ANALISIS DESKRIPTIF FAKTOR INTERNAL and

ANALISIS DESKRIPTIF FAKTOR INTERNAL & EKSTERNAL
MANAJEMEN RISIKO LIKUIDITAS BANK “X”
Oleh: Priyo Darmawan
Abstracts
Bank as a publicly-trust community organization, which responsibled to a
intermediacy function, it encounters some business risks that might be managed
in order to minimize loss potentials. One of crucial risks is liquidity risk, even
after issuing of Surat Edaran Bank Indonesia No. 11/16/DPNP dated 6 July
2009 that stated Risk Management Application for Liquidity Risk.
This study is aimed to descriptively make internal factor and external factor
analysis of liquidity risk management at Bank X before and after issuing Surat
Edaran Bank Indonesia dated July 6th, 2009.
Keywords : Liquidity risk, risk management,
1. PENDAHULUAN
Sejak terjadinya resesi keuangan dunia tahun 1997 hingga timbulnya NPF
pada portofolio pembiayaan yang dilakukan oleh Bank X sebagaimana kasus
subprime crisis dari tahun 2007-2009 tanpa diduga tekah membawa dampak
“contagion effect” yang meng”global”, banyak bank dan entitas baik di Indonesia
maupun diseluruh dunia mengalami financial distress. Konsekuensinya,
diantaranya terpaksa merger atau bahkan mengalami kebangkrutan.
Mencermati dari sisi mikro, meningkatnya pesaingan untuk memperoleh

dana nasabah, semakin berkembangnya produk-produk perbankan dari pasar
modal dan kemajuan tehnologi telah mengubah cara bank memperoleh pendanaan
dan mengelola risiko likuiditas. Sedangkan dari sudut makro, merebaknya risiko
likuiditas ditengah krisis dapat dihubungkan dengan perubahan struktural sistim
keuangan, khususnya inovasi keuangan, yang memberikan kontribusi yang besar
pada peningkatan aset keuangan melalui proses yang terkait.
Tabel 1. Kinerja Bank X sebelum dan sesudah terbit SEBI 6 Juli 2009
Ket
FDR
GWM
DPK (Mil)
Pembiayaan
(Mil)
NPF

Mei-09

Jun-09

Jul-09


Agst-09

Sep-09

Okt-09

Nop-09

Des-09

Jan-10

109.2%
5,038%
3.114

104.2%
5,023%
3.131


102.4%
5.0%
3.360

97.3%
5,547%
3.514

84.6%
5,600%
3.642

94.61%
6.27%
3.832

81.7%
6.73%
3.818


78.0 %
5.28%
4.370

76.12%
4.03%
4.272

3.363

3.340

3.450

3.432

3.452

3.512


3.276

3.265

3.116

6.59%

6.31%

6.48%

6.64%

7.26%

8.70%

3.81%


2.35%

3.34%

Sumber : *) Laporan bulanan Statistik Perbankan Syariah diolah .

Jurnal Ekonomi STEI No. 02/Th.XIX/April –Juni 2010

1

Tabel 1 diatas terlihat kinerja likuiditas Bank X sejak diterbitkan Surat Edaran
No.11/DPNP tanggal 6 Juli 2009 cenderung membaik, akan tetapi malahan
pembiayaan menurun dan makin membengkaknya Dana Pihak Ketiga (DPK).
Dengan mempertimbangkan kondisi diatas, penulis tertarik untuk
mengkaji secara deskriptif bagaimana faktor internal dan eksternal daripada
manajemen risiko likuikditas pada Bank X dari kurun waktu sebelum dan sesudah
terbitnya Surat Edaran Bank Indonesia diatas.
2. Landasan Teori
2.1 Pendekatan Likuiditas Aset (Assets Liquidity).

Ada dua hal yang mendasari pendekatan manajemen likuiditas aset.
Pertama, adalah aset likuid atau lancar merupakan alternatif sumber dana bank.
Bank dapat menggunakan baik assets atau liabilities untuk memenuhi kebutuhan
kas. Pemilihan sumber dana akan sangat tergantung pada biaya relatif yang
dimiliki. Apabila biaya yang dikeluarkan untuk menjual aset lebih kecil daripada
untuk memperoleh dana dengan menjual sertifikat deposito, maka likuiditas aset
akan lebih diminati daripada likuiditas liabilitas untuk memenuhi kebutuhan
likuiditas tersebut. Kedua, adalah reserve. Apabila pasar uang kurang percaya
pada keamanan bank, maka hal ini akan menyebabkan sumber dana pinjaman sulit
diperoleh. Dalam situasi seperti ini, bank akan menyadarkan diri kepada aset
likuidnya guna memelihara operasi usahanya. Jadi likuiditas aset merupakan
sebuah cadangan guna mencegah potensi yang mungkin mengancam kesanggupan
bank dalam memenuhi kewajibannya. Pemeliharaannya dalam bentuk rasio,
regulasinya berupa primary reserve requirement yang diaplikasikan pada kas yang
disimpan didalam bank dan simpanan di Bank Sentral berupa Giro BI pada Bank
Indonesia. Cadangan primer yang ditetapkan melalui PBI No.10/23/PBI/2008
tanggal 16 Oktober 2008 pada perbankan syariah sebesar 5% untuk bank yang
mempunyai FDR (Financing to Deposit Ratio) diatas 80%.
2.2 Pendekatan Likuiditas Liabilitas (Liability Liquidity).
Pada pendekatan ini bahwa aset dapat digeser dari instrumen pasar uang

yang memberikan keuntungan yang rendah menjadi kredit yang memberikan
keuntungan yang lebih tinggi dan surat berharga jangka panjang. Dengan kata
lain, diversifikasi aset yang besar juga memungkinkan dalam konteks pendekatan
ini. Pada kondisi tertentu, risiko terjadi pada manajemen liabilitas. Seandainya
suku bunga naik secara mendadak, maka biaya bunga akan naik secara substansial
sebagai akibat pembelian dana segera dan harus di-roll-over pada tingkat bunga
yang tinggi. Apabila bank memiliki aset yang kurang sensitif terhadap perubahan
suku bunga daripada liabilitasnya, maka profit margin akan turun dan modal bank
kemungkinan tidak mencukupi. Pada profit margin yang menurun, bank harus
menjual aset tetapnya guna mereduksi kebutuhan likuiditasnya dan meningkatkan
rasio modalnya. Kerugian akibat penjualan aset yang besar, akan menekan profit
marginnya. Aset likuid akan meminimumkan kerugian modalnya, sehingga bank
memerlukan penguasanaan beberapa jumlah instrumen pasar uang untuk
membantu menutupi risiko suku bunga. Hal yang paling sulit dalam menerapkan
Jurnal Ekonomi STEI No. 02/Th.XIX/April –Juni 2010

2

liabilitas untuk memenuhi kebutuhan likuiditas adalah estimasi penyediaan dana
eksternal. Jumlah dana deposit dan non-deposit tergantung oleh beberapa faktor

antara lain kebijakan moneter melalui bank sentral, kondisi ekonomi dan kekuatan
finansial yang dimiliki oleh bank yang bersangkutan. Manajemen yang terbaik
adalah melalui kombinasi likuiditas aset dengan likuiditas liabilitas yang
selanjutnya sering disebut pendekatan manajemen dana.
3.

Analisis Faktor Internal dan Eksternal Manajemen Risiko Likuiditas

3.1 Analisis Faktor Internal.
Didalam metode dan strategi dalam manajemen aset dan liabilitas bank
konvensional terdapat metode penilaian kembali (repricing method). Repricing
method ini sebenarnya merupakan pendekatan pendapatan yang diperoleh bank.
Pertama yang dilakukan yaitu mengidentifikasi dan mengelompokkan aset atau
liabilitas yang rentan terhadap perubahan tingkat bunga, disini aset atau liabilitas
yang rentan terhadap besar kecilnya bagi hasil. Setelah mengelompokkan aset
atau liabilitas yang rentan terhadap besar kecilnya bagi hasil, selanjutnya
membandingkan keduanya. Jika aset lebih besar daripada liabilitasnya, maka
terjadi kesenjangan yang positip, dan sebaliknya jika aset lebih kecil daripada
liabilitasnya, maka terjadi kesenjangan yang negatif.
Pada tabel 2 dibawah terlihat dalam bulan Mei 2009 hingga bulan

Agustus 2009 dan bulan Januari 2010 nampak ”sensitive asset”-nya lebih besar
dari dari ”sensitive liabilities”-nya, maka dapat dikatakan terjadi posisi
kesenjangan positip (positive gap) atau mismatch yang akan menguntungkan
Bank X berupa kenaikan pendapatan bagi hasil bila prediksi penawaran bagi
hasil lebih kuat dari pesaing-pesaingnya (sesama bank umum syariah, unit usaha
syariah dan bank konvensional). Dengan kata lain penawaran bagi hasil dari Bank
X lebih menarik, dan sangat agresifnya mengejar kuantitas dalam hal ini target
pembiayaan yang sudah ditetapkan harus dipenuhi. Agresifitasnya ditunjukkan
dengan tingginya FDR (Financing to Deposit Ratio) pada bulan Mei 2009 hingga
bulan Juli 2009 yang memperlihatkan angka lebih besar daripada 100%. Dengan
makin tingginya prosentase FDR (Financing to Deposit Ratio), maka makin besar
berpotensi mengalami risiko likuiditas, karena mengejar kuantitas yang harus
dicapai, maka aspek kualitasnya agak terlupakan. Dampak dilupakannya aspek
kualitas pembiayaan, dimana pembiayaan merupakan bagian terbesar dari
”sensitive asset” mengalami masalah kolektibilitasnya atau tingginya ”nonperforming financing” (NPF).
Menurut Strategi Bisnis Ritel-Konsumer Bank X, bahwa diperoleh
temuan-temuan atau permasalahan atau penyebab tingginya NPF (nonperforming loan) antara lain disebabkan oleh : (a) Kualitas SDM (sumber daya
manusia), (b) Proses Pembiayaan, dan (c) Portofolio Pembiayaan.
Untuk kualitas SDM, temuan yang diperoleh disebabkan oleh (i) personel
belum mendapatkan pelatihan, (ii) masa kerja daripada personel kurang dari 1

Jurnal Ekonomi STEI No. 02/Th.XIX/April –Juni 2010

3

tahun, (iii) motivasi (efek traumatik, jauh dari keluarga), (iv) Overload atas beban
pekerjaan yang harus ditanggung personel dan (v) terjadinya fraud. (kecurangan).
Untuk proses pembiayaan, kecenderungan NPF (non-peforming loan)
yang tinggi dipicu dengan adanya (i) ketidakpatuhan atau ketidak lengkapan PAP
(proposal asset procedure), (ii) analisis yang seharusnya dilakukan secara
mendalam kurang dilaksanakan atau sekedar memenuhi pengisian PAP, (iii)
kewenangan prosedur pengajuan pembiayaan tidak sesuai, (iv) proses identifikasi
dan mitigasi risiko kurang mendalam dan kurang sesuai dengan kebijakan yang
telah ditetapkan, (v) penerapan struktur fasilitas tidak sesuai dengan ketentuan
yang telah ditetapkan, (vi) fungsi pejabat pemutus sebagai filter tidak optimum hal
ini tergambar dengan struktur organisasi yang ditetapkan dimana penerapan
fungsi dibebankan kepada manager bukan kepada pejabat pemutus dengan
demikian timbul potensi kecurangan atau fraud ataupun overload pekerjaan, (vii)
syarat disposisi belum dipenuhi. Ini juga terkait dengan fungsi kontrol pejabat
yang lebih tinggi, (viii) kurang cepat antisipasi dini terhadap pembiayaan yang
menjurus bermasalah, dan (ix) tekanan pemimpin
Sedangkan yang terkait dengan portofolio pembiayaaan, perusahaan yang
telah merencanakan spin-off dari bank induknya menunjukkan keagresifitasnya
untuk mengejar target secara kuantitas dan mengabaikan kualitas. Serta kurangnya
pengenalan mengenai potensi dan karakteristik daerah. Konsentrasi pembiayaan
pada jenis dan fasilitas pembiayaan dan sektor tertentu karena pertimbangan yang
bersifat pragmatis. Tabel 2 berikut diilustrasikan komposisi atau portofolio
pembiayaan yang dilakukan oleh Bank X dari bulan Mei 2009 hingga bulan
Januari 2010 yang terkonsentrasi pada Murabahah dan Musyarakah.

Tabel 2. Pangsa Portofolio Pembiayaan terhadap Total Pembiayaan - Bank X
Keterangan

Mei-09

Juni-09

Juli-09

Agst-09

Sept-09

Okt-09

Murabahah

Jurnal Ekonomi STEI No. 02/Th.XIX/April –Juni 2010

4

Nop-09

Des-09

Jan-10

Produktif

25 %

25 %

25%

25%

25%

25%

25%

25%

23%

Komsumtif

52 %

53 %

51%

52%

52%

51%

52%

53%

53%

2%

2%

2%

3%

3%

3%

3%

3%

2%

17 %

17 %

16%

16%

16%

16%

16%

16%

16%

0.28 %

0.38 %

0.42%

0.4%

0.4%

0.4%

0.5%

0.4%

0.6%

2.30%

0.49 %

2.27%

2.3%

2.3%

2.3%

2.5%

2.5%

2.4%

Produktif

1.28 %

1.25%

1.19%

1.2%

1.1%

1.1%

1.2%

1.2%

1.1%

Konsumtif

0.47 %

0.49%

0.58%

0.6 %

0.6%

0.7%

0.8%

0.8%

0.9%

0.10%

0.18%

0.27%

0.4%

0.5%

0.5%

0.6%

0.8%

0.8%

Mudharabah
Produktif
Musyarakah
Produktif
Qard/Rahn
Produktif
Qard/UMG
Produktif
Ijarah

Qard/Islamic
Card

Konsumtif

Sumber : Laporan bulanan Statistik Perbankan Syariah diolah

Sebagaimana yang terlihat pada tabel 3 berikut, Murabahah dan
Musyarakah juga yang memberikan kontribusi NPF yang terbesar. Pangsa kedua
portofolio tersebut nampak stabil dari bulan ke bulan, demikian pula
kecenderungan pangsa portofolio pembiayaan lainnya. Stabilnya kecenderungan
pangsa portofolio pembiayaan, bukan berarti memberikan kestabilan terhadap
laba atau keuntungan yang diperoleh Bank X. Justru keadaannnya berkebalikan
dimana pembahasannya pada tabel 5 nanti, oleh karena pangsa DPK lebih besar
dibandingkan dengan pangsa pasar total pembiayaan terhadap total aset.

Tabel 3 NPF - Komposisi Portofolio Pembiayaan terhadap Total Pembiayaan – Bank X
Keterangan

Mei-09

Juni-09

Juli-09

Agst-09

Sept-09

Okt-09

Nop-09

Des-09

Jan-10

Murabahah
Konsumtif

2.4%

2.4%

2.3%

2.2%

2.8%

3.4%

0.8%

0.8%

2.4%

Produktif

1.7%

1.7%

2.2%

3.1%

3.3%

3.9%

1.5%

1.1%

1.7%

Jurnal Ekonomi STEI No. 02/Th.XIX/April –Juni 2010

5

Mudharabah
Produktif

0.4%

0.35%

0.35%

0.2%

0.2%

0.3%

0.0004%

0.0004%

0.35%

2%

1.5%

1.4%

1.1%

0.9%

1.1%

1.5%

0.5%

1.5%

0.002%

0.002%

0.002%

0.003%

0.002%

0.01%

0.04%

0.001%

0.002%

0%

0%

0.005%

0.005%

0.01%

0.01%

0%

0%

0%

0%

0%

0%

0%

0%

0.%

0%

0%

0%

Konsumtif

0%

0%

0%

0%

0%

0.002%

0.0004%

0%

0%

Produktif

0%

0%

0%

0%

0%

0%

0%

0%

0%

Musyarakah
Produktif
Qard/Rahn
Produktif

Qard/UMG
Konsumtif
Qard/
Islamic Card
Konsumtif
Ijarah

Sumber : Laporan bulanan Statistik Perbankan Syariah diolah

Pada tabel 4 juga tergambar jelas bahwa pada bulan September 2009
hingga bulan Desember 2009, Bank X mengalami “negative mismatch”, atau
”sensitive asset” lebih kecil daripada ”sensitive liabilities”. Keadaan ini jelas tidak
menguntungkan oleh karena telah terjadi kelebihan sumber dana yang seharusnya
diputar menjadi pembiayaan. Hal ini diperkuat dengan adanya kecenderungan
penurunan pembiayaan terhadap total asset sudah terlihat sinyalnya sejak bulan
Mei 2009 hingga Desember 2009. Penurunan prosentase pembiayaan dalam kurun
waktu antara bulan Mei 2009 hingga bulan Agustus 2009 masih menunjukkan
kecenderungan laba masih positif, tetapi penurunan prosentase pembiayaan
dimulai bulan September 2009 menyebabkan bank mengalami kerugian begitu
besar atau dengan kata lain mengalamai erosi keuntungan. Salah satu aspek
pemicu terjadinya erosi keuntungan yang begitu besar adalah bank lebih
menekankan kuantitas dan mengabaikan kualitas. Akibat mengejar kuantitas
pembiayaan yang menggebu-gebu maka untuk memenuhi usaha tersebut target
DPK-nya juga didorong yang malahan kecepatan laju pertumbuhannya melebihi
laju pertumbuhan pembiayaan berkebalikan. Laju pertumbuhan DPK dapat diproxy-kan dengan lajunya kecepatan pertumbuhan prosentase total DPK terhadap
total asset yang terilustrasi pada tabel 4 .
Tabel 4. Sensitive Asset & Liabilities, Positive (Negative) Gap, FDR, dan NPF – Bank X
Keterangan

Mei-09

Juni-09

Juli-09

Agst-09

Sept-09

Okt-09

Nop-09

Des-09

Sensitive
Asset
Sensitive

3282 Mil

3323 Mil

3570 Mil

3729 Mil

3664 Mil

3690 Mil

3694 Mil

4045 Mil

4760 Mil

3070 Mil

3161 Mil

3366 Mil

3525 Mil

3758 Mil

3798 Mil

3840 Mil

4173 Mil

4498 Mil

Jurnal Ekonomi STEI No. 02/Th.XIX/April –Juni 2010

6

Jan-10

Liabilities
Pos. / (Neg)
Gap
NPF
FDR

212 Mil

162 Mil

204 Mil

204 Mil

(94) Mil

(108) Mil

(146 ) Mil (128) Mil

262 Mil

6. 59%

6. 31%

6.48%

6. 64%

7. 26%

8.70 %

3. 81 %

2. 35 %

3.34 %

109.2 %

104.2 %

102.4 %

97.3 %

84.6 %

81.86 %

82.35 %

78.0 %

76.12 %

Sumber : Laporan bulanan Statistik Perbankan Syariah diolah

Pada tabel 4 berikut tergambar bahwa prosentase DPK terhadap Total
Asset dari bulan ke bulan menunjukkan kecenderungan prosentase yang
meningkat, sedangkan kecenderungan prosentase pembiayaan terhadap total asset
yang cenderung menurun dari bulan ke bulan. Kecenderungan peningkatan
prosentase DPK terhadap Total Asset akan menimbulkan ”cost of fund” juga ikut
meningkat sehingga terjadi erosi keuntungan atau kerugian, sedangkan
pendapatan dari pembiayaan cenderung menurun sejalan dengan kecenderungan
penurunan pangsa Total Pembiayaan terhadap Total Asset mulai bulan September
2009 hingga bulan Desember 2009.
Penurunan kecenderungan pangsa DPK terhadap Total Asset diiringi
dengan kecenderungan pangsa Deposan Inti terhadap Total Asset dari 17.2% pada
bulan Mei terus melorot pada bulan Januari 2010 menjadi 10% dan sedangkan
pangsa Deposan Inti terhadap Total DPK cenderung meningkat dari 15.5% pada
bulan Mei 2009 menjadi 19.0% pada bulan Januari 2010. Kecenderungan Bank X
mengalami erosi keuntungan dipicu dengan kecenderungan prosentase DPK
terhadap Total Asset yang semakin meningkat yang diilustrasikan pada tabel 5
berikut.

Tabel 5. Laba, ROA, dan Pangsa Pembiayaan dan DPK – Bank X
Keterangan

Mei-09 Juni-09

Juli-09

Laba

39.7 Mil 40.7 Mil

40.2 Mil 40.5 Mil

ROA
Pembiayaan/
TA
DPK/TA
Deposan
Inti/TA
Deposan
Inti/DPK

1.0%
85.1 %

1.1%
83.7 %

78.8%
17.2%
15.5%

Agst-09

Sept-09

Okt-09

-123.3 Mil -196.4 Mil

Nop-09

Des-09

-193.9 Mil -178.9 Mil

Jan-10
29.4 Mil

0.9 %
77.5 %

- 4.9%
78.7 %

- 4.3%
76.2 %

- 4.2%
69.8 %

- 3.7%
67.8 %

1%
56%

78.5%
17/2%

1.0%
81.4
%
79.4%
17.2%

79.4%
17.7%

83.1%
17.7%

83.2%
17.6%

81.4%
17.6%

90.8%
17.6%

41%
10%

15.1%

14.2%

22.2%

20.6%

21.1%

19.5%

16.5%

19.0%

Sumber : Laporan bulanan Statistik Perbankan Syariah diolah

Peningkatan prosentase DPK terhadap Total Asset didominasi oleh
kecenderungan peningkatan deposito dari bulan ke bulan dari pangsa sebesar 36%
Jurnal Ekonomi STEI No. 02/Th.XIX/April –Juni 2010

7

pada bulan Mei 2009 dan mencapai puncaknya di bulan Januari 2010 mencapai
51% terhadap total asset. Prosentase pangsa DPK – Deposito jelas menjanjikan
bagi hasil yang lebih besar dibandingkan dengan kedua produk DPK lainnya.
Dengan kata lain, akan menyebabkan erosi keuntungan yang terrealisasi dengan
makin menurunnya kecenderungan laba yang diperoleh Bank X dari bulan Juli
2009 mulai menunjukkan sinyalnya hingga bulan September 2009, Nopember
2009 dan bulan Desember 2009.
Tabel 6. Komposisi Pangsa DPK terhadap Total Asset (%) – Bank X
Keterangan
Giro

Mei-09
10.0

Juni-09 Juli-09
9.2

Agst-09

8.2

Sept-09

8.5

Tabungan
31.7
33.0
31.8
30.1
Deposito
36.0
37.1
39.6
41.2
Sumber : Laporan bulanan Statistik Perbankan Syariah diolah

Okt-09

10.2
32.3
43.4

Nop-09

8.1

Des-09

7.79

31.3
43.1

31.1
43.1

Jan-10

8.70
33.6
44.6

11.0
28.0
51.0

Walaupun pangsa Deposito terhadap Total DPK terus meningkat hingga
mencapai 51% pada bulan Januari 2010, akan tetapi pangsa Tabungan menurun
hingga 28% pada bulan yang sama dan pangsa DPK terhadap Total Asset
menurun drastis dari 90.8% pada bulan Desember 2009 menjadi 40% pada bulan
Januari 2010. Dengan demikian hasil operasi perusahaan terbantu memberikan
kontribusi keuntungan pada bulan Januari 2010 sebesar 29.4 Milyar dan ROA
(return on asset) meningkat menjadi positip 1% yang tadinya negatip 3.7% pada
bulan Desember 2009.

Tabel 7. Pangsa Komponen Likuid Asset terhadap Total Asset – Bank X
Keterangan

Mei-09

Primary Reserve (PR)
Kas
0.8%

Juni-09

Juli-09

Agst-09

Sept-09

Okt-09

Nop-09

Des-09

Jan-10

0.7%

0.6%

0.6%

1.1%

0.7%

0.6%

0.8%

0.7%

11.0%
2.5%

8.9%
7.7%

8.8%
9.1%

7.3%
11.5%

2.7%
26.6%

14.7%

16.3%

18.5%

19.6%

30.0%

Secondary Reserve (SR)
SBIS
3.2%
5%
Penempatan
1.6%
1.9%
3.5%
4.4%
interbank
Total
2.4%
2.6%
7.3%
10.0%
Sumber : Laporan bulanan Statitsik Perbankan Syariah diolah

Dari tabel 7 diilustrasikan pangsa Likuid Asset atau dapat dikatakan
sebagai ”Short-term Supplier for Liquidity” menurut Ismal ( 2009) cenderung
meningkat walaupun peningkatannya masih lebih jauh daripada pangsa Volatile
Liabilities terhadap Total Asset atau pangsa DPK terhadap total Asset atau dapat
dikatakan sebagai ”Short-term Demand for Liquidity”. Dari sisi nampak
tergambar bagaimana perusahaan mengelola Risiko Likuiditasnya (Liquidity
Risk), ternyata risiko likuiditasnya tidak dikelola dengan baik, karena antara
Jurnal Ekonomi STEI No. 02/Th.XIX/April –Juni 2010

8

Demand dan Supply jangka pendek tidak seimbang atau masih lebih besar
Demand-nya. Pada bulan Mei 2009, pangsa Supplier-nya hanya 2.4% dan
Demand-nya sebesar 90.8% terhadap Total Asset. Kondisi ini masih terus
berlanjut, walau telah terjadi penurunan pangsa Demand-nya menjadi 41% pada
bulan Januari 2010 dan pangsa Supply-nya meningkat menjadi 30%. Situasi ini
dapat dikatakan telah terjadi ”Excess Demand for Liquidity” bagi Bank X.
Kelebihan permintaan akan likuiditas terus meningkat, walaupun telah terjadi
penurunan pangsa pembiayaan terhadap total pembiayaan hingga bulan Desember
2009. Pantas saja telah terjadi kerugian hingga akhir tahun 2009, karena ”cost of
fund” lebih besar daripada ”revenue”-nya, akan tetapi masih terobati operasi
telah memberikan keuntungan usaha sebesar Rp. 29.4 Milyar.
Jelaslah, dapat dikatakan disini bahwa faktor internal yang berpotensi
menimbulkan risiko likuiditas, adalah aspek manusianya. Penentuan tugas dan
wewenang pada setiap level manajemen Bank X menggambarkan bahwa terjadi
penumpukan beban tanggung jawab pada pundak manager dari uraian tugas
masing-masing manager departemen. Dengan kata lain, didalam proses
manajemen risiko likuiditas memungkinkan ”potentially liquidity risk” bagi
perusahaan. Akan tetapi manajemen strategi perusahaan masih tetap konsisten
walaupun terjadi penumpukan beban (overload) pekerjaan pada level manager
departemen. Hal ini juga berdampak tidak langsung kepada potensi fraud dari
masing-masing manager departemen, oleh karena atasannya merasa kurang atau
malahan tidak mau atau pura-pura tidak tahu menahu tentang pertanggung
jawaban atas pengambilan keputusan yang seharusnya ditangani oleh pemimpin
divisi. Belum lagi masalah pembagian tugas untuk masing-masing manager
departemen yang berpotensi menimbulkan konflik antar manager departemen
didalam suatu divisi. Disamping itu pula, masalah kompetensi dan keahlian
masing-masing manager departemen untuk menjalankan strategi yang ditetapkan
oleh pimpinan perusahaan. Seperti yang diilustrasikan pada tabel 7 diatas,
terjadinya NPF disebabkan karena potensi SDM-nya yang tidak ”matching” untuk
menjalankan strategi yang ditetapkan. Dengan kata lain, potensi SDM yang ada
pada perusahaan tidak “feasible” untuk menjalankan strategi yang telah ditetapkan
3.2. Analisis Faktor Eksternal.
Melihat perkembangan DPK yang dikatakan dalam Ismal (2009) sebagai
”short-term demand of liquidity dari bulan Mei 2009 hingga bulan Desember
mengalami kecenderungan meningkat. Sebagaimana yang diilustrasikan pada
tabel 5 sebelumnya bahwa total DPK terhadap Total Asset mempunyai
kecenderungan meningkat dari 78.8% pada bulan Mei 2009 menjadi 90.8% pada
bulan Desember 2009. Kinerja bisnis perusahaan telah berhasil mengapresikan
usahanya untuk menunjukkan kepada pesaing-pesaingnya, bahwa perusahaan
dapat mencapai pangsa pasar hampir mendekati 8% dari pangsa pasar perbankan
nasional per akhir Januari 2010. Keberhasilan Bank X menunjukkan bahwa telah
terjadi peningkatan kepercayaan masyarakat kepada sektor perbankan syariah
pada umumnya, pada perusahaan pada khususnya. Bank Indonesia sebagai ”last
Jurnal Ekonomi STEI No. 02/Th.XIX/April –Juni 2010

9

of lender resort” telah memberikan kontribusi kepada sektor perbankan syariah
melalui berbagai penerbitan surat edaran yang ditujukan untuk mengatur
pengelolaan proses manajemen risiko likuiditas yang disesuaikan himbauan Bank
International Settlement (BIS) dan Basel, antara lain melalui penerbitan SE Bank
Indonesia No.11/16/DPNP tanggal 6 Juli 2009. Persaingan atau kompetisi
didalam industri perbankan sangat ketat, walaupun sektor perbankan syariah
dapat dikatakan sektor perbankan yang berkembang tetapi masih dikatakan
”immature” masih terbuka lebar bagi ”entry” pemain-pemain baru. Apalagi
dengan asset/pegawai mendekati Rp. 7.7 Milyar dengan total asset Rp. 4.8 Milliar
dengan asset/outlet Rp. 84 Milyar menyalib posisi Bank Muamalat dengan asset/
pegawai sebesar Rp.4.7 Milyar dengan total asset sebesar Rp 16 Milyar dengan
asset/outlet Rp.78 Milyar dan Bank Syariah Mandiri dengan asset/pegawai Rp.7.1
Milyar , total asset Rp.22 Milyar dengan asset/outlet hanya Rp.79 Milyar. Faktor
eksternal dapat mempengaruhi faktor internal proses manajemen risiko likuiditas
dapat bersifat (1) ”systematic sources” (counterparties linked liquidity risk) dan
(2) ”systemic sources (system itself or regulatory driven liquidity risk). Pertama,
faktor eksternal yang bersifat ”systemic sources” yang dapat mempengaruhi
faktor internal manajemen risiko likuiditas antara lain dapat diperlihatkan dengan
adanya yang diperlihat dalam tabel 5 diatas. Tingginya NPF pada bulan Mei 2009
sebesar 6.59% meningkat menjadi 8.7% pada bulan Oktober 2009. Peningkatan
NPF ini menunjukkan adanya permasalahan keuangan besar yang dihadapi
debitur-debitur perusahaan. Permasalahan yang dimaksud misalkan masalah
”missed atau overdue settlement” atau ”unfullfilled obligation”. Faktor lainnya
memungkinkan terjadi karena kegagalan konektifitas data atau ”data
mismanagement” perusahaan masih tergantung sepenuhnya dengan “information
technology” bank induknya. Kegagalan itu dapat berbentuk kegagalan dalam
memproses transaksi tepat waktu yang nantinya akan berdampak kepada
”assessment” daripada ”credit risk” . Kegagalan yang ditimbulkan oleh eksposur
yang berasal dari sumber tidak langsung dan isu yang timbul dari kegagalan
faktor lain dalam mengevaluasi eksposurnya sendiri atau melakukan ”mitigasi”
terhadap risikonya sendiri. Dalam lingkungan yang sudah global terderegulasi
ini, dimana ”absolute return” (disini dapat dikatakan sebagai spekulatif) bahwa
”banker’s credit risk” adalah ”client market risk”, ”fund manager’s liquidity risk”
adalah prime broker’s credit risk”, ”corporate operational risk” merupakan
counterparty risk bagi Bank X sendiri. Korelasi antara faktor-faktor yang
disebutkan tadi dapat timbul dan tenggelam dengan sendirinya tanpa dapat
dikendalikan (Carrel, Thomson Reuters, 2009). Kedua, ”systemic sources” atau
”regulatory driven liquidity risk” yang tergambar dalam kombinasi evolusi
kerangka perbankan Indonesia, dan juga ”asset management” dan juga ”insurance
system” dan atau ”brokerage system” yang ada sebagai contoh dengan penerbitan
Surat Edaran Bank Indonesia tanggal 6 Juli 2009. Pada kenyataannya, perusahaan
belum menerapkan hal-hal yang dikemukakan didalam surat edaran Bank
Indonesia tersebut, dan mungkin juga belum menerapkan surat edaran tentang
penilaian tingkat kesehatan bank umum berdasarkan prinsip syariah
No.9/24/DPbS tanggal 30 Oktober 2007 karena surat edaran tersebut telah
Jurnal Ekonomi STEI No. 02/Th.XIX/April –Juni 2010

10

diterbitkan jauh sebelum Bank X akan memisahkan diri dari bank induknya.
Apabila ditinjau dari isi kedua surat edaran tersebut kurang lebih hampir mirip.
Bahwasanya faktor eksternal yang menyumbangkan proses manajemen
risiko likuiditas menjadi bermasalah, oleh karena mekanisme sistem yang ada
didalam penerapan strategi yang dipilih oleh perusahaan dipengaruhi langsung
atau tidak langsung oleh aspek lainnya yang juga terkait dengan faktor
internalnya. Akibatnya perumusan strategi menjadi tidak adaptif terhadap respons
perubahan kritis didalam perusahaan, dimana sebagian besar kecenderungan
merupakan interaksi kecenderungan lainnya. Misal adanya penerbitan Surat
edaran Bank Indonesia yang sudah lewat beberapa tahun saja tidak direspons
positif ataupun negatif oleh mekanisme sistem yang ada didalam perusahaan
sendiri. Oleh karena Bank X masih didukung sepenuhnya oleh bank induknya,
dengan kata lain perusahaan memiliki keunggulan dalam posisi ketika strategi
manajemen yang ditetapkan diterapkan dilapangan.

4. KESIMPULAN
4.1 Analisis faktor internal manajemen risiko likuditas.
Menurut pendekatan liquid asset, bank dapat menggunakan baik asset
ataupun liabilities untuk memenuhi kebutuhan kasnya. Pemilihan sumber dana
akan sangat tergantung pada biaya relatif yang dimiliki. Jika biaya yang
dikeluarkan untuk menjual aset lebih kecil daripada untuk memperoleh dana
dengan menjual sertifikast deposito, maka likuiditas aset (liquid asset) akan lebih
diminati daripada likuiditas liabilitas (liquid liabilities) (volatile liabilities) untuk
memenuhi kebutuhan likuiditas. Jika situasi suku bunga (BI rate) relatif tinggi dan
diharapkan akan naik dimasa mendatang, maka peningkatan permintaan kredit
(pembiayaan) akan lebih baik dipenuhi melalui penjualan surat berharga jangka
pendek dan secara sederhana akan menopang kerugian modal daripada penjualan
atau penghimpunan simpanan yang akan diperpanjang (di-roll-over) dengan bagi
hasil yang lebih tinggi dikemudian hari Sebaliknya, jika BI rate relatif rendah
atau menurun, maka apabila terjadi peningkatan pembiayaan akan lebih baik
dipenuhi dengan DPK.
Tabel 8 Tren BI Rate dan Inflation Rate
Jurnal Ekonomi STEI No. 02/Th.XIX/April –Juni 2010

11

Keterangan

Mei-

Jun-09

Juli-09

09
BI Rate
7.25%
7.00%
6.75%
Inflation Rate
6.05%
3.65%
2.71%
Sumber: Bank Indonesia, www.bi.go.id

Agst-09

Sept-09

Okt-09

Nop-09

Des-09

Jan-10

6.00%
2.75%

6.50%
2.83%

6.00%
2.57%

6.50%
2.40%

6.50%
2.78%

6.50%
3.72%

Pada tabel 8 diatas dimana BI rate dari bulan Mei 2009 sebesar 7.25%
menunjukkan kecenderungan yang makin lama makin menurun dari cenderung
diam ditempat pada level 6.50%. Dalam kondisi BI rate yang memperlihatkan
kecenderungan menurun, maka seandainya terjadi peningkatan pembiayaan
hendaknya dipenuhi tidak dengan menjual surat berharga jangka pendek, tetapi
didanai melalui liquid liabilities (Dana Pihak Ketiga). Kita beralih ke tabel 7
diatas yang juga menguraikan kecenderungan pembiayaan dimana kecenderungan
pembiayaan terhadap total asset memperlihatkan penurunan. Apabila kita kaitkan
dengan data pembiayaan terhadap total asset, DPK terhadap total asset, dan likuid
asset, ketiga data tersebut tidak menjelaskan hubungannya satu sama dengan yang
lainnya. Semestinya pembiayaan menurun, maka DPK seharusnya menurun, dan
apabila terjadi kelebihan dana dari DPK maka investasi dalam surat berharga
jangka pendek dapat dilakukan sehingga “likuid asset” naik. Realitanya dengan
adanya pembiayaan terhadap total asset yang menunjukkan penurunan, DPK
terhadap total asset malahan meningkat dengan bagi hasil perusahaan diatas ratarata tapi masih dibawah yang tertinggi diantara sepuluh bank syariah lainnya.
Peningkatan DPK terhadap total asset dipastikan karena adanya pemberian
“special rate” untuk menarik dana deposan besar untuk masuk kedalam Bank X,
dan “likuid asset” juga meningkat sebagai kelebihan sumber dana dari DPK.
Ketika BI rate menunjukkan kecenderungan menurun, pembiayaan menurun, dan
DPK juga menunjukkan penurunan dari bulan Mei ke bulan Juni 2009 yang relatif
lebih kecil daripada penurunan pembiayaan, sedangkan “likuid asset”
meningkatkan dari 2.4% menjadi 2.6% dibulan Juni 2009. Pada bulan berikutnya,
Juli 2009, pembiayaan masih menunjukkan penurunan, DPK malahan naik tetapi
likuid asset meningkat tajam dari 2.6% menjadi 7.3 di bulan Juli 2009 Tindakan
ini masuk akal karena dengan adanya kelebihan dana pada DPK, maka sebaiknya
kelebihan dana tersebut diinvestasikan kedalam surat berharga jangka pendek dan
berdampak kepada peningkatan tajam pada likuid asset 181% di bulan Juli 2009.
Demikian pula pada bulan-bulan berikutnya, oleh karena BI rate terus cenderung
menurun, walaupun DPK per total asset menunjukkan penurunan dan demikian
pula dengan pembiayaan. Sumber risiko likuiditas dari internal antara lain berupa
strategi atau kebijakan bisnis, ”volatile funding”, dana yang terkonsentrasi,
kurangnya kapabilitas sumber daya manusia yang ada, dan sistim informasi
manajemen yang kurang mendukung. Sedangkan sumber risiko likuiditas dari
Jurnal Ekonomi STEI No. 02/Th.XIX/April –Juni 2010

12

eksternal antara lain ketatnya persaingan, volatilitas pasar, dan perubahanperubahan peraturan dalam hal penerbitan surat edaran yang baru oleh Bank
Indonesia dan pihak-pihak yang berwenang lainnya misal Departemen Keuangan.
Strategi seperti perubahan ”deposit rate” atau ”service fee” atau struktur asset,
liabilities ditujukan untuk meningkatkan pangsa pasar yang secara tidak disengaja
mengubah struktur finansial bank yang bersangkutan. Misalnya, DPK mengalir
masuk kedalam pada sejumlah tertentu sejauh ini telah melebihi kebutuhan
(demand), sedangkan manajemen risiko likuiditas akan menjadi lebih kompleks.
Sebaliknya, nasabah yang ada mungkin hijrah ke bank syariah lainnya karena
memberikan ” service fee” yang relatif lebih rendah, oleh karena beban operasi
bank tersebut jauh lebih tinggi daripada ”market rate”, atau tidak mampu
memperhitungkan atau menentukan ”cost”-nya dengan layak.

Tabel 9 Tren Rata2 Bagi Hasil Bank-Bank
Keterangan
Bank X
BSM
Muamalat
Niaga
BSMI
BII
Danamon
Permata
BRI

Mei-09
7.44%
7.83%
7.45%
7.69%
8.45%
7.39%
7.39%
7.28%
9.67%

Jun-09
7.69%
6.50%
6.91%
7.89%
8.06%
7.49%
7.36%
7.29%
9.32%

Jul-09
6.98%
6.44%
6.85%
7.50%
6.08%
7.55%
7.17%
7.29%
9.32%

Ags-09
7.02%
6.95%
6.28%
6.55%
5.72%
7.36%
7.17%
6.10%
8.67%

Sep-09
6.89%
6.72%
6.28%
7.63%
6.12%
7.32%
6.64%
5.83%
7.56%

Okt-09
6.91%
6.64%
6.38%
7.63%
6.12%
7.32%
6.64%
5.83%
7.56%

Nop-09
6.97%
6.67%
6.50%
7.65%
6.17%
7.45%
6.60%
5.74%
7.46%

Des-09
6.73%
6.77%
6.30%
7.45%
5.97%
7.35%
6.50%
5.64%
7.30%

Jan-10
6.21%
5.88%
5.72%
6.13%
4.87%
6.29%
5.90%
5.61%
7.22%

Sumber : Laporan bulanan Statistik Perbankan Syariah diolah

Tabel 9 menguraikan mengenai tren rata-rata bank-bank syariah
mengilustrasikan ”bagi hasil” yang ditawarkan. Bank X menawarkan bagi hasil
masih relatif sedikit diatas rata-rata dan dibawah maksimum, tetapi apabila kita
melihat tren pada tabel 7 mengenai komposisi pangsa DPK terhadap Total Asset
memperlihatkan kecenderungan dari bulan ke bulan yang meningkat dari 36%
pada bulan Mei 2009 meningkat menjadi 51% pada bulan Januari 2010.
Sedangkan kalau kita mengkaitkan dengan kecenderungan Deposan Inti terhadap
Total DPK, pangsa Deposan Inti memperlihatkan kecenderungan yang meningkat
dari 15.% pada bulan Mei 2009 menjadi 19.0% pada bulan Januari 2010.
Sekarang kalau kita korelasikan ketiga data tersebut akan menjadi tanda tanya,
maka korelasi ketiganya semestinya menunjukkan hubungan yang positip. Pada
kenyataan, korelasinya tidak menunjukkan hubungan yang wajar, hal ini dapat
disebabkan karena adanya potensi penyimpangan terhadap kebijakan dan prosedur
Jurnal Ekonomi STEI No. 02/Th.XIX/April –Juni 2010

13

yang telah ditetapkan oleh perusahaan. Potensi penyimpangan dalam menetapkan
prosentase bagi hasil tesebut bukan dalam artian negatif, tetapi dalam rangka
memenuhi target yang telah ditetapkan oleh perusahaan yang lebih menekankan
kuantitas dan mengabaikan kualitas. Misalkan seorang deposan mau memasukkan
uangnya katakanlah Rp.500 Milyar ke perusahaan, deal tersebut berhasil karena
deposan tersebut diberikan ”special rate” tertentu. Dengan kata lain, potensi
penyimpangan tersebut berakibat pangsa ”short-term demand for liquidity”
sebagaimana yang diuraikan oleh Ismal (2009) meningkat melesat melampaui
”short-term supplier for liquidity”-nya. Akibatnya, ”excess demand for liquidity”
terjadi dan dampaknya kepada hasil operasi perusahaan yang mengalami
kerugian hingga akhir tahun 2009. Disamping itu pula, kondisi pembiayaan
memberikan kontribusi dengan prosentase NPF yang cenderung meningkat
hingga bulan Oktober 2009, dan ini akan mengharuskan diambilnya tindakan
”penghapusan buku” (write-off) yang lagi-lagi akan meningkatkan ”operating
cost” perusahaan.
Volatile funding yang disumbangkan oleh Dana Pihak
Ketiga (DPK) pada tabel 6 telah menunjukkan kecenderungan yang meningkat.
Tren ini terus berlanjut hingga bulan Desember 2009. Konsekuensinya,
sebagaimana diuraikan pada sub bab sebelumnya, kecenderungan meningkatnya
pangsa DPK terhadap Total Asset disebabkan penyimpangan terhadap prosedur
yang telah ditetapkan yang kurang diawasi dan dikendalikan dari waktu ke
waktu oleh manajemen menengah maupun manajemen puncak perusahaan. Lebih
baik mencapai target secara kuantias daripada target secara kualitas.
Kontributor terbesar dari DPK adalah deposito. Pangsa deposito terhadap
total DPK yang tersaji dengan jelas pada tabel 6 Pangsa deposito terhadap total
DPK dari bulan ke bulan terus meningkat. Dari angka 36% pada bulan Mei 2009
melesat ke angka 51% pada bulan Januari 2010. Situasi ini jelas ini sangat
”volatile” yang juga seperti yang dikatakan oleh Ismal (2009) merupakan
kontributor terbesar dari ”short-term demand for liquidity”, seandainya ada
beberapa deposan inti menarik dananya dengan cara mencairkan depositonya.
Sebagai akibat daripada ”short-term demand for liquidity” yang melebihi ”shortterm supplier for liquidity, maka terjadilah kesenjangan yang disebut ’Excess
demand for liquidity”. Apabila ”excess demand for liquidity” tidak ada
penyeimbangnya, atau dengan kata lain harus ada peningkatan atas pembiayaan,
maka hal ini akan menjadi bumerang. ”Cost of fund” akan menggerogoti
pendapatan dari bagi hasil, disamping itu belum lagi faktor inherennya dari
peningkatan potensi penyimpangan atas prosedur yang ada. Walaupun pangsa
Deposito secara rata-rata tidak lebih dari 39%, akan tetapi bagi hasil yang
dibayarkan kepada deposan sudah pasti melebihi prosentase yang disajikan pada
tabel 8 diatas. Jadi sebenarnya kalau dikaitkan dengan volatilitas prosentase bagi
Jurnal Ekonomi STEI No. 02/Th.XIX/April –Juni 2010

14

hasil dengan prosentase kenaikan pangsa Deposito terhadap total DPK
mempunyai hubungan yang negatif, yang seharusnya mempunyai hubungan
positip. Dari tabel 6 jelas terilustrasi telah terjadi konsentrasi sumber dana pada
Deposito yang mencolok. Pangsa Deposito terhadap total DPK melebihi 30% dari
total asset dan malahan pada bulan Januari 2010 mencapai 51% dari total DPK.
Jadi sumber dana DPK yang terkonsentrasi pada Deposito dimana deposito dapat
dikatakan ”sensitive” terhadap prosentase bagi hasil. Apabila konsentrasi sumber
dana ini tidak didistribusikan dengan baik misalkan digunakan untuk kegiatan
pembiayaan yang mempunyai kesempatan berkembang terutama dalam jangka
pendek bukan jangka panjang, maka dalam jangka panjang deposan inti akan
pergi meninggalkan Bank X oleh karena deposito mempunyai karakteristik ”very
sensitive” terhadap bagi hasil. Apabila pola bagi hasil sebagaimana yang disajikan
pada bagian diatas, maka kemungkinan besar deposan inti akan segera hengkang
dari pelukan Bank X pindah ke pelukan bank-bank syariah lainnya misalnya ke
bank syariah lainnya. Akibatnya, sudah jelas akan meningkatkan risiko likuiditas.
Kalau sumber dana yang terkonsentrasi didistribusikan bukan diperuntukan ke
pembiayaan jangka pendek melainkan ke jangka panjang misal digunakan untuk
membeli surat berharga obligasi syariah maupun obligasi pemerintah. Dampak
dari pmbelian instrumen investasi jangka panjang sudah pasti bagi hasilnya sangat
tipis, malahan jauh lebih kecil daripada angka prosentase bagi hasil deposito dan
bahkan mungkin dibawah BI rate. Ini juga secara “cash-in flow” dan “cash-out
flow” tidak seimbang, “cash-in flow”-nya kira-kira setengah kali lipat daripada
“cash-out flow”-nya. Hal ini akan menyebabkan peningkatan risiko likuiditas.
Misalkan, investasi dalam surat berharga jangka panjang memang aman tetapi
bagi hasilnya sangat kecil dan jelas NPF-nya dapat dikatakan nihil. Tetapi
manajemen dana seperti itu jelas salah, sumber dana jangka pendek harus
digunakan untuk jangka pendek juga, bukan digunakan untuk jangka panjang.
Seperti diketahui sumber daya manusia yang ada berasal dari sumber daya
manusia bank induknya. Jadi sumber daya manusia yang ada kurang layak,
kurang kapabel dan kurang pengalaman. Apalagi didalam praktek operasional
sehari-hari, peranan manajemen level menengah dalam pengendalian boleh
dikatakan kurang sebagaimana yang diuraikan dalam struktur organisasi. Untuk
mengambil pangsa pasar pembiayaan nasional terutama untuk sektor ritel, Bank X
harus mempersiapkan SDM yang kapabel. Untuk menekan NPF, diperlukan SDM
yang mempunyai jam terbang yang tinggi, yang mendapat pelatihan yang
memadai dan berkelanjutan, dan juga manajemen level bawah perlu
dikoordinasikan oleh manajemen level menengah yang cakap. NPF yang tinggi
bukan hanya disebabkan karena faktor SDM saja, tetapi juga karena kontrol
daripada manajemen level menengah dan manajemen level puncak atas kepatuhan
Jurnal Ekonomi STEI No. 02/Th.XIX/April –Juni 2010

15

terhadap kebijakan dan prosedur yang telah ditetapkan. Tabel 4 yang
menggambarkan mengenai NPF daripada setiap portofolio pembiayaan dimana
porsi NPF terbesar dikontribusikan oleh pembiayaan Mudarabah Komsumtif dan
Produktif serta Musyarakah Produktif. Apabila dikaitkan data mengenai rata-rata
pangsa DPK sebesar 77% terhadap total Asset dan rata-rata pangsa pembiayaan
75% dari total Asset, mengapa ROA yang dicapai malahan negatif yang menjauh
dari titik nol. Ketiga data tersebut kalau dikorelasikan, hasilnya tidak jelas
hubungannya seharusnya hubungannya positif bukan negatif. Jadi ini jelas ada
potensi yang memberikan kontribusi ROA secara rata-rata menjadi negatif adalah
akibat dari kapabilitas SDM. Sistim informasi manajemen yang buruk dimana
setiap divisi pada Kantor Pusat dan setiap Kantor Cabang dan Kantor Cabang
Pembantu memberikan kontribusi kepada manajemen likuiditas yang dikirimkan
ke Divisi Treasury menyebabkan ketidak akuratan dan tertundanya informasi. Hal
ini akan menyegerakan perusahaan menghadapkan situasi yang disebut ”liquidity
crunch” dimana reputasi perusahaan sebagai bank berpotensi menjadi rusak.
Uraian-uraian pada bagian 3 sebelumnya dan uraian pada sub-sub bagian ini,
”counter party linked liquidity risk” telah terjadi sebagai akibat penyimpangan
disatu sisi bahwa sumber daya manusia tidak berkapabilitas yang layak,
kurangnya pelatihan atau training-training untuk semua level untuk manajemen
level terutama level yang terbawah seperti analis, assisten analis.
4.2.Analisis Faktor Eksternal.
4.2.1. Systematic Sources (Counterparty’s Linked Liquidity Risk)
”Systemic Sources” (Counterparty’s Linked Liquidity Risk) yang dapat
mempengaruhi faktor internal proses manajemen risiko likuiditas antara lain dapat
diperlihatkan dengan adanya NPF pada portofolio pembiayaan yang dilakukan
oleh perusahaan sebagaimana yang diperlihatkan dalam tabel 4. Tingginya NPF
pada bulan Mei 2009 sebesar 6.59% meningkat menjadi 8.7% pada bulan Oktober
2009. Peningkatan NPF ini menunjukkan adanya permasalahan keuangan besar
yang dihadapi debitur-debitur perusahaan. Permasalahan yang dimaksud misalkan
masalah ”missed atau overdue settlement” atau ”unfullfilled obligation”. Faktor
lainnya memungkinkan terjadi karena kegagalan konektifitas data atau ”data
mismanagement” perusahaan masih tergantung sepenuhnya dengan “information
technology” bank induknya. Kegagalan itu dapat berbentuk kegagalan dalam
memproses transaksi tepat waktu yang nantinya akan berdampak kepada
”assessment” daripada ”credit risk” . Kegagalan yang ditimbulkan oleh eksposur
yang berasal dari sumber tidak langsung dan isu yang timbul dari kegagalan
faktor lain dalam mengevaluasi eksposurnya sendiri atau melakukan ”mitigasi”
Jurnal Ekonomi STEI No. 02/Th.XIX/April –Juni 2010

16

terhadap risikonya sendiri. Dalam lingkungan yang sudah global terderegulasi
ini, dimana ”absolute return” (disini dapat dikatakan sebagai spekulatif) bahwa
”banker’s credit risk” adalah ”client market risk”, ”fund manager’s liquidity risk”
adalah prime broker’s credit risk”, ”corporate operational risk” merupakan
counterparty risk bagi perusahaan sendiri. Korelasi antara faktor-faktor yang
disebutkan tadi dapat timbul dan tenggelam dengan sendirinya tanpa dapat
dikendalikan (Carrel, Thomson Reuters, 2009).
4.2.2. Systemic Sources (Regulatory Driven Liquidity Risk)
”Systemic Sources” (Regulatory Driven Liquidity Risk) yang tergambar
dalam kombinasi evolusi kerangka perbankan Indonesia, dan juga ”asset
management” dan juga ”insurance system” dan atau ”brokerage system” yang ada
sebagai contoh dengan penerbitan SEBI tanggal 6 Juli 2009. Pada kenyataannya,
perusahaan belum menerapkan hal-hal yang dikemukakan didalam surat edaran
Bank Indonesia tersebut, dan mungkin juga belum menerapkan SEBI tentang
penilaian tingkat kesehatan bank umum berdasarkan prinsip syariah
No.9/24/DPbS tanggal 30 Oktober 2007 karena surat edaran tersebut telah
diterbitkan jauh sebelum memisahkan diri dari induknya tahun 2010. Apabila
ditinjau dari isi kedua surat edaran tersebut kurang lebih hampir mirip.
Bahwasanya faktor eksternal yang menyumbangkan proses manajemen
risiko likuiditas menjadi bermasalah, oleh karena mekanisme sistem yang ada
didalam penerapan strategi yang dipilih oleh perusahaan dipengaruhi langsung
atau tidak langsung oleh aspek lainnya yang juga terkait dengan faktor
internalnya. Akibatnya perumusan strategi menjadi tidak adaptif terhadap respons
perubahan kritis didalam perusahaan, dimana sebagian besar kecenderungan
merupakan interaksi kecenderungan lainnya. Misal adanya penerbitan Surat
edaran Bank Indonesia yang sudah lewat beberapa tahun saja tidak direspons
positif ataupun negatif oleh mekanisme sistem yang ada didalam perusahaan.
4.3 Pengukuran Risiko Likuiditas
Suatu pengukuran dan monitor risiko yang efektif amatlah penting
didalam proses manajemen risiko likuiditas. Secara prinsip untuk mengakses
suatu tingkat likuiditas, haruslah diadakan evaluasi aliran kas kedalam dan keluar
dari suatu bank. Gagasan ini yaitu untuk mengidentifikasi suatu kemungkinan
”liquidity crunch” dimasa mendatang. Suatu alat pengukur risiko likuiditas
yang mana sangat populer diantara bank merupakan suatu estimasi arus kas dan
posisi likuiditas demikian pula analisis rasio keuangan (financial ratio). Untuk
menentukan metode atau alat mana sangat tergantung kepada kompleksitas
struktur aktiva (asset structure) dan struktur pasiva (liabilities structure).
Pengukuran menurut Surat Edaran Bank Indonesia No.11/16/DPNP tanggal 6 Juli
2009 paling kurang meliputi : (1) proyeksi arus kas, yaitu proyeksi seluruh arus
kas masuk dan arus kas keluar, (2) rasio likuiditas yaitu rasio keuangan yang
Jurnal Ekonomi STEI No. 02/Th.XIX/April –Juni 2010

17

menggambarkan indikator likuiditas dan/atau mengukur kemampuan bank untuk
memenuhi kewajiban jangka pendek, dan (3) profil maturitas yaitu pemetaan
posisi assets, liabilities dan rekening administratif kedalam skala waktu tertentu
(maturity buckets) berdasarkan sisa jangka waktu sampai dengan jatuh tempo
(remaining maturity), dan (4) stress testing yaitu pengujian yang dilakukan
dengan menggunakan skenario tertentu terhadap posisi likuiditas bank dalam
kondis krisis.
Proses pengukuran melalui proyeksi arus kas tidak dilakukan
sebagaimana mestinya menurut Surat Edaran Bank Indonesia tanggal 6 Juli 2009.
Proses pengukuran risiko likuiditas tidak dilakukan secara tepat dan akurat dan
memadai sesuai dengan kebijakan operasional dan prosedur yang ditetapkan serta
memenuhi prinsip kehati-hatian. Sedangkan proses pengukuran risiko likuiditas
melalui perhitungan rasio likuiditas telah dilakukan dan sesuai dengan kebijakan
dan prosedur yang ditetapkan tapi sayangnya tidak memenuhi prinsip kehatian,
karena pertumbuhan DPK tidak dikendalikan yang sejalan dengan pertumbuhan
pembiayaan yang berakibat terjadi ”excess fund”. Untuk proses pengukuran risiko
likuiditas melalui penyusunan laporan profil maturitas, Bank X belum
melakukannnya yang sesuai dengan Surat Edaran Bank Indonesia tanggal 6 Juli
2009. Sedangkan proses pengukuran risiko likuiditas melalui stress testing tidak
dilakukan sama sekali, karena sistim informasi manajemen yang ada pada
perusahaan tidak mendukung, uraian pada bagian sebelumnya dan bagian ini
sudah menjelaskan secara implisit dan eksplisit proses pengukuran risiko
likuiditas tidak dilakukan secara memadai dan memenuhi prinsip kehati-hatian.
4.4 Pemantauan Risiko Likuiditas
Didalam surat edaran Bank Indonesia tahun-tahun sebelumnya misal pada
Surat Edaran Bank Indonesia No.9/24/DPbS tanggal 30 Oktober 2007 dan
No.11/16/DPNP tanggal 6 Juli 2009 dinyatakan dengan jelas bahwa dalam proses
pemantauan risiko likuiditas meliputi antara lain early warning indicator yang
mencakup indikator internal dan eksternal. Early warning indicator (EWS)
bertujuan untuk mengidentifikasi dan mengelola risiko likuiditas,
mengidentifikasi dan mengelola potensi kebutuhan pendanaan, mengidentifikasi
tren negatif, dan digunakan sebagai dasar penentuan tindak lanjut bagi bank untuk
memitigasi eskposur risiko likuiditas. Dari penjelasan demi penjelasan yang telah
dilakukan mengenai seluruh aktifitas yang terkait dengan proses manajemen
risiko likuiditas bahwa melalui analisis seluruh data yang disajikan didalam tabeltabel pada bagian 3 sebelumnya dan tabel yang disajikan didalam bagian 4 ini
menunjukkan tidak adanya identifikasi terhadap risiko likuiditas dan pengukuran
risiko likuiditas tidak memadai dan tidak memenuhi prinsip kehati-hatian. Dua
proses sebelumnya tidak dilakukan secara memadai dan tidak memenuhi prinsip
Jurnal Ekonomi STEI No. 02/Th.XIX/April –Juni 2010

18

kehati-hatian, hal ini akan berakibat tidak dapat dilakukan proses berikutnya yaitu
proses pemantauan risiko likuiditas juga secara memadai dan memenuhi prinsip
kehati-hatian. Dengan demikian, pengendalian terhadap risiko likuiditas tidak
dilakukan secara memadai karena kurang adanya atau malahan tidak ada kontrol
dari manajemen level menengah dan manajemen level puncak melalui Asset and
Liabilities Management Commitee (ALCO).
4.5. Sistim Informasi Manajemen Risiko Likuiditas
Perlu diketahui sistim informasi manajemen perusahaan masih
menumpang kepada bank induknya, jadi tidaklah mungkin memperoleh nilai
informasi yang dapat dipergunakan sebagai masukan untuk pengambilan
keputusan dalam rangka proses manajemen risiko likuiditas. Patut diketahui
bahwa faktor yang amat penting untuk manajemen likuiditas yaitu sistim
informasi yang memberikan informasi mengenai likuiditas perusahaan kepada
Dewan Direksi, senior eksekutif dan pejabat yang terkait lainnya. Sistim informasi
yang efektif dapat mendukung pengambilan keputusan yang layak, dan juga harus
cukup fleksibel untuk mengakomodir tindakan darurat apapun yang mungkin
terjadi. Informasi yang efektif tersebut mencakup antara lain : profil maturitas dari
arus kas pada kondisi normal dan kondisi tidak normal, keterediaan portofolio aset
likuid yang ber