PANCASILA SEBAGAI DASAR NEGARA ASAS ETIK

PANCASILA SEBAGAI DASAR NEGARA, ASAS ETIKA POLITIK DAN
ACUAN KRITIK IDIELOGI
M. Sastrapratedja*

ANALISIS JURNAL
Diajukan untuk memenuhi tugas salah satu Mata Kuliah Pendidikan Pancasila Dos :
Trisna

Oleh:
M. Habib Ridha (1700001149)

PENDIDIKAN PANCASILA
UNIVERSITAS AHMAD DAHLAN YOGYAKARTA
2017
IMPLEMENTASI PANCASILA DALAM KEHIDUPAN BERMASYARAKAT, BERBANGSA DAN
BERNEGARA

1.
2.
3
4.

5.

Analisis Jurnal :
Mengapa kita mengritisi persoalan tersebut ?
Kenapa dan apa filsafat Pancasila itu ?
Pancasila sebagai Dasar Negara
Pancasila sebagai dasar etika politik dan
Pancasila Sebagai Acuan Kritik Ideologi
Pembahasan :

1. Mengapa kita mengkritisi persoalan tersebut
Sebagaimana kita ketahui sebagian besar dari kehidupan kita, termasuk
kehidupan berbangsa dan bernegara, atau kehidupan politik, kita lewatkan atas
dasar “common sense” atau yang kerapkali disebut sebagai “akal sehat”. “Common
sense”

adalah

pengetahuan


sehari-hari,

yang

tidak

kita

pertanyakan

kebenarannya, tetapi kita andaikan “benar”, taken for granted. Tetapi salah satu
ciri khas manusia adalah “mempertanyakan”. Ia tidak puas dengan “common
sense”, ia terdorong untuk mengangkat apa yang dialami menjadi pertanyaan.

Begitu kita mengajukan “pertanyaan”, “interrogating” kita mengatasi “common
sense”.
Mempertanyakan,

interrogating


adalah

awal

dari

perkembangan

ilmu

pengetahuan dan flsafat.
Filsafat mempertanyakan

segala sesuatu, khususnya yang menyangkut

“nasib” diri manusia, lebih jauh dari ilmu pengetahuan. Mempertanyakan siapakah
dan apakah aku ini adalah awal dari flsafat manusia, dimana manusia ingin
memperoleh makna dari dirinya. “Pahamilah dirimu” demikian kata Sokrates.
Mempertanyakan manusia berarti mencari jalan bagaimana manusia mencapai
tujuan hidupnya, yaitu semakin menjadi manusiawi. Dalam pengertian ini bila

flsafat harus mati, kemanusian akan meredup tak lama kemudian. Berhenti
bertanya hanya akan berakibat kemandekan dan berhentinya perkembangan.
Dalam

kaitan

ini

flsafat

tidak

hanya

merupakan

“disiplin

(ilmu)


yang

mempertanyakan”, tetapi juga ‘disiplin (ilmu) yang membebaskan”. Dalam arti apa?
Manakala kita mengangkat pertanyaan, kita dibebaskan dari jawaban yang tidak
dipertanyakan,

yaitu

jawaban

berdasarkan

“common

sense”

semata,

yang


diandaikan benar.
2. Fungsi Filsafat terhadap Pancasila
Ada begitu banyak pengertian mengenai flsafat dan cara berflsafat serta
corak flsafat. Di depan sudah dikatakan bahwa flsafat itu berkembang dengan
“mempertanyakan”, “interrogating”. Dalam kaitan dengan Pancasila, ada sedikitnya
tiga fungsi flsafat, yang saling terkait satu dengan lainnya.
1) Pertama filafat mempertanyakan dan mencari “dalar”. Sejak awal flsafat
Yunani telah dipertanyakan apakah “dasar” dari dunia kita, apakah “dasar” dari
perubahan, apakah “dasar” dari persamaan dan perbedaan manusia, apakah
“dasar” dari kebebasan manusia, apakah “dasar” dari kehidupan suatu “polis”?
2) Kedua, filafat mempertanyakan, mencari dan menemukan makna dari reaiital di
sekelilingnya, asal dan tujuan hidup manusia.
3) Ketiga, filafat berfungli puia lebagai kritik ideoiogi. Filsafat berusaha untuk
membuka selubung dari berbagai sistem pemikiran, yang membelenggu manusia,
terutama kebebasannya.

Pengetehuan dan kekuasaan saling berpautan. Marx

telah memberi contoh bagaimana melakukan suatu kritik ideologi terhadap
ideologi kapitalis.

Dari uraian di atas, Filsafat Pancasila dapat dilihat pertama, sebagai
eksplisitasi secara flosofs

Pancasila sebagai dasar Negara; kedua, flsafat

Pancasila sebagai etika politik; ketiga, flsafat Pancasila sebagai kritik ideologi,
termasuk kritik terhadap distorsi dan penyalahgunaan Pancasila secara ideologis.

3. Pancasila Sebagai Dasar Negara
Fungsi flsafat yang pertama adalah mempertanyakan dan menjawab
“apakah dasar dari kehidupan berpolitik atau kehidupan berbangsa dan bernegara.
Kalau

seringkali

dikatakan

mengenai

ideologi


Pancasila,

sebetulnya

yang

dimaksudkan tidak lain adalah Pancasila sebagai dasar Negara, sebagaimana
dikatakan

Bung

Hatta,

“ideologi

Negara”.,

yaitu


prinsip-prinsip

atau

asas

membangun Negara. Jadi Pancasila bukanlah suatu “doktrin” yang lengkap, yang
begitu saja dapat dijabarkan

dalam tindakan, tetapi suatu orientasi, yang

memberikan arah kemana bangsa dan negara harus dibangun atau
rasional, yang merupakan hasil

suatu dasar

konsensus mengenai asumsi-asumsi tentang

Negara dan bangsa yang akan dibangun.
Karena masing-masing sila dari Pancasila akan diuraikan dalam rangkaian

diskusi dalam Kongres ini, maka kami hanya akan memberikan catatan kecil saja:
1) Sila “Ketuhanan Yang Maha Esa” dirumuskan dalam konteks politik:
membangun Negara dan bangsa Indonesia, maka merupakan suatu prinsip
politik, bukan suatu prinsip teologis. Implikasinya

ialah bahwa Negara

mengakui dan melindungi kemajemukan agama di Indonesia; Negara tidak
menilai “isi” dari suatu agama. Penganut agama apapun wajib bersatu untuk
membangun Negara dan bangsa. Hal ini sangat jelas dari ajakan Soekarno
dalam pidato “Lahirnya Pancasila” untuk bersama-sama membangun Negara
dan bangsa Indonesia
2) Sila “Perikemanusiaan

yang adil dan beradab”mengimplikasikan

bahwa

Negara memperlakukan setiap warganegara atas dasar pengakuan martabat
manusia dan nilai kemanusiaan yang mengalir dari martabatnya itu.Jelaslah


bahwa

sila

kedua

ini

menolak

kekerasan

yang

dilakukan

terhadap

warganegara baik oleh Negara, kelompok atau individu. Kekerasan yang
paling keji adalah kekerasan yang dilakukan terhadap inti martabat manusia
sendiri, yaitu kebebasannya.”Hewan mencari mangsanya. Mangsa Manusia
adalah kebebasan”.3). Kekerasan pada jaman sekarang kerapkali dikaitkan
dengan identitas, religius atau etnik, yang lebih banyak diproduksi daripada
direproduksi
3) Sila “Persatuan Indonesia” terkait dengan faham kebangsaan. Bangsa bukan
sesuatu yang diwariskan dari masa lalu, tetapi suatu “proyek dan tantangan
bersama” bagi masa kini dan masa depan.4). Oleh karena itu harus
melibatkan semua dan tak seorangpun warga yang dieksklusifkan.
4) Prinsip demokrasi yang dirumuskan sebagai “Kerakyatan yang dipimpin oleh
hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaran/perwakilan”, menunjuk kepada
pembatasan

kekuasaan

Negara

dengan

partisipasi

rakyat

dalam

pengambilan keputusan. “Kita dapat berbicara mengenai sistem demokratik,
apabila unsur-unsur konstitusi, hukum dan sistem parelemen menerapkan
tiga

prinsip:

pembatasan

kekuasaan

Negara

atas

nama

hak

asasi,

keterwakilan pelaku politik dan kewarganegaraan.”5)
5) Sila “keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia” paling sedikit memuat
unsur-unsur: pemerataan, persamaan dan kebebasan untuk menentukan
dirinya sendiri.
4. Pancasila Sebagai dasar etika politik
Dengan dipilihnya Pancasila sebagai dasar hidup bernegara dan berbangsa
atau sebagai dasar hidup berpolitik, maka politik tidaklah netral, tetapi harus
dilandasi nilai-nilai etis. Itulah salah satu tugas flsafat politik: mencerahi makna
berpolitik dan mengekplisitkan nilai-nilai etis dalam politik yang didasarkan atas
Pencasila. David Held mengartikan politik sebagai berikut: “Politik adalah mengenai
kekuasaan, yaitu mengenai kapasitas pelaku sosial dan institusi sosial untuk
mempertahankan

atau mentransformir lingkungannya, sosial dan fsik. Politik

menyangkut sumber-sumber yang mendasari kapasitas ini dan mengenai kekuatankekuatan yang membentuk dan mempengaruhi operasi dari kekuatan itu. Oleh
karena itu, politik

adalah suatu fenomena yang diketemukan di dalam dan di

antara institusi dan masyarakat, melintasi kehidupan publik dan privat. Politik
terungkap di dalam semua aktivitas kerjasama, negosiasi dan perjuangan dalam
penggunaan dan distribusi sumberdaya. Politik terlibat dalam semua relasi, institusi
dan struktur yang melekat dalam aktivitas produksi dan reproduksi dalam
kehidupan masyarakat. Politik menciptakan dan mengkondisikan semua aspek
kehidupan kita. Politik berada pada inti perkembangan permasalahan dalam
masyarakat dan cara kolektif penyelesaian masalah tersebut.
Dengan ditetapkannya Pancasila sebagai dasar negara, kehidupan politik
memiliki dimensi etis, bukan sesuatu yang netral. Nilai-nilai yang terkandung dalam
Pancasila mendorong warganegara untuk berperilaku etis dalam politik.
Apabila nilai-nilai Pancasila itu dapat ditransformasikan ke dalam ethos
masyarakat, maka

akan menjadi

pandangan hidup atau Weitanlchauung.

Pandangan hidup dapat dilihat sebagai suatu cuiturai loftware, luatu perangkat
iunak budaya. Pandangan hidup adalah suatu cara memahami dunia dan kehidupan
sosial, suatu kosmologi masyarakat. Sebagai perangkat lunak budaya pandangan
hidup berperan dalam mengkonstruksikan

dunia sosial dan politik. Tetapi

pandangan hidup itu selalu berada dalam kontestasi dan negosiasi dengan
pandangan hidup lainnya. Cuiturai loftware dikopi dalam setiap individu melalui
sosialisasi, interaksi dan komunikasi. Fungsi cuiturai loftware mirip dengan apa
yang disebut Gadamer “tradisi”: tradisi melengkapi kita dengan pra-pemahaman
yang memungkinkan kita membuat penilaian mengenai dunia sosial

Sejauh

masyarakat memiliki kopi yang kurang lebih sama, maka pemahaman budaya
mereka adalah pemahaman budaya bersama.
5. Pancasila Sebagai Acuan Kritik Ideologi
Para “founding fathers” sejak awal telah melakukan suatu “kritik ideologi”,
meskipun pada jaman itu model alternatif terhadap ideologi-ideologi besar
(liberalisme dan sosialisme) masih

terbatas. Ada dua tradisi mengenai konsepsi

mengenai “yang sosial” dan “yang politik” dan interaksi antara keduanya. Politik
di dalam demokrasi liberal kapitalis didasarkan pada premis konsepsi mengenai
individu sebagai unit utama moral dan politik. Karenanya
didefnisikan lebih dalam kerangka individual. Hak-hak ini

hak dan kebebasan
memberikan prioritas

kepada kepentingan pribadi individual di atas kepentingan umum. Asumsinya ialah

bahwa

individu dengan usahanya sendiri dapat memenuhi kebutuhannya tanpa

terlalu banyak intervensi dari Negara. Namun dengan berkembangnya demokrasi
dan kewarganegaraan, model liberal dianggap tidak memadai. Kritik terhadap
ideologi demikian pada abad ke 19 dilontarkan oleh Marx, yang menyatakan bahwa
kewarganegaraan modern lebih menguntungkan individu dari kelas borjuis. Pada
abad ke 20 negara-negara modern telah menyesuaikan diri dengan kritik ini dengan
memperluas “hak-hak sosial” pada kesehatan, kesejahteraan dan jaminan sosial.
Namun Negara haruslah berintervensi dalam ekonomi dan masyarakat, lebih dari
masa sebelumnya .12} Dengan demikian

“yang politik” lebih masuk ke dalam

“yang sosial. Inilah salah satu makna “akhir dari ideologi”, seperti dikemukakan
oleh Daniel Bell. Tak ada lagi ideologi yang murni, melalu “liberal” atau melulu
“sosialis”. Pancasila dan UUD 1945 mencari keseimbangan dan perpaduan antara
keduanya.
Dinamika Pancasila terletak dalam ketegangan antara “ideologi” dan
“utopia”. Pancasila sebagai ideologi memberi arah pembangunan sistem sosial dan
politik. Sistem yang dibangun tidak pernah merupakan perwujudan utuh dari
Pancasila, maka selalu bisa dikritik. Bisa terjadi juga Pancasila Pancasila sebagai
“ideologi”

membenarkan

dan

meneguhkan

sistem

yang

dibangun

untuk

kepentingan kelompok tertentu, sehingga menjadi mandeg. Maka atas dasar
Pancasila itu pula dapat dilakukan kritik. Mungkin dapat dikatakan dari perspektif ini
Pancasila merupakan “utopia”. Utopia dapat bersifat “subversif”, menggoncangkan
sistem-sistem

yang

dibangun

berdasarkan

orientasi

ideologi.

Utopia

dapat

menciptakan kreatiftas dengan imaginasi sosialnya. 1)
Sebagai kesimpulan, Pancasila dapat dikembangkan menjadi flsafat dalam tiga
arah:
1)
2)
3)

Sebagai “Filsafat Pancasila”, yang merupakan refeksi kritis atas dasar
hidup bernegara.
Sebagai “Etika Politik” yang merupakan refeksi kritis atas nilai-nilai etis
yang terkandung dalam Pancasila.
Sebagai “Kritik Ideologi” yang merupakan refeksi kritis dalam mengevaluasi
berbagai ideologi lainnya.