Faktor Risiko Kejadian Hipertensi Sistolik Terisolasi pada Lansia di Kecamatan Penanggalan Kota Subulussalam Aceh Tahun 2014

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Konsep HST
Sampai saat ini belum ada definisi yang tepat mengenai hipertensi karena
tidak ada batas tegas yang membedakan antara hipertensi dan normotensi. Yang telah
dibuktikan adalah peningkatan tekanan darah akan menaikkan mortalitas dan
morbiditas. Secara teoritis hipertensi didefinisikan sebagai suatu tingkat tekanan
darah tertentu yaitu di atas tingkat tekanan darah tersebut dengan memberikan
pengobatan akan menghasilkan lebih banyak manfaat dibandingkan tidak
memberikan pengobatan.
Hipertensi yang tidak diketahui penyebabnya didefinisikan sebagai hipertensi
esensial. Beberapa penulis lebih memilih istilah hipertensi primer untuk
membedakannya dengan hipertensi lain yang sekunder karena sebab-sebab yang
diketahui (Yogiantoro, 2006).
Menurut WHO (1978) dalam Susalit et.al. (2005), batas tekanan darah yang
masih dianggap normal adalah 140/90 mmHg dan tekanan darah sama dengan atau di
atas 160/95 mmHg dinyatakan sebagai hipertensi.
HST merupakan penyebab tersering peningkatan tekanan darah pada
kelompok lansia. Seiring dengan bertambahnya usia, akan semakin banyak orang
menderita hipertensi, suatu keadaan yang merupakan faktor risiko penyakit

kardiovaskuler yang paling sering ada dan paling mudah diterapi. Meskipun tidak ada

12
Universitas Sumatera Utara

nilai ambang yang jelas untuk menentukan risiko potensial untuk penyakit
kardiovaskuler, tetapi risiko jangka panjang meningkat secara progresif atas rentang
tekanan darah tertentu.
HST didefinisikan sebagai tekanan darah sistolik sebesar 140 mmHg atau
lebih dan tekanan darah diastolik sebesar 140 mmHg dan DBP 60 tahun dan ¾ orang dewasa usia >75
tahun mengalami HST (Pannarele, 2008).

2.3. Klasifikasi HST
Ada beberapa definisi dan klasifikasi hipertensi sistol-diastolik di diagnosis
bila Tekanan Darah Sistolik (TDS) 140 mmHg dan Tekanan Darah Diastolik (TDD)
90 mmHg. HST adalah bila TDS 140 mmHg dengan TDD 60 tahun dengan Plasma Viskositas (PV) memiliki
hubungan yang bermakna untuk terjadinya hipertensi sistolik.
2. Konsumsi Garam
Beberapa studi terhadap populasi dengan asupan garam yang berbeda dan
percobaan secara terkontrol dan acak terhadap pengurangan asupan garam

menunjukkan bahwa asupan sodium yang berbeda-beda bisa mengubah tekanan
darah. Namun, taksiran mereka tidak setuju dengan ukuran dampaknya. Analisis
terhadap beberapa hasil studi pooled memperkirakan bahwa tekanan sistolik/diastolik
meningkat sebesar 4-5 mmHg untuk setiap peningkatan asupan sodium harian sebesar
100 mmol. Dampak dari sodium terhadap tekanan darah meningkat sesuai usia. Hal
ini bisa saja di sebabakan oleh dampak buruk kelebihan mengkonsumsi sodium
selama hidup, atau karena semakin bertambahnya usia semakin sulit mempertahankan
keseimbangan sodium normal (Bulpit et.al. 1999).
Menurut WHO (2002) sebaiknya konsumsi garam tidak lebih dari 5 gram per
hari setara dengan 110 mmol natrium atau 2400 mg/hari serta mengurangi konsumsi
Mono Sodium Glutamat (MSG) dengan kata lain mengurangi asupan natrium dan
meningkatkan asupan potassium dan kalsium seperti sayur dan buah segar. American

Universitas Sumatera Utara

Heart Association menyarankan konsumsi maksimum garam sebanyak satu sendok
teh per hari. Sementara lemak memang dibutuhkan tubuh namun dalam jumlah kecil
yaitu untuk menjaga tubuh tetap berfungsi karena itu konsumsi lemak disarankan
kurang dari 30% dari konsumsi kalori setiap hari. Namun dalam modifikasi gaya
hidup untuk batasan diet garam dalam Guide to management 0f hypertension (2008)

adalah ≤4 g/hari (65 mmol/ hari sodium). Garam terdiri dari dua unsur yaitu natrium
dan klor. Dari kedua unsur ini natrium yang dapat meningkatkan tekanan darah.
Sumber natrium bukan satu-satunya dari garam tetapi masih banyak sumber yang
lain seperti puder baker, soda baker, MSG, sodium, sakarin. Penelitian yang
dilakukan oleh Mizwar (2004) di kabupaten Klaten dan Riyadi (2006) di Kabupaten
Rejanglebong masing-masing mendapatkan bahwa konsumsi garam merupakan
faktor risiko tejadinya hipertensi essensial dengan nilai OR = 5,2 dan OR = 3,34.
a.

Metode Food Frequency Questioner (FFQ)
Metode frekuensi makanan adalah untuk memperoleh data tentang frekuensi

konsumsi sejumlah bahan makanan atau makanan jadi selama periode tertentu seperti
hari, minggu, bulan atau tahun. Selain itu dengan metode frekuensi makanan dapat
memperoleh gambaran pola konsumsi bahan makanan secara kualitatif, tapi karena
periode pengamatannya lebih lama dan dapat membedakan individu berdasarkan
ranking tingkat konsumsi zat gizi, maka cara ini paling sering digunakan dalam
penelitian epidemiologi gizi. Kuesioner frekuensi makanan memuat tentang daftar
bahan makanan dan frekuensi penggunaan makanan tersebut pada periode tertentu.
Bahan makanan yang ada dalam daftar kuesioner tersebut adalah yang dikonsumsi


Universitas Sumatera Utara

dalam frekuensi yang cukup sering oleh responden. Metode frekuensi makanan
memiliki kelebihan dan kekurangan. Kelebihannya adalah Relative murah dan
sederhana, dapat dilakukan sendiri oleh responden, tidak membutuhkan latihan
khusus, dapat membantu untuk menjelaskan hubungan antara penyakit dan kebiasaan.
Sedangkan kekurangannya adalah tidak dapat untuk menghitung intake zat gizi
sehari, sulit mengembangkan kuesioner pengumpulan data, cukup menjemukan bagi
pewawancara, diperlukan studi pendahuluan untuk menentukan jenis bahan makanan
yang akan masuk dalam daftar kuesioner, dan responden harus jujur dan mempunyai
motivasi tinggi (Supariasa, 2001).
3. Aktifitas Fisik
Aktivitas fisik adalah gerakan yang dilakukan oleh otot tubuh dan sistem
penunjangnya. Selama melakukan aktivitas fisik, otot membutuhkan energi diluar
metabolisme untuk bergerak, sedangkan jantung dan paru-paru memerlukan
tambahan energi untuk mengantarkan zat-zat gizi dan oksigen ke seluruh tubuh dan
untuk mengeluarkan sisa-sisa dari tubuh (Supariasa, 2001).
Sejumlah studi menunjukkan bahwa olahraga teratur, mengurangi faktor
risiko terhadap penyakit jantung koroner, termasuk hipertensi. Kemampuan aktifitas

fisik yang berhubungan dengan kesehatan akan memengaruhi kemampuan tubuh
untuk berfungsi secara baik, komponen tersebut antara lain efisiensi kardiovaskuler,
kelenturan, pengendalian gerak badan dan pengurangan stress (Mien, 1998).
Aktifitas fisik mempunyai peranan penting dalam mengurangi cadangan
energi yang tertimbun di dalam tubuh sebagai sumber tenaga. Semakin lama dan

Universitas Sumatera Utara

semakin berat seseorang melakukan aktifitas fisik maka jumlah kalori yang
digunakan akan semakin bertambah. Sebaliknya semakin ringan dan singkat waktu
yang digunakan untuk melakukan aktifitas fisik maka semakin kecil pengaruhnya
terhadap penurunan berat badan (Beevers, 2002). Dampak aktifitas fisik berhubungan
dengan kejadian hipertensi. Aktivitas fisik yang kurang akan meningkatkan risiko
terjadinya hipertensi dan sebaliknya aktivitas fisik yang teratur dan terukur dapat
mempertahankan tekanan darah dalam kondisi normal (WHO, 2004).
Gaya hidup yang tidak banyak bergerak berpengaruh terhadap peningkatan
tekanan darah dan seiring bertambahnya usia aktivitasseseorang menjadi lebih statis
(tidak banyak bergerak). Teori ini di dukung dengan penemuan bahwa olahraga bisa
menguragi tekanan darah. Perubahan gaya hidup kearah pengeluaran energi yang
lebih tinggi menyebabkan tekanan sistolik/tekanan diastolik berkurang rata-rata 10/8

mmHg pada pasien yang hipertensi, 6/7 mmHg pada subjek hipertensi ambang batas,
dan 3/3 mmHg pada pasien normotensi (Bulpit et.al. 1999).
Dewasa ini kehidupan masyarakat telah berkembang menuju modernisasi dan
mekanisasi sehingga banyak mesyarakat mengalami kemunduran (hypokinetik) organ
tubuh. Organ tubuh utama yang mengalami kemunduran adalah jantung, paru-paru
dan otot. Penelitian epidemiologi menunjukkan bahwa hubungan antara perilaku
kurang gerak dan hipertensi adalah sangat kuat (Brooks dan Baster, 2005).
Diperkirakan 75% pasien hipertensi menurunkan tekanan darah dengan melakukan
aktivitas fisik secara teratur dan terukur (WHO 2004). Berolahraga secara

teratur

dapat menurunkan tekanan darah sistolik sebesar 2,9-5,9 mmHg pada penderita

Universitas Sumatera Utara

hipertensi (Sidang, 2006). Pengaruh intervensi olahraga terhadap jantung dan
pembuluh darah ditunjukkan dengan menurunnya hipertropi ventrikel kiri, pergeseran
arteri dan membaiknya fungsi endothel (Bacon et.al. 2004).
4. Alkohol

Alkohol juga dihubungkan dengan hipertensi. Peminum alkohol berat
cenderung hipertensi meskipun mekanisme timbulnya hipertensi belum diketahui
secara pasti (Suyono, 2001). Orangorang yang minum alkohol terlalu sering atau
yang terlalu banyak memiliki tekanan yang lebih tinggi dari pada individu yang tidak
minum atau minum sedikit (Hul, 1996).
Beberapa studi menunjukkan hubungan langsung antara tekanan darah dan
asupan alkohol, diantaranya melaporkan bahwa efek terhadap tekanan darah baru
nampak apabila mengkonsumsi alkohol sekitar dua sampai tiga gelas ukuran standar
setiap harinya. Di negara barat seperti Amerika, konsumsi alkohol yang berlebihan
berpengaruh terhadap terjadinya hipertensi. Sekitar 10% hipertensi di Amerika
disebabkan oleh asupan alkohol yang berlebihan dikalangan pria usia 40 tahun keatas
(Depkes, 2006).
Konsumsi alkohol seharusnya kurang dari dua kali per hari pada lakilaki
untuk pencegahan peningkatan tekanan darah. Bagi perempuan dan orang yang
memiliki berat badan berlebih, direkomendasikan tidak lebih dari 1 kali minum per
hari (Krummel, 2004).
Ada suatu konsepsi populer bahwa sedikit alkohol per hari bisa mengurangi
tekanan darah, dan konsumsi yang banyak bisa meningkatkannya. Namun data-data

Universitas Sumatera Utara


yang tersedia tidak sepenuhnya mendukung konsepsi ini, dan hubungan langsung
antara jumlah alkohol yang dikonsumsi dengan tekanan darah telah ditegaskan oleh
banyak penelitian. Studi J-Shape telah menjelaskan, dimana studi ini menyatakan
bahwa subjek yang bukan peminum memiliki tekanan darah yang lebih tinggi dari
pada subjek yang minum 2-3 kali per hari, namun kenyataannya bahwa masalah-eks
yang mungkin dimiliki pada kelompok total ini juga harus dipertimbangkan.
Studi terbesar yang pernah dilakukan hingga saat ini adalah Kaiser
Permanente Study AS terhadap 80.000 pria dan wanita yang berusia hingga 79 tahun.
Studi ini tidak memiliki J-shape namun, studi ini menyimpulkan bahwa tekanan
sistolik meningkat 1 mm Hg untuk setiap konsumsi harian alkohol. Dalam sebuah
studi lain di Amerika, peningkatan tekanan darah dengan asupan alkohol meningkat
sesuai usia, lebih tinggi pada penduduk berusia 50-74 tahun dari pada penduduk
berusia 35-49 tahun. Jenis alkohol yang dikonsumsi dalam penelitian ini tidak
menimbulkan perbedaan dengan tingginya dampak kenaikan tekanan darah, jadi
diasumsikan bahwa ethanol merupakan penyebab langsung (Bulpit et.al. 1999).
5. Obesitas
Obesitas

adalah


keadaan

dimana

terjadi

penumpukan

lemak

yang

berkelebihan di dalam tubuh dan dapat diekspresikan dengan perbandingan berat
badan serta tinggi badan yang meningkat. Obesitas atau kegemukan merupakan faktor
risiko yang sering dikaitkan dengan hipertensi. Risiko terjadinya hipertensi pada
individu yang semula normotensi bertambah dengan meningkatnya berat badan.
Individu dengan kelebihan berat badan 20% memiliki risiko hipertensi 3-8 kali lebih

Universitas Sumatera Utara


tinggi dibandingkan dengan individu dengan berat badan normal (Suarthana et.al.,
2001).
Penelitian The Second National Health and Nutrition Examination Survey
(NHANES II) penderita berat badan lebih (overweight) yang berumur 20-75 tahun
dengan BMI >27 akan mengalami kemungkinan hipertensi 3 kali lipat dibandingkan
dengan tidak berat badan lebih (Hendromartono, 2002).
Berat badan berhubungan secara langsung dan dekat dengan tekanan darah
pada semua usia. Pada INTER-SALT, untuk tinggi rata-rata yang sama, perbedaan
berat sebesar 10 Kg memperlihatkan perbedaan tekanan sistolik sebesar 3 mmHg dan
perbedaan tekanan diastolik sebesar 2,2 mmHg. Berat badan remaja sangat kuat
pengaruhnya terhadap tekanan darahnya di kemudian hari (Bulpit et.al. 1999).
Obesitas sangat erat kaitannya dengan pola makan yang tidak seimbang.
Dimana seseorang lebih banyak mengkonsumsi lemak protein tanpa memperhatikan
serat. Kelebihan berat badan meningkatkan risiko terjadinya penyakit kardiovaskuler
karena beberapa sebab. Makin besar massa tubuh, makin banyak darah yang
dibutuhkan untuk memasok oksigen dan makanan kejaringan tubuh. Ini berarti
volume darah yang beredar melalui pembuluh darah menjadi meningkat sehingga
memberi tekanan lebih besar pada dinding arteri.
Ada hubungan antara berat badan dan hipertensi, bila berat badan meningkat

di atas berat badan ideal maka risiko hipertensi juga meningkat. Penyelidikan
epidemiologi juga membuktikan bahwa obesitas merupakan ciri khas pada populasi
pasien hipertensi. Pada penyelidikan dibuktikan bahwa curah jantung dan volume

Universitas Sumatera Utara

darah sirkulasi pasien obesitas dengan hipertensi lebih tinggi dibandingkan dengan
penderita yang mempunyai berat badan normal dengan tekanan darah yang setara.
Obesitas mempunyai korelasi positif dengan hipertensi. Anak-anak remaja
yang mengalami kegemukan cenderung mengalami hipertensi. Ada dugaan bahwa
meningkatnya berat badab normal relatif sebesar 10 % mengakibatkan kenaikan
tekanan darah 7 mmHg. Oleh karena itu, penurunan berat badan dengan membatasi
kalori bagi orang-orang yang obestas bisa dijadikan langkah positif untuk mencegah
terjadinya hipertensi. Sedangkan hipertensi sangat erat dengan kejadian penyakit
jantung dan stroke.
Dalam penelitian yang di lakukan oleh Mizwar (2004) di Kabupaten Klaten
dan Riyadi (2006) di Kabupaten Rejanglebong masing-masing mendapatkan bahwa
obesitas merupakan faktor risiko kejadian hipertensi essensial dengan nilai OR = 4,5
dan OR = 4,57.
Untuk mengetahui seseorang mengalami obesitas atau tidak, dapat dilakukan
dengan mengukur berat badan dengan tinggi badan yang kemudian disebut dengan
Indeks Massa Tubuh (IMT) adalah sebagai berikut:
IMT =

Berat Bada Kg
Tinggi Badan (m ) x Tinggi Badan (m)

IMT berkorelasi langsung dengan tekanan darah, terutama tekanan darah
sistolik. Risiko relatif untuk menderita hipertensi pada orang gemuk (obesitas) 5 kali
lebih tinggi dibandingkan dengan seorang yang berat badannya normal. Pada
penderita hipertensi ditemukan sekitar 20-30% memiliki berat badan lebih. WHO

Universitas Sumatera Utara

telah merekomendasikan IMT dapat digunakan untuk menentukan seberapa besar
seseorang dapat terkena risiko penyakit tertentu yang disebabkan karena berat
badannya termasuk obesitas.
Tabel 2.3. Klasifikasi IMT Asia Menurut WHO
Klasifikasi
Kurus (Underweight)
Normal
Gemuk (Overweight)
Atrisk
Obesitas I
Obesitas II
Sumber : Wee et.al. 2008

IMT (Kg/m²)
< 18,5
18,5 – 22,9
≥ 23
23 – 24,9
25 – 29,9
≥ 30

5. Merokok
Merokok menyebabkan peningkatan tekanan darah. Perokok berat dapat
dihubungkan dengan peningkatan insiden hipertensi maligna dan risiko terjadinya
stenosis arteri renal yang mengalami aterosklerosis (Armilawati et.al. 2008). Nikotin
yang merupakan komponen utama rokok terbukti meningkatkan vasopressin dan
hormon adrenokortikotropik. Nikotin mempunyai efek langsung meningkatkan
pelepasan aktekolamin dari tempat penyimpanannya di jantung, juga meningkatkan
pelepasan epinefrin dari medulla adrenal (Bakri dan Adrianyana, 1991).
Dalam penelitian kohort prospektif oleh dr. Thomas S Bowmant dari
Brigmans and Women’s Hospital, Massachussetts terhadap 28.236 subyek yang
awalnya tidak ada riwayat hipertensi, 51% subyek tidak merokok, 36% merupakan
perokok pemula, 5% subyek merokok 1-14 batang rokok perhari dan 8% subyek yang
merokok lebih dari 15 batang perhari. Subyek terus diteliti dan dalam median waktu

Universitas Sumatera Utara

9,8 tahun. Kesimpulan dalam penelitian ini yaitu kejadian hipertensi terbanyak pada
kelompok subyek dengan kebiasaan merokok lebih dari 15 batang perhari (Bowman,
2007). Namun demikian, perokok lama tetap berisiko mengalami hipertensi sistolik
dan berdasarkan penelitian Dhianningtyas dan Hendrati (2006), diperoleh hasil
responden yang mempunyai kebiasaan merokok mempunyai risiko 3,4 kali terkena
hipertensi dibandingkan responden yang tidak merokok. Merokok 2 batang dapat
meningkatkan tekanan darah 10/8 mmHg selama 15 menit. Kebiasaan merokok 1½ 2 bungkus akan meningkatkan tekanan darah selama 7 - 10 jam sehari (Bakri dan
Adrianyana, 1991).
Nikotin yang merupakan komponen utama rokok, terbukti meningkatkan
vasopressin dan hormone adrenokortikotropik. Nikotin mempunyai efek langsung
meningkatkan pelepasan katekolamin dari tempat penyimpanannya di jantung, juga
meningkatkan pelepasan epinefrin dari medulla adrenal (Bakri dan Adrianyana,
1991). Epinefrin disimpan dalam granula kromafin dan dilepaskan sebagai respons
terhadap hipoglikemi, stres dan faktor- faktor lain. Epineprin merupakan perangsang
sistem saraf simpatis yang kuat dan vasopresor yang sangat kuat meningkatkan
tekanan darah, merangsang otot jantung, meningkatkan denyut jantung dan curah
jantung (Dorland, 1995).
Pembuluh darah yang terpapar asap rokok akan menyerupai pipa yang kaku
dan kasar, akibatnya pembuluh darah tidak dapat melebar dengan baik atau
kehilangan elastisitasnya dan memacu jantung bekerja lebih cepat serta lebih kuat
sehingga tekanan darah menjadi meningkat (Mahan dan Stump, 2004).

Universitas Sumatera Utara

a. Jumlah rokok yang dihisap
Jumlah rokok yang dihisap dapat dalam satuan batang, bungkus, pak per hari,
terbagi atas 3 kelompok yaitu :
1. Perokok Ringan, apabila seseorang menghisap kurang dari 10 batang rokok per
hari.
2. Perokok Sedang, apabila seseorang menghisap 10 – 20 batang rokok per hari.
3. Perokok Berat, apabila seseorang menghisap lebih dari 20 batang rokok per hari
(Bustan, 2007).
b. Lama Menghisap Rokok
Menurut Bustan (2007), merokok dimulai sejak umur < 10 tahun atau lebih
dari 10 tahun. Semakin awal seseorang merokok makin sulit untuk berhenti merokok.
Rokok juga punya doseresponse effect, artinya semakin muda usia merokok, akan
semakin besar pengaruhnya. Selain itu, menurut Smet (1994), apabila perilaku
merokok dimulai sejak usia remaja, merokok sigaret dapat berhubungan dengan
tingkat arterosclerosis. Risiko kematian bertambah sehubungan dengan banyaknya
merokok dan umur awal merokok yang lebih dini.
6. Stres
Stres atau ketegangan jiwa (rasa tertekan, murung, rasa marah, dendam, rasa
takut, rasa bersalah) dapat merangsanag kelenjar anak ginjal melepaskan hormone
adrenalin dan memacu jantung berdenyut lebih cepat serta lebih kuat, sehingga
tekanan darah akan meningkat (Depkes, 2008). Penelitian yang di lakukan oleh
Mizwar (2004) mendapatkan bahwa stress merupakan faktor risiko kejadian

Universitas Sumatera Utara

hipertensi essensial di kabupaten klaten dengan nilai OR = 4,2.
Hubungan antara stres dengan hipertensi diduga melalui aktivitas saraf
simpatis, yang dapat meningkatkan tekanan darah secara bertahap. Apabila stress
menjadi berkepanjangan dapat berakibat tekanan darah menjadi tetap tinggi. Hal ini
secara pasti belum terbukti, akan tetapi pada binatang percobaan yang diberikan
pemaparan tehadap stres ternyata membuat binatang ters