BAHAN HAN . doc x

PENDAHULUAN
Pada dasawarsa terakhir ini, para pakar mencari penyebab keberhasilan pembangunan
pada good governance. Secara embronial, hal ini telah tertera dalam karya Simons Kuznets,
dengan menggunakan istilah governance. Namun para pakar lain seperti M. Adhil Khan dan
World Bank secara spesifik menegaskan peranan good governance dalam mewujudkan
keberhasilan pembangunan sangat urgen dan signifikan.
Sebagai salah satu lingkup organisasi dalam sistem kepemerintahan Indonesia maka
Kabupaten Bangka telah berupaya mewujudkan good governance dan terus meningkatkan
pencapaian good governance pada masa mendatang (in the future).
Tulisan ini memfokuskan perhatiannya (focus of interest) pada pengkajian implementasi
good governance dalam konfigurasi baru (new era configuration) yang sedang dalam proses dan
perencanaan masa datang (planning to the future) seiring kelahiran orde reformasi (reform era).
II. PEMBAHASAN
II. Tinjauan Konsep Good Governance
Dari segi administrasi pembangunan, good governance didefinisikan sebagai berikut:
An overall institutional framework within wich its citizens are allowed to interact and transact
freely, at difference levels, to fulfil its political, economic and social apirations. Basically, good
governance has three aspect:
(i) The ability of citizens to express views and acces decision making freely;
(ii) The capacity of the government agencies (both political and bureaucratic) to translate these
views into realistic plans and to implement them cost effectively; and

(iii) The ability of citizens and institutions to compare what has been asked for with what has
been planned, and to compare what has been planned with what has been implemented".
Sedangkan dari segi teori pembangunan, good governance diartikan sebagai berikut:
" ........ a plitical and bureaucratic framework wich provides an enabling macra-economic
environment for investment and growth, which pursues distributional and equity related policies;
which makes entrepreneurial interventions when and where required and which practices honest
and afficient management principles. A commited and imaginative political leadership
accompanied by an efficient and accountable bureaucracy does seem to be the key to the
establishment of good governance in a country."
Dari definisi di atas dapat disimpulkan bahwa good governance mensyaratkan adanya hubungan
yang harmonis antara negara (state), masyarakat (civil siciety) dan pasar (market).

Jika mengacu pada World Bank dan UNDP, orientasi pembangunan sektor publik (public sector)
adalah menciptakan good governance. Pengertian good governance adalah kepemerintahan yang
baik, menurut UNDP (United Nation Develepment Program) dapat diartikan sebagai suatu
penyelenggaraan manajemen pembangunan yang solid dan bertanggung jawab yang sejalan
dengan prinsip demokrasi dan pasar yang efisien, penghindaran salah alokasi dana investasi,
pencegahan korupsi baik secara politik maupun administratif, menjalankan disiplin anggaran
serta penciptaan legal and political framework bagi tumbuhnya aktivitas usaha.
UNDP memberikan beberapa karekteristik pelaksanaan good goverance, meliputi:



Participation, keterlibatan masyarakat dalam pembuatan keputusan baik secara langsung
maupun tidak langsung melalui lembaga perwakilan yang dapat menyalurkan aspirasinya.
Partisipasi tersebut dibangun atas dasar kebebasan berasosiasi dan berbicara serta
berpartisipasi secara konstruktif.



Rule of law, kerangka hukum yang adil dan dilaksanakan tanpa pandang bulu.



Tranparancy, transparansi dibangun atas dasar kebebbasan memperoleh informasi.
Informasi yang berkaitan dengan kepentingan publik secara langsung dapat diperoleh
oleh mereka yang membutuhkan.



Responsiveness, lembaga-lembaga publik harus cepat dan tanggap dalam melayani stake

holders.



Concensus orientation, berorientasi pada kepentingan masyarakat luas



Equity, setiap masyarakat memiliki kesempatan yang sama untuk memperleh
kesejahteraan dan keadilian.



Efficiency dan effectiveness, pengelolaan sumber daya publik dilakukan secara berdaya
guna (efisien) dan berhasil guna (efektif).



Accountbility, pertanggungjawaban kepada publik atas setiap aktivitas yang dilakukan.




Strategic vision, penyelenggaraan pemerintahan dan masyarakat memiliki visi jauh ke
depan.

Dari apa yang telah diuraikan di atas, jelaslah posisi strategis biriokrasi dalam mewujudkan good
governance yang merupakan suatu conditio sine a qu non bagi keberhasilan pembangunan.
Karenanya profesionalisme birokrasi merupakan persayaratan (prerequiste) mutlak untuk dapat
mewujudkan good governance tadi.
Sebagai konsekuensi dari apa yang dikemukakan di atas, Bank Dunia mengidentifikasikan
atribut bad governance sebagai berikut:

1. Failure to make a clear separation between what is public and what is private, and hence a
tendency to divert public resources for private gain.
2. Failure to establish a predictable framework of law and government behavior conducive to
development, or or arbitrariness in the application of rules and laws.
3. Excessive rules, regulations, licensing requirement and so forth which impede the functioning
of markets and encourage rent seeking.
4. Priorities inconsistent with development, resulting in misallocation of resources.
5. Excessively narrowly based or non-transparant decision making.

Kiranya tidak terlalu sukar mengungkapkan kasus konkret di Indonesia yang mewakili bad
governance tersebut.
II. Implementasi Good Governance
II.A. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Implementasi Good Governance
Untuk dapat melaksanakan tugas (task) pencapaian good governance dengan baik, ada beberapa
faktor dan syarat yang perlu mendapat perhatian, (concern) Yaitu:
1. Faktor Manusia Pelaksana (Man)
Berhasil atau tidaknya pelaksanaan good governance sebagian besar tergantung pada pemerintah
daerah (local govt) yang terdiri dari unsur pimpinan daerah, DPRD. Disamping itu terdapat
aparatur atau alat perlengakapan daerah lainnya yaitu para pegawai daerah itu sendiri.
2. Faktor Partisipasi Masyarakat (public partisipation)
Keberhasilan penyelenggaraan good governance juga tidak terlepas dari adanya partisipasi aktif
anggota masyarakat (public participation). Masyarakat di daerah baik sebagai sistem maupun
sebagai individu merupakan bagian integral yang sangat penting dalam sistem pemerintah
daerah. Salah satu wujud dari rasa tanggungjawab masyarakat terhadap pencapaian good
governance adalah sikap mendukung terhadap penyelenggaraan pemerintahan.
Adapun wujud partisipasi aktif masyarakat antara lain:
a. Partisipasi dalam proses pembuatan keputusan (decision making);
b. Partisipasi dalam pelaksanaan (actuation participation);
c. Partisipasi dalam pemanfaatan hasil (cost benefit evaluation)

d. Partisipasi dalam evaluasi (evaluation participation)

3. Faktor Keuangan Daerah (funding or budgeting)
Salah satu kriteria penting untuk mengetahui secara nyata kemampuan daerah dalam mengatur
dan mengurus rumah tangganya adalah kemampuan self supporting dalam bidang keuangan.
Dengan kata lain, faktor keuangan merupakan faktor esensial dlam mengukur tingakt pencapain
good governance. Ini berarti bahwa penerapan dan pencapaian good governance di daerah/lokal
membutuhkan dana/finansial.
4. Faktor Peralatan (tools)
Faktor peralatan juga tergolong penting dalam pelaksanaan dan pencapaian good governance.
Dalam pengertian ini peralatan adalah setiap benda atau alat yang dipergunakan untuk
memperlancar dan mempermudah pekerjaan gerak dan activitas pemerintah dalam upaya
pencapaian dan perwujudan good governance.
5. Faktor Organisasi dan Manajemen (organization and management)
Faktor kelima yang mempengaruhi pelaksanaan good governance adalah faktor organisasi dan
manajemen (meliputi fungsi manajemen: POAC (planning, Organizing, actuating dan
controlling/POSCORB: Planning, Organizing, Staffing, Coodinating, ). Agar pencapaian good
governance dapat terwujud maka diperlukan adanya organisasi dan manajemen yang baik pula.

III. Implementasi Good Governance di Kabupaten Bangka

II.A. Pelayanan Publik
Untuk menilai kinerja pelayanan publik, ada beberapa indikator yang dipergunakan oleh
Pemerintah Daerah Kabupaten Bangka, diantaranya adalah keadilan dan persamaan
pelayanan, Kepastian waktu dan biaya, responsivitas dan rente birokrasi. Dengan
menggunakan serangkaian indikator ini pemerintah Kabupaten Bangka memotret kinerja
pelayanan publik (public service performence) yang akan diselenggarakan oleh Aparatur
pemerintah Daerah Kabupaten Bangka. Dengan pemotretan kinerja pelayanan publik diharapkan
observasi terhadap keberhasilan pelaksanaan otonomi daerah dan reformasi tata pemerintahan
dapat diwujudkan di Daerah Kabupaten Bangka.


Equity (Keadilan)

Dalam penyelenggaraan pelayanan publik, pemenuhan prinsip keadilan dilihat dari kemampuan
pemerintah daerah untuk memberikan perlakuan yang sama dan adil kepada warganya dalam
penyelenggaraan pelayanan publik (Thompson,1989). Tata pemerintahan yang baik
mengharuskan pemerintah kabupaten dan kota menjamin warganya untuk memperoleh akses
yang sama bukan hanya pada pelayanan publik, tetapi juga pada kualitas pelayanan publik yang
sama.


Dalam era otonomi daerah, keadilan dalam bidang pelayanan publik menjadi aspek utama
perhatian pemerintah Kabupaten Bangka dalam menggunakan kewenangannya untuk membuat
pelayanan publik menjadi semakin mudah diakses oleh kelompok marginal, seperti: penduduk
miskin, perempuan dan pendatang dan bagi masyarakat etnis lainnya.
Temuan di lapangan menunjukkan belum ditemukannya berbagai keluhan masyarakat baik
secara langsung maupun tidak langsung terhadap kinerja pelayanan publik oleh pemerintah.
Selain itu sikap diskriminatif terhadap kaum miskin dapat dihilangkan dengan upaya pemerintah
daerah Kabupaten Bangka dengan menerapkan kebijakan pemberian pengobatan gratis dalam
bidang kesehatan berupa program JKSS (Jaminan Kesehatan Sepintu Sedulang) dan SPP gratis
bagi golongan yang tidak mampu dalam bidang pendidikan selain program yang diberikan oleh
pemerintah pusat.


Responsivitas

Responsivitas menjelaskan kemampuan pemerintah untuk mengenali kebutuhan, menyusun
agenda dan prioritas dan mengembangkan program-program yang sesuai dengan aspirasi dan
kebutuhan masyarakat (Hormon, 1995). Oleh karena itu, responsivitas menunjukkan pada
keselarasan antara program dan kegiatan dengan kebutuhan masyarakat.
Untuk memperbaiki praktik penyelenggaraan pelayanan, pemerintah Kabupaten Bangka telah

berupaya melakukan penyederhanaan sistem dan prosedur pelayanan dan secara proaktif
melakukan strategi jemput bola dengan baik dengan memberikan informasi melalui internet
dalam bidang pelayanan publik yang dibutuhkan oleh masyarakat. Seperti dalam pelayanan
pembuatan KTP dan kartu keluarga dan lain sebagainya.
Untuk mendukung kinerja pelayanan publik, Pemerintah telah membentuk lembaga yang mampu
memebrikan pelayanan publik secara cepat, murah dan tepat waktu. Relaisasinya dengan
membangun Kantor UPTSP (Unit Pelayanan Terpadu satu Pintu). Pembentukan lembaga ini
secara nasional dilatarbelakangi munculnya keluhan masyarakat terhadap kinerja pelayanan
publik yang lamban, mahal dan tidak transparan.
Dari sudut keluhan yang diajukan oleh masyarakat pengguna jasa dalam pelayanan telah
direspon dengan baik melalui proses elektronicall dialogis (internet) tertulis maupun lisan.
Publik dapat melakukan komunikasi dan feed back terhadap kebijakan pemerintah daerah baik
dalam tataran perencanaan, pelaksanaan, maupun evaluasi. Terhadap respon yang disampaikan
oleh publik, pemerintah menyampaikan tanggapan ulang melalui media cetak maupun media
internet. Komunikasi ini dibangun dalam rangka menjalin sinergitas antara pemerintah dengan
masyarakat dalam pembangunan.
Dalam bidang pendidikan misalnya, kebijakan yang ditempuh oleh pemerintah daerah
Kabupaten Bangka adalah dengan memberikan kesempatan kepada para guru untuk
meningkatkan jenjang pendidikannya. Biaya pendidikan sebagian dapat ditanggung oleh
pemerintah daerah. Hal ini dilakukan dalam upaya peningkatan kemajuan belajar siswa dan

kinerja sekolah.



Efisiensi Pelayanan

Dalam penyelenggaraan pelayanan publik, waktu yang diperlukan untuk menyelesaikan sebuah
pelayanan diharapkan diatur dengan jelas. Pemerintah Kabupaten Bangka berupaya menentukan
secara jelas mengenai lamanya waktu yang diperlukan untuk menyelesaikan sebuah pelayanan
secara cepat. Hal ini dilakukan dengan bekerja semaksimal mungkin tanpa menunda waktu yang
diperlukan dalam mengakses sebuah pelayanan.
Upaya yang selama ini dilakukan oleh pemerintah untuk menyelenggarakan pelayanan sertifikasi
tanah secara massal melalui program Proda adalah bagian dari upaya mengurangi ketidakpastian
waktu dan biaya dalam pensertifikasian tanah.
Perbaikan kinerja dalam pelayanan sertifiksi tanah diwujudkan juga dalam bentuk peningkatan
kordinasi antar pemerintah kabupaten/ kota dengan pemerintah pusat untuk mencegah
munculnya konflik pertanahan.


Suap dan Rente Birokrasi


Dalam struktur hubungan antar pemerintah dengan warganya yang seperti itu, Pemerintah
Kabupaten Bangka telah berupaya merancang praktik penyelenggaraan pelayanan publik yang
lebih banyak berpihak kepada kepentingan masyarakat dan pengguna jasa. Prosedur pelayanan
publik dirancang untuk mempermudah akses warga dan melindungi kepentingan mereka. Oleh
karena itu, prosedur pelayanan public berupaya mengatur keseimbangan kewajiban warga yang
harus dipenuhi disertai dengan hak-hak warga yang dijamin oleh pemerintah. Dalam kondisi
seperti itu, warga akan menghadapi kepastian ketika berhadapan dengan birokrasi pelayanan
publik. Kedudukan mereka sangat kuat.


Akuntabilitas

Akuntabilitas di Kabupaten Bangka di lakukan oleh DPRD terhadap program dan kebijakan
pemerintah. Otonomi daerah menuntut juga keterlibatan yang tinggi dari masyarakat atau
stakeholder (LSM, Porkot dll) baik dalam proses penyusunan kebijakan, pelaksanaan maupun
pengawasan.


Administrasi dan Perijinan Usaha dan Investasi

Didalam upaya meningkatkan pelayanan dalam bidang investasi terdapat ketersediaan program
perijinan sebagai kelanjutan kebijakan desntralisasi. Disamping memberikan pelayanan
perijinan, pemerintah Kabupaten Bangka juga memberikan pembinaan khususnya terhadap
pengusaha kecil, pemberian bantuan dana dan peralatan. Biaya perijinan didasarkan pada perda
Kab. Bangka dengan maksud memberikan kepastian waktu dan hukum serta peluang investasi
secara mudah dagi investor.
II.B. Pemberantasan KKN Bagi Peningkatan Pelayanan Publik

Upaya pemberantasan KKN terkait dengan 2 aspek permasalahan, yakni tentang usaha yang
telah dilakukan pemerintah daerah dan tentang persepsi stakeholders mengenai tingkat
keseriusan dalam memberantas KKN. Dalam upaya pemberantasan KKN, pemerintah daerah
mengutamakan upaya dalam bentuk :


Perbaikan sistem pengawasan. Dalam upaya ini pemerintah daerah telah melakukan
upaya dengan membentuk Kantor Bawasda yang memiliki kewenangan dan tugas untuk
mengawasi kinerja terhadap penyalahgunaan wewenang dan jabatan (KKN) yang
dilakukan oleh pejabat birokrasi. Upaya ini dilakukan dengan cara memberikan informasi
di media massa kepada publik tentang berbagai kasus penyalahgunaan jabatan yang
melibatkan para pegawai di lingkungan instansi pemerintah secara internal. Keterbukaan
untuk mengekspos berbagai praktik tersebut seperti KKN, penyimpangan dana proyek,
JPS, KUT, dan RASKIN.

Selain itu pemerintah daerah Kabupaten Bangka telah membentuk Komisi Ombudsman Daerah
(KOD) di Kabupaten Bangka. Kabupaten Bangka merupakan 9 (sembilan) dari pemerintah
daerah di Indonesia yang memiliiki dan membentuk Komisi Ombudsman. Hal ini membuktikan
adanya komitmen yang besar pemerintah daerah dalam upaya memperbaiki kinerja pelayan
publik dalam melaksanakan tugas secara professional.
Dalam upaya mengawasi tingkat kedisiplinan para pegawai dalam mematuhi peraturan, dalam
skala tertentu dan secara periodik, pimpinan daerah juga melakukan inspeksi mendadak ke
seluruh bagian untuk mengawasi kerja dan kinerja para pegawai secara tanpa terjadwal.


Perbaikan etika moral pegawai. Persoalan moralitas pegawai merupakan hal yang sangat
diperhatikan oleh pemerintah daerah dalam upaya memperbaiki mentalitas pegawai
dalam melaksanakan tugasnya. Upaya pemerintah daerah dalam hal ini dilakukan dengan
memberikan pengarahan pada setiap acara apel pagi, pelatihan dan bimbingan rohani
kepada para karyawan dilingkungan pemerintah daerah pada setiap akhir pekan.



Pemberian peringatan. Dalam rangka mengawasi dan menindaklanjuti terhadap
pelanggaran hukum dan kedisiplinan pegawai dalam menjalankan tugasnya pemerintah
daerah telah memiliki seperangkat aturan yang jelas sebagai dasar hukum untuk
memberikan sangsi kepada pegawai. Pemberian sangsi diterapkan dalam kerangka
kualitas dan kuantitas pelanggaran yang dilakukan oleh pejabat maupun staf. Jenis
peringatan yang dilakukan terhadap pelanggaran berupa pemberian teguran lisan.
Kemudian bila teguran secara lisan belum memberikan perbaikan bagi pegawai dalam
pelanggaran hukum maupun disiplin maka akan diberikan sangsi secara administratif
berupa teguran tertulis bahkan sampai dengan sangsi penurunan pangkat bahkan
pemberhentian secara tidak hormat dari jabatan.

IV. Beberapa Permasalahan Mewujudkan Good Governance di Kabupaten Bangka


Masalah yang sangat menyulitkan dalam pengembangan peran masyarakat dalam
meningkatkan pelayanan publik oleh pemerintah adanya keterbatasan pengetahuan
masyarakat atas informasi yang diperlukan.



Sebagian masyarakat tidak cukup pengetahuan terhadap resiko yang akan ditanggung
sesudah ditandatanganinya sebuah dokumen.



Pengetahuan sebagian masyarakat terhadap hak-haknya yang melekat pada dirinya baik
sebagai pribadi maupun sebagai bagian dari masyarakat masih sangat terbatas.



Masalah yang lebih mendasar adalah karena faktor budaya yang sebagai bagian dari
bangsa yang cukup lama terjajah yang selalu berada dalam posisi dibawah, sebagian
masyarakat tidak tahu bahwa dia memiliki hak yang cukup untuk mendapatkan pelayanan
dan mendapatkan produk yang telah dia bayar. Disisi lain para operator dan produsen
yang bergerak dibalik kekuasaan pemerintah pada umumnya juga kurang memiliki
pengetahuan yang cukup terhadap hak-hak konsumen.

V. Strategi dan Upaya Mewujudkan Good Governance di Kabupaten Bangka
Pengalaman di Kabupaten Bangka menunjukkan secara umum telah terselenggaranya pelayanan
publik secara maksimal. Namun demikian, diperlukan konsep penyelenggaraan pelayanan publik
yang lebih optimal pada masa yang akan datang bagi peningkatan ke arah yang lebih baik dalam
menciptakan good governance. Di masa mendatang, berbagai saran konstruktif dan inovatif
yang disampaikan oleh masyarakat telah mulai ditampung untuk dijadikan feedback bagi
pembenahan mekanisme penyelenggaraan palayanan publik. Penggunaan sarana sebagai
referensi perbaikan pelayanan publik mengandung unsur telah dilibatkannya masyarakat di
Kabupaten Bangka dalam proses penyelenggaraan pelayanan publik. Cara ini dilakukan dengan
memanfaatkan teknologi komunikasi yang telah dirancang bagi akses masyarakat dengan
pemerintah daerah seperti penggunaan jaringan internet, media massa local dan lain sebagainya.
Agenda lain yang menjadi perhatian dan terus dipertajam oleh birokrasi pemerintah daerah
Kabupaten Bangka adalah mengenai cara pandang terhadap masyarakat yang tidak hanya
sebagai costumer. Tetapi masyarakat dipandang sebagai dalam kerangka citizenship. Dalam
konsep ini masyarakat tidak hanya dipandang sebagai pengguna jasa, tetapi juga mempunyai
peran strategis sebagai penentu keberlangsungan penyelenggaraan pelayanan publik. Masyarakat
dilibatkan sebagai bagian dari stakeholders. Inilah aspek lain yang belum terselenggara dalam
pelayanan publik. Adanya kesepakatan antara pengguna jasa dan provider akan memberikan
kepastian mengenai prosedur, waktu dan biaya pelayanan.
Untuk mewujudkan good governance di lingkungan birokrasi ada beberapa hal yang perlu
dikembangkan oleh pemerintah Kabupaten Bangka dalam aspek pemberdayaan birokrasi local,
mencakup:
1. Sensitif dan responsif terhadap peluang dan tantangan baru yang timbul dalam
masyarakat (public) maupun pasar.

2. Tidak terpaku pada kegiatan-kegiatan rutin yang terkait dengan fungsi instrumental
birokrasi, akan tetap mampu melakukan terobosan (break through) melalui pemikiran
yang kreatif dan inovatif.
3. Mempunyai wawasan futuristik dan sistemik.
4. Mempunyai kemampuan untuk mengantisipasi, memperhitungkan dan meminimalkan
risiko.
5. Jeli terhadap potensi sumber-sumber dan peluang-peluang baru.
6. Mempunyai kemampuan untuk mengkombinasikan sumber menjadi resources mix yang
mempunyai produktivitas tinggi.
7. Mempunyai kemampuan untuk mengoptimalkan sumber yang tersedia, dengan
menggeser sumber kegiatan yang berproduktivitas terendah menuju kegiatan yang yang
berproduktivitas tinggi.
8. Mengkonversikan setiap demand yang ada di masyarakat dan pasar menjadi kebijakan
yang senantiasa mengedepankan peran masyarakat.
9. Mengkonsepsikan setiap respon dan demand dalam masyarakat ke dalam berbagai
agenda kebijakan publik dan mengimplementasikannya secara konsekuen.
10. Melakukan harmonisasi terhadap demand yang muncul dalam masyarakat agar terciptan
kondisi yang seimbang terhadap kompleksitas kepentingan.
Untuk mewujudkan profesionalisme birokrasi tersebut diatas, perlu dilakukan beberapa langkah
dan strategi sebagai berikut:
1. Role Modelling. Sebagaimana disebutkan di atas, standar perilaku dan pola perilku
birokrat terbentuk antara lain melalui keteladanan. Oleh karena itu sikap smartan elit
akan amat menentukan sosok profesionalisme birokrasi.
2. Rekruitment, kondisi kerja dan pelatihan. Proses rekruitmen yang objective, kondisi kerja
yang kondusif dan pelatihan yang menggunakan metodik dan didaktik yang tepat
merupakan wacana pembentukan profesionalisme yang efektif.
3. Pendekatan proses Belajar. Learning process approach sebagaiman dikemukakan oleh
David Korten merupakan wacana yang efektif bagi pembentukan profesionalisme
birokrasi. Pendekatan ini memberikan margin toleransi yang besar bagi birokrasi untuk
berbuat kesalahan (embracing error) dalam proses pembentukan dan penyempurnaan
profesionalisme karena kesalahan kan menjadi input untuk perbaikan diri. Melalui
kesalahan tadi, birokrat akan belajar efective (learning to be effective) dan dari sana akan
melangkah menuju belajar efisien (leraning to be efficien) dan pada akhirnya belajar
berkembang (learning to be expand).

4. Pembentukan profesionalisme dapat dilakukan dengan penguatan organisasi
(organizational strengthening) yang memfokuskan pada sistem manajemen untuk
meningkatkan kinerja pada struktur mikro dan reformasi kelembagaan (institutional
reform) yang memfokuskan pada struktur makro kelembagaan.
5. last but no least, pembentkan good governance memerlukan kontrol sosial dari
masyarakat sipil melalui empowering masyarakat sipil. Hal ini menuntut mutual learning
process antara birokrat dan masyarakat sipil.

Pengaruh Penegakkan Hukum terhadap Pelaksanaan Good Governance.
Ubi sociates ibi ius dimana ada masyarakat disitu ada hukum. Hukum bukanlah suatu institusi
yang statis, hukum berubah dari waktu kewaktu. Hukum berkembang sesuai dengan
perkembangan masyarakat. Munculnya konsep Rule of Law tidak secara tiba-tiba melainkan
hasil dari beberapa proses perkembangan hukum didunia.
Saat ini negara-negara didunia termasuk Indonesia pada umumnya termasuk kedalam kategori
hukum yang moderen.
Menurut Satjipto Rahardjo, modernitas mempunyai ciri-ciri:
1. Mempunyai bentuk tertulis.
2. Hukum itu berlaku untuk seluruh wilayah negara.
3. Hukum merupakan instrumen yang dipakai secara sadar untuk mewujudkan keputusankeputusan politik masyarakatnya.
Hukum sebagai sarana pembaharuan dalam masyarakat dapat diamati dari produk perundangundang dan yurisprudensi. Pada negara yang menganut sistem hukum civil law system fungsi
hukum ini akan terasa, karena dalam civil law system lebih menonjolkan peraturan perundangundangan. Sehingga untuk mencapai pembahuruan dalam masyarakat yang mengarah pada
terciptanya kesejahteraan diperlukan hukum yang baik sesuai dengan hukum yang hidup didalam
masyarakat atau mencerminkan nilai-nilai yang hidup di masyarakat.
Salah satu ciri hukum moderen yakni hukum merupakan instrumen yang dipakai secara sadar
untuk mewujudkan keputusan-keputusan politik masyarakatnya. Sebagai salah satu indikator
suatu negara telah mengarah pada hukum moderen, bentuk, mekanisme, dan substansi
perundang-undangan menempati posisi penting. Dalam pembentukan hukum apakah telah
rasional, transparan, demokratis, otonom dan responsif terhadap perkembangan aspirasi dan

ekspektasi masyarakat, bukan sebuah sistem hukum yang bersifat menindas, ortodoks, dan
reduksionistik.
Terciptanya hukum moderen erat kaitannya dengan pelaksanaan good governance. Untuk
melangkah kearah hukum moderen, perlu adanya pembenahan dalam pemerintahan melalui good
governance. Good governance menurut Lembaga Administrasi Negara (LAN) adalah proses
penyelenggaraan kekuasaan negara dalam melaksanakan penyediaan public good and service.
Pinto mengartikan governance sebagai praktek penyelenggaraan kekuasaan dan kewenangan
oleh pemerintah dalam pengelolaan urusan pemerintahan secara umum dan pembangunan
ekonomi pada khususnya.
Dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih
dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme dinyatakan bahwa dalam rangka mewujudkan
Penyelenggaraan Negara yang mampu menjalankan fungsi dan tugasnya secara sungguhsungguh dan penuh tanggung jawab, perlu diletakkan asas-asas penyelenggaraan negara yang
mencakup asas kepastian hukum, asas tertib penyelenggaraan negara, asas kepentingan umum,
asas keterbukaan, asas proporsionalitas, asas profesionalitas, dan asas akuntabilitas.
Konsep pemerintahan yang baik (good governance) dapat terwujud bila pemerintahan
diselenggarakan dengan transparan, responsif, partisipasif, taat pada ketentuan hukum,
berorientasi pada konsensus, adanya kebersamaan, akuntabilitas dan memiliki visi yang strategis.
Pemerintahan dikatakan baik jika tujuan bersama dijalankan dengan baik, memperhatikan proses
pembuatan keputusan, menjalankan fungsi peraturan, kekuasaan dijalankan sebagaimana
mestinya dan lembaga yang teratur.
Good governance dilaksanakan dalam rangka demokratisasi kehidupan berbangsa dan bernegara.
Salah satu syarat kehidupan demokrasi adalah adanya penegakkan hukum yang adil dan
dilaksanakan tanpa pandang buluh. Sebagai langkah awal penciptaan good governance adalah
membangun sistem hukum yang sehat, baik perangkat lunak (soft ware), perangkat keras (hard
ware), maupun sumber daya manusia yang menjalankan sistemnya (human ware).
Sumber daya manusia sebagai faktor penentu berhasil atau tidaknya pelaksanaan penegakkan
hukum dalam konteks good governance, harus benar-benar memiliki kualitas ( Recrutmen ) .
Kualitas dalam hal ini ialah kualitas dari segi keilmuan dalam bidang law making dan law
enfocement dengan cara:


Menghilangkan kebijakan-kebijakan yang bermasalah dan orientasi parsial,



Tidak dibenarkan untuk mendatangkan saksi ahli dari kalangan ahli/pakar hukum pada
sidang pengadilan, karena asumsinya adalah para penegak hukum merupakan ahli/pakar
dibidang hukum.



Penegakkan hukum harus dengan Ilmu Hukum dan bukan dengan ilmu lain
(power/politik uang)

Tujuan penegakan hukum antara lain adalah untuk menjamin adanya kepastian hukum yang juga
merupakan salah satu asas umum penyelenggaraan negara. Setiap tindakan aparat hukum baik
pada tingkat penyelidikan, penyidikan, penuntutan, maupun upaya hukum, eksekusi dan
eksaminasi harus selalu berpegang kepada aturan hukum yang juga merupakan ciri dari good
governance.
Penegakkan hukum tidak hanya dimaksudkan untuk menjatuhkan hukuman kepada setiap
pelanggar hukum, penegakkan hukum juga dimaksudkan agar pelaksanaannya harus selalu
berpedoman kepada tata cara atau prosedur yang telah digariskan oleh undang-undang dengan
memperhatikan budaya hukum yang hidup di masyarakat terutama harus mampu menangkap
rasa keadilan yang hidup di masyarakat.
Aparat penegak hukum juga dituntut untuk memperhatikan asas tertib penyelengaraan negara.
Salah satu ciri penegakkan hukum yang baik tercermin dari tertib administrasi di dalam proses
penegakkan hukum serta adanya keterpaduan dan keserasian antar aparat penegak hukum
khususnya dalam sistem peradilan pidana yang dikenal dengan integrated criminal justice
system.
Keterpaduan antar aparat penegak hukum tersebut tidak boleh disalahartikan sehingga hanya
mengedepankan kerjasama antar aparat hukum saja yang dapat mengakibatkan terjadinya bias
yang mengarah kepada tidak tertibnya administrasi atau bahkan dilanggarnya hukum.
Kerja sama antar aparat hukum dimaksudkan untuk memperlancar upaya penegakkan hukum
sesuai dengan asas cepat, sederhana dan biaya ringan serta bebas, jujur, dan tidak memihak
dalam penyelesaian perkara. Dengan kata lain, keterpaduan dimaksudkan untuk terciptanya
efektifitas dan efisiensi yang merupakan ciri lain dari good governance dengan tetap selalu
memperhatikan hukum dan tertib administrasi.
Aparat penegak hukum yang juga merupakan bagian dari masyarakat luas dituntut untuk
senantiasa memperhatikan Asas Kepentingan Umum. Aparat penegak hukum harus selalu peka
dan aspiratif terhadap perkembangan masyarakat yang semakin sadar hukum dan kritis terhadap
praktek hukum yang ada. Reformasi hukum sebagai salah satu dari agenda reformasi yang
dituntut oleh masyarakat tidak hanya menghendaki adanya perbaikan pada materi atau peraturan
hukum, melainkan juga peningkatan kinerja aparat penegak hukum.
Kepekaan aparat penegak hukum harus tergambar jelas pada pola perilaku dan profesionalisme
serta kinerja aparat penegak hukum yang merupakan cerminan dari Asas Profesionalitas. Setiap
aparat penegak hukum dituntut untuk selalu meningkatkan kemampuan dirinya baik secara
teknis maupun akademis, karena hal tersebut merupakan konsekuensi logis dari cepatnya
perkembangan teknologi modern yang juga berpengaruh kepada perkembangan psikologi
masyarakat modern.
Aparat penegak hukum dituntut untuk selalu bersedia mengikuti perkembangan ilmu sesuai
dengan kemajuan teknologi dengan tanpa meninggalkan sosial budaya bangsanya. Etika profesi
aparat penegak hukum harus selalu diorientasikan kepada kepentingan umum masyarakatnya.

Cari Contoh kasus yang mengarah kepada penyalahgunaan prosedur yang tidak berdasarkan
aturan hokum atau undang – undang yang berlaku di Indonesia, kasus disangkut pautkan dengan
peraturan yang berlaku pada daerahnya.
Contoh kasus nya harus final dan memiliki analisa.
Kasus sifatnya mengkerucut… dan tidak jauh dari AAUPB Pasal 28.

KONSEP DAN MEKANISME PELAYANAN PUBLIK DASAR
Oleh:
Slamet Luwihono
1. Pengantar
Dalam masa transisi otonomi daerah ini, kesejahteraan masyarakat hendaknya tetap
menjadi acuan dalam merumuskan peran pemerintah. Perumusan ulang tentang peran
pemerintahan meerupakan bagian dari reformasi sistem pemerintahan, selain penataan
kelembagaan pemerintahan dari tingkat pusat sampai daerah. Dengan perumusan ulang tentang
peran pemerintah, maka dapat dipetakan fungsi-fungsi penyelenggaraan pemerintahan dalam
pelayanan publik, kerena salah satu fungsi utama dalam penyelenggaraan pemerintahan adalah
penyelenggaraan pelayanan publik. Dalam penyelenggaraan pelayanan publik sudah barang tentu
tidak dapat dilayani secara keseluruhan oleh pemerintah pusat dan untuknya perlu didistribusikan
ke daerah. Dalam konteks yang demikian, sistem desentralisasi menjadi penting dalam
penyelenggaraan pemerintahan. Desentralisasi ini dimaknai sebagai penyerahan wewenang
pemerintahan oleh Pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan
pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.[1] Dengan demikian otonomi
bukanlah hanya pelaung tetapi sekaligus sebagai tantangan untuk menggapai kesejahteraan
rakyat.
Dalam sistem otonomi daerah telah terjadi perpindahan sebagian kewenangan yang
tadinya berada di pemerintahan pusat diserahkan kepada daerah otonom, sehingga daerah
otonom dapat lebih tanggap terhadap tuntuntan masyarakat berdasar kemampuan dan potensi
yang dimiliki oelh masyarakat di daerah tersebut. Bangunan sistem dan kelembagaan menjadi
penting dilakukan sebagai dasar merancang standard pelayanan publik yang optimal. Idealnya
otonomi daerah memberi dampak nyata dalam peningkatan layanan oleh pemerintah kepada
masyarakat. Pelimpahan kewenangan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah membuka
peluang terjadinya penyelenggaraan layanan dengan jalur birokrasi yang lebih ringkas dalam
peningkatan layanan publik. Kemajuan teknologi juga diharapkan menjadi alternative
terpenuhinya prinsip-prinsip transparansi, akuntabilitas, dan partisipasi masyarakat. Prinsipprinsip tersebut hendaknya menjadi acuan dalam penyelenggaraan pelayanan oleh pemerintah di
setiap tingkatan pemerintahan.
Untuk terjaminnya kesejahteraan social, konstitusi kita menjamin setiap orang:



“…. berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan
lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan…”



“…. berhak mendapatkan kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh
kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan…”



“…. berhak atas jaminan social yang memungkinkan pengembangan dirinya secar utuh
sebagai manusia yang bermartabat; dan berhak mempunyai hak milik tersebut tidak boleh
diambil alih secara sewenang-wenang oleh siapapun…”

Untuk memenuhi hak warga negara tersebut Negara mempunyai kewajiban:
§ “…. mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan
masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan…”
§ “…. bertanggungjawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas
pelayanan umum yang layak…”
Berdasarkan desentralisasi pelayanan public, telah terjadi pembegian kekuasaan dan/atau
wewenang untuk merencanakan, memutuskan, dan/atau mengelola fungsi public dari pemerintah
pusat ke pemerintah daerah. Berkaitan dengan desentralisasi pelayanan publik, berdasarkan UU
No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah pasal 13 dan 14, pemerintah daerah
mempunyai fungsi :
§ penyelenggaraan ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat;
§ penyediaan sarana dan prasaran umum;
§ penanganan bidang kesehatan;
§ penyelenggaraan pendidikan;
§ penanggulangan masalah sosial;
§ pelayanan bidang ketenagakerjaan;
§ fasilitasi pengembangan koperasi, usaha kecil dan menengah;
§ pelayanan pertanahan;
§ pelayanan kependudukan dan catatan sipil;
§ palayanan administrasi umum pemerintahan;
§ pelayanan administrasi penanaman modal;
§ penyelenggaraan pelayanan dasar lainnya.

2. Pelayanan Publik: Pengertian, Jenis, Prinsip, dan
Asas
2.1. Pengertian
Seiring dengan penerapan sistem desentralisasi, pelayanan publik akhir-akhir ini menjadi
diskusi yang hangat dan menjadi perhatian di kalangan masyarakat. Sebelumnya, isu-isu
pelayanan publik ini kurang menjadi perhatian karena berkembang asumsi bahwa pelayanan
publik itu hanyalah urusan pemerintah saja, mulai dari proses perumusan kebijakan,
implementasi, sampai dengan evaluasi. Masyarakat seringkali tidak bisa mengakses segala
informasi yang berkaitan dengan pelayanan publik ini. Penyelenggaraan Negara yang semakin
transparan telah berdampak pada kesadaran orang untuk ikut terlibat dalam proses pelayanan
publik baik dalam proses perumusan kebijakan, implementasi, sampai dengan evaluasi, dan
pengawasan.
Dari sisi administrasi Negara, pelayanan publiok dipahami sebagai[2] “segala kegiatan
layanan yang dilaksanakan oleh instansi pemerintah sebagai upaya pemenuhan kebutuhan
orang, masyarakat, instansi pemerintah dan badan hukum sebagai pelaksanan ketentuan
peraturan perundang-undangan”. Dalam era globalisasi dengan kondisi persaingan yang cukup
ketat dan penuh tantangan, aparatur pemerintah dituntut untuk bisa memeberikan pelayanan yang
sebaik-baiknya kepada masyarakat dan berorientasi kepada kebutuhan masyarakat. Kualitas
layanan kepada masyarakat ini menjadi salah satu indicator dari keberhasilan penyelenggaraan
pemerintahan. Dalam penyelenggaraan negara, terdapat asas-asas umum yang harus dijadikan
acuan pemerintah dalam melakukan layanan public.[3] Negara sebagai organisasi publik, pada
dasarnya dibentuk untuk penyelenggaraan layanan masyarakat dan bukan dimaksudkan untuk
berkembang menjadi besar dan mematikan organisasi publik lainnya.[4] Meskipun organisasi
publik memiliki ciri-ciri yang berbeda dengan organisasi bisnis, tidak ada salahnya dalam
opersionalnya menganut paradigma yang dianut dalam organisasi bisnis, yaitu, efisien, efektif,
dan tetap menempatkan masyarakat sebagai stakeholder yang harus dilayani dengan sebaikbaiknya.
Menurut salah satu kajian yang dilakukan oleh Komisi Hukum Nasional (KHN),
pelayanan publik diartikan sebagai: “suatu kewajiban yang diberikan oleh konstitusi atau
undang-undang kepada pemerintah untuk memenuhi hak-hak dasar warna Negara atau penduduk
atas suatu layanan (publik)”.[5] Pengertian menurut KHN ini secara tegas menekankan bahwa
pelayanan publik merupakan kewajiban pemerintah (negara). Batasan ini berbeda denga batasan
yang diberikan oleh Menpan yang mendefinisikan pelayanan publik hanya sebagai kegiatan
instansi pemerintah.
Pada hakekatnya penyelenggaraan pelayanan publik merupakan amanat yang diberikan
rakyat kepada penyelenggara negara (ekskutif dan legislatif) untuk meningkatkan kesejahteraan
rakyat. Peningkatan kesejahteraan ini dilakukan dengan memprioritaskan pelayanan-pelayanan
dasar bagi masyarakat. Dalam kenyataannya, masih sedikit dari masyarakat yang bisa memahami
pekayanan publik sebagai hak dan bukan pemberian pemerintah, apalagi seluk beluk
permasalahan yang ada dalam penyelenggaraan pelayanan publik. Sebagian masyarakat masih
menyederhanakan pemahaman tentang pelayanan publik yang diartikan sebagai pemberian
pemerintah. Dengan pemahaman yang sederhana itu, ketika sebagian rakyat memahami

pelayanan public sebagai pemberian dari pemerintah, masyarakat memahami pelayanan public
sebagai aktivitas belanja yang menggunakan uang pemerintah. Pemahaman yang demikian akan
membawa akibat masyarakat akan menyerahkan sepenuhnya pengelolaan pelayanan public itu
kepada pemerintahan, karena dalam pandangan masyarakat tersebut uang yang dibelanjakan
untuk pelayanan public itu milik pemerintah. Masyarakat merasa tidak memiliki hak
mencampuri pengelolaan pelayanan publik.
Dengan demikian pemahaman yang benar tentang pelayanan publik ini menjadi penting.
Pelayanan public harus dijadikan instrumen akuntabilitas atas pengelolaan kegiatan yang
dibiayai dengan uang uang public. Pelayanan publik ini mempunyai arti penting terutama bagi
pencapaian kesejahteraan masyarakat. Kebijakan pelayanan publik haruslah ditujukan untuk
menghormati (to respect), melindungi (to protect) dan memenuhi (to fulfill) hak-hak dasar
manusia. Menurut Jim St. George[6], pengertian hak-hak dasar manusia tersebut sebagai hak
ekonomi, sosial, dan budaya, yakni hak-hak dasar yang harus dipenuhi oleh setiap individu untuk
membebaskan dirinya dari kemiskinan, keterasingan, dan keterbelakangan. Termasuk di
dalamnya adalah hak untuk memperoleh makanan, pakaian, pendidikan, kesehatan, perumahan,
dan pekerjaan. Penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan hak-hak dasar itulah yang harus
menjadi prioritas terpenting dari pemerintah dalam menetapkan anggaran publik sebagai produk
kebijakan. Ketiga tersebut (penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan hak-hak dasar
masyarakat) hendaknya dijadikan acuan dalam penyusunan kebijakan pelayanan publik. Apakah
kebijakan pelayanan public pro rakyat atau tidak sebenarnya dapat dilihat antara lain dari paling
tidak apakah memang kebijakan pelayanan public memenuhi ketiga hal tersebut.
Karena essensi dasar dari kebijakan pelayanan public adalah implementasi pengelolaan
uang masyarakat untuk kesejahteraan masyarakat, maka peran masyarakat dalam management
pelayanan public mempunyai makna yang penting. Peran masyarakat di sini penting dilakukan
untuk menghindari berbagai penyimpangan yang akhirnya justru merugikan masyarakat. Peran
tersebut tidak hanya terjadi pada proses pelaksanaan tetapi sebaiknya mulai dari proses
perencanaannya, supaya dalam proses perencanaan disusun dengan memperhatikan berbagai
kepentingan, saran, dan kritik dari masyarakat. Semestinya penyusunan kebijakan pelayanan
public memenuhi tiga syarat, yaitu:[7] (1) Si pembuat keputusan dapat dimintai
pertanggungjawaban oleh public (accountable); (2) Prosesnya tidak dilakukan secara sembunyisembunyi, sehingga tidak mengindikasikan adanya korupsi dan kolusi (transparent); (3) Proses
itu juga terbuka untuk mengakomodasi opini kritis khalayak ramai (participated).
Dalam lampiran 3 Keputusan Menpan No. 63/Kep./M.PAN/7/2003, paragraph I, butir c tentang
Pedoman Umum Penyelenggaraan Layanan Publik, layanan publik oleh pemerintah dibedakan
menjadi tiga sebagai berikut:
1. Kelompok Layanan Administratif, yaitu layanan yang menghasilkan bentuk dokumen
resmi yang dibutuhkan oleh publik, misalnya status kewarganegaraan, sertifikat
kompetensi, kepemilikan dan penguasaan terhadap suatu barang, dan sebagainya.
Dokumen-dokumen ini antara lain: Kartu Tanda Penduduk (KTP), akte pernikahan, akte
kelahiran, keterangan kematian, Buku Pemillikan Kendaraan Bermotor (BPKB), Surat
Ijin Mengemudi (SIM), Surat Tanda Nomor Kendaraan Bermotor (STNK), Ijin
Mendirikan Bangunan (IMB), paspor, sertifikat kepemilikan / penguasaan tanah, dan
sebagainya.

2. Kelompok Layanan Barang yaitu layanan yang menghasilkan berbagai bentuk/jenis yang
digunakan oleh publik, misalnya jaringan telepon, penyediaan tenaga listrik, air bersih,
dan sebagainya.
3. Kelompok Layanan Jasa yaitu layanan yang menghasilkan berbagai jasa yang dibutuhkan
oleh publik, misalnya pendidikan, pemeliharaan kesehatan, penyelenggaraan transportasi,
pos, dan sebagainya.
2.2. Prinsip Pelayanan Publik
Layanan publik tersebut di atas merupakan hak masyarakat yang dalam pelaksanaannya
pada dasarnya mengandung prinsip-prinsip: kesederhanaan, kejelasan, kepastian waktu,
akurasi, keamanan, tanggung jawab, kelengkapan sarana dan prasarana, kemudahan akses,
kedisplinan-kesopanan-dan keramahan, dan kenyamanan.[8] Agak berbeda dengan rumusan
prinsip-prinsip layanan publik tersebut di atas, The Charter of Fundamental Right of the
European Union dalam pasal 14 menyatakan prinsip-prinsip layanan publik sebagai berikut:
[9]
1. Memperoleh penanganan urusan-urusannya secara tidak memihak, adil, dan dalam waktu
yang wajar.
2. Hak untuk didengar sebelum tindakan individual apapun yang akan merugikan dirinya
diputuskan.
3. Hak atas akses untuk memperoleh berkas milik pribadi dengan tetap menghormati
kepentingannya yang sah atas kerahasisaan dan atas kerahasiaan profesionalitasnya.
4. Kewajiban pihak admisitrasi Negara untuk memberikan alasan-alasan yang mendasari
keputusannya.
5. Memperoleh ganti rugi yang ditimbulkan oleh lembaga atau aparatur pemerintah dalam
menjalankan tugasnya.
2.3. Asas Pelayanan Publik
Selain prinsip-prinsip di atas,dalam memberikan layanan kepada masyarakat harus
berasaskan:
1. Transparansi: bersifat terbuka, mudah dan dapat diakses oleh semua pihak yang
membutuhkan dan disediakan secara memadai serta mudah dimengerti.
2. Akuntabilitas: dapat dipertanggung jawabkan sesuai dengan ketentuan perundangundangan.
3. Kondisional: sesuai dengan kondisi dan kemampuan pemberi penerima layanan dengan
tetap berpegang pada prinsip efisiensi dan efektivitas.
4. Partisipatif: mendorong peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan masyarakat
dengan memperhatikan aspirasi, kebutuhan, dan harapan masyarakat.
5. Kesamaan Hak : tidak diskriminatif dalam arti tidak membedakan suku, ras, agama,
golongan, gender, dan status ekonomi.
6. Keseimbangan Hak dan Kewajiban: pemberi dan penerima layanan publik harus
memenuhi hak dan kewajiban masing-masing pihak.

Apabila prinsip dan asa layanan publik tersebut ditaati oleh pelaksana/pelayan publik
dalam hal ini aparatur Negara, maka keluhan masyarakat terhadap rendahnya kualitas layanan
npublik tidak harus muncul. Munculnya keluhan dari masyarakat sebagai penerima layanan
publik lebih banyak disebabkan belum termanifestasikannya prinsip-prinsip dan asas-asas
layanan publik dalam pelaksanaan tugas aparatur Negara.
3. Kelembagaan Layanan Publik
Dalam konteks pelayanan publik dapat dapat dipetakan paling tidak tiga pelaku sebagai
berikut:
1. Penetapan kebijakan dalam layanan publik
2. Penyedia/pelaksana layanan publik
3. Penerima layanan publik
Di Negara-negara yang mana pemerintah sangat dominant, seringkali pemerintah
mendominasi sebagai pelaku pertama sekaligus pelaku kedua, sedangkan penerima layanan
publik adalah masyarakat. Dalam perkembangannya, penyedia/pelaksana layanan publik
tidak harus pemerintah karena sudah banyak terjadi contoh swastanisasi layanan publik.
Pihak swasta telah masuk dalam relasi layanan publik, sehingga sekarang dalam konteks
layanan publik terdapat tiga pihak yang saling berinteraksi, Dalam proses layanan publik
masing-masing pihak memegang fungsi dan peran yang berbeda tetapi saling berinteraksi
dalam lingkaran proses layanan public.[10] Banyak model yang dicoba untuk dikembangkan
berkaitan dengan penyediaan layanan publik. Berkaitan dengan layanan publik di tingkat
lokal, Leach[11] mengatakan bahwa eksistensi pemerintah lokal adalah untuk dapat
memenuhi kebutuhan masyarakat dengan menggunakan jalur atau mekanisme apapun yang
paling memadai, apakah melalui pemerintah langsung, sektor swasta, maupun masyarakat.
Savas (Savas, 1994) mengemukakan sepuluh model hubungan antara tiga pihak dalam
layanan publik, yaitu:[12]
1. Government service
2. Government Vending
3. Intergoverment Agreement
4. Contract
5. Franchise
6. Grant
7. Voucher
8. Market
9. Voluntary

10. Self Service
4. Partisipasi Publik Dalam Pelayanan Publik
4.1. Pengertian Partisipasi
Sistem desentrasliasi diterapkan sebagai instrument untuk percepatan terwujudnya
kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan publik, pemberdayaan, dan partisipasi
masyarakat, serta daya saing daerah dengan tetap memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan,
keadilan, dan keistimewaan daerah. Pelayanan public sebagai salah satu produk kebijakan dari
pemerintah dalam pelaksanaannya haruslah tetap mengacu pada tujuan kerangka besar yaitu
untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat melalui salah satunya partsipasi masyarakat. Partisipasi
masyarakat merupakan salah satu nilai yang harus dikembangkan dalam penyelenggaraan
pelayanan publik.
Gagasan partisipasi publik dalam pelayanan public pada dasarnya adalah satu ide untuk
memungkinkan keterlibatan masyarakat dalam proses politik, terutama dalam perencanaan,
implementasi, monitoring, dan evaluasi pelayanan publik. Partisipasi masyarakat dalam
implementasi pelayanan publik ini merupakan upaya untuk melakukan pembatasan kekuasaan
pengelolaan pelayanan publik supaya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang ada
dan untuk melakukan control sosial terhadap implementasi pelayanan publik. Dengan adanya
partisipasi dalam pelayanan publik, diharapkan pemerintahan tidak lepas kontrol dalam
implementasi pelayanan publik.
Dewasa ini pengertian pelaksanaan partisipasi seringkali hanya ditujukan untuk kegiatan
pembangunan (baca: proyek) di tingkat lokal; sementara partisipasi untuk kegiatan-kegiatan yang
bersifat makro (baca: yang menyangkut kepentingan seluruh masyarakat dan kegiatan yang
menggunakan uang masyarakat), termasuk yang berkaitan dengan kebijakan, belum banyak
mendapat perhatian. Padahal partisipasi untuk kebijakan makro juga penting dan mempengaruhi
seluruh tatanan kehidupan masyarakat.[13] Conchelos (1985)[14] membagi partisipasi menjadi
dua jenis, yaitu partisipasi dalam pengertian teknis dan partisipasi dalam pengertian politik.
Partisipasi teknis diartikan sebagai “taktik” untuk mengikutsertakan masyarakat dalam aktivitas:
mendefinisikan masalah, mengumpulkan data, menganalisa data dan mengimplementasikan
hasilnya. Sedangkan partisipasi politik diartikan sebagai pemberian kekuasaan dan kontrol
kepada masyarakat melalui pilihan-pilihan untuk beraksi, berotonomi dan berefleksi terutama
melalui pengembangan dan penguatan kelembagaan. Kegiatan partisipasi teknis yang tidak
dilandasi dengan partisipasi politis, tidak akan memberikan makna yang signifikan bagi
pembangunan masyarakat secara keseluruhan.
Secara sederhana Larry W. Canter (1977) mendefinisikan peran serta masyarakat sebagai
feed-forward information (komunikasi dari pemerintah kepada masyarakat tentang suatu
kebijakan) dan feedback information (komunikasi dari masyarakat ke pemerintah atas kebijakan
itu). Dari sudut terminologi peran serta masyarakat dapat diartikan sebagai suatu cara melakukan
interaksi antara dua kelompok; Kelompok yang selama ini tidak diikutsertakan dalam proses
pengambilan keputusan (non-elite) dan kelompok yang selama ini melakukan pengambilan
keputusan (elite) (Arimbi HP dan Mas Achmad Santoso 1993: 1).
4.2. Partisipasi Masyarakat dalam Sistem Demokrasi Perwakilan

Terdapat asumsi, bahwa secara formal procedural demokrasi sudah bisa berjalan dengan adanya
lembaga trias politika yang menyatakan bahwa kekuasaan negara hanya terdiri dari tiga jenis
lembaga yaitu: pertama, kekuasaan legislative yang mewakili berbagai golongan masyarakat
yang tugasnya membuat peraturan (undang-undang) dan mengontrol cara kerja serta kinerja
lembaga ekskutif; kedua, ekskutif yang tugasnya melaksanakan undang-undangn untuk
penyelenggaraan pemerintah sehari-hari dalam rangka memberikan pelayanan kepada
masyarakat; ketiga, lembaga yudikatif yang mempunyai kekuasaan dan berfungsi menegakkan
peraturan perundang-undangan. Adanya pembagian kekuasaan ini secara sederhana bisa
dipahami dalam rangka untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan