perencanaan jalan (2) . pdf
BAB I
PENDAHULUAN
Jadi tujuan perencanaan jalan raya adalah menghasilkan insfrasruktur yang aman, efesiensi pelayanan lalu
lintas dan memaksimalkan rasio tingkat pelayanan /biaya pelaksanan. Ruang bentuk dan ukuran dikatakan
baik, jika dapat memberi rasa aman dan nyaman bagi pemakai jalan. Yang menjadi dasar perencanan jalan
adalah sifat gerak, ukuran kendaraan dan karakteristik arus lalu lintas. Hal-hal tersebut haruslah menjadi
bahan pertimbangan perencanaan sehingga dihasilkan bentuk dan ukuran jalan serta ruang gerak kendaraan
yang memenuhi tingkat kenyamanan dan keamanan diharapkan.
1.1. Pengenalan Jalan Raya
Jalan raya adalah suatu lintasan yang bertujuan untuk melewatkan lalu lintas dari suatu tempat ke
tempat lain. Arti lintasan adalah menyangkut jalur tanah yang diperkeras atau jalur tanah tanpa perkerasan.
Sedangkan arti lalu lintas adalah menyangkut semua benda dan makhluk yang melewati jalan tersebut, baik
kendaraan bermotor, tak bermotor seperti sepeda, manusia ataupun hewan.
Jalan raya sebagai sarana pembangunan dan membantu perkembangan wilayah adalah sangat penting sekali.
Karena itu lalu lintas di jalan raya dilakukan secara lancar dan aman sehingga pengangkutan berjalan lancar,
cepat, tepat, aman, efisien dan ekonomis. Untuk itu jalan raya harus memenuhi syarat-syarat teknis dan
ekonomis menurut fungsi, volume dan sifat-sifat lalu lintas.
1.2. Klasifikasi Jalan Raya
Dari sejarah, jalan dapat diklasifikasikan sebagai berikut :
a. Sesuai pelayanan yang didasarkan atas :
Prasarana sosial dan ekonomis (jalan ekonomis)
Prasarana politik dan militer (jalan strategi)
b. Sesuai dengan pengawasan seperti :
Jalan desa, yang meliputi semua jalan di desa.
Jalan kabupaten atau kotamadya, yang meliputi semua jalan di kabupaten dan kotamadya.
Jalan propinsi, selain melayani lalu lintas dalam propinsi, juga berfungsi menghubungkan
dengan propinsi lainnya.
Jalan negara, berfungsi menghubungkan ibukota-ibukota propinsi.
Semua jalan tersebut dibiayai oleh pemerintah setempat (DATI I/DATI II) kecuali jalan negara yang
dibiayai oleh Departemen Pekerjaan Umum (Direktorat Jenderal Bina Marga).
Klasifikasi jalan berdasarkan Undang-Undang :
Berdasarkan Undang-Undang Lalu Lintas Lama
Klasifikasi jalan didasarkan pada tekanan gandar belakang yang menyatakan berat total kendaraan yakni
berat kendaraan termasuk muatannya.
Klasifikasi Jalan
I
II
III
III A
IV
V
Berat Tekanan Gandar
7 ton
5 ton
3,5 ton
2,75 ton
2 ton
2 ton
Berdasarkan Undang-Undang Lalu Lintas Baru
Sesuai dengan Pengaturan Geometrik Jalan Raya No. 13/1970 dari Direktorat Eksplorasi, Survey dan
Perencanaan Direktorat Jenderal Bina Marga Departemen Pekerjaan Umum, maka jalan dibagi dalam kelaskelas yang berdasarkan :
a. Fungsi jalan, mencakup tiga golongan penting, yakni :
Jalan utama, yaitu jalan raya yang melayani lalu lintas berfrekwensi tinggi antara kota-kota
penting sehingga harus direncanakan untuk dapat melayani lalu lintas yang cepat dan berat.
Jalan sekunder, yaitu jalan raya yang melayani lalu lintas berfrekwensi cukup tinggi antara
kota-kota penting dan kota-kota kecil serta sekitarnya.
Jalan penghubung, yakni jalan untuk keperluan aktifitas daerah yang juga dipakai sebagai
penghubung antara jalan-jalan dari golongan yang sama atau berlainan.
b. Volume dan sifat-sifat lalu lintas
Dalam proses pembuatan jalan baru atau peningkatan jalan lama, dibutuhkan suatu perencanaan yang
matang, yang disusun berdasarkan perhitungan lalu lintas untuk lokasi jalan tersebut. Hasil perkiraan
ini akan diproyeksikan untuk tahun rencana yang nantinya dinyatakan sebagai volume lalu lintas
rencana.
Volume Lalu Lintas Rencana (VLLR) dari lalu lintas menyatakan jumlah lalu lintas perhari dalam
satu tahun untuk kedua jurusan. Untuk ini diperlukan penyelidikan lapangan 24 jam selama satu tahun
dengan mencatat setiap jenis kendaraan bermotor dan kendaraan fisik yang melewati jalan tersebut.
Jumlah lalu lintas perhari dalam satu tahun dinyatakan sebagai lalu lintas rata-rata (LHR).
LHR = Jumlah lalu lintas dalam satu tahun
Jumlah hari dalam satu tahun
Karena pada umumnya lalu lintas pada jalan raya terdiri dari campuran kendaraan cepat, lambat, berat,
ringan dan kendaraan tak bermotor atau kendaraan fisik, maka dalam hubungannya dengan kapasitas jalan
(jumlah kendaraan maksimum yang melewati satu titik/tempat dalam satu satuan waktu) mengakibatkan
adanya pengaruh dari setiap jenis kendaraan tersebut. Pengaruh ini diperhitungkan dengan
mengekivalenkan terhadap kendaraan penumpang sebagai kendaraan yang dinyatakan dengan faktor
ekivalen (FE) = 1.
Maka dengan demikian satuan LHR adalah dengan satuan mobil penumpang (smp) atau Passenger Car Unit
(PCU). Faktor ekivalen tersebut diterapkan sesuai dengan kondisi medan, sehingga didapatkan smp
ekivalen.
Jenis
Daerah
Datar Daerah
Kendaraan
dan Perbukitan
Pegunungan
Sepeda motor, sedan, jeep dan station wagon
1,0
1,0
Pick up, bis ukuran kecil, truk ringan
2,0
2,5
Bis, truk dua as
3,0
4,0
Truk bersumbu tiga, trailer
5,0
6,0
Dalam menghitung VLLR, kendaraan tak bermotor seperti sepeda, becak dan lain sebagainya, tidak
diperhitungkan sebab pengoperasiannya jauh berbeda bila dibandingkan dengan kendaraan bermotor dan
pengaruhnya atas lalu lintas kendaraan bermotor berubah tergantung volume lalu lintas kendaraan bermotor
itu sendiri.
Faktor-faktor pokok pada klasifikasi jalan raya adalah volume lalu lintas rencana, fungsi jalan raya dan
kondisi medannya. Penentuan lebar daerah manfaat jalan, alinyemen dan standar lainnya, mengikuti volume
lalu lintas rencana, sedangkan penentuan kelas-kelas standar jalan akan mengikuti fungsinya.
Berikut ini adalah Peraturan Pemerintah No. 26/1985, tentang kecepatan rencana minimum dan lebar badan
jalan minimum menurut fungsi jalan :
Untuk jalan arteri, kecepatan rencananya 60 km/jam, dan lebar badan jalan 8m.
Untuk jalan kolektor, kecepatan rencananya 40 km/jam, dan lebar badan jalan 7m.
Untuk jalan lokal, kecepatan rencananya 20 km/jam, dan lebar badan jalan 6m.
Tabel berikut menunjukkan pengelompokan jalan raya serta pengetrapan kelas standar:
Keterangan :
VLR = Volume Lalu Lintas Rencana (smp/hr)
D
= Datar
B
= Bukit
G
= Gunung
1.3. Kapasitas Jalan Raya
Kapasitas suatu jalan berarti kemampuan jalan menerima lalu lintas. Jadi kapasitas menyatakan jumlah
kendaraan maksimum yang melalui satu titik (satu tempat) dalam satu satuan waktu.
Kapasitas dibagi dalam 3 golongan :
a. Kapasitas dasar (kapasitas ideal) yaitu kapasitas jalan dalam kondisi yang ideal yang meliputi :
Lalu lintas mempunyai ukuran standar
Lebar perkerasan ideal 3,6 m
Lebar bahu 1,8 m dan tak ada penghalang
Jumlah tikungan dan tanjakan
Daerah pembebasan
b. Kapasitas rencana (design capassity) yaitu kapasitas jalan untuk perencanaan yang dinyatakan dengan
jumlah kendaraan yang melalui suatu tempat dalam satu satuan waktu (jam).
c. Kapasitas mungkin (possible capassity) yaitu jumlah kendaraan yang melalui satu titik atau tempat
dalam satu satuan waktu dengan memperhatikan kecepatan ataupun perlambatan yang terjadi pada jalan
tersebut.
Elemen dari perencanaan Geometrik jalan raya adalah:
•
Alinemen horizontal/trase jalan, terutama di titik beratkan pada perencanaan sumbu jalan. Pada gambar
tersebut akan terlihatkan apakah jalan tersebut jalan lurus, garis menikung kekiri, atau menikung kekanan.
Sumbu jalan terdiri dari rangkaian garis lurus, lengkung berbentuk lingkaran dan berbentuk lenkung
peralihan. Perencanaan geometrik jalan menfokuskan pilihan letak dan panjang dari bagian-bagian jalan,
sesuai dengan kondisi medan sehinga terpenuhi kebutuhan akan pengoperasian lalu lintas dan keamanan
(ditinjau dari jarak pandang pengemudi kendaraan ditikungan).
•
Alinemen Vertikal / penampang menmanjang jalan.
Pada gambar akan terlihat apakah jalan tersebut tanpa kelandaian, mendaki atau menurun, pada perencanaan
alinemen vertikal ini di pertimbangkan bagaimana meletakkan sumbu jalan sesuai kondisi medan dengan
menperhatikan sifat operasi kendaraan, keamanan jarak pandang dan fungsi jalan. Pemilihan alinemen
Vertikal, berkaitan dengan pekerjaan tanah yang mungkin timbul akibat adanya galian dan timbunan yang
harus di lakukan.
Kondisi yang baik antara alinemen vertikal dan horinzontal memberikan keamanan dan kenyamanan pada
pemakai jalan. Perencanaan ini diharapkan dapat miningkatkan umur pada konstruksi jalan tersebut. Selain
itu dari segi ekonomis diharapkan dapat menguntungkan.
Ada beberapa istilah dalam penampang melintang jalan :
Daerah Milik Jalan (Damija) adalah seluruh daerah manfaat jalan berikut jalur tertentu di luar daerah
manfaat jalan tersebut yang ditujukan untuk memenuhi kondisi ruang bagi pemanfaat jalan.
Daerah Manfaat Jalan (Damaja) adalah meliputi seluruh jalur lalu lintas (badan jalan, saluran tepi dan
ambang pemangaman).
Daerah Pengawasan Jalan (Dawasja), ditujukan untuk penjagaan terhadap terhalangnya pandangan
pengendara bermotor dan untuk konstruksi jalan, jika ruang daerah milik jalan tidak mencukupi.
BAB II
DATA PERENCANAAN
2.1
LHR Awal Umur Rencana
Mobil penumpang
: 400
= 400 SMP/ hari/2 arah
Bus
: 200
= 200 SMP/ hari/2 arah
Truk 2 As
:
80
=
80 SMP/ hari/2 arah
Truk 3 As
:
20
=
20 SMP/ hari/2 arah
Truk 5 As
:
4
=
4 SMP/ hari/2 arah
LHR Awal Umur Rencana
2.2
= 704 SMP/ hari/2 arah
LHR akhir umur rencana
Mobil penumpang : ( 1 + 0.07 )10 x 400
= 786.80 SMP/hari/2 arah
Bus
: ( 1 + 0.07 )10 x 200
= 393.43 SMP/hari/2 arah
Truk 2 As
: ( 1 + 0.07 )10 x 80
= 157.37 SMP/hari/2 arah
Truk 3 As
: ( 1 + 0.07 )10 x 20
=
Truk 5 As
: ( 1 + 0.07 )10 x
=
4
LHR akhir Umur Rencana
39.34 SMP/hari/2 arah
7
SMP/hari/2 arah
= 1384 SMP/hari/2 arah
Untuk menentukan kelas jalan maka :
LHR Awal Umur Rencana + LHR akhir Umur Rencana
2
=
= 1044 SMP/hari/2 arah
Jalan direncanakan adalah jalan kelas IIA sedangkan medan jalan adalah standart geometrik.
BAB III
ALINEMEN HORIZONTAL
3.3. Pengertian Umum
Alinyemen horizontal adalah garis proyeksi sumbu jalan tegak lurus bidang peta. Alinyemen horizontal
merupakan trase jalan yang terdiri dari :
Garis lurus, merupakan bagian jalan yang lurus.
Lengkungan horizontal yang disebut dengan tikungan, bagian yang sangat kritis pada alinyemen
horizontal, karena suatu benda yang bergerak dengan lintasan berbentuk lengkungan akan menerima gaya
sentrifugal yang akan melemparkan kendaraan kearah luar lengkungan.
Maka pada perencanaan tikungan agar dapat memberikan keamanan dan kenyamanan pada pemakai jalan,
perlu pertimbangan hal–hal sbb :
Lengkung peralihan
Kemiringan melintang
Superelevasi
Pelebaran pada tikungan
Kebebasan samping
3.3. Sketsa Lintasan
Tabel 3.1. Koordinat Pada Jalur Rencana
No
Titik
x (m)
y (m)
1
A
0
0
2
PI1
350
10
3
PI2
550
20
4
PI3
730
25
5
PI3
1300
15
6
B
2000
10
d total = d1 + d2 + d3 + d4 + d5
= 350 + 200 + 180 + 570 + 700
= 2000 m
3.3. Menghitung Sudut Putar
Maka:
Δ I
= α PIA – α PI 1 PI 2
= 88° 21’ 46.8” - 87º 8’ 16.8”
= 1o 13’ 33.6”
Δ II
= α PI2 – PI – α PI2 – PI3
= 88° 24’ 32.4”– 87º 8’ 16.8”
= 1o 16’ 15.6”
Δ III
= α PI2 – PI – α PIB
= 91o 0’ 18”– 88° 24’ 32.4”
= 2o 34’ 10.56”
Δ IV
= α PI2 – PI – α PIB
= 91o 0’ 18”– 90o 24’ 32.4”
= 2o 0’ 0”
BAB IV
PERENCANAAN ALINEMEM HORIZONTAL
4.1 Bentuk – Bentuk Tikungan
Tikungan dapat dibagi atas tiga jenis :
Tikungan Circle (Full Circle)
Gambar Tikungan Full Circle
Bentuk tikungan Spiral Circle Spiral
Adapun jari-jari yang diambil untuk tikungan SCS haruslah sesuai dengan kecepatan rencana dan tidak
mengakibatkan adanya kemiringan tikungan yang melebihi harga maksimum yang ditetapkan yaitu :
Kemiringan maximum jalan antar kota = 0,10
Jari-jari minimum untuk setiap kendaraan atau kecepatan rencana (pada tabel) yang ditentukan berdasarkan:
Kemiringan maximum
Koefisien gesekan melintang maksimum
Gambar Tikungan Spiral Circle Spiral
Bentuk Tikungan Spiral – Spiral
Bentuk tikungan ini dipergunakan pada tikungan yang tajam. Adapun formula–formula yang dipakai sama
seperti rumus–rumus pada tikungan SCS, cuma ada perbedaan pemakaiannya.
Gambar tikungan spiral – spiral
4.2 Rencana lengkung
4.1.1 Lengkung PI1
Rencana lengkungan PI1
-
Kelas jalan rencana IIA
-
Medan perbukitan (B)
-
Kecepatan rencana V = 70 km/jam
-
e maksimum = 10 %
1o 13’ 33.6”
-
Δ
-
Jenis tikungan di coba : Spiral – Circle – Spiral (SCS)
-
1=
R rencana = 350 m →
dari tebal 4.7 (Metode Bina Marga) hal: 113; Dasar-Dasar Perencanaan
Geometrik jalan, Silvia Sukirman didapat:
-
e = 0,080
-
Ls = 50
Maka :
Dari table Joseph Bernett untuk Ls = 50 m dan R rec = 350 maka di dapat :
P = 0.2975
K = 24.9955
= (R+P) .tg. ½ Δ + K
TS
= (350 + 0.2975) tg. ½ 1o 13’ 33.6”+ 24.9955
= 28.743 m
= (R+P) .sec. ½ Δ - R
ES
= (350 + 0.2975) sec. ½ 1o 13’ 33.6”- 350
= 0.378 m
Kontrol : 2 TS > LC
2 x 28.743 > 42.51
57.484 > 42.51 →
OK
4.1.2. Lengkung PI2
Rencana Lengkungan PI2
-
Kelas jalan rencana IIA
-
Medan perbukitan
-
Kecepatan rencana V = 70 km/jam
-
e maksimum = 10 %
1o 16’ 15.6”
-
Δ
-
Jenis tikungan di coba : Spiral – Circle – Spiral (SCS)
-
R rencana = 240 m →
-
e = 0,080
-
Ls = 50
1=
dari tebal 4.7 (Metode Bina Marga) di dapat:
Maka :
Dari table joseph bernett untuk Ls = 50 m dan R rec = 240
maka di dapat :
P = 0.4340
K = 24.9910
= (R+P) .tg. ½ Δ + K
TS
= (240 + 0.4340) tg. ½ 1o 16’ 15.6”+ 24.9910
= 27.658 m
= (R+P) .sec. ½ Δ - R
ES
= (240 + 0.4340) sec. ½ 1o 16’ 15.6”- 240
= 0.449 m
Kontrol : 2 TS > LC
2 x 27.658 > 46.676
55.316 > 46.676 →
OK
4.1.3. Lengkung PI3
Rencana Lengkungan PI3
-
Kelas jalan rencana IIA
-
Medan perbukitan
-
Kecepatan rencana V = 70 km/jam
-
e maksimum = 10 %
2o 34’ 10.56”
-
Δ
-
Jenis tikungan di coba : Spiral – Spiral (SS)
-
R rencana = 200 m →
-
e = 0,080
-
Ls min = 50 m
1=
dari tebal 4.7 (Metode Bina Marga) di dapat:
Maka :
Dari table joseph bernett untuk Ls = 50 m dan θ s
maka di dapat :
P* = 0.0014544
K*= 0.4999987
= 1.285
P = P*.Ls
P = 0.0014544*.8.970
= 0.013
K = K*.Ls
K = 0.4999987*.8.970
= 4.485
= (R+P) .tg. ½ Δ + K
TS
= (200 + 0.013) tg. ½ 2o 34’ 10.56”+ 4.485
= 8.971 m
= (R+P) .sec. ½ Δ - R
ES
= (200 + 0.013) sec. ½ 2o 34’ 10.56”- 200
= 0.064 m
4.1.4. Lengkung PI4
Rencana lengkungan PI4
-
Kelas jalan rencana IIA
-
Kecepatan rencana V = 70 km/jam
-
e maksimum = 10 %
2o 0’ 0”
-
Δ
-
Jenis tikungan di coba : Full – Circle (FC)
-
VR = 70 Km/Jam →
1=
maka dari tabel joseph bernett
diperoleh R > 700m:dan R rec = 950 m
T
= R.tg. ½ Δ
= 950 tg. ½ 2o 0’ 0” = 16.582 m
E
= T tg. ¼ Δ
= 16.582 tg. ¼ 2o 0’ 0” = 0.1447 m
Ls
= 0.01745.Δ .R
= 0.01745 x 2o 0’ 0” x 950
= 33.155 m
Kontrol : 2 T > Ls
2 x 16.582 > 33.155
33.164 > 33.155→
OK
BAB V
ALINEMEN VERTIKAL
5.1 Alinemen Vertikal
Alinemen vertikal adalah bidang tegak yang melalui sumbu jalan terhadap kemampuan kendaraan dalam
keadaan naik dan berputar penuh (truck digunakan sebagai kenderaan standar (-)). Alinemen vertikal sangat
erat dengan besarnya biaya pembangunannya. Biaya penggunaan kenderaan serta jumlah lalu lintas.
Kemampuan pendakian dari kenderaan truck dipengaruhi oleh panjang pendakian ( panjang kritis landai )
dan besarnya landai. Berikut ini adalah ketentuan untuk landai maksimum dari panjang landai maksimum.
Landai maks ( % )
3
4
5
6
Panjang Kritis ( m )
480 330 250 20
7
8
10
12
170 150 135 120
Landai maksimum hanya digunakan bila pertimbangan bi8aya sangat memaksa dan hanya untuk jarak
pendek. Panjang kritis landai adalah :
“ panjang yang dapat diterima tanpa mengakibatkan gangguan jalannya arus lalu lintas ”
( sepanjang ini mengakibatkan pengurangan sebesar 25 km/jam ). Bila pertimbangan biaya memaksa, maka
panjang kritis dapat dilampaui dengan syarat ada jalur khusus untuk kenderaan berat.
5.1.1. Lengkung Vertikal cembung
Δ
EV = panjangnya dari titik potong kedua tangan ke lengkung vertikal.(disini Y1 = EV, untuk X = ½,LV)
= perbedaan aljabar di tentukan berdasarkan:
- Syarat pandang henti dan drainase (grafik IV “PPGJR)
- Syarat pandang menyiap (grafik IV “PPGJR)
Rumus untuk lengkung vertikal cembung : Y1 = EV =
5.1.2. Lengkung Vertikal Cekung
Bentuk lengkung ini adalah analogi dengan penjelasan dari lengkung vertikal cembung di atas, hanya
panjang lengkung vertikal cekung ditentukan berdasarkan jarak pandangan waktu malam drinase sebagai
mana tercantum dalam grafik F “PPGJR”.
Note : - pada alinemen vertikal tidak semua lengkungan mengikuti syarat diatas tapi tergantung pada :
-
Keadaan medan
-
Klasifikasi jalan dan
-
Pembiayaan
-
Menentukan harga A = q2 – q1, ada dua cara :
1. Bila % ikut serta dihitung, maka rumus seperti diatas.
2. Bila % sudah dimasukkan dalam rumus, rumus menjadi :
5.2.Rencana Lengkung Vertikal I (PVI1)
Dari gambar peta topografi didapat ukuran sebegai berikut :
y1 = 10.489 m →
x1 = 425.00 m
y2 = 10.816 m →
x2 = 450.00 m
y3 = 10.826 m →
x3 = 354.00 m
q2 =
q1 =
STA PVI1
= (0 + 450)
A = g2- g1 = 1.31 % - 0.04 % = 1.27 % →
(Lengkung Vertikal Cengkung)
V = 70 km/jam
-
Syarat keamanan = (grafik VPPGJR : hal 22) ………………….
LV = 50 m →
S > LV
V = 70 km/ jam
-
Syarat keleluasaan bentuk:
LV = 0.6 V = 0.6.(70) = 42 m
-
Syarat kenyamanan : a = 0.1 m/det
LV =
∗
Elevasi BVC = elevasi PVI1 – q2 (1/2. LV)
= 10.816 – 1.31 % ( ½ .50 )
STA. BVC
= 10.488 m
= STA.PVI1 – ( 1/2.LV )
= ( 0 + 425 ) – ( ½ .50 )
∗
Elevasi S
= ( 0 + 400 )
= elevasi PVI1 – EV
= 10.816 – 0.079 m = 10.737 m
STA. S
= STA. PVI1
= ( 0 + 450 )
∗
Elevasi EVC = elevasi PVI1 – q2 ( ½ LV)
= 10.816 – 0.04 ( ½ .50 )
STA EVC
= STA. PVI1 + ( 1/2.LV )
= ( 0 + 450 ) + ( ½ .50 )
∗
Elevasi a’
= 10.071 m
= STA PVI1 – (1/4 LV)
= ( 0+ 450 ) – ( 1/4 50 )
*
Elevasi b’
= 10.316 m
= elevasi b’ - Yb
= 10.316 - 0.082
STA. b
= ( 0+ 443.75 )
= elevasi PVI1 + ( 1/4 LV )
= 10.816 + 0.04 % ( 1/4 .50 )
Elevasi b
= 9.989 m
= elevasi a’ + Ya
= 9.989 + 0.082
STA. a
= ( 0 + 475 )
= elevasi PVI1 – ( 1/4 LV )
= 10.816 – 0.04( 1/4 .50 )
Elevasi a
= 9.489 m
= 10.234 m
= STA PVI1 + (1/4 LV)
= ( 0 + 450 ) + ( 1/4 50 )
= ( 0 + 437.5)
5.3. Rencana Lengkung Vertikal II (PVI2)
Dari gambar peta topografi didapat ukuran sebegai berikut :
y1 = 11.907 m →
x1 = 1025.00 m
y2 = 12.239 m →
x2 = 1050.00 m
y3 = 11.870 m →
x3 = 1075.00 m
q2 =
q1 =
STA PVI2
= (1 + 050)
A = q2- q1 = 1.477 % - 1.33 % = 0.146 % →
(Lengkung Vertikal Cembung)
V = 70 km/jam
-
Syarat keamanan = (grafik VPPGJR : hal 22) ………………….
LV = 40 m →
S > LV
V = 70 km/ jam
-
Syarat keleluasaan bentuk:
LV = 0.6 V = 0.6.(70) = 42 m
-
Syarat kenyamanan : a = 0.1 m/det
LV =
∗
Elevasi BVC = elevasi PVI2 + g1 (1/2. LV)
= 12.239– 1.33 % ( ½ .40 ) = 11.973 m
STA. BVC
= STA.PVI2 – ( 1/2.LV )
= ( 1+ 050 ) – ( ½ .40 )
∗
Elevasi S
= elevasi PVI2 + EV
= 12.239– 0.0007 m
STA. S
= ( 1 + 070 )
= 12.241 m
= STA. PVI2
= ( 1 + 050 )
∗
Elevasi EVC = elevasi PVI2 + g2 ( ½ LV)
= 12.239– 1.476% ( ½ .40 ) = 12.534 m
STA EVC
= STA. PVI2 + ( 1/2.LV )
= ( 1 + 050 ) + ( ½ .40 )
∗
Elevasi a’
= ( 1 + 070 )
= elevasi PVI2 – ( 1/4 LV )
= 12.239– 0.1.476 % ( 1/4 .40 )
= elevasi a’ – Ya
Elevasi a
= 12.224 – 0.001
STA. a
= 8.926 m
= STA PVI2 – (1/4 LV)
= ( 1 + 050 ) – ( 1/4 . 40 )
Elevasi b’
*
= 12.224m
= ( 1+ 060 )
= elevasi PVI2 – ( 1/4 LV )
= 12.239– 0.146 % ( 1/4 . 40 )
= 12.254 m
= elevasi b’ + Yb
Elevasi b
= 12.254 + 0.001
STA. b
= 12.255 m
= STA PVI2 + (1/4 LV)
= ( 1 + 050 ) + ( 1/4 . 40 )
= ( 1 + 060 )
5.4. Rencana Lengkung Vertikal II (PVI3)
Dari gambar peta topografi didapat ukuran sebegai berikut :
y1 = 11.055 m →
x1 = 1775.00 m
y2 = 10.491 m →
x2 = 1800.00 m
y3 = 10.499 m →
x3 = 1825.00 m
q1 =
q2 =
STA PVI1
= (1 + 800)
A = g1- g2 = 2.26 % - 0.03 % = 2.23 % →
(Lengkung Vertikal Cengkung)
V = 70 km/jam
-
Syarat keamanan = (grafik VPPGJR : hal 22) ………………….
LV = 40 m →
S > LV
V = 70 km/ jam
-
Syarat keleluasaan bentuk:
LV = 0.6 V = 0.6.(70) = 42 m
-
Syarat kenyamanan : a = 0.1 m/det
LV =
∗
Elevasi BVC = elevasi PVI3 + q2 (1/2. LV)
= 10.491 – 0.032 % ( ½ .40 )
= 10.478 m
STA. BVC
= STA.PVI3 – ( 1/2.LV )
= ( + 800 ) – ( ½ 40 )
∗
Elevasi S
= ( 1 + 600 )
= elevasi PVI3 – EV
= 10.491 – 0.112 m = 10.379 m
STA. S
= STA. PVI3
= ( 1 + 800 )
∗
Elevasi EVC = elevasi PVI3 – q2 ( ½ LV)
= 10.491 – 0.032 ( ½ .40 )
STA EVC
= STA. PVI3 + ( 1/2.LV )
= ( 1 + 800 ) + ( ½ .40 )
∗
Elevasi a’
Elevasi b’
= 10.265 m
= elevasi b’ - Yb
= = 10.265 – 0.174
STA. b
= ( 1+ 600 )
= elevasi PVI3 - ( 1/4 LV )
= 10.491– 2.26 % ( 1/4 .40 )
Elevasi b
= 10.439 m
= STA PVI3 – (1/4 LV)
= ( 1+ 800 ) – ( 1/4 40 )
*
= 10.265 m
= elevasi a’ + Ya
= 10.265 + 0.174
STA. a
= ( 2 + 000 )
= elevasi PVI3 – ( 1/4 LV )
= 10.491 – 2.26 % ( 1/4 .40 )
Elevasi a
= 10.478 m
= 10.091 m
= STA PVI3 + (1/4 LV)
= ( 1 + 800 ) + ( 1/4 40 )
= ( 1 + 900 )
BAB VI
STATIONING
7.1.
Penomoran (Stationing)
Penomoran panjang jalan pada tahap perencanaan adalah memberikan nomor pada interval tertentu dari
awal pekerjaan. Nomor jalan ( STA Jalan ) dibutuhkan sebagai sarana komunikasi untuk mengenal dengan
tepat lokasi yang sedang dibicarakan. Selanjutnya menjadi panduan untuk lokasi suatu tempat. Nomor jalan
ini sangat bermanfaat pada pelaksanaan. Di samping itu dari saat penomoran jalan tersebut diperoleh
informasi tentang panjang jalan secara keseluruhan. Setiap STA jalan dilengkapi dengan gambar potongan
melintangnya.
Nomor jalan atau STA jalan ini sama fungsinya dengan patok km disepanjang jalan, perbedaanya adalah :
1.
patok Km merupakan petunjuk yang diukur dari patok Km.0.00 yang umumnya terletak di
Ibu Kota Propinsi atau Kota Madya, Patok STA merupakan petunjuk jalan yang diukur dari awal
pekerjaan (proyek) sampai dengan akhir pekerjaan.
2.
Patok km berupa patok permanen dipasang dengan ukuran standar yang berlaku. Patok STA
merupakan patok sementara selama masa pelaksanaan ruas jalan.
7.1. Metode Penomoran
STA Jalan dimulai dari 0 + 000 m yang berarti 0 m dari awal pekerjaan, STA 10 + 250 berarti lokasi jalan
terletak pada jarak 10 Km dan 250 m dari awal pekerjaan. Jika tidak terjadi perubahan arah tangen pada
alinemen horizontal maupun alinemen vertikal, penomoran selanjutnya dilakukan :
•
Setiap 100 meter pada medan mendatar
•
Setiap 50 meter pada medan perbukitan
•
Setiap 25 meter pada medan pegunungan
Pada tikungan penomoran dilakukan pada setiap titik panjang. Jadi terdapat STA titik TC dan STA titik CT
pada jenis tikungan sederhana STA titik TS, STA titik SC, STA titik ST pada tikungan jenis spiral – busur
lingkaran dan spiral.
1. STA.A
= (0.000)
STA. TS1 = STA. 0 + 000 + (d1 – TS1)
= STA. 0 + 000 (350.14 – 28.742)
= STA. 0 + 378.882 m
STA. ST1 = STA. CS1 + LC
= STA. 0 + 378.882 + (-42.51)
= STA. 0 + 336.372 m
2. STA. 1
STA TS2
= STA. 0 + 336.372 + ( d2 – TS1 – TS2 )
= STA. 0 + 336.372 + ( 200.25 – 28.742 – 27.658 )
= STA. 0 + 480.222 m
STA ST2
= STA. CS2 + LC
= STA. 0 + 480.222 + (-46.676)
= STA. 0 + 345.546 m
3. STA. 2
STA TS2
= STA. 0 + 345.546 + ( d3 – TS2 – TS3 )
= STA. 0 + 345.546 + ( 180.07 – 27.658 – 29.934 )
= STA. 0 + 468.024 m
STA ST2
= STA. CS2 + LC
= STA. 0 + 468.024 + 40.137
= STA. 0 + 508.161 m
4. STA. B
= STA.ST2 + (d5 – TS3 – TS4)
B
= STA. 0 + 508.161 + ( 806.86 – 46.8115 - 16.582)
= STA. 1 + 251.627 m
7.1. Pelebaran Pada Tikungan
Untuk mengetahui perlu tidaknya suatu pelebaran dilakukan terhadap tikungan, maka perlu diadakan suatu
tinjauan terhadap tikungan tersebut. Dalam perencanaan ini terdapat 3 tikungan, sehingga dianggap perlu
melakukan tinjauan terhadap ketiga tikungan tersebut:
b. Tinjauan Pada Tikungan PI1
Diketahui : - Kelas Jalan IIB
- Type Tikungan Spiral – Circle – Spiral (SCS)
- V = 70 km/ jam
- R = 350 m
- n = 2 jalur
- Jarak gandar P = 6.10 m →
Truck 6.5 m
- Tonjolan Depan Kenderaan A = 1.2 m →
Truck 1.5 m
- Lebar Kenderaan b = 2.5 m
- Lebar Jalur Lalu Lintas = ( 2 x 3.5 ) = 7 meter
B = Rw – R1 →
Dimana :
Rw =
R1 = ( R – 3.5 )
= ( 350 – 3.5 )
= 346.5 m
Rw =
= 349.09 m
B = Rw – R1
= 349.09 – 496.50
= 2.59 m
→
R1 = ( R – 3.5 )
Bt = n.(B + C) + Z
= 2 ( 2.590 + 0.8 ) + 0.393
Z=
= 0.393 m
= 7.173 m
Δ b = Bt – Bn
= 7.173 – 7 = 0.173 m
Jadi, Bt > Bn
Maka perlu pelebaran pada tikungan PI1 sebesar 0.173 m
c.
Tinjauan Pada Tikungan PI2
Diketahui : - Kelas Jalan IIB
- Type Tikungan Spiral – Circle – Spiral (SCS)
- V = 70 km/ jam
- R = 240 m
- n = 2 jalur
- Jarak gandar P = 6.10 m →
Truck 6.5 m
- Tonjolan Depan Kenderaan A = 1.2 m →
Truck 1.5 m
- Lebar Kenderaan b = 2.5 m
- Lebar Jalur Lalu Lintas = ( 2 x 3.5 ) = 7 meter
B = Rw – R1 →
Dimana :
→
Rw =
R1 = ( R – 3.5 )
R1 = ( R – 3.5 )
= ( 240 – 3.5 )
= 236.5 m
Rw = 239.134 m
B = Rw – R1
= 239.134 – 236.5
= 2.634 m
Bt = n.(B + C) + Z
= 2 ( 2.634 + 0.8 ) + 0.4744
Z=
= 0.4744 m
= 7.3424 m
Δ b = Bt – Bn
= 7.3424 – 7 = 0.3424 m
Jadi, Bt > Bn
Maka perlu pelebaran pada tikungan PI2 sebesar 0.3424 m
d. Tinjauan Pada Tikungan PI3
Diketahui : - Kelas Jalan IIB
- Type Tikungan Spiral –Spiral (SCS)
- V = 70 km/ jam
- R = 200 m
- n = 2 jalur
- Jarak gandar P = 6.10 m →
Truck 6.5 m
- Tonjolan Depan Kenderaan A = 1.2 m →
Truck 1.5 m
- Lebar Kenderaan b = 2.5 m
- Lebar Jalur Lalu Lintas = ( 2 x 3.5 ) = 7 meter
B = Rw – R1 →
Dimana :
→
Rw =
R1 = ( R – 3.5 )
R1 = ( R – 3.5 )
= ( 200 – 3.5 )
= 196.5 m
Rw = 199.161 m
B = Rw – R1
= 199.161 – 196.5
= 2.661 m
Bt = n.(B + C) + Z
Z=
= 2 ( 2.661 + 0.8 ) + 0.5197
= 0.5197 m
= 7.4417 m
Δ b = Bt – Bn
= 7.4417 – 7 = 0.4417 m
Jadi, Bt > Bn
Maka perlu pelebaran pada tikungan PI2 sebesar 0.4417 m
e.
Tinjauan Pada Tikungan PI4
Diketahui : - Kelas Jalan IIB
- Type Tikungan Full – Circle (FC)
- V = 70 km/ jam
- R = 950 m
- n = 2 jalur
- Jarak gandar P = 6.10 m →
Truck 6.5 m
- Tonjolan Depan Kenderaan A = 1.2 m →
Truck 1.5 m
- Lebar Kenderaan b = 2.5 m
- Lebar Jalur Lalu Lintas = ( 2 x 3.5 ) = 7 meter
B = Rw – R1 →
Dimana :
Rw =
R1 = ( R – 3.5 )
= ( 950 – 3.5 )
= 946.5 m
Rw = 949.034 m
B = Rw – R1
= 949.034 – 946.5
= 2.534 m
→
R1 = ( R – 3.5 )
Bt = n.(B + C) + Z
Z=
= 2 ( 2.534 + 0.8 ) + 0.2385
= 0.2385 m
= 7.001 m
Δ b = Bt – Bn
= 7.001 – 7 = 0.001 m
Jadi, Bt > Bn
Maka perlu pelebaran pada tikungan PI2 sebesar 0.001 m
7.1. Diagram Super Elevasi
Pada perencanaan ini ada 2 buah diagram super elevasi diantaranya adalah:
1. Tinjauan pada tikungan PI1
Diketahui : - V
- R
= 350 m
- Ls
= 50 m
= 70 km/jam
- e max = 8 %
- en
=2%
- m
= 135 m→
Tabel 4.5 “Buku Dasar-dasar Perencanaan
Geomegtrik Jalan” ( Silvia Sukirman 1994 Bandung, Hal 101 )
a.
Menghitung Panjang LS
LS
= ( en + e max ) . ½ . B . m
= ( 0.02 + 0.08 ) x ½ x 7 x 125 = 43.75 m
b. Menghitung Panjang Pencapaian Awal Kemiringan
2. Tinjauan pada tikungan PI2
Diketahui : - V
- R
= 240 m
- Ls
= 50 m
= 70 km/jam
- e max = 7 %
- en
=2%
- m
= 125 m→
Tabel 4.5 “Buku Dasar-dasar Perencanaan
Geomegtrik Jalan” ( Silvia Sukirman 1994 Bandung, Hal 101 )
a.
LS
Menghitung Panjang LS
= ( en + e max ) . ½ . B . m
= ( 0.02 + 0.07 ) x ½ x 7 x 125 = 39.375 m
b. Menghitung Panjang Pencapaian Awal Kemiringan
3. Tinjauan pada tikungan PI3
Diketahui : - V
- R
= 200 m
- Ls
= 50 m
= 70 km/jam
- e max = 9 %
- en
=2%
- m
= 125 m→
Tabel 4.5 “Buku Dasar-dasar Perencanaan
Geomegtrik Jalan” ( Silvia Sukirman 1994 Bandung, Hal 101 )
a.
Menghitung Panjang LS
LS
= ( en + e max ) . ½ . B . m
= ( 0.02 + 0.09 ) x ½ x 7 x 125 = 48.125 m
b. Menghitung Panjang Pencapaian Awal Kemiringan
4. Tinjauan pada tikungan PI4
Diketahui : - V
- R
= 950 m
- Ls
= 50 m
= 70 km/jam
- e max = 3 %
- en
=2%
- m
= 125 m→
Tabel 4.5 “Buku Dasar-dasar Perencanaan
Geomegtrik Jalan” ( Silvia Sukirman 1994 Bandung, Hal 101 )
a.
LS
Menghitung Panjang LS
= ( en + e max ) . ½ . B . m
= ( 0.02 + 0.03 ) x ½ x 7 x 125 = 21.875 m
b. Menghitung Panjang Pencapaian Awal Kemiringan
BAB VII
GALIAN DAN TIMBUNAN
7.1.Perhitungan Galian dan Timbunan
Galian yaitu jumlah volume tanah yang dibuang pada perencanaan sebuah jalan raya yang bertujuan untuk
membentuk badan jalan raya yang baik dan rata. Dan sebaliknya, timbunan yaitu jumlah volume tanah yang
ditimbun untuk membentuk badan jalan yang rata dan baik.
Dalam perencanaan Jalan Raya di usahakan agarvolume galian sama dengan volume timbunan. Dengan
mengkombinasikan alinyemen horizontal dan alinyemen vertical maka dapatr dipakai untuk menghitung
banyaknya volume galian dari timbunanan. Langkah-langkah perhitungan galian timbunan adalah sebagai
berikut :
1.
penentuan galian stationing (jarak pokok) sehungga panjang horizontal jalar alinyemen
(trase)
2.
Gambar profil memanjang (alinyemen vertical) yang mempelihatkan perbedaan tinngi muka
tanah asli dengan muka perkersann yang akan direncanakan.
3.
Gambar profil melintang pada setiap titik stasioning, sehinngga didapat luas penampang
galian dan timbunan yang diukur dengan alat planimetri.
4.
Hitung volume galian dan timbunan dengan mengalikan luas penampang rat-rata dari galian
atau timbunan dengan jarak antar patok (stasioning)
Untuk menghitung panjang horizontal jalan dibuatkan patok (station) dengan ketentuan – ketentuan sebagai
berikut :
-
Untuk daerah datar, jarak antara patok (station)
= 100
-
Untuk daerah bukit, jarak antara patok (station)
= 50
-
Untuk daerah gunung, jarak antara patok (station) = 25
Rumus yang dugunakan untuk menghitung galian dan timbunan :
Luas Trapesium
= ½ (b+d).t
Dimana :
b = Lebar bawah trapezium
d = Lebar atas trapezium
t = Tinggi trapezium
Luas Jajaran Genjang = b.t
Dimana :
b = Lebar bawah Jajaran Genjang
t = Tinggi Jajaran Genjang
Luas Segi Tiga
= ½.a.t
Dimana :
a = Lebar bawah/alas Segi Tiga
t = Tinggi Segi Tiga
BAB VIII
PERENCANAAN TEBAL PERKERASAN
Berdasarkan pedoman peraturan perkerasan lentur jalan raya nomor : 01/PD/BM/1987
8.1. Data-data Lalu Lintas
Umur Rencana
: 15 Tahun
Pertumbuhan Lalu Lintas
: 7 % per tahun
CBR Sub Grade
: 6%
Curah Hujan
: 900 mm/Tahun
Mobil Penumpang
: 400 Kenderaan / Hari / 2 arah
Bus
: 200 Kenderaan / Hari / 2 arah
Truck 2 AS
: 80 Kenderaan / Hari / 2 arah
Truck 3 AS
: 20 Kenderaan / Hari / 2 arah
Truck 5 AS
:
4 Kenderaan / Hari / 2 arah
Lapisan Perkerasan
Surace Coure
: Aspal Beton
Base Coure
: Batu Pecah
Sub Base Coure
: Base Class A, B , Material Pilihan
Medan
: Standart Geometrik
Kecepatan Rencana
: 70 km/jam
Indeks Permukaan (IP) : 2.0 Aspal Beton
Faktor Regional
: 2.0 Curah Hujan 900 mm/tahun
8.2. Menghitung Angka Ekivalen (E)
∗
Mobil Penumpang 2 Ton (1 + 1)
As depan 1 ton dan As belakang 1 ton
( 0.0002 + 0.0002 ) = 0.0004 →
∗
Bus 8 Ton (3 + 5)
( 0.0183 + 0.1410 ) = 0.1593 →
∗
E 2As 13T
Truck 3 As 20 Ton (6 + 7.7)
( 0.2923 + 0.7452 ) = 1.0375 →
∗
EB
Truck 2 As 13 Ton (5 + 8)
( 0.1410 + 0.9238 ) = 1.0648 →
∗
E Kr
E 3As 20T
Truck 5 As 30 Ton (6 + 7.7 + 5 + 5)
( 1.0375 + 2(0.1410)) = 1.3195 →
E 5As 30T
8.3. Menghitung Tebal Perkerasan
a.
Data-data lalu lintas
−
LHR Awal Umur Rencana
Mobil penumpang : 400
= 400 SMP/ hari/2 arah
Bus
: 200
= 200 SMP/ hari/2 arah
Truk 2 As
:
80
=
80 SMP/ hari/2 arah
Truk 3 As
:
20
=
20 SMP/ hari/2 arah
Truk 5 As
:
4
=
4 SMP/ hari/2 arah
LHR Awal Umur Rencana
−
= 704 SMP/ hari/2 arah
LHR Akhir Umur Rencana
Mobil penumpang : ( 1 + 0.05 )10 x 700
= 786.80 SMP/hari/2 arah
Bus
: ( 1 + 0.05 )10 x 900
= 393.43 SMP/hari/2 arah
Truk 2 As
: ( 1 + 0.05 )10 x 450
= 157.37 SMP/hari/2 arah
Truk 3 As
: ( 1 + 0.05 )10 x 80
=
Truk 5 As
: ( 1 + 0.05 )10 x 30
=
LHR akhir Umur Rencana
−
= 1384
39.34 SMP/hari/2 arah
7
SMP/hari/2 arah
SMP/hari/2 arah
Menghitung LEP (Lintas Ekvalen Permulaan)
Mobil Penumpang
: 0.5 x 400 x 0.0004
=
0.08
Bus
: 0.5 x 200 x 0.1593
=
15.93
Truck 2 AS
: 0.5 x 80 x 1.0648
=
42.592
Truck 3 AS
: 0.5 x 20 x 1.0375 = 10.375
Truck 5 AS
: 0.5 x
4 x 1.3195 =
LEP (Lintas Ekvalen Permulaan)
−
2.129
= 71.107
Menghitung LEA (Lintas Ekivalen Akhir)
Mobil Penumpang
: 0.5 x 777.213 x 0.0004
=
Bus
: 0.5 x 999.274 x 0.1593
= 61.646
Truck 2 AS
: 0.5 x 499.637 x 1.0648
= 164.815
Truck 3 AS
: 0.5 x 88.824 x 1.0375
= 40.405
Truck 5 AS
: 0.5 x 33.309 x 1.3195
=
LEA (Lintas Ekivalen Akhir)
0.309
9.000
= 276.173
−
LET = ½ (LEP +LEA) = ½ (71.107 + 276.174) = 173.640
−
LER
= LET x UR/10
= 173.640 x 10/10
= 173.640
b. Mencari ITP
CBR Tanah Dasar
= 6%
DDT
=5
IP
= 2.0
FR
= 0.7
ITP
= 7.25 →
LER
= 173.640
c.
(IP0 = 3.9 – 3.5) Nomogram
Bahan
D = Tebal minimum (cm)
Aspal Beton
Batu Pecah
Sirtu Kelas C
7.5
20
10
Menghitung Koefisien Kekuatan relatif :
Asppal Beton MS
: 0.40
Batu Pecah
: 0.14
Sirtu Kelas C
: 0.11
ITP = a1 . D1 + a2 . D2 + a3 . D3
7.25 = (0.40 x D1) + (0.14 x 20) + (0.11 x 10)
D1
= 8.37 cm atau 9 cm
Jadi susunan tebal perkerasan adalah :
−
Aspal Beton (MS 744)
= 9 cm
−
Batu Pecah CBR 100%
= 20 cm
−
Sirtu Kelas C CBR 30%
= 10 cm
PENDAHULUAN
Jadi tujuan perencanaan jalan raya adalah menghasilkan insfrasruktur yang aman, efesiensi pelayanan lalu
lintas dan memaksimalkan rasio tingkat pelayanan /biaya pelaksanan. Ruang bentuk dan ukuran dikatakan
baik, jika dapat memberi rasa aman dan nyaman bagi pemakai jalan. Yang menjadi dasar perencanan jalan
adalah sifat gerak, ukuran kendaraan dan karakteristik arus lalu lintas. Hal-hal tersebut haruslah menjadi
bahan pertimbangan perencanaan sehingga dihasilkan bentuk dan ukuran jalan serta ruang gerak kendaraan
yang memenuhi tingkat kenyamanan dan keamanan diharapkan.
1.1. Pengenalan Jalan Raya
Jalan raya adalah suatu lintasan yang bertujuan untuk melewatkan lalu lintas dari suatu tempat ke
tempat lain. Arti lintasan adalah menyangkut jalur tanah yang diperkeras atau jalur tanah tanpa perkerasan.
Sedangkan arti lalu lintas adalah menyangkut semua benda dan makhluk yang melewati jalan tersebut, baik
kendaraan bermotor, tak bermotor seperti sepeda, manusia ataupun hewan.
Jalan raya sebagai sarana pembangunan dan membantu perkembangan wilayah adalah sangat penting sekali.
Karena itu lalu lintas di jalan raya dilakukan secara lancar dan aman sehingga pengangkutan berjalan lancar,
cepat, tepat, aman, efisien dan ekonomis. Untuk itu jalan raya harus memenuhi syarat-syarat teknis dan
ekonomis menurut fungsi, volume dan sifat-sifat lalu lintas.
1.2. Klasifikasi Jalan Raya
Dari sejarah, jalan dapat diklasifikasikan sebagai berikut :
a. Sesuai pelayanan yang didasarkan atas :
Prasarana sosial dan ekonomis (jalan ekonomis)
Prasarana politik dan militer (jalan strategi)
b. Sesuai dengan pengawasan seperti :
Jalan desa, yang meliputi semua jalan di desa.
Jalan kabupaten atau kotamadya, yang meliputi semua jalan di kabupaten dan kotamadya.
Jalan propinsi, selain melayani lalu lintas dalam propinsi, juga berfungsi menghubungkan
dengan propinsi lainnya.
Jalan negara, berfungsi menghubungkan ibukota-ibukota propinsi.
Semua jalan tersebut dibiayai oleh pemerintah setempat (DATI I/DATI II) kecuali jalan negara yang
dibiayai oleh Departemen Pekerjaan Umum (Direktorat Jenderal Bina Marga).
Klasifikasi jalan berdasarkan Undang-Undang :
Berdasarkan Undang-Undang Lalu Lintas Lama
Klasifikasi jalan didasarkan pada tekanan gandar belakang yang menyatakan berat total kendaraan yakni
berat kendaraan termasuk muatannya.
Klasifikasi Jalan
I
II
III
III A
IV
V
Berat Tekanan Gandar
7 ton
5 ton
3,5 ton
2,75 ton
2 ton
2 ton
Berdasarkan Undang-Undang Lalu Lintas Baru
Sesuai dengan Pengaturan Geometrik Jalan Raya No. 13/1970 dari Direktorat Eksplorasi, Survey dan
Perencanaan Direktorat Jenderal Bina Marga Departemen Pekerjaan Umum, maka jalan dibagi dalam kelaskelas yang berdasarkan :
a. Fungsi jalan, mencakup tiga golongan penting, yakni :
Jalan utama, yaitu jalan raya yang melayani lalu lintas berfrekwensi tinggi antara kota-kota
penting sehingga harus direncanakan untuk dapat melayani lalu lintas yang cepat dan berat.
Jalan sekunder, yaitu jalan raya yang melayani lalu lintas berfrekwensi cukup tinggi antara
kota-kota penting dan kota-kota kecil serta sekitarnya.
Jalan penghubung, yakni jalan untuk keperluan aktifitas daerah yang juga dipakai sebagai
penghubung antara jalan-jalan dari golongan yang sama atau berlainan.
b. Volume dan sifat-sifat lalu lintas
Dalam proses pembuatan jalan baru atau peningkatan jalan lama, dibutuhkan suatu perencanaan yang
matang, yang disusun berdasarkan perhitungan lalu lintas untuk lokasi jalan tersebut. Hasil perkiraan
ini akan diproyeksikan untuk tahun rencana yang nantinya dinyatakan sebagai volume lalu lintas
rencana.
Volume Lalu Lintas Rencana (VLLR) dari lalu lintas menyatakan jumlah lalu lintas perhari dalam
satu tahun untuk kedua jurusan. Untuk ini diperlukan penyelidikan lapangan 24 jam selama satu tahun
dengan mencatat setiap jenis kendaraan bermotor dan kendaraan fisik yang melewati jalan tersebut.
Jumlah lalu lintas perhari dalam satu tahun dinyatakan sebagai lalu lintas rata-rata (LHR).
LHR = Jumlah lalu lintas dalam satu tahun
Jumlah hari dalam satu tahun
Karena pada umumnya lalu lintas pada jalan raya terdiri dari campuran kendaraan cepat, lambat, berat,
ringan dan kendaraan tak bermotor atau kendaraan fisik, maka dalam hubungannya dengan kapasitas jalan
(jumlah kendaraan maksimum yang melewati satu titik/tempat dalam satu satuan waktu) mengakibatkan
adanya pengaruh dari setiap jenis kendaraan tersebut. Pengaruh ini diperhitungkan dengan
mengekivalenkan terhadap kendaraan penumpang sebagai kendaraan yang dinyatakan dengan faktor
ekivalen (FE) = 1.
Maka dengan demikian satuan LHR adalah dengan satuan mobil penumpang (smp) atau Passenger Car Unit
(PCU). Faktor ekivalen tersebut diterapkan sesuai dengan kondisi medan, sehingga didapatkan smp
ekivalen.
Jenis
Daerah
Datar Daerah
Kendaraan
dan Perbukitan
Pegunungan
Sepeda motor, sedan, jeep dan station wagon
1,0
1,0
Pick up, bis ukuran kecil, truk ringan
2,0
2,5
Bis, truk dua as
3,0
4,0
Truk bersumbu tiga, trailer
5,0
6,0
Dalam menghitung VLLR, kendaraan tak bermotor seperti sepeda, becak dan lain sebagainya, tidak
diperhitungkan sebab pengoperasiannya jauh berbeda bila dibandingkan dengan kendaraan bermotor dan
pengaruhnya atas lalu lintas kendaraan bermotor berubah tergantung volume lalu lintas kendaraan bermotor
itu sendiri.
Faktor-faktor pokok pada klasifikasi jalan raya adalah volume lalu lintas rencana, fungsi jalan raya dan
kondisi medannya. Penentuan lebar daerah manfaat jalan, alinyemen dan standar lainnya, mengikuti volume
lalu lintas rencana, sedangkan penentuan kelas-kelas standar jalan akan mengikuti fungsinya.
Berikut ini adalah Peraturan Pemerintah No. 26/1985, tentang kecepatan rencana minimum dan lebar badan
jalan minimum menurut fungsi jalan :
Untuk jalan arteri, kecepatan rencananya 60 km/jam, dan lebar badan jalan 8m.
Untuk jalan kolektor, kecepatan rencananya 40 km/jam, dan lebar badan jalan 7m.
Untuk jalan lokal, kecepatan rencananya 20 km/jam, dan lebar badan jalan 6m.
Tabel berikut menunjukkan pengelompokan jalan raya serta pengetrapan kelas standar:
Keterangan :
VLR = Volume Lalu Lintas Rencana (smp/hr)
D
= Datar
B
= Bukit
G
= Gunung
1.3. Kapasitas Jalan Raya
Kapasitas suatu jalan berarti kemampuan jalan menerima lalu lintas. Jadi kapasitas menyatakan jumlah
kendaraan maksimum yang melalui satu titik (satu tempat) dalam satu satuan waktu.
Kapasitas dibagi dalam 3 golongan :
a. Kapasitas dasar (kapasitas ideal) yaitu kapasitas jalan dalam kondisi yang ideal yang meliputi :
Lalu lintas mempunyai ukuran standar
Lebar perkerasan ideal 3,6 m
Lebar bahu 1,8 m dan tak ada penghalang
Jumlah tikungan dan tanjakan
Daerah pembebasan
b. Kapasitas rencana (design capassity) yaitu kapasitas jalan untuk perencanaan yang dinyatakan dengan
jumlah kendaraan yang melalui suatu tempat dalam satu satuan waktu (jam).
c. Kapasitas mungkin (possible capassity) yaitu jumlah kendaraan yang melalui satu titik atau tempat
dalam satu satuan waktu dengan memperhatikan kecepatan ataupun perlambatan yang terjadi pada jalan
tersebut.
Elemen dari perencanaan Geometrik jalan raya adalah:
•
Alinemen horizontal/trase jalan, terutama di titik beratkan pada perencanaan sumbu jalan. Pada gambar
tersebut akan terlihatkan apakah jalan tersebut jalan lurus, garis menikung kekiri, atau menikung kekanan.
Sumbu jalan terdiri dari rangkaian garis lurus, lengkung berbentuk lingkaran dan berbentuk lenkung
peralihan. Perencanaan geometrik jalan menfokuskan pilihan letak dan panjang dari bagian-bagian jalan,
sesuai dengan kondisi medan sehinga terpenuhi kebutuhan akan pengoperasian lalu lintas dan keamanan
(ditinjau dari jarak pandang pengemudi kendaraan ditikungan).
•
Alinemen Vertikal / penampang menmanjang jalan.
Pada gambar akan terlihat apakah jalan tersebut tanpa kelandaian, mendaki atau menurun, pada perencanaan
alinemen vertikal ini di pertimbangkan bagaimana meletakkan sumbu jalan sesuai kondisi medan dengan
menperhatikan sifat operasi kendaraan, keamanan jarak pandang dan fungsi jalan. Pemilihan alinemen
Vertikal, berkaitan dengan pekerjaan tanah yang mungkin timbul akibat adanya galian dan timbunan yang
harus di lakukan.
Kondisi yang baik antara alinemen vertikal dan horinzontal memberikan keamanan dan kenyamanan pada
pemakai jalan. Perencanaan ini diharapkan dapat miningkatkan umur pada konstruksi jalan tersebut. Selain
itu dari segi ekonomis diharapkan dapat menguntungkan.
Ada beberapa istilah dalam penampang melintang jalan :
Daerah Milik Jalan (Damija) adalah seluruh daerah manfaat jalan berikut jalur tertentu di luar daerah
manfaat jalan tersebut yang ditujukan untuk memenuhi kondisi ruang bagi pemanfaat jalan.
Daerah Manfaat Jalan (Damaja) adalah meliputi seluruh jalur lalu lintas (badan jalan, saluran tepi dan
ambang pemangaman).
Daerah Pengawasan Jalan (Dawasja), ditujukan untuk penjagaan terhadap terhalangnya pandangan
pengendara bermotor dan untuk konstruksi jalan, jika ruang daerah milik jalan tidak mencukupi.
BAB II
DATA PERENCANAAN
2.1
LHR Awal Umur Rencana
Mobil penumpang
: 400
= 400 SMP/ hari/2 arah
Bus
: 200
= 200 SMP/ hari/2 arah
Truk 2 As
:
80
=
80 SMP/ hari/2 arah
Truk 3 As
:
20
=
20 SMP/ hari/2 arah
Truk 5 As
:
4
=
4 SMP/ hari/2 arah
LHR Awal Umur Rencana
2.2
= 704 SMP/ hari/2 arah
LHR akhir umur rencana
Mobil penumpang : ( 1 + 0.07 )10 x 400
= 786.80 SMP/hari/2 arah
Bus
: ( 1 + 0.07 )10 x 200
= 393.43 SMP/hari/2 arah
Truk 2 As
: ( 1 + 0.07 )10 x 80
= 157.37 SMP/hari/2 arah
Truk 3 As
: ( 1 + 0.07 )10 x 20
=
Truk 5 As
: ( 1 + 0.07 )10 x
=
4
LHR akhir Umur Rencana
39.34 SMP/hari/2 arah
7
SMP/hari/2 arah
= 1384 SMP/hari/2 arah
Untuk menentukan kelas jalan maka :
LHR Awal Umur Rencana + LHR akhir Umur Rencana
2
=
= 1044 SMP/hari/2 arah
Jalan direncanakan adalah jalan kelas IIA sedangkan medan jalan adalah standart geometrik.
BAB III
ALINEMEN HORIZONTAL
3.3. Pengertian Umum
Alinyemen horizontal adalah garis proyeksi sumbu jalan tegak lurus bidang peta. Alinyemen horizontal
merupakan trase jalan yang terdiri dari :
Garis lurus, merupakan bagian jalan yang lurus.
Lengkungan horizontal yang disebut dengan tikungan, bagian yang sangat kritis pada alinyemen
horizontal, karena suatu benda yang bergerak dengan lintasan berbentuk lengkungan akan menerima gaya
sentrifugal yang akan melemparkan kendaraan kearah luar lengkungan.
Maka pada perencanaan tikungan agar dapat memberikan keamanan dan kenyamanan pada pemakai jalan,
perlu pertimbangan hal–hal sbb :
Lengkung peralihan
Kemiringan melintang
Superelevasi
Pelebaran pada tikungan
Kebebasan samping
3.3. Sketsa Lintasan
Tabel 3.1. Koordinat Pada Jalur Rencana
No
Titik
x (m)
y (m)
1
A
0
0
2
PI1
350
10
3
PI2
550
20
4
PI3
730
25
5
PI3
1300
15
6
B
2000
10
d total = d1 + d2 + d3 + d4 + d5
= 350 + 200 + 180 + 570 + 700
= 2000 m
3.3. Menghitung Sudut Putar
Maka:
Δ I
= α PIA – α PI 1 PI 2
= 88° 21’ 46.8” - 87º 8’ 16.8”
= 1o 13’ 33.6”
Δ II
= α PI2 – PI – α PI2 – PI3
= 88° 24’ 32.4”– 87º 8’ 16.8”
= 1o 16’ 15.6”
Δ III
= α PI2 – PI – α PIB
= 91o 0’ 18”– 88° 24’ 32.4”
= 2o 34’ 10.56”
Δ IV
= α PI2 – PI – α PIB
= 91o 0’ 18”– 90o 24’ 32.4”
= 2o 0’ 0”
BAB IV
PERENCANAAN ALINEMEM HORIZONTAL
4.1 Bentuk – Bentuk Tikungan
Tikungan dapat dibagi atas tiga jenis :
Tikungan Circle (Full Circle)
Gambar Tikungan Full Circle
Bentuk tikungan Spiral Circle Spiral
Adapun jari-jari yang diambil untuk tikungan SCS haruslah sesuai dengan kecepatan rencana dan tidak
mengakibatkan adanya kemiringan tikungan yang melebihi harga maksimum yang ditetapkan yaitu :
Kemiringan maximum jalan antar kota = 0,10
Jari-jari minimum untuk setiap kendaraan atau kecepatan rencana (pada tabel) yang ditentukan berdasarkan:
Kemiringan maximum
Koefisien gesekan melintang maksimum
Gambar Tikungan Spiral Circle Spiral
Bentuk Tikungan Spiral – Spiral
Bentuk tikungan ini dipergunakan pada tikungan yang tajam. Adapun formula–formula yang dipakai sama
seperti rumus–rumus pada tikungan SCS, cuma ada perbedaan pemakaiannya.
Gambar tikungan spiral – spiral
4.2 Rencana lengkung
4.1.1 Lengkung PI1
Rencana lengkungan PI1
-
Kelas jalan rencana IIA
-
Medan perbukitan (B)
-
Kecepatan rencana V = 70 km/jam
-
e maksimum = 10 %
1o 13’ 33.6”
-
Δ
-
Jenis tikungan di coba : Spiral – Circle – Spiral (SCS)
-
1=
R rencana = 350 m →
dari tebal 4.7 (Metode Bina Marga) hal: 113; Dasar-Dasar Perencanaan
Geometrik jalan, Silvia Sukirman didapat:
-
e = 0,080
-
Ls = 50
Maka :
Dari table Joseph Bernett untuk Ls = 50 m dan R rec = 350 maka di dapat :
P = 0.2975
K = 24.9955
= (R+P) .tg. ½ Δ + K
TS
= (350 + 0.2975) tg. ½ 1o 13’ 33.6”+ 24.9955
= 28.743 m
= (R+P) .sec. ½ Δ - R
ES
= (350 + 0.2975) sec. ½ 1o 13’ 33.6”- 350
= 0.378 m
Kontrol : 2 TS > LC
2 x 28.743 > 42.51
57.484 > 42.51 →
OK
4.1.2. Lengkung PI2
Rencana Lengkungan PI2
-
Kelas jalan rencana IIA
-
Medan perbukitan
-
Kecepatan rencana V = 70 km/jam
-
e maksimum = 10 %
1o 16’ 15.6”
-
Δ
-
Jenis tikungan di coba : Spiral – Circle – Spiral (SCS)
-
R rencana = 240 m →
-
e = 0,080
-
Ls = 50
1=
dari tebal 4.7 (Metode Bina Marga) di dapat:
Maka :
Dari table joseph bernett untuk Ls = 50 m dan R rec = 240
maka di dapat :
P = 0.4340
K = 24.9910
= (R+P) .tg. ½ Δ + K
TS
= (240 + 0.4340) tg. ½ 1o 16’ 15.6”+ 24.9910
= 27.658 m
= (R+P) .sec. ½ Δ - R
ES
= (240 + 0.4340) sec. ½ 1o 16’ 15.6”- 240
= 0.449 m
Kontrol : 2 TS > LC
2 x 27.658 > 46.676
55.316 > 46.676 →
OK
4.1.3. Lengkung PI3
Rencana Lengkungan PI3
-
Kelas jalan rencana IIA
-
Medan perbukitan
-
Kecepatan rencana V = 70 km/jam
-
e maksimum = 10 %
2o 34’ 10.56”
-
Δ
-
Jenis tikungan di coba : Spiral – Spiral (SS)
-
R rencana = 200 m →
-
e = 0,080
-
Ls min = 50 m
1=
dari tebal 4.7 (Metode Bina Marga) di dapat:
Maka :
Dari table joseph bernett untuk Ls = 50 m dan θ s
maka di dapat :
P* = 0.0014544
K*= 0.4999987
= 1.285
P = P*.Ls
P = 0.0014544*.8.970
= 0.013
K = K*.Ls
K = 0.4999987*.8.970
= 4.485
= (R+P) .tg. ½ Δ + K
TS
= (200 + 0.013) tg. ½ 2o 34’ 10.56”+ 4.485
= 8.971 m
= (R+P) .sec. ½ Δ - R
ES
= (200 + 0.013) sec. ½ 2o 34’ 10.56”- 200
= 0.064 m
4.1.4. Lengkung PI4
Rencana lengkungan PI4
-
Kelas jalan rencana IIA
-
Kecepatan rencana V = 70 km/jam
-
e maksimum = 10 %
2o 0’ 0”
-
Δ
-
Jenis tikungan di coba : Full – Circle (FC)
-
VR = 70 Km/Jam →
1=
maka dari tabel joseph bernett
diperoleh R > 700m:dan R rec = 950 m
T
= R.tg. ½ Δ
= 950 tg. ½ 2o 0’ 0” = 16.582 m
E
= T tg. ¼ Δ
= 16.582 tg. ¼ 2o 0’ 0” = 0.1447 m
Ls
= 0.01745.Δ .R
= 0.01745 x 2o 0’ 0” x 950
= 33.155 m
Kontrol : 2 T > Ls
2 x 16.582 > 33.155
33.164 > 33.155→
OK
BAB V
ALINEMEN VERTIKAL
5.1 Alinemen Vertikal
Alinemen vertikal adalah bidang tegak yang melalui sumbu jalan terhadap kemampuan kendaraan dalam
keadaan naik dan berputar penuh (truck digunakan sebagai kenderaan standar (-)). Alinemen vertikal sangat
erat dengan besarnya biaya pembangunannya. Biaya penggunaan kenderaan serta jumlah lalu lintas.
Kemampuan pendakian dari kenderaan truck dipengaruhi oleh panjang pendakian ( panjang kritis landai )
dan besarnya landai. Berikut ini adalah ketentuan untuk landai maksimum dari panjang landai maksimum.
Landai maks ( % )
3
4
5
6
Panjang Kritis ( m )
480 330 250 20
7
8
10
12
170 150 135 120
Landai maksimum hanya digunakan bila pertimbangan bi8aya sangat memaksa dan hanya untuk jarak
pendek. Panjang kritis landai adalah :
“ panjang yang dapat diterima tanpa mengakibatkan gangguan jalannya arus lalu lintas ”
( sepanjang ini mengakibatkan pengurangan sebesar 25 km/jam ). Bila pertimbangan biaya memaksa, maka
panjang kritis dapat dilampaui dengan syarat ada jalur khusus untuk kenderaan berat.
5.1.1. Lengkung Vertikal cembung
Δ
EV = panjangnya dari titik potong kedua tangan ke lengkung vertikal.(disini Y1 = EV, untuk X = ½,LV)
= perbedaan aljabar di tentukan berdasarkan:
- Syarat pandang henti dan drainase (grafik IV “PPGJR)
- Syarat pandang menyiap (grafik IV “PPGJR)
Rumus untuk lengkung vertikal cembung : Y1 = EV =
5.1.2. Lengkung Vertikal Cekung
Bentuk lengkung ini adalah analogi dengan penjelasan dari lengkung vertikal cembung di atas, hanya
panjang lengkung vertikal cekung ditentukan berdasarkan jarak pandangan waktu malam drinase sebagai
mana tercantum dalam grafik F “PPGJR”.
Note : - pada alinemen vertikal tidak semua lengkungan mengikuti syarat diatas tapi tergantung pada :
-
Keadaan medan
-
Klasifikasi jalan dan
-
Pembiayaan
-
Menentukan harga A = q2 – q1, ada dua cara :
1. Bila % ikut serta dihitung, maka rumus seperti diatas.
2. Bila % sudah dimasukkan dalam rumus, rumus menjadi :
5.2.Rencana Lengkung Vertikal I (PVI1)
Dari gambar peta topografi didapat ukuran sebegai berikut :
y1 = 10.489 m →
x1 = 425.00 m
y2 = 10.816 m →
x2 = 450.00 m
y3 = 10.826 m →
x3 = 354.00 m
q2 =
q1 =
STA PVI1
= (0 + 450)
A = g2- g1 = 1.31 % - 0.04 % = 1.27 % →
(Lengkung Vertikal Cengkung)
V = 70 km/jam
-
Syarat keamanan = (grafik VPPGJR : hal 22) ………………….
LV = 50 m →
S > LV
V = 70 km/ jam
-
Syarat keleluasaan bentuk:
LV = 0.6 V = 0.6.(70) = 42 m
-
Syarat kenyamanan : a = 0.1 m/det
LV =
∗
Elevasi BVC = elevasi PVI1 – q2 (1/2. LV)
= 10.816 – 1.31 % ( ½ .50 )
STA. BVC
= 10.488 m
= STA.PVI1 – ( 1/2.LV )
= ( 0 + 425 ) – ( ½ .50 )
∗
Elevasi S
= ( 0 + 400 )
= elevasi PVI1 – EV
= 10.816 – 0.079 m = 10.737 m
STA. S
= STA. PVI1
= ( 0 + 450 )
∗
Elevasi EVC = elevasi PVI1 – q2 ( ½ LV)
= 10.816 – 0.04 ( ½ .50 )
STA EVC
= STA. PVI1 + ( 1/2.LV )
= ( 0 + 450 ) + ( ½ .50 )
∗
Elevasi a’
= 10.071 m
= STA PVI1 – (1/4 LV)
= ( 0+ 450 ) – ( 1/4 50 )
*
Elevasi b’
= 10.316 m
= elevasi b’ - Yb
= 10.316 - 0.082
STA. b
= ( 0+ 443.75 )
= elevasi PVI1 + ( 1/4 LV )
= 10.816 + 0.04 % ( 1/4 .50 )
Elevasi b
= 9.989 m
= elevasi a’ + Ya
= 9.989 + 0.082
STA. a
= ( 0 + 475 )
= elevasi PVI1 – ( 1/4 LV )
= 10.816 – 0.04( 1/4 .50 )
Elevasi a
= 9.489 m
= 10.234 m
= STA PVI1 + (1/4 LV)
= ( 0 + 450 ) + ( 1/4 50 )
= ( 0 + 437.5)
5.3. Rencana Lengkung Vertikal II (PVI2)
Dari gambar peta topografi didapat ukuran sebegai berikut :
y1 = 11.907 m →
x1 = 1025.00 m
y2 = 12.239 m →
x2 = 1050.00 m
y3 = 11.870 m →
x3 = 1075.00 m
q2 =
q1 =
STA PVI2
= (1 + 050)
A = q2- q1 = 1.477 % - 1.33 % = 0.146 % →
(Lengkung Vertikal Cembung)
V = 70 km/jam
-
Syarat keamanan = (grafik VPPGJR : hal 22) ………………….
LV = 40 m →
S > LV
V = 70 km/ jam
-
Syarat keleluasaan bentuk:
LV = 0.6 V = 0.6.(70) = 42 m
-
Syarat kenyamanan : a = 0.1 m/det
LV =
∗
Elevasi BVC = elevasi PVI2 + g1 (1/2. LV)
= 12.239– 1.33 % ( ½ .40 ) = 11.973 m
STA. BVC
= STA.PVI2 – ( 1/2.LV )
= ( 1+ 050 ) – ( ½ .40 )
∗
Elevasi S
= elevasi PVI2 + EV
= 12.239– 0.0007 m
STA. S
= ( 1 + 070 )
= 12.241 m
= STA. PVI2
= ( 1 + 050 )
∗
Elevasi EVC = elevasi PVI2 + g2 ( ½ LV)
= 12.239– 1.476% ( ½ .40 ) = 12.534 m
STA EVC
= STA. PVI2 + ( 1/2.LV )
= ( 1 + 050 ) + ( ½ .40 )
∗
Elevasi a’
= ( 1 + 070 )
= elevasi PVI2 – ( 1/4 LV )
= 12.239– 0.1.476 % ( 1/4 .40 )
= elevasi a’ – Ya
Elevasi a
= 12.224 – 0.001
STA. a
= 8.926 m
= STA PVI2 – (1/4 LV)
= ( 1 + 050 ) – ( 1/4 . 40 )
Elevasi b’
*
= 12.224m
= ( 1+ 060 )
= elevasi PVI2 – ( 1/4 LV )
= 12.239– 0.146 % ( 1/4 . 40 )
= 12.254 m
= elevasi b’ + Yb
Elevasi b
= 12.254 + 0.001
STA. b
= 12.255 m
= STA PVI2 + (1/4 LV)
= ( 1 + 050 ) + ( 1/4 . 40 )
= ( 1 + 060 )
5.4. Rencana Lengkung Vertikal II (PVI3)
Dari gambar peta topografi didapat ukuran sebegai berikut :
y1 = 11.055 m →
x1 = 1775.00 m
y2 = 10.491 m →
x2 = 1800.00 m
y3 = 10.499 m →
x3 = 1825.00 m
q1 =
q2 =
STA PVI1
= (1 + 800)
A = g1- g2 = 2.26 % - 0.03 % = 2.23 % →
(Lengkung Vertikal Cengkung)
V = 70 km/jam
-
Syarat keamanan = (grafik VPPGJR : hal 22) ………………….
LV = 40 m →
S > LV
V = 70 km/ jam
-
Syarat keleluasaan bentuk:
LV = 0.6 V = 0.6.(70) = 42 m
-
Syarat kenyamanan : a = 0.1 m/det
LV =
∗
Elevasi BVC = elevasi PVI3 + q2 (1/2. LV)
= 10.491 – 0.032 % ( ½ .40 )
= 10.478 m
STA. BVC
= STA.PVI3 – ( 1/2.LV )
= ( + 800 ) – ( ½ 40 )
∗
Elevasi S
= ( 1 + 600 )
= elevasi PVI3 – EV
= 10.491 – 0.112 m = 10.379 m
STA. S
= STA. PVI3
= ( 1 + 800 )
∗
Elevasi EVC = elevasi PVI3 – q2 ( ½ LV)
= 10.491 – 0.032 ( ½ .40 )
STA EVC
= STA. PVI3 + ( 1/2.LV )
= ( 1 + 800 ) + ( ½ .40 )
∗
Elevasi a’
Elevasi b’
= 10.265 m
= elevasi b’ - Yb
= = 10.265 – 0.174
STA. b
= ( 1+ 600 )
= elevasi PVI3 - ( 1/4 LV )
= 10.491– 2.26 % ( 1/4 .40 )
Elevasi b
= 10.439 m
= STA PVI3 – (1/4 LV)
= ( 1+ 800 ) – ( 1/4 40 )
*
= 10.265 m
= elevasi a’ + Ya
= 10.265 + 0.174
STA. a
= ( 2 + 000 )
= elevasi PVI3 – ( 1/4 LV )
= 10.491 – 2.26 % ( 1/4 .40 )
Elevasi a
= 10.478 m
= 10.091 m
= STA PVI3 + (1/4 LV)
= ( 1 + 800 ) + ( 1/4 40 )
= ( 1 + 900 )
BAB VI
STATIONING
7.1.
Penomoran (Stationing)
Penomoran panjang jalan pada tahap perencanaan adalah memberikan nomor pada interval tertentu dari
awal pekerjaan. Nomor jalan ( STA Jalan ) dibutuhkan sebagai sarana komunikasi untuk mengenal dengan
tepat lokasi yang sedang dibicarakan. Selanjutnya menjadi panduan untuk lokasi suatu tempat. Nomor jalan
ini sangat bermanfaat pada pelaksanaan. Di samping itu dari saat penomoran jalan tersebut diperoleh
informasi tentang panjang jalan secara keseluruhan. Setiap STA jalan dilengkapi dengan gambar potongan
melintangnya.
Nomor jalan atau STA jalan ini sama fungsinya dengan patok km disepanjang jalan, perbedaanya adalah :
1.
patok Km merupakan petunjuk yang diukur dari patok Km.0.00 yang umumnya terletak di
Ibu Kota Propinsi atau Kota Madya, Patok STA merupakan petunjuk jalan yang diukur dari awal
pekerjaan (proyek) sampai dengan akhir pekerjaan.
2.
Patok km berupa patok permanen dipasang dengan ukuran standar yang berlaku. Patok STA
merupakan patok sementara selama masa pelaksanaan ruas jalan.
7.1. Metode Penomoran
STA Jalan dimulai dari 0 + 000 m yang berarti 0 m dari awal pekerjaan, STA 10 + 250 berarti lokasi jalan
terletak pada jarak 10 Km dan 250 m dari awal pekerjaan. Jika tidak terjadi perubahan arah tangen pada
alinemen horizontal maupun alinemen vertikal, penomoran selanjutnya dilakukan :
•
Setiap 100 meter pada medan mendatar
•
Setiap 50 meter pada medan perbukitan
•
Setiap 25 meter pada medan pegunungan
Pada tikungan penomoran dilakukan pada setiap titik panjang. Jadi terdapat STA titik TC dan STA titik CT
pada jenis tikungan sederhana STA titik TS, STA titik SC, STA titik ST pada tikungan jenis spiral – busur
lingkaran dan spiral.
1. STA.A
= (0.000)
STA. TS1 = STA. 0 + 000 + (d1 – TS1)
= STA. 0 + 000 (350.14 – 28.742)
= STA. 0 + 378.882 m
STA. ST1 = STA. CS1 + LC
= STA. 0 + 378.882 + (-42.51)
= STA. 0 + 336.372 m
2. STA. 1
STA TS2
= STA. 0 + 336.372 + ( d2 – TS1 – TS2 )
= STA. 0 + 336.372 + ( 200.25 – 28.742 – 27.658 )
= STA. 0 + 480.222 m
STA ST2
= STA. CS2 + LC
= STA. 0 + 480.222 + (-46.676)
= STA. 0 + 345.546 m
3. STA. 2
STA TS2
= STA. 0 + 345.546 + ( d3 – TS2 – TS3 )
= STA. 0 + 345.546 + ( 180.07 – 27.658 – 29.934 )
= STA. 0 + 468.024 m
STA ST2
= STA. CS2 + LC
= STA. 0 + 468.024 + 40.137
= STA. 0 + 508.161 m
4. STA. B
= STA.ST2 + (d5 – TS3 – TS4)
B
= STA. 0 + 508.161 + ( 806.86 – 46.8115 - 16.582)
= STA. 1 + 251.627 m
7.1. Pelebaran Pada Tikungan
Untuk mengetahui perlu tidaknya suatu pelebaran dilakukan terhadap tikungan, maka perlu diadakan suatu
tinjauan terhadap tikungan tersebut. Dalam perencanaan ini terdapat 3 tikungan, sehingga dianggap perlu
melakukan tinjauan terhadap ketiga tikungan tersebut:
b. Tinjauan Pada Tikungan PI1
Diketahui : - Kelas Jalan IIB
- Type Tikungan Spiral – Circle – Spiral (SCS)
- V = 70 km/ jam
- R = 350 m
- n = 2 jalur
- Jarak gandar P = 6.10 m →
Truck 6.5 m
- Tonjolan Depan Kenderaan A = 1.2 m →
Truck 1.5 m
- Lebar Kenderaan b = 2.5 m
- Lebar Jalur Lalu Lintas = ( 2 x 3.5 ) = 7 meter
B = Rw – R1 →
Dimana :
Rw =
R1 = ( R – 3.5 )
= ( 350 – 3.5 )
= 346.5 m
Rw =
= 349.09 m
B = Rw – R1
= 349.09 – 496.50
= 2.59 m
→
R1 = ( R – 3.5 )
Bt = n.(B + C) + Z
= 2 ( 2.590 + 0.8 ) + 0.393
Z=
= 0.393 m
= 7.173 m
Δ b = Bt – Bn
= 7.173 – 7 = 0.173 m
Jadi, Bt > Bn
Maka perlu pelebaran pada tikungan PI1 sebesar 0.173 m
c.
Tinjauan Pada Tikungan PI2
Diketahui : - Kelas Jalan IIB
- Type Tikungan Spiral – Circle – Spiral (SCS)
- V = 70 km/ jam
- R = 240 m
- n = 2 jalur
- Jarak gandar P = 6.10 m →
Truck 6.5 m
- Tonjolan Depan Kenderaan A = 1.2 m →
Truck 1.5 m
- Lebar Kenderaan b = 2.5 m
- Lebar Jalur Lalu Lintas = ( 2 x 3.5 ) = 7 meter
B = Rw – R1 →
Dimana :
→
Rw =
R1 = ( R – 3.5 )
R1 = ( R – 3.5 )
= ( 240 – 3.5 )
= 236.5 m
Rw = 239.134 m
B = Rw – R1
= 239.134 – 236.5
= 2.634 m
Bt = n.(B + C) + Z
= 2 ( 2.634 + 0.8 ) + 0.4744
Z=
= 0.4744 m
= 7.3424 m
Δ b = Bt – Bn
= 7.3424 – 7 = 0.3424 m
Jadi, Bt > Bn
Maka perlu pelebaran pada tikungan PI2 sebesar 0.3424 m
d. Tinjauan Pada Tikungan PI3
Diketahui : - Kelas Jalan IIB
- Type Tikungan Spiral –Spiral (SCS)
- V = 70 km/ jam
- R = 200 m
- n = 2 jalur
- Jarak gandar P = 6.10 m →
Truck 6.5 m
- Tonjolan Depan Kenderaan A = 1.2 m →
Truck 1.5 m
- Lebar Kenderaan b = 2.5 m
- Lebar Jalur Lalu Lintas = ( 2 x 3.5 ) = 7 meter
B = Rw – R1 →
Dimana :
→
Rw =
R1 = ( R – 3.5 )
R1 = ( R – 3.5 )
= ( 200 – 3.5 )
= 196.5 m
Rw = 199.161 m
B = Rw – R1
= 199.161 – 196.5
= 2.661 m
Bt = n.(B + C) + Z
Z=
= 2 ( 2.661 + 0.8 ) + 0.5197
= 0.5197 m
= 7.4417 m
Δ b = Bt – Bn
= 7.4417 – 7 = 0.4417 m
Jadi, Bt > Bn
Maka perlu pelebaran pada tikungan PI2 sebesar 0.4417 m
e.
Tinjauan Pada Tikungan PI4
Diketahui : - Kelas Jalan IIB
- Type Tikungan Full – Circle (FC)
- V = 70 km/ jam
- R = 950 m
- n = 2 jalur
- Jarak gandar P = 6.10 m →
Truck 6.5 m
- Tonjolan Depan Kenderaan A = 1.2 m →
Truck 1.5 m
- Lebar Kenderaan b = 2.5 m
- Lebar Jalur Lalu Lintas = ( 2 x 3.5 ) = 7 meter
B = Rw – R1 →
Dimana :
Rw =
R1 = ( R – 3.5 )
= ( 950 – 3.5 )
= 946.5 m
Rw = 949.034 m
B = Rw – R1
= 949.034 – 946.5
= 2.534 m
→
R1 = ( R – 3.5 )
Bt = n.(B + C) + Z
Z=
= 2 ( 2.534 + 0.8 ) + 0.2385
= 0.2385 m
= 7.001 m
Δ b = Bt – Bn
= 7.001 – 7 = 0.001 m
Jadi, Bt > Bn
Maka perlu pelebaran pada tikungan PI2 sebesar 0.001 m
7.1. Diagram Super Elevasi
Pada perencanaan ini ada 2 buah diagram super elevasi diantaranya adalah:
1. Tinjauan pada tikungan PI1
Diketahui : - V
- R
= 350 m
- Ls
= 50 m
= 70 km/jam
- e max = 8 %
- en
=2%
- m
= 135 m→
Tabel 4.5 “Buku Dasar-dasar Perencanaan
Geomegtrik Jalan” ( Silvia Sukirman 1994 Bandung, Hal 101 )
a.
Menghitung Panjang LS
LS
= ( en + e max ) . ½ . B . m
= ( 0.02 + 0.08 ) x ½ x 7 x 125 = 43.75 m
b. Menghitung Panjang Pencapaian Awal Kemiringan
2. Tinjauan pada tikungan PI2
Diketahui : - V
- R
= 240 m
- Ls
= 50 m
= 70 km/jam
- e max = 7 %
- en
=2%
- m
= 125 m→
Tabel 4.5 “Buku Dasar-dasar Perencanaan
Geomegtrik Jalan” ( Silvia Sukirman 1994 Bandung, Hal 101 )
a.
LS
Menghitung Panjang LS
= ( en + e max ) . ½ . B . m
= ( 0.02 + 0.07 ) x ½ x 7 x 125 = 39.375 m
b. Menghitung Panjang Pencapaian Awal Kemiringan
3. Tinjauan pada tikungan PI3
Diketahui : - V
- R
= 200 m
- Ls
= 50 m
= 70 km/jam
- e max = 9 %
- en
=2%
- m
= 125 m→
Tabel 4.5 “Buku Dasar-dasar Perencanaan
Geomegtrik Jalan” ( Silvia Sukirman 1994 Bandung, Hal 101 )
a.
Menghitung Panjang LS
LS
= ( en + e max ) . ½ . B . m
= ( 0.02 + 0.09 ) x ½ x 7 x 125 = 48.125 m
b. Menghitung Panjang Pencapaian Awal Kemiringan
4. Tinjauan pada tikungan PI4
Diketahui : - V
- R
= 950 m
- Ls
= 50 m
= 70 km/jam
- e max = 3 %
- en
=2%
- m
= 125 m→
Tabel 4.5 “Buku Dasar-dasar Perencanaan
Geomegtrik Jalan” ( Silvia Sukirman 1994 Bandung, Hal 101 )
a.
LS
Menghitung Panjang LS
= ( en + e max ) . ½ . B . m
= ( 0.02 + 0.03 ) x ½ x 7 x 125 = 21.875 m
b. Menghitung Panjang Pencapaian Awal Kemiringan
BAB VII
GALIAN DAN TIMBUNAN
7.1.Perhitungan Galian dan Timbunan
Galian yaitu jumlah volume tanah yang dibuang pada perencanaan sebuah jalan raya yang bertujuan untuk
membentuk badan jalan raya yang baik dan rata. Dan sebaliknya, timbunan yaitu jumlah volume tanah yang
ditimbun untuk membentuk badan jalan yang rata dan baik.
Dalam perencanaan Jalan Raya di usahakan agarvolume galian sama dengan volume timbunan. Dengan
mengkombinasikan alinyemen horizontal dan alinyemen vertical maka dapatr dipakai untuk menghitung
banyaknya volume galian dari timbunanan. Langkah-langkah perhitungan galian timbunan adalah sebagai
berikut :
1.
penentuan galian stationing (jarak pokok) sehungga panjang horizontal jalar alinyemen
(trase)
2.
Gambar profil memanjang (alinyemen vertical) yang mempelihatkan perbedaan tinngi muka
tanah asli dengan muka perkersann yang akan direncanakan.
3.
Gambar profil melintang pada setiap titik stasioning, sehinngga didapat luas penampang
galian dan timbunan yang diukur dengan alat planimetri.
4.
Hitung volume galian dan timbunan dengan mengalikan luas penampang rat-rata dari galian
atau timbunan dengan jarak antar patok (stasioning)
Untuk menghitung panjang horizontal jalan dibuatkan patok (station) dengan ketentuan – ketentuan sebagai
berikut :
-
Untuk daerah datar, jarak antara patok (station)
= 100
-
Untuk daerah bukit, jarak antara patok (station)
= 50
-
Untuk daerah gunung, jarak antara patok (station) = 25
Rumus yang dugunakan untuk menghitung galian dan timbunan :
Luas Trapesium
= ½ (b+d).t
Dimana :
b = Lebar bawah trapezium
d = Lebar atas trapezium
t = Tinggi trapezium
Luas Jajaran Genjang = b.t
Dimana :
b = Lebar bawah Jajaran Genjang
t = Tinggi Jajaran Genjang
Luas Segi Tiga
= ½.a.t
Dimana :
a = Lebar bawah/alas Segi Tiga
t = Tinggi Segi Tiga
BAB VIII
PERENCANAAN TEBAL PERKERASAN
Berdasarkan pedoman peraturan perkerasan lentur jalan raya nomor : 01/PD/BM/1987
8.1. Data-data Lalu Lintas
Umur Rencana
: 15 Tahun
Pertumbuhan Lalu Lintas
: 7 % per tahun
CBR Sub Grade
: 6%
Curah Hujan
: 900 mm/Tahun
Mobil Penumpang
: 400 Kenderaan / Hari / 2 arah
Bus
: 200 Kenderaan / Hari / 2 arah
Truck 2 AS
: 80 Kenderaan / Hari / 2 arah
Truck 3 AS
: 20 Kenderaan / Hari / 2 arah
Truck 5 AS
:
4 Kenderaan / Hari / 2 arah
Lapisan Perkerasan
Surace Coure
: Aspal Beton
Base Coure
: Batu Pecah
Sub Base Coure
: Base Class A, B , Material Pilihan
Medan
: Standart Geometrik
Kecepatan Rencana
: 70 km/jam
Indeks Permukaan (IP) : 2.0 Aspal Beton
Faktor Regional
: 2.0 Curah Hujan 900 mm/tahun
8.2. Menghitung Angka Ekivalen (E)
∗
Mobil Penumpang 2 Ton (1 + 1)
As depan 1 ton dan As belakang 1 ton
( 0.0002 + 0.0002 ) = 0.0004 →
∗
Bus 8 Ton (3 + 5)
( 0.0183 + 0.1410 ) = 0.1593 →
∗
E 2As 13T
Truck 3 As 20 Ton (6 + 7.7)
( 0.2923 + 0.7452 ) = 1.0375 →
∗
EB
Truck 2 As 13 Ton (5 + 8)
( 0.1410 + 0.9238 ) = 1.0648 →
∗
E Kr
E 3As 20T
Truck 5 As 30 Ton (6 + 7.7 + 5 + 5)
( 1.0375 + 2(0.1410)) = 1.3195 →
E 5As 30T
8.3. Menghitung Tebal Perkerasan
a.
Data-data lalu lintas
−
LHR Awal Umur Rencana
Mobil penumpang : 400
= 400 SMP/ hari/2 arah
Bus
: 200
= 200 SMP/ hari/2 arah
Truk 2 As
:
80
=
80 SMP/ hari/2 arah
Truk 3 As
:
20
=
20 SMP/ hari/2 arah
Truk 5 As
:
4
=
4 SMP/ hari/2 arah
LHR Awal Umur Rencana
−
= 704 SMP/ hari/2 arah
LHR Akhir Umur Rencana
Mobil penumpang : ( 1 + 0.05 )10 x 700
= 786.80 SMP/hari/2 arah
Bus
: ( 1 + 0.05 )10 x 900
= 393.43 SMP/hari/2 arah
Truk 2 As
: ( 1 + 0.05 )10 x 450
= 157.37 SMP/hari/2 arah
Truk 3 As
: ( 1 + 0.05 )10 x 80
=
Truk 5 As
: ( 1 + 0.05 )10 x 30
=
LHR akhir Umur Rencana
−
= 1384
39.34 SMP/hari/2 arah
7
SMP/hari/2 arah
SMP/hari/2 arah
Menghitung LEP (Lintas Ekvalen Permulaan)
Mobil Penumpang
: 0.5 x 400 x 0.0004
=
0.08
Bus
: 0.5 x 200 x 0.1593
=
15.93
Truck 2 AS
: 0.5 x 80 x 1.0648
=
42.592
Truck 3 AS
: 0.5 x 20 x 1.0375 = 10.375
Truck 5 AS
: 0.5 x
4 x 1.3195 =
LEP (Lintas Ekvalen Permulaan)
−
2.129
= 71.107
Menghitung LEA (Lintas Ekivalen Akhir)
Mobil Penumpang
: 0.5 x 777.213 x 0.0004
=
Bus
: 0.5 x 999.274 x 0.1593
= 61.646
Truck 2 AS
: 0.5 x 499.637 x 1.0648
= 164.815
Truck 3 AS
: 0.5 x 88.824 x 1.0375
= 40.405
Truck 5 AS
: 0.5 x 33.309 x 1.3195
=
LEA (Lintas Ekivalen Akhir)
0.309
9.000
= 276.173
−
LET = ½ (LEP +LEA) = ½ (71.107 + 276.174) = 173.640
−
LER
= LET x UR/10
= 173.640 x 10/10
= 173.640
b. Mencari ITP
CBR Tanah Dasar
= 6%
DDT
=5
IP
= 2.0
FR
= 0.7
ITP
= 7.25 →
LER
= 173.640
c.
(IP0 = 3.9 – 3.5) Nomogram
Bahan
D = Tebal minimum (cm)
Aspal Beton
Batu Pecah
Sirtu Kelas C
7.5
20
10
Menghitung Koefisien Kekuatan relatif :
Asppal Beton MS
: 0.40
Batu Pecah
: 0.14
Sirtu Kelas C
: 0.11
ITP = a1 . D1 + a2 . D2 + a3 . D3
7.25 = (0.40 x D1) + (0.14 x 20) + (0.11 x 10)
D1
= 8.37 cm atau 9 cm
Jadi susunan tebal perkerasan adalah :
−
Aspal Beton (MS 744)
= 9 cm
−
Batu Pecah CBR 100%
= 20 cm
−
Sirtu Kelas C CBR 30%
= 10 cm