Pengaruh Model STM Terhadap Literasi Sai

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) yang berkembang sangat pesat dalam era globalisasi saat ini menyababkan kebutuhan akan produk teknologi tidak dapat dipisahkan dari kehidupan masyarakat. Hampir di setiap sisi kehidupan masyarakat mulai dari aktifitas pribadi, transportasi, komunikasi, perkantoran hingga kegiatan rumah tangga selalu bersentuhan dengan produk teknologi. Berkembangnya teknologi internet dan handphone telah membuat proses komunikasi dan perolehan informasi menjadi lebih efektif, efisien dan tanpa batas. Hal tersebut menuntut setiap individu untuk mampu memanfaatkan informasi dengan baik dan cepat. Sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas tinggi dan kemampuan untuk memproses informasi mutlak dibutuhkan untuk dapat bersaing di era globalisasi yang dicirikan dengan persaingan yang ketat, keunggulan kompetitif, kolaborasi, ketidakpastian, penetrasi dan jaringan kerja sama (networking) yang luas.

Selain memberikan kenyamanan dan dampak positif yang besar, perkembangan sains dan teknologi juga memberikan masalah-masalah baru yang merupakan dampak negatif dari perkembangan sains dan teknologi itu sendiri. Salah satu contohnya adalah perkembangan teknologi informasi dan komunikasi (handphone

dan internet) yang telah membantu kegiatan manusia juga tidak terlepas dari dampak- dampak negatif yang menyertainya. Perkembangan akses internet yang semakin cepat dan memasyarakat membutuhkan kecerdasan manusia dalam memilah dan memilih informasi yang bermanfaat bagi dirinya. Sejalan dengan perkembangan akses internet, kapasitas memori dan resolusi kamera yang semakin besar pada handphone juga dapat berfungsi seperti “pisau bermata dua” diamana antara manfaat dan masalah yang

ditimbulkan tergantung pada individu yang menggunakannya. Fitur yang semakin banyak dan kehadiran produk-produk teknologi yang semakin beragam membutuhkan individu-individu yang cerdas dalam memilih suatu produk sehingga tepat sesuai dengan kebutuhannya.

Pengguna teknologi IT juga harus selalu hati-hati dalam mengakses informasi. Saat ini semakin banyak muncul model kejahatan baru yang menggunakan kecanggihan Pengguna teknologi IT juga harus selalu hati-hati dalam mengakses informasi. Saat ini semakin banyak muncul model kejahatan baru yang menggunakan kecanggihan

Adanya dampak positif dan negatif dari pesatnya perkembangan sains dan teknologi membutuhkan individu-individu yang dapat memilah dan memilih teknologi yang ramah lingkungan, dapat mengantisipasi dan mengeleminir dampak-dampak negatif dari perkembangan sains dan teknologi. Individu diharapkan dapat menggunakan konsep-konsep dan prinsip-prinsip sains untuk memecahkan masalah dalam berbagai aspek kehidupan sehari-hari. Terbentuknya individu-individu yang literasi sains dan teknologi merupakan kebutuhan mutlak. National Science Teacher Association (NTSA) (dalam Poedjiadi, 2010: 102) menguraikan dua belas ciri individu yang literasi sains dan teknologi, yaitu: 1) menggunakan konsep-konsep sains, ketrampilan proses dan nilai apabila ia mengambil keputusan yang bertanggungjawab dalam kehidupan sehari-hari, 2) mengetahui bagaimana masyarakat mempengaruhi sains dan teknologi serta bagaimana sains dan teknologi mempengaruhi masyarakat, 3) mengetahui bahwa masyarakat mengontrol sains dan teknologi melalui pengelolaan sumber daya alam, 4) menyadari keterbatasan dan kegunaan sains dan teknologi untuk meningkatkan kesejahteraan manusia, 5) memahami sebagaian besar konsep-konsep sains, hipotesis dan teori sains dan mampu menggunakannya, 6) menghargai sains dan teknologi sebagai stimulus intelektual yang dimilikinya, 7) mengetahui bahwa pengetahuan ilmiah bergantung pada proses-proses inkuari dan teori-teori, 8) membedakan antara fakta ilmiah dan opini pribadi, 9) mengakui asal usul sains, dan mengetahui bahwa pengetahuan ilmiah itu tentatif, 10) mengetahui aplikasi teknologi dan pengambilan keputusan menggunakan teknologi, 11) memiliki pengetahuan dan pengalaman yang cukup untuk memberi penghargaan kepada penelitian dan pengembangan teknologi, dan 12) mengetahui sumber-sumber informasi dari sains dan teknologi yang dipercaya dan menggunakan sumber-sumber tersebut dalam pengambilan keputusan.

Menanggapi tuntutan sumber daya manusia yang berkualitas dalam menghadapi jaman globalisasi, UNESCO telah menetapkan empat pilar pendidikan diantaranya learning to know, learning to do, learning to live together, dan learning to Menanggapi tuntutan sumber daya manusia yang berkualitas dalam menghadapi jaman globalisasi, UNESCO telah menetapkan empat pilar pendidikan diantaranya learning to know, learning to do, learning to live together, dan learning to

Tuntutan terhadap pembangunan yang berkelanjutan telah mendorong UNESCO merekomendasikan pendidikan untuk pembangunan yang berkelanjutan (Education for Sustainable Development/ESD) agar diintegrasikan ke dalam kebijakan, strategi dan program pendidikan di masing-masing negara. Pembangunan dapat dikatakan berkelanjutan jika memenuhi kriteria ekonomis, bermanfaat untuk masyarakat, dan manjaga kelestarian lingkungan. Persoalan lingkungan merupakan persoalan yang kompleks dan multi dimensi, yang kalau dirunut lebih jauh, akhirnya kembali kepada faktor manusia baik sebagai pengusaha, birokrat, petugas keamanan, penegak hukum, legislator, dan masyarakat luas. Oleh karenanya dimensi manusia menjadi sangat penting untuk diperhatikan dalam implementasi pembangunan berkelanjutan. Berbagai faktor terkait pada adanya kesadaran lingkungan, antara lain moralitas yang lemah, rendahnya literasi masyarakat terhadap sains serta rendahnya integritas sebagai warga masyarakat. Kondisi-kondisi ini yang menghambat terwujudnya good gevernance dan good practice dalam implementasi pembangunan berkelanjutan. Dalam konteks ini secara jelas nampak bahwa intervensi pendidikan sangat diperlukan dalam implementasi pembangunan berkelanjutan, baik secara formal di sekolah, nonformal maupun informal dimasyarakat.

Permasalahan penting yang dihadapi oleh dunia pendidikan di Indonesia sampai saat sekarang ini adalah bagaimana mengupayakan membangun masyarakat Indonesia yang literasi sains dan teknologi. Kemampuan ini bergantung pada karakter, sebaran, dan keefektifan pendidikan yang diterima masyarakat. Tujuan utama pendidikan yang diperlukan adalah mempersiapkan manusia untuk mengarahkannya dalam mengisi kehidupan secara bertanggungjawab (Liliasari, 2011). Pendidikan sains sebagai bagian dari pendidikan formal dapat menolong peserta didik untuk mengembangkan pemahaman dan kebiasaan berpikir yang diperlukan sebagai manusia yang memiliki tenggang rasa yang dapat berpikir untuk dirinya sendiri dan bangsanya

(Rutherford and Ahlgren dalam Liliasari, 2011). Toharudin (2011) menjelaskan bahwa tujuan pendidikan sains adalah meningkatkan kompetensi peserta didik untuk dapat memenuhi kebutuhan hidupnya dalam berbagai situasi. Dengan kompetensi itu, peserta didik akan mampu belajar lebih lanjut dan hidup di masyarakat yang saat ini banyak dipengaruhi oleh perkembangan sains dan teknologi. Dengan begitu, para peserta didik dapat berguna bagi dirinya sendiri dan masyarakat. Kompetensi itulah yang dimaksud dengan literasi sains menurut PISA.

Untuk membentuk individu yang siap menghadapi jaman globalisasi maka pemerintah telah menetapkan tujuan pendidikan nasional. Menurut UU nomor 20 Sistem Pendidikan Nasional tahun 2003 tujuan pendidikan nasional adalah mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat berilmu, cakap, kreatif,

mandiri, dan menjadi warga yang demokratis serta bertanggung jawab. Pasal 3 dalam undang-undang tersebut menyatakan bahwa: Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Terbentuknya karakter peserta didik yang kuat dan kokoh diyakini merupakan hal penting dan mutlak dimiliki anak didik untuk menghadapi tantangan hidup masa depan.

Untuk mencapai tujuan pendidikan nasional dan memenuhi tuntutan dalam perkembangan sains dan teknologi, pemerintah telah melakukan berbagai upaya yang mengarah pada peningkatan mutu pendidikan di antaranya menetapkan visi pendidikan

nasional yaitu terwujudnya sistem pendidikan sebagai pranata sosial yang kuat dan berwibawa untuk memberdayakan semua warga negara Indonesia berkembang menjadi manusia yang berkualitas sehingga mampu dan proaktif menjawab tantangan jaman

yang selalu berubah. Hasrat Depdiknas untuk menghasilkan manusia Indonesia yang cerdas dan kompetitif pada tahun 2025 diupayakan dengan menyusun Rencana Strategis (Renstra) Depdiknas 2005 – 2025 yaitu: tahun 2005 – 2010 dimulai dengan peningkatan kapasitas dan modernisasi sistem pendidikan, tahun 2010 – 2015 peningkatan dan penguatan pelayanan pendidikan pada tingkat Nasional, tahun 2015 – 2020 penguatan daya saing pada tingkat regional, dan tahun 2020 – 2025 penguatan daya saing pada tingkat internasional. Untuk membangun manusia Indonesia yang berkarakter, pemerintah telah mencanangkan pengembangan pendidikan budaya dan karakter bangsa melalui pembelajaran yang diidentifikasi menjadi delapan belas nilai, yaitu: religius, jujur, toleransi, disiplin, kerja keras, kreatif, mandiri, demokratis, rasa ingin tahu, yang selalu berubah. Hasrat Depdiknas untuk menghasilkan manusia Indonesia yang cerdas dan kompetitif pada tahun 2025 diupayakan dengan menyusun Rencana Strategis (Renstra) Depdiknas 2005 – 2025 yaitu: tahun 2005 – 2010 dimulai dengan peningkatan kapasitas dan modernisasi sistem pendidikan, tahun 2010 – 2015 peningkatan dan penguatan pelayanan pendidikan pada tingkat Nasional, tahun 2015 – 2020 penguatan daya saing pada tingkat regional, dan tahun 2020 – 2025 penguatan daya saing pada tingkat internasional. Untuk membangun manusia Indonesia yang berkarakter, pemerintah telah mencanangkan pengembangan pendidikan budaya dan karakter bangsa melalui pembelajaran yang diidentifikasi menjadi delapan belas nilai, yaitu: religius, jujur, toleransi, disiplin, kerja keras, kreatif, mandiri, demokratis, rasa ingin tahu,

Upaya lain yang dilakukan yaitu peningkatan kualitas tenaga pendidik melalui program penataran bagi para guru, program Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP), penyetaraan jenjang pendidikan guru, penyediaan sarana dan prasarana pendidikan, optimalisasi penggunaan TIK dalam pembelajaran serta penyempurnaan kurikulum. Kurikulum terbaru yang diberlakukan pada semua jenjang sekolah di Indonesia adalah kurikulum 2006 atau yang dikenal dengan KTSP (Kurikulum Tingkat

Satuan Pendidikan). KTSP ini sesungguhnya dimaksudkan untuk mempertegas pelaksanaan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK). Hal ini berarti bahwa kurikulum baru ini tetap memberikan tekanan pada pengembangan kompetensi siswa. Kompetensi yang dimaksud adalah pengetahuan, keterampilan, dan nilai-nilai dasar yang direfleksikan dalam kebiasaan berpikir dan bertindak. Usaha-usaha tersebut diharapkan mampu meningkatkan kualitas pendidikan sehingga dapat meningkatkan kualitas sumber daya manusia dan membentuk individu yang literasi sains sehingga dapat berkompetisi di era globalisasi ini.

Usaha-usaha yang telah dilakukan pemerintah belum mencapai hasil yang sesuai dengan harapan, dengan kata lain kualitas sumber daya manusia Indonesia masih rendah. Hal tersebut dapat dilihat dari laporan UNESCO tentang peringkat Indeks Pengembangan Manusia (Human Development Index) Indonesia juga menunjukkan rendahnya peringkat Indonesia. Indeks Pengembangan Manusia adalah komposisi dari peringkat pencapaian pendidikan, kesehatan, dan penghasilan per orang. Diantara 174 negara di dunia, Indonesia menempati urutan ke-102 pada tahun 1996, ke-99 tahun 1997, ke-105 tahun 1998, ke-109 tahun 1999 dan menurun ke urutan 112 pada tahun 2000 (Rosyada, 2004). Pada tahun 2005, Indeks Pengembangan Manusia Indonesia berada pada urutan 110 dari 177 negara di dunia (Iskandar, 2007). Hasil survei World Competitiveness Year Book untuk tahun 2010 menunjukkan Indonesia berada pada urutan 35 dari 58 negara yang disurvei. Human Development Indeks (HDI) yang disusun oleh United Nations Development Programme (UNDP) tahun 2010 menyatakan, kualitas sumber daya manusia Indonesia menduduki peringkat 108 dari 169 negara dan digolongkan ke dalam medium human development. Kualitas sumber daya manusia Indonesia masih jauh tertinggal dari negara-negara ASEAN lainnya (Wikipedia, 2010).

Khusus dalam bidang literasi sains, hasil penelitian Program for International Student Assessment (PISA) menunjukkan bahwa rata-rata literasi sains peserta didik siswa Indonesia adalah 371 pada tahun 2000, 382 pada tahun 2003 dan 393 pada tahun 2006 (Toharudin, 2009). Skor ini berada dibawah skor rata-rata dari semua negara yang disurvei yaitu 500 dengan simpangan baku 100 dan berada pada kelompok 10 negara dengan tingkat literasi sains terendah. Penelitian terakhir dari PISA pada tahun 2009 menunjukkan posisi literasi sains siswa Indonesia turun ke peringkat 60 dari 65 negara dan tetap termasuk dalam kelompok 10 negara dengan literasi sains terendah (IP-PMRI, 2010). Hasil penelitian dari Trend International Mathematics Science Study (TIMSS) juga menunjukkan hal yang serupa. Penilaian TIMSS terhadap prestasi bidang sains peserta didik Indonesia mendapatkan bahwa pada tahun 1999 siswa Indonesia berada pada peringkat 32 dari 38 negara dengan skor 435; pada tahun 2003 di peringkat 37 dari

46 negara; dan pada tahun 2007 di peringkat 35 dari 49 negara. Pada penelitian TIMSS ini siswa Indonesia selalu berada pada tingkat Low International Benchmark (Toharudin, 2009).

Terdapat banyak bukti yang dapat menjadi indikator rendahnya literasi sains dan teknologi masyarakat Indonesia. Karakter masyarakat yang konsumtif menunjukkan bahwa masyarakat masih cenderung menggunakan produk teknologi sebagai gaya hidup dan bukan untuk memenuhi kebutuhan hidup. Liliasari (2011) mengungkapkan beberapa contoh yang menggambarkan rendahnya literasi sains bangsa Indonesia, diantaranya: 1) seseorang membawa petasan yang dibungkus rapat dalam bis pada siang hari yang mengakibatkan kebakaran yang mencelakakan semua penumpang bis, 2) pekerja papan reklame memperbaiki papan reklame tersebut dengan memanjat tiang listrik sehingga tersengat arus listrik tegangan tinggi, 3) penangkap belut menggunakan listrik tanpa alas kaki karet atau bahkan menceburkaan diri ke sungai sambil membawa alat penyetrum ikan tersebut, 4) orang menggunakan telepon genggam ketika terperangkap di lokasi yang diduga terdapat bom buku, 5) mahasiswa menyalakan alat- alat elektronik untuk praktikum tanpa lebih dahulu mencermati tegangan pada stop kontak yang digunakannya, dan 6) orang merasa aman berteduh di bawah pohon rindang ketika hujan berpetir atau bermain layang-layang di atas atap rumah ketika akan hujan berpetir. Beberapa berita dari media masa juga menunjukkan rendahnya tingkat literasi sains penduduk, misalnya masih sering diberitakan peristiwa kematian yang terjadi ketika seseorang menguras sumur yang telah lama ditutup dan peristiwa tersambar petir ketika seseorang berteduh di bawah pohon saat hujan.

Kualitas sumber daya manusia sangat ditentukan oleh kualitas pendidikan dan kualitas pendidikan adalah muara dari kualitas pembelajaran. Rendahnya mutu hasil belajar sains peserta didik menunjukkan bahwa proses pembelajaran sains di sekolah- sekolah Indonesia telah mengabaikan perolehan kepemilikan literasi sains peserta didik. Kondisi ini menuntut adanya pembenahan dan pembaharuan dalam kualitas pembelajaran sains karena proses pembelajaran sains yang dilakukan di sekolah merupakan faktor utama yang menentukan mutu hasil belajar sains peserta didik (Toharudin, 2011).

Pembelajaran formal di sekolah masih belum optimal, termasuk dalam pembelajaran fisika. Pembelajaran yang belum optimal timbul karena permasalahan- permasalahan yang dialami pada proses pembelajaran (Sudiyono, 2010). Salah satu contohnya adalah materi ajar sains (IPA) yang tercantum dalam kurikulum yang berlaku dewasa ini, maupun yang disajikan dalam buku-buku teks IPA yang beredar saat ini, tampaknya lebih cenderung mengarah pada “science for scientist”. Penyajian materi lebih terfokus pada penyiapan anak didik untuk menjadi ilmuwan, tuntutan akademik dan formulasi matematikanya cukup tinggi. Kajian ontologi dan epistemologinya mendalam, sedangkan kajian aksiologinya kurang mendapat sentuhan. Kondisi demikian cenderung menggiring para siswa untuk belajar sains hanya untuk keperluan ulangan atau ujian. Konsep-konsep dan prinsip-prinsip sains seolah-olah hanya untuk dipelajari di sekolah, dan bukan kepentingan pemecahan masalah dalam kehidupan sehari-hari. Di mata siswa, sains sepertinya hanya ada dalam koridor sekolah. Hal demikian jelas tidak mendukung tercapainya literasi sains dan teknologi bagi siswa (Sadia, 2009). Disisi lain orentasi, materi dan pendekatan pembelajaran yang kurang efektif menyebabkan pendidikan masih berdampak lemah (low impact) pada pembentukan pemahaman secara mendalam terhadap isu-isu lingkungan dan penumbuhan kesadaran lingkungan dikalangan peserta didik. Orentasi pendidikan yang terlalu berpusat pada pengetahuan dan melupakan sikap dan kecenderungan berprilaku dalam permasalahan lingkungan turut menyebabkan pendidikan lingkungan hidup kurang efektif dalam mengembangkan manusia sebagai penjaga lingkungan.

Sebagai solusi untuk mengatasi masalah-masalah pada proses pembelajaran adalah melalui implementasi model-model pembelajaran yang inovatif. Salah satu model pembelajaran inovatif yang dapat diterapkan adalah model pembelajaran Sains- Teknologi-Masyarakat (STM). Rustum Roy (dalam Sadia, 2009) menyatakan bahwa model pembelajaran STM dalam pembe lajaran sains merupakan “perekat” yang Sebagai solusi untuk mengatasi masalah-masalah pada proses pembelajaran adalah melalui implementasi model-model pembelajaran yang inovatif. Salah satu model pembelajaran inovatif yang dapat diterapkan adalah model pembelajaran Sains- Teknologi-Masyarakat (STM). Rustum Roy (dalam Sadia, 2009) menyatakan bahwa model pembelajaran STM dalam pembe lajaran sains merupakan “perekat” yang

Hidayat (dalam Sadia, 2009) mengemukakan empat ciri model pembelajaran STM antara lain: 1) difokuskan pada isu-isu sosial dan teknologi di masyarakat yang terkait dengan konsep dan prinsip sains yang akan diajarkan, 2) diarahkan pada peningkatan pengetahuan dan ketrampilan siswa dalam membuat keputusan berdasarkan informasi ilmiah, 3) tanggap terhadap karir pada masa depan, dan 4) evaluasi belajar ditekankan pada kemampuan siswa dalam memperoleh dan menggunakan informasi ilmiah untuk memecahkan masalah. Ciri-ciri tersebut sangat mendukung terbentuknya individu yang literasi sains dan teknologi sehingga mendukung terciptanya pendidikan untuk pembangunan yang berkelanjutan yang dicanangkan oleh UNESCO. Keempat ciri model STM ini direalisasikan melalui empat fase dalam model pembelajaran STM yaitu invitation ( brainstorm an issue or topic ) , exploration, proposing explanations and solutions, dan taking action (Dass, 2005).

Ditinjau dari aspek bahan kajian, kegiatan guru, dan kegiatan murid, pengajaran sains dengan pendekatan sains teknologi masyarakat mempunyai keunggulan dalam meningkatkan prestasi belajar siswa serta literasi sains siswa dibandingkan dengan pembelajaran dengan pendekatan tradisional (Hadiat dalam Subratha, 2003). Suatu pokok bahasan atau bahan kajian bisa disajikan dengan model pembelajaran STM dengan syarat (1) ada isu sosial dan teknologinya, dan (2) isu sosial dan teknologi pokok bahasan atau bahan kajian tersebut ada di sekitar kehidupan siswa.

Beberapa peneliti telah melakukan penelitian terhadap model pembelajaran Sains-Teknologi-Masyarakat (STM) ini. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Yager (1994)

STM memberikan peningkatan/perubahan yang signifikan pada lima domain yang disampaikan oleh Yager-McCormack (dalam Yager, 1994), yaitu domain konsep, proses, aplikasi, kreatifitas dan sikap. Siswa yang belajar dalam kelas STM menunjukkan peningkatan hasil belajar yang lebih baik dalam domain konsep, ketrampilan proses kreativitas, sikap dan aplikasi konsep dibandingkan dengan siswa dalam kelas yang menggunakan model directed inquiry (Yager et. al. 2009). Pendekatan STM yang dimodifikasi dengan

menunjukkan

bahwa

model

pembelajaran pembelajaran

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang diatas, maka dapat dituliskan rumusan masalah berikut.

1) Bagaimana karakteristik dari model pembelajaran STM?

2) Apa yang dimaksud dengan literasi sains dan teknologi?

3) Bagaimana implementasi model pembelajaran STM dapat meningkatkan literasi sains dan teknologi siswa?

1.3 Tujuan

Berdasarkan rumusan masalah diatas maka tujuan dari penulisan makalah ini adalah sebagai berikut.

1) Memaparkan tentang model Pembelajaran Sains-Teknologi-Masyarakat.

2) Memaparkan tentang literasi sains dan teknologi.

3) Menjelaskan implementasi model pembelajaran STM dapat meningkatkan literasi sains dan teknologi siswa

1.4 Manfaat

Penulisan makalah ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi guru-guru sains dalam menambah wawasan mengenai model pembelajaran inovatif yaitu model pembelajaran Sains-Teknologi-Masyarakat dan implementasinya dalam membentuk dan meningkatkan literasi sains dan teknologi siswa.

BAB II PEMBAHASAN

2.1 Model Pembelajaran Sains – Teknologi – Masyarakat

Pembelajaran Sains-Teknologi-Masyarakat lahir dari paham konstruktivis yang kemudian menghasilkan sebuah pendekatan dalam pembelajaran. Pendekatan STM merupakan salah satu pendekatan dalam pembelajaran Sains di sekolah. Sasaran yang ingin dicapai melalui pendekatan STM adalah meningkatkan minat siswa terhadap Sains serta membentuk pribadi siswa yang literasi sains dan teknologi. Melalui pendekatan STM, para siswa sebagai warga masyarakat diharapkan lebih bertanggung jawab terhadap lingkung an alam dan sosialnya. Pendekatan STM merupakan “perekat” yang mempersatukan sains, teknologi, dan masyarakat (Rustum Roy dalam Sadia 2009). Pengajaran Sains akan lebih bermakna jika konsep-konsep, prinsip-prinsip, dan teori- teori Sains dikemas dalam kerangka yang bertalian dengan teknologi dan masyarakat.

Hasil penelitian yang dilakukan USA oleh Yager (dalam Sadia, 2009) menunjukkan bahwa jumlah siswa yang merasa bahwa sains tidak menyenangkan dan hanya merupakan hafalan fakta, meningkat pada kelas-kelas yang makin tinggi. Kesan siswa bahwa guru Sains berusaha membuat sains menarik, menimbulkan rasa ingin tahu, serta mendorong siswa untuk berani mengemukakan pendapat, menurun pada kelas-kelas yang makin tinggi. Di samping itu, terungkap pula bahwa: 1) guru Sains terikat pada buku ajar yang diikuti baik isi, urutan maupun contoh-contohnya secara kaku, 2) kebutuhan dan minat siswa diabaikan, dan 3) disiplin dalam sains dipisahkan secara sangat tajam, dan tidak ditunjukkan aplikasinya dan kaitannya dengan disiplin lainnya.

National Science Teacher Assosiation (NSTA) di USA mendefinisikan pendekatan STM sebagai “the teaching and learning of science in the contaxt of human experience ” (Yager, 1992a). NSTA (dalam Yager, 1992a)mengajukan sebelas ciri dalam mendeskripsikan pendekatan STM dalam pembelajaran Sains, yaitu:

1) Siswa mengidentifikasi masalah-masalah sosial dan teknologi di daerahnya serta dampaknya.

2) Menggunakan sumber lokal (manusia dan material) untuk memperoleh informasi yang dapat digunakan untuk memecahkan masalah.

3) Keterlibatan siswa secara aktif dalam mencari informasi yang dapat digunakan dalam memecahkan masalah dalam kehidupan nyata.

4) Perluasan untuk terjadinya proses belajar yang melampaui waktu, kelas, dan sekolah.

5) Memusatkan pengaruh sains dan teknologi kepada siswa.

6) Pandangan bahwa materi subyek lebih dari sekedar konsep yang harus dikuasai siswa.

7) Penekanan pada keterampilan proses yang dapat digunakan siswa dalam memecahkan masalah.

8) Penekanan terhadap kesadaran karir, terutama karir yang berhubungan dengan sains dan teknologi.

9) Memberi kesempatan kepada siswa untuk berperan sebagai warga masyarakat, jika telah dapat mengatasi isu yang telah diidentifikasinya.

10) Identifikasi cara-cara yang memungkinkan sains dan teknologi memecahkan masalah di masa depan.

11) Perwujudan otonomi dalam proses belajar sebagai isu individu. Keuntungan pendekatan STM dalam pembelajaran Sains adalah berlakunya model belajar konstruktivis. Pendekatan STM sejajar dengan pelaksanaan pandangan konstruktivisme dalam belajar dan mengajar (Yager, 1992b). Bordner (dalam Sadia, 2009) menyatakan bahwa pandangan konstriktivisme dalam belajar dan mengajar didasarkan atas asumsi bahwa “pengetahuan dibangun di dalam pikiran pebelajar” .

Model konstruktivis tentang belajar dan mengajar, memberi tekanan pada pentingnya peran prior knowledge siswa dalam belajar, serta memperhatikan bagaimana pengetahuan itu dibangun di dalam struktur kognitif siswa. Jadi, model konstruktivis menempatkan siswa pada posisi sentral dalam proses pembelajaran. Pendekatan STM di samping menggunakan konsep-konsep dan prinsip-prinsip yang berlaku pada model konstruktivis dalam pembelajaran, juga memberi kesempatan kepada siswa sebagai decision maker dalam memecahkan masalah.

Berikut ini dikemukakan perbandingan antara karakteristik pembelajaran Sains yang Tradisional yang pada umumnya diikuti oleh para guru Sains dan karakteristik pembelajaran Sains dengan pendekatan STM. Pembelajaran Sains Tradisional

(1) Konsep-konsep diperoleh dari buku teks. (2) Menggunakan laboratorium dan aktivitas yang disarankan dalam buku petunjuk.

(3) Keterlibatan siswa kurang aktif, karena informasi biasanya telah disediakan guru atau ada dalam LKS. (4) Pernyataan pentingnya informasi berasal dari guru. (5) Siswa berkonsentrasi pada masalah yang disiapkan oleh guru. (6) IPA dipelajari di sekitar dinding kelas, sebagai bagian dari kurikulum.

Pembelajaran Sains dengan Pendekatan STM (1) Masalah diidentifikasi oleh siswa. (2) Keterlibatan siswa lebih aktif, karena mereka harus mencari sendiri informasi

yang digunakan untuk memecahkan masalah. (3) Pembelajaran Sains dapat melampaui apa yang tertera dalam kurikulum. (4) Proses belajar sangat berpusat pada siswa. (5) Tidak hanya ditekankan pada keterampilan proses, tetapi juga metode ilmiah

yang digunakan ilmuwan. (6) Konsep-konsep yang dipelajari tidak hanya bersumber dari buku teks, tetapi juga dari masyarakat. (7) Para siswa memperoleh kesempatan untuk berfungsi sebagai “decision maker” dalam memecahkan masalah. Ditinjau dari penggunaan buku teks, antara kelas yang diajar dengan pendekatan Tradisional dan kelas yang diajar dengan pendekatan STM, terdapat beberapa perbedaan. Yager (dalam Sadia, 2009) menguraikan perbedaan-perbedaan tersebut seperti ditunjukkan dalam Tabel 2.1 berikut.

Tabel 2.1 Perbedaan Pendekatan STM dan Tradisional ditinjau dari Penggunaan Buku Teks

Tradisional

STM

1. Buku teks dapat digunakan terus 1. Buku teks hanya digunakan jika menerus.

diperlukan sebagai sumber informasi. 2. Guru membantu siswa dalam

jawaban dari 2. Guru menyediakan informasi untuk

menemukan

pertanyaannya.

dicatat dan diulangi.

Siswa merencanakan aktivitas sebagai cara untuk menguji idenya dan

3. Kegiatan belajar disiapakan terma-

penjelasannya.

suk tujuan akhir. 4. Masalah dan isu yang ada sering dipersiapkan sebagai konteks belajar.

4. Tidak ada perhatian terhadap masalah 5. Siswa mengusulkan kegiatan, sumber informasi, dan pertanyaan baru. dan isu yang sedang “ngetrend”. 5. Siswa mengerjakan apa yang ada 6. Sering menggunakan laporan berita

dalam buku dan guru suruh untuk

dan situasi saat itu. 7. Ide dan informasi diperlukan untuk dan situasi saat itu. 7. Ide dan informasi diperlukan untuk

dan jurnal. kesatuan yang utuh di masyarakat dan 7. Ide dan informasi dipresentasi untuk

dalam kehidupan siswa. dikuasai. 8. “Sains” ditempatkan pada wadah yang dinamai kelas sains atau kelas laboratorium.

Lebih lanjut, Yager (dalam Sadia, 2009) mengungkapkan beberapa perbedaan antara kelas yang diajar dengan pendekatan Tradisional dan kelas yang diajar dengan pendekatan STM dilihat dari penguasaan konsep dan keterampilan proses. Perbedaan-perbedaan tersebut diuraikan dalam Tabel 2.2 berikut.

Tabel 2.2 Perbedaan Pendekatan STM dan Tradisional ditinjau dari Penguasaan Konsep dan Keterampilan Proses

Tradisional STM

1. Konsep hanya disiapkan untuk 1. Siswa melihat konsep sebagai penguasaan tes yang dibuat guru.

kebutuhan pribadi. 2. Konsep dilihat sebagai hasil akhir 2. Konsep dilihat dari keperluannya yang dicapai siswa.

untuk pemecahan masalah. 3. Penguasaan konsep bersifat semen- 3. Siswa yang belajar dengan penga- tara.

laman memperoleh pengetahuan dan dapat

menghubungkan penge- tahuannya dengan situasi baru.

4. Siswa melihat proses sains sebagai keterampilan yang mereka dapat

4. Siswa melihat proses sains sebagai

gunakan. keterampilan yang dilakukan oleh 5. Siswa melihat proses sains sebagai

keterampilan yang diperlukan untuk ilmuwan.

5. memperbaiki dan membangun diri- Siswa melihat proses sains sebagai nya secara lebih sempurna.

sesuatu yang dipraktekkan yang merupakan tuntutan pelajaran.

6. Siswa melihat proses sains sebagai bagian penting dari apa yang mereka

kerjakan di dalam belajar sains. 6. Siswa melihat proses sains yang abstrak, sempurna, tidak dapat dicapai, dan tidak berhubungan dengan hidupnya.

Ditinjau dari sisi penerapan konsep sains yang diperoleh siswa, Yager (dalam Sadia, 2009) menguraikan perbedaan antara siswa yang diajar dengan pendekatan Tradisional dan siswa yang diajar dengan pendekatan STM diuraikan pada Tabel 2.3 berikut.

Tabel 2.3 Perbedaan Pendekatan STM dan Tradisional ditinjau dari Penerapan Konsep Sains

Tradisional STM

1. Siswa tidak melihat nilai dan atau 1. Siswa dapat menghubungkan sains kegunaan dari pelajaran sains untuk

dipelajari dengan kehidupannya.

yang

kehidupannya. 2. Siswa tidak melihat nilai dari sains 2. Siswa menjadi terlibat dalam

yang dipelajari untuk memecahkan pemecahan isu-isu sosial; mereka masalah yang ada di masyarakat.

melihat manfaat dari belajar sains untuk menjadi warga negara yang bertanggung jawab.

3. Siswa menginginkan informasi yang berhubungan dengan masalah.

tertarik Siswa dapat menceritakan informasi dengan atau konsep yang dipelajari.

3. 4. Siswa

perkembangan teknologi baru dan menggunakannya untuk melihat

kepentingannya serta kecocokannya 4. Siswa tidak dapat menghubungkan

dengan konsep sains. sains yang dipelajari dengan teknologi

yang ada pada saat itu.

Berdasarkan perbandingan di atas, terlihat adnya keunggulan pembelajaran IPA dengan pendekatan STM terhadap pembelajaran tradisional dalam meningkatkan penguasaan siswa terhadap konsep-konsep dan prinsip-prinsip Sains, khususnya dalam menyiapkan individu siswa yang literasi sains dan teknologi.

Setelah melalui penelitian-penelitian yang cukup lama menggunakan hasil penelitian, skripsi, tesis dan disertasi diperoleh kesimpulan bahwa Sains-Teknologi- Masyarakat sebagai pendekatan dapat menjangkau siswa yang tergolong berkemampuan rendah dalam kelas karena dirasakan oleh siswa lebih menarik, nyata dan aplikatif (Poedjiadi, 2010). Beberapa peneliti juga telah melaksanakan penilaian terhadap keenam ranah dari pendekatan Sains-Teknologi-Masyarakat.

Dari analisis terhadap penelitian-penelitian yang telah dilakukan, tampak adanya pola tertentu dari langkah-langkah yang dilakukan dalam proses pembelajaran yaitu adanya isu-isu sains yang dipecahkan melalui kegiatan penyelidikan dan adanya pementapan konsep yang menuntut kejelian guru, untuk mencegah terjadinya miskonsepsi. Dass (2005) dalam penelitiannya menjabarkan langkah-langkah dari model pembelajaran STM dalam empat fase pembelajaran yaitu Invitation, Exploration, Proposing explanations and solutions dan Taking action. Langkah-langkah ini memiliki kesesuaian dengan langkah model pembelajaran STM yang dijabarkan oleh Poedjiadi (2010), yaitu pendahuluan (inisiasi/invitasi/apersepsi/eksplorasi terhadap siswa), Dari analisis terhadap penelitian-penelitian yang telah dilakukan, tampak adanya pola tertentu dari langkah-langkah yang dilakukan dalam proses pembelajaran yaitu adanya isu-isu sains yang dipecahkan melalui kegiatan penyelidikan dan adanya pementapan konsep yang menuntut kejelian guru, untuk mencegah terjadinya miskonsepsi. Dass (2005) dalam penelitiannya menjabarkan langkah-langkah dari model pembelajaran STM dalam empat fase pembelajaran yaitu Invitation, Exploration, Proposing explanations and solutions dan Taking action. Langkah-langkah ini memiliki kesesuaian dengan langkah model pembelajaran STM yang dijabarkan oleh Poedjiadi (2010), yaitu pendahuluan (inisiasi/invitasi/apersepsi/eksplorasi terhadap siswa),

Pada fase invitation, guru/siswa mengungkapkan isu-isu atau masalah yang terkait dengan situasi kehidupan nyata siswa. Dari beberapa isu yang telah diungkapkan, guru/siswa memilih salah satu isu yang akan didiskusikan/ dicari penyelesaiannya, atau guru dapat mengarahkan isu-isu yang disampaikan ke isu yang akan dibahas/sudah disiapkan oleh guru dalam LKS. Isu yang disampaikan dapat bermasalah atau tidak bermasalah dan merupakan pernyataan yang dapat mengundang pro dan kontra. Hal ini mengharuskan siswa berfikir untuk menganalisis isu tersebut. Dengan demikian ada interaksi antara guru dan siswa atau antara siswa dengan siswa lain. Proses interaksi ini menuntut seseorang untuk berfikir tentang ide-ide dan analisis yang akan dikemukakan atau cara mempertahankan pandangan tentang isu-isu tersebut.

Pada fase Exploration, siswa mengidentifikasi pertanyaan-pertanyaan kristis/spesifik yang diperlukan untuk mengarahkan isu-isu yang dibahas pada materi pembelajaran, kemudian dilanjutkan dengan mencari dan menganalisis informasi dan data ilmiah yang diperlukan untuk mengarahkan pertanyaan-pertanyaan kritis yang telah disampaikan. Selanjutnya siswa mendesain proses penyelidikan dan melakukan kegiatan eksperimen/studi pustaka untuk mengekplorasi konsep-konsep yang terkait dengan masalah yang akan dipecahkan. Fase eksplorasi memberikan dasar untuk memformulasikan hipotesis, mendesain penjelasan dan mengajukan pemecahan masalah pada fase selanjutnya.

Pada fase yang ketiga yaitu fase proposing explanations and solutions, siswa bersama kelompoknya menganalisis informasi yang telah dikumpulkan dari kegiatan eksperimen/studi pustaka kemudian mensintesis pemecahan masalah berdasarkan hasil analisanya. Pemecahan masalah yang diperoleh masing-masing kelompok dipresentasikan melalui kegiatan diskusi kelas sehingga setiap kelompok dapat membandingkan hasil yang mereka peroleh. Semua informasi/konsep yang telah dipelajari dalam menemukan pemecahan masalah dievaluasi kembali agar tidak terjadi miskonsepsi. Bagian akhir dari fase ini adalah setiap kelompok merefleksi dan melakukan perbaikan terhadap hasil kegiatan kelompoknya berdasarkan apa yang telah mereka peroleh dari diskusi kelompok.

Pada fase terakhir yaitu fase taking action, siswa mengaplikasikan konsep- konsep yang telah dipelajari pada permasalahan lain yang terkait dan guru memberi kesempatan kepada siswa untuk menyimpulkan seluruh kegiatan yang telah dilakukan.

2.2 Literasi Sains dan Teknologi.

Literasi sains berasal dari kata literatus yang dapat diartikan sebagai melek huruf atau berpendidikan dan scientia yang artinya memiliki pengetahuan. Istilah literasi sains pertama kali digunakan oleh Paul de Hart Hurt dari Stanford University yang mengartikan literasi sains sebagai tindakan memahami sains dan mengaplikasikannya bagi kehidupan masyarakat (Boer dalam Toharudin, 2011).

Pada tahun 2003, PISA mendefenisikan literasi sains sebagai kapasitas untuk menggunakan pengetahuan ilmiah, kemampuan mengidentifikasi pertanyaan- pertanyaan dan menarik kesimpulan berdasarkan bukti-bukti yang ada agar dapat memahami dan membantu peserta didik untuk membuat keputusan tentang dunia alami dan interaksi manusia dengan alam. Seiring dengan pesatnya perkembangan sains dan teknologi, definisi ini juga mengalami perkembangan. Pada tahun 2006, PISA mendefenisikan kembali literasi sains sebagai kemampuan untuk mengidentifikasi isu ilmiah, menjelaskan fenomena secara ilmiah, dan menggunakan bukti ilmiah itu dalam kehidupan sehari-hari. Berdasarkan paparan beberapa definisi tentang literasi sains, Toharudin (2011:8) merumuskan Literasi sains sebagai kemampuan seseorang untuk memahami sains, mengkomunikasikan sains (lisan dan tulisan), serta menerapkan pengetahuan sains untuk memecahkan masalah sehingga memiliki sikap dan kepekaan yang tinggi terhadap diri dan lingkunganya dalam mengambil keputusan berdasarkan pertimbangan-pertimbangan sains.

Literasi sains meliputi dua kompetensi utama. Pertama, kompetensi belajar sepanjang hayat, termasuk membekali peserta didik untuk belajar di sekolah yang lebih lanjut. Kedua, kompetensi dalam menggunakan pengetahuan yang dimilikinya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya yang banyak dipengaruhi oleh perkembangan sains dan teknologi. Menurut Miller (dalam Toharudin, 2011) konsep literasi sains terdiri dari dua dimensi, yaitu: 1) dimensi kosakata yang menunjukkan istilah sains sebagai fondasi dasar dalam membaca dan memahami bacaan sains, dan 2) dimensi proses inquiri yang menunjukkan pemahaman dan kompetensi untuk memahami dan mengikuti argumen tentang sains dan hal-hal yang berhubungan dengan kebijakan teknologi media.

Aspek-aspek literasi sains menurut BouJaoude (dalam Dani, 2009) diuraikan pada Tabel 2.4 berikut.

Tabel 2.4 Aspek-Aspek Literasi Sains

Aspek

Komponen

Pengetahuan tentang sains Fakta, konsep, prinsip, hukum, hipotesis, teori, dan pemodelan dari sains

Penyelidikan tentang hakekat Menggunakan metode dan proses sains seperti sains

mengamati, mengukur, mengklasifikasi, menyimpulkan, mencatat dan menganalisis data. Berkomunikasi menggunakan berbagai cara seperti tulisan, bahasa, menggunakan grafik, tabel, membuat perhitungan dan percobaan.

Sains sebagai cara untuk Penekanan pada berfikir, memberi alasan, dan mengetahui

refleksi dalam mengkonstrusi pengetahuan ilmiah dan karya para ilmuwan. Mengempiriskan sifat/hakekat sains Memastikan sifat obyektivitas dari sains Menggunakan asumsi-asumsi dalam sains Memberikan alasan secara deduktif dan induktif Hubungan antara sebab dan akibat Hubungan antara bukti/fakta dan alasan Peran penilaian diri dalam sains Mendeskripsikan bagaimana ilmuwan melakukan eksperimen

Interaksi antara sains, teknologi Dampak sains dalam masyarakat dan masyarakat

Hubungan yang dalam antara sains, masyarakat dan teknologi Karir Hubungan sains dan isu-isu sosial Penggunaan sains untuk kepentingan pribadi dalam membuat keputusan sehari-hari, memecahkan masalah sehari-hari, dan meningkatkan taraf hidup Hubungan antara sains dan isu-isu moral dan etika

Menurut Poedjiadi (2010), seseorang yang memiliki kemampuan literasi sains dan teknologi adalah orang yang memiliki kemampuan untuk menyelesaikan masalah dengan menggunakan konsep-konsep sains yang diperoleh dalam pendidikan sesuai dengan jenjangnya, mengenal produk teknologi yang ada di sekitarnya beserta dampaknya, mampu menggunakan produk teknologi dan memliharanya, kreatif dalam membuat hasil teknologi yang disederhanakan sehingga para peserta didik mampu mengambil keputusan berdasarkan nilai dan budaya masyarakt setempat. Laugksch dalam Toharudin (2011) menyatakan bahwa pengembangan literasi sains sangat penting karena ia dapat memberi kontribusi bagi kehidupan sosial dan ekonomi, serta untuk memperbaiki pengambilan keputusan di tingkat masyarakat dan personal.

Untuk menerapkan pembelajaran yang berliterasi sains, diperlukan pemahaman yang cukup dan memadai mengenai karakteristik manusia yang memiliki literasi sains Untuk menerapkan pembelajaran yang berliterasi sains, diperlukan pemahaman yang cukup dan memadai mengenai karakteristik manusia yang memiliki literasi sains

1) Bersikap positif terhadap sains.

2) Mampu menggunakan proses sains.

3) Berpengetahuan luas tentang hasil-hasil riset.

4) Memiliki pengetahuan tentang konsep dan prinsip sains, serta mampu menerapkannya dalam teknologi dan masyarakat.

5) Memiliki pengertian hubungan sains, teknologi, masyarakat dan nilai-nilai manusia.

6) Berkemampuan membuat keputusan dan terampil menganalisis nilai untuk

pemecahan masalah-masalah masyarakat yang berhubungan dengan sains.

Adapun ciri-ciri sosok warga masyarakat atau individu yang literasi sains dan teknologi menurut National Science Teacher Association (NTSA) dalam Poedjiadi (2010: 102) adalah sebagai berikut.

1) Menggunakan konsep-konsep sains, ketrampilan proses dan nilai apabila ia mengambil keputusan yang bertanggungjawab dalam kehidupan sehari-hari.

2) Mengetahui bagaimana masyarakat mempengaruhi sains dan teknologi serta bagaimana sains dan teknologi mempengaruhi masyarakat.

3) Mengetahui bahwa masyarakat mengontrol sains dan teknologi melalui pengelolaan sumber daya alam.

4) Menyadari keterbatasan dan kegunaan sains dan teknologi untuk meningkatkan kesejahteraan manusia.

5) Memahami sebagaian besar konsep-konsep sains, hipotesis dan teori sains dan mampu menggunakannya.

6) Menghargai sains dan teknologi sebagai stimulus intelektual yang dimilikinya.

7) Mengetahui bahwa pengetahuan ilmiah bergantung pada proses-proses inkuari dan teori-teori.

8) Membedakan antara fakta ilmiah dan opini pribadi.

9) Mengakui asal usul sains, dan mengetahui bahwa pengetahuian ilmiah itu tentatif.

10) Mengetahui aplikasi teknologi dan pengambilan keputusan menggunakan teknologi.

11) Memiliki pengetahuan dan pengalaman yang cukup untuk memberi penghargaan kepada penelitian dan pengembangan teknologi.

12) Mengetahui sumber-sumber informasi dari sains dan teknologi yang dipercaya

dan menggunakan sumber-sumber tersebut dalam pengambilan keputusan.

Ciri-ciri tersebut di atas akan terbentuk dan terkristalisasi pada diri siswa jika mereka belajar sains melalui pendekatan sains-teknologi-masyarakat (STM), dan substansi materi ajar sains selalu kontekstual dengan isu-isu sosial dan teknologi yang terdapat di lingkungan siswa.

Materi ajar sains yang tercantum dalam kurikulum yang berlaku dewasa ini, maupun yang disajikan dalam buku-buku teks IPA yang beredar dewasa ini, tampaknya cenderung mengarah pada “science for scientist”. Materi ajar yang disajikan terfokus pada penyiapan anak didik untuk menjadi ilmuwan, tuntutan akademik dan formulasi matematikanya cukup tinggi. Kajian ontologi dan epistemologinya mendalam, sedangkan kajian aksiologinya kurang mendapat sentuhan. Kondisi demikian cenderung menggiring para siswa untuk belajar sains hanya untuk keperluan ulangan atau ujian. Mereka merasa bangga jika nilai sains dalam raportnya tinggi atau jika nilai UN sainsnya tinggi, meskipun mereka tidak dapat berbuat apa-apa saat listrik di rumahnya mengalami hubungan singkat (konsleting). Konsep-konsep dan prisip-prinsip sains seolah-olah hanya untuk dipelajari di sekolah, dan bukan kepentingan pemecahan masalah dalam kehidupan sehari-hari. Di mata siswa, sains sepertinya hanya ada dalam koridor sekolah. Hal demikian jelas tidak mendukung tercapainya literasi sains dan teknologi bagi siswa.

Dalam upaya pencapaian literasi sains dan teknologi bagi siswa, maka materi ajar sains semestiny a lebih berorientasi pada “science for life”. Minimal terdapat porsi yang seimbang antara “science for scientist” dan “science for life”. Science for life merupakan sains yang lebih sederhana, matematikanya tidak terlalu tinggi, dan sangat kontekstual dengan kehidupan sehari-hari. Kajiannya lebih mendalam pada aspek aksiologinya, dan bukan pada aspek ontologi dan epistemologinya. Penyajian materi ajar yang berorientasi pada science for life akan mendorong para siswa untuk belajar sains tidak hanya untuk menghadapi ulangan atau ujian, tetapi juga untuk memecahkan masalah dalam kehidupannya sehari-hari. Sains tidak hanya dirasakan ada dalam koridor sekolah, tetapi juga ada di masyarakat di luar sekolah. Mereka juga akan meras belum puas jika belum mampu memecahkan masalah dalam kehidupan sehari-hari berdasarkan konsep-konsep dan prinsip- prinsip sains. Melalui “science for life” para siswa akan menemukan kebermaknaan sains dalam kehidupan sehari-hari.

2.3 Implementasi model pembelajaran STM untuk meningkatkan literasi sains dan teknologi siswa.

Model pembelajaran STM dalam pembelajaran sains merupakan “perekat” yang mempersatukan sains, teknologi, dan masyarakat. Isu-isu sosial dan teknologi di masyarakat merupakan karakteristik kunci dari model pembelajaran STM. Melalui model pembelajaran STM, para siswa belajar sains dalam konteks pengalaman nyata, yang mencakup penerapan sains dan teknologi. Pengetahuan yang dibangun melalui model pembelajaran STM akan ada pada diri siswa sebagai copy situasi kehidupan nyata.

Terdapat empat fase dalam model pembelajaran STM yaitu Invitation, Exploration, Proposing explanations and solutions dan Taking action. Keempat fase ini merupakan realisasi dari empat ciri model pembelajaran STM antara lain: 1) difokuskan pada isu-isu sosial dan teknologi di masyarakat yang terkait dengan konsep dan prinsip sains yang akan diajarkan, 2) diarahkan pada peningkatan pengetahuan dan ketrampilan siswa dalam membuat keputusan berdasarkan informasi ilmiah, 3) tanggap terhadap karir pada masa depan, 4) evaluasi belajar ditekankan pada kemampuan siswa dalam memperoleh dan menggunakan informasi ilmiah untuk memecahkan masalah.

Keempat fase yang terdapat pada model pembelajaran STM akan mampu memberikan kontribusi terhadap peningkatan literasi sains dan teknologi siswa. Pada fase invitation, guru/siswa mengungkapkan isu-isu atau masalah yang terkait dengan situasi kehidupan nyata siswa. Isu yang disampaikan dapat bermasalah atau tidak bermasalah dan merupakan pernyataan yang dapat mengundang pro dan kontra. Hal ini mengharuskan siswa berfikir untuk menganalisis isu tersebut. Dengan demikian ada interaksi antara guru dan siswa atau antara siswa dengan siswa lain. Proses interaksi ini menuntut seseorang untuk berfikir tentang ide-ide dan analisis yang akan dikemukakan atau cara mempertahankan pandangan tentang isu-isu tersebut. Fase invitation ini dapat menumbuhkan literasi sains siswa terutama pada aspek “interaksi antara sains, teknologi dan masyarakat” khususnya pada komponen “hubungan sains dan isu-isu sosial”. Pada