Peningkatan ketersediaan fosfat melalui pemberian pupuk organik dan pengaruhnya terhadap produksi melon pada tanah berkadar fosfor (P) tinggi

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Tanaman Melon dan Karakteristiknya
Melon adalah salah satu jenis tanaman buah yang paling banyak disukai
masyarakat luas, seperti halnya buah apel, jeruk, anggur dan beberapa buah
favorit lainnya. Masa tanam melon yang relatif lebih cepat dan minat pasar yang
terlihat sedang mengalami peningkatan, membuat sebagian petani tertarik untuk
beralih ke melon. Melon dapat tumbuh baik pada ketinggian sekitar 300 – 1000
mdpl, dengan curah hujan ideal 2000 – 3000 mm/tahun. Melon menghendaki sinar
matahari yang lama, yaitu berkisar antara 10 – 12 jam per hari. Melon
menghendaki tanah yang kaya bahan organik dengan pH 6,0 – 6,8. Kelembaban
udara yang diperlukan untuk pertumbuhan adalah sekitar 70-80% (Nuryanto,
2011). Pertumbuhan tanaman kuat dan tegap, daun membuka berwarna hijau
gelap, umur panen 35 hari setelah pembungaan atau 65 hari setelah tanam, buah
berbentuk bulat berjaring penuh, dengan warna kulit hijau, dengan warna daging
buah putih kekuningan, rasanya manis kadar gula 14%, toleran penyakit lain,
embun tepung dan lalat buah (Wahyu, 2011).
Dalam hal tanah tanaman melon menghendaki tanah liat berpasir yang
banyak mengandung bahan organik. Tanaman melon tumbuh baik pada
kemasaman tanah 5,8 – 7,2 (Noverius, 2012).
Pada fase generatif tanaman melon ditandai dengan keluarnya bunga. Pada

fase ini tanaman memerlukan banyak unsur fosfor untuk memperkuat akar dan
membentuk biji pada buah. Pada fase ini apabila tanaman dalam kondisi sehat
maka jaring-jaring pada buah diharapkan muncul secara merata. Pada satu

6
Universitas Sumatera Utara

tanaman melon hanya dipelihara satu batang utama, sedangkan cabang - cabang
dihilangkan sejak cabang mulai tumbuh. Pemeliharaan ini bertujuan untuk
memelihara 1 (satu) buah melon pertanaman. Pemangkasan tunas-tunas dimulai
dari ruas ke 1 sampai ruas ke 10. Tunas batang yang dipelihara untuk dipilih salah
satunya adalah tunas ke 11 sampai dengan tunas ke 13 (Noverius, 2012). Hasil
penelitian (Harysaksono, et al., 1999; Nasution, 2003) penggunaan cabang
produksi ke 12 sampai 14 merupakan pilihan terbaik untuk pertumbuhan diameter
batang. Penggunaan cabang produksi ke 9 dan cabang produksi ke 12 sampai ke
14 merupakan pilihan terbaik untuk pertumbuhan diameter buah.
Hasil penelitian (Nasution, 2003) penggunaan cabang ke 12 sampai ke 14
merupakan pilihan terbaik untuk pengamatan produksi tanaman melon.
Pemangkasan pucuk dilakukan di atas ruas 25 – 26 atau lebih kurang 15 ruas di
atas buah yang dipelihara untuk membatasi pertumbuhan pucuk dan mengarahkan

pembagian asimilat ke arah pembentukan buah (Prajnanta, 1997; Nasution, 2003).
Varietas melon dewasa ini telah cukup banyak dikenal dan berkembang di
Indonesia bahkan di Sumatera Utara. Salah satu varietas yang banyak di pasaran
saat ini adalah varietas “Action 434.” Tanaman melon varietas Action 434 banyak
dibudidayakan oleh petani di Jawa Timur. Adapun karakteristik melon varitas
Action 434 adalah sebagai berikut: tanaman ini mempunyai batang yang kokoh
dan berproduksi banyak, bentuk buah bulat dengan kulit buah bertekstur kasar
berjaring dan warna hijau cerah hingga kuning muda, sedangkan daging buah
berwarna putih hingga hijau muda, bertekstur lembut dan tebal. Buah melon
varietas ini dapat dipanen umur 60 – 65 hari (Nuryanto, 2011).

7
Universitas Sumatera Utara

Mutu buah melon ditentukan antara lain adalah aroma yang khas,
kemanisannya, warna dan ketebalan, tekstur daging serta kandungan serat. Selama
di pohon buah melon mengalami peningkatan kandungan padatan terlarut (total
gula). Untuk tujuan transportasi, kadar padatan yang dikehendaki antara 8 – 10 %
brix (Winarno, 1993; Nasution, 2003).
Cuaca dan iklim merupakan salah satu penyebab terjadinya perubahan

dalam produksi pangan yang paling sukar dikendalikan. Suhu udara merupakan
faktor lingkungan yang penting karena berpengaruh pada pertumbuhan tanaman
dan berperan hampir pada semua proses pertumbuhan. Bencana terhadap tanaman
pangan biasanya berasal dari keadaan kering yang sangat panas dan angin yang
mempercepat penguapan dan mengakibatkan dehidrasi jaringan tanaman
(Tjasyono dan Bayon, 2004).
Periode musim hujan dan kemarau tidak dapat lagi diramalkan secara
pasti. Beberapa kali telah terjadi kesalahan dalam menentukan saat tanam karena
perubahan cuaca dan iklim yang mengalami penyimpangan yang berkepanjangan.
Disamping itu suhu yang demikian tinggi membuat beberapa tanaman tidak dapat
berproduksi secara optimum sehingga menurunkan hasil panen (Rozali, 2013).
Pengalaman menunjukkan bahwa secara temporer berbagai bentuk penyimpangan
iklim telah sering mengancam sistem produksi pertanian. Ancaman tersebut tidak
saja menyebabkan gangguan produksi, tetapi juga menggagalkan panen dalam
luasan ratusan ribu hektar (Tjasyono dan Bayon, 2004).

8
Universitas Sumatera Utara

2.2. Karakteristik Lahan Kering

Pada umumnya lahan kering masam didominasi oleh tanah Ultisol, yang
dicirikan oleh kapasitas tukar kation (KTK) dan kemampuan memegang air yang
rendah, tetapi kadar Al, Fe dan Mn tinggi. Oleh karena itu, kesuburan tanah
Ultisol hanya ditentukan oleh kadar bahan organik lapisan atas, dan bila lapisan
ini tererosi maka tanah menjadi miskin hara dan bahan organik. Ultisol suatu jenis
tanah yang dicirikan oleh adanya akumulasi liat pada horizon bawah permukaan
sehingga mengurangi daya serap air dan meningkatkan aliran permukaan dan
erosi tanah. Erosi tanah merupakan salah satu kendala fisik tanah Ultisol dan
sangat merugikan karena mengurangi kesuburan tanah. Hal ini karena kesuburan
tanah Ultisol seringkali hanya ditentukan oleh kandungan bahan organik lapisan
atas. Tanah Ultisol dicirikan dengan penampang yang dalam dengan kandungan
liat yang tinggi, reaksi tanah masam, dan kejenuhan basanya rendah. Umumnya
tanah ini berpotensi keracunan Al dan miskin bahan organik. Tanah ini juga
miskin kandungan hara terutama P dan kation-kation yang dapat dipertukarkan
seperti Ca, Mg, Na dan K dan kapasitas tukar kationnya rendah. (Suriadikarta dan
Simanungkalit, 2006; Nuraini, 2009)
Salah satu masalah pada tanah masam adalah defisiensi unsur hara makro
seperti fosfor (P) akibat terjadinya fiksasi P yang tinggi sehingga ketersediaannya
rendah bagi tanaman. Hara ini tidak saja dibutuhkan oleh tanaman tetapi juga oleh
mikroorganisme tanah untuk metabolismenya. Salah satu mekanisme adaptasi

tanaman dan atau mikroorganisme terhadap kondisi defisiensi P dalam tanah
adalah dengan mengeluarkan enzim yaitu fosfatase dan asam - asam organik
untuk memperoleh P tersedia (Djuniwati, et al., 2007).

9
Universitas Sumatera Utara

Unsur hara P adalah unsur hara makro yang sangat dibutuhkan tanaman
untuk pertumbuhannya. Masalahnya tingkat ketersediaan unsur hara P rendah di
dalam tanah masam, rendahnya P di dalam tanah disebabkan oleh tingginya
kandungan liat Al dan Fe sehingga P terfiksasi oleh mineral liat tersebut dan tidak
dapat diserap tanaman (Sanchez, 1976; Nurhayati, 1986; Chairani, 2002).
Ketersediaan P sangat bergantung pada tingkat kemasaman tanah atau pH
tanah (Suwandi, 1990; Subhan, et al.,2005). Penambahan bahan organik yang
belum masak atau bahan organik yang masih mengalami proses dekomposisi
biasanya akan menyebabkan penurunan pH tanah namun apabila diberikan kepada
tanah masam dengan kandungan Al tertukar tinggi akan menyebabkan
peningkatan pH tanah karena asam-asam organik akan mengikat Al membentuk
senyawa komplek (khelat) (Atmojo, 2001; Nasution, 2003).
Curah hujan yang tinggi dan berjalan lama dapat menyebabkan tanah

memiliki beberapa masalah utama antara lain: pH tanahnya rendah (masam),
kandungan Al dan Fe nya tinggi, akibatnya kandungan P tersedia di dalam tanah
rendah karena difiksasi oleh Al dan Fe tersebut, dan kandungan bahan organik
rendah menyebabkan aktivitas mikro organisme tanah rendah. Kondisi lahan
tersebut merupakan permasalahan yang selalu ditemukan di lahan kering dan
banyak dijumpai di wilayah beriklim tropika. Kerentanan terhadap erosi membuat
tanah akan semakin cepat berkurang kesuburannya terutama pada lapisan atas dan
akan terakumulasi di bagian yang lebih rendah (Notohadiprawiro, 2006).

10
Universitas Sumatera Utara

2.3. Bahan Organik/Pupuk Organik
Pupuk organik adalah pupuk yang sebagian besar atau seluruhnya terdiri
atas bahan organik yang berasal dari tanaman dan atau hewan yang telah melalui
proses rekayasa, dapat membentuk padat atau cair yang digunakan mensuplai
bahan organik untuk memperbaiki sifat fisik, kimia dan biologi tanah. Defenisi
tersebut menunjukkan bahwa pupuk organik lebih ditujukan kepada kandungan
C-Organik atau bahan organik daripada kadar haranya
Berbagai penelitian mengindikasikan bahwa sebagian besar lahan

pertanian intensif menurun produktivitasnya dan telah mengalami degradasi lahan,
terutama terkait dengan sangat rendahnya kandungan C-Organik tanah, yaitu
< 2%, bahkan pada banyak lahan sawah intensif di Jawa kandungannya < 1%.
Padahal untuk memperoleh produktivitas optimal dibutuhkan C-Organik > 2,5%.
Sering kurang disadari oleh petani, bahwa walaupun peran bahan organik
terhadap suplai hara bagi tanaman kurang, namun peran bahan organik yang
paling besar dan penting adalah kaitannya dengan kesuburan fisik tanah. Apabila
kandungan humus tanah semakin berkurang, maka lambat laun tanah akan
menjadi keras, kompak dan bergumpal, sehingga menjadi kurang produktif
(Stevenson, 1982; Atmojo, 2003).
Penambahan bahan organik yang belum masak atau bahan organik yang
masih mengalami proses dekomposisi biasanya akan menyebabkan penurunan pH
tanah namun apabila diberikan kepada tanah masam dengan kandungan Al
tertukar tinggi akan menyebabkan peningkatan pH tanah karena asam-asam
organik akan mengikat Al membentuk senyawa komplek (khelat) (Atmojo, 2001,
2003)

11
Universitas Sumatera Utara


Peningkatan ketersediaan Mn disebabkan oleh semakin turunnya nilai pH
tanah. pH tanah merupakan faktor pengontrol terdapatnya Mn, dan faktor-faktor
yang mempengaruhi ketersediaan Mn yaitu pH dan bahan organik. Penambahan
bahan organik yang banyak akan menyebabkan turunnya pH (Hardjowigeno,
1992; Raharjo, 2000).
Usaha mempertahankan kandungan BOT merupakan kunci utama dalam
menghindari kerusakan fisik tanah antara lain perbaikan agregat tanah, perkolasi
air tanah, infiltrasi tanah dan kelembaban air tanah. Dengan demikian BOT dapat
melindungi kerusakan tanah akibat erosi, aliran permukaan dan kekeringan Pupuk
organik atau bahan organik tanah merupakan sumber nitrogen tanah utama, selain
itu peranannya cukup besar terhadap perbaikan sifat fisika, kimia dan biologi
tanah serta lingkungan. Bahan organik dapat berperan sebagai “pengikat” butiran
primer menjadi butiran sekunder tanah dalam pembentukan agregat yang mantap.
Keadaan ini besar pengaruhnya kepada porositas, penyimpanan dan penyediaan
air, aerasi tanah, dan suhu tanah (Hairiah, et al., 2000).
Bahan organik dengan C/N tinggi seperti jerami atau sekam lebih besar
pengaruhnya pada perbaikan sifat - sifat fisik tanah dibanding dengan bahan
organik yang terdekomposisi seperti kompos. Bahan organik juga berperan
sebagai sumber energi dan makanan mikroba tanah, sehingga dapat meningkatkan
aktivitas mikroba dalam penyediaan hara tanaman (Simanungkalit dan

Suriadikarta, 2006).
Penambahan bahan organik (pupuk kandang) akan meningkatkan pori
total tanah dan akan menurunkan berat volume tanah (Wiskandar, 2002).

12
Universitas Sumatera Utara

Bahan organik yang ditambahkan ke dalam tanah mengandung karbon
yang tinggi. Pengaturan jumlah karbon di dalam tanah meningkatkan
produktivitas

tanaman

dan

keberlanjutan

umur

tanaman


karena

dapat

meningkatkan kesuburan tanah dan penggunaan hara secara efisien. Selain itu
juga perlu diperhatikan bahwa ketersediaan hara bagi tanaman tergantung pada
tipe bahan yang termineralisasi dan hubungan antara karbon dan nutrisi lain (misal
C/N, C/P dan C/S) (Follet dan Delgado, 2002; Rizal, 2012).
Pemberian bahan organik ke tanah masam dapat meningkatkan
ketersediaan P tanah melalui pembentukan khelat dari senyawa Al dan Fe dengan
asam – asam organik yang dihasilkan dari penguraian bahan organik (Chairani,
2002).
Stevenson (1982 dalam Atmojo, 2003) menjelaskan ketersediaan P di
dalam tanah dapat ditingkatkan dengan penambahan bahan organik melalui 5 aksi
seperti tersebut di bawah ini:
1) Melalui proses mineralisasi bahan organik terjadi pelepasan P mineral
(PO 4 3-);
2) Melalui aksi dari asam organik atau senyawa pengkelat yang lain hasil
dekomposisi, terjadi pelepasan fosfat yang berikatan dengan Al dan Fe yang

tidak larut menjadi bentuk terlarut :
Al (Fe) (H 2 O) 3 (OH)2H 2 PO 4 + Khelat ===> HPO 4 2- (larut) + Kompleks ALFe- Khelat
3) Bahan organik akan mengurangi jerapan fosfat karena asam humat dan
asam fulvat berfungsi melindungi sesquioksida dengan memblokir situs
pertukaran;

13
Universitas Sumatera Utara

4) Penambahan bahan organik mampu mengaktifkan proses penguraian bahan
organik asli tanah;
5) Membentuk kompleks fosfo-humat dan fosfo-fulvat yang dapat ditukar dan

lebih tersedia bagi tanaman, sebab fosfat yang dijerap pada bahan organik
secara lemah.
Bahan organik sebagai sumber energi bagi mikroorganisme dapat
merangsang kegiatan biokimia dalam tanah seperti pengeluaran enzim oleh
mikroorganisme, dan enzim (fosfatase) yang dikeluarkan tersebut dapat merubah
P menjadi tersedia baik bagi mikroorganisme atau tanaman (Huda, 2001).
Gianfreda dan Bollag (1996 dalam Djuniwati, et al., 2007) menjelaskan bahwa
aktivitas seluruh enzim dalam tanah berasal dari jasad mikroorganisme (bakteri
dan fungi) dan atau binatang kecil serta tanaman (akar tanaman dan residu
tanaman).
Asam humat dan fulvat mampu berperan dalam pelepasan P - terjerap dan
meningkatkan ketersediaan P tanah, baik yang diberikan langsung ke dalam tanah
dalam bentuk ekstrak maupun secara tidak langsung dalam bentuk bahan organik.
Penggunaan bahan organik dengan kandungan asam humat dan fulvat yang tinggi
(Gliricida sepium) mampu berperan lebih besar dalam melepaskan P - terjerap
menjadi tersedia (Minardi, 2006).
Di daerah tropis, tanah-tanah produktif minimal harus memiliki kandungan
bahan organik tanah (BOT) sekitar 2 - 4% (Hairiah, et al., 2001). Penambahan
bahan organik (pupuk kandang) akan meningkatkan pori total tanah dan
menurunkan berat volume tanah (Wiskandar, 2002). Pupuk kandang asal kotoran

14
Universitas Sumatera Utara

sapi mengandung air : 60 %, C organik 8-10 %, N 0,4-0,6 %, P 0,1-0,2 %, K 0,40,6 % dan Ca 0,2-0,4 % dari berat segar (Fairhurst, et al., 2007).
Satu ekor sapi dewasa dapat menghasilkan 23,59 kg kotoran tiap harinya.
Pupuk organik yang berasal dari kotoran ternak dapat menghasilkan beberapa
unsur hara yang sangat dibutuhkan tanaman (Sugi, et al., 2009 ).
Pengembalian jerami 5 t/ha setiap musim tanam, setelah musim kedua dan
seterusnya dapat menggantikan semua pupuk KCl. Pemberian kompos 5 ton/ha
meningkatkan kandungan air tanah pada tanah subur (Kasno, 2009). Jerami adalah
satu-satunya bahan organik yang dipunyai kebanyakan petani padi. Sekitar 40%
N, 30–35% P, 80–85% K, dan 40–50% S diambil dari jerami dan tunggul.
Sekalipun begitu, di banyak daerah, bahan organik tidak cukup tersedia untuk
mengimbangi hara yang diambil, dan untuk suatu jumlah hara yang setara, pupuk
organik lebih mahal daripada pupuk anorganik (Fairhurst, et al., 2007).
Indonesia merupakan daerah tropis yang banyak tumbuh tanaman pisang.
Buah pisang banyak dikonsumsi masyarakat sehingga sampah kulit pisang yang
dihasilkan juga banyak. Kulit pisang mengandung 15% kalium dan 12% fosfor
lebih banyak daripada daging buah pisang, karena itu kulit pisang sangat potensial
dijadikan sebagai pupuk. Selain mengandung kalium dan fosfor, kulit pisang juga
mengandung unsur magnesium, sulfur dan sodium. Unsur magnesium diperlukan
tanaman selain untuk pembentukan klorofil sebagai katalisator penyerapan unsur
kalium dan fosfor. Potasium membantu pembentukan protein, karbohidrat, gula,
membantu pengangkutan gula dari daun ke buah dan memperkuat jaringan
tanaman (Neylta, 2012).

15
Universitas Sumatera Utara

Selain mengandung kalium dan fosfor, kulit pisang juga mengandung
unsur magnesium, sulfur dan sodium. Unsur magnesium diperlukan tanaman
selain untuk pembentukan klorofil sebagai katalisator penyerapan unsur kalium
dan fosfor (Purbowo, 2012).
Sampah yang bersumber dari bahan organik adalah sampah yang mudah
membusuk yang berasal dari kegiatan rumah tangga seperti sisa makanan sayuran
dan daun - daun kering yang dapat diolah menjadi kompos (Moch, 2002).
Pengomposan diartikan sebagai proses penguraian atau perombakan bahan
organik oleh sejumlah besar mikroorganisme dalam lingkungan lembab, panas
dan berudara atau tanpa udara yang akan menghasilkan humus dengan C/N 10-12
dan layak diberikan pada tanaman (Gaur, 1982; Razali, 2002).
Penurunan rasio C/N jerami dari 32:1 menjadi < 25:1 dicapai setelah 2
minggu masa inkubasi, yakni pada perlakuan M-Dec, EM-4 dan MOL-pepaya.
Namun stabilisasi baru dicapai setelah minggu keempat dan kelima masa inkubasi
dengan rasio C/N 10:1-16:1 (Husen dan Irawan, 2010).
Tabel 1. Nilai beberapa bahan organik didasarkan kandungan hara N, P dan K
Pupuk Organik
Pupuk kandang(kotoran sapi)
Sisa tanaman padi (jerami)
Kulit pisang

N (%)

P (%)

K (%)

0,4 - 0,6

0,1 - 0,2

0,4 - 0,6

40

30 - 350,2

80 - 85

-

15

12

Sumber : Fairhust et al., (2007)
Di lapangan saat ini potensi bahan organik belum dimanfaatkan secara
optimal. Sisa tanaman seperti daun, brangkasan, dan jerami adalah sumber bahan
organik yang murah karena bahan tersebut merupakan hasil sampingan dari
kegiatan usaha tani sehingga tidak membutuhkan biaya dan areal khusus untuk

16
Universitas Sumatera Utara

pengadaannya. Pengembalian sisa tanaman ke dalam tanah juga dapat
mengembalikan sebagian unsur hara yang terangkut panen (Rahman, et al., 2006;
Nuraini, 2009).
Salah satu sisa tanaman hortikultura yang belum maksimal dimanfaatkan
adalah kulit pisang. Kulit pisang dapat menyuburkan tanah. Tidak hanya untuk
campuran kompos, kulit pisang bisa langsung ditimbun begitu saja kedalam tanah
untuk menyuburkan tanaman di sekitarnya. Kulit pisang memiliki kandungan
potasium yang sangat dibutuhkan dalam pertumbuhan tanaman (Utuy, 2012).
Pencampuran bahan yang berbeda kualitasnya akan berdampak pada
peningkatan pelepasan hara. Hal ini sangat penting dalam kaitannya dengan
sinkronisasi. Khusus di tanah masam, sinkronisasi dalam kaitannya dengan hara P,
perlu dipertimbangkan kemampuan bahan organik untuk mengurangi laju fiksasi
P (Meyer, et al., 1997; Atmojo, 2003).
Masalah sinkronisasi ini lebih rumit lagi apabila dikaitkan dengan masalah
kelasi Al, Fe dan Mn. Disatu pihak diharapkan penyediaan hara khususnya P
segera, untuk dapat digunakan tanaman sesuai dengan pertumbuhan, di lain pihak
diharapkan mampu mengkelasi Al dalam kurun waktu yang lama (Atmojo, 2003).
Penelitian Harahap (2000 dalam Chairani, 2002), mengatakan pemberian
pupuk kandang kotoran ayam nyata meningkatkan C-organik sebesar 2,69 % dan
N - total tanah sebesar 0,40 %. Penelitian Haslinda (1997 dalam Chairani, 2002)
menyatakan penambahan pupuk kandang nyata meningkatkan C-Organik dari
0,32 % menjadi 0,35 %, N-total tanah dari 0,21 % menjadi 0,23 %, P - tersedia
dari 14,07 ppm P menjadi 17,37 ppm P, serapan N tanaman dari 1,31 mg/pot

17
Universitas Sumatera Utara

menjadi 1,63 mg/pot dan serapan P tanaman dari 0,06 mg/pot menjadi 0,09
mg/pot.

2.4. Fosfor
Ketersediaan fosfor yang sangat rendah bagi tanaman adalah salah satu
masalah penting pada Podzolik Merah Kuning (PMK). Kondisi ini menyebabkan
kelarutan Al dan Fe tinggi sehingga menurunkan mobilitas P dan cepatnya unsur
P dari pupuk dijerap tanah dalam bentuk Al-P, Fe-P, atau bentuk lain yang sulit
untuk diserap tanaman. Untuk mencegah ion fosfat dan atau melepaskan fosfat
yang telah terikat pada keadaan ini maka dua mekanisme yang memungkinkan
yakni (i) mengendapkan Fe dan Al menjadi tidak larut, melalui penetralan pH
tanah; dan (ii) mengkompleks Al atau Fe melalui pengkhelatan oleh bahan
organik tanah. Penambahan pupuk fosfat juga merupakan salah satu cara umum
yang memungkinkan fosfor yang lebih banyak tersedia bagi tanaman (Basuki dan
Tony, 2007).
Ketersediaan P di dalam tanah tergantung reaksi keseimbangan antara
berbagai bentuk P, yakni P larut (soluble P), P terserap (P labil), P mineral
sekunder dan primer (P non labil), dan P organik. Salah satu masalah pada tanah
masam adalah defisiensi hara makro seperti fosfor (P) akibat terjadinya fiksasi P
yang tinggi sehingga ketersediaannya rendah bagi tanaman. Hara ini tidak saja
dibutuhkan oleh tanaman tetapi juga juga oleh mikroorganisme tanah untuk
metabolismenya (Nursyamsi dan Setyorini, 2010).
Pemberian bahan organik ke dalam tanah Ultisol dapat meningkatkan P
tersedia tanah (Huda, 2001) dan dari hasil penelitian dilaporkan bahwa

18
Universitas Sumatera Utara

penggunaan bahan organik (kompos) memberikan pengaruh yang lebih baik
terhadap karakteristik muatan tanah masam (Ultisol) dibanding dengan
pengapuran (Sufardi, et al., 1999; Atmojo, 2003).
Hasil penelitian (Huda, 2001) mengatakan bahwa pemberian bahan
organik pada tanah Ultisol dapat meningkatkan P tersedia tanah dari 47,17 ppm P
menjadi 84,29 ppm. P. Asderitawati (2001), mengatakan bahwa pemberian bahan
organik pada tanah Ultisol dapat meningkatkan P tersedia dari 7,89 ppm P
menjadi 13,44 ppm. P. Nursyamsi, et al., (1996) mengatakan bahwa pemberian
bahan organik sangat nyata meningkatkan serapan P tanaman.

19
Universitas Sumatera Utara