LAPORAN BACA KARYA SASTRA BALAI PUSTAKA

(1)

LAPORAN BACA KARYA SASTRA BALAI PUSTAKA

MANTRI DJERO”

R. Memed Sastrahadiprawira

disusun untuk memenuhi tugas Ujian Akhir Semester mata kuliahTeori Sastra

Dosen

Asep Yusup Hudayat, M. A. Oleh

Rini Anggraini 180210120033

PROGRAM STUDI SASTRA SUNDA

FAKULTAS ILMU BUDAYA

UNIVERSITAS PADJADJARAN


(2)

KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT, Tuhan semesta alam. Salawat dan salam semoga tetap tercurah kepada Nabi Muhammad SAW pembawa risalah Allah yang mengorbankan waktunya semata-mata untuk berjuang dijalan-Nya.

Atas izin dan karunia-Nya, penyusunan laporan baca guna memenuhui salah satu tugas Ujian Akhir Semester dapat terselesaikan tepat pada waktunya. Kategori yang dipilih adalah karya-karya sastra Balai Pustaka yang berjudul “Mantri Djero” karya R. Memed Sastrahadiprawira (1929).

Adapun kendala dalam penyusunan laporan semata-mata merupakan proses perjuangan menuju pemikiran yang lebih kritis, teliti, dan matang serta berwawasan lebih luas. Terimakasih kepada Bapak Asep Yusup Hudayat, M. A. selaku dosen matakuliah Teori Sastra dan juga sebagai dosen wali. Sebuah motivasi besar yang diberikan dengan bimbingannya dan kritikannya yang pasti sangat membangun. Terimakasih juga kepada Uwa Sasmitha atas sumbangsih cerita, pandangan dan juga buku-buku koleksinya di Rumah Baca Buku Sunda.

Segala bimbingan, apingan dalam kebaikan dan ilmu yang telah diturunkan merupakan anugrah yang besar yang belum tentu penyusun dapat membalasnya. Malaikat-Nya lah yang senantiasa merekap semua kebaikan hingga Allah SWT yang akan membalasnya.


(3)

Akhir kata, penyusun menyadari bahwa laporan ini masih banyak kekurangan dan jauh dari kesempurnaan. Dengan usaha yang semaksimal mungkin berharap dapat memperoleh hasil yang maksimal pula. “Barang siapa yang menanam maka dia yang akan menuai hasilnya.” Mudah-mudahan laporan ini dapat bermanfaat bagi penyusun khususnya dan bagi orang lain pada umumnya.

Jatinangor, Juli 2013


(4)

DAFTAR ISI

KATA PENGATAR... i

DAFTAR ISI... iii

BAB I PENDAHULUAN... 1

1.1 Latar Belakang... 1

1.2 Identifikasi Masalah... 2

1.3 Tujuan ... 3

BAB II PEMBAHASAN ... 4

2.1 Identifikasi Objek Material ... 4

2.2 Sinopsis Objek Material ... 9

2.3 Deskripsi Objek Material ... 10

2.4 Pendekatan dan Teori ... 14

BAB III KESIMPULAN... 29

DAFTAR PUSTAKA... 31


(5)

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Sastra dan kehidupan tidak dapat dipisahkan. Sebagaimana dalam perkembangannya sastra selalu menghadirkan hidup dan kehidupan dalam masyarakat. Hidup tidak terlepas dari sastra. Peristiwa yang digambarkan dalam karya sastra bisa terjadi dalam kehidupan nyata maupun di luar alam nyata. Sastra merupakan salah satu bentuk komunikasi yang disampaikan melalui bahasa. Dalam hal ini, sastra selain menyajikan nilai-nilai keindahan serta paparan peristiwa, juga mampu mengajak pembaca untuk menemukan nilai-nilai dan menghayati kehidupan secara mendalam. Membawa terbang ke alam imajinasi yang lebih jauh tapi pada akhirnya tetap merupakan bagian dalam kehidupan. Teeuw menjabarkan istilah sastra dipakai untuk menyebut gejala budaya yang dapat dijumpai pada semua masyarakat meskipun secara sosial, ekonomi, dan keagamaan, keberadaannya tidak merupakan keharusan.

Macam-macam karya sastra meliputi puisi, roman, novel, drama, dan cerpen. Mempelajari dan meneliti karya sastra terdapat unsur-unsur pembangun, baik unsur intrinsik maupun unsur ekstrinsik. Unsur intrinsik merupakan unsur-unsur yang membangun karya sastra berkaitan dengan peristiwa cerita, plot, penokohan, tema, latar, sudut pandang penceritaan, dan bahasa atau gaya bahasa. Sedangkan Nyoman Kutha Ratna (2007:305) mengemukakan sastra dalam pengertian luas adalah berupa teks rekaan, baik puisi maupun prosa yang nilainya tergantung pada


(6)

kedalaman pikiran dan ekpresi jiwa. Dengan begitu karya sastra adalah suatu imajinasi yang dilukiskan melalui bahasa dan dilakukan oleh pengarang.

Generalisasi sastra itu sendiri terdiri dari deotomatisasi atau ketidak langsungan, imaginatif, ambiguitas, nilai estetiknya dominan dan bersifat konotatif.

Dalam modul pembelajaran teori sastra Asèp Yusup Hudayat mengemukakan ilmu sastra mempunyai karakteristik keilmiahan sendiri. Dalam hal ini peneliti harus memilih metode dan langkah-langkah kerja yang tepat dan sesuai dengan karakteristik objek kajiannya. Salah satu yang menarik dalam menggunakan metode penelitian sastra adalah keharusan adanya distansi, kerja yang objektif, dan terhindar dari unsur prasangka dari perspektif. Gejala dengan situasi kesastraan inilah yang sering menuntut perhatian sendiri. Sudah dapat disimpulkan bahwa dalam penelitian sastra tersebut tidak berjarak dan subjektivitas.

1.2 Identifikasi Masalah

1. Apa sajakah yang dijadikan rujukan penelitian?

2. Pendekatan dan teori apakah yang digunakan dalam kajian Mantri Djero?

3. Mengapa objek material tersebut dianggap penting untuk penelitian? 4. Bagaimana ketertarikan terhadap objek material yang diteliti? 1.3 Tujuan

1. Mendeskripsikan apa saja yang menjadi rujukan dalam penelitian. 2. Menjabarkan pendekatan dan teori yang digunakan dalam objek

material.

3. Mengungkapkan pentingnya objek kajian tersebut untuk penelitian. 4. Mengemukakan ketertarikan terhadap objek material yang diteliti.


(7)

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Identifikasi Objek Material

Objek material dalam peneitian ini adalah roman yang berjudul “Mantri Djero” karya Raden Memed Sastrahadiprawira. Lahir pada periode angkatan Balai Pustaka, cetakan pertama tahun 1928 diterbitkan oleh Dinas Penerbitan Balai Pustaka Jakarta. Sedangkan material yang saya dapat adalah cetakan kedua tahun 1958. Masih menggunakan ejaan yang belum disempurnakan atau ejaan

baheula sehingga kesulitan tersendiri dalam membaca roman tersebut, selain itu terdapat banyak diksi yang masih menggunakan Bahasa Sunda Kuno. Diwarnai oleh guguritan. Penuh akan nasihat dan wejangan dari orang tua.

Terdiri dari 160 halaman yang menceritakan kehidupan di tatar Priangan pada awal abad ke-17. Berawal dari seorang Keturunan Bupati bernama

Wirautama yang kabur karena terjadi konflik antar keluarga yang menyebabkan ia pergi jauh meninggalkan kediaman dengan memboyong istrinya. Hingga sampailah mereka di suatu daerah yang mau menerima kedatangan mereka yang secara tak langsung telah menjadi buronan. Nagara Tengah lah yang kini menjadi tempat cucu bupati tersebut hidup nyaman tanpa ada nafsu duniawi yang akan melahirkan kerakusan akan kekuasaan. Adjengan merupakan nama panggilannya, tak seorangpun yang mengetahui nama aslinya. Diceritakan ia mempunyai


(8)

seorang anak yang bernama Yogaswara, soerang pemuda yang sangat tampan, berwibawa dan tentunya baik tutur kata juga tingkah lakunya. Di desa pengembaraannya Adjengan menjadi seorang petani, jadi sepengetahuan

Yogaswara pun dia adalah turunan orang biasa saja. Pada suatu hari Adjengan

menceritakan semua kejadian pada masa dulunya, siapa sebenarnya dia, kenapa bisa sampai kabur ke Nagara Tengah sementara dia adalah turunan dari Bupati Suniawenang. Pada suatu hari ketika ada rombongan dari Kadaleman yakni

Kapala Tjutak yang memantau keadaan desa, Yogaswara menjadi tertarik. Maka

Yogaswara pun ingin mencoba ke kota dan mengabdi di Kadaleman ditambah lagi karena dalam dirinya mengalir turunan mènak yang tak sembarangan. Ayahnya pun sudah barang pasti mengizinkan namun sebelum Yogaswara pergi ke kota untuk mencari pekerjaan yang dia inginkan, dia diharuskan untuk menuntut ilmu terlebih dahulu di pesantren Djanggala yang dipimpin oleh Kiai Abdul Mugni.

Disana hatinya tertambat pada anak Kiai yang bernama Nyi Halimah. Dia juga mempunyai sahabat yang bernama Ki bulus yang setia mendampinginya. Setelah mengikat hati dengan Nyi Halimah akhirnya Yogaswara dan Ki Bulus pamitan untuk pergi ke kota untuk mengabdi. Yogaswara mula-mula diterima oleh Mas Anggataruna yang memberinya pekerjaan sebagai pengurus kuda. Yogaswara

memang orang yang baik dalam tingkah laku juga tata bahasanya, sehingga tak heran jika Kangjeng Dalem mengangkat dia sebagai Mantri Djero yakni istilah atau sebutan untuk pangkat dan jabatan orang yang bertanggung jawab dalam urusan rumah tangga bupati. Hal ini menimbulkan iri dengki bagi Mas Anggataruna yang sudah lama mengabdi dan kini seperti dianak tirikan.


(9)

Sehubungan dengan datangnya surat dari Kawasn yang menyatakan bahwa Mataram negeri dari wètan akan segera menyerang ke daerah kulon. Sesegera mungkin Kangjeng Dalem mengumpulkan pasukan dan Mas Anggataruna menyarankan agar Mantri Djero saja yang menjadi panglima perangnya, tak lain dengan maksud agar Mantri Djero terbunuh dalam peperangan. Tapi pada akhirnya Yogaswara tidak mati meskipun ia pulang berbasuh darah di sekujur tubuhnya dengan penuh luka berat namun masih bisa selamat.

Setelahnya takluk oleh Mataram, setiap Bupati di Priangan diwajibkan mengirim upeti ke Mataram dalam kurun waktu tertentu. Meskipun Bupati yang pergi ke Mataram boleh membawa keluarga atau orang yang disenanginya namun Kangjeng Dalem tidak serta membawa selirnya yang cantik, Nyimas Ratnawulan karena khawatir diminta oleh pembesar Mataram. Dengan perginya Kangjeng Dalem sudah pasti yang diamanahi menjaga rumah tangga Kadaleman adalah Yogaswara. Pada suatu hari ketika Yogaswara bertemu dengan Nyimas Ratnawulan, ia menceritakan siapa sebenarnya dirinya setelah Nyimas Ratnawulan menerangkan bahwa ia adalah adik Pangawulaan Suniawenang. Jadi Nyimas Ratnawulan adalah bibi dari Yogaswara. Secara tidak sengaja ada abdi Pangawulaan yang melihat percakapan antara Yogaswara dan Nyimas Ratnawulan yang begitu akrab sehingga timbul fitnah, terlebih lagi Mas Anggataruna mengetahui hal tersebut sampai-sampai ia mengirim surat kepada Kangjeng Dalem yang sedang di Mataram.

Sesampainya lagi di Nagara Tengah, Anggataruna melancarkan lagi fitnah, hampir semua orang di Pangawulaan termakan hasutan Anggataruna dengan tuduhan terhadap Yogaswara yang telah berbuat hal yang senonoh terhadap Nyimas Ratnawulan. Hanya ada tiga orang yang tidak termakan omongan Anggataruna dan masih setia dengan seribu kepercayaan kepada Yogaswara bahkan disaat abdi-abdi lain membicarakan


(10)

tentang Yogaswara merekalah yang selalu memenangkan Mantri Djero. Ki Bulus sahabatnya, Ki Sura yang pertama kali mengajaknya bekerja di Kadaleman, dan Ma Idjem. Meskipun sebenarnya Kangjeng Dalem penuh dengan keraguan tapi hukum tetaplah hukum yang harus dijalankan sebagai alat juga untuk menyelesaikan masalah karena sesungguhnya benar dan salah itu tidak akan tertukar. Yogaswara dihukum dengan ketentuan adat, ia dijaram menyelam di lubuk Panereban, Pasir Uncal bersamaan dengan sebuah tempurung yang berlubang tengahnya. Apabila tempurung tenggelam sebelum Yogaswara timbul berarti Yogaswara tidak bersalah. Sebaliknya apabila timbul sebelum tempurung tenggelam berarti Yogaswara berdosa. Dan tentu saja Yogaswara lulus dari hukuman adat tersebur. Nama baiknya kembali. Sementara itu ayahnya, Wirautama beserta ibunya dan Kiai Abdulmugni bersama istri dan anaknya Nyi Halimah datang karena telah diberi kabar oleh Ki Bulus. Ayahnya menerangkan kepada Kangjeng Dalem mengenai silsilah keturunan Yogaswara dan hubungannya dengan Nyimas Ratnawulan, yang lain adalah adik Wirautama.

Dengan terbuktinya Yogaswara yang tidak melakukan salah saat itu juga Mas Anggataruna dimasukan ke dalam penjara, semua harta bendanya disita. Yogaswara menikah dengan Nyi Halimah dan menetap di Nagara Tengah sementara Ki Bulus mendapatkan harta kekayaan ayahnya Yogaswara sebagai balasan dari pengabdian dan kesetiaannya kepada Yogaswara.

Dalam roman, alur cerita sangat kompleks, konfliknya mengubah nasib tokoh secara tragis dan karakter tokoh diceritakan secara mendetail. Dari mulai hal kecil hingga hal-hal yang universal. Unsur ekstrinsik roman Mantri Djero dimulai dari pembahasan latar belakang pengarang yakni Radèn Mèmèd Sastrahadiprawira yang begitu apik dalam mengungkapkan tokoh Yogaswara sebagai sosok idealis beliau pada masa itu, begitu memahami bagaimana kehidupan menak karena memang warisan atau pengaruh dari


(11)

filsafat hidup lingkungan Raden Mèmèd, yaitu lingkungan fèodal bertemakan tentang perjuangan yang sudah menjadi bumbu pelengkapnya adalah konflik iri dengki namun tak lepas dari sentuhan-sentuhan romantisme. Penokohannya pun beragam dengan karakter pasif maupun aktif. Sajian karya sastra yang apik dan menarik.

Judul buku : Mantri Djero Pengarang : R. Memed

Sastrahadiprawira Penerbit : Balai Pustaka Tahun terbit : 1958

(cetakan ke-2) Jumlah halaman : 180 halaman


(12)

2.2 Sinopsis objek material

Turunan mah teu beunang dibunian. Lir ibarat mas,

sanajan geus rumeuk oge, ari dikosok mah tangtu herang deui, wantuning moal robah sipat kaemasanana mah. Lamur rek nitenan hiji j l ma turunan luhur lainna, diuji heula, nya ta ditilik tindakẻ ẻ ẻ

rengkakna, tata basana jeung omongana, sabab ieu sarat-sarat nu tilu rupa hese diturutanana, lamun dina dirina h nteu nyampak

darahna. Wong tua gawe wiwitan, wong nom darma nglakoni,

hatina boh kahadean boh kagorengan, lapanggihna sok ku anak-incu.

Kudu p rcaya kana kayakinan hate sorangan, sanajan ceuk

batur salah, tapi lamun ceuk kayakinan hate sorangan b n r, asalẻ ẻ

geus cukup ihtiar, ulah rek galindeur, sabab saksi nom r hiji nu

bakal nyalahkeun jeung ngab n rkeun kalakuan teh nyaeta: h a tẻ ẻ


(13)

2.3 Deskripsi Objek Material

Novel adalah sastra prosa yang menceritakan kisah hidup seseorang yang berisikan perubahan nasib seseorang yang secara garis besar merupakan sebuah cerita yang menceritakan sebagian kecil kisah kisah hidup seseorang, sedangkan roman adalah karya sastra prosa yang menceritakan tentang sebagian besar kisah hidup seseorang dan bentuk yang terbaik adalah yang menceritakan kisah hidup seseorang dari ia kecil sampai meninggal.

Dalam roman terdapat kejelasan, keteraturan dan detail cerita, dengan menceritakan setiap unsur-unsur di dalamnya secara deskriptif. Saat ini roman sudah hampir punah dari dunia sastra Indonesia, padahal Roman adalah salah satu bentuk sastra yang terbaik sepanjang sejarah Indonesia. Dalam roman para penulisnya meniupkan ruh perjuangan bangsa Indonesia pada masa penjajahan Belanda, walaupun dengan bentuk yang samar-samar. Mantri Djero merupakan salah satu roman yang lahir pada angkatan balai pustaka karya Radèn Mèmèd Sastrahadiprawira. Pertama diterbitkan di balai pustaka pada tahun 1928 kemudian cetakan kedua pada tahun 1958 dan cetakan ketiga di tahun 1982. Telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia pertama kali oleh M. A. Salmun tahun 1955 kemudian oleh Haksan Wirasutisna (Jakarta, 1980).

Raden Memed Sastrahadiprawira lahir di Manonjaya, 18 Maret 1897 dan meninggal pada umur 35 tahun setelah dioperasi tepatnya 5 Juli 1932. Diantara para pengarang balai pustaka R. Mèmèd termasuk bintangnya. Dalam waktu kurang lebih empat tahun bekerja di balai pustaka (1928-1932) melahirkan


(14)

belasan buku dalam kondisi sering sakit-sakitan. Namun beliau tetap gigih mengeluarkan karya-karya terutama kecintaannya terhadap tanah sunda. Pada tahun 1923 ia mengarang Wawacan Ẻ ẻnd n Sari Banon dan Wawacan Sejarah Tanah Jawa, yang kemudian diterbitkan oleh toko buku M.I. Prawirawinata di Bandung. Tahun 1928 mengarang Manri Djero dan Lakon kalayaẺ sempalan dari Mahabarata

kemudian ia menganggit Wawacan berdasarkan epos Hindu Mahabarata, sampai tujuh jilid diterbitkan oleh Balai Pustaka kemudian beliau pindah bekerja ke Balai Pustaka di Jakarta dan menjadi pembantu ahli bahasa. Karangan lainnya adalah Tresnas na jeung Putri Sedih Asih ẻ (saduran, 1931).

Carita Mantri Djero sempat diterbitkan di mangle pada terbitan 2012 sebagai cerita bersambung. Belum ada penerbit yang mencetak ulang Mantri Djero termasuk Kiblat yang menurut salah satu tim redaksinya masih dalam daftar yang akan diterbitkan yang artinya masih waiting list. Pengelola Lawang Buku, Kang Dèni menyatakan bahwa buku Mantri Djero termasuk buku yang langka karena hanya tiga kali mengalami cetakan. Sementara itu di Rumah Baca Buku Sunda pun buku ini hanya tinggal satu-satunya dengan penerbit kiblat, berbeda dengan buku-buku roman yang juga lahir pada masanya seperti Pangèran Kornèl telah ada cetakan ulang oleh penerbit lain seperti Rahmat Cijulang dan Kiblat. Berbeda dengan Diarah Pati karya Margasoelaksana cetakan keduanya 1957 terdapat dua buku yang masih menjadi koleksi. Uwa Sasmitha, pemilik Rumah Baca Buku Sunda menuturkan bahwa buku Mantri Djero tersebut belum ada lagi terbitan terbarunya ia hanya memiliki cetakan kedua tahun 1958.

Dalam buku Ngalanglang Kasusastraan Sunda (2009) R. Mèmèd bisa dikatakan mencapai puncak kejayaannya pada saat mengeluarkan roman Mantri Djero bahkan Ajip menambahkan jika dibandingkan dengan karya lainnya yang


(15)

hampir bersamaan yakni Pangèran Kornèl (1930) secara roman jauh dibawah

Mantri Djero. Disamping banyak bagian-bagian yang secara fragmentaris terbilang bagus. Sebaliknya Mantri Djero yang secara roman merupakan tingkatan yang unggul dari karya-karya sastra pada zamannya menimbulkan banyak pertanyaan dalam sejarah. Sampai sejauh mana R. Memed meneliti dan membabad sejarah untuk bahan-bahan Mantri Djero? Dalam Ensiklopedi Sunda: Alam, Manusia, Budaya (2000) diterangkan roman Mantri Djero sangat digemari oleh para pembaca Sunda. Sebagai roman komposisinya lebih bulat daripada roman Mèmèd Sastrahadiprawira yang lain, Pangèran Kornèl. Namun demikian gambaran sejarahnya lebih mirip dengan keadaan Priangan pada abad ke-19 daripada abad ke-17. Misalnya ketika melukiskan keadaan Negara Tengah dan hukum yang dikutip oleh Jaksa dan Patih tatkala membahas tuduhan terhadap

Yogaswara (Mantri Djero) berbahasa Jawa, padahal ketika itu Nagara Tengah

baru saja ditaklukan oleh Mataram, sehingga lebih masuk akal kalau hukum yang digunakan adalah hukum yang berlaku di negara Sunda yang tentu berbahasa Sunda.

Hing kang serat sayogya mugi kondjuk hing pandj n nganẻ ẻ

Dal m,Paduka Kangdj ng Bupatos hing Nagara T ngah, kangẻ ẻ ẻ

nudju apilenggah hing datulaja panagari. Satuhusing s rat hing

awios kaulanun abdi Dal m njembahkeun s wu b b ndu, laksaẻ ẻ ẻ ẻ

duduka, bilih aja tutus langkung, kepang halang, bobo sapanon, tjarang sapaka, tunggul dirarud, tjatang dirumpak, rehing abdi Dalem kumalatjang, undjuk uninga ka Dampal Dalem tanpa dawuhan, tawis gumusti mintonkeun budi, rehing gaduh p p ndakan anu parajogi katingali ku salira Dampal Dal m.ẻ ẻ ẻ

Anamung mugia Dampal Dalem henteu djadi rengating galih, rehing abdi Dal m njembahkeun piundjuk anu matak


(16)

setya-tuhu, supados henteu lebet kana paripaos: tunggu tutng, aja pependakan henteu enggal undjukan.

Dampal Dal m kant nan moal njant n satjongo rambut,ẻ ẻ ẻ

abdi Dal m, pun Mantri Dj ro, milampah tjidra, kumawantunẻ ẻ

niron bapa maling, ngadurdjana puputon kembang karaton. Pun Mantri Djero teh l b t kana paripaos; milegeg lebe, ngabudiẻ ẻ

santri, anamung lampahna njata euwah-euwah, margina parantos kumawantun njidr ng r smina abdi Dalem punẻ ẻ

Ratnawulan, mustika anu ku Dampal Dalem dipikameumeut, didam l djimat. Ieu piundjuk henteu pido dam l, pan sumanggaẻ ẻ

saeusining padam lan diparios, tan wade sadaja abdi-abdi

Dalem uninga sabalakana.

Abdi Dal m miwah sadaja wilajat anu sar g p kumur b kaẻ ẻ ẻ ẻ

pangkon Dampal Dalem, sami ngaraos kaliputan halimun kawujung; mangjerikeun, mangpeurihkeun ka salira Dampal Dalem, rehing parantos dipiwani ku abdi nu sakitu laipna, diunghak, ku djalma nu teu kant nan asal-usulna.

Kumargi eta sadaja-daja abdi Dal m ngambangkeun ka

k rsa, siang-dalu ngaderek dawuhan, kaulanun.

Kering hing kang s mbah sudjud abdi Dal mẻ ẻ

hing kang s tya tuhu.


(17)

2.4 Pendekatan dan Teori

Pendekatan merupakan langkah pertama dalam penelitian karya sastra setelah proses membaca dan memahami karya tersebut. Dengan pendekatan kita akan dapat mengenal lebih dalam lagi terhadap suatu karya. Secara etimologis, pendekatan berasal dari kata appropio, approch, yang artinya sebagai jalan dan penghampiran. Pendekatan didefinisikan sebagai cara-cara menghampiri objek. (Ratna, 2004: 55)

Mantri Djero, karya sastra yang berbentuk roman karya Radèn Mèmèd Sastrahadiprawira termasuk kategori karya-karya Balai Pustaka karena lahir pada periode angkatan balai pustaka. Adapun ciri khas atau karakteristik dari karya-karya sastra angkatan Balai Pustaka adalah menggambarkan tema pertentangan paham antara kaum tua dan kaum muda, soal pertentangan adat dan kawin paksa, soal kebangsaan yang belum mengemuka, masih bersifat kedaerahan. Penggunaan gaya bahasanya masih menggunakan perumpamaan yang klise, pepatah, pribahasa tapi menggunakan bahasa percakapan sehari-hari lain dengan bahasa hikayat sastra lama, puisinya berupa syair dan pantun. Isi karya sastranya bersifat didaktis dan alirannya bercorak romantik. Karya-karya pada masa angkatan balai pustaka merupakan karya-karya yang merepresentasikan realitas sosial pada masa itu, namun tentunya karya-karya tersebut harus sejalan dengan politik pemerintahan kolonial.

Jika ditinjau melalui pendekatan ekspesif yakni Radèn Mèmèd merupakan penulis yang terkenal pada masa angkatan balai pustaka, bekerja sebagai


(18)

pembantu ahli bahasa. Tidak dapat dipandang sebelah mata, karya-karyanya yang penuh dengan orientasi puitika sangat digemari di kalangan pembaca. Terlebih sering menyelipkan guguritan yang mampu membawa pembaca jauh semakin dalam lagi pada cerita sebagai dukungan suasana, penekanan cerita dan menuntun imajinasi pembaca agar lebih luas lagi. Sesuai dengan karakteristik angkatan balai pustaka yakni Penggunaan gaya bahasanya masih menggunakan perumpamaan yang klise, pepatah, pribahasa tapi menggunakan bahasa percakapan sehari-hari lain dengan bahasa hikayat sastra lama, puisinya berupa syair dan pantun.

Namun hampir dalam semua karyanya R. Mèmèd senantiasa menyelipkan

guguritan, begitu populer, bahkan tidak sedikit yang dijadikan contoh

nembangkeun lagu pupuh Kinanti. Suasana-suasana resmi, sedih ataupun bahagia biasanya selalu dituangkan dalam dangding. Bagi dunia kesusastraan sunda saat itu sudah barang tentu menjadi daya tarik tersendiri hingga pembaca dapat larut dalam tulisan-tulisan yang R. Mèmèd guratkan dalam buku-bukunya. Masyarakat pada masa tersebut memanglah sangat hafal dan mengenal tembang dan dangding

dengan patokan-patokannya yang baku. Asmarandhana menunjukan kasmaran, kesedihan diwakilkan dengan Maskumambang, dalam hal keresmian ada Dangdanggula dan sebagainya.

Pendapat R. Mèmèd Sastrahadiprawira mengenai kesusastraan dijelaskan dalam essaynya “Kasusastraan Sunda” yang pertama kali dimuat dalam Parahiangan dan dikutip oleh majalah Kiwari 1957. “karangan-karangan anu saraè basana, boh anu dirakit dangding boh diwuku baè, sugrining buahna kabinangkitan nu ditembongkeun kasaèanana ku basa.” R. Mèmèd mulai tertarik


(19)

dengan kesusastraan sunda dalam Kongres Basa Sunda yang pertama kali diadakan pada tahun 1924 di Bandung, ketika beliau ngamamaoskeun dangding

ciptaannya. Pada Kongrès Basa Sunda yang kedua tahun 1927 R. Mèmèd menjadi pusat perhatian karena terlibat dalam gending karesmen Sempalan Babad Cikundul. Berperan sebagai utusan Sultan Mataram. Karena landasan itulah banyak karya-karya R. Mèmèd yang menyelipkan guguritan, menggunakan bahasa-bahasa yang puitis dan penyusunan yang indah dengan berbagai perumpamaan dan majas.

R bun-r bun halimun pasusun-susunẻ ẻ

Rarimbunan tatangkalan

Wawangunan djeung kakajon siga disangsangan kasang Sasampajan boeh rarang.

Raong hayam kongkorongok, sorana palambat-lambat Ti langit beulah wetan marabat pating arudat – balebat Tjet manuk disarada; manuk tjatjing, tjangkurileung Tembalan djeung saeran, ngabageakeun katineung: Ajana ngag bur hurung.

Bubuka dalam roman Mantri Djero

Adapun komentar R. Mèmèd selalu menyelipkan guguritan dalam setiap karyanya adalah tetap pada niatnya untuk bercerita meskipun dalam bentuk

rumpaka atau dangding, “keur baris panungtun, minangka panggeuing pangeling-ngeling.” Apabila ada bagian yang menggambarkan suasana hati dan


(20)

alam R. Mèmèd begitu indah sampai merasuk ke dalam hati terasa nyata. Sudah tidak diragukan lagi dalam Mantri Djero dan Pang ran Korn lẻ ẻ yang merupakan cerita berlatarkan tanah tempat kita bernaung yang orang-orangnya masih mencintai tembang, tetapi ini dalam Trèsnasèna jeung Nyi Putri Sedihasih pun yang asalnya dari Eropa, banyak sekali dangding yang sengaja diselipkan, pada umumnya menggambarkan kesedihan atau sakit hati. Nyi Putri Sedihasih yang aslinya Iseut (Isolde) kala teringat akan Trèsnasèna, ia ngadangding pupuh Asmarandhana, lagunya Kapati-pati atau Sinom. Tidak menjadi janggal karena R. Mèmèd begitu apik menempatkan suasananya.

Dalam cerita Mantri Djero, ketika Yogaswara hendak dihukum adat

Nyimas Ratnawulan lantas ngadangding pupuh Maskumambang sambil tak henti airmatanya mengalir:

Maskoemambang

Aduh Gusti naha kaniaja teuing Teu aya rasrasan

Sim abdi dituding-tuding Ngalampahkeun kahinaan

Biheung teuing moal kum l ndang deuiẻ ẻ

Kabawa ku kadar Katarik ku milik diri Unggah ka bale watangan


(21)

Tapi nadjan buang djauh gantung tinggi T t p nja pertjajaẻ ẻ

Kana kab r sihan diriẻ ẻ

Da henteu rumaos dosa

Ngan sakadar enggeus nembongkeun kaasih Ngambat sipat anak

Bidjil tina ati sutji M dal tina kaw ninganẻ ẻ

Sugan te’ mah moal dibeuli ku pati Ditumpang ku njawa

Duh Gusti Robbul Idjati Mugi k rsa nangtayungan

...

Banyak lagi pupuh yang diselipkan dalam cerita Mantri Djero. Sebagai apresiasinya kepada budaya Sunda dan kecintaanya terhadap seni Sunda khususnya hingga saat ini belum ada lagi penulis yang dengan sejuta pembendaharaan kata-kata yang indah juga ribuan diksi yang puitis.

Pandangan terhadap karya sastra yang melaui pendekatan ekspresif tentunya kepada pengarang itu sendiri bukan hanya selesai sampai disini. Pertanyaannya kali ini, kenapa Radèn Mèmèd begitu paham dan mengenal kehidupan di dalam Kadaleman dan adat kebiasaan mènak? Berdasarkan dari warisan atau pengaruh dari filsafat hidup lingkungan Radèn Mèmèd


(22)

Sastrahadiprawira yaitu lingkungan fèodal. Beliau begitu mengenal seperti apa suasana dan mentalitas kaum fèodal yaitu seperti apa yang sering digambarkan dalam karangan-karangannya. Kehidupan para menak di wilayah kabupaten yang bercita-cita ingin dipandang berjasa dengan penuh keambisian sikut sana sikut sini. Nyaris sama saja seperti keadaan sekarang abad 20-n. Melakukan segala cara untuk mendapatkan jabatan, terlalu rakus dalam kekayaan. Seperti terlampir dalam roman Mantri Djero, bagaimana usaha Mas Anggataruna dalam melenyapkan Yogaswara ketika telah diangkat menjadi Mantri Djero. Begitu banyak akal, menyebarkan fitnah hingga niat membunuh dengan menjadikannya panglima perang dalam melawan Mataram. Jika meninjau kembali contoh fèodal itu seperti Mas Anggataruna yang begitu berambisi ingin meruntuhkan

Yogaswara maka bisa diteruskan dengan penelitian menggunakan teori hegemoni yakni tentang kekuasaan.

Apa itu teori hegemoni? Sebelum lebih jauh kita pahami terlebih dahulu apa itu teori. Teori sebagai hasil perenungan yang mendalam, tersistem, dan terstruktur terhadap gejala-gejala alam berfungsi sebagai pengarah dalam kegiatan penelitian. Teori memperlihatkan hubungan-hubungan antarfakta yang tampaknya berbeda dan terpisah ke dalam satu persoalan dan menginformasikan proses pertalian yang terjadi di dalam kesatuan tersebut. Sesuai dengan beraneka ragam ilmu, maka teori pun beraneka ragam. Dalam penelitian sastra, pemilihan teori yang akan digunakan tergantung dari masalah yang akan dijawab oleh penelitian dan tujuan yang akan dicapai oleh penelitian.


(23)

Teori hegemoni merupakan suatu kekuasaan atau dominasi atas nilai-nilai kehidupan, norma, maupun kebudayaan sekelompok masyarakat yang akhirnya berubah menjadi doktrin terhadap kelompok masyarakat lainnya dimana kelompok yang didominasi tersebut secara sadar mengikutinya. Kelompok yang didominasi oleh kelompok lain (penguasa) tidak merasa ditindas dan merasa itu sebagai hal yang seharusnya terjadi.

Terdapat dua pengertian hegemoni yang berbeda, yang satu versi Marxis ortodoks dan yang satu versi dari Gramci. Hegemoni menurut Marxis, menekankan pentingnya peranan reprensif dari negara dan masyarakat-masyarakat kelas, Pemikiran Marx beranggapan kebudayaan kehidupan manusia semata-mata merupakan cerminan dari dasar ekonomi masyarakat, Gramci menyebut ekonomi jenis ini sebagai materialisme vulgar. Jadi hegemoni Marxis merupakan hegemoni negara. Sementara hegemoni Gramsci berbeda, Gramsci tidak setuju dengan konsep Marxis yang lebih kasar dan ortodoks mengenai dominasi kelas dan lebih setuju dengan konsep kepemimpinan moral.

Hegemoni Gramci menekankan kesadaran moral, dimana seseorang disadarkan lebih dulu akan tujuan hegemoni itu. Setelah seseorang sadar, ia tidak akan merasa dihegemoni lagi melainkan dengan sadar melakukan hal tersebut dengan suka rela. Jadi terdapat dua jenis hegemoni, yang satu melalui dominasi atau penindasan, dan yang lain melalui kesadaran moral. Hegemoni dengan dominasi atau penindasan merupakan hegemoni konsep Marxis ortodoks, biasanya bernuansa negatif. Sementara itu hegemoni menurut Gramsci, adalah


(24)

hegemoni dengan kepemimpinan intelektual dan moral, biasanya bernuansa positif.

Hegemoni Gramsci memuat ide tentang usaha untuk mengadakan perubahan sosial secara radikal dan revolusioner. Gagasan hegemoni Gramci telah mengadung isu-isu pokok dalam studi kultural, seperti tentang pluralisme, multikultural, dan budaya marginal. Jadi hegemoni Gramsci menolak konsep-konsep yang mengedepankan kebenaran mutlak, baik yang terkandung dalam Marxisme maupun non-Marxisme.

Karya satra merupakan cerminan kehidupan masyarakat. Karya sastra itu bersifat dinamis berjalan sesuai dengan perkembangan masyarakat karena karya sastra itu hasil ciptaan seseorang yang merupakan bagian dari masyarakat. Di dalam masyarakat seorang individu menjalani berbagai macam kejadian yang ia alami. Dari kejadian yang ia alami yang ada pada dunia nyata itulah sebagai bahan dasar ide dalam penulisan karya sastra.

Terapan teori hegemoni dalam Mantri Djero terdapat dalam beberapa bagian. Yang pertama adalah perebutan kekuasaan antara ayah dari Yogaswara

yakni Wirautama yang berebut kekuasaan dengan adiknya hingga pada akhirnya

Wirautama kabur memboyong serta istrinya, pergi jauh meninggalkan kabupaten

Suniawening. Ayah dari Wirautama atau kakek Yogaswara telah berpesan bahwa yang akan meneruskan jabatan sebagai Bupati adalah ayah dari Yogaswara tapi setelah kakeknya meninggal ternyata yang meneruskan jabatan sebagai Bupati adalah adiknya atau paman Yogaswara. Wirautama dituduh akan merebut


(25)

kekuasaan sampai datang kabar bahwa Wirautama akan dibunuh maka dari itu bergegaslah mereka pergi meninggalkan nagaranya.

Saur adjngan: “sukur aru kitu mah, heug atuh reungeukeun! Udjang ku ama geus dibedjaan, jen di sakuloneun nagara nu ajeuna ku urang ditjitjingan, aja deui nagri anu kamamuranana njauraan ka Nagara Tngah, katlah Suniawenang ; ari nu djadi bupatina bapa ama. Nurutkeun kapalaj ejang maneh waktu djumnng keneh, upama andjeunna geus tepi ka pastina mulih ka kalanggngan, nu digadangkeun baris djadi gantina teh ama, dumeh ama teh putra tjikal. Tapi barang ejang maneh suargi pupus, nu diangkat teh adi ama, lantaran ama mah lain putra garwa padmi. Ku Udjang tangtu kapikir sakumaha pihandeuleueunana hate tapi ku ama henteu dipake ngun k-ngunk, saperkara lolobana wargi ngarmpugan kana eta putusan, kadua prkara nu diangkat teh tunggal dulur sorangan...”

Terapan teori hegemoni yang kedua ialah pada adegan pada saat desa tempat tinggal Yogaswara akan didatangi mènak, djuragan Kapala Tjutak.

Kakotjapkeun isukna kabeh djelema salmbur eta pada nunda pagaweanana. Sawareh dibawa ku Djagastru mapag ka wates desa, sawareh deui djogo di sisi djalan, deukeut katja-katja. Sagala rupa tatabeuhan, kitu deui lisung djeung kohkol, geus sadia. Nu pinabeuheun lisung geus ngagimbung awewe digarlung djutjung, njarkl halu hidji sewang. Nu pinakoleun kohkol geus ngagembrong, dipilih anu garundul, njarkalan gegendir hidji sewang.


(26)

Kira wantji petjat sawd, burubul aleutan menak sumping, diiring diabring-abring. Ti hareup ngalgdd sasaka desa tarumpak kuda. Di tukang ngabring nu ngariring, sawareh mah ngagarotong dongdang dieusi tutuangeun.

Hnteu lila aleutan geus datang ka katja-katja, breng tatabeuh ditabeuh, kitu deui lisung trang tring trung, kohkol nongtrongan, kawas aja samagaha bae! Djut palatuk-palatukna tarurun tina kuda, brek tjaringogo, kitu deui djelema rea hempak sarila di sisi djalan. Menak teh smu bungah ningali palataran raresik, imah-imah bareres, andjeunna papariksa tina luhur kuda. Pananganana kiwa njpng kadali bari di tulak tjangkengkeun nu tngn njpng tjamti bari diulang-ulang, dawuhanana: “kumaha pakaja teh, marulus haaah?”

Sakur nu ngadareuheus barng ngawalon: “sumuhun dawuh aja hibar pangagung, wiludjng.” Menak imut ngaglnyu, lahirna: “sukuuurr..”

Ret menak teh ningali kebon waluh nu deukeut ka sisi djalan, buahna galde pisan, aja nu sagegde seeng, pok andjeuna mariksa: “plak saha eta waluh teh, mana galde teuing. Haaah?”

Djagasatru tjdok njmbah, piunjukna, “sumuhun gaduhna pun Madasim” saur menak, “sukur, tarurutan deuleu eta ku sarerea, gening ari hade pagawe mah buahna galede naker”

Sabot menak papariksa hal sedjen perkara, kuwu ngitjeupan ka Djagasatru, mere isarah. Dasar ahli surti, isarahna Mas Kuwu ku Djagasatru kahartieun, tuluj


(27)

manehna njampeurkeun ka Madasim bari nagharewos, “Sim, menak oge sedepeun waluh!”

Djawab Madasim, “sumangga teh teuing, sumawona waluh nadjan diri kuring oge saha nu kagungan!”

Henteu lila Kapala Tjutak djngkar deui rek neruskeun rondaanana. Madasim gura-giru ngala waluh nu panggaledena, diteundeun kana dongdang, bari ngomong kanu ngagarotong, “lamun djuragan mariksakeun, ieu waluh teh ti kuring kituh, nya!”

Sihoreng dongdang nu dogotong teh geus meh pinuh ku rupa-rupa hasil bumi.

Teori yang digunakan dalam adegan tersebut adalah teori hegemoni Gramsci, karena kekuasaan masih dalam konteks positif tidak dengan penindasan ataupun keterpaksaan. Masyarakat kalangan bawah itu sendiri merasa senag apabila hasil tani ataupun hasil ternaknya dimakan oleh mènak. Itu sudah merupaka tradisi adat dan kultur yang memang peraturan alamnya seprti itu.

Dalam penggalan cerita lain masih banyak yang dapat diteliti dengan menggunakan teori hegemoni, bukan hanya hegemoni Gramsci saja tapi juga hegemoni Marxis. Meskipun cenderung pada konteks negatif namun pada kenyataannya masih terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Seperti pada peristiwa

Yogaswara dan Ki Bulus sampai di Dayeuh Nagara Tengah, mereka mendapat perlakuan tidak menyenangkan dari gulang-gulang penjaga gerbang Nagara Tengah. Mereka disergap karena prilaku yang mencurigakan saat berada di


(28)

gerbang Nagara Tengah padahal mereka sedang mengagumi gerbang yang begitu megah yang tidak pernah mereka lihat sebelumnya.

...barang lar ngaliwat, gulang-gulang teh njalampeurkeun kek njkl ka Den Yogaswara jeung ka Ki Bulus, omongana bari morongos: “ieu djlma urang mana, teu njaho kana ttkon, naha dudukuy hnteu ditjuplak, hnteu katendjo itu aya menak?”

Bakating ku reuwas Den Yogaswara mni pias, ari ret ka gigir katingali aja nu ngadg majunan tumpukan rupa-rupa hasil bumi kayaning: djagong, peuteuy, pare jst. Sihoreng eta teh djuragan mantri tjuke keur narima tjuke ti sakur nu liwat ek dagang ka pasar.

Selain itu ketika Den Yogaswara diterima bekerja di Kadaleman, sebagai pengurus kuda Kangdjeng Dalem tak lama setelahnya Yogaswara diangkat menjadi Mantri Djero karena ketekunannya dalam bekerja, kejujuran dan kepandaiannya. Selalu saja ada orang yang iri dengki terhadap kesuksesan

Yogaswara, salah satunya Mas Anggataruna yang mampu mendoktrin abdi-abdi lainnya sehingga berkubang dalam hasutan-hasutannya terlebih saat Kangdjeng Dalem sedang mengantarkan upeti ke Mataram, dengan gencar Anggataruna

meluncurkan fitnah dan berhasil menghasut hampir semua Abdi Dalem di

Kawulaan. Kecuali tiga sahabat Yogaswara. Hingga lebih jauh lagi Anggataruna berniat membunuh Yogaswara dengan dalih mengutusnya menjadi panglima perang dalam melawan Mataram.


(29)

Kekuasaan dan hasutannya itulah yang menjadi landasan teori hegemoni Marxis dapat diterapkan, penuh dengan penindasan, otoritas, pangkat dan jabatan dijadikan tameng dan senjata untuk mendoktrin abdi-abdi dalem. Ketidakpuasan terhadap apa yang telah ia dapatkan, Mas Anggataruna masih begitu berambisi untuk mendapatkan jabatan yang lebih. Penjilat dan ingin selalu terpakai oleh

Kanjeng Dalem.

...bawaning Kandjeng Dalem geus tamplok kanjaahna, Den Yogaswara diangkat kana Mantri Djero.

Ari anu disebut Mantri Djero teh nja eta hidji prijaji anu meunang kaprtjajaan ti dalem, dipapantjenan ngurus eusining padalman.

Ieu angkatan teh tangtu pisan matak nimbulkeun pasisirikan, sabab ngagntak teuing djeung ongkoh geus biasana di dunja mah, lamun aja djlma nu meunang daradjat gde teh sok dipisirik. Kitu deui ieu rentjang-rentjang sasama panakawan, ka Den Yogaswara teh seueur pisan nu giruk, nu teu ngeunaheun oge teu kurang, lantaran ngarasa kapantjat djeung njangka jen Kangdjeung Dalem pilih kasih, sabab henteu kararasaeun ari katitih pangarti kaungkulan pangabisa mah; puguh oge djelema mah ilaharna tara ngarasa di katunaan dirina. Malah Djurusimpn pisan, nu tadina sakitu ngadjeudjeuhkeunana, ajeuna mah djadi beda pasemonna npi ka sok mindng sasauran sindi-sampir.

Upama rentjang-rentjang aja pangabutuhna, Mas Anggataruna sok ngaglndng, saurna: “ah, aing mah tjetuk dawuk oge saukur didjieun tunggul, tuh ka djuragan, Mantri kakasih aja pangabutuh mah!” sasauranana kitu teh sok


(30)

ditungtungan ku djebi bari ngalahir smu ngahina: “Heh.. si urang manjang-munjung!”

Sebenarnya banyak sekali teori yang dapat diterapkan dalam roman Mantri Djero, namun pertimbangan dalam pemilihan teori yang digunakan untuk objek material ini difokuskan ke Teori Hegemoni. Teori hegemoni merupakan sebuah teori politik paling penting abad 20. Hegemoni dikembangkan oleh filsuf Marxis Italia Antonio Gramsci (1891-1937).. Antonio Gramsci dapat dipandang sebagai pemikir politik terpenting setelah Marx. Teori hegemoni dari Gramsci yang sebenarnya merupakan hasil pemikiran Gramsci ketika dipenjara yang akhirnya dibukukan dengan judul Selection from The Prissons Notebook yang banyak dijadikan acuan atau diperbandingkan khususnya dalam mengkritik pembangunan. Dalam perkembangan selanjutnya teori hegemoni ini dikritisi oleh kelompok yang dikenal dengan nama New Gramcian. Teori hegemoni dibangun di atas preis pentingnya ide dan tidak mencukupinya kekuatan fisik belaka dalam kontrol sosial politik. Menurut Gramsci, agar yang dikuasai mematuhi penguasa, yang dikuasai tidak hanya harus merasa mempunyai dan menginternalisasi nilai-nilai serta norma penguasa, lebih dari itu mereka juga harus memberi persetujuan atas subordinasi mereka. Inilah yang dimaksud Gramsci dengan hegemoni atau menguasai dengan kepemimpinan moraldan intelektual secara konsensual. Dalam kontek ini, Gramsci secara berlawanan mendudukan hegemoni, sebagai satu bentuk supermasi satu kelompok atau beberapa kelompok atas yang lainnya,


(31)

dengan bentuk supermasi lain yang ia namakan dominasi yaitu kekuasaan yang ditopang oleh kekuatan fisik (Sugiono, 1999:31).


(32)

BAB III

KESIMPULAN

Roman merupakan karya sastra yang di dalamnya memuat aspek-aspek sosial. Aspek-aspek sosial ini lah yang digali untuk dapat menerapkan teori hegemoni. Aspek-aspek sosial ini dijadikan pijakan dalam membedah roman Mantri Djero

karena dengan pendekatan ekspresif maka teori hegemoni itu sendiri berarti dominasi kepemimpinan moral berdasar pandangan Gramsci.

Terlihat jelas dalam roman ini, di dalamnya telah mengungkap teori Gramsci itu sendiri dalam pengkajiannya bahwa kepemimpinan moral atau pengarahan pemikiran terjadi kepada beberapa tokoh yang terlibat di dalamnya. Hegemoni yang ada pada roman ini sebenarnya bukan hanya terdapat empat bahasan seperti yang telah dijelaskan pada pembahasan namun difokuskan kearah hegemoni yang tampak dominan yang terjadi antar tokoh yang terlibat di dalamnya.

Terapan hegemoni yang pertama pada peristiwa perebutan kekuasaan antara ayah Yogaswara, Wirautama dengan adiknya dalam menduduki jabatan Bupati meneruskan jabatan ayahnya. Kedua adalah ketika desa tempat Yogaswara

tinggal di datangi oleh menak, Kapala Tjutak yang merupakan mandor dari pemerintahan untuk mempantau keadaan di desa-desa. Pertama kalinya

Yogaswara menginjakan kaki di Dayeuh ternyata telah menimbulkan hegemoni, itu yang ketiga dan peristiwa terakhir dalam pembahasan adalah masa pengabdian


(33)

Dari aspek-aspek sosial yang ada pada cerita dapat kita temukan bahwa terdapat hegemoni yang dilakukan oleh seorang tokoh yang meghegemoni tokoh lain yang ada di dalamnya. Hegemoni itu berupa pengarahan pemikiran, adat atau kultur yang sudah menjadi aturan serta terdapat pula hegemoni yang berupa penindasan. Penindasan yang ada bukan berupa penindasan fisik melainkan penindasan pemikiran. Teori hegemoni pula yang dapat merubah pola pandang karya sastra bukan hanya sebagai suatu tulisan biasa saja tetapi dapat ditarik menjadi sebuah cerminan yang relevan untuk menggambarkan kehidupan nyata. karena hegemoni merupakan sebuah teori politik yang paling penting pada abad ke-20.


(34)

DAFTAR PUSTAKA

Kutha Ratna, Nyoman. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta. 2012: Pustaka Pelajar.

Nurgiyantoro, Burhan. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta. 2010: Gadjah Mada University Press

Rosidi, Ajip. dkk. Ensiklopedi Sunda: Alam, Manusia, Budaya (Termasuk Budaya Cirebon dan Betawi). Jakarta. 2000: Pustaka Jaya.

Rosidi, Ajip. Manusia Sunda. Bandung. 2009: PT. Kiblat Buku Utama. Rosidi, Ajip. Ngalanglang Kasusastraan Sunda. Bandung. 2009: PT. Kiblat Buku Utama.


(1)

Kekuasaan dan hasutannya itulah yang menjadi landasan teori hegemoni Marxis dapat diterapkan, penuh dengan penindasan, otoritas, pangkat dan jabatan dijadikan tameng dan senjata untuk mendoktrin abdi-abdi dalem. Ketidakpuasan terhadap apa yang telah ia dapatkan, Mas Anggataruna masih begitu berambisi untuk mendapatkan jabatan yang lebih. Penjilat dan ingin selalu terpakai oleh Kanjeng Dalem.

...bawaning Kandjeng Dalem geus tamplok kanjaahna, Den Yogaswara diangkat kana Mantri Djero.

Ari anu disebut Mantri Djero teh nja eta hidji prijaji anu meunang kaprtjajaan ti dalem, dipapantjenan ngurus eusining padalman.

Ieu angkatan teh tangtu pisan matak nimbulkeun pasisirikan, sabab ngagntak teuing djeung ongkoh geus biasana di dunja mah, lamun aja djlma nu meunang daradjat gde teh sok dipisirik. Kitu deui ieu rentjang-rentjang sasama panakawan, ka Den Yogaswara teh seueur pisan nu giruk, nu teu ngeunaheun oge teu kurang, lantaran ngarasa kapantjat djeung njangka jen Kangdjeung Dalem pilih kasih, sabab henteu kararasaeun ari katitih pangarti kaungkulan pangabisa mah; puguh oge djelema mah ilaharna tara ngarasa di katunaan dirina. Malah Djurusimpn pisan, nu tadina sakitu ngadjeudjeuhkeunana, ajeuna mah djadi beda pasemonna npi ka sok mindng sasauran sindi-sampir.

Upama rentjang-rentjang aja pangabutuhna, Mas Anggataruna sok ngaglndng, saurna: “ah, aing mah tjetuk dawuk oge saukur didjieun tunggul, tuh ka djuragan, Mantri kakasih aja pangabutuh mah!” sasauranana kitu teh sok


(2)

ditungtungan ku djebi bari ngalahir smu ngahina: “Heh.. si urang manjang-munjung!”

Sebenarnya banyak sekali teori yang dapat diterapkan dalam roman Mantri Djero, namun pertimbangan dalam pemilihan teori yang digunakan untuk objek material ini difokuskan ke Teori Hegemoni. Teori hegemoni merupakan sebuah teori politik paling penting abad 20. Hegemoni dikembangkan oleh filsuf Marxis Italia Antonio Gramsci (1891-1937).. Antonio Gramsci dapat dipandang sebagai pemikir politik terpenting setelah Marx. Teori hegemoni dari Gramsci yang sebenarnya merupakan hasil pemikiran Gramsci ketika dipenjara yang akhirnya dibukukan dengan judul Selection from The Prissons Notebook yang banyak dijadikan acuan atau diperbandingkan khususnya dalam mengkritik pembangunan. Dalam perkembangan selanjutnya teori hegemoni ini dikritisi oleh kelompok yang dikenal dengan nama New Gramcian. Teori hegemoni dibangun di atas preis pentingnya ide dan tidak mencukupinya kekuatan fisik belaka dalam kontrol sosial politik. Menurut Gramsci, agar yang dikuasai mematuhi penguasa, yang dikuasai tidak hanya harus merasa mempunyai dan menginternalisasi nilai-nilai serta norma penguasa, lebih dari itu mereka juga harus memberi persetujuan atas subordinasi mereka. Inilah yang dimaksud Gramsci dengan hegemoni atau menguasai dengan kepemimpinan moraldan intelektual secara konsensual. Dalam kontek ini, Gramsci secara berlawanan mendudukan hegemoni, sebagai satu bentuk supermasi satu kelompok atau beberapa kelompok atas yang lainnya,


(3)

dengan bentuk supermasi lain yang ia namakan dominasi yaitu kekuasaan yang ditopang oleh kekuatan fisik (Sugiono, 1999:31).


(4)

BAB III

KESIMPULAN

Roman merupakan karya sastra yang di dalamnya memuat aspek-aspek sosial. Aspek-aspek sosial ini lah yang digali untuk dapat menerapkan teori hegemoni. Aspek-aspek sosial ini dijadikan pijakan dalam membedah roman Mantri Djero karena dengan pendekatan ekspresif maka teori hegemoni itu sendiri berarti dominasi kepemimpinan moral berdasar pandangan Gramsci.

Terlihat jelas dalam roman ini, di dalamnya telah mengungkap teori Gramsci itu sendiri dalam pengkajiannya bahwa kepemimpinan moral atau pengarahan pemikiran terjadi kepada beberapa tokoh yang terlibat di dalamnya. Hegemoni yang ada pada roman ini sebenarnya bukan hanya terdapat empat bahasan seperti yang telah dijelaskan pada pembahasan namun difokuskan kearah hegemoni yang tampak dominan yang terjadi antar tokoh yang terlibat di dalamnya.

Terapan hegemoni yang pertama pada peristiwa perebutan kekuasaan antara ayah Yogaswara, Wirautama dengan adiknya dalam menduduki jabatan Bupati meneruskan jabatan ayahnya. Kedua adalah ketika desa tempat Yogaswara tinggal di datangi oleh menak, Kapala Tjutak yang merupakan mandor dari pemerintahan untuk mempantau keadaan di desa-desa. Pertama kalinya Yogaswara menginjakan kaki di Dayeuh ternyata telah menimbulkan hegemoni, itu yang ketiga dan peristiwa terakhir dalam pembahasan adalah masa pengabdian Yogaswara di Kadaleman.


(5)

Dari aspek-aspek sosial yang ada pada cerita dapat kita temukan bahwa terdapat hegemoni yang dilakukan oleh seorang tokoh yang meghegemoni tokoh lain yang ada di dalamnya. Hegemoni itu berupa pengarahan pemikiran, adat atau kultur yang sudah menjadi aturan serta terdapat pula hegemoni yang berupa penindasan. Penindasan yang ada bukan berupa penindasan fisik melainkan penindasan pemikiran. Teori hegemoni pula yang dapat merubah pola pandang karya sastra bukan hanya sebagai suatu tulisan biasa saja tetapi dapat ditarik menjadi sebuah cerminan yang relevan untuk menggambarkan kehidupan nyata. karena hegemoni merupakan sebuah teori politik yang paling penting pada abad ke-20.


(6)

DAFTAR PUSTAKA

Kutha Ratna, Nyoman. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta. 2012: Pustaka Pelajar.

Nurgiyantoro, Burhan. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta. 2010: Gadjah Mada University Press

Rosidi, Ajip. dkk. Ensiklopedi Sunda: Alam, Manusia, Budaya (Termasuk Budaya Cirebon dan Betawi). Jakarta. 2000: Pustaka Jaya.

Rosidi, Ajip. Manusia Sunda. Bandung. 2009: PT. Kiblat Buku Utama.

Rosidi, Ajip. Ngalanglang Kasusastraan Sunda. Bandung. 2009: PT. Kiblat Buku Utama.