Pengaruh Work-Family Confilct terhadap Stres Kerja pada Polisi Wanita yang Menikah di Kepolisian Daerah Sumatera Utara

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Stres Kerja
1. Pengertian Stres Kerja
Stress kerja merupakan konstruk psikologi yang rumit dan harus
dikonseptualisasikan dari konstruk yang lebih mendasar yaitu stres. Robbins
(2002) menyatakan bahwa stres adalah kondisi dinamis yang di dalamnya
individu dikonfrontasikan dengan suatu peluang, kendala, dan tuntutan yang
dikaitkan dengan ekspektasi individu yang menghasilkan persepsi ketidakpastian.
Secara lebih khusus, stres dikaitkan dengan kendala dan tuntutan. Yang pertama
(kendala) mencegah individu untuk mengerjakan sesuatu, sementara yang kedua
(tuntutan) mengacu pada hilangnya sesuatu yang sangat diinginkan individu.
French, Rogers, & Cobb dalam Wijono (2010) mendefinisikan stres kerja
sebagai suatu ketidaksesuaian antara kemampuan individu dan tuntutan pekerjaan.
Selanjutnya Beehr dan Newman dalam Wijono (2010) menyatakan bahwa stres
kerja mengacu pada semua karakteristik pekerjaan yang mungkin memberi
ancaman kepada individu tersebut
Aamodth (2007) mengartikan stres sebagai reaksi psikologis dan biologis
akan suatu kondisi atau peristiwa hidup. Peristiwa hidup yang dimaksud bisa
bermacam-macam dan disebut dengan stressors meliputi berbagai hal misalnya,
kemacetan lalu lintas, tenggat waktu tugas, atau wawancara kerja. Jika

mempersepsikan peristiwa-peristiwa ini sebagai suatu kondisi yang bisa membuat
12
Universitas Sumatera Utara

13

stres, tubuh akan merespon

dengan berbagai cara, misalnya meningkatnya

tekanan darah, tegang otot, ataupun detak jantung yang meningkat. Hal ini disebut
reaksi stres. Jika reaksi fisik ini berlangsung dalam jangka waktu yang lama dan
tidak bisa lagi ditoleransi oleh tubuh maka muncul dampak negatif bagi tubuh dan
psikologis. Tapi belum tentu stressor bagi individu yang satu, sama dengan
individu yang lain. Tidak semua stres itu buruk. Stres bisa membantu seseorang
untuk mencapai tujuannya, di sisi lain stres juga bisa menjadi beban yang
menyebabkan kelelahan emosional ataupun penyakit fisik (Colligan &
Higgins,2005).
Maka ada yang disebut dengan eustress ( berasal dari kata eu- yang artinya
pantas/baik) yang muncul ketika stressor menghasilkan perasaan tantangan atau

keinginan akan pencapaian, perasaan ini akan menjadi motivasi individu untuk
mencapai sesuatu. Sementara stres yang buruk atau negatif disebut dengan
distress,yang terjadi ketika terlalu banyak stres dan efeknya tidak bisa
dihilangkan, direduksi ataupun dihadang. Biasanya terjadi di situasi yang
memberikan tuntutan yang besar pada individu.
Sementara Muchinsky (2003) menyebutkan bahwa stres kerja adalah suatu
respon terhadap stimulus yang muncul dalam pekerjaan yang mengarahkan pada
konsekuensi negatif, baik fisik ataupun psikologis.
Pendapat lain mengenai stres kerja disampaikan oleh Pediwal (2010), yaitu
sebagai ketidakcocokan antara kapabilitas individu dan tuntutan organisasi. Stres
dimulai dengan tuntutan dan kesempatan dari lingkungan kepada individu dan

Universitas Sumatera Utara

14

berakhir dengan respon individu terhadap tuntutan dan kesempatan tersebut
(Shah, 2003).
Naqvi Dkk (2013) juga mengemukakan bahwa stres adalah kondisi fisik
dan gangguan psikologis yang berasal dari situasi penuh tekanan, ketika sumber

daya (resources) gagal memenuhi tuntutan individu. Hans Selye dalam Berry
(1998) menambahkan bahwa stres adalah sebuah istilah psikologi untuk respon
tubuh secara general. Respon ini muncul ketika setiap tuntutan terjadi dalam
tubuh individu, yang bisa berupa kondisi lingkungan sekitar yang membuat
individu harus bertahan atau menjadikan tuntutan tersebut sebagai cara untuk
mencapai tujuan pribadi
Dapat disimpulkan bahwa stres kerja adalah satu kondisi penuh tekanan
dalam pekerjaan yang timbul karena adanya tuntutan dan kendala dalam dunia
pekerjaan serta ketidaksesuaian kemampuan individu untuk mengatasi tuntutan
dan kendala tersebut, yang kemudian direspon tubuh baik secara psikologis
maupun fisik yang biasanya memiliki konsekuensi negatif.
2. Proses Stres
Lazarus (1980) mendeskripsikan empat proses stres yang terjadi pada
individu, yaitu :
a. Peristiwa atau Situasi Stressful
Munculnya kejadian atau peristiwa yang berpotensi memberikan
ancaman yang menyebabkan stres.
b. Primary Appraisal

Universitas Sumatera Utara


15

penilaian saat individu mendeteksi suatu kejadian yang berpotensi
mengancam atau menyebabkan stres. Persepsi atas ancaman tersebut
meningkat ketika tuntutan meningkat dan menguji kemampuan
individu untuk mengatasinya.
c. Secondary Appraisal
Penilaian yang dilakukan individu ketika mengevaluasi keadaan
sekitar dan sumber daya yang tersedia apakah bisa digunakan untuk
mengatasi situasi yang ada.
d. Stress and Coping
Mengacu kepada bagaimana inidividu berusaha mencari strategi
penanganan stres dan menangani primary dan secondary appraisal.
Yang jika gagal ditangani, maka individu akan mengalami stres.
3. Gejala Stres Kerja
Menurut Robbins (2002), gejala stres adalah sebagai berikut :
a. Gejala Fisiologis
1. Perubahan metabolisme
2. Meningkatnya laju detak jantung dan pernafasan

3. Meningkatnya tekanan darah
4. Menimbulkan sakit kepala
5. Memicu serangan jantung

Universitas Sumatera Utara

16

b. Gejala Psikologis
1. Ketegangan (strain)
2. Kecemasan
3. Mudah marah
4. Kebosanan
5. Prokastinasi
c. Gejala Perilaku
1. Perubahan produktivitas
2. Absensi
3. Tingkat keluar karyawan
4. Perubahan dalam kebiasaan makan
5. Meningkatnya konsumsi rokok dan alkohol

6. Bicara cepat
7. Gelisah
8. Ganggguan tidur
4. Tahap Stres
Ada informasi bahwa reaksi tubuh terhadap stress sama halnya dengan
reaksi tubuh terhadap luka atau infeksi yang disebut sebagai General Adaptation
Syndrome (GAS). Ada tiga tahap menurut Lahey (2012) :
1.

Alarm reaction
Dalam tahap ini, yang bekerja adalah saraf simpatetik. Ketika terjadi
stress, perubahan fisiologis seperti peningkatan detak jantung dan
tekanan darah, pengalihan darah dari pencernaan ke otot, peningkatan

Universitas Sumatera Utara

17

pernafasan, dll, memberi suatu alarm seperti pegal, mual, pusing, dan
rasa sakit lainnya. Di tahap ini, agak sulit dibedakan antara alarm yang

diberikan tubuh sebagai tanda individu terserang penyakit atau sedang
stres.
2. Resistance Stage
Merupakan tahap perlawanan terhadap stress yang sangat tinggi. Jika
stress baru kembali muncul, tubuh akan semakin kurang mampu untuk
mengatasi stress. Sementara jika stress berkelanjutan, sumber
pertahanan individu akan habis.
3. Exhaustion Stage
Ketika stress tidak juga berhenti, maka sumber pertahanan akan habis
dan pertahanan terhadap stress akan berhenti.
5. Sumber Stres
Menurut Robbins (2002) ada beberapa sumber potensial yang bisa memicu
stres yaitu sebagai berikut :
a. Faktor Lingkungan
1. Ketidakpastian ekonomi.
Bila kondisi ekonomi memburuk/resesi maka pekerja akan
mencemaskan keamanan mereka sebagai pemilik jabatan.
2. Ketidakpastian politik.
Di negara-negara yang stidak stabil secara politik cenderung lebih
menciptakan stres dibanding negara yang stabil secara politik


Universitas Sumatera Utara

18

karena kapan saja bisa terjadi perubahan kebijakan yang dapat
menciptakan stres kerja
3. Ketidakpastian teknologi
Komputerisasi, otomatisasi, robotisasi menjadi ancaman bagi
pekerja yang dapat memicu stres karena daya fungsi sebagai
produsen digantikan oleh mesin/teknologi.
b. Faktor Organisasi
1. Tuntutan tugas
Faktor ini yang dikaitkan pada pekerjaan seseorang. Faktor ini
mencakup desain pekerjaan individu, kondisi kerja, dan tata letak
kerja fisik. Dan saling ketergantungan antara tugas seseorang
dengan tugas orang lain, akan berpotensi lebih menciptakan stres.
2. Tuntutan peran
Berhubungan dengan tekanan yang diberikan pada seseorang
sebagai fungsi dari peran tertentu yang dimainkan


dalam

organisasi itu. Ambiguitas peran yang jika tidak dipahami dengan
benar bisa menyebabkan pekerja tidak tahu pasti apa yang harus
dikerjakan sehingga memicu stres.
3. Tuntutan antar-pribadi
Tekanan ini diciptakan karyawan lain. Kurangnya dukungan sosial
dari rekan dan hubungan yang buruk dapat menimbulkan stres
yang cukup besar, khususnya bagi karyawan yang kebutuhan
sosialnya tinggi.

Universitas Sumatera Utara

19

4. Struktur organisasi
Aturan-aturan yang berlebihan, stuktur yang tidak jelas dalam
pengambilan


keputusan

dan

kurangnya

partisipasi

dalam

pengambilan keputusan akan menjadi potensi dari stres itu sendiri.
5. Kepemimpinan organisasi
Gaya manajerial dari pemimpin juga bisa memicu stres. Terutama
bagi pemimpin yang menciptakan suatu budaya yang dicirikan
dengan ketagangan, rasa takut, dan kecemasan.
c.

Faktor Individual
1. Masalah pribadi dan keluarga
Kesulitan pernikahan, putusnya suatu hubungan atau kesulitan

mendisiplinkan merupakan contoh masalah dalam hubungan
pribadi yang bisa memicu stres bagi para karyawan dan terbawa ke
tempat kerja.
2. Masalah ekonomi
Kesulitan keuangan, atau pengelolaan keuangan yang buruk bisa
memicu stres dan mengganggu atensi karyawan terhadap pekerjaan
mereka.
3. Perbedaan kepribadian
Tipe kepribadian yang berbeda antar individu membuat toleransi
akan stres juga menjadi berbeda. Ada kecenderungan kepribadian
tertentu akan lebih mudah dalam mengatasi stres dibanding trait

Universitas Sumatera Utara

20

kepribadian yang lain. Bisa jadi gejala stres yang muncul dalam
pekerjaan mungkin berasala dari kepribadian orang tersebut.
Sementara Aamodth (2007) mendeskripsikan sumber stres menjadi dua
bagian, yaitu adalah :
a. StressorPersonal
Stressor personal bersumber dari masalah-masalah non-pekerjaan seperti :
1. Keluarga
2. hubungan pacaran
3. pernikahan
4. perceraian
5. masalah kesehatan
6. masalah finansial dan membesarkan anak
Sebagai tambahan, menghadapi perubahan dalam kehidupan bisa
memicu stres. Faktanya, banyak stressor yang dapat dianggap reaksi
seseorang dalam menghadapi perubahan, perubahan yang dimaksud bisa
berupa rumah baru, awal atau akhir suatu hubungan, atau merubah diri.
Bagi kebanyakan orang, perubahan memberikan setidaknya tiga jenis
respon menurut Aamodth (2007) yaitu :
1. Fear
Jika seseorang baik secara sengaja atau tidak sengaja meninggalkan
zona yang nyaman, maka orang tersebut akan masuk dalam zona baru

Universitas Sumatera Utara

21

yang tidak bisa diprediksi. Perubahan mungkin bisa memunculkan
eustress bagi mereka yang tertantang menghadapi perubahan, tapi
kebanyakan orang akan ketakutan terhadap hal yang tidak bisa
dipredisksi dan bisa menghasilkan stres.
2. Resistance
Kita cenderung menyukai hal-hal yang bisa kita prediksi dalam
kehidupan kita, tidak peduli seberapa membosankan itu. Banyak orang
yang tetap pada rutinitas dan menganggap jika rutinitas itu dirubah
maka

menyebabkan

kekacauan.

Sehingga

seseorang

menolak

melakukan perubahan, penolakan terhadap perubahan ini bisa
mengarahkan pada stres.
3. Resentment
Perubahan yang terpaksa dijalani, bisa menyebabkan ketidaksukaan.
Jika tidak menyukai perubahan tersebut, maka akan semakin
meningkatkan ketidaksukaan, dan mengarahkan pada stres yang lebih
berat.
b.Stressor yang Berkaitan dengan Pekerjaan
1. Karakteristik Pekerjaan
a) Konflik Peran
Konflik peran muncul ketika harapan akan pekerjaan dan apa yang
seseorang pikir dapat dikerjakan ternyata tidak cocok dengan

Universitas Sumatera Utara

22

pekerjaan yang sebenarnya mereka lakukan. Konflik peran ini
menyebabkan seseorang harus berhadapan dengan stres.
b) Ambiguitas Peran
Ambiguitas peran muncul ketika kesibukan kerja dan ekspektasi
performa tidak jelas. Hal ini bisa terjadi karena adanya ekspektasi
yang berbeda dari masing-masing orang/rekan kerja terhadap apa
yang diharapkannya dari individu tersebut. Stres yang timbul dari
ambiguitas peran ini dapat menyebabkan seseorang menjadi
depresi, dan menyebabkan kepuasan pekerjaannya menurun.
c) Peran yang Terlalu Besar/Banyak
Hal ini terjadi karena individu merasa tidak cukup mampu atau
merasa kondisi di tempat kerja tidak cukup memungkinkan
baginya untuk menyelesaikan tugas atau merasa tugas tidak bisa
diselesaikan dalam jangka waktu tertentu. Hasilnya, peran yang
terlalu besar dan banyak berkorelasi dengan stres. Hal ini juga bisa
menyebabkan kecemasan berlebihan, kemarahan dan depresi,
terutama bagi pekerja yang punya kontrol kecil terhadap
pekerjaannya.
2.Stressor Organisasi
a. Person-Organizational Fit
istilah ini mengacu kepada seberapa baik faktor-faktor seperti
kemampuan, pengetahuan, ekspektasi, nilai, kepribadian, dan sikap

Universitas Sumatera Utara

23

sesuai dengan organisasi yang menaungi individu. Di suatu waktu,
perhatian organisasi berfokus pada kemampuan dan pengetahuan
yang dibutuhkan organisasi terhadap pekerja. Dan pada akhirnya,
organisasi dan pekerja menyadari bahwa ada area lain yang lebih
cocok bagi individu dalam pekerjaan. Filosofi manajemen dari
organisasi juga sering kali tidak bertemu dengan ekspektasi
individu. Ketidakcocokan antara individu dan filosofi manajamen
bisa menjadi stressor yang cepat berkembang
b. Change
Penyumbang stres terbesar dari dimensi organisasi adalah
perubahan,

yang

sering

muncul

dari

perampingan

dan

restrukturisasi organisasi.
c. Relation with Others
Rekan kerja dan konsumen bisa menjadi sumber utama dari stres
di dunia pekerjaan. Stres juga berasosiasi dengan konflik, bekerja
dengan orang yang sulit dipahami, berhadapan dengan konsumen
yang pemarah, dan perasaan bahwa individu tidak diperlakukan
dengan adil.
d. Oganizational Politics
Kebijakan organisasi diketahui sebagai sumber stres penting yang
dialami pekerja. Kebijakan yang buruk dan negatif dari organisasi
memanipulasi sikap yang ditujukan untuk mencapai tujuan
personal atau mengeluarkan seseorang dari perusahaan. Hal ini

Universitas Sumatera Utara

24

meliputi penyebaran rumor, atau menahan informasi penting dari
orang lain. Sebagai tambahan dalam peningkatan stres, kebijakan
organisasi yang negatif menghasilkan performa yang lebih rendah,
level kepuasan bekerja yang lebih rendah, dan tingginya tingkat
perpindahan pekerja.
B.Work-Family Conflict
1. Pengertian Work-Family Conflict
Menurut Muchinsky (2003), work-family conflict adalah suatu dilema
dalam usaha menyeimbangkan tuntutan pekerjaan dan tanggung jawab rumah
tangga. Sementara menurut Greenhaus & Beutell (1985) work-family conflict
adalah bentuk konflik antar peran yang memunculkan tekanan peran dari
pekerjaan dan ranah keluarga yang sama-sama mengalami ketidaksesuaian dalam
kadar tertentu. Partisipasi dalam peran pekerjaan (keluarga) menjadi semakin sulit
dijalankan ketika individu mengutamakan perannya dalam keluarga (pekerjaan).
Work-Family Conflict muncul ketika ekspektasi yang berkaitan dengan
peran tertentu tidak memenuhi kebutuhan peran lainnya, sehingga menghalangi
peran lain untuk dilaksanakan individu, sehingga bisa dibilang konflik dalam
ranah pekerjaan dan keluarga merupakan akar dari konflik antar peran (Anafarta,
2010). Dibandingkan pria menikah yang bekerja, wanita yang bekerja dan sudah
menikah ternyata memiliki pengalaman konflik peran ganda (antara pekerjaan dan
keluarga) lebih tinggi dibandingkan pria karena wanita memiliki tanggung jawab

Universitas Sumatera Utara

25

lebih besar dalam sebuah keluarga menurut Greenhaus dan Beutell (1985, dalam
Ansari, 2011).
Dapat

disimpulkan

work-family

conflict

adalah

dilema

dalam

menyeimbangkan antara peran pekerjaan dengan peran keluarga, yang muncul
saat ekspektasi atas peran tertentu tidak terpenuhi sehingga menimbulkan tekanan
peran yang mengalami ketidasesuaian.
2. Aspek Pembentuk Work-Family Conflict
Greenhaus & Beutell (1985) menjabarkan 3 aspek pembentuk dari workfamily conflict yaitu :
a. Time-Based Conflict
Peran yang banyak bisa saling beradu dalam satu waktu. Waktu yang
dihabiskan dalam aktivitas di satu peran tidak bisa dialihkan ke
aktivitas dalam peran lainnya. Sehingga waktu yang dicurahkan dalam
satu peran mengganggu individu dalam menjalani peran lainnya. TimeBased Conflict bisa mengarah pada dua bentuk. (1) tekanan waktu
berasosiasi dengan ketidakmampuan fisik memenuhi tugas dari peran
yang lain, (2) tekanan juga membuat individu terlalu fokus dalam satu
peran walaupun secara fisik memadai untuk memenuhi tugas dalam
peran lainnya.

Universitas Sumatera Utara

26

b. Strain-Based Conflict
Ketegangan dalam satu peran memengaruhi performa seseorang dalam
peran lainnya. Simptom ketegangan ini bisa berupa kecemasan, apatis,
depresi, dan kelelahan fisik.
c. Behavior-Based Conflict.
Perilaku-perilaku yang diharapkan dalam salah satu peran tidak selaras
dengan perilaku yang diharapkan dalam peran lainnya. Jika seseorang
tidak bisa menyesuaikan perilaku untuk memenuhi ekspektasi dari
peran yang berbeda, individu tersebut kemungkinan besar mengalami
konflik antar peran.
3. Dampak Work-Family Conflict
Allen (2000) menjabarkan dampak-dampak yang bisa muncul dari workfamily conflict. Di antaranya :
a.) Work-Related Outcomes
1. Menurunnya kepuasan kerja
2. Meningkatnya keinginan turnover (meninggalkan organisasi)
3. Absensi yang meningkat
4. Performa kerja yang menurun
5. Memiliki organizational citizenship behavior yang rendah
6. Komitmen organisasi yang menurun
b.) Nonwork-Related Outcomes
1. Menurunnya kepuasan hidup

Universitas Sumatera Utara

27

2. Menurunnya kepuasan pernikahan
3. Berkurangnya waktu luang
4. Menurunnya kepuasan dan performa dalam keluarga
c.) Stress-Related Outcomes
1.

Ketegangan psikologis

2.

Munculnya simptom-simptom somatis

3.

Depresi

4.

Penggunaan obat-obatan terlarang

5.

Burnout

6.

Stres yang berkaitan dengan pekerjaaan atau keluarga.

C. Pengaruh Antara Work-Family Conflict dengan Stres Kerja
Stres dimulai dengan tuntutan dan kesempatan dari lingkungan kepada
individu dan berakhir dengan respon individu terhadap tuntutan dan kesempatan
tersebut (S
hah, 2003). Respon terhadap stimulus yang muncul dalam pekerjaan bisa
mengarahkan pada

konsekuensi

negatif, baik fisik ataupun psikologis

(Muchinsky, 2003). Dampak fisik yang dialami individu yang mengalami stres
kerja di antaranya adalah sakit kepala bahkan serangan jantung (Robbins, 2002).
Sementara efek psikologis di antaranya adalah kecemasan, ketidakpuasan kerja,
dan kebosanan (Robbins, 2002). Walaupun tidak semua stres dimaknai negatif
oleh individu (distress), stres yang dipersepsikan menjadi tantangan akan
meningkatkan poduktivitas dan pencapaian pekerja (eustress) (Aamodth, 2007)

Universitas Sumatera Utara

28

Faktor-faktor yang memengaruhi stres kerja juga banyak, di antaranya
menurut Robbins (2002) stres kerja bisa disebabkan faktor lingkungan, organisasi,
dan individual. Ketika mengerucutkan pembahasan pada faktor individual,
Robbins (2002) mengatakan bahwa masalah atau kesulitan dalam pernikahan bisa
menyebabkan stres terbawa ke dalam ranah pekerjaan. Pernikahan di dalamnya
melibatkan hubungan suami-istri, hubungan orang tua-anak ataupun hubungan
menantu-mertua (Lestari, 2012). Bagi perempuan yang bekerja sekaligus
menjalani peran ibu atau istri cenderung menjadi lebih kesulitan karena wanita
memiliki tanggung jawab lebih besar dalam sebuah keluarga menurut Greenhaus
dan Beutell (dalam Ansari, 2011). Jika muncul dilema dalam usaha
menyeimbangkan tuntutan pekerjaan dan tanggung jawab rumah tangga, maka
timbul yang disebut work-family conflict (Muchinsky, 2003).
Ada berbagai ranah pekerjaan yang tersedia seperti menjadi operator
mesin, produsen barang, dan pelayanan publik. Pada pelayanan publik, stres kerja
punya tendensi untuk lebih sering muncul menurut Miller & Phipps, ( dalam
Naqvi, 2003). Wanita pekerja yang punya kerentanan lebih terhadap work-family
conflict (Greenhaus dan Beutell, dalam Ansari 2011) dan bekerja dalam bidang
pelayanan publik yang lebih rentan terhadap stres (Miller & Phipps, dalam Naqvi,
2003) akan memberikan potensi negatif yaitu stres kerja yang kecenderungannya
tinggi bagi pekerja wanita tersebut. Muchinsky (2003) juga memperkuat
fenomena ini dengan menyebutkan bahwa salah satu sumber stres kerja adalah
work-family conflict.

Universitas Sumatera Utara

29

D. Hipotesa Penelitian
Berdasarkan uraian teoritis di atas maka hipotesa yang diambil dalam
penelitian ini adalah “ Ada pengaruh positif antara Work-Family Conflict terhadap
stress kerja pada polisi wanita yang menikah di Kepolisian Daerah Sumatera
Utara”. Semakin tinggi work-family conflict maka semakin tinggi stres kerja pada
polisi wanita yang menikah di Kepolisian Daerah Sumatera Utara. Begitu
sebaliknya, semakin rendah work-family conflict maka semakin rendah stres kerja
pada polisi wanita yang menikah di Kepolisian Daerah Sumatera Utara.

Universitas Sumatera Utara