LAPORAN PENDAHULUAN CA RECTI (1)

LAPORAN PENDAHULUAN
CA RECTI
Oleh Hilda Fauziyyah, 1306377884
Fakultas Ilmu Keperawatan, Universitas Indonesia
I. Anatomi dan Fisiologi

Usus Besar (Kolon)
Usus besar atau Intestinum mayor panjangnya ± 1,5 m, lebarnya 5-6 cm.
Banyak bakteri yang terdapat di dalam usus besar berfungsi mencerna beberapa
bahan dan membantu penyerapan zat-zat gizi. Bakteri ini juga penting untuk
fungsi normal dari usus. Fungsi usus besar, terdiri dari :Menyerap air dari
makanan, tempat tinggal bakteri E.Coli, tempat feses. Usus besar (kolon), terdiri
atas:
a. Sekum
Sekum (bahasa latin: caecus, “buta”) dalam istilah anatomi adalah
suatu kantung yang terhubung pada usus penyerapan serta bagian kolon
menanjak dari usus besar. Di bawah sekum terdapat appendiks vermiformis

yang berbentuk seperti cacing sehingga disebut juga umbai cacing,
panjangnya ± 6 cm. Seluruhnya ditutupi oleh peritoneum mudah bergerak
walaupun tidak mempunyai mesentrium dan dapat diraba melalui dinding

abdomen pada orang yang masih hidup.
b. Kolon Asendens
Kolon assendens mempunyai panjang 13 cm, terletak di abdomen
bawah sebelah kanan membujur ke atas dari ileum ke bawah hati. Di bawah
hati melengkung ke kiri, lengkungan ini disebut fleksura hepatica, dilanjutkan
sebagai kolon transversum.
c. Kolon Transversum
Panjangnya ±38 cm membujur dari kolon asendens sampai ke kolon
desendens berada di bawah abdomen, sebelah kanan terdapat fleksura
hepatica dan sebelah kiri terdapaat fleksura lienalis.
d. Kolon Desendens
Panjangnya ±25 cm terletak di abdomen bawah bagian kiri membujur
dari atas ke bawah dan fleksura lienalis sampai ke depan ileum kiri,
bersambung dengan kolon sigmoid.
e. Kolon Sigmoid
Kolon sigmoid merupakan lanjutan dari kolon desendens terletak
miring dalam rongga pelvis sebelah kiri, bentuknya menyerupai S, ujung
bawahnya berhubungan dengan rektum
f. Rektum
Rektum (Bahasa Latin: regere, "meluruskan, mengatur") adalah sebuah

ruangan yang berawal dari ujung usus besar (setelah kolon sigmoid) dan
berakhir di anus. Organ ini berfungsi sebagai tempat penyimpanan sementara
feses. Biasanya rektum ini kosong karena tinja disimpan di tempat yang lebih
tinggi, yaitu pada kolon desendens. Jika kolon desendens penuh dan tinja
masuk ke dalam rektum, maka timbul keinginan untuk buang air besar
(BAB). Mengembangnya dinding rektum karena penumpukan material di
dalam rektum akan memicu sistem saraf yang menimbulkan keinginan untuk
melakukan defekasi. Jika defekasi tidak terjadi, sering kali material akan
dikembalikan ke usus besar, di mana penyerapan air akan kembali dilakukan.

Jika defekasi tidak terjadi untuk periode yang lama, konstipasi dan
pengerasan feses akan terjadi. Orang dewasa dan anak yang lebih tua bisa
menahan keinginan ini, tetapi bayi dan anak yang lebih muda mengalami
kekurangan dalam pengendalian otot yang penting untuk menunda BAB.

Secara anatomi rektum terbentang dari vertebre sakrum ke-3 sampai
garis anorektal dengan panjang sekitar 12-13 cm (Sloane, 2004). Secara
fungsional dan endoskopik, rektum dibagi menjadi bagian ampula dan
sfingter. Bagian sfingter disebut juga annulus hemoroidalis, dikelilingi
oleh muskulus levator ani dan fasia coli dari fasia supra-ani. Sfingter anal

internal otot polos (involunter) dan sfingter anal eksternal otot rangka
(volunter) mengitari anus (Sloane, 2004). Bagian ampula terbentang dari
sakrum ke-3 ke difragma pelvis pada insersi muskulus levator ani. Pada
orang dewasa dinding rektum mempunyai 4 lapisan yaitu mukosa,
submukosa, muskularis (sirkuler dan longitudinal), dan lapisan serosa.
Mukosa saluran anal tersusun dari kolumna rektal (anal), yaitu lipatanlipatan vertikal yang masing-masing berisi arteri dan vena (Sloane, 2004).
II.

Definisi Ca Colorectal

Ca Kolorectal merupakan salah satu dari keganasan pada kolon dan
rektum yang khusus menyerang bagian rekti yang terjadi akibat gangguan
proliferasi sel epitel yang tidak terkendali (Black & Hawks, 2014). Kanker
rekti adalah kanker yang berasal dalam permukaan rektum/rectal.
Umumnya kanker kolorektal berawal dari pertumbuhan sel yang tidak
ganas, terdapat adenoma atau berbentuk polip.
Klasifikasi Ca Rekti
Metode penahapan kanker yang digunakan adalah klasifikasi duke sebagai
berikut (Smeltzer, Burke, Hinkle, & Cheever, 2010):
1.


Duke
Stadium 0 (carcinoma in situ)

Kanker belum menembus membran basal dari mukosa kolon atau rektum.
Stadium I

Kanker telah menembus membran basal hingga lapisan kedua atau ketiga
(submukosa/ muskularis propria) dari lapisan dinding kolon/ rektum tetapi
belum menyebar keluar dari dinding kolon/rektum (Duke A).
Stadium II

Kanker telah menembus jaringan serosa dan menyebar keluar dari dinding
usus kolon/rektum dan ke jaringan sekitar tetapi belum menyebar pada
kelenjar getah bening (Duke B).
Stadium III

Kanker telah menyebar pada kelenjar getah bening terdekat tetapi belum
pada organ tubuh lainnya (Duke C).
Stadium IV


Kanker telah menyebar pada organ tubuh lainnya (Duke D).
2.

Stadium TNM menurut American Joint Committee on Cancer (AJCC)
Stadium

T

N

M

Duke

0
I

Tis
T1


N0
N0

M0
M0

A

II A

T2
T3

N0
N0

M0
M0


B

II B
III A

T4
T1-T2

N0
N1

M0
M0

C

III B

T3-T4


N1

M0

III C
IV

Any T
Any T

N2
Any N

M0
M1

D

Keterangan


T

: Tumor primer

Tx

: Tumor primer tidak dapat di nilai

T0

: Tidak terbukti adanya tumor primer

Tis

: Carcinoma in situ, terbatas pada intraepitelial atau terjadi invasi pada
lamina propria

T1

: Tumor menyebar pada submukosa


T2

: Tumor menyebar pada muskularis propria

T3

: Tumor menyebar menembus muskularis propria ke dalam subserosa atau
ke dalam jaringan sekitar kolon atau rektum tapi belum mengenai
peritoneal.

T4

: Tumor menyebar pada organ tubuh lainnya atau menimbulkan perforasi

peritoneum viseral.
N

: Kelenjar getah bening regional/node


Nx

: Penyebaran pada kelenjar getah bening tidak dapat di nilai

N0

: Tidak ada penyebaran pada kelenjar getah bening

N1

: Telah terjadi metastasis pada 1-3 kelenjar getah bening regional

N2

: Telah terjadi metastasis pada lebih dari 4 kelenjar getah bening

M

: Metastasis

Mx

: Metastasis tidak dapat di nilai

M0

: Tidak terdapat metastasis

M1

: Terdapat metastasis

III.

Etiologi dan Patofisiologi Ca Rectal
Beberapa faktor risiko/faktor predisposisi terjadinya kanker rectum

menurut Smeltzer, Burke, Hinkle, dan Cheever (2010) sebagai berikut:
- Diet rendah serat
Kebiasaan diet rendah serat adalah faktor penyebab utama, Bukitt (1971)
dalam Price & Wilson (2012) mengemukakan bahwa diet rendah serat dan
kaya karbohidrat refined mengakibatkan perubahan pada flora feses dan
perubahan degradasi garam-garam empedu atau hasil pemecahan protein

dan lemak, dimana sebagian dari zat-zat ini bersifat karsinogenik. Diet
rendah serat juga menyebabkan pemekatan zat yang berpotensi
karsinogenik dalam feses yang bervolume lebih kecil. Selain itu masa
transisi feses meningkat, akibat kontak zat yang berpotensi karsinogenik
dengan mukosa usus bertambah lama.
-

Lemak
Kelebihan lemak diyakini mengubah flora bakteri dan mengubah steroid
menjadi senyawa yang mempunyai sifat karsinogen.

-

Polip diusus (colorectal polyps)
Polip adalah pertumbuhan sel pada dinding dalam kolon atau rektum, dan
sering terjadi pada orang berusia 50 tahun ke atas.Sebagian besar polip
bersifat jinak (bukan kanker), tapi beberapa polip (adenoma) dapat
menjadi kanker.

-

Inflamatory Bowel Disease
Orang dengan kondisi yang menyebabkan peradangan pada kolon
(misalnya colitis ulcerativa atau penyakit Crohn) selama bertahun-tahun
memiliki risiko yang lebih besar.

-

Riwayat kanker pribadi
Orang yang sudah pernah terkena kanker colorectal dapat terkena kanker
colorectal untuk kedua kalinya. Selain itu, wanita dengan riwayat kanker
di indung telur, uterus (endometrium), atau payudara mempunyai tingkat
risiko yang lebih tinggi untuk terkena kanker rectal.

-

Riwayat kanker rektal pada keluarga
Jika mempunyai riwayat kanker rekti pada keluarga, maka kemungkinan
terkena penyakit ini lebih besar, khususnya jika terkena kanker pada usia
muda.

-

Faktor gaya hidup
Orang yang merokok, atau menjalani pola makan yang tinggi lemak dan
sedikit buah-buahan dan sayuran memiliki tingkat risiko yang lebih besar
terkena kanker colorectal serta kebiasaan sering menahan tinja/defekasi
yang sering.

-

Usia di atas 50
Kanker rekti biasa terjadi pada mereka yang berusia lebih tua. Lebih dari
90 persen orang yang menderita penyakit ini didiagnosis setelah usia 50
tahun ke atas.
Karsinogenesis dan onkogenesis merupakan nama lain dari perkembangan

kanker. Proses perubahan sel normal menjadi sel kanker disebut transformasi
maligna (Ignatavicius & Workman, 2006). Karsinogen adalah substansi yang
mengakibatkan perubahan pada struktur dan fungsi sel menjadi sel yang bersifat
otonom dan maligna.Trasformasi maligna diduga mempunyai sedikitnya tiga
tahapan proses selular yaitu inisiasi, promosi, dan progresi (Smeltzer, Burke,
Hinkle, & Cheever, 2010), yaitu:
a. Inisiasi (Carcinogen)
Pada tahap ini terjadi perubahan dalam bahan genetik sel yang memicu sel
menjadi ganas. Perubahan ini disebabkan oleh status karsinogen berupa bahan
kimia, virus, radiasi atau sinar matahari yang berperan sebagai inisiator dan
bereaksi dengan DNA yang menyebabkan DNA pecah dan mengalami
hambatan perbaikan DNA. Perubahan ini mungkin dipulihkan melalui

mekanisme perbaikan DNA atau dapat mengakibatkan mutasi selular
permanen. Mutasi ini biasanya tidak signifikan bagi sel-sel sampai terjadi
karsinogenesis tahap kedua.
b. Promosi (Co-carcinogen)
Pemajanan berulang terhadap agen menyebabkan ekspresi informasi abnormal.
Pada tahap ini suatu sel yang telah mengalami inisiasi akan berubah menjadi
ganas. Tahap promosi merupakan hasil interaksi antara faktor kedua dengan sel
yang terinisiasi pada tahap sebelumnya. Faktor kedua sebagai agen
penyebabnya disebut complete carcinogen karena melengkapi tahap inisiasi
dengan tahap promosi. Agen promosi bekerja dengan mengubah informasi
genetik dalam sel, meningkatkan sintesis DNA, meningkatkan salinan
pasangan gen dan merubah pola komunikasi antarsel. Pada masa antara inisiasi
dan promosi merupakan kunci konsep dalam pencegahan kanker, karena bila
pada tahap ini dilakukan pencegahan pemaparan karsinogen ulang seperti
makanan berlemak, obesitas, rokok, dan alkohol akan dapat menurunkan risiko
terbentuknya formasi neoplastik.
c. Progresi (Complete Carcinogen )
Pada tahapan ini merupakan tahap akhir dari terbentuknya sel kanker atau
karsinogenesis. Sel-sel yang mengalami perubahan bentuk selama inisiasi dan
promosi kini melakukan perilaku maligna. Sel-sel ini sekarang menampakkan
suatu

kecenderungan

untuk

menginvasi

jaringan

yang

berdekatan

(bermetastasis).
Penyebab kanker pada saluran cerna bagian bawah tidak diketahui secara
pasti. Polip dan ulserasi colitis kronis dapat berubah menjadi ganas tetapi
dianggap bukan sebagai penyebab langsung. Hipotesa penyebab yang lain
adalah meningkatnya penggunaan lemak yang bisa menyebabkan kanker
kolorektal. Diet rendah serat dan kaya karbohidrat refined mengakibatkan
perubahan pada flora feses dan perubahan degradasi garam-garam empedu atau
hasil pemecahan protein dan lemak, dimana sebagian dari zat-zat ini bersifat
karsinogenik. Diet rendah serat juga menyebabkan pemekatan zat yang
berpotensi karsinogenik dalam feses yang bervolume lebih kecil. Selain itu

masa transisi feses meningkat, akibat kontak zat yang berpotensi karsinogenik
dengan mukosa usus bertambah lama.
Kelebihan lemak diyakini mengubah flora bakteri dan mengubah steroid
menjadi senyawa yang mempunyai sifat karsinogen. Bakteri dapat mengubah
asam empedu, yang dikeluarkan oleh tubuh untuk membantu pencernaan
lemak, menjadi suatu senyawa-senyawa yang dapat memicu kanker. Senyawasenyawa tersebut disebut sebagai asam empedu sekunder. Asam empedu secara
normal dikeluarkan oleh tubuh untuk mencerna lemak. Semakin banyak lemak
yang dikonsumsi, maka asam empedu yang dikeluarkan oleh tubuh akan
semakin banyak pula. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika beberapa
bahan makanan yang banyak mengandung lemak seperti daging merah, serta
daging dan makanan olahan lain yang berkadar lemak tinggi seperti keju, dapat
meningkatkan risiko kanker usus. Konsumsi alkohol juga dapat meningkatkan
risiko terjadinya kanker usus seperti halnya makanan yang kaya akan gula.
Patologi kebanyakan kanker usus besar berawal dari pertumbuhan sel yang
tidak ganas atau disebut adenoma, yang dalam stadium awal membentuk polip
(sel yang tumbuh sangat cepat). Pada stadium awal, polip dapat diangkat
dengan mudah. Tetapi, seringkali pada stadium awal adenoma tidak
menampakkan gejala apapun sehingga tidak terdeteksi dalam waktu yang
relatif lama dan pada kondisi tertentu berpotensi menjadi kanker yang dapat
terjadi pada semua bagian dari usus besar.
Polip jinak dapat menjadi ganas dan menyusup serta merusak jaringan
normal serta meluas ke dalam struktur sekitarnya. Sel kanker dapat terlepas
dari tumor primer dan menyebar ke bagian tubuh yang lain (paling sering ke
hati). Kanker kolorektal dapat menyebar melalui beberapa cara yaitu secara
infiltratif langsung ke struktur yang berdekatan, seperti ke dalam kandung
kemih; melalui pembuluh limfe ke kelenjar limfe perikolon dan mesokolon;
melalui aliran darah, biasanya ke hati karena kolon mengalirakan darah ke
sistem portal; penyebaran secara transperitoneal; penyebaran ke luka jahitan,
insisi abdomen atau lokasi drain. Pertumbuhan kanker menghasilkan efek
sekunder, meliputi penyumbatan lumen usus dengan obstruksi dan ulserasi

pada dinding usus serta perdarahan. Penetrasi kanker dapat menyebabkan
perforasi dan abses, serta timbulnya metastase pada jaringan lain.
Polip adenoma

Polip maligna

Menyusup serta merusak jaringan normal serta meluas kedalam struktur
sekitarnya

Sel kanker dapat terlepas dari tumor primer dan menyebar ke bagian tubuh yang
lain
IV.

Manifestasi Klinis
Kebanyakan orang asimtomatis dalam jangka waktu lama dan mencari

bantuan kesehatan hanya bila mereka menemukan perubahan pada kebiasaan
defekasi atau perdarahan rectal Smeltzer, Burke, Hinkle, & Cheever (2010).
Gejala sangat ditentukan oleh lokasi kanker, tahap penyakit, dan fungsi segmen
usus tempat kanker berlokasi. Gejala yang paling menonjol adalah (Smeltzer,
Burke, Hinkle, & Cheever, 2010):
- Perubahan kebiasaan defekasi
- Pasase darah dalam feses adalah gejala paling umum kedua
- Gejala anemi tanpa diketahui penyebabnya
- Anoreksia
- Penurunan berat badan tanpa alasan
- Keletihan
- Mual dan muntah-muntah
- Usus besar terasa tidak kososng seluruhnya setelah BAB
- Feses menjadi lebih sempit (seperti pita)
- Perut sering terasa kembung atau keram perut
- Gejala yang dihubungkan dengan lesi rectal adalah: evakuasi feses yang
tidak lengkap setelah defekasi, konstipasi dan diare bergantian (umumnya
konstipasi), serta feses berdarah.

Pertumbuhan pada sigmoid atau rectum dapat mengenai radiks saraf,
pembuluh limfe, atau vena menimbulkan gejala gejala pada tungkai atau
perineum, hemoroid, nyeri pinggang bagian bawah, keinginan defekasi, atau
sering berkemih dapat timbul sebagai akibat tekanan pada alat-alat tersebut.
Semua karsinoma kolorektal dapat menyebabkan ulserasi, perdarahan, obstruksi
bila membesar atau invasi menembus dinding usus dan kelenjar-kelenjar regional,
terkadang bisa terjadi perforasi dan menimbulkan abses peritoneum.
Tumor pada rekti dan kolon asendens dapat tumbuh sampai besar sebelum
menimbulkan tanda-tanda obstruksi karena lumennya lebih besar daripada kolon
desendens dan dindingnya lebih mudah melebar. Perdarahan biasanya sedikit atau
tersamar. Bila karsinoma Recti menembus ke daerah ileum akan terjadi obstruksi
usus halus dengan pelebaran bagian proksimal dan timbul nausea atau vomitus.
Pertimbangan gerontologi, insiden karsinoma kolon dan rectum meningkat sesuai
usia. Kanker ini biasanya ganas pada lansia, gejala sering tersembunyi yaitu:
keletihan hampir selalu ada akibat anemia defisiensi besi primer, nyeri abdomen,
obstruksi, tenesmus, dan perdarahan rectal.
V.

Pengkajian
Aktivitas/Istirahat
Gejala : Kelemahan atau keletihan.
Sirkulasi
Gejala : Palpitasi, nyeri dada pada pengerahan kerja.
Tanda : Perubahan pada TD.
Integritas Ego
Gejala : Menyangkal diagnosis, perasaan tidak berdaya, putus asa, tidak
mampu, tidak bermakna, rasa bersalah, kehilangan kontrol, depresi.
Tanda : Menyangkal, menarik diri, marah.
Eliminasi
Gejala : Perubahan pada pola defekasi, darah pada feses, nyeri pada
defekasi. Perubahan eliminasi urinarius, nyeri saat berkemih, hematuria,
sering berkemih.
Tanda : Perubahan pada bising usus, distensi abdomen.

Makanan/Cairan
Gejala : Kebiasaan diet buruk (rendah serat, tinggi lemak). Anoreksia,
mual/muntah.

Intoleransi makanan. Perubahan pada berat badan,

berkurangnya massa otot.
Tanda : Perubahan pada kelembaban/turgor kulit, edema.
Neurosensori
Gejala : Pusing.
Pernapasan
Gejala : Merokok (hidup dengan seseorang yang merokok). Pemajanan
abses.
Nyeri/Kenyamanan
Gejala : Nyeri bervariasi.
Keamanan
Gejala : Pemajanan pada kimia toksik, karsinogen. Pemajanan matahari
yang lama.
Tanda : Demam, ruam kulit, ulserasi.
Seksualitas
Gejala : Masalah seksual, dampak pada hubungan, perubahan tingkat
kepuasan.
Interaksi Sosial
Gejala : Ketidakadekuatan/kelemahan sistim pendukung.
Riwayat perkawinan, masalah tentang fungsi/tanggung jawab peran.
Penyuluhan/pembelajaran
Gejala : Riwayat kanker pada keluarga.
Riwayat pengobatan: pengobatan sebelumnya dan pengobatan yang
diberikan.

Pemeriksaan Diagnostik
1.

Fecal occult blood test, pemeriksaan darah samar feses di bawah mikroskop

2.

Colok dubur (rectal toucher) ditemukan darah dan lendir, tonus sfingter ani
keras/lembek, mukosa kasar, kaku biasanya dapat digeser, ampula rectum
kolaps/kembung terisi feses atau tumor yang dapat teraba atau tidak.

3.

Barium enema, pemeriksaan serial sinar x pada saluran cerna bagian bawah,
sebelumnya pasien diberikan cairan barium ke dalam rektum

4.

Endoskopi

(protoskopi,

sigmoidoscopy

atau

colonoscopy),

dengan

menggunakan teropong, melihat gambaran rektum dan sigmoid adanya polip
atau daerah abnormal lainnya dalam layar monitor. Protoskopi untuk
mendeteksi kelainan 8-10 cm dari anus (polip rekti, hemoroid, karsinoma
rektum). Sigmoidoskopi atau kolonoskopi adalah test diagnostik utama
digunakan untuk mendeteksi dan melihat tumor dan biopsy jaringan.
Sigmoidoskopi fleksibel dapat mendeteksi 50 % sampai 65 % (20-25 cm dari
anus) dari kanker kolorektal. Pemeriksaan enndoskopi dari kolonoskopi
direkomendasikan untuk mengetahui lokasi dan biopsy lesi pada klien dengan
perdarahan rektum. Bila kolonoskopi dilakukan dan visualisasi sekum, barium
enema mungkin tidak dibutuhkan. Tumor dapat tampak membesar, merah,
ulseratif sentral, seperti penyakit divertikula, ulseratif kolitis
5.

Biopsi, tindakan pengambilan sel atau jaringan abnormal dan dilakukan
pemeriksaan di bawah mikroskop untuk mengidentifikasi matastase dan
menilai reseklabilitas.

6.

Jumlah sel-sel darah untuk evaluasi anemia. Anemia mikrositik, ditandai
dengan sel-sel darah merah yang kecil, tanpa terlihat penyebab adalah indikasi
umum untuk test diagnostik selanjutnya untuk menemukan kepastian kanker
kolorektal.

7.

Test Guaiac pada feces untuk mendeteksi bekuan darah di dalam feces,
karena semua kanker kolorektal mengalami perdarahan intermitten.

8.

CEA (carcinoembryogenic antigen) adalah ditemukannya glikoprotein di
membran sel pada banyak jaringan, termasuk kanker kolorektal. Antigen ini
dapat dideteksi oleh radioimmunoassay dari serum atau cairan tubuh lainnya
dan sekresi. Test ini tidak spesifik bagi kanker kolorektal dan positif pada
lebih dari separuh klien dengan lokalisasi penyakit, ini tidak termasuk dalam
skreening atau test diagnostik dalam pengobatan penyakit. CEA digunakan

sebagai prediktor pada prognsis postoperative dan untuk deteksi kekambuhan
mengikuti pemotongan pembedahan.
9.

Digital rectal examination (DRE)
Dapat digunakan sebagai pemeriksaan skrining awal .Kurang lebih 75%
karsinoma rektum dapat dipalpasi pada pemeriksaan rectal. Pemeriksaan
digital akan mengenali tumor yang terletak sekitar 10 cm dari rektum, tumor
akan teraba keras dan menggaung.

10.

Pemeriksaan kimia darah alkaline phosphatase dan kadar bilirubin dapat
meninggi, indikasi telah mengenai hepar. Test laboratorium lainnya meliputi
serum protein, kalsium, dan kreatinin.

11.

Barium enema sering digunakan untuk deteksi atau konfirmasi ada tidaknya
dan lokasi tumor. Bila medium kontras seperti barium dimasukkan kedalam
usus bagian bawah, kanker tampak sebagai massa mengisi lumen usus,
konstriksi, atau gangguan pengisian. Dinding usus terfiksir oleh tumor, dan
pola mukosa normal hilang. Meskipun pemeriksaan ini berguna untuk tumor
kolon, sinar-X tidak nyata dalam mendeteksi rektum

12.

X-ray dada untuk deteksi metastase tumor ke paru-paru

13.

CT (computed tomography) scan, magnetic resonance imaging (MRI), atau
pemeriksaan ultrasonic dapat digunakan untuk mengkaji apakah sudah
mengenai organ lain melalui perluasan langsung atau dari metastase tumor.

14.

Whole-body PET Scan Imaging. Sementara ini adalah pemeriksaan
diagnostik yang paling akurat untuk mendeteksi kanker kolorektal rekuren
(yang timbul kembali).

15.
VI.

Pemeriksaan DNA Tinja.
Masalah keperawatan dan diagnosa yang mungkin muncul
a. Nyeri kronis
b. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh
c. Diare
d. Konstipasi

VII.

Treatment/Pengobatan dan terapi/medikasi

1. Pembedahan
Pembedahan merupakan terapi yang paling lazim digunakan terutama untuk
stadium I dan II kanker rektal, bahkan pada pasien suspek dalam stadium III
juga dilakukan pembedahan. Meskipun begitu, karena kemajuan ilmu dalam
metode

penentuan

stadium

kanker,

banyak

pasien

kanker

rektal

dilakukan pre-surgical treatment dengan radiasi dan kemoterapi. Penggunaan
kemoterapi sebelum pembedahan dikenal sebagai neoadjuvant chemotherapy,
dan pada kanker rektal, neoadjuvant chemotherapy digunakan terutama pada
stadium II dan III. Pada pasien lainnya yang hanya dilakukan pembedahan,
meskipun sebagian besar jaringan kanker sudah diangkat saat operasi,
beberapa pasien masih membutuhkan kemoterapi atau radiasi setelah
pembedahan untuk membunuh sel kanker yang tertinggal (Anderson,
2006). Tipe pembedahan tergantung pada lokasi dan ukuran tumor. Prosedur
pembedahan pilihan adalah sebagai berikut (Smeltzer, Burke, Hinkle, &
Cheever, 2010):
a) Reseksi segmental dengan anastomosis (pengangkatan tumor dan porsi
usus pada sisi pertumbuhan pembuluh darah, dan nodus limfatik)
b) Reseksi

abdominoperineal

dengan

kolostomi

sigmoid

permanen

(pengangkatan tumor dan prosi sigmoid dan semua rectum serta sfingkter
anal)
c) Kolostomi sementara diikuti reanastomosis reseksi segmental dan
anastomisis serta reanastomosis lanjut dari kolostomi (memungkinkan
dekompresi usus awal dan persiapan usus sebelum reseksi)
d) Kolostomi permanen atau ileostomi (untuk menyembuhkan lesi obstruksi
yang tidak dapat direseksi)
Sebelum pembedahan, dilakukan radioterapi untuk mencegah sel maligna
bermetastasis dan mengurangi ukuran tumor serta membuatnya lebih
mudah direseksi. Intervensi lokal terhadap tumor setelah pembedahan
adalah implantasi isotop (radium, cesium, dan kobalt) ke dalam area
tumor dan elektrokoagulasi.
2. Kemoterapi

Kemoterapi bertujuan untuk menurunkan metastasis dan mengontrol
manifestasi. Adjuvant chemotherapy (menangani pasien yang tidak terbukti
memiliki penyakit residual tapi beresiko tinggi mengalami kekambuhan),
dipertimbangkan pada pasien dengan tumor yang menembus sangat dalam
atau tumor lokal yang bergerombol (stadium II lanjut dan stadium III).Terapi
standarnya ialah dengan fluorouracil, (5-FU) dikombinasikan dengan
leucovorin dalam jangka waktu enam sampai dua belas bulan. 5-FU
merupakan anti metabolit dan leucovorin memperbaiki respon. Agen lainnya,
levamisole untuk meningkatkan sistem imun dan dapat menjadi substitusi
bagi leucovorin.
- 5 hari Fu (Flouro-Uracil 13,5mg/kg BB/hari)
- 5 Fu dan Ca Folinat
3.

Radioterapi
Pada Ca stadium II dan III lanjut, radiasi dapat mengecilkan ukuran tumor
sebelum dilakukan pembedahan. Radioterapi dapat menjadi terapi tambahan
untuk pembedahan pada kasus tumor lokal yang sudah diangkat melaui
pembedahan, dan untuk penanganan kasus metastasis jauh tertentu. Terutama
ketika digunakan dalam kombinasi dengan kemoterapi, radiasi yang
digunakan setelah pembedahan menunjukkan telah menurunkan risiko
kekambuhan lokal di pelvis sebesar 46% dan angka kematian sebesar 29%.
Pada penanganan metastasis jauh, radiasi telah berguna mengurangi efek
lokal dari metastasis tersebut, misalnya pada otak. Radioterapi umumnya
digunakan sebagai terapi paliatif pada pasien yang memiliki tumor lokal
yang unresectable.

Rencana Asuhan Keperawatan
Diagnosa
Keperawatan

No
1.

Nyeri (Akut)
berhubungan
dgn :
Biologis;aktivit
as proses
penyakit
(kanker,trauma)

Tujuan
Kriteria Evaluasi :

Menyatakan nyeri
hilang
atau
terkontrol.
Menunjukkan nyeri
hilang, mampu
tidur/istirahat
dengan tepat.
Menunjukkan
penggunaan
keterampilan
relaksasi dan
kenyamanan umum
sesuai indikasi
situasi pasien.

Intervensi
Mandiri:
Kaji nyeri, catat
lokasi,
karakteristik,
intensitas (skala
0-10).
Berikan tindakan
kenyamanan,
mis., perawtan
mulut, pijatan
punggung, ubah
posisi.
Dorong
penggunaan
tehnik relaksasi,
mis., bimbingan
imajinasi,visualisa
si.
Bantu melakukan
latihan rentang
gerak dan dorong
ambulasi dini.
Hindari posisi
duduk lama.
Selidiki dan
laporkan adanya
kekakuan otot
abdominal dan
nyeri tekan
Kolaborasi :
Berikan obat
sesuai indikasi,
mis., narkotik,
analgesik.

Rasional
Membantu
mengevaluasi
derajat
ketidaknyamanan
dan keefektifan
analgesik.
Mencegah
pengeringan mukosa
oral dan
ketidaknyamanan.
Menurunkan
tegangan otot dan
meningkatkan
relaksasi.
Membantu pasien
untuk istirahat lebih
efektif dan
memfokuskan
kembali perhatian,
sehingga
menurunkan nyeri
dan
ketidaknyamanan.
Menurunkan
kekakuan otot atau
sendi. Ambulasi
mengembalikan
organ ke posisi
normal dan
meningkatkan
kembalinya fungsi
ketingkat normal.
Diduga inflamasi
peritoneal, yang
memerlukan
intervensi medik
cepat.

Berikan rendam
duduk.
2.

Perubahan
nutrisi kurang

Kriteria Evaluasi :

Lakukan/pantau

Menurunkan nyeri,
meningkatkan

dari kebutuhan
tubuh
berhubungan
dengan :
Anoreksia lama/
gangguan
masukan saat
praoperasi dan
Adanya
diare/gangguan
absorpsi.

efek unit TENS.

Mempertahankan
berat
badan/menunjukk
an
peningkatan
berat
badan
bertahap
sesuai
tujuan
dengan
nilai laboratorium
normal.
Merencanakan diet
untuk memenuhi
kebutuhan nutrisi.

Mandiri :
Lakukan
pengkajian nutrisi
dengan seksama.
Auskultasi Bising
usus.
Mulai dengan
makan cairan
perlahan.
Identifikasi bau
yang ditimbulkan
oleh makanan
(mis., kol, ikan,
kacang-kacangan)
dan sementara
batasi diet.
Anjurkan pasien
meningkatkan
penggunaan
yogurt dan
mentega susu.
Diskusikan
mekanisme
menelan udara
sebagai factor
pembentukan
flatus.

Kolaborasi :
Konsult dengan
ahli diet.

Tingkatkan diet
dari cairan sampai
makanan rendah
residu bila

kenyamanan.
Menurunkan
ketidaknyamanan
lokal. Menurunkan
edema dan
meningkatkan
penyembuhan luka
perineal.
Perangsang kutaneus
dapat digunakan
untuk menghambat
transmisi
rangsangan nyeri.

Mengidentifikasi
kekurangan/kebutuh
an untuk membantu
memilih intervensi.
Kembalinya fungsi
usus menunjukkan
kesiapan untuk
memulai makan lagi.
Menurunkan insiden
kram abdomen,
mual.
Sensitivitas terhadap
makanan tertentu
tidak umum setelah
bedah usus. Pasien
dapat mencoba
berbagai makanan
sebelum
menentukan apakah
ini membuat
masalah.
Dapat menurunkan
pembentukan bau.

Minum melalui
sedotan, mengorok,
ansietas, merokok,
sakit gigi, dan
meneguk makanan

masukan oral
dimulai.
Berikan makanan
enteral/ parenteral
bila diindikasikan.

3.

Resiko tinggi
terhadap
kerusakan
integritas kulit
berhubungan
dengan :
Karakter/aliran
feses dan flatus
dari stoma.

Kriteria Evaluasi :

Mempertahankan
Integritas kulit.
Mengidentifikasi
faktor resiko
individu.
Menunjukkan
perilaku/teknik
peningkatan
penyembuhan/menc
egah kerusakan
kulit.

Mandiri :
Lihat stoma/area
kulit peristomal
pada tiap
penggatian
kantong.
Bersihkan dengan
air dan keringkan.
Catat iritasi,
kemerahan (warna
gelap, kebirubiruan).

Ukur stoma secara
periodik, mis,,
tiap perubahan
kantong selama 6
minggu pertama.
Kemudian sekali
sebulan selama 6
bulan.

Berikan pelindung
kulit yang efektif,
mis., wafer
stomahesive,
karaya gum,
Realiseal (Davol)
atau produk
semacamnya.
Kosongkan,
irigasi dan
bersihkan kantong
ostomi dengan
rutin.

meningkatkan
produksi flatus.
Terlalu banyak
flatus dapat menjadi
factor penyebab
kebocoran dari
banyaknya tekanan
dalam kantong.
Membantu mengkaji
kebutuhan nutrisi
pasien dalam
perubahan
pencernaan dan
fungsi usus.
Diet rendah sisa
dapat dipertahankan
selama 6-8 minggu
pertama untuk
memberikan waktu
yang adekuat untuk
penyembuhan usus.
Pada
kelemahan/tidak
toleran terhadap
makanan per oral.
Hiperalimetasi
digunakan untuk
menanbah
kebutuhan
komponen pada
penyembuhan dan
mencegah status
katabolisme.
Memantau proses
penyembuhan/keefe
ktifan alat dan
mengidentifikasi
masalah pada area.
Mempertahankan
kebersihan/mengerin
gkan area untuk
membantu
pencegahan
kerusakan kulit.
Identifikasi dini
nekrosis
stoma/iskemia atau

Sokong kulit
sekitar bila
mengangkat
kantong dengan
perlahan.
Selidiki keluhan
rasa
terbakar/gatal/mel
epuh disekitar
stoma.
Kolaborasi :
Konsul dengan
ahli
terapi/enterostoma
l
Berikan sprei
aerosol
kortikosteroid dan
bedak nistatin
sesuai indikasi.

infeksi jamur
memberikan
intervensi tepat
waktu untuk
mencegah
komplikasi serius.
Sesuai dengan
penyembuhan
edema pascaoperasi
(selama 6 minggu
pertama) ukuran
kantong yang
dipakai harus tepat
sehingga feses
terkumpul sesuai
aliran dari ostomi
dan kontak dengan
kulit dicegah.
Melindungi kulit
dari perekat
kantong,
meningkatkan
perekat kantong dan
memudahkan
pengangkatan
kantong bila perlu.
Penggantian kantong
yang sering
mengiritasi kulit dan
harus dihindari.
Mencegah iritasi
jaringan/kerusakan
sehubungan dengan
“penarikan”
kantong.
Indikasi kebocoran
feses dengan iritasi
periostomal, atau
kemungkinan infeksi
kandida yang
memerlukan
intervensi.

Membantu
pemilihan produk
yang tepat untuk

kebutuhan
penyembuhan
pasien, termasuk
tipe ostomi, status
fisik/mental dan
sumber finansial.
Membantu
penyembuhan bila
terjadi iritasi
peristomal/infeksi
jamur.

Daftar Pustaka
Black, J. M, & Hawks, J. H. (2014). Keperawatan medikal bedah edisi 8.
Singapore: Elsevier
Bulecheckk, G.M., Butcer, H.K. Dochterman, J.McC., Wagner, C.M. (2013).
Nursing Interventions Classification (6th Ed.). Missouri: Elsevier Mosby
Doenges E, Marilynn, dkk. (2010). Rencana asuhan keperawatan: Pedoman
untuk perancanaan dan pendokumentasian perawatan pasien. Edisi 8.
Jakarta : EGC
Herdman, T.H., Kamitsuru, S. (2014). NANDA international nursing diagnoses:
definitions & classification 2015–2017(10th Ed.). Oxford: Wiley Blackwell
Ignatavicius, D. D., & Workman, M. L. (2006). Medical surgical nursing:
Critical thinking for collaborative care. (5th Ed). St. Louis: Elseveir
Saunders.
Moorhead, S., Johnson, M., Maas, M.L., & Swanson, E. (2013). Nursing
Outcomes Classification (NOC): Measurement of health outcomes (5th Ed.).
Missouri: Elsevier Mosby
Price & Wilson. (2012). Patofisiologi: Konsep klinis proses-proses penyakit
volume 1. Edisi 6. Jakarta: EGC
Sloane, E. (2004). Anatomi dan fisiologi untuk pemula. Jakarta: EGC.
Smeltzer,S.C., Burke,B.G., Hinkle,J.L & Cheever,K.H. (2010). Brunner &
Suddarth’s textbook of medical surgical nursing. (12th Ed). Philadelphia:
Lippincott William & Wilkins.