BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Perilaku - Pengaruh Perilaku dan Motivasi Juru Pemantau Jentik Terhadap Keberadaan Jentik di Kecamatan Tampan dan Marpoyan Damai Kota Pekanbaru

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Perilaku

  Perilaku baru terjadi apabila ada sesuatu yang diperlukan untuk menimbulkan reaksi, yang disebut rangsangan. Berarti rangsangan tertentu akan menghasilkan perilaku tertentu (Sunaryo, 2004). Ciri-ciri perilaku manusia yang membedakan dari makhluk lain adalah kepekaan sosial, kelangsungan perilaku, orientasi pada tugas, usaha dan perjuangan, serta keunikan dari setiap individu (Notoatmodjo, 2010).

  Perilaku individu tidak timbul dengan sendirinya, tetapi sebagai akibat adanya rangsangan (stimulus) baik dari dalam dirinya sendiri (internal) maupun dari luar individu (eksternal). Pada hakekatnya perilaku individu mencakup perilaku yang tampak (overt behaviour) dan perilaku yang tidak tampak (inert behavior atau covert

  

behavior ). Perilaku yang tampak adalah perilaku yang dapat diketahui oleh orang lain

  tanpa menggunakan alat sedangkan bantu, sedangkan perilaku yang tidak tampak adalah perilaku yang hanya dapat dimengerti dengan menggunakan alat atau metode tertentu, misalnya berpikir, sedih, berkhayal, bermimpi, takut (Purwanto, 2005).

  Tiap individu adalah unik, dimana mengandung arti bahwa manusia yang satu berbeda dengan manusia yang lain dan tidak ada dua manusia yang sama persis di muka bumi ini, walaupun ia dilahirkan kembar. Manusia mempunyai ciri-ciri, sifat, watak, tabiat, kepribadian, dan motivasi tersendiri yang membedakannya dari manusia lainnya. Perbedaan pengalaman yang dialami individu pada masa silam dan cita-citanya kelak di kemudian hari, menentukan perilaku individu di masa kini yang berbeda-beda pula (Sunaryo, 2004; Purwanto, 2005).

  Perilaku manusia terbentuk karena adanya kebutuhan. Menurut Maslow, manusia memiliki 5 kebutuhan dasar, yaitu: kebutuhan fisiologis/biologis, kebutuhan rasa aman, kebutuhan mencintai dan dicintai, kebutuhan harga diri, dan kebutuhan aktualisasi diri (Sunaryo, 2004).

2.1.1. Faktor-faktor yang Memengaruhi Perilaku

  Perilaku manusia adalah refleksi dari berbagai gejala kejiwaan seperti pengetahuan, persepsi, minat, keinginan, sikap, dan lain-lain. Hal-hal yang mempengaruhi perilaku seseorang sebagian terletak dalam diri individu sendiri yang disebut juga faktor intern sebagian lagi terletak di luar dirinya atau disebut dengan faktor ekstern yaitu faktor lingkungan.

  Menurut Simamora (2004), faktor penyebab masalah kesehatan adalah faktor perilaku dan faktor non perilaku. Faktor perilaku khususnya perilaku kesehatan dipengaruhi oleh 3 faktor yaitu: a.

  Faktor predisposisi (predisposing factor), yang terwujud dalam pengetahuan, sikap, kepercayaan tradisi, dan keyakinan nilai-nilai dari seseorang.

  b.

  Faktor pendukung (enabling factor), yang terwujud dalam lingkungan fisik (tersedia atau tidaknya fasilitas kesehatan) c. Faktor pendorong (reinforcing factor), yang terwujud dalam sikap perilaku seperti dari pada petugas kesehatan dan petugas lain, keluarga dan per group.

  Tim ahli WHO dalam Milvariani (2005), menganalisa bahwa yang menyebabkan seseorang itu berperilaku ada 4 alasan pokok yaitu : a.

  Pemikiran dan perasaan. Bentuk pemikiran dan perasaan ini adalah pengetahuan, kepercayaan, sikap, dan lain–lain.

  b.

  Orang penting sebagai referensi. Apabila seseorang itu penting bagi kita, maka apapun yang ia katakan dan lakukan cenderung untuk kita contoh. Orang inilah yang kita anggap kelompok referensi, seperti guru, kepala suku dan lain - lain c. Sumber-sumber daya. Termasuk disini adalah fasilitas-fasilitas, misalnya : waktu, uang, tenaga kerja, keterampilan, pelayanan. Pengaruh sumber daya terhadap perilaku dapat bersifat positif maupun negatif.

  d.

  Kebudayaan. Perilaku normal, kebiasaan, nilai-nilai dan pengadaan sumber daya di dalam suatu masyarakat akan menghasilkan suatu pola hidup yang disebut kebudayaan. Perilaku yang normal adalah salah satu aspek dari kebudayaan dan selanjutnya kebudayaan mempunyai pengaruh yang dalam terhadap perilaku.

  Dari uraian tersebut di atas, dapat dilihat alasan seseorang untuk berperilaku. Oleh sebab itu, perilaku yang sama diantara beberapa orang dapat berbeda–beda penyebab atau latar belakangnya. Perilaku yang optimal akan memberi dampak pada status kesehatan yang optimal juga. Perilaku yang optimal adalah seluruh pola kekuatan, kebiasaan pribadi atau masyarakat baik secara sadar atau tidak yang mengarah kepada upaya pribadi atau masyarakat untuk menolong dirinya sendiri dari masalah kesehatan. Pola kelakuan/ kebiasaan yang berhubungan dengan tindakan promotif, preventif harus ada pada setiap pribadi atau masyarakat.

  Menurut Notoatmodjo (2010) bahwa pengertian perilaku dapat dibatasi sebagai jiwa (berpendapat, berpikir, bersikap dan sebagainya). Untuk memberikan respon terhadap situasi di luar objek tersebut. Respon ini dapat bersifat pasif (tanpa tindakan). Bentuk operasional dari perilaku dapat dikelompokkan menjadi 3 jenis yaitu : a.

  Perilaku dalam bentuk pengetahuan, yaitu dengan mengetahui situasi dan rangsangan b.

  Perilaku dalam bentuk sikap, yaitu tanggapan batin terhadap keadaan atau rangsangan dari luar diri si subjek sehingga alam itu sendiri akan mencetak perilaku manusia yang hidup di dalamnya, sesuai dengan sifat keadaan alam tersebut (lingkungan fisik) dan keadaan lingkungan sosial budaya yang bersifat non fisik tetapi mempunyai pengaruh kuat terhadap pembentukan prilaku manusia. Lingkungan ini adalah merupakan keadaan masyarakat dan segala budidaya masyarakat itu lahir dan mengembangkan perilakunya.

  c.

  Perilaku dalam bentuk tindakan, yang sudah konkrit berupa perbuatan terhadap situasi dan suatu rangsangan dari luar.

  Menurut Green (2000), ada tiga faktor utama yang mempengaruhi perilaku yaitu: a.

  Faktor-faktor predisposisi (predisposing factor) terwujud dalam: 1)

  Pengetahuan, adalah hasil dari tahu yang terjadi melalui proses sensori khususnya mata dan telinga terhadap obyek tertentu. Pengetahuan merupakan domain yang sangat penting untuk terbetuknya perilaku terbuka (overt

  

behavior ). Perilaku yang didasari pengetahuan umumnya bersifat langgeng

(Sunaryo, 2004; Notoatmodjo, 2010).

  2) Sikap, adalah respon tertutup seseorang terhadap suatu stimulus atau obyek, baik yang bersifat intern maupun ekstern sehingga manifestasinya tidak dapat langsung dilihat, tetapi hanya dapat ditafsirkan terlebih dahulu dari perilaku yang tertutup tersebut. Sikap secara realitas menunjukkan adanya kesesuaian respon terhadap stimulus tertentu (Sunaryo, 2004; Purwanto, 2005).

  Tingkatan respon adalah menerima (receiving), merespon (responding), enghargai (valuing), dan bertanggung jawab (responsible) (Sunaryo, 2004; Purwanto, 2005). 3)

  Nilai-nilai, atau norma yang berlaku akan membentuk perilaku yang sesuai dengan nilai-nilai atau norma yang telah melekat pada diri seseorang (Green, 2000). 4)

  Kepercayaan, seseorang yang mempunyai atau meyakini suatu kepercayaan tertentu akan mempengaruhi perilakunya dalam menghadapi suatu penyakit yang akan berpengaruh terhadap kesehatannya (Green, 2000). 5)

  Persepsi, merupakan proses yang menyatu dalam diri individu terhadap stimulus yang diterimanya. Persepsi merupakan proses pengorganisasian, penginterpretasian terhadap rangsang yang diterima oleh organisme atau individu sehingga merupakan sesuatu yang berarti dan merupakan respon yang menyeluruh dalam diri individu. Oleh karena itu dalam penginderaan orang akan mengaitkan dengan stimulus, sedangkan dalam persepsi orang akan mengaitkan dengan obyek. Persepsi pada individu akan menyadari tentang keadaan sekitarnya dan juga keadaan dirinya. Orang yang mempunyai persepsi yang baik tentang sesuatu cenderung akan berperilaku sesuai dengan persepsi yang dimilikinya (Sunaryo, 2004; Notoatmodjo, 2010).

  b.

  Faktor-faktor pendukung (enabling factor) Faktor pendukung merupakan faktor pemungkin. Faktor ini bias sekaligus menjadi penghambat atau mempermudah niat suatu perubahan perilaku dan perubahan lingkungan yang baik (Green, 2000).

  Faktor pendukung (enabling factor) mencakup ketersediaan sarana dan prasarana atau fasilitas. Sarana dan fasilitas ini pada hakekatnya mendukung atau memungkinkan terwujudnya suatu perilaku, sehingga disebut sebagai faktor pendukung atau faktor pemungkin.

  c.

  Faktor-faktor pendorong (reinforcing factor) Faktor-faktor pendorong (reinforcing factor) merupakan penguat terhadap timbulnya sikap dan niat untuk melakukan sesuatu atau berperilaku. Suatu pujian, sanjungan dan penilaian yang baik akan memotivasi, sebaliknya hukuman dan pandangan negatif seseorang akan menjadi hambatan proses terbentuknya perilaku.

  Hal yang paling berpengaruh terhadap perubahan perilaku jumantik adalah motivasi.

2.2. Motivasi

  Pemberian motivasi pada seseorang merupakan suatu mata rantai yang dimulai dari kebutuhan, menimbulkan keinginan, menyebabkan stress, menimbulkan tindakan dan menghasilkan keputusan. Pada awalnya dari rantai motivasi memulai dengan kebutuhan yang dipenuhi, mencari jalan untuk memenuhi kebutuhan, perilaku yang berorientasi pada tujuan, pembangkitan kinerja, menimbulkan imbalan dan hukuman. Motivasi kerja merupakan salah satu faktor yang turut menentukan kinerja seseorang. Besar atau kecilnya pengaruh motivasi pada kinerja seseorang tergantung pada seberapa banyak intensitas motivasi yang diberikan. Perbedaan motivasi kerja bagi seorang biasanya tercermin dalam berbagai kegiatan dan bahkan prestasi yang dicapainya (Uno, 2011).

2.2.1. Definisi Motivasi

  Menurut Mc. Donal, motivasi adalah perubahan energi dalam diri seseorang yang ditandai dengan munculnya feeling dan didahului dengan tanggapan adanya tujuan (Sardiman, 2007). Pendapat Sutrisno (2010) bahwa motivasi adalah sesuatu yang menimbulkan semangat atau dorongan kerja dengan memberikan daya penggerak untuk menciptakan kegairahan kerja seseorang, agar mereka mau bekerja sama, bekerja efektif dan terintegrasi dengan segala daya upayanya untuk mencapai kepuasan dalam dirinya.

  Pendapat Maslow (Hasibuan, 2005), bahwa motivasi dapat juga disebut sebagai dorongan, hasrat atau kebutuhan manusia dalam melakukan kegiatan tertentu. motivasi merupakan hirerarki kebutuhan yang terdiri dari lima tingkatan: (1)kebutuhan mempertahankan hidup (physiological needs), (2)kebutuhan rasa aman (safety needs), (3)kebutuhan social (social needs), (4)kebutuhan akan penghargaan/prestasi (esteem needs), dan (5)kebutuhan untuk mempertinggi kapasitas kerja (self actualisation needs). Ini sesuai dengan kajian teoritis sebelumnya telah dikemukakan bahwa produktivitas ditentukan oleh motivasi yang dimilikinya.

  Selanjutnya Luthans (2006), menambahkan motivasi kerja menentukan apa yang memotivasi orang dalam pekerjaan, berfokus pada identifikasi kebutuhan dan dorongan pada diri seseorang dan bagaimana kebutuhan dan dorongan tersebut diprioritaskan.

2.2.2. Tujuan Motivasi

  Menurut Siagian (2006), tujuan motivasi antara lain untuk meningkatkan moral dan kepuasan kerja seseorang, meningkatkan produktivitas kerja, mempertahankan kestabilan, meningkatkan kedisiplinan, mengaktifkan pengadaan petugas, menciptakan suasana dan hubungan kerja yang baik; meningkatkan loyalitas, kreatifitas, dan partisipasi, meningkatkan kesejahteraan dan mempertinggi rasa tanggung jawab terhadap tugas-tugasnya.

  Herzberg dalam Nawawi (2008) menambahkan bahwa ada dua faktor yang dapat memberikan kepuasan dalam bekerja yaitu : a.

  Faktor sesuatu yang dapat memotivasi (motivator).

  Faktor ini antara lain adalah faktor prestasi (achievement), faktor pengakuan/penghargaan, faktor tanggung jawab, faktor memperoleh kemajuan dan perkembangan dalam bekerja khususnya promosi dan faktor pekerjaan itu sendiri. Faktor ini terkait dengan kebutuhan pada urutan yang tinggi dalam teori Maslow.

  b.

  Kebutuhan Kesehatan Lingkungan Kerja (Hygiene Factors).

  Faktor ini dapat berbentuk upah/gaji, hubungan antara pekerja, supervisi teknis, kondisi kerja, kebijaksanaan perusahaan, dan proses administrasi di perusahaan.

  Faktor ini terkait dengan kebutuhan pada urutan yang lebih rendah dalam teori Maslow.

2.2.3. Teori Motivasi Menurut Para Ahli

  Teori motivasi merupakan teori-teori yang membicarakan bagaimana motivasi manusia dalam melaksanakan pekerjaan dan mencapai tujuan, yang dipengaruhi oleh berbagai faktor pembentuk terciptanya motivasi. Menurut Herzberg dalam Hasibuan (2005) mengemukakan teori motivasi berdasar teori dua faktor yaitu faktor higiene dan motivator. Orang dalam melaksanakan pekerjaannya dipengaruhi oleh dua faktor yang merupakan kebutuhan, yaitu: a.

  Maintenance Factors adalah faktor-faktor pemeliharaan yang berhubungan dengan hakikat manusia yang ingin memperoleh ketentraman badaniah.

  Kebutuhan kesehatan ini merupakan kebutuhan yang berlangsung terus-menerus, karena kebutuhan ini akan kembali pada titik nol setelah dipenuhi.

  b.

  Motivation Factors adalah faktor motivator yang menyangkut kebutuhan psikologis seseorang yaitu perasaan sempurna dalam melakukan pekerjaan.

  Faktor motivasi ini berhubungan dengan penghargaan terhadap pribadi yang berkaitan langsung dengan pekerjaan.

  Teori Herzberg ini melihat ada dua faktor yang mendorong seseorang termotivasi yaitu faktor intrinsik yaitu daya dorong yang timbul dari dalam diri masing-masing orang, dan faktor ekstrinsik yaitu daya dorong yang datang dari luar diri seseorang, terutama dari organisasi tempatnya bekerja. Faktor ekstinsiktidak akan mendorong minat seseorang untuk berforma baik, akan tetapi jika faktor-faktor ini dianggap tidak dapat memuaskan dalam berbagai hal seperti gaji tidak memadai, kondisi kerja tidak menyenangkan, faktor-faktor itu dapat menjadi sumber ketidakpuasan potensial. Sedangkan faktor intrinsik merupakan faktor yang mendorong semangat guna mencapai kinerja yang lebih tinggi. Jadi pemuasan terhadap kebutuhan tingkat tinggi (faktor motivasi) lebih memungkinkan seseorang untuk berforma tinggi daripada pemuasan kebutuhan lebih rendah (hygienis) (Leidecker & Hall dalam Timpe, 1999)

  Teori motivasi menurut Gibson (1997), secara umum mengacu pada 2 (dua) kategori : a.

  Teori kepuasan (Content Theory), yang memusatkan perhatian kepada faktor dalam diri orang yang menguatkan (energize), mengarahkan (direct), mendukung (sustain) dan menghentikan (stop) perilaku seseorang.

  b.

  Teori proses (Process Theory), menguraikan dan menganalisa bagaimana perilaku itu dikuatkan, diarahkan, didukung dan dihentikan.

  Gibson (1997), mengelompokkan teori motivasi sebagai berikut: a.

  Teori kepuasan terdiri dari: 1)

  Teori Hirarki kebutuhan dari Abraham Maslow 2)

  Teori Dua Faktor dari Frederick Herzberg 3)

  Teori ERG (Existence, Relatedness, Growth) dari Alderfer

4) Teori prestasi dari McClelland.

  b.

  Teori Proses terdiri dari: 1)

  Teori harapan 2)

  Teori pembentukan perilaku

3) Teori keadaan.

  Menurut Maslow (Ginson, 1997) motivasi merupakan hirerarki kebutuhan yang terdiri dari lima tingkatan: (1) kebutuhan mempertahankan hidup (physiological

  

needs ), (2) kebutuhan rasa aman (safety needs), (3) kebutuhan social (social needs),

  (4) kebutuhan akan penghargaan/prestasi (esteem needs), dan (5) kebutuhan untuk mempertinggi kapasitas kerja (self actualisation needs).

  Herzberg dalam Gibson (1997) mengklasifikasikan motivasi terdiri atas: motivasi intrinsik dan motivasi ekstrinsik. Motivasi intrinsik adalah motivasi yang berfungsi tanpa rangsangan dari luar, karena timbul dalam diri individu tersebut, sudah ada dorongan untuk melakukan tindakan, yang meliputi: prestasi yang diraih, pengakuan orang lain, tanggung jawab, peluang untuk maju, kepuasan kerja itu sendiri. Motivasi ekstrinsik yaitu motivasi yang berfungsinya karena disebabkan oleh adanya faktor pendorong dari luar dari individu yang meliputi: kompensasi, keamanan dan keselamatan kerja, kondisi kerja, prosedur kerja, mutu supervisi teknis serta hubungan interpersonal.

2.2.4. Faktor-faktor Pendorong Motivasi Internal

a. Kemauan

  Makmur (2008), menyatakan human motivation (kemauan manusia) adalah kekuatan psikis dalam diri manusia. Dengan motivasi tersebut manusia meraih apa yang diinginkannya. Bila kemauan ini hilang, manusia akan melesak ke bawah, yang tersebut tergelincir. Sebaliknya bila kemauan itu timbul manusia akan melejit ke atas, yang disebut menyongsong. Sementara itu Sastrohadiwiryo (2003) yang mengutip Sagir 1985, mengemukakan juga bahwa unsur-unsur penggerak motivasi antara lain adalah: kinerja, penghargaan, tantangan, tanggung jawab, pengembangan, keterlibatan dan kesempatan.

  Kemauan (motivasi) berkaitan dengan kebutuhan. Kita sebagai manusia selalu mempunyai kebutuhan yang diupayakan untuk dipenuhi. Untuk mencapai keadaan termotivasi, kita harus mempunyai tindakan tertentu, dengan demikian kebutuhan seseoranglah yang akan menjadi dasar untuk melakukan tindakan (Makmur, 2008).

  Kemauan merupakan kunci utama untuk tumbuh dan berkembangnya partisipasi masyarakat (juru pemantau jentik). Sebab, kesempatan dan kemampuan yang cukup belum merupakan jaminan bagi tumbuh dan berkembangnya partisipasi juru pemantau jentik, jika mereka sendiri tidak memiliki kemauan untuk turut membangun (Mardikanto, 2003).

  Kemauan atau motivasi dapat diartikan sebagai keadaan kejiwaan dan sikap mental manusia yang memberikan energi, mendorong kegiatan atau menggerakkan dan mengarah atau menyalurkan perilaku ke arah mencapai kebutuhan yang memberi kepuasan atau mengurangi ketidakseimbangan (Sastrohadiwiryo, 2003). Kemauan adalah daya pendorong yang mengakibatkan seseorang anggota organisasi mau dan rela untuk mengerahkan kemampuan dalam bentuk keahlian atau keterampilan tenaga dan waktunya untuk menyelenggarakan berbagai kegiatan yang menjadi tanggung jawabnya dan menunaikan kewajibannya, dalam rangka pencapaian tujuan dan berbagai sasaran organisasi yang telah ditentukan sebelumnya (Siagian, 2006).

b. Kemampuan

  Menurut Robbins dalam Makmur (2008), kemampuan suatu kapasitas individu untuk mengerjakan berbagai tugas dalam suatu pekerjaan. Seluruh kemampuan seseorang pada hakikatnya tersusun dari dua perangkat faktor, kemampuan intelektual dan kemampuan fisik. Kemampuan intelektual adalah kemampauan yang diperlukan untuk melakukan kegiatan mental, sedangkan kemampuan fisik adalah kemampuan yang diperlukan untuk melakukan tugas-tugas yang menuntut stamina, kecekatan, kekuatan dan keterampilan serupa. Dengan meningkatnya kemampuan masyarakat (juru pemantau jentik) baik secara intelektual dan fisik, akan memberikan kontribusi secara maksimal terhadap penyelenggaraan program pemberantasan penyakit DBD. Kesediaan seseorang untuk berpartisipasi merupakan tanda adanya kemampuannya untuk berkembang secara mandiri.

  Tilaar dalam Makmur (2008), mengungkapkan bahwa suatu masyarakat yang berpartisipasi adalah masyaraakat yang mengetahui potensi dan kemampunannya termasuk hambatan-hambatan karena keterbatasannya. Masyarakat yang mampu berdiri sendiri adalah masyarakat yang mengetahui arah hidup dan perkembangannya termasuk kemampunnya untuk berkomunikasi dan bekerja sama dengan masyarakat lainnya, bahkan pada tingkat nasional, regional dan internasional.

  Mardikanto (2009), menyatakan, kemampuan masyarakat untuk berpartisipasi merupakan:

  1) Kemampuan untuk menemukan dan memahami kesempatan-kesempatan untuk membangun, atau pengetahuan tentang peluang untuk membangun (memperbaiki mutu hidupnya).

  2) Kemampuan untuk melaksanakan pembangunan yang dipengaruhi oleh pendidikan, pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki.

  3) Kemampuan untuk memecahkan masalah yang dihadapi dengan menggunakan sumberdaya dan kesempatan (peluang) lain yang tersedia secara optimal.

2.2.5. Faktor-faktor Pendorong Motivasi Eksternal

a. Insentif

  Menurut Panggabean (2004) “insentif merupakan penghargaan dalam bentuk uang yang diberikan kepada mereka yang dapat bekerja melampaui standart yang telah ditentukan”. Menurut Simamora (2004) yang dimaksud “insentif adalah suatu program yang mengaitkan bayaran dengan produktivitas kerja”. Selanjutnya Mangkunegara (2001) menyatakan “insentif merupakan suatu penghargaan dalam bentuk uang yang diberikan oleh pihak pemimpin organisasi kepada karyawan agar mereka bekerja dengan motivasi yang tinggi dan berprestasi dalam mencapai tujuan – tujuan organisasi”.

  Dessler (1997) menyatakan “insentif adalah peningkatan gaji yang dihadiahkan kepada seorang karyawan pada satu waktu yang ditentukan dalam bentuk gaji pokok yang lebih tinggi”, biasanya didasarkan secara eksklusif pada kinerja individual. Menurut Mathis dan Jackson (2002) “insentif merupakan upaya untuk mengaitkan imbalan yang nyata yang diberikan kepada karyawan untuk kinerja yang melampaui harapan”.

  Pemberian insentif merupakan dorongan atau motivasi yang berasal dari luar yang disesuaikan dengan prestasi kerja jumantik. Hal ini memberikan kesimpulan bahwa dengan insentif maka jumantik akan terus mencoba untuk lebih baik lagi dalam bekerja baik itu untuk jumantik sendiri maupun bagi puskesmas, mengingat adanya balas jasa dalam bentuk insentif yang diberikan sesuai dengan hasil dan prestasi kerja yang dicapai.

b. Kesempatan

  Banyak program pembangunan termasuk di bidang kesehatan yang kurang memperoleh partisipasi masyarakat karena kurangnya kesempatan yang diberikan kepada masyarakat untuk berpartisipasi. Di lain pihak, juga sering dirasakan kurangnya informasi yang disampaikan kepada masyarakat mengenai kapan dan dalam bentuk apa mereka dapat atau dituntut untuk berpartisipasi. Beberapa kesempatan yang dimaksud adalah (Mardikanto, 2009): 1)

  Kemauan dari penguasa untuk melibatkan masyarakat dalam pembangunan kesehatan, baik dalam pengambilan keputusan perencanaan, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi, pemeliharaan dan pemanfaatan pembangunan kesehatan sejak di tingkat pusat sampai di jajaran birokrasi yang paling bawah.

2) Kesempatan untuk memperoleh informasi pembangunan kesehatan.

  3) Kesempatan memanfaatkan dan memobilisasi sumberdaya alam dan manusia untuk pelaksanaan pembangunan kesehatan.

  4) Kesempatan untuk memperoleh dan menggunakan teknologi yang tepat (termasuk peralatan perlengkapan penunjangnya).

  5) Kesempatan untuk berorganisasi, termasuk untuk memperoleh dan menggunakan peraturan, perijinan, dan prosedur kegiatan yang harus dilaksanakan.

  6) Kesempatan mengembangkan kepemimpinan yang mampu menumbuhkan, menggerakkan, dan mengembangkan serta memelihara partisipasi masyarakat.

  Partisipasi masyarakat sering tidak nampak karena mereka merasa tidak diberi kesempatan untuk berpartisipasi atau dibenarkan berpartisipasi, khususnya yang menyangkut: pengambilan keputusan dalam perencanaan pembangunan kesehatan, pemantauan dan evaluasi, serta pemanfaatan hasil pembangunan. Karena itu harus dijelaskan tentang segala hak dan kewajiban setiap warga masyarakat pada bagian kegiatan apa mereka diharapkan partisipasinya, dan apa bentuk partisipasinya yang diharapkan (tenaga, uang, pikiran, dll) dari masyarakat (Yustina, 2003).

  Pemberian kesempatan berpartisipasi pada masyarakat, bukanlah sekedar pemberian kesempatan untuk terlibat dalam pelaksanaan kegiatan agar mereka tidak melakukan tindakan-tindakan yang akan menghambat atau mengganggu tercapainya tujuan pembangunan. Tetapi pemberian kesempatan berpartisipasi harus dilandasi oleh pamahaman bahwa masyarakat setempat layak diberi kesempatan karena disamping memiliki kemampuan-kemampuan yang diperlukan, sebagai sesama warga negara, mereka juga punya hak untuk berpartisipasi dan memanfaatkan setiap kesempatan membangun bagi perbaikan mutu hidupnya (Mardikanto, 2009).

2.3. Jumantik

  2.3.1. Definisi dan Perekrutan Jumantik

  Jumantik merupakan warga masyarakat setempat yang dilatih untuk memeriksa keberadaan jentik di tempat-tempat penampungan air. Jumantik merupakan salah satu bentuk gerakan atau partisipasi aktif dari masyarakat dalam mencegah kejadian penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) yang sampai saat ini masih belum dapat diberantas tuntas (Depkes RI, 2010).

  Perekrutan jumantik dilaksanakan oleh puskesmas sesuai dengan tatacara yang telah ditetapkan dalam Surat Keputusan Dirjen Binkenmas atau sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan oleh yang berwenang lainnya. Jumantik merupakan tenaga kontrak yang sewaktu-waktu dapat diberhentikan oleh puskesmas sesuai dengan hasil evaluasi kinerja yang bersangkutan.

  2.3.2. Tugas dan Tanggungjawab Serta Hak Jumantik

  Adapun tugas Jumantik adalah sebagai berikut: a. Membuat rencana/jadwal kunjungan seluruh rumah yang ada di wilayah kerjanya.

  b.

  Memberikan penyuluhan (perorangan atau kelompok) dan melaksanakan pemberantasan jentik di rumah-rumah/bangunan.

  c.

  Berperan sebagai penggerak dan pengawas masyarakat dalam PSN DBD.

  d.

  Membuat catatan/rekapitulasi hasil pemeriksaan jentik.

  e.

  Melaporkan hasil pemeriksaan jentik ke puskesmas sebulan sekali. f.

  Bersama supervisor, melakukan pemantauan wilayah setempat (PWS) dan pemetaan per RW hasil pemeriksaan jentik, sebulan sekali.

  Selain melakukan pengamatan jentik, jumantik sukarela juga bertugas untuk memberikan penyuluhan kepada pemilik rumah/bangunan tentang pentingnya PSN melalui 3M yang harus dilakukan seminggu sekali, melakukan abatisasi selektif pada tempat penampungan air bersih yang tidak dapat/ sulit untuk dikuras, mencatat hasil pengamatan jentik dan melaporkannya kepada Puskesmas kelurahan, serta membantu kelompok kerja DBD dalam penggerakkan masyarakat untuk melakukan PSN. Hasil pengamatan jentik oleh jumantik ini akan direkap oleh petugas Puskesmas kelurahan disertai dengan ABJ (Angka Bebas Jentik) setiap 3 bulan (Dinkes Kota Pekanbaru, 2012).

  Setiap jumantik mempunyai hak antara lain memperoleh insentif/transport, mendapat kesempatan ikut pelatihan, dibekali buku juklak, juknis dan modul latihan, peralatan kerja (jaket, topi, PIN, tas kerja, ATK, senter dan larvasida). Sedangkan penghargaan diterima Jumantik berupa sertifikat, lomba Jumantik teladan, dan lain- lain. Bila memungkinkan dapat diangkat menjadi pegawai tetap sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan daerah.

2.3.3. Pemeriksaan Jentik oleh Jumantik

  Pemberantasan jentik dilakukan disesuaikan dengan stratifikasi daerah rawan dan secara berkala di rumah dan tempat-tempat umum yaitu pemeriksaan tempat- tempat penampungan air dan tempat berkembang biakan nyamuk Aedes aegypti yang dilakukan di rumah dan tempat umum secara teratur sekurang-kurangnya 3 (tiga) bulan sekali untuk mengetahui populasi jentik nyamuk penular DBD dengan menggunakan indikator ABJ.

  2.3.3.1. Tujuan Umum

  Pemeriksaan jentik dilakukan secara teratur oleh petugas kesehatan atau kader atau petugas pemantau jentik (jumantik). Tujuan umum pemeriksaan jentik adalah untuk menurunkan populasi nyamuk penular demam berdarah dengue (Aedes aegypti) serta jentiknya dengan meningkatkan peran serta masyarakat dalam pemberantasan sarang nyamuk demam berdarah dengan (PSN DBD) melalui Juru Pemantau Jentik (Jumantik) (Depkes RI, 2008).

  2.3.3.2. Tujuan Khusus

  Adapun tujuan khusus dilakukannya pemeriksaan jentik oleh para jumantik di wilayah kerja masing-masing adalah (Depkes RI, 2008): a.

  Untuk mengetahui kepadatan jentik nyamuk penular DBD secara berkala dan terus menerus sebagai indikator keberhasilan PSN DBD dalam masyarakat.

  b.

  Untuk memotivasi masyarakat dalam memperhatikan tempat-tempat yang potensial untuk perkembang biakan nyamuk penular DBD.

  c.

  Untuk meningkatkan peran serta masyarakat dalam PSN DBD.

  2.3.3.3. Pelaksanaan Pemeriksaan Jentik

  Pemantauan jentik dilakukan dengan cara memeriksa tempat penampungan air dan kontainer yang dapat menjadi habitat perkembangbiakan nyamuk Aedes sp. di dalam dan di luar rumah untuk mengetahui ada tidaknya jentik. Jika pada penglihatan pertama tidak menemukan jentik, tunggu kita-kira ½-1 menit untuk memastikan bahwa benar-benar tidak ada jentik. Gunakan senter untuk memeriksa jentik di tempat gelap atau di air keruh. Selanjutnya metode pemantauan jentik yang biasa dilakukan dalam program DBD adalah cara visual yaitu dilakukan dengan melihat ada atau tidaknya jentik di setiap tempat genangan air tanpa mengambil jentiknya (Kemenkes, 2012).

  Menurut Taviv (2010) pelaksanaan kegiatan Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) merupakan kegiatan yang paling berpengaruh terhadap keberadaan jentik nyamuk di tempat penampungan air karena berhubungan secara langsung. Jika seseorang melakukan praktik PSN dengan benar, maka keberadaan jentik nyamuk di tempat penampungan air dapat berkurang bahkan hilang.

  Adapun cara-cara pemeriksaan jentik oleh Jumantik menurut Depkes RI (2008) yaitu: a.

  Periksalah bak mandi/WC, tempayan, drum dan tempat-tempat penampungan air lainnya.

  b.

  Jika tidak tampak, tunggu ± 0,5–1 menit, jika ada jentik ia akan muncul ke permukaan air untuk bernapas.

  c.

  Periksa juga vas bunga, tempat minum burung, kaleng-kaleng, plastik, ban bekas, dan lain-lain.

  Tempat-tempat lain yang perlu diperiksa oleh Jumantik antara lain talang/saluran air yang rusak/tidak lancar, lubang-lubang pada potongan bambu, pohon, dan tempat-tempat lain yang memungkinkan air tergenang seperti di rumah-rumah kosong, pemakaman, dan lain-lain. Jentik-jentik yang ditemukan di tempat- tempat penampungan air yang tidak beralaskan tanah (bak mandi/WC, drum, tempayan dan sampah-sampah/barang-barang bekas yang dapat menampung air hujan) dapat dipastikan bahwa jentik tersebut adalah nyamuk Aedes aegypti penular DBD. Jentik-jentik yang terdapat di got/comberan/selokan bukan jentik nyamuk Aedes aegypti.

  Selanjutnya cara mencatat dan melaporkan hasil pemeriksaan jentik adalah sebagai berikut: a.

  Tuliskan nama desa/kelurahan yang akan dilakukan pemeriksaan jentik.

  b.

  Tuliskan nama keluarga/pengelola (petugas kebersihan) bangunan dan alamatnya pada kolom yang tersedia.

  c.

  Bila ditemukan jentik tulislah tanda (+), dan apabila tidak ditemukan tulislah (-) di kolom yang tersedia pada formulir JPJ 1.

  d.

  Tulislah hal-hal yang perlu diterangkan pada kolom keterangan seperti rumah/kavling kosong, penampungan air hujan, dan lain-lain.

  e.

  Satu lembar formulir diisi untuk kurang lebih 30 KK.

  f.

  Melaporkan hasil pemeriksaan jentik (ABJ) ke puskesmas sebulan sekali.

2.4. Angka Bebas Jentik (ABJ) Aedes Aegypti

  Pemberantasan jentik Aedes aegypti yang merupakan bagian dari Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) dapat dilakukan dengan cara kimia, biologi dan fisik. Secara kimia pemberantasan jentik dapat dilakukan dengan insektisida

  

(larvasida) ini dikenal dengan abatisasi. Secara biologi dilakukan dengan memelihara

ikan pemakan jentik seperti ikan kepala timah dan ikan gupi (Soegeng, 2004).

  Pengamatan nyamuk sangat diperlukan untuk mengetahui keadaan nyamuk dan menyusun program pengendalian maupun untuk mengevaluasi keberhasilan dari program tersebut. Pengamatan Aedes aegypti diasa dikenal dengan nama survei Aedes

  

aegypti , yaitu: penyelidikan-penyelidikan terhadap kehidupan nyamuk termasuk

kepadatan populasinya (Depkes RI, 2008).

  Untuk mengetahui keadaan populasi nyamuk Aedes aegypti di suatu daerah dapat melalui survey terhadap stadium jentik-jentik atau nyamuk dewasa, sebagai hasil survey tersebut didapat indeks–indeks Aedes aegypti (indeks jentik, indeks

  

ovitrap, bitting rate ), dalam hal ini pengamatan yang dimaksud adalah mengenai

  indeks jentik yang diukur dari (Depkes RI, 2008): 1.

  House Indeks (HI) Jumlah rumah/bangunan yang ditemukan jentik x 100% Jumlah rumah/bangunan yang diperiksa

  Dari hasil survei jentik didapat data-data mengenai House Indeks (HI), yang ditentukan setiap bulan untuk daerah-daerah pelabuhan. Cara yang tepat untuk menentukan indeks-indeks jentik adalah dengan memakai cara single larvae survey yaitu semua kontainer menjadi sarang nyamuk diteliti, bila ditemukan jentik nyamuk maka diambil seekor dari setiap kontainer untuk diperiksa. Indikator Angka Bebas Jentik nasional adalah di atas 95% (Depkes RI, 2008).

  Bila ditemukan sarang nyamuk dengan investasi campuran, misalnya terdapat jentik Aedes aegypti maka dipilih jentik dari nyamuk yang sesuai dengan ciri-cirinya yaitu berwarna putih keabu-abuan, bergerak lamban dengan gerakan membentuk huruf S dan apabila terkena cahaya senter akan bergerak aktif (Depkes RI, 2003).

2.5. Demam Berdarah Dengue (DBD)

  Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah penyakit demam akut disertai dengan manifestasi perdarahan bertendensi menimbulkan syok dan dapat menyebabkan kematian, pada umumnya menyerang anak <15 tahun, namun dapat juga menyerang orang dewasa. Tanda-tanda penyakit ini adalah demam mendadak 2 sampai dengan 7 hari tanpa penyebab yang jelas, lemah, lesu, gelisah, nyeri ulu hati, disertai tanda-tanda perdarahan di kulit (petechiae), lebam (echymosis) atau ruam (purpura). Kadang-kadang mimisan, berak darah, kesadaran menurun atau renjatan (shock) (Depkes RI, 2003).

  Menurut WHO tahun 1997 dikenal penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD), yaitu penyakit akut yang disebabkan oleh virus dengan gejala seperti sakit kepala, sakit pada sendi, tulang dan otot. DBD ditunjukkan oleh empat manifestasi klinis yang utama, demam tinggi, fenomena perdarahan, sering dengan hepatomegali, dan tanda-tanda kegagalan sirkulasi darah (Depkes RI, 2005).

  Demam Berdarah Dengue (DBD) atau Dengue Hemorrhagic Fever (DHF) merupakan salah satu penyakit menular yang disebabkan oleh virus dengue. Virus dengue mempunyai diameter 30 nanometer dan terdiri dari 4 tipe, yaitu tipe 1 (DEN-

  1), tipe 2 (DEN-2), tipe 3 (DEN-3), dan tipe 4 (DEN-4). Virus ini merupakan anggota

  Arbovirus (Arthropod borne virus ) grup B yang termasuk dalam genus Flavivirus,

  famili Flaviviridae. Pada manusia, virus dengue ditularkan melalui gigitan nyamuk betina Aedes aegypti maupun Aedes albopictus (Djunaedi, 2006).

  Demam Berdarah Dengue adalah penyakit yang ditandai dengan: (1) demam tinggi mendadak, tanpa sebab yang jelas, berlangsung terus-menerus selama 2 sd. 7 hari, (2) manifestasi perdarahan, perdarahan kunjungtiva, epitaksis, perdarahan mukosa, perdarahan gusi, melena, hematuri termasuk uji Torniquet (remple Leede) positif, (3) jumlah trombosit

  ≤ 100.000/μl , (4) peningkatan hemotokrit ≥ 20%, (5) disertai pembesaran hati (Depkes RI, 2005).

  Demam Berdarah Dengue (DBD) atau Dengue Haemorhagic Fever (DHF) di dalam Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 581/ MENKES/SK/VII/1992 tentang Pemberantasan Penyakit Demam Berdarah Dengue diidentifikasikan sebagai berikut: “adalah penyakit menular yang disebabkan oleh virus dengue dan ditularkan oleh nyamuk Aedes aegypti, yang ditandai dengan demam mendadak 2 sd. 7 hari tanpa penyebab yang jelas, lemah, lesu, gelisah, nyeri ulu hati, disertai tanda pendarahan di kulit berupa bintik perdarahan (petechiae), lebam (ecchymosis) atau ruam (purpura). Kadang-kadang mimisan, berak darah, kesadaran menurun atau renjatan (shock). Keputusan Menteri Kesehatan tersebut dijabarkan dalam petunjuk teknis yang ditetapkan melalui Keputusan Dirjen PPM&PLP No.914/PD.03.04/BP/1992 tentang Pemberantasan penyakit DBD (Depkes, 2003).

  Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah penyakit demam akut disertai dengan manifestasi pendarahan dan bertendensi menimbulkan syok dan dapat menyebabkan kematian, dapat terjadi pada semua golongan umur. Penyakit ini pada umumnya ditularkan oleh nyamuk Aedes aegypti namun dapat juga ditularkan oleh nyamuk Aedes albopictus yang peranannya dalam penyebaran penyakit ini sangat kecil, nyamuk ini biasanya hidup di kebun-kebun (Depkes RI, 2003).

2.5.1. Epidemiologi Penyakit DBD

2.5.1.1. Distribusi Penyakit DBD Menurut Orang

  Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah penyakit menular yang disebabkan oleh virus Dengue dan ditularkan oleh nyamuk Aedes terutama Aedes

  

aegypti yang sering menimbulkan wabah dan kematian. Bukanlah hal yang mudah

  menemukan kasus DBD secara dini, karena pada awal perjalanan penyakit gejala dan tandanya tidak spesifik, sehingga sulit dibedakan dengan penyakit infeksi lainnya.

  Penegakan diagnosis DBD (secara klinis) sesuai dengan kriteria World Health

  

Organization (WHO) , sekurang-kurangnya memerlukan pemeriksaan laboratorium,

  pemeriksaan yang diharapkan adalah trombosit dan hematokrit secara berkala, (Depkes RI, 2010).

  Penyakit DBD dapat menyerang semua umur, walaupun sampai saat ini lebih banyak menyerang anak-anak, tetapi dalam dekade terakhir ini terlihat cenderung kenaikan proporsi pada kelompok dewasa, sejalan dengan perkembangan transportasi yang lancar, dan pesatnya pertumbuhan penduduk sehingga memungkinkan untuk tertularnya virus Dengue lebih besar (WHO, 1998). Terdapat perbedaan nyata dalam jenis kelamin, yakni pernah ditemukan perbedaan antara laki-laki dan perempuan. Beberapa negara melaporkan bahwa banyak kelompok wanita dengan Dengue Shock

Syndrome (DSS) , menunjukkan dimana angka kematian yang tinggi adalah laki-laki.

  Singapore dan Malaysia pernah mencatat adanya perbedaan angka kejadian infeksi di antara kelompok etnik, dimana kelompok penduduk Tionghoa banyak terserang DBD dari pada yang lain, dijumpai pada awal epidemi (Soegijanto, 2003).

2.5.1.2. Distribusi Penyakit DBD Menurut Tempat

  Penyakit DBD dapat menyebar pada semua tempat kecuali tempat-tempat dengan ketinggian di atas 1000 meter dari permukaan laut karena pada tempat yang tinggi dengan suhu yang rendah siklus perkembangan Aedes aegypti tidak sempurna (Depkes RI, 2007).

  Sejak kurun waktu 30 tahun ditemukan virus Dengue di Surabaya dan Jakarta, baik dalam jumlah penderita maupun daerah penyebaran penyakit meningkat pesat.

  Saat ini DBD telah ditemukan di seluruh provinsi di Indonesia dan 200 kota telah melaporkan adanya kejadian luar biasa dengan insiden rate meningkat dari 0,005 per 100.000 penduduk pada tahun 1968 menjadi berkisar antara 6-7 per 100.000 penduduk pada tahun 2004 (Depkes RI, 2005).

  Meningkatnya jumlah kasus serta bertambahnya wilayah yang terjangkit disebabkan karena semakin baiknya sarana transportasi penduduk, adanya pemukiman baru, dan adanya vektor nyamuk hampir di seluruh pelosok tanah air serta ada empat tipe virus yang bersirkulasi sepanjang tahun (Depkes RI, 2003).

  2.5.1.3. Distribusi Penyakit DBD Menurut Waktu

  Menurut Depkes RI (2003), pola berjangkitnya infeksi virus Dengue dipengaruhi oleh iklim dan kelembaban udara. Pada suhu yang panas (28-32ºC) dengan kelembaban yang tinggi, nyamuk Aedes aegypti akan tetap bertahan hidup untuk jangka waktu lama. Di Indonesia karena suhu udara dan kelembaban tidak sama di setiap tempat maka pola terjadinya penyakit agak berbeda untuk setiap tempat. Di Jawa pada umumnya infeksi virus Dengue terjadi mulai awal Januari, meningkat terus sehingga kasus terbanyak terdapat pada sekitar bulan April-Mei setiap tahun.

  2.5.1.4. Pola Epidemiologi Penyakit DBD

  Memahami situasi yang muncul terhadap infeksi virus (penjamu), perlu mengenali beberapa aspek intraksi virus penjamu. Aspek-aspek tersebut meliputi: (a) Infeksi Dengue jarang menimbulkan kasus ringan pada anak; (b) Infeksi Dengue pada seorang dewasa sering menimbulkan gejala, akan tetapi beberapa starain virus mengakibatkan kasus yang sangat ringan baik pada anak maupun orang dewasa yang sering tidak dikenali sebagai kasus Dengue dan menyebar tanpa terlihat didalam masyarakat; (c) Infeksi primer maupun skunder Dengue pada orang dewasa mungkin menimbulkan perdarahan gastrointestinal dan peningkatan permeabilitas pembuluh darah.

2.5.2. Tanda dan Gejala Klinik

  Menurut Depkes RI (2003), secara klinis ditemukan demam, suhu pada

  o o

  umumnya antara 39 -40

  C, pada fase awal demam terdapat ruam yang tampak di muka, leher dan dada. Selanjutnya pada fase penyembuhan suhu turun dan timbul petekia yang menyeluruh pada tangan dan kaki. Pendarahan pada kulit pada DBD terbanyak adalah uji tornique positif. Penyakit DBD pada umumnya menyerang anak-anak, tetapi dalam dekade terakhir ini terlihat adanya kecenderungan kenaikan proporsi pada kelompok dewasa. Sedangkan masa inkubasi DBD biasanya berkisar antara 4-7 hari. Prognosis DBD sulit diramalkan dan pengobatan yang spsifik untuk DBD tidak ada, karena obat terhadap virus Dengue belum ada. Prinsip dasarpengobatan penderita DBD adalah penggantian cairan tubuh yang hilang karena kebocoran plasma.

  Pencegahan dan penanggulangan infeksi Dengue diutamakan pada pemberantasan vektor penyakit karena vaksin yang efektif masih belum tersedia.

  Pemberantasan vektor ini meliputi pemberantasan sarang nyamuk dan pembasmian jentik. Pemberantasan sarang nyamuk meliputi pembersihan tempat penampungan air bersih yang merupakan sarana utama perkembangbiakan nyamuk, diikuti penimbunan sampah yang bisa menjadi tempat perkembangbiakan nyamuk. Tempat air bersih perlu dilindungi dengan ditutup yang baik. Pembasmian jentik dilakukan melalui kegiatan larvaciding dengan abate dan penebaran ikan pemakan jentik di kolam- kolam. Adapun gejala klinik DBD antara lain (Soegijanto, 2003): 1.

  Mendadak panas tinggi selama 2-7 hari, tampak lemah lesu suhu badan antara 38°C - 40°C atau lebih.

2. Tampak binti-bintik merah pada kulit dan jika kulit direnggangkan bintik merah itu tidak hilang.

  3. Kadang-kadang perdarahan di hidung (mimisan).

  c.

  Mampu terbang sampai 100 meter.

  f.

  Biasanya menggigit manusia pada pagi atau sore hari.

  e.

  Nyamuk Aedes aegypti tidak dapat berkembang biak diselokan/got atau kolam yang airnya langsung berhubungan dengan tanah.

  d.

  Tanda-tanda pembesaran plasma yaitu efusi pleura, asites, hipo-proteinaemia.

  Menurunnya nilai hematokrit dari nilai dasar 20 % atau lebih sesudah pengobatan.

  4. Mungkin terjadi muntah darah atau berak darah.

  b.

  Kenaikan nilai 20% hematokrit atau lebih tergantung umur dan jenis kelamin.

  9. Pembesaran plasma yang erat hubungannya dengan kenaikan permeabilitas dinding pembuluh darah, yang ditandai dengan munculnya satu atau lebih dari: a.

  8. Hematemesis atau melena.

  7. Kadang-kadang nyeri ulu hati, karena terjadi perdarahan di lumbung bila sudah parah, penderita gelisah, ujung tangan dan kaki dingin, berkeringat perdarahan selaput lendir mukosa, alat pencernaan gastrointestinal, tempat suntikan atau ditempat lainnya.

  6. Adanya perdarahan, akimosis atau purpura.

  5. Tes Torniquet positif.

  Diagnosa penyakit DBD ditegakkan berdasarkan kriteria diagnosa WHO tahun 1997 terdiri dari kriteria klinis, ini dimaksudkan untuk mengurangi diagnosa yang tidak berhubungan dengan penyakit DBD (over diagnosa). Kriteria klinis tersebut seperti demam tinggi tanpa sebab yang jelas yang berlangsung 2-7 hari. Terdapat manifestasi perdarahan yang ditandai dengan uji tornique positif, petekia, purpura, perdarahan mukosa, epistaksis, perdarahan gusi, hematimesis dan melena perbesaran hati. Adanya syok yang ditandai dengan nadi cepat dan lemah serta penurunan tekanan nadi, hipotensi, kaki dan tangan dingin, kulit lembab dan penderita tampak gelisah. Kriteria laboratorium seperti trombositopenia 100.000 / ul atau kurang dan hemokonsentrasi yang dapat dilihat peningkatan hemotokrit 20% atau lebih. Dua Kriteria klinis ditambah hematokrit cukup untuk menegakkaan diagnosis klinis DBD (Depkes RI, 2005).

  WHO (2002) membagi derajat DBD dalam 4 (empat) derajat, yaitu sebagai berikut: Derajat I : Demam disertai gejala tidak khas dan satu satunya manifestasi perdahan ialah uji tourniquet positif.

  Derajat II : Derajat I disertai perdarahan spontan dikulit atau perdarahan lain. Derajat III : Ditemukannya kegagalan sirkulasi, yaitu nadi cepat dan lembut, tekanan jadi menurun (<20 mmHg) atau hipotensi disertai kulit yang dingin, lembab dan penderita menjadi gelisah. Derajat IV : Renjatan berat dengan nadi yang tidak dapat diraba dan tekanan darah yang tidak dapat diukur.

  2.5.3. Manifestasi Penularan

  Seseorang yang didalam darahnya mengandung virus Dengue merupakan sumber penularan penyakit DBD. Virus Dengue berada dalam darah selama 4 hari sampai dengan 7 hari mulai 1 sampai 2 hari sebelum demam. Bila penderita tersebut digigit nyamuk penular, maka virus dalam darah akan ikut terhisap masuk dalam lambung nyamuk. Selanjutnya virus akan memperbanyak diri dan tersebar diberbagai jaringan tubuh nyamuk termasuk didalam kelenjar liurnya (Depkes RI, 2004).

  Kira-kira 1 minggu setelah menghisap darah penderita, nyamuk tersebut siap untuk menularkan kepada orang lain (masa inkubasi ekstrinsik). Virus ini akan tetap berada dalam tubuh nyamuk sepanjang hidupnya. Oleh karena itu nyamuk Aedes

  

aegypti yang telah mengisap virus Dengue ini akan menjadi penular (infektif)

  sepanjang hidupnya. Penularan terjadi setiap nyamuk menusuk (menggigit), sebelum menghisap darah, nyamuk akan mengeluarkan air liur melalui saluran alat tusuknya

  

(proboscis) , agar darah yang dihisap tidak membeku. Bersama air liur inilah virus

Dokumen yang terkait

Identifikasi Fungi Endemik dan Pemanfaatannya untuk Meningkatkan Pertumbuhan Beberapa Klon Karet (Hevea brasiliensis) Di Tanah Gambut

0 0 13

A. Identitas responden - Hubungan Penatalaksanaan Penanganan Gawat Darurat dengan Waktu Tanggap (Respon Time) Keperawatan di Ruang Instalasi Gawat Darurat Rumah Sakit Permata Bunda 2014

0 0 20

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penatalaksanaan Pelayanan Gawat Darurat 2.1.1. Pengertian - Hubungan Penatalaksanaan Penanganan Gawat Darurat dengan Waktu Tanggap (Respon Time) Keperawatan di Ruang Instalasi Gawat Darurat Rumah Sakit Permata Bunda 2014

0 0 26

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang - Hubungan Penatalaksanaan Penanganan Gawat Darurat dengan Waktu Tanggap (Respon Time) Keperawatan di Ruang Instalasi Gawat Darurat Rumah Sakit Permata Bunda 2014

0 2 9

Pengaruh Faktor Personal dan Manajemen K3 terhadap Tindakan Tidak Aman di PT. Inti Benua Perkasatama Dumai Tahun 2014

1 0 26

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Faktor Personal - Pengaruh Faktor Personal dan Manajemen K3 terhadap Tindakan Tidak Aman di PT. Inti Benua Perkasatama Dumai Tahun 2014

0 1 21

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang - Pengaruh Faktor Personal dan Manajemen K3 terhadap Tindakan Tidak Aman di PT. Inti Benua Perkasatama Dumai Tahun 2014

0 0 7

Pengaruh Faktor Personal dan Manajemen K3 terhadap Tindakan Tidak Aman di PT. Inti Benua Perkasatama Dumai Tahun 2014

0 0 19

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Rokok - Chapter II (545.1Kb)

0 1 18

BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1 Sistem Pendukung Keputusan - Sistem Pendukung Keputusan Menentukan Operator Terbaik Menggunakan Metode Topsis (Studi Kasus: CBOC Regional 1/ PT. Telekomunikasi, TBK.)

0 1 10