makam serta ditaburi bunga-bunga. Rangkaian prosesi ini biasanya diakhiri dengan pidato atau sambutan dari wakil keluarga atau perangkat desa mengenai ucapan terima kasih kepada segenap warga yang sudah membantu semua proses pemakaman almarhum ini, sambutannya biasanya sangat singkat.

  Segera setelah upacara pemakaman selesai, maka sebagian besar warga yang datang akan kembali ke rumah dan ke tempat pekerjaan mereka yang tadinya mereka tinggalkan.

  Namun malamnya, mereka akan datang kembali untuk Njagong di rumah duka untuk menemani keluarga almarhum melewati kedukaannya. Yang langsung kembali ke rumah duka pasca pemakaman biasanya hanya keluarga inti, sahabat karib dan tetangga yang akan mempersiapkan

  51 untuk acara Njagong kematian pada malam harinya . 49 Wawancara dengan Sriyono pada tanggal 20 Agustus 2017 WIB.

  3.7. Upacara Slametan.

  Pada malam harinya para keluarga dan kerabat akan mengadakan upacara selametan untuk memperingati arwah almarhum dengan mengundang semua orang yang telah memberikan bantuan serta sumbangan yang berupa materi maupun non materi. Setiap slametan yang diadakan selalu dilakukan doa bersama untuk arwah almarhum maupun untuk keluarga yang ditinggalkan. Rata-rata pertemuan dalam ritual doa ini berlangsung selama 1,5-2 jam. Joko

52 Susilo menuturkan bahwa maksud dari acara selametan ini adalah:

  Pertama, Mendoakan arwah almarhum agar segera diampuni dosa-dosanya dan segera mendapat tempat yang layak di sisi Yang Maha Kuasa. Kedua, Mendoakan anggota keluarga yang ditinggalkan almarhum agar senantiasa tatag (tegar), iklas dan ara ana

  apa-apa (tidak terjadi hal-hal yang buruk selepas kepergian almarhum, itulah inti

  penggunaan istilah selametan). Ketiga, Sebagai sebuah proses untuk tetap memelihara hubungan dengan almarhum sekalipun almargum sudah tidak bersama dengan mereka. Masyarakat Sembaturagung mempercayai bahwa dengan terus memelihara hubungan baik dengan almarhum akan mendatangkan kebaikan bagi hidup mereka di dunia ini.

  Acara doa selametan yang berhubungan dengan kematian juga akan terus diadakan oleh keluarga pada hari ke tiga selepas kematian almarhum (Nigang ndinteni), hari ke empat puluh (Ngawandasa dinten), hari ke seratus (Nyatus), peringatan setahun meninggalnya

  ), peringatan dua tahun meninggalnya (Mendhak kaping kalih), peringatan ke

  (Mendhak sepisan

  seribu harinya (Nyewu), dan yang terakhir adalah peringan ke dua ribu yang di kenal dengan

  

Lepas/lepase. Tetapi jika yang meninggal masih anak-anak, maka cukup diadakan sampai hari

  53

  yang ke seratus saja dengan istilah Selametan/sedhekah Ngesah. Setelah peringatan hari ke seribu dan lepase maka oleh keluarga dan kerabat dianggap bahwa tanggung jawabnya kepada almarhum dianggap sudah selesai. Akan tetapi masyarakat di Sembaturagung masih tetap memelihara ikatan emosional dan spiritual dengan almarhum tetap ada, itulah sebabnya setiap hari-hari tertentu seperti malam jumat atau menjelang hari besar Jawa (Satu Syuro) serta hari raya besar agama mereka akan mengunjungi makamnya untuk Nyekar. 52 Wawancara dengan Joko Susilo diadakan pada tanggal 18 Juni 2017 WIB. Joko Susilo adalah salah

Dokumen yang terkait

A. Bagian Pertama “Me’is Esa” - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Esa Neme Sosona Losa Mate’Ena: Sebuah Komposisi Musik Program untuk Ansambel Musik

0 0 22

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pengembangan Supervisi Pengawas Melalui Teknik Workshop untuk Meningkatkan Kompetensi Supervisi Kepala Sekolah

0 0 12

BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1.1.Pengertian Manajemen - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pengembangan Supervisi Pengawas Melalui Teknik Workshop untuk Meningkatkan Kompetensi Supervisi Kepala Sekolah

0 0 26

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1. Langkah Pengembangan Model 4.1.1.Potensi dan Masalah 1. Perencanaan (Planning) - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pengembangan Supervisi Pengawas Melalui Teknik Workshop untuk Mening

0 0 32

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pengembangan Supervisi Pengawas Melalui Teknik Workshop untuk Meningkatkan Kompetensi Supervisi Kepala Sekolah

0 0 73

BAB I Pendahuluan - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Modal Sosial dalam Hubungan Mutual Islam–Kristen di Desa Prangat Baru Marang Kayu

0 0 14

BAB II Hubungan Lintas Agama dan Modal Sosial - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Modal Sosial dalam Hubungan Mutual Islam–Kristen di Desa Prangat Baru Marang Kayu

0 1 14

BAB III Hubungan Lintas Agama Di Prangat Baru Marang Kayu - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Modal Sosial dalam Hubungan Mutual Islam–Kristen di Desa Prangat Baru Marang Kayu

0 0 15

BAB IV Kala Putnam Datang ke Desa Prangat Baru - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Modal Sosial dalam Hubungan Mutual Islam–Kristen di Desa Prangat Baru Marang Kayu

0 0 11

BAB II - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Jagongan sebagai Pendampingan Pastoral Budaya: Kajian Pastoral Budaya kepada Warga Jemaat GITJ Sembaturagung-Pati yang Mengalami Kedukaan

0 2 24