PRAKTIK KOTOR BISNIS INDUSTRI FARMASI DALAM BINGKAI INTELLECTUAL CAPITAL DAN TELEOLOGY THEORY

DAN TELEOLOGY THEORY Sigit Hermawan

Universitas Muhammadiyah Sidoarjo Jln. Mojopahit No. 666 B Sidoarjo Email : sigithermawan@umsida.ac.id

Abstract: Dirty Practice of Pharmaceutical Industry in The Frame of Intel-

lectual Capital and Teleology Theory. The aim of study is to explore ‘dirty’ business practice of pharmaceutical industry in Indonesia. The result shows that there were bad practices there, ranging from nonconforming raw material selec- tion, illegal medicine ingredient, keeping of rejected and destroyed products and misapropriation of herbal medicine that contained chemicals material. The ethical violation also occurred in products marketing by engaging collaboration or ‘private’ contract with doctors, hospitals and drugstores. In the frame of IC, those practices show that the empowerment of IC are not implemented appropriately. Meanwhile, based on teleology theory, those dirty operations were included in ethical egoism that should be changed into utilitarianism behavior.

Abstrak: Praktik Kotor Bisnis Industri Farmasi dalam Bingkai Intellectual

Capital dan Teleology Theory . Tujuan penelitian ini adalah untuk menggali praktik kotor bisnis industri farmasi Indonesia. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat praktik kotor di sana. Bentuknya terentang mulai dari pemilihan bahan baku tak sesuai, permainan komposisi obat, penyimpanan produk rusak dan afkir hingga penyalahgunaan obat herbal yang disisipkan bahan kimia. Pelanggaran etika juga terjadi pada pemasaran obat yakni dengan melakukan

kerjasama atau kontrak pribadi penjualan obat tertentu dengan dokter, rumah sakit dan apotek. Praktik-praktik seperti ini dalam tinjauan Intelectual Capital menunjukkan adanya pengelolaan dan pemberdayaan IC yang tidak benar. Ber- dasar tinjauan teleology theory, praktik tersebut termasuk dalam perilaku ego- isme etis yang harus diubah menjadi perilaku utilitarianisme.

Kata Kunci: Intangibles Assets , Intellectual Capital, Teleology Theory, Industri Farmasi, Etika dan Moral

pelanggaran hak paten (Gewertz si selalu saja dikaitkan dengan se-

Praktik bisnis industri farma-

and Amado 2004). jumlah isu etika. Penelitian Sillup

Pelanggaran praktik bisnis and Porth (2008) menyatakan bah-

di industri farmasi juga terjadi di wa ada enam isu etika yang ter-

Indonesia terutama pada prak- jadi pada industri farmasi, yakni

tik kerjasama atau kontrak an- terkait keamanan obat, kebijakan

tara perusahaan farmasi dengan harga, pengungkapan data, kebi-

tenaga kesehatan. Kerja sama jakan impor dan reimpor, desain

atau kontrak ini diperhitungkan studi klinis, dan terkait dengan

se-bagai biaya promosi yang ke- pemasaran obat. Hasil penelitian

mudian dimasukkan ke biaya Ahmed and Saeed (2012) lebih

produksi sehingga biaya produk- khusus menyatakan bahwa telah

si menjadi tinggi dan harga obat terjadi praktik pemasaran tidak

menjadi mahal. Mahalnya harga

beretika di industri farmasi Paki- obat menjadi tanggungan kon-

Jurnal Akuntansi Multiparadigma

JAMAL Volume 4

stan dan harus segera dihentikan sumen. Ketua Yayasan Pember-

Nomor 1 Halaman 1-164

oleh semua stakeholders industri dayaan Konsumen Kesehatan

Malang, April 2013 ISSN 2086-7603

farmasi disana. Pelanggaran etika Indonesia (YPKKI) dr. Marius di farmasi juga terjadi pada as-

Widjajarta memperkirakan an- pek kekayaan intelektual seperti

gka Rp 500 Milliar setahun yang

Hermawan, Praktik Kotor Bisnis Industri Farmasi dalam...41 dikeluarkan perusahaan farmasi untuk bi-

aya promosi. Namun, jumlah uang beredar yang didistribusikan ke dokter-dokter secara keseluruhan lebih dari 20% dan lebih dari Rp500 Milyar. Selanjutnya, Ketua Ikatan Sarjana Farmasi (ISFI) Haryanto Dhanutirto memprediksi perusahaan farmasi memberi- kan diskon kepada dokter sampai 40% dan kepada apotek 5% - 10%. Sementara itu, Syofarman Tarmizi, Direktur Pemasaran PT. Kimia Farma memperkirakan jumlah dana yang masuk ke dokter-dokter sekitar Rp. 10,5 triliun dari jumlah Rp. 20,3 triliun to- tal market obat di Indonesia (Ichsan 2008). Tentang dugaan banyaknya praktik pema- saran yang tidak sesuai dengan kode etik pemasaran dibenarkan oleh International Pharmaceutical Manufacturers Group (IPMG), sebuah organisasi yang terdiri dari 24 peru- sahaan farmasi internasional yang berbasis riset di Indonesia (Purwo 2012). Akibat prak- tik kolusi tersebut harga obat merk atau pa- ten yang selama ini dikonsumsi konsumen Indonesia menjadi sangat mahal melebihi harga obat di luar negeri. Kolusi dalam prak- tik bisnis farmasi seperti ini sudah dianggap biasa oleh pelaku bisnis industri di Indone- sia (Sampeliling 2007).

Dengan banyaknya praktik penyim- pangan etika di industri farmasi Indonesia apabila dikaitkan dengan Intellectual Capi- tal (IC) , menunjukkan adanya pengelolaan dan pemberdayaan IC yang kurang dilaku- kan dengan optimal. Karena, sesungguhnya

IC adalah pengetahuan (knowledge) yang dikonversikan menjadi nilai. Knowledge di- artikan sebagai perpaduan dari informasi (information ) dimiliki, pengalaman (experi- ence ), pola (pattern), nilai-nilai (values), dan aturan-aturan (rules). Terkait dengan prak- tik penyimpangan di industri farmasi berarti ada bagian dari knowledge yang dilanggar atau tidak dijalankan dengan benar, yakni pada pola atau pattern karena di dalamnya terdapat unsur moral dan etika (Purnomo- sidhi 2012). Apabila dilihat lebih dalam ten- tang IC, ada tiga komponen IC, yakni Human Capital (HC) , Structural Capital (SC), dan Re- lational Capital (RC). Dengan demikian ada tiga penyimpangan dalam praktik indus- tri farmasi bila dikaitkan dengan IC, yakni pada komponen HC, SC, dan RC (Hermawan 2012). Padahal IC sebagai intangible assets strategis bagi perusahaan telah terbukti mampu memengaruhi kinerja, inovasi, daya saing, dan kesejahteraan (Hermawan 2011a, 2011b, 2013a, 2013b; Khalique et al. 2011;

Sharabathi et al. 2010; Chen 2008; Cohen and Kaimenakis 2007; Cabrita et al. 2007; Hsu 2006; Mageza 2004; Belkaoui 2003; IFAC, 1998; dan Stewart 1997). Dengan pe- ngelolaan IC yang tidak mengindahkan etika dan moral akan menyebabkan penurunan manfaat IC bagi perusahaan karena etika bisnis terbukti memengaruhi pengembang- an IC (Yann-Su 2013).

Sementara itu, banyaknya praktik pe- nyimpangan etika dalam praktik bisnis in- dustri farmasi Indonesia dapat dikaitkan dengan aspek keperilakuan dalam penge- lolaan intangible asset perusahaan. teori yang dapat digunakan untuk menjelaskan perilaku ini adalah teori teleology (MacDo- nald and Beck-Dudly 1994). teori teleologi ini dibagi dua bagian, yakni utilitarianisme dan egoisme etis. Utilitarisme menjelaskan bah- wa suatu perbuatan atau tindakan dapat di- katakan baik jika dapat menghasilkan man- faat. Akan tetapi, bukan bermanfaat untuk pribadi seseorang saja namun untuk seke- lompok orang atau sekelompok masyarakat. Sebaliknya, egoisme etis adalah teori menge- nai bagaimana kita seharusnya bertindak, tanpa memandang bagaimana kita biasanya bertindak. Menurut teori ini hanya ada satu prinsip perilaku yang utama, yakni prinsip kepentingan diri sendiri yang merangkum semua tugas dan kewajiban alami seseorang. teori ini juga pernah digunakan oleh Liu and Wang (2007) untuk menjelaskan perlunya perilaku utilitarian dan pertimbangan mo- ral dalam meningkatkan kinerja operasional dan mengukur IC.

Dengan memperhatikan praktik bis- nis industri farmasi di Indonesia yang tidak memperdulikan etika dan moral, sangat per- lu untuk menggali informasi lebih dalam dan menganalisis praktik bisnis industri farmasi Indonesia dalam tinjauan intellectual capital (IC) dan teleology theory. Dengan menggali informasi lebih dalam tentang praktik bis- nis industri farmasi dapat diketahui bagian mana yang harus diperbaiki kaitannya deng- an intellectual capital . Demikian juga dalam kaitannya dengan teori teleology, akan dapat diketahui perubahan perilaku yang harus dilakukan oleh pelaku bisnis industri farma- si dalam mengoptimalkan intangible assets yang dimilikinya.

METODE

Jenis penelitian ini adalah kualitatif (Cresswell et al. 2007) dengan paradigma interpretive (Smith and Osborn 2007). Jenis

42 Jurnal Akuntansi Multiparadigma, Volume 4, Nomor 1, April 2013, Hlm. 40-54 penelitian kualitatif interpretive dipilih kare-

na penelitian ini banyak melakukan inter- pretasi atas pendapat informan dan meng- ungkap fenomena (Strauss and Corbin 2003 terkait praktik bisnis industri farmasi di Indonesia dikaitan dengan IC dan aspek keperilakuan. Unit analisis penelitian ini adalah pendapat informan. Informan kunci dalam penelitian ini adalah manajer perusa- haan farmasi (informan KK, ER, DS, AP), su- pervisor (informan NA), mantan manajer pe- rusahaan farmasi (informan YAS), pengurus GP Farmasi Indonesia Jawa Timur (informan M), peneliti IC (informan ZF dan WH), penga- mat industri farmasi (informan UA dan DH), dan perwakilan badan pemerintah terkait farmasi (informan TK). Penentuan informan dilakukan dengan judgement dan snowball (Marshall 1996).

Proses pengumpulan data dilakukan dengan wawancara mendalam atau in depth interview, focus group discussion (FGD) , dan pendokumentasian (Marshall 2006). Keab- sahan data dilakukan dengan uji credibility, transferability, dependability , dan confirma- bility (Senton 2004). Uji kredibilitas (credi- bility ) berkenaan dengan derajat akurasi data dalam desain penelitian dengan hasil yang dicapai. Cara yang dilakukan dalam uji kredibilitas data penelitian ini adalah de- ngan melakukan triangulasi. Ada empat tri- angulasi yang peneliti lakukan, yakni trian- gulasi metode, triangulasi sumber data, tri- angulasi teori, dan triangulasi antar peneliti (Hussien 2009; Rahardjo 2010). Uji transfer- ability berkenaan dengan sejauh mana ha- sil penelitian dapat diterapkan dalam situ- asi lain. Dalam perspektif penelitian natu- ralistik atau kualitatif, nilai transfer suatu penelitian tergantung pada pemakai, hingga mana hasil suatu penelitian dapat diterap- kan pada situasi yang lain. Terkait dengan penelitian ini, peneliti tidak bisa menja- min derajat transferability hasil penelitian. Oleh karena itu, yang dapat dilakukan oleh peneliti agar pemakai lain dapat memahami dan kemungkinan untuk menerapkan hasil penelitian adalah dengan membuat lapor- an penelitian ini secara parsimoni (menye- derhanakan hal yang rumit), terinci, jelas, sistematis, dan dapat dipercaya. Uji depend- ability berkenaan dengan apakah orang lain dapat mereplikasi proses penelitian terse- but. Uji dependability dalam penelitian ini dilakukan melalui pemeriksaan (audit) ter- hadap keseluruhan proses penelitian. Audit proses ini dapat dilakukan oleh pihak inde-

penden (Prof TS, Prof SS, Dr BP). Hal seperti ini juga pernah dilakukan oleh Muawanah (2010). Uji confirmability berkenaan dengan derajat kesepakatan antar banyak orang terhadap suatu data. Hasil penelitian kuali- tatif dikatakan objektif bila hasil penelitian disepakati oleh banyak orang. Uji confirm- ability dalam penelitian ini dilakukan deng- an melibatkan beberapa orang yang pernah melakukan penelitian IC, yakni peneliti IU, SLWI, MBW, dan SH. Dengan melibatkan be- berapa orang tersebut diharapkan penelitian ini dapat lebih objektif sebagaimana tujuan uji confirmability.

Analisis data dalam penelitian ini mengikuti metode analisis data kualita- tif dari Miles and Huberman (1984), yaitu melakukan analisis selama tahapan proses pengumpulan data. Tahapan analisis me- liputi data collection, data reduction, data display , dan conclusion. Analisis pada saat data collection dilakukan dengan selalu memperhatikan hasil wawancara semen- tara dan membandingkan dengan rumusan masalah, tujuan dan fokus penelitian, serta analisis dengan teori yang ada. Sementara itu, aktivitas data reduction dilakukan pada saat melakukan data collection. Berdasar- kan data transkripsi wawancara yang telah ada maka pada tahapan ini data dikurangi (reduksi) untuk data yang tidak releven, di- rangkum, dipilih yang pokok, dicari tema, pola dan kategori yang sama. Selanjutnya, proses data display dilakukan dengan me- nyusun petikan-petikan wawancara untuk tiap-tiap ide yang ada di pola atau tema yang sama. Penyusunan hasil penelitian dengan menampilkan petikan-petikan wawancara tersebut dimaksudkan untuk memberikan gambaran kealamiahan (naturalistik) pene- litian yang bersumber dari wawancara asli dengan para informan kunci. Tahap terakhir dalam analisis data adalah simpulan dan verifikasi. Pada tahap ini peneliti mengambil simpulan, pada awalnya sangat tentatif, ka- bur, diragukan. Akan tetapi dengan bertam- bahnya data, simpulan akan lebih lengkap.

HASIL

Hasil penelitian didasarkan atas pro- ses pengumpulan data yang juga sekaligus menganalisis data. Data dikumpulkan me- lalui in depht interview, pendokumentasian, dan FGD. Pada saat proses pengumpulan data juga dilakukan keabsahan data dengan uji credibility melalui member check, trian- gulasi sumber, triangulasi metode, dan tria-

Hermawan, Praktik Kotor Bisnis Industri Farmasi dalam...43

Tabel 1 Penemuan Pola dari Proses Coding

apotek

ngulasi teori. Data yang diperoleh kemudian, Lebih lanjut UA menjelaskan bahwa direduksi, coding, dipilah dan dipilih yang

dalam pemilihan bahan baku bisa saja di- memiliki tema atau konsep yang sama.

pilih yang memiliki struktur yang sama Praktik bisnis industri farmasi di Indo-

atau agak mirip tetapi yang satu lebih cocok nesia banyak diwarnai oleh berbagai prak-

untuk hewan dan ini dipakai. Berikut per- tik penyimpangan. Terkait dengan etika dan

nyataan UA:

moral, tentunya hal tersebut menjadi sesu- “Ya begini, bisa saja, misalnya atu hal yang penting dalam industri farmasi ada lima bahan baku. Trus kom- karena menyangkut hajat hidup orang ba- posisinya campuran bahan A dan nyak dan juga menentukan tingkat keseha-

B, atau A dan C, atau B dengan tan suatu masyarakat. Menurut hasil pene-

C. Itu yang bisa dipertanggung- litian ada dua hal penting yang menyangkut jawabkan. Tapi kemudian pe- etika dan moral di core bisnis industri farma- ngusahanya bilang, “ya pakai ini si, yakni ketika proses pem-buatan obat dan sajalah ”. Maksudnya yang bukan ketika proses penjualan (pemasaran) obat. kualifikasinya atau berkualifikasi Beberapa praktik yang melanggar eti- rendah. Tapi pengusaha bilang ka dan moral pada saat proses pembuatan yang penting untung atau laba obat antara lain pemilihan bahan baku yang kita banyak. Nanti gajimu tak kurang sesuai dan permainan komposisi naikkan . Dan itu sudah ada con- obat. Ada pula praktik obat yang seharus- tohnya pak. Karena begini, contoh nya di-reject tetapi tetap dijadikan produk. saja, salah satu bentuk antibiotik Selain itu ada juga produk yang harusnya yang strukturnya agak mirip tapi dimusnahkan tetapi malah dipendam di ta- masih bisa dipakai sebagai anti- nah dan obat yang harusnya herbal tetapi biotik. Cuma yang satu ini lebih tetap mengandung bahan kimia. Pernyataan cocok untuk hewan dan itu dipa- pertama disampaikan oleh informan UA ten- kai lho pak” (Petikan wawancara tang dilematis farmasis atau apoteker dalam pemilihan bahan baku. Berikut pernyataan dengan UA, 21-03-2012)

UA : Penyimpangan untuk bahan baku obat tersebut disebabkan oleh komposisi obat

“Tapi disisi lain ada pengusaha yang bisa dimainkan diantara range yang yang pasti menghitung-hitung ada. Menurut UA hal tersebut karena kom- keuntungan. Nah inilah ma- posisi obat tidak pasti dalam angka tertentu salahnya pak. Para tenaga farma- tetapi dalam range tertentu sehingga hal ini si dihadapkan pada dilema bahwa bisa “dipermainkan”. Berikut penjelasan UA: dia harus memilih bahan baku

yang kualitas bagus tapi yang “Pada akhirnya farmasi kita kan punya perusahaan tidak mau

punya range (jarak), tidak rigid karena akan mengurangi tingkat

begitu, sehingga farmasi kita keuntungan pengusaha itu. Ini

dalam negeri masih bisa main di- juga menjadi masalah dalam

antara range itu. Dan itu bisa kok modal manusia atau human capi-

pak. Artinya itu memang yang di- tal” (Petikan wawancara dengan

mainkan. Jadi komposisi itu tidak UA, 21-03-2012)

harus 5% misalnya, tapi bisa an- tara 3% - 8% katakanlah begitu.

44 Jurnal Akuntansi Multiparadigma, Volume 4, Nomor 1, April 2013, Hlm. 40-54 Kan memang masih banyak pe-

melakukan cross check dengan cara member rusahaan yang istilahnya “ndan-

check ke informan yang lain yakni TK dan dakno ” produknya ke pabrik lain”

staf yang ada di kantor pemerintahan yang (Petikan wawancara dengan UA,

berkaitan dengan farmasi. Atas pertanyaan 21-03-2012)

peneliti apakah ada praktik penyimpangan di perusahaan farmasi, staf yang ada di kan-

Penyimpangan dapat juga terjadi pada tor tersebut menjawabnya “ada pak”, tapi obat-obatan herbal. Obat yang seharusnya dengan cepat informan TK menjawabnya : terbuat dari bahan-bahan alamiah tetapi

ternyata mengandung juga bahan-bahan “Ada tapi itu di provinsi lain bu- kimiawi. Berikut pernyataan UA :

kan di Jawa Timur kok pak”.

“Apalagi (Petikan wawancara dengan TK, suplemen-suplemen yang bisa jadi lebih rumit kualifi- 04-06-2012)

kasinya termasuk juga jamu-jamu Jawaban informan TK tersebut tidak herbal. Ini juga harus menjadi

mengherankan karena terkait dengan ja- perhatian pak, karena setelah di-

batan beliau sebagai Kabid Pemeriksaan periksa banyak juga perusahaan-

dan Penyidikan di kantor tersebut yang ten- perusahaan yang katanya herbal

tunya semua akan membawa konsekuensi

eh , ternyata banyak mengandung tersendiri atas semua pernyataannya. Wa- bahan kimianya. Nah dalam hal

laupun demikian pernyataan yang orisinil ini pak, saya lebih menekankan

dan jujur adalah pernyataan orang pertama pada aspek moral pak. Coba nanti

(staf kantor tersebut). Demikian pula per- pak Sigit dalami lagi tentang ma-

nyataan informan TK bahwa tidak ada di salah moral ini” (Petikan wawan-

Jawa Timur yang berarti ada di provinsi lain cara dengan UA, 21-03-2012)

yang tetap dalam wilayah Indonesia karena sebenarnya pertanyaan peneliti tidak hanya

Penyimpangan lain dinyatakan oleh

di Jawa Timur.

YAS bahwa ada juga produk obat-obatan Praktik penyimpangan yang terjadi yang seharusnya di-reject tetapi masih juga pada saat proses penjualan atau pemasaran dijadikan produk. Ada juga produk yang su- obat telah banyak terjadi dan telah menjadi dah di-reject ini dimusnahkan tetapi ternya- rahasia umum. Praktik perusahaan farma- ta dipendam sehingga bisa mengganggu ma- si melakukan kerjasama bahkan kontrak syarakat sekitar. Berikut pernyataan YAS : dengan dokter, kerjasama dengan rumah

“Kalau tentang produk ya pak, sakit melalui KPDM, dan kerjasama dengan kan pastinya ada bagian QC (qual-

apotek. Pada beberapa praktik sponsorship ity control ). Nah ini kalau pada

memang dibenarkan dalam kode etik pema- saat diproses ada penyimpangan

saran farmasi Indonesia tetapi pada banyak maka akan langsung di-reject.

kasus juga terjadi pelanggaran-pelanggar- Trus di akhir produksi, yang seha-

an etika dan moral yang tentunya merugi- rusnya di-reject karena ada pak-

kan masyarakat umum pengguna produk saan, dalam arti kalau tidak sam-

farmasi.

pai pada taraf membahayakan Kerjasama antara perusahaan farmasi maka ya sudah tidak apa-apalah

dengan dokter lebih banyak disebabkan oleh dijadikan produk. Saya juga per-

konsep detailing untuk obat ethical. Hal ini nah bersitegang terkait dengan

disebabkan oleh peran penting dan posisi penanganan bahan-bahan yang

yang sangat kuat seorang dokter dalam me- sudah reject, ini banyak yang ma-

nentukan obat apa yang dikonsumsi oleh sih dipendam, padahal itu harus-

pasien. Tentang hal ini UA memberikan nya dimusnahkan karena fakta-

penjelasan :

nya membahayakan masyarakat “Kenapa ethical? Karena dokter sekitar. Nah masalahnya terkait memang sangat berpengaruh. moralitas, berani tidak kita seper- Tapi sebenarnya siapa sih pak ti itu” (Petikan wawancara dengan

YAS, 14-04-2012) orang yang pingin makan obat itu.

Orang kalau sakit baru mau mi- Berdasarkan beberapa praktik pe-

num obat kan pak. Artinya ketika nyimpangan tersebut kemudian peneliti

sakit ya sudah akhirnya apa yang

Hermawan, Praktik Kotor Bisnis Industri Farmasi dalam...45 dikasihkan dokter akan diterima

Praktik pernyimpangan etika dan mo- oleh pasien. Nah ini memang ter-

ral antara perusahaan farmasi dengan dok- kait dengan positioning dokter

ter dalam bentuk kerjasama ini jelas sangat dan pasien. Yang kemudian me-

merugikan masyarakat karena seharusnya mang dokter memang peranan

pasien mendapatkan informasi alternatif lebih kuat. Tapi kembali bahwa

obat yang baik dan murah. Tetapi hal terse- obat yang beragam dan bervaria-

but tidak akan terjadi karena dokter sudah si itu sebenarnya bahan aktifnya

melakukan kerjasama dengan perusahaan lho sama pak. Maka ini mau tidak

farmasi sehingga dokter akan fokus pada mau harus ada alat kendali lagi.

satu obat yang telah dikerjasamakan. Per- Tetapi belum sampai ada alat pe-

nyataan tersebut disampaikan oleh DH beri- ngendalinya, masuklah produsen

kut ini :

obat atau perusahaan farmasi ke “Ya memang secara tidak tertulis “demand”-nya dokter. Nanti kalau ya seperti itu pak. Artinya kadang- dokter nulis resep gini, gini, gini kadang memang dokter yang nanti akan dapat bonus sekian, cenderung ke bisnis ya memang sekian dari saya” (Petikan wawan-

cara dengan UA, 21-03-2012) seperti itu. Artinya juga dokter

itu tidak menyesuaikan dengan Berdasarkan pernyataan UA tersebut

kemampuan pasien, kemampuan kemudian peneliti melakukan member check

obat yang mungkin dia bisa beli, ke informan yang lain yakni AP. Beliau (AP)

ini memang biasanya tidak seperti menyatakan bahwa praktik penyimpangan

itu. Artinya dia selalu fokus pada antara perusahaan farmasi dengan dokter

obat yang sudah kerjasama tadi tersebut dibentuk oleh market dan tidak

itu” (Petikan wawancara dengan tahu siapa yang memulainya. Bahkan AP

DH, 14-04-2012)

menambahkan bahwa sebenarnya dokter ti- Bentuk kerjasama antara perusahaan dak berwenang menulis resep obat. Dokter

farmasi dengan dokter bisa dalam bentuk hanya menuliskan bahwa pasien mende-

cash maupun non cash. Hal ini dinyatakan rita penyakit ini maka perlu terapi ini dan

oleh AP :

ini. Tapi kenyataannya dokter yang menjadi decision maker untuk penulisan obat pada-

“Ya macam-macam pak. Biasa- hal yang lebih mengetahui spesifikasi obat

nya untuk dokter dan juga untuk adalah apoteker. Berikut pernyataan AP :

rumah sakitnya. Misalnya untuk training perawat, karyawan. Dan

“Penyimpangan terjadi itu karena kalau untuk dokternya biasanya dibentuk oleh market-nya pak. fasilitas diberikan juga baik cash Misalnya kalau kita bicara dokter maupun non cash itu juga dilaku- dan apoteker. Sebenarnya yang kan” (Petikan wawancara dengan menentukan obat ini kan bukan dokter tapi apoteker. Dokter itu AP, 30-03-2012)

saat nulis resep hanya nulis bah- Berdasarkan pernyataan AP tersebut wa pasien itu perlu diterapi obat

kemudian peneliti melakukan member check ini, dan ini. Harusnya seperti itu

ke informan lain yakni DH. Beliau (DH) mem- pak. Lha ini saya tidak tahu dari

benarkan bahwa memang ada kerjasama mana mulainya sehingga dok-

yang langsung diberikan dalam bentuk cash ter inilah yang menjadi decision

kepada dokter. Berikut pernyataan DH : maker -nya. Ini yang sedang diper-

“Memang ada juga kerjasamanya juangkan oleh para apoteker un-

yang langsung kita berikan dalam tuk mengalihkan hal ini. Tapi IDI

bentuk uang cash juga. Tergan- ini terlalu kuat. Jadi sebenarnya

tung dari negosiasi dengan dok- yang menentukan obat ini adalah

ter yang bersangkutan seperti apoteker. Nah disinilah terjadi

itu. Tapi ini biasanya ada sebuah banyak penyimpangan terutama

kesepakatan antara MR mewakili terjadi di channeling dokternya

farmasi dengan dokter. Uang itu- itu” (Petikan wawancara dengan

kan sebenarnya diskon karena AP, 14-04-2012) dokter itulah pembeli produk kita.

46 Jurnal Akuntansi Multiparadigma, Volume 4, Nomor 1, April 2013, Hlm. 40-54 Nah tapi diskon itu tidak diberi-

hanya perlu obat misalkan decol- kan per produk tapi dikumpul-

sin tapi kemudian ditambah obat kan, dari sekian produk tersebut

macem-macem termasuk vitamin terkumpul semuanya berapa be-

macam-macam, agar target sales gitu. Tentang besarannya ter-

di dokter itu tercapai. Dan ini su- gantung negosiasi antara dokter

dah menjadi rahasia umum. Itu dengan MR” (Petikan wawancara

sampai turun tim legal dari farma- dengan DH, 14-04-2012)

si lho pak. Seperti collateral bank itu. Kalau itu sudah pada tingkat

Praktik perusahaan farmasi memberi- advance . Demikian pula dengan kan uang cash kepada dokter akan diper- misalnya kalau anaknya dokter parah dengan praktik yang lain yakni peru- mau kuliah di PT misalnya, dan sahaan farmasi memberikan downpayment

(DP) butuh uang 100 juta maka ke-

kepada dokter. Proses ini terjadi apabila mudian tim legal dari perusahaan telah terjadi kesepakatan kerjasama antara farmasi turun. Terus dilakukan perusahaan farmasi dengan dokter. Perusa- kerjasama disertai dengan col- haan farmasi mentransfer DP dalam jumlah lateral (jaminan), lalu dilakukan tertentu sesuai kesepakatan kemudian dok- “akad kredit”. Lalu marketing-nya ter baru menuliskan resep obat sesuai de- ini yang akan mengontrol “collate- ngan obat yang dikerjasamakan. Tentang ral ” dokter tersebut. Bener gak hal tersebut DH memberikan penjelasan : dokter yang bersangkutan nu-

“Awal itu ya, kalau dokter misal- lis resep obat kita, begitu pak” nya berkenan untuk menulis se-

(Petikan wawancara dengan AP, buah produk tapi dia mau itung-

14-04-2012)

itungan misalnya, berapa persen, ya bisa kalau dia minta di depan

Memang praktik menyimpang di bi- dan berkomitmen memang ya ada

dang kesehatan banyak terjadi di berbagai yang seperti itu di depan. Dan

aspek. Misalnya kerjasama antara dokter setelah itu dia baru nulis. Setelah

dengan laboratorium kesehatan. Ada juga dana masuk misalnya, baru dia

target rumah sakit kepada dokter sehingga nulis produk” (Petikan wawan-

mensyaratkan pasien untuk opname pa- cara dengan DH, 14-04-2012)

dahal dapat dilakukan dengan rawat jalan. Tentang hal ini AP memberikan penjelasan :

Ada juga praktik penyimpangan yang “Nah dokter ini memang sangat lebih tidak beretika dan bermoral lagi yakni luar biasa pak. Ada dokter di dae- kerjasama disertai “akad kredit” antara peru- rah Sutorejo, saya tidak sebut sahaan farmasi dengan dokter. Pada praktik namanya, dia sangat business ini sudah seperti layaknya perbankan mem- oriented . Untuk pemeriksaan lab, berikan kredit pada nasabahnya. Ada jamin- dia minta bagian 40% pak, dan an atau collateral dari dokter atas perjanjian pasiennya harus cek ini, cek itu, kerjasama tersebut. Perusahaan farmasi dan minim cek di lab itu habisnya juga menurunkan tim legal yang menangani

4 juta. Lha kalau 40%nya sudah aspek hukum atas perjanjian kerjasama berapa itu pak? Itu per pasien lho tersebut. Hal tersebut terjadi karena pada pak. Ada juga dokter yang kadang sisi perusahaan ada target sales yang harus menyarankan pasien untuk op- diraih dan di sisi lain ada kebutuhan (need) name padahal itu tidak parah, yang harus dipenuhi oleh seorang dokter. dan bisa rawat jalan. Itu karena Berikut penjelasan AP : dia kena juga target dari rumah

“Banyak penyimpangan dalam arti sakit lho pak. Jadi memang ada kata karena ada semacam target

juga RS yang ngomong ke dokter, sales begitu. Jadi misalnya saya

ini pemasukan dari kamar pasien sebagai dokter. Saya lagi bangun

kok sepi, akhirnya muncullah rumah, butuh uang 50 juta untuk

praktik tadi itu pak, yang harus- renovasi rumah saya. “Oke dok

nya bisa rawat jalan akhirnya di- kalau gitu kita kerjasama saja ”.

suruh opname” (Petikan wawan- Maka ada semacam target sales

cara dengan AP, 14-04-2012) tadi. Misalnya ada pasien sakit flu

Hermawan, Praktik Kotor Bisnis Industri Farmasi dalam...47 Kerjasama tidak hanya dengan dok-

sebelum standarisasi mereka su- ter tetapi juga dengan rumah sakit. Untuk

dah “ngopeni” dokter-dokter itu. kerjasama ini bukan rumah sakit sebagai

Artinya seperti ini “dok, tolong instansi tetapi rumah sakit menugaskan be-

dibantu untuk rumah sakit A mi- berapa KPDM atau key person decision mak-

salnya, untuk dimasukkan produk ing untuk mengaturnya. Adapun jalur yang

saya ” kemudian dokter “oh ya biasa dipakai untuk kerjasama adalah me-

beres ”. Nah ini biasanya ada deal lalui formularium atau standarisasi. Rumah

lagi dengan dokternya. Nah ke- sakit melakukan formularium atau stan-

tika sudah masukpun rumah darisasi obat itu dalam kurun waktu enam

sakit mendapatkan sesuatu juga bulan sekali atau satu tahun sekali. Pada

dari farmasi biasanya diskon dari proses formularium ini rumah sakit meng-

farmasi. Sehingga kalau di RS umpulkan para dokter untuk mengetahui

itu double pak, dengan RS iya rekomendasi obat yang dipakai atau diresep-

dengan dokternya iya. Ada dua kan oleh dokter di rumah sakit tersebut. Ha-

pengeluaranlah yakni diskon un- sil formularium adalah daftar obat atau list

tuk RS dan diskon untuk dokter obat yang digunakan oleh rumah sakit yang

(Petikan wawancara dengan DH, bersangkutan. Permainan kerjasama an-

14-04-2012)

tara perusahaan farmasi dengan dokter di- Berdasarkan pernyataan DH tersebut lakukan sebelum proses formularium. Arti- kemudian peneliti melakukan member check nya perusahaan farmasi sudah bekerjasama ke informan AP dan YAS. Keduanya (AP dan terlebih dahulu dengan dokter agar produk YAS) membenarkan tentang praktik ker- farmasi tertentu dapat masuk ke rumah jasama antara perusahaan farmasi dengan sakit yang bersangkutan sebelum formulari- rumah sakit walaupun bukan atas nama um dilaksanakan. instansi tapi rumah sakit menugaskan para Untuk produk farmasi yang masuk ke KPDM untuk hal tersebut. Berikut pernyata- rumah sakit biaya marketingnya lebih mahal

an AP dan YAS :

karena selain harus kerjasama dengan dok- ter atau KPDM tadi juga harus memberi dis-

“Bisa juga tapi melalui KPDM- kon lagi kepada pihak rumah sakit. Jadi ada

nya pak, key person decision dua pengeluaran yakni untuk dokter dan

maker -nya pak. itu pasti pak” rumah sakit. Hal ini dinyatakan oleh infor-

(Petikan wawancara dengan AP, man DH berikut ini :

14-04-2012)

“Kalau rumah sakit itu biasanya Tapi kalau dari instansinya eng- dia akan melakukan formularium

gak pak, misalnya RS “X” minta atau standarisasi. Standarisasi

gitu enggak pak, tapi ada person itu adalah bagaimana farmasi

yang ditugasi untuk itu. Tapi itu memasukkan obat-obat yang

sebenarnya ya sama saja” (Pe- dibutuhkan oleh rumah sakit. Itu biasanya setahun sekali atau per tikan wawancara dengan YAS,

6 bulan sekali. Cuma ketika kita 14-04-2012) memasukkan obat itu, RS juga

Ya di RS kan juga ada namanya harus tahu siapa yang mereko-

formularium pak. Nah disitukan mendasi atau siapa yang akan

diatur standar obat untuk tahun menulis produk ini. Jangan sam-

ini, misalnya. Nah disitulah yang pai produk itu masuk tetapi tidak

biasanya jadi objek yakni pada ada yang menulis resepnya. Jadi

saat formularium” (Petikan wawa- mereka itu menggunakan formu- larium itu. Berapa dokter begitu ncara dengan AP, 14-04-2012)

dikumpulkan, kemudian mere- Berbagai cara memang dilakukan oleh ka merekomendasikan produk-

perusahaan farmasi dalam rangka menjual produk apa yang dimasukkan ke

dan memasarkan produknya. Praktik me- RS. Nah setelah proses itu terjadi

nyimpang dari etika dan moral juga dilaku- misalnya, baru kemudian MR

kan dengan apotek selain dengan dokter ini mengetahui list dari produk-

dan rumah sakit yang telah dijelaskan sebe- produk itu. Tapi biasanya MR itu

lumnya. Kerjasama dengan apotek memang

48 Jurnal Akuntansi Multiparadigma, Volume 4, Nomor 1, April 2013, Hlm. 40-54 dilakukan oleh perusahaan farmasi dan

kedua adalah mahalnya harga obat karena distributor. Pemberian diskon dan bonus

biaya marketing atas kerjasama tersebut di- adalah praktik kerjasama yang dilakukan

masukkan oleh perusahaan farmasi ke kom- oleh perusahaan farmasi dengan apotek.

ponen harga obat. Yang ketiga perjanjian Tentang kerjasama ini dijelaskan oleh DH

kerjasama tersebut termasuk dalam kategori berikut ini :

perilaku kolusi dan nepotisme yang hanya menguntungkan perusahaan farmasi deng-

“Ya kalau di apotek itu mainnya an dokter, rumah sakit, dan apotek. yang besar dengan distributor. Terkait akibat kerjasama tersebut men- Karena memang jalurnya seperti jadikan harga obat menjadi mahal disampai- itu. Artinya memang distribu- kan oleh DH bahwa karena biaya operasio- tor ngasih diskon juga ke apo- nal dan marketing dengan dokter dibeban- tek. Tetapi biasanya MR bisa juga kan ke harga obat. Kalau harga obat hanya main di apotek itu. Apoteker itu

ya dari biaya produksi dan distribusi maka

bisa saja main seperti itu. Bah- tidak semahal saat ini. Berikut pernyataan kan begini pak, obat itu kan ada

DH :

dus-nya kan, nah dia bilang “su- dah begini ya dos ini saya hargai

“Nah itu yang menjadi masalah misalnya Rp. 10.000,- per dus ”.

kadang-kadang di farmasi itu. Ya Artinya kan apotek akan menjual

biaya operasional dan marketing terus obat itu. Nah disitu nanti-

itu yang kemudian dibebankan kan dihitung. Memang banyak

pada harga obat. Ya, itu yang ke- trik yang dilakukan oleh MR itu.

mudian menjadikan harga obat Lha biasanya yang depan-depan

akan menjadi naik. Ya, itu yang di apotek itukan mengarahkan.

juga menyebabkan obat-obatan Pakai obat ini saja, karena dia

saat ini menjadi mahal. Sebenar- sudah ada deal juga dengan MR

nya kalau hanya dari harga atau distributor. Artinya memang

produksi dan distribusi, dan ka- tidak ada yang tidak pakai relasi

lau tidak ada hal-hal lain yang begitu pak (Petikan wawancara

seperti itu maka harga obat akan dengan DH, 14-04-2012)

lebih murah” (Petikan wawancara Pernyataan yang sama disampaikan dengan DH, 14-04-2012)

oleh AP tentang bentuk kerjasama antara Aspek lain dampak dari kerjasama perusahaan farmasi dengan apotek. Ker-

tersebut adalah terjadinya perilaku kolusi jasama tersebut mengakibatkan pihak apo-

dan nepotisme yang hanya menguntungkan tek selalu mengarahkan pembeli untuk obat

pihak yang bekerjasama dan merugikan ma- tertentu atau juga memilihkan produk ter-

syarakat. Hal itu juga sempat dinyatakan tentu yang telah dikerjasamakan. Berikut

oleh peneliti kepada informan DH. Apakah penjelasan AP :

hal tersebut termasuk dalam perilaku ko- rupsi, kolusi, dan nepotisme ? Menurut in-

“Ya bisa saja pak terjadi deal an- forman DH kerjasama tersebut lebih banyak tara apoteker dengan perusahaan unsur kolusi dan nepotismenya. Berikut ko- farmasi dan juga distributor.

mentar DH :

Misalnya dokter nulis amoxicilin, maka apotek akan mengarahkan

“Ya tidak jauh bedalah pak. Mung- amoxicillin yang sudah deal de-

kin lebih banyak nepotismenya ngan dia (Petikan wawancara de-

dan kolusinya itu yang banyak ngan AP, 14-04-2012)

main (Petikan wawancara dengan Berdasarkan kerjasama antara perusa- DH, 14-04-2012)

haan farmasi dengan dokter, rumah sakit, Berkaitan dengan banyaknya praktik dan apotek berakibat tiga hal yang merugi-

menyimpang dari etika dan moral dalam ben- kan masyarakat. Yang pertama adalah ma-

tuk “kerjasama” perusahaan farmasi yang syarakat tidak punya pilihan untuk mem-

merugikan masyarakat tersebut kemudian peroleh informasi obat yang bisa jadi jauh

dikonfirmasikan atau member check ke in- lebih baik dan lebih murah dari obat yang

forman lain yakni M, pengurus G.P Farmasi diberikan dokter akibat ada kerjasama anta-

Indonesia Jawa Timur. Beliau membenarkan ra dokter dengan perusahaan farmasi. Yang

bahwa akibat kerjasama tersebut masyara-

Hermawan, Praktik Kotor Bisnis Industri Farmasi dalam...49 kat yang dirugikan. Berikut pernyataan M :

melanggar aturan pidana, hanya melanggar etika dan moral. Untuk hal itu pihak G.P

“Ya memang seperti itu pak. tapi Farmasi Indonesia tidak bisa menjangkau ya gimana lagi” (Petikan wawan-

cara dengan M, 30-04-2012) hal-hal seperti itu. Artinya G.P Farmasi In-

donesia tidak dapat berbuat apa-apa untuk Menurut informan M, kerjasama terse-

menindak anggotanya yakni perusahaan but sudah menjadi rahasia umum dan digu-

farmasi yang melanggar etika dan moral. nakan sebagai jurus marketing. Sebagai ju-

Berikut pernyataan M :

rus marketing maka ada yang bersifat meng- halalkan segala macam cara seperti bentuk

“Ya jadi itu kan etika ya, jadi GP kerjasama yang ada selama ini. Berikut per-

Farmasi itu punya kode etik mar- nyataan informan M : keting itu ada pak. Termasuk ka-

lau mensponsori seminar-seminar “Iya benar, sudah menjadi raha-

itu sudah diatur dan itu ada. Se- sia umum. Cuma tahu tapi tidak

perti apa aturan-aturannya itu bisa membuktikan, kan begitu”

ada. Saya kira kalau sampai ke (Petikan wawancara dengan M,

pidana nggak ada itu. Masa’ orang 30-04-2012)

memberi dipidana kan nggak ada kan. Kalau orang mencuri dipi-

“Ya, memang itu ada. Itu taktik dana kan ada ya” (Petikan wawa- dari marketing ya macam-macam.

ncara dengan M, 30-04-2012) Ada yang menghalalkan segala macam cara. Itu kita nggak bisa

“Ya memang bisa seperti itu. Tapi menutup mata, memang ada juga.

itu kan nggak ada pelanggaran Dan itu termasuk jurus marketing

pidana kan nggak ada toh itu. Jadi juga” (Petikan wawancara dengan

itukan hanya etika saja kan. Kan M, 30-04-2012)

gak ada pasal-pasal yang dilang- gar kan. Itu masalah etika dan

Menurut informan M bahwa adanya ikatan moral” (Petikan wawancara kerjasama-kerjasama yang merugikan ma- syarakat tersebut bukan sesuatu hal yang dengan M, 30-04-2012)

Tabel 2 Hasil Penelitian dan Uji Credibility Praktik Menyimpang

Operasionalisasi Praktik

Uji Credibility Bisnis Farmasi Indonesia

Menyimpang

- Pemilihan bahan baku yang kurang sesuai - Permainan komposisi obat - Obat yang seharusnya direject tetapi Member Check :

Saat Pembuatan Obat

informan UA, KK, - produk yang harusnya dimusnahkan YAS, AP, TK

tetap dijadikan produk

tetapi malah dipendam di tanah - Obat herbal namun mengandung bahan kimia

- Kerjasama perusahaan farmasi dengan dokter (pemberian diskon baik cash dan non cash, fasilitas, akad kerjasama, kontrak)

Member Check : Saat Penjualan dan

- Kerjasama perusahaan farmasi

informan UA, AP, Pemasaran Obat

dengan rumah sakit (formularium)

DH, M, YAS, ZF

- Kerjasama perusahaan farmasi dengan apotek (pemberian diskon dan bonus untuk produk yang dikerjasamakan)

50 Jurnal Akuntansi Multiparadigma, Volume 4, Nomor 1, April 2013, Hlm. 40-54 “Kalau regulasi itu kan sudah jelas

ngelolaan HC di industri farmasi Indonesia. ya. Saya kira kita atau GP Farma-

Hal tersebut dapat dilakukan dengan mene- si tidak bisa menjangkau sampai

ladani sifat-sifat nabi, yakni siddik, amanah, kesitu ya. Karena ya tadi itu ya,

tabligh dan fathonah dalam menjalankan itu Cuma masalah etika ya, ma-

praktik bisnis industri farmasi. Dengan me- salah moral. Bukannya melanggar

miliki sifat siddiq maka HC di perusahaan Undang-Undang, peraturan juga

farmasi akan mengungkapkan kebenaran ti- peraturan yang mana, kan begitu

dak hanya dalam ucapan, tetapi juga dalam pak” (Petikan wawancara dengan

tindakan. Demikian pula dengan sifat ama- M, 30-04-2012)

nah yang akan menjadikan HC di perusa- haan farmasi benar-benar dapat dipercaya,

Berdasarkan wawancara tersebut dapat tidak hanya oleh perusahaan farmasi yang diketahui bahwa informan yang merupakan bersangkutan, tetapi juga oleh masyarakat pengurus GP Farmasi Indonesia Jawa Timur luas. Sifat tabligh juga demikian, apabila HC merasa apatis dengan aspek etika dan moral di perusahaan farmasi memiliki sifat tabligh, yang ada di praktik bisnis industri farmasi. HC tersebut mampu untuk menyampaikan Bahkan penyimpangan tersebut dianggap se- suatu kebenaran kepada masyarakat luas, bagai sesuatu yang biasa dan dianggap seba- misalnya dalam beriklan di media massa, gai jurus marketing padahal di sisi yang lain

mengak akan menyampaikan kebenaran dan tidak

ui bahwa praktik-praktik kerjasama berlebih-lebihan. Sifat fathonah menjadikan tersebut merugikan masyarakat. Karena HC di perusahaan farmasi menjadi cerdas dianggap biasa maka tidak ada upaya un- dalam bekerja. Cerdas yang tetap menjun- tuk memperbaiki praktik-praktik kerjasama jung moral dan etika dalam menjalankan tersebut padahal di dalam kode etik pemasa- praktik bisnis industri farmasi. ran usaha farmasi Indonesia sudah ada ke- Walaupun terlihat ideal namun sifat tentuan dan aturan yang mengikat tentang dan tindakan yang dimiliki oleh karyawan praktik-praktik tersebut. Dengan demikian (HC ) perusahaan farmasi haruslah menga- seharusnya ada solusi untuk menghentikan cu dan mengarah ke sifat-sifat nabi itu. Se- atau meminimalkan praktik-praktik yang benarnya nilai-nilai profesional yang di ada merugikan masyarakat tersebut. dalam diri karyawan yang sukses, ada dalam

sifat-sifat nabi itu. Proses untuk menjadikan

PEMBAHASAN

HC di perusahaan farmasi dapat menela- Praktik bisnis industri farmasi Indone-

dani sifat-sifat nabi tersebut dapat dilaku- sia yang banyak melakukan penyimpangan

kan mulai dari proses rekruitmen karyawan, etika dan moral apabila dikaitkan dengan

pendidikan dan pelatihan, dan juga dalam IC maka ada hal yang dilanggar, yakni pada

pekerjaan rutinitas tiap-tiap bagian. Pada pola atau pattern (Purnomosidhi 2012) dan

saat melakukan proses rekruitmen kar- pada pengelolaan komponen HC, SC, dan

yawan dapat dimasukkan persyaratan-per- RC yang dilakukan dengan tidak benar (Her-

syaratan khusus yang dapat melihat sejak mawan, 2012. HC sebagai gabungan dari

awal kualitas moral dan etika yang dimiliki genetic inheritance, education, experience,

oleh calon karyawan. Pada saat pendidikan dan attitude about life and business (Bontis,

dan pelatihan juga dapat dimasukkan ma- 1998:65) tidak dapat membentuk pribadi-

teri yang berkaitan dengan pentingnya moral pribadi pelaku bisnis industri farmasi yang

dan etika. Jadi materi pelatihan tidak hanya berakhlak mulia, beretika, dan bermoral.

bersifat normatif untuk meningkatkan ki- Pendidikan (education) dan sikap (attitude)

nerja saja, tetapi juga diikuti dengan pembe- harusnya dapat menjadi “benteng dan pen-

lajaran etika dan moral yang baik. Pada saat jaga” atas berbagai praktik bisnis yang tidak

knowledge sharing juga dapat dijadikan sa- bermoral.

rana untuk mentransfer nilai-nilai kebaikan, HC yang dimiliki perusahaan farmasi

kejujuran, moral, dan etika ke dalam diri harusnya tidak hanya pandai dan berpenga-

karyawan. Nilai-nilai etika dan moral paling laman dalam operasional perusahaan tetapi

penting dan unggul yang pada diri karyawan juga harus bermoral dan berakhlak mulia.

harus digali oleh manajemen perusahaan Dengan demikian kualitas sumber daya ma-

farmasi sebagai komponen utama dan per- nusia (SDM) yang memiliki integritas tinggi

tama dalam pengelolaan HC sebagaimana dan kejujuran adalah tujuan utama pe-

rekomendasi IFAC (1998) dan The MERITUM (2001).

Hermawan, Praktik Kotor Bisnis Industri Farmasi dalam...51 Tidak hanya HC, SC juga tidak dikelola

dengan benar dalam kaitannya praktik bis- nis industri farmasi yang banyak melakukan penyimpangan. SC sebagai pengetahuan yang berada di perusahaan, yang terdiri dari budaya, rutinitas organisasi, sistem, dan database (CIMA, 2005:2) tidak dapat men- jadi penuntun praktik yang baik bagi pelaku bisnis industri farmasi. SC yang lebih ba- nyak berperan untuk membentuk sistem operasional prosedur (SOP), aturan-aturan, budaya kerja juga gagal untuk membentuk sistem yang baik untuk produksi obat dan sistem pemasaran yang beretika. Perbai- kan dalam pengelolaan SC dapat dilakukan melalui budaya perusahaan yang lebih mengedepankan etika dan moral. Untuk tujuan itu, pelaku bisnis industri farmasi dapat melakukannya dengan menciptakan suasana yang lebih agamis.

Hal lain yang dapat dilakukan adalah dengan menciptakan sistem dan prosedur kerja yang memiliki integritas tinggi pada as- pek moral dan etika. Pada sistem dan prose- dur kerja juga dapat diatur adanya reward dan punishment yang jelas tentang moral dan etika yang harus ditegakkan oleh pe- rusahaan farmasi pada karyawannya. Apa- bila karyawan melakukan pelanggaran atas moral dan etika, tentu harus mendapatkan sangsi dari perusahaan. Sebaliknya, apabila dapat menunjukkan etika dan moral yang tinggi, tentunya juga harus mendapatkan re- ward sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Penyusunan sistem, prosedur, dan metode penilaian kinerja karyawan juga dapat di- jadikan media untuk mengefektifkan moral dan etika yang harus dijalankan oleh semua komponen perusahaan. Persyaratan untuk naik jabatan atau naik jenjang karir berba- siskan prinsip-prinsip moral dan etika dapat memaksa karyawan untuk selalu mengede- pankan moral dan etika dalam pekerjaan sehari-hari. Dalam kaitan praktik etika dan moral di perusahaan farmasi akan ber- hubungan dengan proses pembuatan obat, proses pemasaran, serta distribusi obat produk farmasi. Bagian terpenting dalam proses perbaikan pengelolaan SC adalah penggalian komponen SC paling berperan pada etika dan moral yang harus digali dan dicari oleh manajemen perusahaan farmasi. Hal tersebut adalah komponen utama dan pertama dalam pengelolaan SC sebagaimana rekomendasi IFAC (1998) dan The MERITUM (2001)

RC juga demikian, banyak praktik pemasaran dan penjualan yang melanggar etika. Walaupun RC adalah hubungan or- ganisasi dengan pihak luar, seperti loyalitas pelanggan, goodwill, relasi supplier (IFAC 1998:9) dan hubungan dengan masyarakat (Moon and Kym 2006), namun bukan berarti dalam menjalankannya boleh menghalalkan segala cara. Pada komponen RC di perusa- haan farmasi inilah penekanan untuk men- junjung tinggi aspek moral dan etika karena aspek ini banyak terjadi pelanggaran kode etik dan juga moral. Padahal, semua aturan dalam bentuk kode etik sudah jelas menga- tur semuanya hal-hal yang terkait dengan kerja sama dan juga iklan. Misalnya, dalam beriklan adanya larangan untuk menyebut- kan sebagai obat termanjur, dan terhebat.

Pada aspek ini peran manajemen pe- rusahaan dan pemilik perusahaan farmasi menjadi sangat penting kaitannya dengan penegakan moral dan etika dengan tidak melanggar kode etik yang telah ada. Peran manajemen puncak perusahaan farma- si menjadi hal yang utama dalam praktik pemasaran farmasi ini. Apabila top manaje- men menyadari pentingnya etika dan moral, semua komponen yang ada akan mengi- kutinya, termasuk med rep yang melaku- kan pemasaran obat ethical tersebut. Proses sosialisasi kode etik pemasaran juga sangat penting diberikan kepada calon medical representative yang akan direkrut oleh pe- rusahaan farmasi sehingga tidak hanya di- pentingkan untuk mendapatkan user baru, tetapi juga cara mendapatkanya dengan cara-cara sesuai dengan moral dan etika yang berlaku.

Langkah lain yang dapat digunakan untuk perbaikan pengelolaan RC adalah melakukan berbagai kegiatan yang bersi- fat kerja sama antar instansi. Hal ini akan sedikit menimimalkan bentuk kerja sama dengan tenaga kesehatan sebagai pribadi- pribadi. Misalnya, dengan memasukkan produk farmasi ke DPHO (Daftar Plafon Har-

ga Obat) ASKES atau intansi kesehatan lain- nya, membuat formularium untuk pasien klinik, dan melakukan substitusi obat ethi- cal (Gema Kaef 2011). Ada juga upaya untuk meminimalkan praktik kerja sama atau kon- trak antara perusahaan farmasi dengan dok- ter, yakni berbagai komisi akan dihimpun oleh Ikatan Apoteker Indonesia dan akan diserahkan ke Ikatan Dokter Indonesia. Se- bagai sebuah upaya hal tersebut dapat juga

52 Jurnal Akuntansi Multiparadigma, Volume 4, Nomor 1, April 2013, Hlm. 40-54 dilakukan walaupun perlu juga diuji keefek-