Pengaruh Work-Family Confilct terhadap Stres Kerja pada Polisi Wanita yang Menikah di Kepolisian Daerah Sumatera Utara

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Stres kerja didefinisikan sebagai suatu keadaan kehilangan kontrol atau
ketidakmampuan dalam performa kerja, yang berhubungan dengan kesesuaian
antara pekerjaan dan lingkungan (Wiley, 2003). Lebih lanjut, Wiley (2003) juga
menyatakan lingkungan kerja yang terlalu berat dan sulit bisa mengarahkan pada
stres karena harus memberikan atensi lebih terhadap pekerjaan. Stres biasanya
dikonotasikan dengan makna negatif, tapi beberapa respon terhadap stres bisa
memberikan dampak positif, inilah yang disebut dengan eustress. Sementara
istilah distress digunakan untuk menggambarkan aspek negatif yang muncul dari
stres (McVicar, 2003)
Stres tidak hanya berkaitan dengan respon fisiologis terhadap situasi, tapi
merupakan interaksi antara individu dengan tuntutan dalam lingkungannya (Long,
1995). Secara khusus, stres dikaitkan dengan kendala dan tuntutan (Robbins,
2002). Misalnya, ketika mendapatkan suatu promosi dalam pekerjaan, maka akan
dihadapkan pada gaji yang lebih besar dan tentu tanggung jawab serta tuntutan
yang lebih besar. Sementara jika performa buruk dalam bekerja akan
menghasilkan kendala dalam mendapatkan promosi bahkan isu pemecatan.
Ada kecenderungan fenomena stres kerja ini terus meningkat. Berdasarkan
data Cryer, McCraty, dan Childre (2003), stres dalam pekerjaan telah meningkat

10% sejak 2001. Di negara-negara berkembang terutama yang mengalami resesi
1
Universitas Sumatera Utara

2

ekonomi, stres lebih banyak dialami bahkan hampir di semua profesi pekerjaan
(Naqvi, Khan, Kant, & Khan, 2013). Kondisi ini secara potensial menjadi
mengkhawatirkan jika terus berkembang dan tidak bisa diminimalisir. Selaras
dengan pernyataan Pelletier (dalam Muchinsky, 2003) yang melaporkan bahwa
stres dan faktor psikososial lainnya memainkan peran penting dalam gangguangangguan kronis. Konsekuensinya, baik pekerja maupun organisasi menjadi lebih
waspada terhadap efek negatif dari stress kerja itu sendiri.
Efek negatif itu bisa berupa efek pada fisik maupun psikologis pekerja
(Muchinsky, 2003) dan setiap harinya seseorang akan berhadapan dengan situasi
yang membutuhkan usaha fisik maupun mental (Colligan & Higgins,
2005)Masalah pada fisik bisa berupa tekanan darah yang berubah-ubah, dan
cenderung meningkat saat tuntutan kerja bertambah (James, dalam Wiley 2003),
perubahan metabolisme, sakit kepala, bahkan serangan jantung (Robbins, 2002).
Sementara dari sisi psikologis, dampak stres bisa menyebabkan ketidakpuasan
kerja, kecemasan, ketegangan, mudah marah, kebosanan dan suka menundanunda (Robbins, 2002).

Kebanyakan pekerja menghabiskan waktunya untuk pekerjaan, dan
workload yang tinggi membuat stres kerja berkembang dan merembet secara luas,

yang kemudian memengaruhi seseorang di setiap sektor kehidupan (Naqvi dkk,
2013). Hasilnya

timbul

kelelahan emosional, masalah kesehatan,

atau

ketidakpuasan kerja sebagai efek negatif dari stres kerja (Gelsema, Doef, Maes,
Janssen, Akerboom, dan Verhoeven, 2006).

Universitas Sumatera Utara

3

Efek-efek negatif tersebut disebabkan oleh beberapa faktor yang oleh

Robbins (2002) diklasifikan atas tiga sumber potensial stres kerja yaitu
lingkungan, organisasi, dan individual.Faktor lingkungan bisa disebabkan oleh
perubahan ekonomi global, perubahan sistem politik, ataupun perkembangan
teknologi. Sementara faktor organisasi yang bisa memicu stres diantaranya
tuntutan tugas, tuntutan peran, tuntutan antar-pribadi dan struktur organisasi. Dan
faktor selanjutnya yang bisa menyebabkan stres menurut Robbins (2002) yaitu
faktor individual. Diantaranya, masalah ekonomi pribadi, karakteristik bawaan
diperkuat oleh Wright (dalam Muchinsky, 2003), yang menyatakan bahwa
kepribadian tipe A memiliki kecenderungan lebih tinggi bersinggungan dengan
stres dibanding kepribadian tipe B. Selanjutnya yang terakhir dari faktor
individual menurut Robbins (2002) adalah permasalahan keluarga.
Persoalan keluarga yang mungkin bisa memicu stres bisa menjadi sedikit
kompleks, melibatkan banyak relasi seperti hubungan hubungan orang tua-anak,
mertua-menantu, ataupun suami-istri (Lestari, 2012).Pasangan suami istri ini, jika
sama-sama bekerja juga bisa menimbulkan masalah baru yaitu kesulitan
menyeimbangkan kehidupan keluarga dan pekerjaan (DeGenova, 2008). Tapi,
dibandingkan pria menikah yang bekerja, wanita yang sudah menikah dan punya
pekerjaan ternyata memiliki pengalaman konflik peran ganda (antara pekerjaan
dan keluarga) yang lebih tinggi karena wanita memiliki tanggung jawab lebih
besar dalam sebuah keluarga menurut Greenhaus dan Beutell (dalam Ansari,

2011). Kondisi ini membuat wanita harus berjuang lebih untuk bisa membagi
waktu antara pekerjaan dan keluarganya. Di satu sisi, wanita harus menunjukkan

Universitas Sumatera Utara

4

komitmen dan integritas dalam pekerjaannya, di sisi lain menjalankan peran
sebagai ibu dan istri yang terlibat lebih sering dalam pengasuhan anak dan urusan
rumah tangga jelas tidak bisa diabaikan. Apalagi jika melihat dari peran gender
tradisionalyang menyatakan wanita ideal adalah yang berorientasi pada keluarga
dan anak-anaknya (Feldman, dalam Nauly, 2003). Namun seiring berjalannya
waktu, meningkatnya pasangan yang sama-sama bekerja, dan orang tua tunggal
serta penurunan dalam peran gender tradisional, menjadikan kerja, pengasuhan
anak, pekerjaan rumah tangga, tidak lagi terbatas dalam peran gender tradisional
yang mengatakan wanita sebaiknya berorientasi dalam keluarga (Byron, 2005).
Dalam beberapa tahun terakhir, semakin banyak penelitian yang
menyinggung konflik yang dialami individu antara perannya di keluarga dan
pekerjaan, yang kemudian disebut dengan work-family conflict (Anafarta, 2010).
Selaras dengan memudarnya stereotipe wanita yang tugasnya dominan mengurus

rumah tangga (Byron, 2005), jumlah pekerja wanita di era sekarang yang
menikahsekaligus bekerja cukup tinggi. Di Amerika Serikat pada tahun 2000,
80% wanita (25-54 tahun) dipekerjakan menurut National Commission on
Working Women (Grandey & Cropanzano, 1999). Di Indonesia sendiri menurut

data Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak tahun 2012,
sebanyak 47.91 % wanita usia produktif bekerja. Kondisi ini selaras dengan
pendapat Gupta & Jenkins (1985) yang menyatakan semakin banyak pasangan
yang berusaha menyesuaikan peran antara pekerjaan dan di keluarga.
Work-Family Conflict memiliki tiga bentuk menurut Greenhaus dan

Beutell (1985). Yang pertama adalah time-based conflict yaitu konflik yang

Universitas Sumatera Utara

5

disebabkan durasi waktu yang dicurahkan tidak seimbang untuk salah satu peran,
sehingga tugas dalam peran yang lainnya tidak mampu disanggupi oleh individu.
Yang kedua disebut strain-based conflict yaitu hadirnya tekanan dalam salah satu

peran yang menyebabkan penurunan performa pada peran yang lainnya. Yang
ketiga

yaitu

behavior-based

conflict,

yaitu

konflik

yang

disebabkan

ketidakmampuan dalam menyesuaikan perilaku yang diharapkan dari salah satu
peran ketika berganti ke peran yang lainnya.
Ilies, Pater, Lim, dan Binnewies (2012) dalam penelitiannya menyatakan

bahwa work-family conflict berasosisasi dengan efek negatif yang lebih besar
dibandingkan efek positifnya, yang bisa meningkatkan ketegangan emosional. Hal
ini bisa memberikan dampak negatif bagi individu seperti konsumsi alkohol,
kelelahan, kecemasan kerja, dan masalah kesehatan (Warner & Hausdorf, 2009),
dan dalam kaitan dengan organisasi, work-family conflict bisa mengakibatkan
ketidakpuasan kerja, performa yang rendah, dan komitmen organisasi yang rendah
(Willis, dalam Anafarta 2010).
Work-family conflictjuga bisa dipengaruhi oleh durasi bekerja yang terlalu

lama, dan beratnya tugas dalam pekerjaan tersebut (Boyar, Maertz, Mosley, dan
Carr (2008). Tapi, jika bisa meregulasi konflik dan menangani permasalahan
kerja, kehadiran beberapa peran akan berasosiasi dengansemakin tingginya harga
diridan kepuasan hidup, sementara jika memiliki persepsi bahwa tidak mampu
menyesuaikan waktu dan tenaga bisa berasosiasi dengan ketidakpuasan pekerjaan
dan kehidupan rumah tangga, depresi, dan stres (Grandey & Cropanzano, 1999).

Universitas Sumatera Utara

6


Dengan demikian, work-family conflict bisa dikonseptualisasikan sebagai
“sisi

yang gagal” ketika berbicara kesuksesan atau kegagalan dalam

menyeimbangkan peran keluarga dan pekerjaan. (Ilies dkk, 2012). Walaupun
menurut Barnett & Hyde dalam Papalia (2009), menyatukan peran kerja dan
keluarga umumnya menguntungkan bagi pria dan perempuan dalam hal kesehatan
mental dan fisik serta kekuatan hubungan mereka. Dari sisi ekonomi, kehadiran
istri yang bekerja juga memberikan tambahan penghasilan, memberikan harga diri
yang lebih besar bagi perempuan, dan hubungan yang lebih lekat antara ayah dan
anaknya (Gilbert, dalam Papalia 2009). Dan didukung oleh penelitian Illies dkk
(2012) yang menyatakan dalam penelitiannya bahwa work-family conflict bisa
berkonklusi pada perilaku yang positif dan adaptif.
Perilaku adaptif akan diperlukan jika terjadi perubahan dalam lingkungan
individu, misalnya kehadiran anak. Bagi keluarga yang ibu dan ayahnya samasama bekerja, kehadiran anak memberikan tuntutan yang semakin tinggi, yang
tidak bisa ditunda, dijadwal ulang, ataupun diabaikan, yang bisa menciptakan
Work-Family Conflict yang besar menurut Silberstein (dalam Muchinsky, 2003).

Walaupun ada kecenderungan wanita lebih mendahulukan perannya di keluarga

dibandingkan pekerjaannya (Karambaya dan Reilly, dalam Muchinsky 2003).
Tekanan dalam pekerjaan dan keluarga yang meningkat atau mengalami
perubahan memberikan beban tersendiri kepada pekerja terutama wanita dan
menjadi lebih sulit lagi untuk menyeimbangkan masing-masing perannya.
Dari berbagai pendapat dan penjabaran di atas, dapat dikatakan workfamily conflict yang lebih rentan terjadi pada wanita menurut Greenhaus dan

Universitas Sumatera Utara

7

Beutell (dalam Ansari, 2011), berhubungan positif dengan stres kerja yang
menyebabkan dampak negatif kepada fisik, psikologis.. Dan bagi mereka yang
bekerja di bidang pelayanan publik, profesi seperti ini terindikasi lebih rentan
mengalami stres kerja karena kehidupan pekerjaan yang harus berhadapan dengan
orang banyak, menurut Miller & Phipps, ( dalam Naqvi dkk, 2003).
Salah satu bidang pelayanan publik adalah Kepolisian. Sesuai dengan
tugasnya

yaitu


melayani

pelayanan

kepada

masyarakat

sesuai

dengan

kepentingannya dalam lingkup tugas kepolisian, yang tertuang dalam pasal 14
ayat 1(satu) poin k UU RI no. 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik
Indonesia. Secara khusus, Kepolisian Negara Republik Indonesia juga merupakan
kekuatan utama dalam usaha pertahanan dan keamanan negara berdasarkan
Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 30 ayat
2(dua) tentang Pertahanan dan Keamanan.
Polisi sebagai institusi kenegaraan memiliki ikatan dinas sekaligus
pengemban tanggung jawab keamanan negara yang disumpah secara keagamaan

untuk melaksanakannya sesuai pasal 23 dan 24 Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 2 Tahun 2002. Hal ini menjadi membuat kepolisian menjadi
institusi yang memiliki tanggung jawab yang sangat besar. Untuk itu, peraturan
yang mengikat anggota kepolisian dibuat dengan ketat. Dalam

Peraturan

Pemerintah Republik Indonesia no.2 tahun 2003 tentang Peraturan Disiplin
Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia, yang melanggar akan dikenakan
sanksi indisipliner. Konsekuensi dari tindakan-tindakan indisipliner bisa
beragammulai dari teguran, penundaan gaji serta pangkat, mutasi bersifat demosi,

Universitas Sumatera Utara

8

dan pembebasan jabatan, hingga dipecat hormat atau tidak hormat menurut
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia no.2 tahun 2003 pasal 9 dan 10 tentang
Peraturan Disiplin Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia. Jika sudah
dipecat, maka individu tersebut sedikit banyak akan kesulitan mendapatkan
pekerjaan baru, karena otomatis tidak akan diterima oleh instansi kenegaraan
manapun dan memiliki rekam jejak yang buruk.
Deskripsi kerja yang berpotensi rawan stres, ikatan dinas, dan tanggung
jawab terhadap keamanan negara tentu menjadi tantangan tersendiri bagi wanita
yang menjadi pekerja disana. Dan bagi mereka yang bekerja di Kantor Kepolisian
tingkat Provinsi beban kerjanya akan berbeda dengan mereka yang yang bekerja
di tingkat kabupaten/kota atau kecamatan. Berdasarkan komunikasi personal
dengan polisi wanita di Februari 2016, semakin potensial kasus menciptakan
kegaduhan di masyarakat dan semasif apa pengaruhnya terhadap stabilitas
keamanan negara, maka perkara tersebut menjadi ranah kepolisian tingkat
provinsi karena di luar lapis kemampuan dari kantor kepolisian tingkat kecamatan
atau kabupaten/kota. Dengan kata lain tuntutan kerja di kepolisian tingkat provinsi
akan lebih tinggi dibanding kepolisian tingkat kecamatan atau kabupaten/kota
berdasarkan lapis kemampuannya
Tuntutan pekerjaan tersebut berpotensi menguras atensi bagi polisi wanita,
sementara di sisi lain wanita juga bertanggung jawab terhadap pasangan dan
rumah tangganya, sesuai dengan peran tradisionalnya. Secara teori, peran ganda
ini bisa berdampak buruk dan menimbulkan stres kerja. Tapi, seberapa besar
work-family conflict memengaruhi secara positif stres kerja pada polisi wanita

Universitas Sumatera Utara

9

yang menikah terutama di Kepolisian Daerah Sumatera Utara yang memiliki lapis
kemampuan tertinggi di tingkat daerah dalam penanganan kasus. Fenomena ini
yang menjadi basis penelitian untuk melihat apakah ada pengaruh positif workfamily conflict terhadap stres kerja pada polisi wanita yang menikah di Kepolisian

Daerah Sumatera Utara.
B. Rumusan Masalah
“Apakah ada pengaruh positif antarawork-family conflict terhadap stres
kerja pada polisi wanita yang menikah di Kepolisian Daerah Sumatera Utara?”
C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini untuk melihat ada atau tidaknya pengaruh positif
antara work-family conflict terhadap stres kerja pada polisi wanita yang menikah
di Kepolisian Daerah Sumatera Utara
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
Penelitian ini diharapkan menjadi tambahan referensi di bidang
psikologi industri dan organisasi khususnya dalam kajian WorkFamily Conflict dan Stres kerja.

2. Manfaat Praktis
a. Memberikan informasi mengenai pengaruh antara work-family conflict
terhadap stres kerja kepada instansi Kepolisian Daerah Sumatera Utara
agar bisa mengantisipasi dampak work-family conflict terhadap stres
kerja pada polisi wanita yang menikah.

Universitas Sumatera Utara

10

b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran tingkat
work-family conflict dan stres kerja sehingga organisasi mengetahui

kondisi work-family conflict dan stres kerja yang dialami polisi wanita
yang menikah.
3.

Sistematika Penulisan

Penelitian ini berisikan 5 bab, dengan sistematika sebagai berikut :
Bab I

: Pendahuluan
Bab ini terdiri dari latar belakang masalah, perumusan masalah,
tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan sistematika penulisan.

Bab II

: Tinjauan Pustaka
Bab ini menguraikan tinjauan pustaka yang menjadi landasan teori.
Teori-teori yang digunakan adalah teori mengenai work-family
conflict dan stres kerja.

Bab III

: Metode Penelitian
Bab ini menjelaskan tentang jenis penelitian kuantitatif yang
digunakan

dalam

penelitian,

meliputi

identifikasi

variabel

penelitian, definisi operasional, metode pengambilan data, alat ukur
yang digunakan, prosedur penelitian dan metode analisis data.
Bab IV

: Analisa dan Pembahasan Data
Pada bab ini dijelaskan tentang gambaran umum subjek penelitian
yang dibagi atas 5 bagian (jumlah anak yang dimiliki subjek,
tingkat pendidikan subjek, usia pernikahan subjek, masa kerja
subjek, dan usia subjek), uji asumsi, hasil utama penelitian, dan
pembahasan.

Universitas Sumatera Utara

11

Bab V

: Kesimpulan dan Saran
Bab ini berisi kesimpulan dan saran metodologis serta saran praktis
yang disampaikan peneliti.

Universitas Sumatera Utara