BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Paradigma Konstruktivisme - Konstruksi Pemahaman Wartawan Terhadap UU KIP (Studi Dengan Pendekatan Konstruktivisme Terhadap Wartawan Aliansi Jurnalis Independen Cabang Medan Dalam Memahami Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Paradigma Konstruktivisme

  Paradigma adalah salah satu cara pandang untuk memahami kompleksitas dunia nyata. Paradigma tertanam kuat dalam sosialisasi para penganut dan praktisinya. Paradigma menunjukkan pada mereka apa yang penting, absah dan masuk akal. Paradigma juga bersifat normatif, menunjukkan kepada praktisinya apa yang harus dilakukan tanpa perlu melakukan pertimbangan eksistensial atau epistemologis yang panjang (Mulyana, 2003:9).

  Paradigma yang dipakai dalam penelitian ini adalah paradigma konstruktivisme. Paradigma konstruktivisme adalah paradigma yang hampir merupakan antitesis dari paham yang meletakkan pengamatan dan objektivitas dalam menemukan suatu realitas dalam ilmu pengetahuan. Paradigma ini memandang ilmu sosial sebagai analisis sistematis terhadap socially meaningful action melalui pengamatan secara langsung dan terperinci terhadap pelaku sosial yang bersangkutan menciptakan dan memelihara atau mengelola dunia sosial mereka (Hidayat, 2003:3).

  Untuk konstruktivisme, sejarahnya dapat dirunut pada teori Popper yang membedakan pengertian alam semesta menjadi tiga bagian. Pertama, dunia fisik atau keadaan fisik. Kedua, dunia kesadaran atau mental atau disposisi tingkah laku.

  Ketiga, dunia dari isi objektif pemikiran manusia, khususnya pengetahuan ilmiah,

  puitis, dan seni. Menurutnya, objektivisme tidak dapat dicapai pada dunia fisik melainkan melalui dunia pemikiran manusia. Pemikiran inilah yang kemudian berkembang menjadi konstruktivisme yang tidak hanya menyajikan batasan baru mengenai keobjektifan melainkan juga batasan baru mengenai kebenaran dan pengetahuan manusia (Ardianto & Q Anees, 2007:153). Namun, apabila ditelusuri lebih dalam, sebenarnya gagasan-gagasan pokok konstruktivisme telah dimulai oleh konstruktivisme (Suparno, 1997:24).

  Kritik kaum konstruktivisme terhadap positivisme yang meyakini pengetahuan harus merupakan representasi (gambaran atau ungkapan) dari kenyataan dunia yang terlepas dari pengamat (objektivisme). Konstruktivisme menolak keyakinan tersebut karena pengetahuan bukanlah gambaran dunia keyataan yang ada. Menurut mereka pengetahuan justru selalu merupakan akibat dari suatu konstruksi kognitif. Selanjutnya, mereka menjelaskan bahwa subjek pengamat tidaklah kosong dan tanpa terlibat dalam tindak pengamatan. Kemudian keberadaan realitas tidak hadir begitu saja pada benak subjek pengamat. Menurut mereka, realitas ada karena pada diri manusia terdapat skema, kategori, konsep, dan struktur pengetahuan yang berkaitan dengan objek yang diamati (Ardianto & Q Anees, 2007:154).

  Menurut Driver dan Bell dalam Bettencourt (1989), ilmu pengetahuan bukanlah hanya kumpulan hukum atau daftar fakta. Ilmu pengetahuan adalah ciptaan pikiran manusia dengan semua gagasan dan konsepnya yang ditemukan secara bebas. Untuk menemukan kenyataan yang sebenarnya, tidak cukup dengan hanya mengamati objek yang ada. Ada dunia yang berbeda yakni dunia kenyataan dan dunia pengertian. Maka dari itu, untuk menjembatani keduanya diperlukan proses konstruksi imajinatif.

  Para konstruktivis percaya bahwa pengetahuan itu ada dalam diri seseorang yang sedang mengetahui. Pada proses komunikasi, pesan tidak dapat dipindahkan begitu saja dari otak seseorang kepada orang lain. Penerima pesan sendirilah yang harus mengartikan apa yang telah diajarkan dengan menyesuaikan terhadap pengalaman mereka. Substansi penting dari perspektif konstruktivisme ini adalah bahwa pengetahuan bukanlah tertentu dan deterministik, tetapi suatu proses menjadi tahu. Pentingnya pengalaman dalam proses pengetahuan membuat proses konstruksi membutuhkan tiga proses. Pertama, kemampuan mengingat dan mengungkapkan kembali pengalaman. Kedua, kemampuan membandingkan, mengambil keputusan yang lain.

  Pieget (1970) telah membedakan dua aspek berfikir dalam pembentukan pengetahuan, yakni aspek figuratif dan aspek operatif. Aspek figuratif a dalah imajinasi keadaan sesaat dan statis. Aspek operatif lebih berkaitan dengan transformasi dari satu level ke level lain. Dengan kata lain, aspek yang lebih esensial dari berfikir adalah aspek operatif. Berfikir seperti inilah yang memungkinkan seseorang untuk mengembangkan pengetahuan dari satu level tertentu ke level yang lebih tinggi (Ardianto & Q Anees, 2007:154-155).

  Secara ringkas gagasan konstruktivisme mengenai pengetahuan dapat dirangkum sebagai berikut : a. Pengetahuan bukanlah merupakan gambaran dunia kenyataan belaka, tetapi selalu merupakan konstruksi kenyataan melalui kegiatan subjek.

  b.

  Subjek membentuk skema kognitif, kategori, konsep, dan struktur yang perlu untuk pengetahuan.

  c.

  Pengetahuan dibentuk dalam struktur konsepsi seseorang. Struktur konsepsi membentuk pengetahuan bila konsepsi itu berlaku dalam berhadapan berhadapan dengan pengalaman-pengalaman seseorang (Ardianto & Q Anees, 2007:155).

  Konstruktivisme memang merujukkan pengetahuan pada konstruksi yang sudah ada di benak subjek. Namun konstruktivisme juga meyakini bahwa pengetahuan bukanlah hasil sekali jadi, melainkan proses panjang sejumlah pengalaman. Banyak situasi yang memaksa atau membantu seseorang untuk mengadakan perubahan terhadap pengetahunannya. Perubahan inilah yang akan mengembangkan pengetahuan seseorang. Menurut Bettencourt, situasi perubahan tersebut meliputi; konteks tindakan, konteks membuat masuk akal, konteks penjelasan dan konteks pembenaran (Ardianto & Q Anees, 2007:156-157). untuk memahami realitas objektif belaka dan dipisahkan dari subjek sebagai penyampai pesan. Konstruktivisme menganggap subjek sebagai faktor sentral dalam kegiatan komunikasi serta hubungan-hubungan sosialnya. Subjek memiliki kemampuan untuk melakukan kontrol terhadap maksud-maksud tertentu dalam setiap wacana. Komunikasi dipahami, diatur dan dihidupkan oleh pernyataan-pernyataan yang bertujuan. Setiap pernyataan pada dasarnya adalah tindakan penciptaan makna, yakni tindakan pembentukan diri serta pengungkapan jati diri sang pembicara. Oleh karena itu analisis dapat dilakukan demi membongkar maksud dan makna-makna tertentu dari komunikasi (Ardianto & Q Anees, 2007:151).

  Konstruktivisme berpendapat bahwa semesta secara epistimologi merupakan hasil konstruksi sosial. Pengetahuan manusia adalah konstruksi yang dibangun dari proses kognitif dengan interaksinya dengan dunia objek material. Pengalaman manusia terdiri dari interpretasi bermakna terhadap kenyataan dan bukan reproduksi kenyataan. Dengan demikian dunia muncul dalam pengalaman manusia secara terorganisasi dan bermakna. Maka dari itu, konstruktivisme percaya bahwa tidak ada pengetahuan yang koheren, sepenuhnya transparan dan independen dari subjek yang mengamati (Ardianto & Q Anees, 2007:151-152).

  Selain itu, menurut para konstruktivis semesta adalah suatu konstruksi, artinya bahwa semesta bukan dimengerti sebagai semesta yang otonom akan tetapi dikonstruksi secara sosial dan karenanya plural. Mereka juga menolak pengertian ilmu sebagai yang “terberi” dari objek terhadap subjek yang mengetahui. Menurut mereka kedua unsur tersebut sama-sama berperan dalam mengkonstruksi ilmu pengetahuan. Dengan demikian, paradigma konstruktivisme mencoba menjembatani dualisme objektivisme-subjektivisme dengan mengafirmasi peran subjek dan objek dalam konstruksi ilmu pengetahuan. Konsekuensinya, kaum konstrukvis menganggap bahwa tidak ada makna yang mandiri, tidak deskripsi yang murni objektif. Kita tidak dapat secara transparan melihat “apa yang ada disana” atau sebaliknya tanpa

  (Ardianto & Q Anees, 2007:152).

  Bahasa merupakan hasil kesepakatan sosial serta memiliki sifat yang tidak permanen sehingga terbuka dan mengalami proses evolusi. Berbagai versi tentang objek-objek dan tentang dunia muncul dari berbagai komunitas sebagai respons terhadap tertentu, sebagai upaya mengatasi masalah tertentu dan cara memuaskan kebutuhan dan kepentingan tertentu. Masalah kebenaran dalam konstruktivis bukan lagi permasalahan fondasi atau representasi, melainkan kesepakatan pada komunitas tertentu (Ardianto & Q Anees, 2007:153).

2.1.1 Konstruktivisme Dalam Ilmu Komunikasi

  Dalam ilmu komunikasi, konstruktivisme adalah pendekatan teoritis yang dikembangkan tahun 1970-an oleh Jesse Delia dan rekan-rekannya. Relevansi penggunaan teori ini pada waktu tersebut untuk meneliti komunikasi antarpersonal yang dikembangkan para akademisi secara sistematik dengan membuat peta terminologi secara teoritik dan hubungan-hubungannya dengan mengelaborasi sejumlah asumsi serta uji coba teori dalam ruang lingkup situasi produksi pesan. Robyn Penmann merangkum kaitan konstruktivisme dalam hubungannya dengan ilmu komunikasi : a.

  Tindakan komunikatif sifatnya sukarela. Pembuat komunikasi adalah subjek yang memiliki pilihan bebas, walaupun lingkungan sosial membatasi apa yang dapat dan telah dilakukan.

  b.

  Pengetahuan adalah sebuah produk sosial. Pengetahuan bukan sesuatu yang objektif melainkan diturunkan melalui interaksi dalam kelompok sosial.

  Pengetahuan itu dapat ditemukan dalam bahasa, melalui bahasa itulah konstruksi realitas tercipta.

  c. Pengetahuan merupakan produk yang dipengaruhi ruang dan waktu yang dapat berubah sesuai pergeseran waktu.

  Teori-teori menciptakan dunia. Teori bukanlah alat, melainkan suatu cara pandang yang ikut memengaruhi cara pandang kita terhadap realitas. Jadi, dunia dapat dikatakan sebagai hasil pemahaman manusia atas kenyataan diluar dirinya.

  e.

  Pengetahuan bersifat sarat nilai (Ardianto & Q Anees, 2007:157-158).

  Teori konstruktivisme menyatakan bahwa individu menginterpretasikan dan bereaksi menurut kategori konseptual dari pikiran. Realitas tidak menggambarkan diri individu namun harus disaring melalui cara pandang orang terhadap realitas tersebut. George Keely menegaskan cara pemahaman pribadi seseorang dilakukan dengan pengelompokan peristiwa menurut persamaan dan perbedaannya. Perbedaan tersebut menjadi dasar penilaian sistem kognitif individual yang bersifat pribadi dan karenanya berbeda dengan konstruksi sosial. Aliran ini meyakini bahwa sistem kognitif individu berkembang kompleks (Ardianto & Q Anees, 2007:158-159).

2.2 Konstruksi Realitas Sosial

  Menurut Suparno, konstruksi sosial berawal dari filsafat konstruktivisme yang dimulai dari gagasan-gagasan konstruktif kognitif. Sedangkan istilah konstruksi sosial atas realitas menjadi terkenal sejak diperkenalkan oleh Peter L. Berger dan Thomas Lukcmann melalui bukunya yang berjudul “The Social Constructions of

  Reality, a Treatise in the Sosiological of Knowladge ” (Bungin, 2008:188).

  Dalam pandangan paradigma definisi sosial, realitas adalah hasil ciptaan manusia kreatif melalui kekuatan konstruksi sosial terhadap dunia sosial sekelilingnya. Dunia sosial itu menurut George Simmel (dalam Bungin, 2008:82) bahwa realitas dunia sosial berdiri sendiri di luar individu yang menurut kesan kita bahwa realitas itu “ada” dalam diri sendiri dan hukum yang menguasainya. Realitas sosial itu “ada” dilihat dari sisi subjektivitas “ada” itu sendiri dan dunia objektif disekeliling realitas sosial itu. Sedangkan menurut Max Weber realitas sosial adalah perilaku sosial yang memiliki makna subjektif, karena itu perilaku memiliki tujuan dan motivasi. Lebih lanjut, ia menjelaskan bahwa kalau yang dimaksud dengan kelakuan orang lain dan mengarahkan kepada subjektif itu. Perilaku itu memiliki kepastian kalau menunjukkan keseragaman dengan perilaku pada umumnya dalam masyarakat (Veeger, 1993:171).

  Secara definitif, teori konstruksionisme sosial (constructionism social) menurut Denis McQuail adalah ide mengenai masyarakat sebagai sebuah realitas objektif yang menekan individu dilawan dengan pandangan alternatif (yang lebih liberal) bahwa struktur, kekuatan dan ide mengenai masyarakat dibentuk oleh manusia secara terus menerus dibentuk dan diproduksi ulang dan juga terbuka untuk diubah dan kritik. Selanjutnya, ia menjelaskan bahwa ada penekanan secara umum terhadap kemungkinan untuk tindakan dan juga pilihan dalam memahami realitas. Realitas sosial harus dibuat dan diberikan makna (ditafsirkan) oleh aktor manusia (McQuail, 2011:110).

  Pada kenyataannya, realitas sosial tidak berdiri sendiri tanpa kehadiran individu baik didalam maupun diluar realitas tersebut. Realitas sosial itu memiliki makna ketika realitas sosial dikonstruksi dan dimaknakan secara subjektif oleh individu lain sehingga memantapkan realitas itu secara objektif. Individu mengkonstruksi realitas sosial dan merekonstruksinya dalam dunia realitas, memantapkan realitas itu berdasarkan subjektifitas individu lain dalam institusi sosialnya (Bungin, 2008:82).

2.2.1 Karakteristik Realitas Sosial

  Menurut Soetandyo Wingnyosoebroto (2004), bahwa realitas sosial itu memiliki realitas ganda (double reality), di satu sisi memiliki realitas fakta sosial dan di sisi lain adalah sistem normatif. Realitas fakta sosial adalah sistem yang tersusun atas segala apa yang senyatanya di dalam kenyataan yang ada. Sistem normatif adalah sistem yang berada di dalam mental yang membayangkan segala apa yang seharusnya ada. Dengan demikian, fakta sosial terdiri dari dua bentuk, yakni fakta sosial yang kentara dan fakta sosial yang abstrak atau tak kentara. Dengan kata lain, suatu fakta setiap cara bertingkah laku yang umum di dalam masyarakat, yang pada saat waktu bersamaan tidak bergantung pada manifes individual (Bungin, 2008:83).

  Sztompka (2004) juga membagikan realitas sosial kedalam dua bagian, yakni realitas potensial dan realitas aktual. Realitas potensial adalah realitas yang secara potensial dapat diungkapkan oleh peneliti melalui pengamatan yang mendalam dan kajian yang panjang. Sedangkan realitas aktual adalah realitas yang dapat langsung diamati melalui pengindraan (Bungin, 2008:83).

  Menurut Berger dan Lukcmann, realitas sosial ada tiga macam, yakni realitas objektif, realitas simbolis dan realitas intersubjektif. Realitas objektif adalah realitas yang terbentuk dari pengalaman di dunia objektif yang berada di luar individu dan realitas ini dianggap sebagai kenyataan. Realitas simbolis merupakan ekspresi simbolis dari realitas objektif dalam berbagai bentuk. Sedangkan realitas subjektif adalah realitas yang terbentuk sebagai proses penyerapan kembali realitas objektif dan simbolis ke dalam individu melalui proses internalisasi (Subiakto, 1997:93).

2.2.2 Realitas Sosial Bentukan Konstruksi Sosial

  Berger dan Luckmann memulai penjelasan realitas sosial dengan memisahkan pemahaman “kenyataan” dan “pengetahuan”. Realitas diartikan sebagai kualitas yang terdapat di dalam realitas-realitas, yang diakui memiliki keberadaan (being) yang tidak bergantung kepada kehendak kita sendiri. Sedangkan pengetahuan didefinisikan sebagai kepastian bahwa realitas-realitas itu nyata (real) dan memiliki karakteristik yang spesifik. Selanjutnya, mereka mengatakan bahwa institusi masyarakat tercipta dan dipertahankan atau diubah melalui tindakan dan interaksi manusia. Meskipun masyarakat dan institusi sosial terlihat nyata secara objektif, namun pada kenyataannya semuanya dibangun dalam definisi subjektif melalui proses interaksi. Objektivitas baru bisa terjadi melalui penegasan berulang-ulang yang diberikan oleh orang lain yang memiliki definisi subjektif yang sama. Pada tingkat generalitas yang paling tinggi, manusia menciptakan dunia dalam makna simbolis yang universal, bentuk-bentuk sosial serta memberi makna pada berbagai bidang kehidupannya. Pendek kata, Berger dan Luckmann mengatakan terjadi dialektika antara individu menciptakan masyarakat dan masyarakat menciptakan individu (Bungin, 2008:191).

  Menurut Berger dan Luckmann proses dialektika yang terjadi dalam masyarakat seperti yang sudah penulis jelaskan di atas berlangsung dalam tiga momen simultan. Pertama, eksternalisasi (penyesuaian diri) dengan dunia sosiokultural sebagai produk manusia. Kedua, objektivasi yaitu interaksi sosial yang terjadi dalam dunia intersubjektif yang dilembagakan atau mengalami proses institusionalisasi. Ketiga , internalisasi yaitu proses yang mana individu mengidentifikasikan dirinya dengan lembaga-lembaga sosial tempat individu menjadi anggotanya (Bungin, 2008:193).

  Eksternalisasi adalah bagian penting dalam kehidupan individu dan menjadi bagian dari dunia sosiokulturalnya. Dengan kata lain, eksternalisasi terjadi pada tahap yang sangat mendasar, dalam satu pola interaksi antara individu dengan produk- produk sosial masyarakatnya. Maksud dari proses ini adalah ketika sebuah produk sosial telah menjadi bagian penting dalam kehidupan seseorang untuk melihat dunia luar. Menurut Berger dan Lukcmann yang perlu ditekankan bahwa eksternalisasi itu sebuah keharusan antropologis yang berakar dalam perlengkapan biologis manusia. Keberadaan manusia tak mungkin berlangsung dalam suatu lingkungan interioritas yang tertutup dan tanpa gerak. Manusia harus terus-menerus mengeksternalisasikan dirinya dalam aktivitas. Dengan demikian, tahap eksternalisasi ini berlangsung ketika produk sosial tercipta di dalam masyarakat, kemudian individu mengeksternalisasikan (penyesuaian diri) ke dalam dunia sosiokulturalnya sebagai bagian dari produk manusia (Bungin, 2008:194).

  Tahap objektivasi produk sosial terjadi dalam dunia intersubjektif masyarakat yang dilembagakan. Pada tahap ini sebuah produk sosial berada pada proses institusionalisasi, sedangkan individu oleh Berger dan Lukcmann dikatakan bagi produsen-produsennya, maupun bagi orang lain sebagai unsur dari dunia bersama. Objektivasi ini bertahan lama sampai melampaui batas tatap muka di mana mereka dapat dipahami secara langsung (Bungin, 2008:194).

  Dengan demikian, individu melakukan objektivasi terhadap produk sosial, baik penciptanya maupun individu lain. Kondisi ini berlangsung tanpa mereka saling bertemu. Artinya, objektivasi itu bisa terjadi melalui penyebaran opini sebuah produk sosial yang berkembang di masyarakat melalui diskursus opini masyarakat tentang produk sosial, dan tanpa harus terjadi tatap muka antar individu dan pencipta produk sosial itu (Bungin, 2008:195).

  Menurut Berger dan Lukcmann (dalam Bungin, 2008:195), hal terpenting dalam objektivasi, yakni pembuatan tanda-tanda oleh manusia. Lebih lanjut ia menjelaskan bahwa sebuah tanda (sign) dapat dibedakan dari objektivasi-objektivasi lainnya keran tujuannya yang eksplisit untuk digunakan sebagai isyarat atau indeks bagi pemaknaan subjektif, maka objektivasi juga dapat digunakan sebagai tanda meskipun semula tidak dibuat untuk maksud itu.

  Selanjutnya ia menjelaskan bahwa sebuah wilayah penandaan (signifikasi) menjembatani wilayah-wilayah kenyataan, dapat didefinisikan sebagai sebuah simbol dan modus linguistik, dengan apa trensendensi seperti itu dicapai, dapat juga dinamakan bahasa simbol. Kemudian pada tingkat simbolisme, signifikasi linguistik terlepas secara maksimal dari “di sini dan sekarang” dalam kehidupan sehari-hari. oleh karena itu, bahasa memegang peranan penting dalam objektivasi terhadap tanda- tanda dan bahkan tidak saja dapat memasuki wilayah de facto, melainkan juga a

  

priori yang berdasarkan kenyataan lain, tidak dapat dimasuki dalam pengalaman

sehari-hari.

  Dengan demikian, yang terpenting dalam tahap objektivasi ini adalah melakukan signifikasi, memberikan tanda bahasa dan simbolisasi terhadap benda yang disignifikasi, melakukan tipifikasi terhadap kegiatan seseorang yang kemudian kompleks (Bungin, 2008:196).

  Internalisasi dalam arti umum merupakan dasar bagi pemahaman mengenai “sesama saya” yaitu pemahaman individu dan orang lain serta pemahaman mengenai dunia sebagai sesuatu yang maknawi dari kenyataan sosial. Pemahaman ini bukanlah hasil dari penciptaan makna secara otonom oleh individu-individu yang terisolasi, melainkan dimulai dengan individu yang “mengambil alih” dunia di mana sudah ada orang lain. Pada proses tersebut, individu dapat memodifikasi dunia dan bahkan dapat menciptakan kembali dunia kreatif. Dalam konteks seperti ini, Berger dan Luckmann mengatakan, bagaimanapun juga dalam bentuk internalisasi yang kompleks, individu tidak hanya “memahami” proses subjektif orang lain yang berlangsung sesaat.

  Individu juga “memahami” dunia di mana ia hidup dan dunia itu menjadi dunia individu bagi dirinya. Ini menandai bahwa individu dan orang mengalami kebersamaan dalam waktu, dengan cara yang lebih dari sekadar sepintas lalu, dan juga suatu perspektif komprehensif yang mempertautkan urutan situasi secara intersubjektif. Sekarang masing-masing dari mereka tidak hanya memahami definisi pihak lain tentang kenyataan sosial yang dialaminya bersama, namun mereka juga mendefinisikan kenyataan-keyataan itu secara timbal balik (Bungin, 2008:197-198).

  Individu menurut Berger dan Luckmann (dalam Bungin, 2008:198) dikatakan, mengalami dua proses sosialisasi, yakni sosialisasi primer dan sosialisasi sekunder. Sosialisasi primer merupakan proses, di mana individu terlibat dengan dunia sosial lebih dari sekadar belajar secara kognitif semata-mata. Sosialisasi sekunder adalah proses memperoleh pengetahuan khusus sesuai dengan perannya (role specific

  

knowladge ), di mana peran-peran secara langsung atau tidak langsung berakar dalam

pembagian kerja (Bungin, 2008:198).

  Sifat sosialisasi primer juga dipengaruhi oleh berbagai persyaratan dalam pengalihan cadangan pengetahuan (social stok of knowladge). Persyaratan tersebut oleh Berger dan Luckmann dikatakan, legitimasi tertentu menuntut tingkat legitimasi lainnya. Sosialisasi primer akan berakhir apabila konsep tentang orang lain pada umumnya dan segala sesuatu yang menyertainya, telah terbentuk dan tertanam dalam kesadaran individu. Pada titik ini ia sudah menjadi anggota efektif masyarakat, dan secara subjektif memiliki suatu “diri” dan sebuah dunia (Bungin, 2008:199).

  Dalam sosialisasi sekunder, telah terjadi internalisasi “subdunia” kelembagaan atau yang berlandaskan lembaga. Karena itu, wilayah jangkauan dan sifatnya ditentukan oleh kompleksitas pembagian kerja dan distribusi pengetahuan dalam masyarakat yang menyertainya. Dengan demikian, “subdunia” yang dijelaskan di atas adalah yang diinternalisasi dalam sosialisasi sekunder dan pada umumnya merupakan kenyataan- kenyataan parsial, di mana kenyataan itu berbeda dengan “dunia dasar” yang diperoleh dalam sosialisasi primer. Walaupun demikian “subdunia” itu merupakan kenyataan yang sedikit banyak kohesif, bercirikan komponen normatif, dan efektif maupun yang kognitif (Bungin, 2008:200).

  Proses internalisasi juga melibatkan identifikasi subjektif dengan peran dan norma-normanya yang sesuai. Sifat sosialisasi sekunder, seperti bergantung kepada status prangkat pengetahuan yang bersangkutan di dalam universum simbolis secara keseluruhan. Bagunan sosialisasi sekunder selalu dibangun di atas dunia yang sudah terbentuk dan suatu dunia yang sudah diinternalisasi. Dalam kenyataannya, internalisasi memiliki konsistensi antara internalisasi pertama dengan yang baru. Dengan kata lain, sosialisasi memiliki konsistensi yang bergantung pada masalahnya (Bungin, 2008:200-201).

  Dalam hal bagaimana individu belajar dalam sosialisasi sekunder, maka keterbatasan biologis semakin kurang penting bagi tahap-tahap belajar, yang sekarang ditentukan menurut sifat-sifat intrinsik dari pengetahuan yang hendak dicapai, menuntut struktur landasan pengetahuan itu (Bungin, 2008:200-201).

  Selanjutnya, Berger dan Luckmann mengatakan, sosialisasi tidak pernah lengkap karena selalu ada tantangan memelihara realitas itu, khususnya untuk sempurna itu berakibat terbentuknya konstruksi sosial baru di masyarakat. Inilah proses eksternalisasi yang dimaksud oleh Berger dan Luckmann. Di mana realitas sosial bisa saja menciptakan suatu realitas pencitraan kelas tertentu bagi kelompok - kelompok sosial dibawahnya melalui pemaknaan dalam interaksi simbolis maupun proses totemisme (Bungin, 2008:201-202).

2.3 Wartawan

  Dalam Rinawani (2002:45), istilah wartawan dahulunya dikenal sebagai “kuli tinta atau kuli pena”. Istilah itu berubah dalam satu dekade belakangan ini, yakni “kuli disket”. Perubahan julukan bagi wartawan tersebut didasari dengan pemanfaatan perkembangan teknologi dalam tugasnya. Jika dulunya wartawan menulis berita dengan tinta atau pena, hal itu berubah setelah penerapan teknologi komputerisasi. Namun, meskipun istilah-istilah tersebut berubah, tugas dari wartawan tetap sama, yakni memberikan informasi yang benar bagi masyarakat.

  Pada prinsipnya wartawan adalah orang yang secara teratur melaksanakan kegiatan jurnalistik. Ini berarti wartawan tidak identik dengan orang yang memiliki kartu pers. Walaupun seseorang memiliki seribu kartu pers, tetapi jika dia tidak melakukan kegiatan jurnalistik, dia bukanlah wartawan (Sukardi, 2012:92). Definisi ini pun sejalan dengan Undang-undang Republik Indonesia No. 40 Tahun 1999 Tentang Pers seperti yang termaktub dalam pasal 1 ayat 4, menyatakan wartawan adalah orang yang secara teratur melaksanakan kegiatan jurnalistik.

  Sedangkan menurut Atmadi (1985), wartawan adalah karyawan yang melakukan pekerjaan kewartawanan secara berkesinambungan. Sedangkan kewartawanan adalah pekerjaan/kegiatan/usaha yang sah yang berhubungan dengan pengumpulan, pengolahan dan penyiaran dalam bentuk fakta, pendapat, ulasan, gambar-gambar dan lain-lainnya untuk perusahaan pers, radio, TV dan film (Atmadi, 1985:52). pasal 2 tentang pengertian jurnalis/wartawan adalah orang yang melakukan semua pekerjaan sah yang berhubungan dengan kegiatan jurnalistik seperti pengumpulan, pengolahan dan penyiaran berita opini, ulasan, gambar/ilustrasi, karikatur dan sebagainya dalam bidang komunikasi. Menurut Sukardi (2012:93), meskipun pada prinsipnya semua orang berhak menjadi wartawan, tidaklah berarti pula semua orang otomatis dapat melakukan profesi wartawan. Maka dari itu, profesi warta wan adalah profesi yang honorable (terhormat), mengabdi kepada kepentingan umum dan tunduk kepada hukum dibidang profesinya. Pertama, untuk menjalankan profesi wartawan yang honorable (terhormat) seseorang secara teoritis harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut : a.

  Mencapai standar kompetensi yang sangat tinggi dibidangnya b.

  Menyangkut kepentingan publik c. Mengandung trust atau kepercayaan tinggi dalam relasi pekerja d.

  Tingkat independensinya tinggi e. Penghasilan berdasarkan kinerja f. Memiliki kode etik

  Kedua , profesi wartawan yang mengabdi kepada kepentingan umum,

  memerlukan keterampilan teknis, pengetahuan umum dan kesadaran filosofis mengenai pers. Tanpa itu, seseorang akan sulit menjalankan profesi wartawan yang mengabdi kepada kepentingan publik. Ketiga, pers memiliki pengaruh yang sangat luas terhadap masyarakat. Jika pers diselenggarakan dengan baik, maka pers akan memberikan pengaruh yang baik pula. Pada akhirnya pers juga sangat berhubungan dengan pelaksanaan hukum. Maka seorang wartawan setidaknya harus patuh dan taat kepada prinsip hukum dan keadilan terutama yang berhubungan dengan kemerdekaan berekspresi (Sukardi, 2012:93-94).

  Peraturan Dewan Pers (dalam Sukardi, 2012:94), tentang standar kompetensi wartawan yang telah dirumuskan bahwa yang dimaksud dengan standar kompetensi wartawan (SKW) adalah rumusan kemampuan kerja yang mencakup aspek pengetahuan, keteranpilan/keahlian dan sikap kerja yang relevan dengan pelaksanaan tugas kewartawanan. Standar kompetensi wartawan mengikuti piramida sebagai berikut ini :

  

Gambar : 1

Model dan Kategori Kompetensi

Kesadaran Etika dan Hukum

  Kepekaan Jurnalistik, jejaring dan lobi Pengetahuan Peliputan umum, teori dan prinsip jurnalistik Pengetahuan khusus

  Keterampilan Peliputan (6M), Riset/Investigasi, Penggunaan alat dan teknologi, informasi, analisis/arah pemberitaan

  Sumber : Sukardi, 2012 : 95 Kesadaran atau awarenes

  Dalam melaksanakan pekerjannya wartawan dituntut menyadari norma-norma etika dan ketentuan hukum. Garis besar kompetensi kesadaran wartawan yang diperlukan bagi peningkatan kinerja dan profesionalisme wartawan adalah kesadaran etika dan hukum, kepekaan jurnalistik, jejaring dan lobi.

  Pengetahuan atau knowledge umum, serta pengetahuan khsusu. Wartawan juga perlu mengetahui berbagai perkembangan informasi mutakhir dibidangnya termasuk pengetahuan umum, pengetahuan khusus dan pengetahuan teori dan prinsip jurnalistik. Keterampilan atau skill

  Wartawan mutlak harus menguasai keterampilan jurnalistik. Selain itu, wartawan juga harus mampu melakukan riset, investigasi, analisis dan penentuan arah pemberitaan serta keterampilan, menggunakan alat kerjanya termasuk teknologi informasi (Sukardi, 2012:97-98).

  Jenjang kompetensi wartawan terdiri dari tiga tingkatan, yakni wartawan muda, wartawan madya dan wartawan utama. Diantara tingkatan kompetensi tersebut, ketiganya dituntut memiliki kompetensi masing-masing, yakni wartawan muda harus melakukan kegiatan (tugas jurnalisitk), wartawan madya mengelola kegiatan dan wartawan utama mengevaluasi dan memodifikasi proses kegiatan. Dalam standar kompetensi wartawan di atas, terdapat elemen kompetensi di dalamnya. Yang dimaksud dengan elemen kompetensi adalah bagian kecil unit kompetensi yang mengidentifikasikan aktivitas yang harus dikerjakan untuk mencapai unit kompetensi tersebut. Dalam setiap elemen kompetensi setiap unit harus mencerminkan unsur 6M. Adapun elemen kompetensi wartawan terdiri atas : a.

  Kompetensi umum, yakni kompetensi dasar yang dibutuhkan oleh semua orang yang bekerja sebagai wartawan.

  b.

  Kompetensi inti, yakni kompetensi yang dibutuhkan wartawan dalam melaksanakan tugas-tugas umum jurnalistik.

  c.

  Kompetensi khusus, yakni kompetensi yang dibutuhkan wartawan dalam melaksanakan tugas-tugas khusus jurnalistik (Sukardi, 2012:96-97).

  Dalam standar kompetensi wartawan terdapat kompetensi kunci. Yang dimaksud dengan kompetensi kunci adalah kemampuan yang harus dimiliki kompetensi tertentu. Kompetensi kunci terdiri atas sebelas kategori kemampuan, yakni : a.

  Memahami dan menaati etika jurnalistik

  b. Mengidentifikasi masalah terkait yang memiliki nilai berita c.

  Membangun dan memelihara jejaring dan lobi d.

  Menguasai bahasa

  e. Mengumpulkan dan menganalisis informasi (fakta dan data) dan informasi bahan berita f.

  Menyajikan berita g.

  Menyunting berita h. Merancang rubrik atau halaman pemberitaan dan atau slot program pemberitaan i.

  Manajemen redaksi j. Menentukan kebijakan dan arah pemberitaan k.

  Menggunakan peralatan teknologi pemberitaan (Sukardi, 2012:98).

  Konsekuensi diberlakukannya standar kompetensi wartawan bagi wartawan adalah, bagi narasumber berhak melakukan penolakan ketika wartawan yang melakukan wawancara tidak memiliki kompetensi. Selain itu untuk jabatan pemimpin redaksi dan penanggung jawab hanya dapat dipegang oleh wartawan yang memiliki jenjang kompetensi wartawan utama (Sukardi, 2012:99).

2.4 Jurnalistik dan Berita

  Dala m buku “pengantar jurnalistik” oleh Suhandang (2010), Praktik jurnalistik pada awalnya dikembangkan oleh para budak belian orang-orang Romawi kaya yang diberi tugas mengumpulkan berita setiap hari. Pada masa itu (60 SM), Julius Caesar menghasilkan persidangan senat, berita tentang kejadian sehari-hari, peraturan-peraturan penting serta apa yang perlu disampaikan dan diketahui rakyatnya dengan jalan menuliskannya pada papan pengumuman berupa papan tulis yang dikenal dengan “acta diurna”. Dari acta diurna itulah para budak belian memperoleh berita-berita tentang segala sesuatu yang terjadi di negerinya. Dari sebutan acta diurna itu pula para budak belian yang mencari berita dijuluki

  

Diurnarius (tunggal) atau Diurnarii (jamak). Bisa dikatakan istilah inilah yang

menjadi sebutan jurnalis kontemporer.

  Menurut Mondry (2008), kata jurnalistik berasal dari kata latin, yakni

  

diurnalis (latin), journal (Inggris), atau du jour (Prancis) yang berarti informasi atau

  peristiwa yang terjadi sehari-hari. Bersamaan dengan munculnya istilah press (Inggris) atau pers (Belanda) yang sebenarnya berarti menekan (pressing) karena mesin cetak menekan kertas untuk memunculkan tulisan. Akibatnya, terdapat dua istilah yang kini muncul di masyarakat dan sering diartikan sama, yakni jurnalis (journalist) merupakan orang pers yang tugasnya mencari informasi guna menjadi bahan berita.

  Adinegoro (dalam Amar, 1984) menegaskan, jurnalistik adalah semacam kepandaian mengarang yang pokoknya memberi perkabaran pada masyarakat dengan selekas-lekasnya agar tersiar seluas-luasnya. Menurut Onong Uchjana Effendy (2003), bahwa secara sederhana jurnalistik dapat didefinisikan sebagai teknik mengelola berita mulai dari mendapatkan bahan sampai pada menyebarluaskan kepada masyarakat. Sedangkan menurut Sumadira (2005), secara teknis jurnalistik adalah kegiatan menyiapkan, mencari, mengumpulkan, mengelola, menyajikan dan menyebarluaskan berita melalui media berkala kepada khalayak seluas-luasnya dengan secepat-cepatnya.

  Bill Kovach dan Tom Rosenstiel da lam bukunya “The Element of Jurnalism :

  What Newspeople Should Know and the Public Should Expect

  ”, merumuskan sembilan elemen jurnalisme. Berbagai elemen ini merupakan dasar jurnalisme agar bisa dipercaya masyarakat. Kebijakan utama jurnalisme adalah menyampaikan informasi yang dibutuhkan masyarakat hingga mereka mengatur dirinya. Media jurnalisme menjadi “wacthdog” terhadap berbagai peristiwa yang baik dan yang terjadi berdasarkan informasi yang sama. Informasi itu disampaikan jurnalisme kepada masyarakat. Maka dari itu jurnalisme memiliki tugas :

1. Menyampaikan kebenaran

  2. Memiliki loyalitas kepada masyarakat 3.

  Memiliki disiplin untuk melakukan verifikasi 4. Memiliki kemandirian terhadap apa yang diliputnya

  5. Memiliki kemandirian untuk memantau kekuasaan 6.

  Menjadi forum bagi kritik dan kesepakatan publik 7. Menyampaikan sesuatu secara menarik dan relevan kepada publik 8. Membuat berita secara komprehensif dan proporsional 9. Memberi keleluasaan wartawan untuk mengikuti nurani mereka (Santana, 2005).

  Pada dasarnya tugas utama dari seorang jurnalistik adalah membuat berita yang akan disiarkan oleh media tempatnya bekerja.

2.4.1 Berita

  Dalam Suhandang (2010), istilah “berita” berasal dari “news” (Inggris) atau

  

new (baru), dengan konotasi kepada hal-hal yang baru. Dalam hal ini segala hal yang

  baru merupakan bahan informasi bagi semua orang yang memerlukannya. Dengan kata lain, semua hal yang baru merupakan bahan informasi yang dapat disampaikan kepada orang lain dalam bentuk berita (news).

  Secara etimologis, istilah “berita” dalam bahasa Indonesia mendekati istilah “bericht (en)” dalam bahasa Belanda. Dalam bahasa Belanda tersebut istilah “bericht (en

  )” dijelaskan sebagai “mededeling” (pengumuman) yang berasal dari kata “made (delen

  )” dengan sinonim kata pada “bekend maken” (memberitahukan, mengumumkan, membuat terkenal) dan “vertelen” (menceritakan atau memberitahukan) (Suhandang, 2010). laporan tercepat mengenai fakta atau ide baru yang benar, menarik, dan atau penting bagi sebagian besar khalayak, melalui media berkala seperti surat kabar, radio, televisi, film dan bahkan juga sekarang ini internet. Dalam definisi jurnalistik, berita adalah laporan fakta atau ide yang termasa, yang dipilih oleh staf redaksi suatu harian untuk disiarkan, yang dapat menarik pembaca, entah karena diluar biasa, entah karena penting atau akibatnya, entah pula karena dia mencakup mencakup segi-segi human

  

intrest (Assegaf, 1984). Sedangkan menurut M. Lyle Spancer berita merupakan

kenyataan atau ide yang benar dan dapat menarik perhatian sebagiam besar pembaca.

  Sedangkan definis berita menurut Mondry adalah informasi atau laporan yang menarik perhatian masyarakat konsumen, berdasarkan fakta, berupa kejadian dan ide yang disusun sedemikian rupa dan disebarkan media massa dalam waktu secepatnya (Mondry, 2008:132).

  Dalam sebuah berita, ada istilah nilai berita (news velue). Nilai berita menurut Downie JR dan Kaiser (dalam Santana, 2005) merupakan istilah yang tidak mudah didefinisikan. Ketinggian nilainya tidak mudah untuk dikonkretkan. Nilai berita juga menjadi tambah rumit bila dikaitkan dengan sulitnya membuat konsep apa yang disebut berita. Namun, dibalik sulitnya mendefinisikan nilai berita tersebut, ada beberapa elemen nilai berita yang mendasari pelaporan kisah berita, yakni

  

immediacy , proximity, consequence, conflict, oddity, sex, emotion, prominence,

suspence dan progress.

  a. Immediacy (kesegeraan)

  Immediacy sering diistilahkan dengan timelines. Artinya, terkait

  dengan kesegaran peristiwa yang dilaporkan. Sebuah cerita dinyatakan laporan dari apa yang baru saja terjadi. Unsur waktu sangat penting disini.

  b.

  Proximity (kedekatan)

  Proximity adalah kedekatan peristiwa dengan pembaca atau pemirsa

  dalam keseharian hidup mereka. Khalayak berita akan tertarik dengan harinya.

  c.

  Consequance (konsekuensi) Berita yang mengubah kehidupan pembaca adalah berita yang mengandung nilai konsekuensi. Misalnya, berita kenaikan gaji pegawai atau kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM), masyarakat akan segera mengikutinya karena terkait dengan konsekuensi kalkulasi ekonomi sehari- hari yang harus mereka hadapi.

  d.

  Conflict (konflik) Peristiwa-peristiwa perang, demonstrasi atau kriminal merupakan contoh elemen konflik didalam pemberitaan. Perseteruan antar individu, antar tim atau antar kelompok hingga berita antar negara merupakan elemen-elemen natural dari berita-berita yang mengandung konflik.

  e.

  Oddity (kejanggalan) Pristiwa yang tidak biasa terjadi adalah sesuatu yang diperhatikan segera oleh masyarakat. Kelahiran bayi kembar lima, goyangan gempa berskala richter tinggi, pencalonan tukang sapu sebagai kandidat calon gubernur merupakan hal-hal yang akan menjadi perhatian masyarakat.

  f.

  Sex (seks) Kerap kali sex menjadi suatu elemen utama dari sebuah pemberitaan.

  Tapi sex sering pula menjadi elemen tambahan dari pemberitaan tertentu, seperti pada berita sports, selebriti atau kriminal.

  g.

  Prominance (terkemuka) Elemen ini adalah unsur yang menjadi istilah “names make news” atau nama membuat berita. Ketika seseorang menjadi terkenal maka ia akan selalu diburu oleh pembuat berita. Unsur keterkenalan ini tidak hanya dibatasi atau hanya ditujukan kepada status VIP semata. Beberapa tempat, pendapat dan peristiwa termasuk kedalam elemen ini.

  h.

  Suspense (ketegangan) peristiwa oleh masyarakat. Misalnya, adanya ketegangan menunggu pecahnya perang (invasi) AS ke Irak. Namun, elemen ketegangan ini tidak terkait dengan paparan kisah berita yang berujung pada klimaks kemisterian. Kisah berita yang menyampaikan fakta-fakta tetap merupakan hal yang penting. Oleh karena itu kejelasan fakta dituntut oleh masyarakat. i.

  Progress (perkembangan) Elemen ini merupakan elemen “perkembangan” peristiwa yang ditunggu masyarakat. Misalnya, kesudahan invasi militer AS ke Irak yang ditunggu oleh masyarakat (Santana, 2005).

  Penulisan berita tidaklah sama dengan menulis makalah, laporan pertanggungjawaban atau hasil rapat. Dalam jurnalistik, ikhwal penulisan berita ini punya tempat yang khusus, dalam arti, dibahas secara khusus melalui karakteristik dan batasan-batasan yang mesti dipenuhinya. Jurnalistik kemudian membakukan beberapa kategori pemberitaan, yakni hard news, feture, sports, social, interpretive, science, consumer dan financial (Santana, 2005).

  a.

  Hard News Kisah berita ini merupakan desain utama dari sebuah pemberitaan.

  Isinya menyangkut hal-hal penting yang langsung terkait dengan kehidupan pembaca, pendengar atau pemirsa. Kisah-kisahnya biasanya adalah hal-hal yang dianggap penting, dan karena itu segera dilaporkan oleh media dari semenjak peristiwa itu terjadi.

  b.

  Feature News Berita feature adalah kisah peristiwa atau situasi yang menumbulkan kegemparan atau imaji-imaji (pencitraan). Peristiwa bisa jadi bukan termasuk yang teramat penting harus diketahui masyarakat, bahkan kemungkinan hal- hal yang terjadi beberapa waktu lalu. Kisahnya didesain untuk menghibur.

  c.

  Sport News

  Selain dari hasil-hasil pertandingan atau perlombaan atau rangkaian kompetisi musiman, pemberitaan juga meliputi berbagai bidang lain yang terkait sports, seperti tokoh-tokoh olahragawan, kehidupan pemain olahraga sampai kepada penggemarnya.

  d.

  Social News Kisah-kisah kehidupan sosial seperti sports bisa masuk ke dalam pemberitaan hard atau feature news. Namun, pada umumnya social news meliputi pemberitaan yang terkait dengan kehidupan masyarakat sehari-hari mulai dari soal keluarga hingga perkawinan anak-anak.

  e.

  Interpretive Pada kisah berita interpretive ini wartawan berupaya untuk memberi kedalaman analisis dan melakukan survei terhadap bebagai hal yang terkait dengan peristiwa yang hendak dilaporkan.

  f. Science Dalam kisah berita ini para wartawan berupaya untuk menjelaskan kemajuan dan perkembangan teknologi.

  g.

  Consumer Para penulis a consumer story ialah para pembantu khalayak yang hendak membeli barang-barang kebutuhan sehari-hari baik yang bersifat kebutuhan primer dan sekunder.

  h.

  Financial Para penulis berita financial memfokuskan perhatiannya pada bidang- bidang bisnis, komersial atau investasi. Pada umumnya, penulis berita ini mempunyai referensi akademis atau kepakaran terhadap subjek-subjek yang dibahasnya (Santana, 2005).

  Selain elemen nilai berita, terdapat pula beberapa macam jenis berita yang dibagi berdasarkan tiga hal, yakni :

1. Berdasarkan sifat kejadian

  Berita yang tidak dapat diduga 2. Berdasarkan jarak geografis

  Berita lokal Berita regional Berita nasional Berita internasional 3. Berdasarkan persoalan

  Berita politik Berita ekonomi Berita hukum dan peradilan Berita kriminal Berita kecelakaan Berita seni dan budaya Berita olahraga Berita ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) Berita perang Berita lainnya (Santana, 2005).

Dokumen yang terkait

Analisis Perbedaan Profitabilitas dan Pengelolaan Perusahaan Sebelum dan Sesudah Privatisasi yang Mewujudkan Good Corporate Governance (Studi Empiris Pada BUMN Sektor Telekomunikasi di Indonesia)

0 1 10

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori - Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Peringkat Obligasi Pada Perusahaan Perbankan yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia

0 2 37

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah - Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Peringkat Obligasi Pada Perusahaan Perbankan yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia

0 0 9

Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Peringkat Obligasi Pada Perusahaan Perbankan yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia

0 3 12

BAB II LANDASAN TEORI 2.1. Homoseksual - Pengakuan Diri Seorang Gay di Dalam Lingkungan Gay (Studi Deskriftif Cafe’ Shop di Kota Medan)

0 1 29

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang - Pengakuan Diri Seorang Gay di Dalam Lingkungan Gay (Studi Deskriftif Cafe’ Shop di Kota Medan)

0 0 12

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Respon 2.1.1 Pengertian Respon - Respon Siswa Dalam Pelaksanaan Program Bina Keluarga Remaja oleh Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional Kota Medan (Studi di Yayasan Fajar Dinul Islam SMK Namira Technology Nusantara

0 0 31

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah - Respon Siswa Dalam Pelaksanaan Program Bina Keluarga Remaja oleh Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional Kota Medan (Studi di Yayasan Fajar Dinul Islam SMK Namira Technology Nusantara Medan)

0 0 9

Respon Siswa Dalam Pelaksanaan Program Bina Keluarga Remaja oleh Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional Kota Medan (Studi di Yayasan Fajar Dinul Islam SMK Namira Technology Nusantara Medan)

0 0 13

Konstruksi Pemahaman Wartawan Terhadap UU KIP (Studi Dengan Pendekatan Konstruktivisme Terhadap Wartawan Aliansi Jurnalis Independen Cabang Medan Dalam Memahami Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2008 Tentang Keterbukaan Informasi Publik)

0 0 36