Pengaruh Kematangan Emosi Terhadap Penyesuaian Pernikahan Remaja Putri

1

BAB 1
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Masa remaja ditandai oleh perubahan yang besar diantaranya kebutuhan
untuk beradaptasi dengan perubahan fisik dan psikologis, pencarian identitas dan
membentuk hubungan baru termasuk mengekspresikan perasaan seksual
(Santrock,2003). Hall menyebut masa ini sebagai periode “ Storm and Stress” atau
“Badai dan Tekanan” suatu masa dimana ketegangan emosi meningkat sebagai
akibat perubahan fisik dan kelenjar(dalam Papalia,2003). Pada masa ini banyak
remaja yang tertarik secara seksual pada lawan jenis khususnya remaja
perempuan,mereka memiliki keinginan yang lebih kuat untuk pendekatan secara
intim dan kepribadian dalam berkencan daripada remaja laki-laki (Duck dalam
Santrock,2003). Remaja yang menikah akan memasuki masa dewasa yang disebut
dengan masa remaja yang diperpendek sehingga ciri dan tugas perkembangannya
juga mengalami perubahan,sedangkan remaja yang tidak menikah akan melalui
kehidupannya sesuai dengan ciri dan tugas perkembangannya (Monks, 2001).
Berdasarkan data dari Kantor Komisi Perlindungan Anak Indonesia
(KPAI) angka perkawinan usia dini atau kurang dari 18 tahun masih tinggi
mencapai 690 ribu lebih kasus, atau sekitar 34% angka perkawinan usia dini pada

tahun 2010, namun yang muncul di permukaan hanya yang terekam oleh media
saja, padahal jumlah yang sebenarnya lebih banyak lagi. Menikah muda (early
marriage) adalah pernikahan yang dilakukan oleh pasangan ataupun salah satu

Universitas Sumatera Utara

2

pasangannya yang masih dikategorikan anak-anak atau remaja yang berusia
dibawah 19 tahun (WHO, 2013).Suatu ikatan yang dilakukan oleh seseorang yang
masih dalam usia muda atau pubertas disebut pula pernikahan dini (Sarwono,
2007). Sedangkan Al Ghifari (2002) berpendapat bahwa pernikahan muda adalah
pernikahan yang dilaksanakan diusia remaja. Dalam hal ini, yang dimaksud
dengan remaja adalah antara usia 10 – 19 tahun dan belum kawin.Menikah muda
(early marriage ) merupakan fenomena yang sering terjadi di Negara-negara
berkembang seperti dikawasan Asia Selatan, Asia Tenggara, Afrika, dan Amerika
Latin (Mcintyre,2006). Untuk level ASEAN, tingkat pernikahan dini di Indonesia
berada di urutan kedua terbanyak setelah Kamboja.
Menurut Riskesdas 2013, perempuan muda di Indonesia dengan usia 10-14
tahun menikah sebanyak 0,2 persen atau lebih dari 22.000 wanita muda berusia

10-14 tahun di Indonesia sudah menikah. Jumlah dari perempuan muda berusia
15-19 tahun yang menikah lebih besar jika dibandingkan dengan laki-laki muda
berusia 15-19 tahun (11,7 % perempuan dan 1,6 % laki-laki usia 15-19
tahun).Provinsi yang ada di Indonesia dengan persentase pernikahan dini (15-19
tahun) tertinggi adalah Kalimantan Tengah sebanyak 52,1% (BKKBN).
Berdasarkan data di Badan Pusat Statistik (BPS) Sumut tahun 2014, Jumlah
remaja usia 15 - 24 tahun sebanyak 2.514.109 orang, dari jumlah tersebut, 30 - 35
persen di antaranya melakukan pernikahan usia dini.Sedangkan, untuk wilayah
Sumatera Utara sendiri menurut data yang diperoleh dari Kantor urusan agama
Medan (KUA), dari 21 kecamatan di kota Medan, kecamatan Medan-Belawan
merupakan salah satu kecamatan yang warganya banyak melakukan pernikahan

Universitas Sumatera Utara

3

dini khususnya remaja putri.Berdasarkan survei awal yang dilakukan oleh peneliti
di Kecamatan Medan Belawan pada september 2015, pada rentang tahun 20132015 didapatkan sebanyak 130 remaja melakukan pernikahan dini yaitu
pernikahan di rentang usia < 18 tahun.
Pernikahan adalah ikatan atau komitmen emosional dan legal antara seorang

pria dan wanita yang terjalin dalam waktu yang panjang meliputi aspek ekonomi,
sosial, tanggungjawab pasangan, kedekatan fisik, serta hubungan seksual (Regan,
2003,Olson & DeFrain 2006, Seccomber & Warner, 2004). Pernikahan yang
dianggap sah menurut hukum Indonesia dicantumkan dalam Undang-Undang No.
1 pasal 7 tahun 1974 yang menyebutkan bahwa perkawinan atau pernikahan
hanya diijinkan jika calon mempelai pria telah berusia 19 tahun dan mempelai
wanita telah berusia 16 tahun. Dengan alasan pada usia tersebut individu dianggap
telah dapat membuat keputusan sendiri dan telah dewasa dalam berpikir dan
bertindak (Walgito, 2004). Penelitian Choe, Thapa, dan Achmad (dalam Early
Marriage and Childbearing in Indonesia and Nepal, 2001 ) yang ditinjau dari segi

demografis menunjukkan bahwa pernikahan sebelum usia 18 tahun pada
umumnya terjadi pada wanita di Indonesia terutama dikawasan pedesaan. Hal ini
dikarenakan tingkat ekonomi serta pendidikan yang rendah di daerah pedesaan di
Indonesia serta faktor akses informasi yang tidak memadai.
Menurut Bowner dan Spanier dalam Rahmi (2003) terdapat beberapa alasan
seseorang untuk menikah seperti mendapatkan jaminan ekonomi, membentuk
keluarga, mendapatkan keamanan emosi, harapan orang tua, melepaskan diri dari
kesepian, menginginkan kebersamaan, mempunyai daya tarik seksual, untuk


Universitas Sumatera Utara

4

mendapatkan perlindungan, memperoleh posisi sosial dan prestise, dan karena
cinta. UNICEF (2005) juga mengemukakan 2 alasan utama terjadinya pernikahan
muda(early marriage ), yaitu sebagai sebuah strategi untuk bertahan secara
ekonomi dan untuk melindungi (protecting girls). Menikahkan anak diusia muda
dianggap merupakan salah satu cara untuk mencegah anak dari perilaku seks pranikah. Penelitian Bennet, 2001 dan Gupta, 2000 mengungkapkan, pernikahan usia
muda di Indonesia terjadi sebagai solusi untuk kehamilan yang terjadi di luar
pernikahan.Menurut penelitian faktor penyebab remaja menikah diantaranya
adalah faktor ekonomi, pendidikan, orang tua, media massa, dan budaya,
keinginan sendiri, namun yang paling besar adalah faktor lingkungan masyarakat
dan orang tua yang menikahkan anaknya karena keadaan ekonomi yang rendah.
Peran orang tua juga menentukan remaja untuk menjalani pernikahan di usia
muda. Orang tua juga memiliki peran yang besar untuk penundaan usia
perkawinan anak (Algifari, 2002). Hal ini sejalan dengan penelitian yang
dilakukan oleh Mencher (dalam Siagian, 2012) yang mengungkapkan bahwa
keputusan menikah di usia muda sangat ditentukan oleh peran orang tua.
Menikah Muda memiliki dampak pada setiap remaja putri maupun remaja

pria. Dampak-dampak tersebut meliputi dampak fisik, intelektual, dan emosional
(UNICEF, 2005).Namun remaja putriyang menikah muda memiliki dampak yang
lebih besar dibandingkan remaja laki-laki, hal ini berkaitan dengan mental dan
sistem reproduksinya, kesiapan secara fisik maupun psikis merupakan hal yang
sangat perlu diperhatikan pada pasangan yang menikah diusia muda terutama
pihak wanitanya (Papalia dan Old, 2003). Dalam halnya pernikahan usia muda

Universitas Sumatera Utara

5

tentunya masing-masing membawa nilai-nilai budaya, sikap, keyakinan, dan gaya
penyesuaian sendiri-sendiri dalam pernikahan tersebut (DeGenova,2008). Untuk
itulah perlu dilakukan penyesuaian sehingga harapan dan kebutuhan masingmasing dapat terpenuhi dan memuaskan. Salah satu bentuk penyesuaian diri
adalah penyesuaian pernikahan.
Menurut Hurlock (2000),penyesuaian pernikahan adalah proses adaptasi
suami dan istri, dimana suami istri tersebut dapat mencegah terjadinya konflik dan
menyelesaikan konflik dengan baik melalui proses penyesuaian diri. Upaya untuk
mencapai keberhasilan dalam interaksi dengan orang lain dan lingkungannya,
manusia diharapkan dapat mengerti dan memahami orang lain. Oleh karena itu,

seringkali seorang individu dihadapkan pada keharusan untuk mengubah dan
menyesuaikan diri terhadap orang lain, agar dirinya dapat diterima dengan baik
oleh lingkungan sosialnya. Adapun penyesuaian itu sendiri merupakan interaksi
individu yang secara terus menerus dengan dirinya, orang lain dan dengan
dunianya (Landis dan Landis dalam Hapsariyanti, 2009).
Penyesuaian pernikahan yang sehat akan membawa pada suatu kondisi
pernikahan yang bahagia begitu juga sebaliknya, individu yang gagal dalam
menyesuaikan diri akan mengalami kemelut dalam pernikahan mereka (Hurlock,
2004). Hurlock (2004)menyatakan ada empat bentuk penyesuaian pernikahan,
empat hal itu adalah penyesuaian dengan pasangan, penyesuaian seksual,
penyesuaian keuangan, penyesuaian dengan keluarga pasangan. Bentuk-bentuk
penyesuaian inilah yang nantinya akan dihadapi seorang individu dalam
pernikahannya, dan individu tersebut harus melakukan atau melewati bentuk-

Universitas Sumatera Utara

6

bentuk penyesuaian tersebut agar hubungan pernikahannya dapat berhasil dan
berakhir bahagia (Hurlock,2004). Namun tidak sedikit dari pasangan yang

menikah muda gagal dalam melakukan penyesuaian diri pada pernikahannya,
kegagalan dalam melakukan penyesuaian pernikahan secara positif, dapat
mengakibatkan pasangan melakukan penyesuaian yang salah, yang ditandai
dengan berbagai bentuk tingkah laku yang serba salah, tidak terarah, emosional,
sikap yang tidak realistik, agresif, dan sebagainya. Penelitian yang dilakukan oleh
Parrot dan Parrot (dalam Beroncal, 2003) menunjukkan bahwa sekitar 49%
pasangan mengalami masalah dalam perkawinannya. Pasangan yang merasa tidak
dapat mengatasi masalah yang terjadi dalam perkawinannya akan memilih jalan
keluar, yang salah satunya adalah bercerai.
Banyak kasus perceraian dialami oleh pasangan yang menikah pada usia
muda. Namun dalam alasan perceraian tentu saja bukan hanya karena alasan
menikah muda, melainkan juga karena alasan ekonomi, ketidakcocokan,
selingkuh, dan lain sebagainya. Tetapi masalah tersebut tentu saja sebagai salah
satu dampak dari perkawinan yang dilakukan tanpa kematangan usia dan
psikologis (Chariroh, 2004).

Salah satu kondisi yang menyumbang kesulitan

dalam penyesuaian pernikahan adalah menikah muda, pernikahan usia muda lebih
banyak memerlukan proses penyesuaian diri masing-masing pasangan dimana

pada umumnya di usia ini individu belum terlalu matang dalam hal ekonomi,
seksual dan emosional (Hurlock,2000).
Dalam sebuah penelitian dikatakan bahwa penyesuaian pernikahan dapat
berjalan secara baik jika masing-masing suami atau istri memiliki kematangan

Universitas Sumatera Utara

7

psikologis (Walgito, 2004). Kematangan psikologis ini diantaranya adalah
kematangan emosi. Hurlock (2004) berpendapat bahwa kematangan emosi
merupakan kontrol diri yang baik, mampu mengekspresikan emosinya dengan
tepat atau sesuai dengan keadaan yang dihadapinya, sehingga lebih mampu
beradaptasi karena dapat menerima beragam orang dan situasi dan memberikan
reaksi yang tepat sesuai dengan tuntutan yang dihadapi. Lebih jauh, Covey (2001)
mengemukakan

bahwa

kematangan


emosi

adalah

kemampuan

untuk

mengekspresikan perasaan yang ada dalam diri secara yakin dan berani, yang
diimbangi dengan pertimbangan-pertimbangan akan perasaan dan keyakinan
individu lain.
Emosi mewarnai cara berfikir manusia dalam menghadapi konflik
(Lazarus,1991). Tetapi apabila emosi sudah mencapai intensitas yang begitu
tinggi manusia menjadi sulit berfikir secara efisien. Untuk itu kematangan emosi
sangat penting peranannya agar dapat berfikir secara matang, baik dan objektif.
Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi kematangan emosi pria dan wanita
yaitu usia dan jenis kelamin (Hurlock,2004). Hal ini dapat dijelaskan dengan teori
Benokraitis (1996) yang menyatakan bahwa bertambahnya usia seseorang
menyebabkan emosinya akan semakin terkontrol dan matang. Individu yang

memiliki kematangan emosi memiliki cara-cara yang lebih dapat diterima oleh
orang lain dan dapat menilai situasi lebih kritis terlebih dahulu sebelum beraksi
secara emosional, serta tidak lagi bereaksi tanpa berfikir sebelumnya seperti anakanak .

Universitas Sumatera Utara

8

Individu dengan kematangan emosi berarti individu dapat menempatkan
potensi yang dikembangkan dirinya dalam suatu kondisi pertumbuhan, dimana
tuntutan yang nyata dari kehidupan individu dewasa dapat diatasi dengan cara
yang efektif dan sehat (Schneiders dalam Kurniawan, 1995). Individu dengan
kematangan emosi mampu menerima tanggung jawab akan perubahan-perubahan
dalam hidupnya sebagai tantangan daripada menganggapnya sebagai beban, dan
dengan rasa percaya diri berusaha mencari pemecahan masalahnya dengan caracara yang aman untuk diri dan lingkungannya, serta dapat diterima secara sosial
(Hurlock,2004).
Berdasarkan rumusan masalah tersebut maka peneliti tertarik untuk
mengadakan penelitian dengan judul “Pengaruh Kematangan Emosi Terhadap
Penyesuaian Pernikahan Remaja Putri”.


B. Identifikasi Masalah
Apakah terdapat pengaruh kematangan emosi terhadap penyesuaian
pernikahan remaja putri?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk melihat seberapa besar pengaruh
kematangan emosi dengan penyesuaian pernikahan pada remaja putri.

Universitas Sumatera Utara

9

D.

Manfaat penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat mengenai pengaruh

kematangan emosi terhadap remaja yang melakukan pernikahan usia muda
khususnya remaja putri baik itu berupa manfaat secara teoritis maupun manfaat
secara praktis.
a. Manfaat Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memperkaya khazanah psikologi
perkembangan yang berkaitan dengan kematangan emosi dan penyesuaian
pernikahan terutama pada remaja putri yang melakukan pernikahan dini.
b. Manfaat Praktis
-

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi masukan bagi para
peneliti dan organisasi pemerhati anak dan remaja berkaitan dengan
penyesuaian pernikahan terhadap permasalahan-permasalahan yang
timbul karena pernikahan usia muda.
-

Bagi remaja sendiri khususnya remaja putri perlu menyadari bahwa
menikah di usia muda membutuhkan kematangan emosi karena akan
mengalami banyak penyesuaian dalam pernikahannya.

-

Penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan minat para penelitipeneliti lainnya untuk meneliti permasalahan-permasalahan yang
sedang berkembang ditengah masyarakat terutama permasalahan
remaja.

Universitas Sumatera Utara

10

E. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan terdiri dari :
BAB I

PENDAHULUAN
Berisikan latar belakang permasalahan, rumusan masalah, tujuan
penelitian, manfaat penelitian, dan sistematika penulisan.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
Berisikan konsep atau teori yang menjelaskan tentang variabel
penelitian,

yaitu

teori

kematangan

emosi,

penyesuaian

pernikahan, remaja putri dan menikah muda
BAB III

METODE PENELITIAN
Berisikan identifikasi variabel penelitian, definisi operasional
variabel penelitian, subjek penelitian, metode pengumpulan
data, uji validitas dan reliabilitas, dan metode analisis data.

BAB IV

ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN
Berisikan analisis data, hasil penelitian, hasil tambahan, hasil
pengujian hipotesis dan pembahasan.

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN
Berisikan kesimpulan dan saran saran dari penelitian.

Universitas Sumatera Utara