AJARAN HINDU DHARMA TENTANG MANUSIA

1.

AJARAN HINDU DHARMA TENTANG MANUSIA

PEMBAHASAN
Dalam pembahasan yang kedua ini adalah ajaran tentang penjadian. Brahma adalah kekuatan sang Hyang Widi waktu
menciptakan atau juga dapat disebut Perbawa(manifestasi) sang Hyang Widi pada waktu ia menciptakan. Daya cipta sang Hyang
Widi disebut Kryasaki. Dengan daya cipta ini segala sesuatu dijadikan. Akan tetapi penjadian ini bukan terjadi sekaligus selesai,
melainkan dengan perlahan-lahan melalui evolusi. Penciptaan disebut srsti, yaitu pengaliran keluar apa yang sudah ada secara
potensial di dalam sang Hyang Widi. Bagaimana dunia ini mulai diciptakan, tak dapat diketahui, karena dunia merupakan suatu
perputaran lingkaran. Jadi asal dan akhirnya tak dikenal. Yang jelas ialah bahwa di dalam kehidupan ini setiap saat ada
penciptaan (Srsti) dan setiap saat ada peleburan (Pralaya).[7]
A.

Terjadinya Manusia (Bhuwana Alit)
Mengenai terjadinya manusia diajarkan demikian: Sari pancamahabhuta, yaitu sari ether, hawa, api, air, dan bumi
bersatu menjadi sadrasa (enam rasa), yaitu: rasa manis, pahit, asam, asin, pedas, dan sepat. Kemudian unsur-unsur ini bercampur
dengan unsur-unsur yang lain, yaitu cita, budhi, ahangkara, dasendrya, pancatanmatra, dan pancamahabhuta. Pencampuran ini
menghasilkan dua unsur benih kehidupan, yaitu mani wanita (swanita) dan mani laki-laki (sukla). Kedua unsur benih kehidupan
itu bertemu. Pertemuannya terjadi seperti halnya dengan pertemuan purusa dan prakrti, serta melahirkan manusia. Oleh karena itu
maka sama halnya dengan alam semesta, manusia juga juga terdiri dari unsur-unsur cita, budhi, dan ahangkara, yang

membentuk watak budi manusia, dilengkapi dengan dasendrya dan pancatanmatra serta pancamahabhuta atau anasir-anasir kasar,
yang bersama-sama membentuk tubuh manusia.[12]
Cita, Bhudi dan Ahangkara membentuk watak budi seseorang . dasendria membentuk indrianya. Pancatanmatra dan
pancamahabhuta membentuk badan manusia/mahluk. Jika pancamahabhuta di alam besar (Macrocosmos) antara lain membentu
Triloka, yakni: 1). Bhur-loka/alam dunia bumi, 2). Bhuwah-loka/alam dunia angkasa udara dan 3). Swah-loka/ alam sorga, maka
di alam kecil (microcosmos) atau tubuh manusia/mahluk terbentuklah tiga lapis badan (Trisarira), yakni: 1) Badan kasar (Sthula
Sarira), 2) Badan Halus (Sukma-Sarira), dan 3) Badan penyebab (Karana Sarira). Kedua alam tersebut yakni alam-semesta
(Bhuwana agung/Macrocosmos) dan alam badan mahluk (Bhuwana Alit/Microcosmos) mempunyai sifat-sifat keadaan yang
bersamaan.

a.

Segala yang kental, padat dan keras pada alam maupun badan mahluk disebabkan oleh zat padat (Prthiwi).

b.

Segala sesuatu yang besifat cair di alam dunia maupun di alam mahluk disebabkan oleh unsur zat cair (Apah).

c.


Segala sesuatu yang bercahaya panas, baik di Bhuwana Agung maupun di Bhuwana Alit disebabkan oleh unsur cahaya
panas/api (Teja).

d.

Yang bersifat angin, hawa dan gas pada alam dunia serta nafas pada badan mahluk/manusia disebabkan oleh unsur gas (Bayu).

e.

Adapun unsur kekosongan/kehampaan (Vacuum) yang ada pada alam dunia dan badan mahluk/manusia disebabakan oleh unsur
ether (Akasa).
Menurut ajaran agama Hindu, manusia pertama disebut dengan nama: MANU, atau selengkapnya SWAYABHUMANU, tetapi ini bukan nama perseorangan. Sebab dalam bahasa sansekerta, Swayambhu berarti: yang menjadikan diri sendiri.
Suku kata “swayam” berarti diri sendiri, dan suku kata “bhu” berarti: menjadi, dan kata “manu” berarti “mahluk berfikir yang
menjadikan dirinya sendiri”, yakni MANUSIA PERTAMA. Istilah manu sekarang menjadi kata manusia. Menurut ajaran
Hinduisme, semua manusia adalah keturunan Manu.[13]
Jika di alam semesta atau makrokosmos pancamahabhuta atau anasir kasar membentuk triloka (Bhur-loka, Bhuwahloka, dan Swah-loka) maka di dalam manusia sebagai mikrokosmos pancamahabhuta membentuk trisarira yaitu tubuh kasar,
tubuh halus, dan tubuh penyebab. Itulah sebabnya kedua alam (makro dan mikrokosmos) memiliki sifat-sifat yang sama. Kecuali
ketiga macam tubuh dalam manusia masih terdapatAtman, yaitu percikan kecil atau sinar Parama Atman, sinar sang Hyang Widi.
Atman pada manusia disebut Jiwatman, yaitu yang menghidupkan manusia. Fungsi Atman di dalam badan manusia
saperti kusir terhadap kereta. Sebagai sinar ilahi atau percikan sang Hyang Widi, Atman memiliki sifat-sifat sang Hyang Widi,

sebagai misalnya: tak terlukai oleh senjata, tak terbakar oleh api, tak terkeringkan oleh angin, tak terbasahkan oleh air, abadi, ada
di mana-mana, tak dilahirkan, tak dipikirkan, dsb.
Sekalipun demikian manusia tidaklah sempurna, fana, dapat mati. Hal ini disebabkan karena Atman dipenjarakan di
dalam tubuh, yang mengakibatkan manusia dikuasai oleh awidya. Akibat awidya lebih lanjut ialah manusia dikuasai oleh
hukum karma dan samsara,kelahiran kembali (purnabhawa). Hukum karma tadi dapat menyebabkan orang dilahirkan kembali
sebagai manusia, tetapi juga sebagai binatang, tumbuh-tumbuhan. Jika orang dilahirkan kembali sebagai manusia, hal itu adalah
suatu keuntungan yang besar, sebab kelahiran kembali sebagai manusia memberi kesempatan untuk meningkatkan kesempurnaan
hidup, guna mengatasi kesengsaraan. Itulah sebabnya dewa-dewa pun perlu dilahirkan kembali sebagai manusia dulu, agar dapat
mencapai kebebasan abadi (nirwana).[14]
Berbeda dengan keyakinan di dalam agama islam, Kristen, yahudi, dan Zarathustra, yang mengajarkan bahwa alam
semesta itu diciptakan tuhan Yang Maha Esa dari tidak ada menjadi ada melalui iradat dan kodratnya yang tidak terbatas, maka
agama Brahma mengajarkan bahwa alam semesta itu adalah pancaran dari Brahman. Upanishad pada bagian chandogya
mengungkapkan pada kejadian alam semesta sebagai berikut:
Pada permulaan hanya ADA sendirian, Maha Esa, tanpa ada yang kedua. Dia, Yang Maha Esa itu,berpikir di dalam
dirinya: biarlah aku menjadi banyak, biarlah aku berkembang selanjutnya. Kemudian dengan zat-nya iapun melentunkan alam
semesta: setelah melentunkan zat-nya ke alam semesta, ia masuk ke dalam setiap makhluknya itu. Adapun seluruh makhluk
memiliki zat-nya yang paling halus di dalam diri tiap makhluk. Dia adalah Al-haqq, dia adalah diri. Dan begitulah, hai Svetaku,
bahwa ITU ADALAH ENGKAU.
Di dalam Upanishad pada bagian chandogya itu dikisahkan seterusnya bahwa terhadap Svetaku yang belum dapat
memahamkan hal itu. Maka Rishi Uddalaka menyuruh Svetaku meletakan kepingan garam ke dalam mangkok air. Pada

keesokannya Rishi Uddalaku menyuruh Svetaku memeriksa kepingan garam tersebut, dan hasilnya tidak ada. Kemudian Rhisi

Uddalaku menyuruh Svetaku untuk menyicipinya, dan stevaku merasakan asin pada air tersebut. Maka Rhisi Uddalaku
menjelaskan bahwa demikianlah zat Brahma merasuk ke dalam tubuh yang ada, dan itulah disebut atman.
Seorang manusia memanggilkan dirinya “aku” , sewaktu kakinya dipotong , dia masih berteriak “aku”, setelah kedua
lengannya terpotong dia masih berteriak “aku”, dan setelah badannya dicincang dia masi berteriak “aku”, hingga ketika ia
menghembuskan nafas terakhir iapun berbisik “aku”.
Lantas siapakah “aku” itu?
Menurut ajaran Brahman “aku” itu adalah atman yang merupakan proyeksi dari zat Brahman.dalam ajaran ini tampak
kesamaan dengan ajaran neoplatonism. Aliran filsafat grik yang terakhir, dibangun oleh Plotinus(205-270M) pada abad ke 3
masehi di Iskandaria. Ada yang berpendapat bahwa Plotinus pernah mendalami filsafat India. Pokok ajaran tentang mengenali dia
dalam diri sendiri dan dia terdapat pada diri seluruhnya dan dia adalah seluruhnya yang banyak dijumpai dalam Kitab Veda
terutama dalam Kitab Upanishad, melahirkan paham bahwa wujud tunggal pencipta itu meresapi seluruh alam. Paham itu di
dalam dunia filsafat disebut dengan panteism. Paham tersebut juga pernah dianut oleh sufi-sufi islam sejak abad ke 10 masehi,
oleh Jalaludin Ar-rumi pada tahun(1207-1273). Adapun paham itu juga berpengaruh dalam pihak tertentu dari mistik Kristen,
seperti St. Augustinus salah satu tokoh dalam agama Kristen yang disebut sebagai santa atau wali allah pada tahun (396-430M).
[15]

B.


Terjadinya Alam Semeta.
Alam ini dipandang oleh Hinduisme sebagai diciptakan oleh dewa Brahma berkali-kali, setelah berkali-kali mengalami
kehancuran akibat kekuatan penghancur dari Siwa Mahakala. Dalam tiap-tiap penciptaan terdapat zaman-zaman yang
mengandung 4 tingkatan (periode), yaitu:

1.

Kreta Yoga, adalah zaman terdapatnya kebahagiaan abadi.

2.

Dvapara Yoga, adalah zaman mulai timbulnya dosa/noda-noda.

3.

Treta Yoga, adalah zaman yang penuh sengsara dan merajalelanya dosa-dosa.

4.

Kali Yoga, adalah zaman yang penuh dengan kejahatan yang banyak menimpa umat manusia.

Akhirnya sebagai periode penutup, maka timbullah masa Pralaya yaitu kehancuran total dari pada alam. Tetapi sesudah
itu dewa Brahma menciptakan lagi dunia baru yang dimulai pada Malam Brahma yang digambarkan sebagai malam gelap
gulita.[8]
Menurut pendapat Harun Hadiwijino dalam bukunya, dijelaskan bahwa penciptaan alam semesta (bhuwana agung)
terjadi dengan bertapa. Kemudian sang Hyang Widi memancarkan kemahakuasaannya, artinya: tenaga pikiran yang mengeram
di dalam sang Hyang Widi dipusatkan sedemikian rupa hingga menimbulkan panas yang memancar. Pancaran panas ini

menyebabkan adanya Brahmanda (telur Brahma atau telur sang Hyang Widi). Yang di sebut telur Brahma adalah planet-planet
yang bentuknya bulat seperti telur. Proses menuju telur Brahma adalah sebagai berikut: Karena bertapa tadi terjadilah dua
kekuatan asal (potensi asal) yang disebut Purusa (kekuatan kejiwaan) dan Prakrti (kekuatan kebendaan). Kedua kekuatan ini
bertemu. Pertemuan ini menimbulkan yang disebut cita (alam pikiran) yang sudah dikuasai oleh tiga kualitas atau triguna,
yaitu sattwa, rajas, dantamah.
Sesudah itu timbullah buddhi (naluri pengenal), kemudian manah (akal dan perasaan), lalu ahangkara (rasa keakuan),
dan dasendrya (sepuluh indra), yang terdiri daripancendrya (rangsang pendengaran, perasa, pelihat, pengecap, dan pencium)
dankarmendrya (penggerak mulut, tangan, kaki, pelepasan, dan kemaluan). Setelah indra-indra ini timbullah yang
disebut pancatanmatra atau lima benih zat alam (yaitu benih suara, rasa sentuhan, penglihatan, rasa, dan penciuman). Akhirnya
unsur-unsur benda materi yang disebut pancamahabhuta (anasir kasar), yaitu ether, gas (atau hawa), sinar cahaya (apil zat cair
(air), dan zat padat (bumi). Bentuk kelima anasir bendani ini adalah atom. Karena pengolahan diri maka dari kelima mahabhuta
(anasir kasar) itu terjadilah brahmanda-brahmanda (telur Brahma), yaitu matahari, bulan, bintang-bintang, dan planet-planet,
termasuk bumi kita ini.

Seluruh alam semesta ini tersusun dari tujuh lapisan, yang makin tinggi makin halus, sesuai dengan susunan anasir
yang menguasainya, yaitu: Bhurloka, Bhuahloka, Swahloka, Mahaloka, Janaloka, Tapoloka, dan Salvaloka. Bhurloka
atau Manusialoka adalah bumi tempat kita hidup, terdiri dari campuran kelima anasir kasar tersebut dengan zat padat dan zat cair
sebagai bagian yang terbanyak. Bhuahloka adalah alam roh, disebut juga Pitraloka, dengan zat cair dan zat sinar cahaya sebagai
bagian yang terpokok. Swahloka, disebut jugaDewaloka atau Sorga, karena dihuni oleh para dewayang bersinar. Alam ini terdiri
dari sinar dan hawa sebagai bagian yang terpokok. Demikianlah terjadinya bhuwana agung atau makrokosmos.[9]
Dalam buku yang lain dijelaskan bahwa menurut ajaran Hindu, dalam rangka ciptaan (srsti) alam semesta, sang Hyang
Widi dengan ke-Maha-Kuasaan-Nya dunia diciptakan secara perlahan-lahan (dengan proses evolusi). Pada hakekatnya, dari sang
Hyang Widhi dan kembali kepadaNya pada waktu kiamat (pralaya) sebagai halnya dari badannya sendiri, kemudian pada
akhirnya menarik kembali kedalam dirinya pada waktu pralaya. Tegasnya Tuhan Yang Maha Esa/Sang Hyang Widhi menciptakan
alam semesta ini daripada diriNya sendiri, tetapi karena ke-Maha-Kuasaan-Nya, dirinya itu tetap sempurna. Dalam kitab
Upanisada ada diletakkan:
Dari yang sempurna lahirlah yang sempurna, walaupun yang sempurna (Sang Hyang Widhi) diambil oleh yang sempurna (alam
semesta) tetapi sisanya (Sang Hyang Widhi) tetap sempurna adanya”.
Kapan dunia ini diciptakan? Baik penciptaan (srsti) maupun kiamatnya (pralaya) dunia merupakan perputaran lingkaran
sehingga tidak dapat diketahui awal dan akhirnya, karena umur manusia demikian pendeknya serta ingatan manusia demikian
terbatas. Tetapi yang adalah bahwa dalam kehidupan ini adalah setiap saat ada penciptaan (srsti), setiat saat ada pralina (pralaya)
sehingga sebenarnya ini kehidupan amuba/sel-sel sampai kehidupan yang tertinggi terus mengalami “srsti-pralaya” terus
menerus. Dunia diciptakan dengan lima unsur Pancatanmatra, yakni: 1) zat ether (akasa), 2) zat cahaya (teja), 3) zat hawa (bayu),
4) zat cair (apah), dan 5) zat padat (prthiwi) yang terdapat dalam sang Hyang Widhi, atau “parama-anuNya”. ‘Parama’ artinya

yang sangat, dan ‘anu’ artinya atom. Parama anu ialah unsur-unsur yang lebih kecil dari atom. Menurut agama Hindu tidak dapat
diketahui kapan alam semesta ini diciptakan, tetapi yang jelas adalah: Sang Hyang Widhi secara kontiniu menagadakan ciptaan
sebagai tersebut dalam kitab suci Bhagavadgita, Bab III, sloka 24: [10]

“jika aku berhenti bekerja, dunia ini akan hancur-lebur. Dan aku jadi pencipta keruntuhan memusnahkan semua
mahluk/manusia ini semua”
Menurut pandangan agama Hindu terhadap alam semesta serta mahluk/manusia ciptaan Maha pencipta Sang Hyang
Widhi ini, perlu di sadari bahwa sebelum Hyang Widhi mencipta, sebenarnya tiada terdapat suatu apapun di alam semesta ini.
Pustaka Upanisada (Brihad-aranyaka dan Chandogya-Upanisada) mengatakan: “idamwa egra naiwa kincid asit, sad ewa saumnya
idam agra asit Ekam Ewa Adwitya.” Artinya “sebelum sebelum diciptakan alam ini tidak ada apa-apa. Sebelum alam diciptakan
hanya Hyang Widhi yang ada. Maha Esa dan tidak ada duanya”. Ciptaan Hyang Widhi adalah merupakan pancaran ke-MahaKuasaan-Nya (Wibhuti) Hyang Widhi Wasa sendiri. Wibhuti ini terpancar melalui TAPA. Tapa adalah pemusatan tenaga fikiran
yang terkeram hingga menimbulkan panas yang memancar. Dalam pustaka Taittrriya-Upanisadha ada disebutkan “Hyang Widhi
Wasa melakukan Tapa. Setelah melakukan Tapa, terciptalah semuanya, yaitu segala apa yang ada di alam ini. Setelah
menciptakan, kedalam ciptaanNya itu Hyang Widhi menjadi satu”. Kekuatan Tapa-Nya menyebabkan terwujudnya dunia ini.
Bentuk dunia ini bulat seperti telur, maka alam semesta ini dalam kitab PURUNA disebut “BRAHMA-ANDA” (telur Hyang
Widhi).
Demikian pula bahwa disebabkan Tapa Hyang Widhi maka terjadilah dua kekuatan asal, yakni Kekuatan Kejiwaan
(Purusa) dan Kekuatan Kebendaan (Prakrti/Pradhana). Lantaran kedua kekuatan tersebut bertemu, maka terciptalah alam semesta
ini. Perlu diketahui, bahwa terjadinya ciptaan ini bukan proses ciptaan sekaligus, melainkan tahap demi tahap atau secara proses
evolusi, dari yang halus menjadi yang kasar. Mula pertama timbullah alam fikiran (Cita/citta) yang sudah mulai dipengaruhi oleh

TRIGUNA yang terdiri atas SATWA, RAJAH dan TAMAH. Kemudian timbul naluri pengenal (BUDHI). Selanjutnya timbul
akal dan perasaan (MANAH). Lalu timbul rasa keakuan (AHANGKARA). Setelah ini timbul sepuluh sumber Indria (DASA
INDRIA) yang terbagi dua pula, yakni Panca-Budhi Indria dan Panca Karma Indria.
Panca Budhi Indria terdiri atas:
1). Rangsang pendengar (Srota Indria)
2). Rangsang perasa (Twak Indria)
3). Rangsang pelihat (Caksu Indria)
4). Rangsang pencium/pengecap (Jihwa indria)
5). Rangsang pencium (Ghrana Indria)
Panca Karma Indria terdiri atas:
1). Penggerak mulut (Wak Indria)
2). Penggerak tangan (Pani Indria)
3). Penggerak kaki (Pada Indria)
4). Penggerak pelepasan (Payu Indria)

5). Penggerak kemaluan (Upastha Indria)
Selanjutnya dari Indria-indria tersebut timbullah lima benih dari zat alam (Panca Tanmatra) yang terdiri atas:
1). Benih suara (Sabda Tanmatra)
2). Benih rasa sentuhan (Sparsa Tanmatra)
3). Benih penglihatan (Rupa Tanmatra)

4). Benih rasa (Rasa Tanmatra)
5). Benih penciuman (Gandha Tanmatra)
Dari Panca Tanmatra yang hanya merupakan benih zat alam terjadilah unsur-unsur benda materi yang nyata (Maha
Bhuta) yang dinamai Panca Maha Bhuta (lima unsur zat alam).
Panca Maha Bhuta terdiri atas:
1). Ether (akasa)
2). Gas/api (Bayu)
3). Sinar cahaya (Teja)
4). Zat cair (Apah)
5). Zat padat (Prhtiwi)
Kelima unsur zat alam tersebut berbentuk PARAMA ANU (atom-atom). Panca Maha Bhuta inilah yang mengolah diri
secara evolusi, sehingga terjadilah alam semesta ini yang terdiri pula dari Brahmanda-brahmanda seperti matahari, bulan,
bintang-bintang dan planet-planet termasuk bumi kita ini. Semuanya itu terdiri atas tujuh lapisan dunia, yakni:
1). Bhur-loka (Manussa-loka)
2). Bhuwah-loka (Pitra-loka)
3). Swah-loka (Swarga/Dewa-loka)
4). Maha-loka
5). Jana-loka
6). Tapa-loka
7). Satya-loka


Adapun perbedaan satu dunia (loka) dengan lainnya ditentukan oleh unsur mana dari Panca Maha Bhuta yang
terbanyak menguasainya. Umpamanya Bhur-loka, Bhuwah-loka dan Swah-loka juga dikenal dengan nama TRILOKA (tiga
dunia). Bhur-loka yakni tempat kita hidup ini terjadi dari campuran kelima unsur zat alam, tapi komposisi unsur terbanyak adalah
zat padat (prthiwi) dan zat cair (Apah), juga disebut Manussa-Loka. Bhuwah-loka juga dinamai Pitra-loka atau dunia roh banyak
dikuasai oleh unsur zat cair (Apah) dan zat sinar (Teja). Swah-loka disebut juga Dewa-loka atau sorga (Swarga) dikuasai oleh
unsur sinar (Teja) dan zat hawa (Bayu). Para dewa di alam dunia (loka) tersebut senantiasa bersinar/bercahaya berkat pengaruh
unsur sinar (Teja). Dewa berarti sinar cahaya. [11]

2.

AJARAN BUDDHA DHARMA TENTANG MANUSIA
1.
Ajaran Budha tentang manusia
Manusia, menurut ajaran Budha, adalah kumpulan dari kelompok energi fisik dan mental yang selalu dalam keadaan bergerak,
yang disebut Pancakhanda atau lima kelompok kegemaran yaitu:
1.
Rupakhandha (kegemaran akan wujud atau bentuk), adalah semua yang terdapat dalam makhluk yang masih berbentuk
(unsur dasar) yang dapat diserap dan dibayangkan oleh indra. Yang termasuk Rupakhandha adalah hal-hal yang berhubungan
dengan lima indra dengan obyek seperti bentuk yang terlihat, terdengar, terasa, tercium ataupun tersentuh.
2.
Vedanakhandha (kegemaran akan perasaan), adalah semua perasaan yang timbul karena adanya hubungan lima indra
manusia dengan dunia luar. Baik perasaan senang, susah ataupun netral.
3.
Sannakhandha, adalah kegemaran akan penyerapan yang menyangkut itensitas indra dalam menanggapi rangsangan
dari luar yang menyangkut enam macam penyerapan indrawi seperti bentuk-bentuk suara, bau-bauan, cita rasa, sentuhan
jasmaniah dan pikiran.
4.
Shankharakhandha adalah kegemaran bentuk-bentuk pikiran. Bentuk-bentuk pikiran disini ada 50 macam,
seperti lobha (keserakahan), chanda (keinginan), sadha(keyakinan), viriya (kemauan keras) dan sebagainya.

5.

Vinnanakhandha (kegemaran akan kesadaran) adalah kegemaran terhadap reaksi atau jawaban yang beradasarkan pada
salah satu dari keenam indra dengan obyek dari indra yang bersangkutan. Kesadaran mata misalnya, mempunyai mata sebagai
dasar dan sasaran benda-benda yang dapat dilihat. Kesadaran tersebut mengarah pada yang buruk, yang baik atau netral.[1]
Kelima Kandha tersebut sering diringkas menjadi dua yaitu nama dan rupa. Nama adalah kumpulan dari perasaan, pikiran,
penyerapan dan perasaan, yang dapat digolongkan sebagai unsur-unsur rohaniah. Rupa adalah badan jasmaniah yang terdiri dari
empat unsur materi, yaitu unsur tanah, air, api dan udara.
Pemikiran tentang manusia dalam agama Budha adalah unik, yaitu karena penyangkalannya terhadap adanya roh atau
atma yang kekal abadi dalam diri manusia. Manusia dianggap merupakan kumpulan dari lima Kandha tanpa adanya roh atau
atma di dalamnya.
Anatma merupakan ajaran yang mengatakan bahwa tiada aku yang kekal atau tetap.[2]Bila roh yang dianggap sebagai inti
manusia itu bersifat langgeng, maka tak akan terjadi suatu perkembangan ataupun kemunduran. Menurut pendapat Bertrand
Russel “Perbedaan lama antara roh dan tubuh telah usai, karena materi telah kehilangan spiritualitasnya. Psikologi sudah menjadi
ilmiah. Dalam psikologi modern kepercayaan akan kekekalan tidak mendapat suatu dukungan dari ilmu pengetahuan”.
Umat Budha setuju dengan pendapat Bertrand Russel yang menyatakan “Jelas terdapat beberapa alasan dimana aku sekarang
merupakan orang yang sama dengan aku kemarin, dan menggunakan contoh yang lebih jelas, bila aku melihat seseorang dan
mendengar ia bicara maka terdapat suatu pengertian di mana “aku” yang mendengar.[3] Anatma dapat diterangkan dalam 3
tingkatan, yaitu:
1.
Tidak terlalu mementingkan diri
2.
Kita tidak dapat memerintah terhadap siapa dan apa saja,
3.
Bila tingkatan pengetahiuan tinggi telah dicapai dan telah mempraktekkan akan pengetahuan dan menemukan bahwa
jasmani dan batinnya sendiri adalah tanpa aku.
Jika ada suatu diri yang sejati atau permanen, harus dapat diidentifikaikan. Bagaimanapun juga tubuh berubah tak henti-hentinya
dari detik ke detik, dari kelahiran sampai kematian. Pikiran bahkan berubah lebih cepat lagi. Jadi tidak dapat dikatakan bahwa
batin, badan, atau gabungan tertentu dari keduanya adalah suatu diri yang berdiri sendiri. Tidak ada yang dapat berdiri sendiri.
Tidak ada yang dapat berdiri sendiri karena badan maupun batin tergantung dari banyak faktor untuk eksis. Karena apa yang
dinamakan “diri” ini hanyalah sekumpulan faktor fisik dan mental yang terkondisi dan selalu dalam perubahan, tidak ada unsur
yang nyata atau konkrit di dalam kita. Dengan menyadari di atas, maka akan lebih mudah untuk tumbuh, belajar, berkembang,
bermura hati dan berwelas asih karena tidak merasa harus membentengi diri.[4]

Agama Budha tidak menolak sama sekali adanya suatu kepribadian dalam suatu pengertian empiris. Agama Budha hanya
bermaksud menunjukkan bahwa roh kekal tidak ada di dalam suatu pengertian mutlak. Istilah filsafat Budhis bagi seorang
individu adalah Santana, yaitu arus atau kelangsungan, yang mencakup unsur-unsur rohani dan jasmani”. Kekuatan kamma
masing-masing individu merupakan unsur-unsur batin dan jasmani.[5]
Manusia selalu berada dalam dukkha karena hidup menurut ajaran Budha selalu dalam keadaan dukkha, sebagaimana
diajarkan dalam Catur Arya Satyani tentang hakikat dari dukkha. Ada 3 macam dukkha, yaitu:
1.
Dukkha sebagai derita biasa (dukkha-dukkha)
2.
Dukkha sebagai akibat dari perubahan-perubahan (viparinamadukkha)
3.
Dukkha sebagai keadaan yang saling bergantung (sankharadukkha)
Untuk menghilangkan dukkha manusia harus mengetahui dan memahami sumber dukkha yang
disebut dukkhasamudaya, yang ada dalam diri manusia itu sendiri, yaitu berupa tanha (kehausan) yang mengakibatkan
kelangsungan dan kelahiran kembali serta keterikatan pada hawa nafsu.
Terhentinya dukkha manusia disebut dukkhanirodda yang berarti nirwana atau nibbana. Istilah “nirwana” mempunyai
pengertian khusus untuk menggambarkan akhir proses yang terjadi dalam diri manusia, yang berbeda dengan konsep surga
maupun neraka atau arti yang identik dengan itu dalam agama Islam, Kristen, ataupun Hindu. Nirwana diartikan sebagai suatu
keadaan yang harus disadari dan dipahami oleh orang-orang yang ingin mengalaminya melalui cara-cara tertentu. Isa diartikan
sebagai pemadaman, penghancuran anavas, yaitu sifat-sifat induvidualis, menuruti hawa nafsu dan kebodohan dan terlepasnya
ikatan pada hal-hal yang indrawi sehingga menjadi tidak ada kelahiran kembali.
Nirwana merupakan tujuan akhir dari semua pemeluk Buddha, baik sewaktu masih hidup maupun sesudah mati, yang
dapat dicapai oleh setiap orang dengan jalan memahami delapan jalan mulia atau Hasta Arya Marga.[6]
1.
Ajaran Budha tentang Alam
Dalam bahasa Pali, alam semesta disebut loka, menurut ajaran Budha, seluruh alam ini adalah ciptaan yang timbul dari sebabsebab yang mendahuluinya serta tidak kekal. Oleh karena itu, ia disebut sankhata dharma yang berarti ada, yang tidak mutlak
dan mempunyai corak timbul, lenyap dan berubah. Alam semesta adalah suatu proses kenyataan yang yang selalu dalam keadaan
menjadi. Hakikat kenyataan itu adalah arus perubahan dari suatu keadaan menjadi keadaan lain yang berurutan. Karena itu, alam
semesta adalah sankhara yang bersifat tidak kekal, selalu dalam perubahan dan bukan jiwa, tidak mengandung suatu substansi
yang tidak bersyarat.
Ada tiga tradisi pikiran mengenai asal muasal dunia. Tradisi pikiran pertama menyatakan bahwa dunia ini ada karena alam dan
bahwa alam bukanlah suatu kekuatan kepandaian. Bagaimanapun alam bekerja dengan caranya sendiri dan teru berubah.
Tradisi pikiran kedua berkata bahwa dunia diciptakan oleh suatu Tuhan mahakuasa yang bertanggung jawab akan segala sesuatu.
Tradisi pikiran ketiga berkata bahwa awal dunia dan kehidupan ini tidak dapat dibayangkan karena hal itu tidak memiliki awal
atau akhir. Ajaran Budha sesuai dengan tradisi ketiga ini. Bertrand Russell mendukung tradisi pikiran ini dengan berkata, “Sama
sekali tidak ada alasan untuk menganggap bahwa dunia memiliki suatu permulaan. Gagasan b
ahwa segala sesuatu harus memiliki permulaan benar-benar karena miskinnya pikiran kita.”[7]
Tentang terjadinya alam ini dikaitkan dengan hukum Pattica-Samuppada. Arti Pattica-Samuppada kurang lebih adalah “muncul
bersamaan karena syarat berantai” atau “pokok permulaan sebab akibat yang saling bergantungan”.[8]
Yang dimaksud bergantungan disini adalah unsur-unsur penyusun alam semesta, baik materi maupun mental berinteraksi satu
sama lain sedemikian hingga tidak satupun yang berdiri secara terpisah, segala sesuatu sama-sama pentingnya.[9]
Prinsip dari ajaran hukum Patticasamuppada diberikan dalam empat rumus/formula pendek yang artinya berbunyi sebagai
berikut:
1.
Dengan adanya ini, maka terjadilah itu.
2.
Dengan timbulnya ini, maka timbullah itu.
3.
Dengan tidak adanya ini, maka tidak adalah itu

4.

Dengan terhentinya ini, maka terhentilah itu.[10]

Sistem dunia selalu muncul, berubah, hancur dan hilang di dalam semesta dalam siklus yang tak berpenghujung. Ajaran Budha
tidak pernah menyatakan bahwa dunia, matahari, bulan, bintang, angin, air, siang dan malam diciptakan oleh suatu Tuhan yang
berkuasa atau seorang Budha.
Umat Budha tidak percaya bahwa dunia akan tiba-tiba berakhir dalam suatu kehancuran total sama sekali. Jika sebagian tertentu
dari alam menghilang, sebagian yang lain muncul kembali atau berevolusi dari sisa alam semesta sebelumnya.
Dalam ilmu pengetahuan, pengetahuan tentang alam semesta ditujukan untuk memungkinkan manusia untuk menguasai demi
kenyamanan material dan keamanan pribadinya. Tetapi sang Budha mengajarkan bahwa tidak ada pengetahuan nyata apapun
yang mampu membebaskan manusia dari rasa sakit.[11]
Dalam Visudha Maga 2204, loka tersebut digolong-golongkan atas shankharaloka, sattaloka, okasaloka.
Shankharaloka adalah alam makhluk yang tidak mempunyai kehendak, seperti benda-benda mati, batu, logam, emas.
Sattaloka adalah alam para makhluk hidup yang mempunyai kehendak mulai dari makhluk yang rendah hingga yang tinggi,
kelihatan atau tidak, seperti manusia, hantu, dewa. Dalam sattaloka ada 31 alam kehidupan yang dapat dikelompokkan menjadi:
1.
Kamaloka, yaitu alam kehidupan yang masih senang dengan nafsu birahi dan terikat oleh panca indranya.[12] Meliputi
11 alam yang dikelompokkan menjadi 2, yaitu:
a.) Apaya-Bumi, meliputi:

1.
Alam neraka
2.
Alam binatang
3.
Alam syetan
4.
Alam raksasa asuro.
b.) Kamasugatu-Bhumi, meliputi:
1.
Alam para Dewata yang menikmati ciptaan-ciptaan lain,
2.
Alam dewata yang menikmati ciptaannya sendiri,
3.
Alam dewata yang menikmati kesenangan,
4.
Alam dewata Yama,
5.
Alam 33 dewata
10. Alam tempat Maharaja
11. Jagat manusia[13]
Jadi Brahma tidak dapat dikatakan Tuhan yang Maha Esa karena masih berada dalam Samsaracakra yaitu lingkaran roda samsara
yaitu Roda kelahiran dan kematian. Di dalam samsaracakra ada tiga alam yaitu alam Brahma tanpa wujud, alam Brahma berujud
dan alam Kamaloka. Kamaloka terdiri dari Sorgaloka dan Bumi loka yaitu alam yang dihuni oleh para Dewa dan umat manusia.
Brahmaloka maupun Kamaloka ini diciptakan, dilahirkan karena dialam-alam tersebut masih ada penderitaan, umur tua dan mati.
[14]
1.
Ruppaloka, alam bentuk atau alam tempat tinggalnya Rupa-Brahma. Alam ini bisa dicapai dengan mengheningkan
cipta dalam samadi. Terdiri 16 alam yang dibagi menjadi 4 kelompok, yaitu:
a.) Pathama Jhana Bhumi, yaitu ada 3 alam Jhana yang pertama
12. Brahma Parisajja: alam pengikut Brahma
13. Brahma Purohita: alam para mentrinya Brahma
14. Maha Brahma: alam Brahma yang besar.
b.) Dutiya Jhana Bhumi, yaitu ada 3 alam Jhana yang kedua
15. Brahma Parittabha: alam para Brahma yang kurang bercahaya
16. Brahma Appamanabha: alam para Brahma yang tidak terbatas auranya.
17. Brahma Abbhassana: alam para Brahma yang gemerlapan cahayanya.
c.) Tatiya Jhana Bhumi, yaitu ada 3 alam Jhana yang ketiga:
18. Brahma Parittasubha: alam para Brahma yang kurang auranya,
19. Brahma Appamanasubha: alam para Brahma yang tidak terbatas auranya
20. Brahma Subhakinha: alam para Brahma yang auranya penuh dan tetap,
d.) Catutha Jhana Bhumi, yaitu ada 7 alam Jhana yang keempat,
21. Brahma Vehapphala: alam para Brahma yang besar pahalanya,
22. Brahma Asannasatta: ialah alam para Brahma yang kosong dari kesadaran,
23. Brahma Aviha: alam kediaman para makhluk yang tidak bergerak,
24. Brahma Atappa: alam kediaman para makhluk/Brahma yang suci,
25. Brahma Suddassa: alam kediaman para makhluk/Brahma yang indah,
26. Brahma Sudassi: alam keidiaman para makhluk/Brahma yang terang,
27. Brahma Akanittha: alam kediaman para makhluk/Brahma yang luhur.[15]
1.
Arupaloka (alam tanpa bentuk) adalah alam dewa yang tidak berbadan. Ada 4 alam, yaitu:
28. Akasanancayatana: keadaan konsepsi ruangan yang tanpa batas,
29. Vinnanancayatana: keadaan konsepsi kesadaran yang tanpa batas,
30. Akincannayatana: keadaan konspsi kekosongan,
31. Nevasannanasannayatana: keadaan konsepsi bukan pencerapan pun bukan tidak pencerapan.
Okasaloka adalah alam tempat. Disini terdapat dan hidup makhluk-makhluk di atas, seperti bumi adalah okasaloka tempat
manusia hidup dan tempat makhluk lain.
Seprti sudah dijelaskan diatas bahwa menurut kepercayaan agama Budha, alam tersebut di atas bukan diciptakan Tuhan,
dan Tuhan tidak mengaturnya. Agama Budha selalu menghindari membicarakan persoalan hubungan Tuhan atau alam mutlak
dengan alam yang tidak mutlak Karena dikhawatirkan dapat menimbulkan problem metafisika yang tidak habisnya. Segala
sesuatu di alam ini dikembalikan dalam rangkaian sebab akibat, berdasarkan aturan yang berlaku di mana-mana (hukum). Hukum
yang tetap, yang pasti, disebut Dharma yang mengatur tata tertib alam semesta, tidak tercipta, kekal dan immanent.
Dharma yang mengatur alam semesta disebut dharmaniyama yang dapat digolongkan menjadi lima:
1.
Utuniyama, yaitu hukum yang menguasai peristiwa-peristiwa energy.
2.
Bijaniyama, yaitu hukum yang menguasai peristiwa-peristiwa biologis.
3.
Karmaniyama, yaitu hukum yang mengatur bidang moral, yang bertumpu pada hukum sebab-akibat.
4.
Cittaniyama, yaitu hukum yang menguasai peristiwa-peristiwa batiniah.
5.
Dharmaniyama, yaitu hukum yang mengatur hal-hal yang tidak termasuk dalam keempat kelompok di atas.

Kelima hukum di atas meliputi semua gejala yang terjadi di alam semesta yang memiliki sifat sendiri dan tidak diatur oleh
kekuatan di luar hukum yang berlaku.[16]
1.
Konsep alam surga dan neraka
Surga adalah tempat sementara di mana mereka yang telah berbuat baik mengalami lebih banyak kesenangan inderawi selama
jangka waktu yang lebih lama. Neraka adalah tempat sementara lainnya di mana para pelaku kejahatan mengalami lebih banyak
penderitaan fisik dan mental. Tidak dapat dibenarkan untuk percaya bahwa tempat-tempat semacam itu adalah abadi. Tidak ada
Tuhan di belakang layar surga dan neraka. Setiap orang mengalami kesakitan atau kesenangan tergantung dari kamma baik dan
buruknya. Menurut Budha, dalam neraka akan terbakar oleh sebelas jenis kesakitan fisik dan mental: nafsu, kebencian, khayalan,
derita, kehancuran, kematian, kecemasan, ratapan, rasa sakit, kemurungan, dan kesedihan.
Definisi surga dan neraka adalah di mana pun ada lebih banyak penderitaan, baik di dunia maupun di tempat lain, tempat itu
adalah neraka bagi yang menderita. Dan di mana ada lebih banyak kebahagiaan atau kesenangan baik di dunia maupun di tempat
keberadaan lain, tempat itu adalah surga bagi mereka yang menikmati kehidupan duniawinya di tempat itu. Karena alam manusia
adalah campuran dari penderitaan dan kebahagiaan, manusia mengalami keduanya dan akan dapat menyadari sifat sejati
kehidupan.[17]
Kesimpulan
Manusia, menurut ajaran Budha, adalah kumpulan dari kelompok energi fisik dan mental yang selalu dalam keadaan bergerak,
yang disebut Pancakhanda atau lima kelompok kegemaran yaitu:
1.
Rupakhandha
2.
Vedanakhandha
3.
Sannakhandha
4.
Shankharakhandha
5.
Vinnanakhandha
Manusia selalu berada dalam dukkha karena hidup menurut ajaran Budha selalu dalam keadaan dukkha, sebagaimana diajarkan
dalam Catur Arya Satyani tentang hakikat dari dukkha. Ada 3 macam dukkha, yaitu:
1.
Dukkha sebagai derita biasa (dukkha-dukkha)
2.
Dukkha sebagai akibat dari perubahan-perubahan (viparinamadukkha)
3.
Dukkha sebagai keadaan yang saling bergantung (sankharadukkha)
Anatma merupakan ajaran yang mengatakan bahwa tiada aku yang kekal atau tetap. Bila roh yang dianggap sebagai inti manusia
itu bersifat langgeng, maka tak akan terjadi suatu perkembangan ataupun kemunduran. Menurut pendapat Bertrand Russel
“Perbedaan lama antara roh dan tubuh telah usai, karena materi telah kehilangan spiritualitasnya. Psikologi sudah menjadi ilmiah.
Dalam psikologi modern kepercayaan akan kekekalan tidak mendapat suatu dukungan dari ilmu pengetahuan”.
Tubuh berubah tak henti-hentinya dari detik ke detik, dari kelahiran sampai kematian. Pikiran bahkan berubah lebih cepat lagi.
Jadi tidak dapat dikatakan bahwa batin, badan, atau gabungan tertentu dari keduanya adalah suatu diri yang berdiri sendiri. Tidak
ada yang dapat berdiri sendiri. Tidak ada yang dapat berdiri sendiri karena badan maupun batin tergantung dari banyak faktor
untuk eksis. Karena apa yang dinamakan “diri” ini hanyalah sekumpulan faktor fisik dan mental yang terkondisi dan selalu dalam
perubahan, tidak ada unsur yang nyata atau konkrit di dalam kita.
Ada tiga tradisi pikiran mengenai asal muasal dunia. Tradisi pikiran pertama menyatakan bahwa dunia ini ada karena alam dan
bahwa alam bukanlah suatu kekuatan kepandaian. Tradisi pikiran kedua berkata bahwa dunia diciptakan oleh suatu Tuhan
mahakuasa yang bertanggung jawab akan segala sesuatu.Tradisi pikiran ketiga berkata bahwa awal dunia dan kehidupan ini tidak
dapat dibayangkan karena hal itu tidak memiliki awal atau akhir.
Terjadinya alam ini dikaitkan dengan Patticasamuppada. Prinsip dari ajaran hukum Patticasamuppada diberikan dalam empat
rumus/formula pendek yang artinya berbunyi sebagai berikut:
1.
Dengan adanya ini, maka terjadilah itu.
2.
Dengan timbulnya ini, maka timbullah itu.
3.
Dengan tidak adanya ini, maka tidak adalah itu
4.
Dengan terhentinya ini, maka terhentilah itu.
Alam didolong-golongkan atas:
Shankharaloka adalah alam makhluk yang tidak mempunyai kehendak, seperti benda-benda mati, batu, logam, emas.
Sattaloka adalah alam para makhluk hidup yang mempunyai kehendak mulai dari makhluk yang rendah hingga yang tinggi,
kelihatan atau tidak, seperti manusia, hantu, dewa. Alam ini terdiri dari 31 alam, yaitu:

4 Alam Kesengsaraan atau Alam Submanusia: alam neraka, alam hewan, alam hantu, alam asuro.


1 Alam Manusia



6 Alam Dewa



16 Alam Bentuk



4 alam Tanpa Bentuk

Okasaloka adalah alam tempat. Disini terdapat dan hidup makhluk-makhluk di atas, seperti bumi adalah okasaloka tempat
manusia hidup dan tempat makhluk lain.
Menurut Budha alam di dunia ini tidak diciptakan oleh Tuhan ataupun sang Budha. Tuhan tidak mengatur alam ini. Yang
mengatur adalah Dharma yaitu hukum yang pasti. Dharma yang mengatur alam semesta disebut dharmaniyama yang dapat
digolongkan menjadi lima:
1.
Utuniyama, yaitu hukum yang menguasai peristiwa-peristiwa energy.
2.
Bijaniyama, yaitu hukum yang menguasai peristiwa-peristiwa biologis.
3.
Karmaniyama, yaitu hukum yang mengatur bidang moral, yang bertumpu pada hukum sebab-akibat.
4.
Cittaniyama, yaitu hukum yang menguasai peristiwa-peristiwa batiniah.
10. Dharmaniyama, yaitu hukum yang mengatur hal-hal yang tidak termasuk dalam keempat kelompok di atas.
Kelima hukum di atas meliputi semua gejala yang terjadi di alam semesta yang memiliki sifat sendiri dan tidak diatur oleh
kekuatan di luar hukum yang berlaku.