Teori Politik Internasional 4 Negara Oto
Negara, Otonomi, dan Moralitas:
Munculnya Hubungan Internasional Modern
Catatan Kuliah oleh Drs. Muhadi Sugiono, MA.
Dirangkum oleh
Ahmad Rizky Mardhatillah Umar
[email protected]
(Tutor)
Teori Hubungan Internasional modern ditandai oleh satu variabel
khas: “negara” (state). Antonio Negri dan Michael Hardt (2000)
mencatat bahwa modernisasi yang dibawa oleh Eropa bergantung,
salah satunya, pada konsepsi tentang ‘negara-bangsa’. Sejak
dirumuskan di Westphalia pada tahun 1648 dan studi HI mulai
diperdebatkan di awal abad ke-20, ‘negara’ menjadi bahan
perbincangan yang dominan. Dalam struktur keilmuan HI yang sangat
positivistik, mengutip Joseph Femia (2008), konsepsi negara diterima
secara a priori. “Sovereign states are, and will remain, the primary
actors in international affairs”. Sehingga, teorisasi mengenai politik
internasional pun takkan lepas dari perbincangan mengenai negara.
Pentingnya negara tersebut menimbulkan pertanyaan lanjutan:
mengapa dan bagaimana posisi penting ‘negara’ dalam teori
hubungan internasional itu muncul? Secara filosofis, munculnya
negara sebagai tolak ukur ‘moralitas’ tumbuh seiring dengan
modernisasi. Passage of Modernity, ungkap Negri dan Hardt, lahir
dari krisis, peperangan, yang di kemudian hari melahirkan negara.
Hobbes yang telah meletakkan fondasi ‘negara’ sebagai perwujudan
individu, dengan konsepsinya tentang ‘state of nature’. Kedaulatan
yang diakui dalam politik internasional adalah kedaulatan ‘negara’.
Namun, Hobbes yang sangat skeptis terhadap moralitas menuding
bahwa tidak ada ‘moralitas’ yang mewujud dalam negara.
Pada titik inilah, beberapa pemikir seperti Grotius atau van Purfendorf
tampil dengan tesis baru mereka: ‘moralitas’ dalam politik
internasional itu ada, tetapi terinstitusionalisasi dalam hukum yang
mengatur negara-bangsa.
Fixing International P0litics: Posisi Penting Negara
Mengapa ‘being a state’ itu penting dalam international politics?
Dalam kurun waktu 60 tahun terakhir, kita menghadapi fenomena
banyaknya aspirasi untuk ‘merdeka’ alias mendeklarasikan diri
sebagai ‘negara bangsa’. Sejak perjanjian Westphalia dideklarasikan
pada tahun 1648 hingga perang dunia kedua, tercatat hanya ada 40
negara yang secara formal diakui di dunia. Kini, ada 197 negara
(menyusul Palestina) yang diakui sebagai ‘negara-bangsa’ sah oleh
Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Apa artinya? Dalam kurun waktu 60 tahun terakhir, Kita menghadapi
ekspansi yang begitu kuat dari Negara- Negara bangsa. Dunia telah
‘dipecah’ oleh Negara-negara, dan melihat ekspansi dari Negaranegara bangsa, tidak ada alasan yang cukup kuat untuk menghalangi
aspirasi untuk merdeka. Pergaulan antar-bangsa, dari sejak perang
dunia berakhir hingga sekarang, dideterminasi oleh pergaulan
antar-‘negara’. Tanpa menjadi sebuah negara, mustahil hak-haknya
sebagai ‘individu dalam politik internasional diakui dan diterima
dalam pergaulan internasional. Sehingga, Being a state menjadi
sebuah cara untuk mendapatkan pengakuan sebagai sebuah entitas
politik dalam politik internasional.
Dari sini, kita mendapatkan sebuah proposisi penting: status sebagai
Negara merdeka adalah “something” dalam international politics.
Salah satu perubahan terbesar dalam sejarah manusia adalah
terbentuknya Negara (state). Pergaulan antar-bangsa mengakui
hanya ‘negara’ dalam interaksi dan arena pergulatannya. Dengan
demikian, dunia diidentifikasi hanya oleh satu forma identitas: “state”.
United Nations menyajikan sistem identifikasi tunggal dalam
memahami politik internasional, yaitu “State” dengan dua prinsip: (1)
Self-Determination; dan (2) Non-Intervention. Prinsip pertama berarti
hak untuk menentukan nasib sendiri, dan hak kedua yaitu tidak ada
kekuatan lain yang berhak untuk mencampuri urusan sebuah negara
kecuali negara itu sendiri.
Dari sini, kita menemui satu fakta menarik: Negara sebagai unit
politik memiliki basis moralitas, yaitu “sesuatu yang tak bisa
terelakkan sebagai norma dalam Hubungan Internasional. Kita akan
mulai dari satu hal: sentiment kebangsaan. Sentimen kebangsaan
menjadikan Negara sebagai sumber kekerasan. Kekerasan yang
berhubungan dengan ‘negara-bangsa’ muncul dari dua bentuk
berbeda: (1) Upaya untuk mencapai kemerdekaan (struggle for
independence); dan (2) Upaya untuk mempertahankan kemerdekaan.
Dengan adanya ‘negara’, kekerasan menjadi legal. Akan tetapi,
dengan adanya ‘negara’, kekerasan juga menjadi ilegal jika tidak
sesuai dengan basis normatif ‘negara’. Transformasi ‘negara’ sebagai
basis moralitas inilah yang menjadi standing position bagi Grotius
untuk merumuskan tesisnya tentang hukum internasional sebagai
acuan bagi ‘negara-bangsa’ untuk melakukan aktivitas dan
interaksinya.
Lantas, mengapa konsep “Negara-bangsa”, secara konseptual,
menjadi konsep yang sangat dominan dalam politik internasional?
Atau, mengapa “Negara-bangsa” menjadi konsep yang sangat
dominan untuk menjelaskan hubungan-hubungan antarbangsa?
Why Modern
Individual
States?
Negara
dan
Imaji
tentang
Modern
Imaji tentang “Negara” berawal dari konseptualisasi mendasar
mengenai modern individual, yang dicirikan oleh beberapa hal: (1)
Independent (bebas); (2) Willing (berkemauan); dan (3)
Selfinterested (punya kepentingan sendiri). Konsekuensinya, institusi
politik yang menjadi institusi kolektif dari modern individual tersebut
menjadi cerminan dari modern individu tersebut. “Modern State”
adalah refleksi dari individu-individu yang modern tersebut.
Dalam teori politik, ada dua cara yang digunakan untuk melihat
proses transformasi dari individu modern tersebut menjadi institusi
kolektif yang modern.
Pertama, ‘Negara’ sebagai pelindung kebebasan. Modernisasi
meletakkan negara sebagai alat untuk melindungi kebebasan
manusia. Jika dibandingkan sebelumnya (pra-modern), semua institusi
kolektif pra-modern menempatkan individu subordinated terhadap
kekuasaan. “Negara adalah saya”, kata seorang raja di Perancis yang
akhirnya dilengserkan oleh Revolusi Kaum Borjuis.,
Negara
terpersonalisasi dalam konteks “siapa yang berkuasa”. Dalam konteks
Negara modern, Negara tidak sama dengan pemerintah. Negara
adalah simbol dari kebebasan individu, dan jika negara mensubordinasi kebebasan, dalam argument John Locke, maka hak untuk
melakukan revolusi atas Negara menjadi terbuka.
Kedua, ‘Negara’ sebagai refleksi dari kebebasan berserikat. Pada titik
inilah argumen mengenai “kontrak sosial” (Rousseau) masuk. Negara
menjadi institusi yang sakral. Dalam argument ini, menghancurkan
Negara berarti menghancurkan kebebasan masyarakat. Dalam
posisinya sebagai pelindung kebebasan masyarakat, secara
konseptual, Negara menjadi penting. Negara menjadi pelindung dari
hak untuk berserikat, berorganisasi, serta mengartikulasikan
kepentingan politiknya. Dari sinilah, negara penting untuk menjaga
agar hak warga negara untuk berpolitik bertahan.
Pada titik ini pula, muncul paradoks. Negara ternyata tidak hanya
berfungsi sebagai refleksi dari kebebasan berserikat, tetapi, secara
fethish, juga menjadi senjata dari kepentingan tertentu yang lahir
justru dari entitas negara itu sendiri. Negara berubah menjadi
‘kepentingan’ itu sendiri oleh aparatusnya. Atas nama ‘kebebasan’,
hak untuk membunuh juga muncul. Negara menjadi institusi yang sah
untuk mengirimkan individunya untuk membunuh orang lain, justru
atas nama kebebasan. Seperti kata Giorgio Agamben (1998), terjadi
situasi di mana seseorang menjadi legal untuk dibunuh, salah satunya
atas nama kebebasan (Homo Sacer). Paradoks ini mengemuka ketika
Amerika Serikat menyerang Afghanistan dan Iraq justru atas nama
kebebasan dan demokrasi. Dalam bahasa Mahmood Mamdani (2010),
responsibility to protect, dalam level-level tertentu, justru berubah
menjadi rights to punish atau rights to kill.
Secara filosofis, keberadaan Negara tak lepas dari konseptualisasi
mengenai “individu yang merdeka”. Moralitas Negara adalah
“kemerdekaan”. Akar pemikirannya dapat dilacak dari diskursus
liberal mengenai modernitas, yang meletakkan kemerdekaan sebagai
basis dari interaksi manusia.
Moralitas Negara, Kemerdekaan, dan Munculnya ‘Hukum’
Ada dua konsepsi mengenai kemerdekaan (freedom, liberty). Isaiah
Berlin (Two Concept of Liberty) menyebut dua hal yang berbeda
mengenai kemerdekaan. Pertama, Kebebasan negatif. Istilah ini
tercermin dalam istilah “Don’t touch me, leave me alone”. Seseorang
dikatakan “bebas” jika ia tidak dihambat secara fisik oleh orang lain.
Konsep ini melahirkan terminologi “non-intervensi” dalam konsepsi
Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Kedua, Kebebasan positif. Istilah ini berarti “Kebebasan untuk
melakukan sesuatu”. Seseorang dikatakan “bebas” jika ia bisa
memilih tindakan secara sadar. Konsep ini melahirkan terminologi
“self-determination” dalam konsepsi Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Konseptualisasi Berlin mengenai dua bentuk kebebasan tersebut
kemudian diadopsi dalam dua prinsip penting United Nations tentang
Negara: non-intervention dan self-determination. Konsepsi inilah yang
dipegang sebagai tolak ukur kemerdekaan dalam pergaulan
internasional antar-bangsa saat ini.
Kemerdekaan kemudian diikat oleh hukum internasional. Pada titik
inilah international politics diinstitusionalisasi oleh discourse tentang
Negara. Apa implikasinya? Secara politik, Negara menjadi actor yang
sangat dominan dalam hubungan internasional. Secara moral, Negara
tidak hanya menjadi institusi yang legal dalam menggunakan
kekerasan, tetapi juga menjadi standard moralitas dalam hubungan
internasional.
Bagaimana hal ini beroperasi? Kita bisa melihat the use of coerce
(penggunaan kekerasan) yang secara legal hanya dimiliki oleh negara.
Sebagai salah satu contoh, kita bisa melihat diskursus tentang perang.
Dalam proposisi “Negara sebagai standard moralitas”, berarti ada
pengaturan tentang perang. Perang menjadi sesuatu yang legal, tetapi
ia harus diatur melalui kesepakatan antara Negara yang satu dengan
Negara yang lain. Pada titik inilah konsepsi ‘hukum internasional’ itu
muncul.
Grotius bercerita banyak tentang the rights to peace and war. Perang
dan Damai diatur melalui regulasi yang ketat. Secara lebih luas,
Negara menjadi standard of civilization. Negara menjadi tolak
ukur ‘mana yang beradab’ dan ‘mana yang tidak’. Sebagaimana
konsepsi umum tentang modernitas, negara mengeksklusi setiap
discourse yang tidak sejalan dengannya. ‘Negara’, jika meminjam
Laclau dan Mouffe (1985), menghegemoni pemaknaan tentang politik
internasional. Negara adalah perwujudan modernitas.
Gagasan ini akan sampai pada pembicaraan mengenai Negara
sebagai pelindung kemanusiaan. Negara melindungi hak-hak yang
dimiliki oleh manusia. Masyarakat yang berada dalam status Negara
adalah mereka yang memiliki hak-hak istimewa. Gagasan ini
melahirkan konsep mengenai human rights. Negara harus melindungi
hak-hak warga negaranya. Oleh sebab itu, jika hak manusia dilanggar,
Negara akan memiliki hak untuk melakukan humanitarian
intervention.
Pada titik ini, kita akan bicara mengenai kolonialisme. Gagasan
mengenai modern state adalah refleksi dari modern individual.
Individu yang tidak modern, tidak bisa diatur oleh Negara. Mereka
yang tidak modern kemudian menjadi sub-human, mereka yang tidak
memiliki hak untuk secara kolektif menjadi state. Cara berpikir saat
itu adalah kesederajatan dan keberadaban. Mereka yang tidak
modern adalah mereka yang tidak sederajat dengan mereka yang
modern –gagasan ini dibongkar oleh Edward Said sebagai project of
Orientalism. Dengan cara berpikir ini, kolonialisme menjadi sesuatu
yang tidak bermasalah, karena relasi mereka bukan dengan human –
dalam kerangka modernitas, tetapi dengan sub-human. Negara
mengeksklusi tradisionalitas dalam kerangka diskursif ‘kolonialisme’.
Seiring dengan munculnya kritik terhadap modernitas –juga kritik
terhadap kekerasan yang dilakukan oleh ‘negara’ baik dalam bentuk
aneksasi ke negara lain maupun terhadap rakyatnya, yang ironisnya
terjadi atas nama hukum, mulai muncul gagasan-gagasan lain yang
menempatkan moralitas universal sebagai standard perilaku antarbangsa, alih-alih meletakkan perhatian yang begitu besar pada
‘negara’. Gagasan inilah yang membawa kita pada wacana besar
tentang ‘kosmopolitanisme’.
Bahan Bacaan
Agamben, Giorgio, 1998, Homo Sacer: Sovereign Power and Bare
Life, Stanford: Stanford University Press.
Beitz, Charles R. 1978, Political Theory and International Relations,
New Jersey: Princeton University Press.
Berlin, Isaiah, 2002, Liberty: Incorporating Four Essays on Liberty,
Oxford: Oxford University Press.
Femia, Joseph, 2008, “Gramsci, Epistemology, and International
Relations” Political Studies Association Conference, Swansea, April 13.
Grotius, Hugo, 2005, The Right of War and Peace, Book 1-3, Liberty
Fund Inc.
Laclau, Ernesto dan Chantal Mouffe, 1985, Hegemony and Socialist
Strategy: Towards a Radical and Democratic Politics, London: Verso.
Mamdani, Mahmood, 2010, Savior and Survivors: Darfur, Politics, and
The War on Terror, Cape Town: HSRC Press.
Negri, Antonio dan Michael Hardt, 2000, Empire, London: Verso.
Rousseau, Jean-Jacques, 1998, The Social Contract or Principles of
Political
Right.
Translated
1782
by
GDH.
Cole.
http://www.constitution.org/jjr/socon.htm
von Pufendorf, Samuel, 1991, On the Duty of Man and Citizen
According to Natural Law, Cambridge: Cambridge University Press.
Munculnya Hubungan Internasional Modern
Catatan Kuliah oleh Drs. Muhadi Sugiono, MA.
Dirangkum oleh
Ahmad Rizky Mardhatillah Umar
[email protected]
(Tutor)
Teori Hubungan Internasional modern ditandai oleh satu variabel
khas: “negara” (state). Antonio Negri dan Michael Hardt (2000)
mencatat bahwa modernisasi yang dibawa oleh Eropa bergantung,
salah satunya, pada konsepsi tentang ‘negara-bangsa’. Sejak
dirumuskan di Westphalia pada tahun 1648 dan studi HI mulai
diperdebatkan di awal abad ke-20, ‘negara’ menjadi bahan
perbincangan yang dominan. Dalam struktur keilmuan HI yang sangat
positivistik, mengutip Joseph Femia (2008), konsepsi negara diterima
secara a priori. “Sovereign states are, and will remain, the primary
actors in international affairs”. Sehingga, teorisasi mengenai politik
internasional pun takkan lepas dari perbincangan mengenai negara.
Pentingnya negara tersebut menimbulkan pertanyaan lanjutan:
mengapa dan bagaimana posisi penting ‘negara’ dalam teori
hubungan internasional itu muncul? Secara filosofis, munculnya
negara sebagai tolak ukur ‘moralitas’ tumbuh seiring dengan
modernisasi. Passage of Modernity, ungkap Negri dan Hardt, lahir
dari krisis, peperangan, yang di kemudian hari melahirkan negara.
Hobbes yang telah meletakkan fondasi ‘negara’ sebagai perwujudan
individu, dengan konsepsinya tentang ‘state of nature’. Kedaulatan
yang diakui dalam politik internasional adalah kedaulatan ‘negara’.
Namun, Hobbes yang sangat skeptis terhadap moralitas menuding
bahwa tidak ada ‘moralitas’ yang mewujud dalam negara.
Pada titik inilah, beberapa pemikir seperti Grotius atau van Purfendorf
tampil dengan tesis baru mereka: ‘moralitas’ dalam politik
internasional itu ada, tetapi terinstitusionalisasi dalam hukum yang
mengatur negara-bangsa.
Fixing International P0litics: Posisi Penting Negara
Mengapa ‘being a state’ itu penting dalam international politics?
Dalam kurun waktu 60 tahun terakhir, kita menghadapi fenomena
banyaknya aspirasi untuk ‘merdeka’ alias mendeklarasikan diri
sebagai ‘negara bangsa’. Sejak perjanjian Westphalia dideklarasikan
pada tahun 1648 hingga perang dunia kedua, tercatat hanya ada 40
negara yang secara formal diakui di dunia. Kini, ada 197 negara
(menyusul Palestina) yang diakui sebagai ‘negara-bangsa’ sah oleh
Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Apa artinya? Dalam kurun waktu 60 tahun terakhir, Kita menghadapi
ekspansi yang begitu kuat dari Negara- Negara bangsa. Dunia telah
‘dipecah’ oleh Negara-negara, dan melihat ekspansi dari Negaranegara bangsa, tidak ada alasan yang cukup kuat untuk menghalangi
aspirasi untuk merdeka. Pergaulan antar-bangsa, dari sejak perang
dunia berakhir hingga sekarang, dideterminasi oleh pergaulan
antar-‘negara’. Tanpa menjadi sebuah negara, mustahil hak-haknya
sebagai ‘individu dalam politik internasional diakui dan diterima
dalam pergaulan internasional. Sehingga, Being a state menjadi
sebuah cara untuk mendapatkan pengakuan sebagai sebuah entitas
politik dalam politik internasional.
Dari sini, kita mendapatkan sebuah proposisi penting: status sebagai
Negara merdeka adalah “something” dalam international politics.
Salah satu perubahan terbesar dalam sejarah manusia adalah
terbentuknya Negara (state). Pergaulan antar-bangsa mengakui
hanya ‘negara’ dalam interaksi dan arena pergulatannya. Dengan
demikian, dunia diidentifikasi hanya oleh satu forma identitas: “state”.
United Nations menyajikan sistem identifikasi tunggal dalam
memahami politik internasional, yaitu “State” dengan dua prinsip: (1)
Self-Determination; dan (2) Non-Intervention. Prinsip pertama berarti
hak untuk menentukan nasib sendiri, dan hak kedua yaitu tidak ada
kekuatan lain yang berhak untuk mencampuri urusan sebuah negara
kecuali negara itu sendiri.
Dari sini, kita menemui satu fakta menarik: Negara sebagai unit
politik memiliki basis moralitas, yaitu “sesuatu yang tak bisa
terelakkan sebagai norma dalam Hubungan Internasional. Kita akan
mulai dari satu hal: sentiment kebangsaan. Sentimen kebangsaan
menjadikan Negara sebagai sumber kekerasan. Kekerasan yang
berhubungan dengan ‘negara-bangsa’ muncul dari dua bentuk
berbeda: (1) Upaya untuk mencapai kemerdekaan (struggle for
independence); dan (2) Upaya untuk mempertahankan kemerdekaan.
Dengan adanya ‘negara’, kekerasan menjadi legal. Akan tetapi,
dengan adanya ‘negara’, kekerasan juga menjadi ilegal jika tidak
sesuai dengan basis normatif ‘negara’. Transformasi ‘negara’ sebagai
basis moralitas inilah yang menjadi standing position bagi Grotius
untuk merumuskan tesisnya tentang hukum internasional sebagai
acuan bagi ‘negara-bangsa’ untuk melakukan aktivitas dan
interaksinya.
Lantas, mengapa konsep “Negara-bangsa”, secara konseptual,
menjadi konsep yang sangat dominan dalam politik internasional?
Atau, mengapa “Negara-bangsa” menjadi konsep yang sangat
dominan untuk menjelaskan hubungan-hubungan antarbangsa?
Why Modern
Individual
States?
Negara
dan
Imaji
tentang
Modern
Imaji tentang “Negara” berawal dari konseptualisasi mendasar
mengenai modern individual, yang dicirikan oleh beberapa hal: (1)
Independent (bebas); (2) Willing (berkemauan); dan (3)
Selfinterested (punya kepentingan sendiri). Konsekuensinya, institusi
politik yang menjadi institusi kolektif dari modern individual tersebut
menjadi cerminan dari modern individu tersebut. “Modern State”
adalah refleksi dari individu-individu yang modern tersebut.
Dalam teori politik, ada dua cara yang digunakan untuk melihat
proses transformasi dari individu modern tersebut menjadi institusi
kolektif yang modern.
Pertama, ‘Negara’ sebagai pelindung kebebasan. Modernisasi
meletakkan negara sebagai alat untuk melindungi kebebasan
manusia. Jika dibandingkan sebelumnya (pra-modern), semua institusi
kolektif pra-modern menempatkan individu subordinated terhadap
kekuasaan. “Negara adalah saya”, kata seorang raja di Perancis yang
akhirnya dilengserkan oleh Revolusi Kaum Borjuis.,
Negara
terpersonalisasi dalam konteks “siapa yang berkuasa”. Dalam konteks
Negara modern, Negara tidak sama dengan pemerintah. Negara
adalah simbol dari kebebasan individu, dan jika negara mensubordinasi kebebasan, dalam argument John Locke, maka hak untuk
melakukan revolusi atas Negara menjadi terbuka.
Kedua, ‘Negara’ sebagai refleksi dari kebebasan berserikat. Pada titik
inilah argumen mengenai “kontrak sosial” (Rousseau) masuk. Negara
menjadi institusi yang sakral. Dalam argument ini, menghancurkan
Negara berarti menghancurkan kebebasan masyarakat. Dalam
posisinya sebagai pelindung kebebasan masyarakat, secara
konseptual, Negara menjadi penting. Negara menjadi pelindung dari
hak untuk berserikat, berorganisasi, serta mengartikulasikan
kepentingan politiknya. Dari sinilah, negara penting untuk menjaga
agar hak warga negara untuk berpolitik bertahan.
Pada titik ini pula, muncul paradoks. Negara ternyata tidak hanya
berfungsi sebagai refleksi dari kebebasan berserikat, tetapi, secara
fethish, juga menjadi senjata dari kepentingan tertentu yang lahir
justru dari entitas negara itu sendiri. Negara berubah menjadi
‘kepentingan’ itu sendiri oleh aparatusnya. Atas nama ‘kebebasan’,
hak untuk membunuh juga muncul. Negara menjadi institusi yang sah
untuk mengirimkan individunya untuk membunuh orang lain, justru
atas nama kebebasan. Seperti kata Giorgio Agamben (1998), terjadi
situasi di mana seseorang menjadi legal untuk dibunuh, salah satunya
atas nama kebebasan (Homo Sacer). Paradoks ini mengemuka ketika
Amerika Serikat menyerang Afghanistan dan Iraq justru atas nama
kebebasan dan demokrasi. Dalam bahasa Mahmood Mamdani (2010),
responsibility to protect, dalam level-level tertentu, justru berubah
menjadi rights to punish atau rights to kill.
Secara filosofis, keberadaan Negara tak lepas dari konseptualisasi
mengenai “individu yang merdeka”. Moralitas Negara adalah
“kemerdekaan”. Akar pemikirannya dapat dilacak dari diskursus
liberal mengenai modernitas, yang meletakkan kemerdekaan sebagai
basis dari interaksi manusia.
Moralitas Negara, Kemerdekaan, dan Munculnya ‘Hukum’
Ada dua konsepsi mengenai kemerdekaan (freedom, liberty). Isaiah
Berlin (Two Concept of Liberty) menyebut dua hal yang berbeda
mengenai kemerdekaan. Pertama, Kebebasan negatif. Istilah ini
tercermin dalam istilah “Don’t touch me, leave me alone”. Seseorang
dikatakan “bebas” jika ia tidak dihambat secara fisik oleh orang lain.
Konsep ini melahirkan terminologi “non-intervensi” dalam konsepsi
Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Kedua, Kebebasan positif. Istilah ini berarti “Kebebasan untuk
melakukan sesuatu”. Seseorang dikatakan “bebas” jika ia bisa
memilih tindakan secara sadar. Konsep ini melahirkan terminologi
“self-determination” dalam konsepsi Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Konseptualisasi Berlin mengenai dua bentuk kebebasan tersebut
kemudian diadopsi dalam dua prinsip penting United Nations tentang
Negara: non-intervention dan self-determination. Konsepsi inilah yang
dipegang sebagai tolak ukur kemerdekaan dalam pergaulan
internasional antar-bangsa saat ini.
Kemerdekaan kemudian diikat oleh hukum internasional. Pada titik
inilah international politics diinstitusionalisasi oleh discourse tentang
Negara. Apa implikasinya? Secara politik, Negara menjadi actor yang
sangat dominan dalam hubungan internasional. Secara moral, Negara
tidak hanya menjadi institusi yang legal dalam menggunakan
kekerasan, tetapi juga menjadi standard moralitas dalam hubungan
internasional.
Bagaimana hal ini beroperasi? Kita bisa melihat the use of coerce
(penggunaan kekerasan) yang secara legal hanya dimiliki oleh negara.
Sebagai salah satu contoh, kita bisa melihat diskursus tentang perang.
Dalam proposisi “Negara sebagai standard moralitas”, berarti ada
pengaturan tentang perang. Perang menjadi sesuatu yang legal, tetapi
ia harus diatur melalui kesepakatan antara Negara yang satu dengan
Negara yang lain. Pada titik inilah konsepsi ‘hukum internasional’ itu
muncul.
Grotius bercerita banyak tentang the rights to peace and war. Perang
dan Damai diatur melalui regulasi yang ketat. Secara lebih luas,
Negara menjadi standard of civilization. Negara menjadi tolak
ukur ‘mana yang beradab’ dan ‘mana yang tidak’. Sebagaimana
konsepsi umum tentang modernitas, negara mengeksklusi setiap
discourse yang tidak sejalan dengannya. ‘Negara’, jika meminjam
Laclau dan Mouffe (1985), menghegemoni pemaknaan tentang politik
internasional. Negara adalah perwujudan modernitas.
Gagasan ini akan sampai pada pembicaraan mengenai Negara
sebagai pelindung kemanusiaan. Negara melindungi hak-hak yang
dimiliki oleh manusia. Masyarakat yang berada dalam status Negara
adalah mereka yang memiliki hak-hak istimewa. Gagasan ini
melahirkan konsep mengenai human rights. Negara harus melindungi
hak-hak warga negaranya. Oleh sebab itu, jika hak manusia dilanggar,
Negara akan memiliki hak untuk melakukan humanitarian
intervention.
Pada titik ini, kita akan bicara mengenai kolonialisme. Gagasan
mengenai modern state adalah refleksi dari modern individual.
Individu yang tidak modern, tidak bisa diatur oleh Negara. Mereka
yang tidak modern kemudian menjadi sub-human, mereka yang tidak
memiliki hak untuk secara kolektif menjadi state. Cara berpikir saat
itu adalah kesederajatan dan keberadaban. Mereka yang tidak
modern adalah mereka yang tidak sederajat dengan mereka yang
modern –gagasan ini dibongkar oleh Edward Said sebagai project of
Orientalism. Dengan cara berpikir ini, kolonialisme menjadi sesuatu
yang tidak bermasalah, karena relasi mereka bukan dengan human –
dalam kerangka modernitas, tetapi dengan sub-human. Negara
mengeksklusi tradisionalitas dalam kerangka diskursif ‘kolonialisme’.
Seiring dengan munculnya kritik terhadap modernitas –juga kritik
terhadap kekerasan yang dilakukan oleh ‘negara’ baik dalam bentuk
aneksasi ke negara lain maupun terhadap rakyatnya, yang ironisnya
terjadi atas nama hukum, mulai muncul gagasan-gagasan lain yang
menempatkan moralitas universal sebagai standard perilaku antarbangsa, alih-alih meletakkan perhatian yang begitu besar pada
‘negara’. Gagasan inilah yang membawa kita pada wacana besar
tentang ‘kosmopolitanisme’.
Bahan Bacaan
Agamben, Giorgio, 1998, Homo Sacer: Sovereign Power and Bare
Life, Stanford: Stanford University Press.
Beitz, Charles R. 1978, Political Theory and International Relations,
New Jersey: Princeton University Press.
Berlin, Isaiah, 2002, Liberty: Incorporating Four Essays on Liberty,
Oxford: Oxford University Press.
Femia, Joseph, 2008, “Gramsci, Epistemology, and International
Relations” Political Studies Association Conference, Swansea, April 13.
Grotius, Hugo, 2005, The Right of War and Peace, Book 1-3, Liberty
Fund Inc.
Laclau, Ernesto dan Chantal Mouffe, 1985, Hegemony and Socialist
Strategy: Towards a Radical and Democratic Politics, London: Verso.
Mamdani, Mahmood, 2010, Savior and Survivors: Darfur, Politics, and
The War on Terror, Cape Town: HSRC Press.
Negri, Antonio dan Michael Hardt, 2000, Empire, London: Verso.
Rousseau, Jean-Jacques, 1998, The Social Contract or Principles of
Political
Right.
Translated
1782
by
GDH.
Cole.
http://www.constitution.org/jjr/socon.htm
von Pufendorf, Samuel, 1991, On the Duty of Man and Citizen
According to Natural Law, Cambridge: Cambridge University Press.