Perlindungan Hukum Terhadap Kreditur Penerima Jaminan Fidusia Dalam Bentuk Daftar Piutang

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Sebagai lembaga keuangan berorientasi bisnis, bank melakukan berbagai
transaksi1. Transaksi perbankan yang paling utama di antaranya menghimpun dana
masyarakat dalam bentuk simpanan (funding) dan menyalurkan kembali pada
masyarakat dalam bentuk fasilitas kredit (lending). Transaksi tersebut merupakan
fungsi bank yang disebut sebagai fungsi intermediary antara masyarakat yang
kelebihan dana dan masyarakat yang memerlukan dana.2
Dari berbagai macam usaha perbankan, kredit merupakan kegiatan bisnis
perbankan yang mendominasi. Hal ini wajar mengingat dari kredit inilah sumber
pendapatan terbesar bank, yaitu hasil yang diperoleh dari bunga (interest) atas kredit
yang disalurkan kepada masyarakat (debitur). Namun demikian tujuan bisnis bank
untuk memperoleh keuntungan (profitability) harus diimbangi dengan adanya unsur
keamanan (safety). Mengingat pemberian kredit tersebut juga mempunyai risiko yang
cukup tinggi baik bagi bank maupun nasabah penyimpan dana (degree of risk).3
Berkaitan dengan pemberian kredit oleh bank kepada debitur tentu mengandung
risiko bagi bank. Risiko di sini adalah risiko dari kemungkinan ketidakmampuan dari
1


Transaksi adalah kegiatan yang menimbulkan hak atau kewajiban atau menyebabkan
timbulnya hubungan hukum antara dua pihak atau lebih, termasuk kegiatan pentrasferan dan/atau
pemidahbukuan dana yang dilakukan oleh penyedia jasa keuangan” Z. Dunil, Kamus Istilah
Perbankan Indonesia, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2004), hal.191.
2
Try Widiyono, Agunan Kredit Dalam Financial Engineering, (Bogor: Ghalia Indonesia,
2009), hal.1.
3
Agus Yudha Hernoko, “Prinsip Kehati-hatian Sebagai Landasan Dalam Mewujudkan
Sosok Perbankan Yang sehat (Sound Banking Business) Bagian II”, (Jurnal Hukum Ekonomi, Edisi
XXI, Agustus 1998), hal.49.

1

Universitas Sumatera Utara

2

debitur untuk membayar angsuran atau melunasi kreditnya karena sesuatu hal tertentu
yang tidak dikehendaki.4

Pihak bank sebagai kreditur dalam memberikan kredit tentu saja tidak hanya
dapat bergantung dengan perjanjian kredit yang dibuat antara kreditur dan debitur.
Agar lebih memberikan rasa aman kepada bank, maka debitur diwajibkan untuk
memberikan jaminan5 kepada kreditur apabila debitur wanprestasi atau debitur tidak
sanggup untuk melunasi seluruh hutangnya kepada kreditur. Oleh karena itu
sebaiknya dibuatlah suatu perjanjian tambahan mengenai jaminan tersebut. Jika di
samping perjanjian yang telah ada, tidak ada perjanjian tambahan apa pun maka
sesuai dengan Pasal 1139 dan Pasal 1149 KUHPerdata kreditur yang bersangkutan
bukanlah kreditur yang diistimewakan.
Adanya jaminan ini timbul karena adanya perjanjian yang khusus diadakan
antara kreditur dan debitur yang dapat berupa jaminan yang bersifat kebendaan atau
jaminan yang bersifat perorangan. “Jaminan yang bersifat kebendaan ialah adanya
benda tertentu yang dipakai sebagai jaminan, sedangkan jaminan yang bersifat
perorangan ialah adanya orang tertentu yang sanggup membayar atau memenuhi
prestasi manakala debitur wanprestasi.”6
Oleh karena itu, jaminan merupakan tindakan preventif untuk mengamankan
hutang debitur yang telah diberikan oleh kreditur yaitu dengan cara menjaminkan
4

Hermansyah, “Hukum Perbankan Nasional Indonesia”, (Jakarta: Kencana, 2005), hal.57.

Jaminan adalah sesuatu yang diberikan debitur kepada kreditur untuk menimbulkan
keyakinan bahwa debitur akan memenuhi kewajiban yang dapat dinilai dengan uang yang timbul dari
suatu perikatan”, Hartono Hadisoeprapto, Pokok-Pokok Hukum Perikatan dan Hukum Jaminan,
(Yogyakarta: Liberty,1984), hal.50. Di samping itu, jaminan juga dapat diartikan dengan menjamin
dipenuhinya kewajiban yang dapat dinilai dengan uang yang timbul dari suatu perikatan hukum. Oleh
karena itu, hukum jaminan erat sekali dengan hukum benda”, Mariam Darus Badrulzaman, Bab-bab
tentang Creditverband, Gadai, dan Fiducia, (Bandung: Alumni, 1987), hal.227-265.
6
Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, Hukum Jaminan Di Indonesia Pokok-Pokok Hukum
Jaminan Dan Jaminan Perorangan, (Yogyakarta: Liberty Offset, 2001), hal.46.
5

Universitas Sumatera Utara

3

kekayaan debitur agar debitur memenuhi kewajiban untuk membayar kembali atau
dengan adanya kesanggupan pihak ketiga untuk memenuhi prestasi debitur.7
Jaminan fidusia yang merupakan objek penulisan tesis ini, termasuk ke dalam
ruang lingkup jaminan yang bersifat kebendaan. “Jaminan yang bersifat kebendaan

memberikan hak-hak kepada kreditur untuk didahulukan dalam mengambil pelunasan
daripada kreditur-kreditur lain, atas hasil penjualan suatu benda tertentu atau
sekelompok benda tertentu, yang secara khusus diperikatkan”.8
Mengenai jaminan ini juga diperkuat dalam Pasal 1132 KUHPerdata yang
menyatakan bahwa “Kebendaan tersebut menjadi jaminan bersama-sama bagi semua
orang yang mengutangkan padanya; pendapatan penjualan benda-benda itu dibagibagi menurut keseimbangan, yaitu menurut besar-kecilnya piutang masing-masing,
kecuali apabila di antara para berpiutang itu ada alasan-alasan yang sah untuk
didahulukan”.
Semula jaminan fidusia tidak diatur dalam undang-undang, melainkan hanya
diatur dengan yurisprudensi,9 jaminan fidusia ini dahulu dikenal dengan Fiduciare
Eigendom Overdracht (FEO). Lembaga ini muncul karena adanya kebutuhan dari
masyarakat sendiri di samping pengaruh Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960
tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, yang lazim disebut Undang-Undang
7

Djuhaendah Hasan, Lembaga Jaminan Kebendaan Bagi Tanah dan Benda Lain yang
Melekat pada Tanah dalam Konsepsi Penerapan Asas Pemisahan Horisontal, (Jakarta: Citra Aditya
Bakti, 1996), hal.201.
8
J. Satrio, Hukum Jaminan Hak Jaminan Kebendaan Fidusia, (Bandung: PT.Citra Aditya

Bakti, 2002), hal.17.
9
Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, Beberapa Masalah Pelaksanaan Lembaga Jaminan
Khususnya Fidusia Didalam Praktek dan Pelaksanaannya di Indonesia, (Yogyakarta: Liberty, 1977),
hal.73.

Universitas Sumatera Utara

4

Pokok Agraria.10 Masyarakat menganggap prosedur fidusia lebih mudah, lebih luwes,
biaya murah, selesainya cepat dan meliputi benda bergerak dan tidak bergerak,
namun untuk menjamin kepastian hukum serta agar mampu memberikan jaminan
hukum bagi pihak yang berkepentingan, lembaga jaminan fidusia ini harus
dituangkan dalam suatu peraturan yang jelas dan lengkap. Maka dibentuklah UndangUndang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia yang berusaha menampung
kebutuhan masyarakat.
Definisi, eksistensi Lembaga Jaminan Fidusia, maupun ruang lingkupnya
telah diatur dengan adanya Undang-Undang nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan
Fidusia. Pasal 1 angka 1 Undang-Undang nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan
Fidusia memberikan pengertian fidusia sebagai berikut: “fidusia adalah pengalihan

hak kepemilikan suatu benda atas dasar kepercayaan dengan ketentuan bahwa benda
yang hak kepemilikannya dialihkan tetap dalam penguasaan pemilik benda”.
Rumusan tersebut dapat diketahui bahwa pengalihan hak milik atas suatu
barang bergerak yang dijaminkan hanya sebatas secara kepercayaan. Pengalihan
secara kepercayaan merupakan perbuatan abstrak yang dilandasi oleh alam pemikiran
barat, seolah-olah barang itu sebagai milik kreditur selama perjanjian hutang piutang
belum berakhir.11
Sedangkan yang dimaksud dengan jaminan fidusia juga dijelaskan dalam
Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Jaminan Fidusia sebagai berikut:
10

Ibid, hal.76.
Gatot Supramono, Perbankan Dan Masalah Kredit Suatu Tinjauan Yuridis, (Jakarta: Rineka
Cipta, 2009), hal.235.
11

Universitas Sumatera Utara

5


“Jaminan Fidusia adalah hak jaminan atas benda bergerak baik yang berwujud
maupun yang tidak berwujud dan benda tidak bergerak khususnya bangunan
yang tidak dapat dibebani Hak Tanggungan sebagimana dimaksud dalam
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan yang tetap
berada dalam penguasaan pemberi fidusia, sebagai agunan bagi pelunasan hutang
tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada penerima fidusia
terhadap kreditur lainnya.”
Definisi tersebut di atas jelas memberikan pengertian bahwa fidusia berbeda
dengan jaminan fidusia, di mana fidusia merupakan suatu proses pengalihan hak
kepemilikan sedangkan jaminan fidusia adalah jaminan yang diberikan dalam bentuk
fidusia. Perjanjian jaminan fidusia bukan suatu hak jaminan yang lahir karena
undang-undang melainkan harus diperjanjikan terlebih dahulu antara bank dengan
nasabah debitur, oleh karena itu fungsi yuridis pengikatan jaminan fidusia lebih
bersifat khusus jika dibandingkan jaminan yang lahir berdasarkan Pasal 1131
KUHPerdata.12 Jaminan fidusia terbentuk melalui proses 3 fase yaitu : 13
1.

Fase Perjanjian Obligatoir (Obligatoir Overeenkomst)
Proses jaminan fidusia diawali oleh adanya suatu perjanjian obligatoir
(Obligatoir Overeenkomst). Perjanjian tersebut merupakan perjanjian pinjam

uang berupa kredit dengan jaminan fidusia di antara pihak pemberi fidusia
(debitur) dengan pihak penerima fidusia (kreditur).

2.

Perjanjian Kebendaan (Zakelijke Overeenkomst)
Perjanjian kebendaan tersebut berupa penyerahan hak milik dari debitur
kepada kreditur, dalam hal ini dilakukan dengan cara constitutum prosessorium,
yakni penyerahan hak milik tanpa menyerahkan fisik benda.
12

Tan Kamelo, “Hukum Jaminan Fidusia Suatu Kebutuhan Yang Didambakan”, (Bandung:
PT. ALumni, 2006), hal.187-188.
13
Muhammad Djumhana, Hukum Perbankan Di Indonesia, (Bandung: PT. Citra Aditya
Bakti, 1996), hal.256.

Universitas Sumatera Utara

6


3.

Fase Perjanjian Pinjam Pakai (Bruiklening)
Dalam fase ketiga ini dilakukan pinjam pakai, dalam hal ini hak milik atas
benda jaminan fidusia sudah berpindah ke tangan kreditur.
Objek yang dapat diberikan jaminan fidusia adalah berupa benda, yang
dimaksud dengan benda tersebut diuraikan dalam Undang-Undang Jaminan
Fidusia yaitu :
“Benda adalah segala sesuatu yang dapat dimiliki dan dialihkan, baik yang
berwujud maupun yang tidak berwujud, yang terdaftar maupun yang tidak
terdaftar, yang bergerak maupun yang tidak bergerak yang tidak dapat dibebani
hak tanggungan atau hipotik”.
Pasal 9 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan

Fidusia juga dijelaskan bahwa “jaminan fidusia dapat diberikan terhadap satu atau
lebih satuan atau jenis benda, termasuk piutang, baik yang telah ada pada saat
jaminan diberikan maupun yang diperoleh kemudian”. Ini berarti benda tersebut demi
hukum akan dibebani dengan jaminan fidusia pada saat benda dimaksud menjadi
milik pemberi fidusia. Pembebanan jaminan fidusia tersebut tidak perlu dilakukan

dengan perjanjian jaminan tersendiri, hal ini karena atas benda tersebut sudah
dilakukan pengalihan hak.14
Hal utama yang perlu diperhatikan ialah pengertian piutang dalam Pasal 9
Ayat (1) di atas, piutang tersebut harus jelas piutang yang mana, karena kantor

14

Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Seri Hukum Bisnis: Jaminan Fidusia, (Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2000), hal.145.

Universitas Sumatera Utara

7

pendaftaran fidusia tidak akan dapat mendaftarkan suatu jaminan fidusia jika tidak
secara tegas menyebutkan benda yang dijadikan jaminan fidusia tersebut. Jika objek
yang dijadikan jaminan fidusia berupa piutang, maka piutang tersebut harus tegas dan
jelas.15
Piutang adalah hak untuk menerima pembayaran.16 Dalam kehidupan seharihari, terlebih dalam dunia perdagangan piutang dikenal seperti piutang biasa, wesel,
cheque, promes, cognossement, dan lain-lain. Sebagian piutang-piutang tersebut,

sengaja atau dalam hal-hal tertentu disyaratkan oleh undang-undang dibuat dalam
bentuk tertulis. Piutang-piutang tersebut ada yang berupa piutang atas sejumlah uang
tertentu dan atau atas sejumlah barang tertentu.
Untuk memberikan pemahaman yang cukup, maka perlu dikemukakan
berbagai hal yang berkaitan dengan agunan kredit berupa piutang yaitu sebagai
berikut: 17
a.

Dalam praktik pendaftaran fidusia, terdapat kantor pendaftaran fidusia yang
hanya menerima piutang dalam suatu daftar yang pasti. Artinya, jika tidak
terdapat piutang yang secara pasti telah ada, maka kantor pendaftaran fidusia
setempat tidak bersedia untuk mendaftar. Termasuk dalam hal ini adalah termintermin proyek yang belum terdapat hak menagih dari debitur, tidak dapat
dijadikan jaminan fidusia.

15

Try Widiyono, Op.Cit, hal.207.
Pasal 1 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia
17
Ibid, hal.208.

16

Universitas Sumatera Utara

8

b. Sekalipun piutang dari debitur tersebut telah diikat dalam suatu jaminan fidusia
yang terdapat dalam daftar berupa lampiran sertipikat jaminan fidusia, maka
pada praktik, atas piutang yang telah diikat, tidak mempunyai nilai likuidasi
karena hutang tersebut telah lunas. Hal ini terjadi karena daftar piutang yang
didaftarkan adalah daftar piutang yang ada pada saat daftar dibuat. Padahal
dalam siklus usaha, piutang itu akan selalu bergulir setiap saat, terutama piutangpiutang yang timbul karena hasil penjualan dari inventory. Idealnya, memang
setiap perubahan daftar piutang itu dilakukan pendaftaran ulang karena adanya
perubahan daftar yang terdapat dalam sertipikat fidusia, tetapi kreditur (bank)
tidak mungkin dapat melakukan pendaftaran ulang secara terus menerus setiap
saat jika terjadi perubahan daftar piutang.
Sebagai contoh perusahaan pembiayaan (multifinance) sebagai debitur, dalam
menerima fasilitas kredit dari perbankan, lazimnya memberikan jaminan berupa
piutang konsumen (end user) yang dituangkan dalam bentuk daftar piutang dan
berpotensi mengalami masalah seperti “dalam praktek perbankan, sifat kebendaan
dan karakteristik jaminan fidusia berpotensi menyulitkan kreditur, mulai dari proses
pengikatannya, pendaftaran, pengawasan dan eksekusi terutama piutang”.18
Berbeda

dengan

proses

hak

tanggungan

yang

pengikatannya

bisa

mengandalkan informasi tentang pendaftaran hak atas tanah, pengalihan hak atas
tanah dan pembebanan hak atas tanggungan dalam buku tanah yang ada di kantor

18

Sunu Widy Purwoko, Catatan Hukum Seputar Kredit Dan Jaminan, (Jakarta: Nine Seasons
Communication, 2011), hal.178.

Universitas Sumatera Utara

9

pertanahan, pengikatan jaminan fidusia hanya dapat mengandalkan informasi yang
ada dalam lampiran jaminan fidusia yang dibuat debitur selaku pemberi jaminan
fidusia.
Hal tersebut membuka peluang timbulnya pengikatan ganda atas objek
jaminan fidusia yang sama. Pasal 17 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang
Jaminan Fidusia menyatakan bahwa, “Pemberi Fidusia dilarang melakukan fidusia
ulang terhadap benda yang menjadi obyek jaminan fidusia yang sudah terdaftar”.
Dalam praktek, kantor pendaftaran fidusia dapat menerbitkan sertipikat jaminan
fidusia untuk beberapa kreditur atas pendaftaran objek jaminan fidusia yang sama,
apalagi sejak diberlakukannya Surat Edaran Dirjen AHU tertanggal 5 Maret 2013,
Nomor AHU-06.OT.03.01 Tahun 2013 mengenai Pemberlakuan Sistem Administrasi
Pendaftaran Jaminan Fidusia secara Elektronik (Online System).
Di dalam proses ini, fidusia online juga mempunyai kelemahan, yaitu tidak
adanya pemblokiran akses bagi perusahaan yang objek jaminannya sudah
didaftarkan. Ini menjadi masalah karena memungkinkan terjadinya fidusia ulang
dengan sertipikat ganda terhadap objek jaminan yang sama. Selain itu, dalam hal
notaris melakukan kesalahan dalam menginput data yang mengakibatkan notaris atau
masyarakat dirugikan karena kehilangan biaya pembayaran Penerimaan Negara
Bukan Pajak (PNBP) yang sudah ditransfer, dan wajib melakukan perubahan dengan
biaya PNBP yang lebih mahal daripada harus mendaftarkan jaminan fidusia tersebut
dari awal.

Universitas Sumatera Utara

10

Di samping permasalahan tentang sistem pendaftaran fidusia online, ada juga
masalah yang sering menimbulkan masalah yuridis adalah ketika pihak debitur lalai
atau bahkan tidak mampu melakukan pembayaran atau pengembalian dana yang
dipinjamnya kepada pihak kreditur. Debitur yang lalai atau bahkan tidak mampu
membayar hutangnya kepada keditur ini biasanya karena dia mengalami kerugian
sehingga debitur cidera janji dan melanggar kesepakatan yang telah mereka buat.19
Menurut Tan Kamelo, bahwa dari isi akta jaminan fidusia, pengaturan tentang
wanprestasi debitur pada prinsipnya dapat dikategorikan dalam 3 hal yaitu: 20
1) Debitur pemberi jaminan fidusia dikatakan wanprestasi apabila tidak membayar
jumlah hutang kepada bank berdasarkan perjanjian kredit sesuai waktu yang
ditentukan, dalam hal ini tidak ditentukan apakah wanprestasi tersebut didahului
oleh pernyataan lalu dengan cara peneguran kepada kreditur.
2) Debitur pemberi jaminan fidusia dikatakan wanprestasi apabila dalam memenuhi
kewajibannya untuk membayar hutang kepada bank dan cukup dibuktikan
dengan lewatnya waktu yang ditentukan dalam perjanjian kredit tanpa perlu
adanya surat teguran dari juru sita atau surat sejenis lainnya.
3) Masalah wanprestasi tidak ada diatur sama sekali dalam akta perjanjian jaminan
fidusia cukup diatur dalam perjanjian pokoknya.
Jaminan dalam bentuk daftar piutang merupakan jaminan yang akan diperoleh
pada saat yang akan datang, oleh karena itu jaminan dalam bentuk daftar piutang
sangatlah besar risikonya, karena ada kemungkinan bahwa pihak ketiga tidak
membayar hutangnya kepada kreditur. Apabila hal itu terjadi maka debitur juga akan
mengalami kesulitan untuk menjalankan usahanya. Sedangkan di dalam akta jaminan

19

Wawancara dengan Mercy Brilliant Zebua, Analis Legalitas Kredit Bank Central Asia, pada
hari Selasa, tanggal 3 Juni 2014.
20
Tan Kamelo, Op.cit. hal.198.

Universitas Sumatera Utara

11

fidusia sendiri tidak dijelaskan mengenai wanprestasi yang dilakukan oleh pihak
ketiga (pihak yang namanya termasuk dalam daftar piutang).
Tahap awal dari proses terjadinya fidusia daftar piutang ini adalah dengan
diadakannya perjanjian hutang-piutang antara debitur dengan kreditur yang
merupakan perjanjian pokok, dan untuk menjamin lebih terjaminnya pelunasan
hutang yang harus dibayar oleh debitur ke kreditur maka debitur diwajibkan untuk
memberikan jaminan fidusia, dalam hal ini yang dijadikan jaminan adalah daftar
piutang. Oleh karena itu perjanjian fidusia merupakan perjanjian ikutan (accesoir),
yang tidak mungkin berdiri sendiri tetapi harus mengikuti perjanjian pokoknya, yaitu
perjanjian hutang piutang.
Selain permasalahan di atas, dalam pemberian jaminan fidusia dalam bentuk
daftar piutang dapat terjadi kemungkinan-kemungkinan yang menyebabkan pihak
yang namanya termasuk dalam daftar piutang tidak dapat membayar hutangnya
kepada pemberi fidusia karena terjadinya penurunan kondisi ekonomi, atau bisa juga
karena terjadinya kerugian. Selain itu bisa juga pihak yang namanya termasuk dalam
daftar piutang wanprestasi atau cidera janji dalam pembayaran hutangnya tersebut
kepada pemberi fidusia.
Hal tersebut menyebabkan kedudukan bank yang semula diutamakan menjadi
kedudukan yang konkuren karena tidak tersedianya objek jaminan yang nyata dan
mengakibatkan kreditur berpotensi mengalami kerugian yang sangat besar. Untuk
mencegah hal tersebut maka kreditur sebagai penerima fidusia berhak dan berwenang

Universitas Sumatera Utara

12

untuk melakukan pengawasan terhadap objek jaminan fidusia daftar piutang tersebut,
sehingga dapat mencegah terjadinya kerugian.
Pemberian jaminan fidusia dalam bentuk daftar piutang mempunyai risiko
yang sangat besar, dan kreditur akan lebih terjamin jika menggunakan jaminan
perseorangan, yang dapat memberikan kepastian hukum bahwa debitur akan
membayar hutangnya kepada kreditur hanyalah perjanjian kredit yang dibuat dan akta
jaminan fidusia yang dibuat secara otentik, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 5
Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia yaitu pembebanan
benda dengan jaminan fidusia dibuat dengan akta notaris dalam bahasa Indonesia dan
merupakan akta jaminan fidusia. Menurut Sudikno Mertokusumo, fungsi akta adalah
untuk kesempurnaan perbuatan hukum (formalita causa), dan sebagai alat bukti
(probationis causa).21
Berdasarkan uraian tersebut, maka perlu diteliti dalam sebuah penulisan tesis
dengan judul “Perlindungan Hukum Terhadap Kreditur Penerima Jaminan Fidusia
Dalam Bentuk Daftar Piutang”
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian yang telah dijelaskan pada latar belakang tersebut di atas,
maka yang menjadi pokok permasalahan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1.

Bagaimana kedudukan hukum daftar piutang sebagai jaminan fidusia?

2.

Bagaimana perlindungan hukum terhadap kreditur penerima jaminan fidusia
dalam bentuk daftar piutang?

21

Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, (Yogyakarta: Liberty, 1982),
hal.122-121.

Universitas Sumatera Utara

13

3.

Bagaimana tanggung jawab pemberi fidusia terhadap penerima fidusia apabila
pihak yang namanya termasuk dalam daftar piutang wanprestasi kepada pemberi
fidusia?

C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah di atas, maka tujuan dari
penelitian ini adalah :
1. Untuk mengetahui kedudukan hukum daftar piutang sebagai jaminan fidusia.
2. Untuk mengetahui perlindungan hukum terhadap kreditur penerima jaminan
fidusia dalam bentuk daftar piutang.
3. Untuk mengetahui tanggung jawab pemberi fidusia terhadap penerima fidusia
apabila pihak yang namanya termasuk dalam daftar piutang wanprestasi kepada
pemberi fidusia.
D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik secara teoritis
maupun praktis:
1. Secara Teoritis
Penelitian ini merupakan sumbangan pemikiran bagi perkembangan ilmu
hukum dalam bidang hukum jaminan, khususnya mengenai perjanjian jaminan
fidusia dalam bentuk daftar piutang.
2. Secara Praktis
a. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi mahasiswa
magister kenotariatan, notaris dan praktisi hukum sehingga dapat menambah
wawasan dan pengetahuan dalam menjalankan tugasnya.

Universitas Sumatera Utara

14

b. Penelitian ini dapat dipergunakan sebagai referensi bagi lembaga-lembaga
keuangan baik bank maupun non-bank, dalam memberi kredit ataupun dalam
membiayai pembelian atas barang yang dapat dibebankan fidusia serta
memberikan masukan kepada pemerintah dalam penyempurnaan peraturan
atau ketentuan-ketentuan yang telah ada.
E. Keaslian Penelitian
Berdasarkan informasi dan penelusuran kepustakaan yang dilakukan terhadap
hasil-hasil penelitian yang pernah dilakukan terhadap hasil-hasil penelitian yang
pernah dilakukan sebelumnya dan secara khusus di lingkungan Pascasarjana Program
Studi Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara penelitian tentang
“Perlindungan Hukum Terhadap Kreditur Penerima Jaminan Fidusia Dalam Bentuk
Daftar Piutang”, belum pernah dilakukan oleh peneliti sebelumnya. Adapun juduljudul penelitian terdahulu yang membahas tentang jaminan fidusia, antara lain:
1.

Amelia Kosasih, NIM: 017011072, mahasiswa Magister Kenotariatan Program
Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, dengan judul: “Perlindungan Hak
Kreditor Dengan Jaminan Fidusia Berdasarkan Undang-Undang Nomor 42
Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia”, permasalahan yang diteliti yaitu:
1) Bagaimana akibat hukumnya apabila akte jaminan fidusia tidak didaftarkan ke
Kantor Pendaftaran Fidusia sebagai kewajiban kreditor?
2) Kendala-kendala apa saja yang dijumpai dalam pelaksanaan eksekusi jaminan
fidusia?

Universitas Sumatera Utara

15

3) Bagaimana perlindungan hak kreditor dengan jaminan fidusia berdasarkan
UUJF?
2.

Rahmat Setiadi, NIM: 097011007, mahasiswa Magister Kenotariatan Program
Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, dengan judul: “Resiko Hukum Atas
Cessie Tagihan Piutang Sebagai Jaminan Kredit Pada Perusahaan Pembiayaan
(Studi Pada PT. Permodalan Nasional Madani (Persero) Cabang Medan)”,
permasalahan yang diteliti yaitu:
1) Bagaimanakah kedudukan hukum cessie (tagihan piutang) sebagai jaminan
hutang pada lembaga pembiayaan PT. Permodalan Nasional Madani,
(Persero) cabang Medan?
2) Bagaimanakah prosedur pemberian kredit dengan cessie (tagihan piutang)
sebagai jaminan pada PT. Permodalan Nasional Madani (Persero) cabang
Medan?
3) Bagaimanakah resiko yang di timbulkan atas cessie (tagihan piutang) sebagai
jaminan kredit pada perusahaan pembiayaan PT. Permodalan Nasional
Madani (Persero) cabang Medan?

3.

Martinus Tjipto, NIM: 077011079, mahasiswa Magister Kenotariatan Program
Pascasarjana Universitas Sumatera Utara Perlindungan Hukum terhadap Kreditur
dalam Perjanjian Fidusia yang Dibuat Secara di Bawah Tangan (Penelitian pada
PT. Olympindo Multi Finance Cabang Medan dan PT. Orix Indonesia Finance)”,
permasalahan yang diteliti yaitu:

Universitas Sumatera Utara

16

1) Apakah faktor-faktor penyebab lembaga pembiayaan melakukan perjanjian
fidusia yang dibuat secara di bawah tangan?
2) Bagaimana kedudukan hukum perjanjian fidusia yang dibuat secara di bawah
tangan?
3) Bagaimana perlindungan hukum terhadap kreditur dalam perjanjian fidusia
yang dibuat secara di bawah tangan, jika terjadi wanprestasi?
Dari judul-judul penelitian di atas, maka dapat diketahui bahwa belum ada
yang membahas secara khusus tentang Perlindungan Hukum Terhadap Kreditur
Penerima Jaminan Fidusia Dalam Bentuk Daftar Piutang. Dengan demikian,
penelitian ini dapat dikategorikan sebagai penelitian yang baru dan keaslian dapat
dipertanggung jawabkan kebenarannya secara keilmuan akademis.
F. Kerangka Teori dan Konsepsi
1. Kerangka Teori
Teori adalah penjelasan mengenai gejala yang terdapat dalam dunia fisik
tersebut tetapi merupakan suatu abstraksi intelektual di mana pendekatan secara
rasional digabungkan dengan pengalaman empiris. Artinya teori ilmu merupakan
suatu penjelasan rasional yang berkesuaian dengan objek yang dijelaskannya. Suatu
penjelasan biar bagaimanapun meyakinkan, tetapi harus didukung oleh fakta empiris
untuk dapat dinyatakan benar.22

22

M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, (Bandung: CV. Mandar Maju, 1994), hal.27.

Universitas Sumatera Utara

17

Kerangka teori adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori,
tesis mengenai sesuatu kasus atau permasalahan (problem) yang menjadi bahan
perbandingan, pegangan teoritis.23
Kerangka teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori perlindungan
hukum, yaitu suatu perlindungan yang diberikan oleh perangkat hukum yang bersifat
preventif maupun yang bersifat represif, baik yang bersifat tertulis maupun tidak
tertulis yang diberikan terhadap subjek hukum dengan tujuan memberikan suatu rasa
aman, damai, tertib dan pasti dalam kehidupan sehari-hari subjek hukum. 24
Perlindungan hukum yang dimaksud di sini adalah perlindungan hukum
yang diberikan kepada bank dalam kedudukannya sebagai kreditur dengan
menggunakan perangkat hukum tertulis yang dapat menjelaskan bagaimana bank
dapat mempertahankan hak-haknya atas benda jaminan fidusia berupa daftar piutang
dan memperoleh pertanggungjawaban dari debitur sepenuhnya apabila pihak yang
namanya termasuk dalam daftar piutang melakukan wanprestasi.
Selain itu kerangka teori yang digunakan dalam menelaah perlindungan
hukum terhadap penerima fidusia dalam perjanjian fidusia didasarkan pada teori
keadilan dari John Rawls yang dikenal dengan teori Rawls bahwa Hukum sebagai
Justice as Fair.25 Melalui teori Rawls, bagaimanapun juga, cara yang adil untuk

23

Ibid, hal.27.
Otje Salman, Teori Hukum (Suatu Pencarian/Penelaahan), (Jakarta: Renada Media,
2007), hal.19.
25
Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum (Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis), (Jakarta
PT. Toko Gunung Agung Tbk., 2002), hal.76.
24

Universitas Sumatera Utara

18

mempersatukan berbagai kepentingan adalah dengan tanpa memberikan perhatian
istimewa terhadap kepentingan itu sendiri.
Teori Rawls,26 memberikan dua prinsip keadilan di dalamnya yakni prinsip
kebebasan dan prinsip fair. Prinsip kebebasan bahwa setiap orang berhak mempunyai
kebebasan yang terbesar asal tidak menyakiti orang lain. Selanjutnya, dengan prinsip
fair bahwa ketidaksamaan sosial dan ekonomi dianggap tidak adil kecuali jika
ketidaksamaan ini menolong seluruh masyarakat.
Berdasarkan pembukaan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945
alinea keempat yang berbunyi: “kemudian dari pada itu untuk membentuk suatu
pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia”.
Ketentuan ini merupakan landasan hukum dalam upaya melindungi segenap bangsa
Indonesia, tidak terkecuali bagi orang-orang yang melakukan perbuatan hukum
tertentu seperti dalam hal kredit.
Dalam perjanjian fidusia terdapat dua pihak yang terlibat, yaitu penerima
fidusia sebagai pihak yang membiayai atau memberikan kredit (kreditur) dan pihak
pemberi fidusia sebagai pihak yang menerima kredit (debitur). Pihak kreditur
penerima fidusia dalam kaitannya dengan tulisan ini adalah orang perseorangan atau
korporasi yang mempunyai piutang yang pembayarannya dijamin dengan Jaminan
Fidusia. Sedangkan yang dimaksud dengan debitur pemberi fidusia adalah orang
perseorangan atau korporasi pemilik benda yang menjadi obyek jaminan fidusia.
Apabila berbicara mengenai perjanjian fidusia, tidak terlepas dari perjanjian

26

Ibid, hal.81.

Universitas Sumatera Utara

19

pokoknya, yang dalam hal ini adalah perjanjian pembiayaan. Di samping itu,
perjanjian fidusia tersebut dapat yang dibuat secara otentik maupun di bawah tangan,
yang juga tidak terlepas dari konsep perjanjian yang secara mendasar sebagaimana
termuat dalam Pasal 1319 KUHPerdata, yang menegaskan semua perjanjian, baik
yang mempunyai nama khusus maupun yang tidak dikenal dengan suatu nama
tertentu, tunduk pada peraturan-peraturan umum yang termuat dalam KUHPerdata.
Ketentuan yang mengatur mengenai perjanjian terdapat di dalam Buku III
KUHPerdata, yang memiliki sifat terbuka artinya ketentuan-ketentuannya mengatur
saja.
Sifat terbuka dari KUHPerdata ini tercermin dalam Pasal 1338 Ayat (1)
KUHPerdata yang mengandung azas kebebasan berkontrak, maksudnya setiap orang
bebas untuk menentukan bentuk, macam dan isi perjanjian asalkan tidak bertentangan
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, kesusilaan dan ketertiban
umum, serta selalu memperhatikan syarat sahnya perjanjian sebagaimana termuat di
dalam Pasal 1320 KUHPerdata.
Suatu perjanjian pada dasarnya harus memuat beberapa unsur perjanjian
yaitu:27
a.

unsur essentialia, sebagai unsur pokok yang wajib ada dalam perjanjian, seperti
identitas para pihak yang harus dicantumkan di dalam suatu perjanjian;

b. unsur naturalia, merupakan unsur yang dianggap ada dalam perjanjian, walaupun
tidak dituangkan secara tegas dalam perjanjian, seperti itikad baik dari masingmasing pihak dalam perjanjian;

27

R. Subekti, Aneka Perjanjian, (Bandung: Alumni, 1985), hal.20.

Universitas Sumatera Utara

20

c. unsur accidentialia, yaitu unsur tambahan yang diberikan oleh para pihak dalam
perjanjian.
Berdasarkan uraian di atas, bahwa perjanjian dapat digunakan sebagai dasar
untuk memahami dan menyusun mengenai perjanjian kredit. Perjanjian kredit tidak
secara khusus diatur dalam KUHPerdata tetapi termasuk dalam perjanjian bernama di
luar KUHPerdata.
Perjanjian kredit dilandaskan oleh ketentuan-ketentuan KUHPerdata Bab XII
Buku III karena perjanjian kredit mirip dengan perjanjian pinjam uang. Menurut
Pasal 1754 KUHPerdata yang berbunyi: pinjam meminjam adalah suatu perjanjian
dengan mana pihak yang satu memberikan kepada pihak yang lain suatu jumlah
tertentu barang-barang yang habis karena pemakaian, dengan syarat bahwa pihak
yang terakhir ini akan mengembalikan sejumlah yang sama dari jenis dan mutu yang
sama pula.28
Menurut Subekti, memberikan suatu barang sebagai jaminan kredit berarti
melepaskan sebagian kekuasaan atas barang tersebut.29 Kekuasaan yang dimaksud
bukanlah melepaskan kekuasaan benda ekonomis melainkan secara yuridis, artinya
pemberi fidusia tetap memiliki hak ekonomis atas benda yang dijaminkannya itu,
akan tetapi pemberi fidusia tersebut tidak dapat mengalihkan maupun mengagunkan
benda yang dijaminkannya itu kepada pihak lain sebelum kewajibannya terhadap
kreditur penerima fidusia terpenuhi. Hal ini sesuai dengan teori yang dikemukakan

28
29

Sutarno, Aspek-Aspek Hukum Perkreditan pada Bank, (Jakarta: Alvabetha, 2005), hal.96.
R.Subekti, Op.cit, hal.27.

Universitas Sumatera Utara

21

bahwa benda jaminan masih dapat dipergunakan oleh si pemberi fidusia untuk
melanjutkan usaha bisnisnya. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa dalam
perjanjian jaminan fidusia, konstruksi yang terjadi adalah pemberi jaminan fidusia
bertindak sebagai pemilik manfaat, sedangkan penerima jaminan fidusia bertindak
sebagai pemilik yuridis.
Benda yang dijadikan jaminan fidusia adalah segala sesuatu yang dapat
dimiliki dan dialihkan, baik berwujud maupun tidak berwujud, yang terdaftar maupun
tidak terdaftar, yang bergerak maupun tidak bergerak, yang tidak dapat dibebani
dengan hak tanggungan atau hipotik.30 Berbeda halnya dengan objek fidusia, benda
jaminan dalam hak tanggungan adalah hak atas tanah berupa hak milik, hak guna
usaha, hak guna bangunan dan hak pakai atas tanah negara. Pembebanan hak
tanggungan dapat juga dilakukan terhadap hak atas tanah berikut bangunan, tanaman
dan hasil karya yang merupakan satu kesatuan dengan tanah dan milik pemegang hak
atas tanah tersebut.31 Secara teoritis konseptual hak tanggungan hanya dibebankan
atas tanah saja, sedangkan benda-benda yang ada di atasnya bukan merupakan benda
bagian dari tanah melainkan benda yang memiliki status hukum tersendiri.32 Ini
berarti, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan pada
prinsipnya menganut asas pemisahan horizontal. Pengecualian atas asas tersebut
hanya dimungkinkan apabila bangunan/rumah yang ada di atas tanah tersebut adalah
30
Rumusan pengertian benda dalam Pasal 1 angka 4 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999
tentang Fidusia. Bandingkan dengan Pasal 1131 KUHPerdata.
31
Pasal 4 jo. Penjelasan Umum angka 6 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak
Tanggungan.
32
Pasal 15 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan.

Universitas Sumatera Utara

22

kepunyaan dari pemilik hak atas tanah. Dalam teori hukum pun dapat dibenarkan
bahwa asas itu memiliki sifat pengecualian. Dalam teori hukum tanah yang dianut
Undang-Undang Pokok Agraria, antara tanah dan bangunan/rumah yang ada di
atasnya adalah terpisah satu sama lain.
Hak kebendaan dari jaminan fidusia baru lahir sejak dilakukan pendaftaran
pada kantor pendaftaran fidusia dan sebagai buktinya adalah diterbitkannya sertipikat
jaminan fidusia.33 Konsekuensi yuridis dari tidak didaftarkannya jaminan fidusia
adalah perjanjian jaminan fidusia bersifat perseorangan (persoonlijke karakter). Oleh
karena itu, proses pembuatan jaminan fidusia harus dilakukan secara sempurna mulai
dari tahap perjanjian kredit, pembuatan akta jaminan fidusia oleh notaris dan diikuti
dengan pendaftaran akta jaminan fidusia pada kantor pendaftaran fidusia. Tahapan
proses perjanjian jaminan fidusia tersebut memiliki arti yang berbeda sehingga
memberi karakter tersendiri dengan segala akibat hukumnya. Pengalihan jaminan
fidusia diatur dalam Pasal 19 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang
Jaminan Fidusia yang berbunyi sebagai berikut:
1) Pengalihan hak atas piutang yang dijamin dengan fidusia mengakibatkan
beralihnya demi hukum segala hak dan kewajiban penerima fidusia kepada
kreditur baru.
2) Beralihnya jaminan fidusia sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) didaftarkan
oleh Kreditur baru kepada kantor pendaftaran fidusia.

33

Pasal 14 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Fidusia.

Universitas Sumatera Utara

23

Sehingga pengalihan perjanjian pokok dalam mana diatur hak atas piutang
yang dijamin dengan fidusia, mengakibatkan beralihnya demi hukum segala hak dan
kewajiban penerima fidusia kepada kreditur baru. Selanjutnya kreditur baru harus
mendaftarkan ke kantor pendaftaran fidusia.
Penghapusan jaminan fidusia diatur dalam Pasal 25 Undang-Undang Nomor
42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia, bunyinya hapusnya hutang yang dijamin
dengan fidusia, pelepasan hak atas jaminan fidusia oleh penerima fidusia, dan
musnahnya benda yang menjadi objek jaminan fidusia. Perjanjian fidusia, seperti
halnya dengan perjanjian, yaitu bersifat acessoir, maka perjanjian/hak fidusia hapus
dapat disebabkan oleh hapusnya perikatan pokoknya, yaitu perjanjian kredit atau
perjanjian hutang piutang yang mendahuluinya. Selain itu, jaminan fidusia juga hapus
karena pelepasan hak jaminan fidusia oleh penerima fidusia, termasuk musnahnya
benda yang manjadi objek jaminan fidusia. 34
Uraian di atas memberikan pemahaman bahwa suatu perjanjian kredit
sangatlah membutuhkan adanya suatu perlindungan hukum, baik bagi si kreditur
maupun debitur. Bagi kreditur, salah satunya adalah adanya jaminan, yang dapat
dibuat dengan perjanjian jaminan fidusia, yang merupakan suatu perjanjian jaminan
yang tunduk pada asas konsensualisme, yang dianut oleh KUHPerdata.
Pengertian konsensualisme adalah perjanjian sudah dilahirkan sebagai suatu
perjanjian yang sah mengikat dan mempunyai kekuatan hukum pada detik

34

H.R. Daeng Naja, Hukum Kredit dan Bank Garansi, The Bankers Hand Book, (Bandung:
PT. Citra Aditya Bakti, 2006), hal.290.

Universitas Sumatera Utara

24

tercapainya kata sepakat mengenai apa yang telah diperjanjikan antara kreditur dan
debitur. Kata sepakat mengenai kredit antar kreditur dan debitur dalam perjanjian
kredit dinyatakan dengan cara menandatangani surat perjanjian kredit.35 Asas
konsensualisme itu sendiri dianut oleh KUHPerdata.
Sudikno Mertokusumo menjelaskan bahwa dalam hak terdapat empat unsur,
yaitu subjek hukum, objek hukum, hubungan hukum yang mengikat pihak lain
dengan kewajiban dan perlindungan hukum. Hak milik itu ada subjeknya yaitu
pemilik, sebaliknya setiap orang terikat kewajiban untuk menghormati hubungan
antara pemilik dan objek yang dimilikinya. Seseorang yang membeli suatu barang
dari orang lain berhak atas barang yang dibelinya, sedangkan penjual mempunyai
kewajiban untuk menyerahkan barang yang dijualnya. Jadi hak pada hakekatnya
merupakan hubungan hukum dengan subjek hukum lain yang dilindungi oleh hukum
dan menimbulkan kewajiban.36
Penjelasan di atas memberikan pemahaman, jika interaksi atau hubungan yang
dilakukan oleh orang yang satu dengan yang lainnya di dalam kehidupan masyarakat
akan menimbulkan hubungan hukum yang menciptakan hak dan kewajiban di antara
satu dengan atau terhadap lainnya.37 Hak dan kewajiban yang timbul dari hubungan

35

Sutan Remy Sjahdeini, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan yang Seimbang Bagi Para
Pihak dalam Perjanjian Kredit Bank di Indonesia, (Jakarta: Institut Bankir Indonesia, 1993), hal.182183.
36
Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum: Suatu Pengantar, (Yogyakarta: Liberty, 2003),
hal.42.
37
Gr. Van der Burght, (ed. Wila Chandra Wila Supriadi), Buku tentang Perikatan dalam Teori
dan Yurisprundensi, (Bandung: Mandar Maju, 1999), hal.1 mengatakan “perikatan adalah suatu
hubungan hukum harta kekayaan antara dua orang atau lebih, yang menurut ketentuan seseorang atau
lebih berhak atas sesuatu, sedangkan yang seorang lagi atau lebih berkewajiban untuk itu”.

Universitas Sumatera Utara

25

hukum tersebut harus dilindungi oleh hukum, sehingga orang atau anggota
masyarakat merasa aman kepentingannya. Demikian juga halnya dalam perjanjian
fidusia yang dilakukan oleh bank dalam perjanjian kredit dengan jaminan fidusia
dalam bentuk daftar piutang.
2. Konsepsi
Konsep adalah salah satu bagian terpenting dari teori. Peranan konsep dalam
penelitian adalah untuk menghubungkan dunia teori dan observasi, antara abstraksi
dan realitas. Konsep diartikan sebagai kata yang menyatakan abstraksi yang
digeneralisasikan dari hal-hal yang khusus, yang disebut dengan definisi operasional.
Pentingnya definisi operasional adalah untuk menghindarkan perbedaan pengertian
atau penafsiran mendua (dubius) dari suatu istilah yang dipakai. Selain itu
dipergunakan juga untuk memberikan pegangan pada proses penelitian ini. Oleh
karena itu, dalam rangka penelitian ini, perlu dirumuskan serangkaian definisi
operasional sebagai berikut:38
a.

Perlindungan Hukum
Perlindungan hukum adalah memberikan pengayoman terhadap hak asasi
manusia yang dirugikan orang lain dan perlindungan itu diberikan kepada
masyarakat agar dapat menikmati semua hak-hak yang diberikan oleh hukum.39

b.

Perjanjian Kredit

38
39

Tan Kamelo, Op.cit, hal. 30-31.
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, (Bandung: Citra Aditya, 2000), hal.54.

Universitas Sumatera Utara

26

Kredit adalah Penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan
itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara bank dengan pihak lain
yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi hutangnya setelah jangka
waktu tertentu dengan pemberian bunga.40
Perjanjian kredit bank adalah perjanjian yang isinya telah disusun oleh bank
secara sepihak dalam bentuk baku mengenai kredit yang memuat hubungan
hukum antara bank dengan nasabah debitur. 41
c.

Jaminan Fidusia
Jaminan adalah sesuatu yang diberikan kepada kreditur untuk menimbulkan
keyakinan bahwa debitur akan memenuhi kewajiban yang dapat dinilai dengan
uang yang timbul dari suatu perikatan. 42
Fidusia adalah pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas dasar kepercayaan
dengan ketentuan bahwa benda yang hak kepemilikannya dialihkan tersebut tetap
berada dalam penguasaan pemilik benda. 43
Jaminan Fidusia adalah hak jaminan atas benda bergerak baik yang berwujud
maupun yang tidak berwujud dan benda tidak bergerak khususnya bangunan
yang tidak dapat dibebani hak tanggungan sebagaimana dimaksud dalam
Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan yang tetap
berada dalam penguasaan Pemberi Fidusia, sebagai agunan bagi pelunasan utang
40

Pasal 1 butir 11 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan.
Tan Kamelo, Op.Cit, hal.33.
42
Salim HS, Perkembangan Hukum Jaminan di Indonesia, (Jakarta: RajaGrafindo Persada,
2004), hal.22.
43
Pasa1 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia.
41

Universitas Sumatera Utara

27

tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada Penerima
Fidusia terhadap kreditor lainnya. 44
d.

Benda Jaminan Fidusia
Benda jaminan fidusia adalah segala sesuatu yang dapat dimiliki dan dialihkan,
baik yang berwujud maupun tidak berwujud, yang terdaftar maupun tidak
terdaftar, yang bergerak maupun tidak bergerak, yang tidak dapat dibebani
dengan hak tanggungan atau hipotik. 45

e.

Pemberi Fidusia
Pemberi fidusia adalah orang perseorangan atau korporasi pemilik Benda yang
menjadi obyek Jaminan Fidusia. 46

f.

Penerima Fidusia
Penerima fidusia adalah orang perseorangan atau korporasi yang mempunyai
piutang yang pembayarannya dijamin dengan Jaminan Fidusia. 47

g.

Akta Jaminan Fidusia
Akta Jaminan Fidusia adalah akta dibawah tangan dan akta notaris yang
berisikan pemberian jaminan fidusia kepada kreditur tertentu sebagai jaminan
untuk pelunasan piutangnya. 48

h.

Hutang

44
45

Pasa1 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia.
Pasa1 1 angka 3 jo Pasal 3 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan

Fidusia.
46

Pasa1 1 angka 5 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia.
Pasa1 1 angka 6 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia.
48
Tan Kamelo, Op.Cit, hal.32.
47

Universitas Sumatera Utara

28

Hutang adalah kewajiban debitur yang harus dibayar kepada kreditur dalam
bentuk mata uang rupiah atau mata uang lainnya sebagai akibat perjanjian kredit
dengan jaminan fidusia. 49
i.

Piutang adalah hak untuk menerima pembayaran.50

G. Metode Penelitian
Sunaryati Hartono mendefenisikan bahwa :
”Metode penelitian adalah cara atau jalan atau proses pemeriksaan atau
penyelidikan yang menggunakan cara penalaran dan teori-teori yang logis analitis
(logika), berdasarkan dalil-dalil, rumus-rumus dan teori-teori suatu ilmu (atau
beberapa cabang ilmu) tertentu, untuk menguji kebenaran (atau mengadakan
verifikasi) suatu hipotesis atau teori tentang gejala-gejala atau peristiwa alamiah,
peristiwa sosial atau peristiwa hukum tertentu. 51
Penelitian hukum adalah suatu proses untuk menemukan aturan hukum,
prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hukum guna menjawab isu hukum
yang dihadapi. 52
1. Jenis dan Sifat Penelitian
Penelitian yang dilaksanakan bersifat deskriptif, yaitu suatu penelitian yang
menggambarkan, menelaah, menjelaskan dan menganalisis hukum baik dalam bentuk
teori maupun praktek dari hasil penelitian di lapangan.53 Pada penelitian ini bersifat
deskriptif yaitu penelitian yang menggambarkan, menelaah, menjelaskan dan

49

Pasal 1 angka 7 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia.
Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani,Op.cit, hal.122.
51
Sunaryati Hartono, Penelitian Hukum Indonesia Pada Akhir Abad ke-20, (Bandung:
Alumni, 1994), hal.105.
52
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana, 2007), hal.35.
53
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI Press, 1986), hal.63.
50

Universitas Sumatera Utara

29

menganalisis Perlindungan Hukum Terhadap Kreditur Penerima Jaminan Fidusia
Dalam Bentuk Daftar Piutang.
Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum normatif (yuridis
normatif), yaitu penelitian hukum yang mempergunakan data sekunder yang dimulai
dengan analisis terhadap permasalahan hukum baik yang berasal dari literatur
maupun peraturan perundang-undangan,54 khususnya Undang-Undang Jaminan
Fidusia dan peraturan pelaksanannya dan ketentuan hukum yang terkait. Setelah itu
dilanjutkan dengan menggunakan data primer yang bertujuan untuk menemukan
korelasi antara beberapa gejala yang ditelaah dan praktek pelaksanaan yang
menyangkut dengan akta jaminan fidusia.
2. Pendekatan Penelitian
Mengingat bahwa permasalahan yang diteliti berkisar pada peraturan
perundang-undangan, yaitu hubungan antara peraturan yang satu dengan peraturan
yang lainnya serta kaitannya dengan penerapannya dalam praktek, maka pendekatan
yang digunakan adalah pendekatan perundang-undangan (statute approach).
Pendekatan perundang-undangan (statute approach) melakukan pengkajian peraturan
perundang-undangan yang berhubungan dengan tema sentral penelitian. Selain itu
juga dilakukan pendekatan lain yang diperlukan guna memperjelas analisis ilmiah
yang diperlukan dalam penelitian normatif.” 55

54

Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada,
2010), hal.37-38.
55
Johnny Ibrahim, Teori & Metodologi Penelitian Hukum Normatif, (Jakarta: Bayumedia,
2007), hal.295.

Universitas Sumatera Utara

30

3.

Sumber Bahan Hukum
Sumber bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini adalah data

sekunder melalui studi dokumen, untuk memperoleh data yang diambil dari bahan
kepustakaan, diantaranya adalah:
a.

Bahan Hukum Primer, yaitu berupa bahan hukum yang mengikat, yaitu peraturan
perundang-undangan yang relevan dengan permasalahan dan tujuan penelitian ini, antara
lain:
1) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945
2) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1967 tentang Pokok-Pokok Perbankan
3) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia

b.

Bahan Hukum Sekunder, yaitu bahan pustaka yang memberikan penjelasan mengenai
bahan hukum primer. Bahan hukum sekunder ini antara lain mencakup hasil penelitian,
rancangan undang-undang, hasil karya dari kalangan hukum dan literatur-literatur.

c.

Bahan Hukum Tersier, yaitu bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan
terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Bahan yang dipergunakan
dalam penelitian ini adalah kamus, ensiklopedia, dan sebagainya.

4.

56

Tehnik Pengumpulan Data
Pengumpulan data mempunyai hubungan erat dengan sumber bahan hukum,

karena dengan pengumpulan data akan diperoleh bahan hukum yang diperlukan
untuk selanjutnya dianalisis sesuai yang diharapkan. Maka tehnik pengumpulan data
dalam penelitian ini berupa:
56

Soerjono Soekanto, dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat,
(Jakarta : RajaGrafindo Persada, 2001), hal.13.

Universitas Sumatera Utara

31

a.

Penelitian kepustakaan (library research) yaitu mencari dan mengumpulkan data
sekunder yang berkaitan dengan teori hukum dan praktik pelaksanaan yang
terjadi dalam pembuatan akta jaminan fidusia.

b. Wawancara yang menghimpun data dengan melakukan tanya jawab antara
peneliti dengan narasumber untuk mendapatkan informasi. Untuk menambah dan
melengkapi data sekunder yang diperoleh akan dilakukan wawancara dengan
informan yang terdiri dari pihak bank dan Notaris/ PPAT di kota Medan
sebanyak 3 orang.
5. Analisis Data
Data yang diperoleh dari hasil penelitian lapangan dan penelitian kepustakaan,
selanjutnya akan dilakukan proses pengeditan data. Ini dilakukan agar akurasi data
dapat diperiksa dan kesalahan dapat diperbaiki dengan cara menjajaki kembali ke
sumber data. Setelah pengeditan selanjutnya adalah pengolahan data. Setelah
pengolahan data selesai selanjutnya akan dilakukan analisi data secara deskriptifanalitis-kualitatif, dan khusu terhadap data dalam dokumen-dokumen akan dilakukan
kajian isi (content analysis). 57
Lexi J. Moleong mengemukakan bahwa kajian isi adalah metodologi
penelitian yang memanfaatkan seperangkat prosedur untuk menarik kesimpulan yang
sahih dari suatu dokumen untuk kemudian diambil suatu kesimpulan sehingga pokok
permasalahn yang diteliti dan dikaji dalam penelitian ini dapat terjawab. 58

57

Lexi J. Moleong, Metodologi Penelitian Kuantitatif, (Bandung: PT. Remaja Rosda Karya,
2000), hal.163-165.
58
Ibid.

Universitas Sumatera Utara

32

Kemudian penarikan kesimpulan dilakukan dengan menggunakan logika
berfikir deduktif, yakni penyimpulan yang dilakukan dimulai dari yang umum ke
yang khusus.59 Kesimpulan adalah jawaban khusus atas permasalahan yang diteliti
sehingga diharapkan akan memberikan jawaban yang jelas atas permasalahan dalam
penelitian ini.

59

Tampil Ansahari Siregar, Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta : Rajawali Pers, 2005),

hal.16.

Universitas Sumatera Utara