Pengaruh Kematangan Emosi Terhadap Penyesuaian Pernikahan Remaja Putri

11

BAB II
LANDASAN TEORI

A. KEMATANGAN EMOSI
1. Definisi Kematangan Emosi
Kematangan emosi dapat dimengerti dengan mengetahui pengertian emosi
dan kematangan, kemudian diakhiri dengan penjelasan kematangan emosi sebagai
satu kesatuan. Istilah kematangan menunjukkan kesiapan yang terbentuk dari
pertumbuhan dan perkembangan (Hurlock, 2004). Emosi merupakan suatu
kondisi keterbangkitan yang muncul dengan perasaan kuat dan biasanya respon
emosi mengarah pada suatu bentuk perilaku tertentu (Lazzarus, 1991). Selain itu,
terdapat juga definisi emosi sebagai suatu keadaan dalam diri individu yang
memperlihatkan reaksi fisiologis, kognitif, dan pelampiasan perilaku. Misalnya
ketika individu sedang mengalami ketakutan, reaksi fisiologis yang dapat muncul
adalah keterbangkitan (jantung berdetak lebih kencang), kemudian individu akan
memikirkan bahwa dirinya sedang dalam bahaya, sedangkan tingkah laku yang
dapat mucul adalah kecenderungan untuk menghindar dari situasi yang membuat
ketakutan (Rathus, 2005). Goleman (2001) menjelaskan jenis-jenis emosi
termasuk didalamnya amarah, kesedihan, rasa takut, kenikmatan, cinta, terkejut,

jengkel, dan malu.
Hurlock (2004) berpendapat bahwa kematangan emosi merupakan
individu yang memiliki kontrol diri yang baik, mampu mengekspresikan
emosinya dengan tepat atau sesuai dengan keadaan yang dihadapinya, sehingga

Universitas Sumatera Utara

12

lebih mampu beradaptasi karena dapat menerima beragam orang dan situasi dan
memberikan reaksi yang tepat sesuai dengan tuntutan yang dihadapi.Kematangan
emosi merupakan kemampuan individu untuk dapat bersikap toleran, merasa
nyaman, mempunyai kontrol diri sendiri, perasaan mau menerima dirinya dan
orang lain, selain itu dapat menyatakan emosinya secara konstruktif dan kreatif
(Yusuf ,2011). Kematangan emosi dapat didefinisikan sebagai kemampuan
mengekspresikan perasaan dan keyakinan secara berani dan mempertimbangkan
perasaan dan keyakinan orang lain (Covey, 2001). Dariyo (2006) juga
mendefinisikan kematangan emosi sebagai keadaan atau kondisi mencapai tingkat
kedewasaan dari perkembangan emosi sehingga individu tidak lagi menampilkan
pola emosional yang tidak pantas.

Dalam penelitian ini kematangan emosi adalah kesiapan individu dalam
mengendalikan dan mengarahkan emosi dengan mempertimbangkan situasi dan
kondisi.
2. Faktor Yang Mempengaruhi Kematangan Emosi
Faktor-faktor yang mempengaruhi kematangan emosi menurut Hurlock
(2004), antara lain:
a. Usia
Semakin bertambah usia inidvidu, diharapkan emosinya akan lebih matang
dan individu akan lebih dapat menguasai dan mengendalikan emosinya. Individu
semakin baik dalam kemampuan memandang suatu masalah, menyalurkan dan
mengontrol emosinya secara lebih stabil dan matang secara emosi.

Universitas Sumatera Utara

13

b. Perubahan fisik dan kelenjar
Perubahan fisik dan kelenjar pada diri individu akan menyebabkan
terjadinya perubahan pada kematangan emosi. Sesuai dengan anggapan bahwa
remaja adalah periode “badai dan tekanan”, emosi remaja meningkat akibat

perubahan fisik dan kelenjar.
c. Jenis Kelamin
Laki-laki dikenal lebih berkuasa jika dibandingkan dengan perempuan,
mereka memiliki pendapat tentang kemaskulinan terhadap dirinya sehingga
cenderung kurang mampu mengekspresikan emosi seperti yang dilakukan oleh
perempuan.
Menurut Young (2007) faktor yang mempengaruhi kematangan emosi
antara lain adalah:
a.

Faktor lingkungan
Faktor lingkungan tempat hidup termasuk didalamnya yaitu lingkungan

keluarga dan lingkungan masyarakat. Keadaan keluarga yang tidak harmonis,
terjadi keretakan dalam hubungan keluarga yang tidak ada ketentraman dalam
keluarga dapat menimbulkan persepsi yang negatif pada diri individu. Begitu pula
lingkungan sosial yang tidak memberikan rasa aman dan lingkungan sosial yang
tidak mendukung juga akan menganggu kematangan emosi.
b.


Faktor individu
Faktor individu meliputi faktor kepribadian yang dipunyai individu.

Adanya persepsi pada setiap individu dalam mengartikan sesuatu hal juga dapat
menimbulkan gejolak emosi pada diri individu. Hal ini disebabkan oleh pikiran

Universitas Sumatera Utara

14

negatif, tidak realistik dan tidak sesuai dengan kenyataan. Kalau individu dapat
membatalkan pikiran-pikiran yang keliru menjadi pikiran-pikiran yang benar,
maka individu dapat menolong dirinya sendiri untuk mengatur emosinya sehingga
dapat mempersepsikan sesuatu hal dengan baik.
c. Faktor pengalaman
Pengalaman yang diperoleh individu selama hidupnya akan mempengaruhi
kematangan emosinya. Pengalaman yang menyenangkan akan memberikan
pengaruh yang positif terhadap individu, akan tetapi pengalaman yang tidak
menyenangkan bila selalu terulang dapat memberi pengaruh negatif terhadap
individu maupun terhadap kematangan emosi individu tersebut.

3. Karakteristik Kematangan Emosi
Hurlock (2004) mengemukakan tiga karakteristik dari kematangan emosi,
antara lain:
a. Kontrol emosi
Individu tidak meledakkan emosinya dihadapan orang lain dan mampu
menunggu saat dan tempat yang tepat untuk mengungkapkan emosinya dengan
cara-cara yang dapat diterima. Individu dapat melakukan kontrol diri yang bisa
diterima secara sosial. Individu yang emosinya matang mampu mengontrol
ekspresi emosi yang tidak dapat diterima secara sosial atau membebaskan diri dari
energi fisik dan mental yang tertahan dengan cara yang dapat diterima secara
sosial.

Universitas Sumatera Utara

15

b. Pemahaman diri
Memiliki reaksi emosional yang lebih stabil, tidak berubah-ubah dari satu
emosi atau suasana hati ke suasana hati yang lain. Individu mampu memahami
emosi diri sendiri, memahami hal yang sedang dirasakan, dan mengetahui

penyebab dari emosi yang dihadapi individu tersebut.
c. Pengunaan fungsi kritis mental Individu
Mampu menilai situasi secara kritis terlebih dahulu sebelum bereaksi
secara emosional, kemudian memutuskan bagaimana cara bereaksi terhadap
situasi tersebut, dan individu juga tidak lagi bereaksi tanpa berpikir sebelumnya
seperti anak-anak atau individu yang tidak matang.
4. Kematangan Emosi Remaja
Remaja dikatakan sudah mencapai kematangan emosi jika individu dapat
mengerti situasi tanpa harus diberikan arahan oleh orang lain serta mengerti
kewajiban dan tanggungjawabnya (Chaube, 2002). Selain itu, Hurlock (2004) juga
menambahkan remaja mencapai kematangan emosi jika pada akhir masa
remajanya tidak sembarangan dalam meluapkan emosinya dihadapan orang lain,
tetapi menempatkannya secara tepat dan dengan cara-cara yang dapat diterima
oleh orang lain. Chaplin (2005) mendefinisikan kematangan emosi sebagai
kondisi atau keadaan dalam mencapai tingkat kedewasaan dalam perkembangan
emosional seseorang.
Kematangan emosi juga dapat ditunjukkan dengan kemampuan remaja
untuk menilai suatu situasi secara kritis terlebih dahulu sebelum bereaksi secara

Universitas Sumatera Utara


16

emosional dan memberikan reaksi emosional yang stabil, tidak berubah-ubah dari
satu suasana hati ke suasana hati yang lain. Yusuf (2011) menjelaskan tentang
bagaimana perubahan kematangan emosional sebelum masa remaja sampai
memasuki masa remaja, hal ini dapat terlihat dari tabel berikut ini:
Tabel 1 .Perubahan Kematangan Emosi
DARI ARAH
KE ARAH
toleran dan bersikap Bersikap toleran

No
1. Tidak
superior
2. Kaku dalam bergaul
3. Peniruan buta terhadap teman
sebaya
4. Kontrol orang tua
5. Perasaan yang tidak jelas tentang

dirinya/orang lain
6. Kurang dapat mengendalikan diri
dari rasa marah

Luwes dalambergaul
Interdependensi dan memiliki harga
diri
Kontrol diri sendiri
Perasaan mau menerima dirinya dan
orang lain.
Mampu menyatakan emosinya secara
konstruktif.

Berdasarkan uraian di atas maka dapat disimpulkan kematangan emosi
remaja merupakan kondisi remaja mampu mengendalikan dan mengarahkan
penyaluran emosi sesuai situasi dan waktu yang tepat dengan cara yang dapat
diterima, mampu menggunakan pemikiran terlebih dahulu terhadap suatu situasi
sebelum menggunakan respon emosional, serta mengambil keputusan yang
didasarkan pada pertimbangan sehingga tidak mudah berubah-ubah.


B. PENYESUAIAN PERNIKAHAN
1. Pengertian Penyesuaian Pernikahan
Hurlock (2000) mendefinisikan penyesuaian perkawinan sebagai proses
adaptasi antara suami dan istri, dimana suami dan istri tersebut dapat mencegah
terjadinya konflik dan menyelesaikan konflik dengan baik melalui proses

Universitas Sumatera Utara

17

penyesuaian diri. Penyesuaian pernikahan juga merupakan suatu proses
memodifikasi, mengadaptasi dan mengubah individu dan pola perilaku pasangan
serta adanya interaksi untuk mencapai kepuasan yang maksimum dalam
pernikahan (DeGenova, 2008).
Menurut Lasswel & Lasswel (1987), penyesuaian perkawinan berarti kedua
individu telah belajar untuk mengakomodasi kebutuhan, keinginan, dan harapan
masing-masing, ini berarti mencapai suatu derajat kebahagiaan dalam hubungan.
Penyesuaian perkawinan bukan suatu keadaan absolut melainkan suatu proses
yang terus menerus terjadi.Sedangkan Duval dan Miller (1985) mengatakan
bahwa penyesuaian perkawinan itu adalah proses membiasakan diri pada kondisi

baru dan berbeda sebagai hubungan suami istri dengan harapan bahwa mereka
akan menerima tanggung jawab dan memainkan peran sebagai suami istri.
Penyesuaian perkawinan ini juga dianggap sebagai persoalan utama dalam
hubungan suami istri.
Dalam penelitian ini penyesuaian pernikahan adalahproses membiasakan
diri (beradaptasi) dengan situasi baru sebagai suami istri untuk memenuhi harapan
atau tujuan perkawinan dan memecahkan konflik yang muncul dalam perkawinan.
2. Bentuk-bentuk Penyesuaian Pernikahan
Penyesuaian diri dalam pernikahan memiliki beberapa area yang akan
dilalui, seperti agama, kehidupan sosial, teman yang menguntungkan, hukum,
keuangan, dan seksual. Ada 4 bentuk penyesuaian pernikahan, yaitu:

Universitas Sumatera Utara

18

1. Penyesuaian dengan pasangan
Penyesuaian yang paling penting yang pertama kali harus dihadapi saat
seseorang memasuki dunia pernikahan adalah penyesuaian dengan pasangan (istri
maupun suaminya).

Semakin banyak pengalaman dalam hubungan interpersonal antara pria dan
wanita yang diperoleh dimasa lalu, makin besar pengertian dan wawasan sosial
mereka sehingga memudahkan dalam penyesuaian dengan pasangan. Hal ini juga
terjadi pada remaja putri yang menikah dini. Hurlock (2000) juga mengemukakan
beberapa faktor yang mempengaruhi penyesuaian terhadap pasangan. Faktorfaktor tersebut adalah:
a. Konsep pasangan ideal.
Pada saat memilih pasangan, baik pria maupun wanita sampai pada waktu
tertentu dibimbing oleh konsep pasangan ideal yang dibentuk selama masa
dewasa.
b. Pemenuhan kebutuhan
Apabila penyesuaian yang baik dilakukan, pasangan harus memenuhi
kebutuhan yang berasal dari pengalaman awal. Pasangan harus membantu
pasangan lainnya untuk memenuhi kebutuhan tersebut.
c. Kesamaan latar belakang
Semakin sama latar belakang suami dan istri maka semakin mudah untuk
saling menyesuaikan diri. Semakin berbeda pandangan hidup mereka, maka
semakin sulit penyesuaian diri dilakukan.

Universitas Sumatera Utara

19

d. Minat dan kepentingan bersama
Kepentingan yang sama mengenai suatu hal yang dapat dilakukan
pasangan cenderung membawa penyesuaian yang baik .
e. Konsep peran
Setiap lawan pasangan

mempunya

konsep mengenai

bagaimana

seharusnya peranan seorang suami dan istri, atau setiap individu
mengharapkan pasangannya memainkan perannya. Jika harapan terhadap
peran tidak terpenuhi maka akan mengakibatkan konflik dan penyesuaian
yang buruk.
f. Perubahan dalam pola hidup
Penyesuaian terhadap pasangannya berarti mengorganisasikan pola
kehidupan, merubah persahabatan dan kegiatan-kegiatan sosial, serta
merubah persyaratan pekerjaan, terutama bagi seorang istri. Penyesuaianpenyesuaian ini seringkali diikuti oleh konflik emosional.
2. Penyesuaian seksual
Penyesuaian utama yang kedua dalam pernikahan adalah penyesuaian
seksual, ini adalah penyesuaian yang paling sulit dalam pernikahan dan salah satu
penyebab yang mengakibatkan pertengkaran dan ketidakbahagiaan dalam
pernikahan. Permasalahan biasanya dikarenakan pasangan belum mempunyai
pengalaman yang cukup dan tidak mampu mengendalikan emosi mereka.
Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi penyesuaian seksual yaitu :

Universitas Sumatera Utara

20

a. Perilaku terhadap seks
Sikap terhadap seks sangat dipengaruhi oleh cara pria dan wanita
menerima informasi seks selama masa anak-anak dan remaja.
b. Pengalaman seks masa lalu
Cara orang dewasa bereaksi terhadap masturbasi, petting, dan
hubungan suami istri sebelum menikah, ketika mereka masih muda dan
cara pria dan wanita merasakan itu sangat mempengaruhi perilakunya
terhadap seks.
c. Dorongan seksual
Dorongan seksual berkembang lebih awal pada pria daripada wanita
dan cenderung tetap demikian, sedangkan wanita muncul secara periodik.
Dengan turun naik selama siklus menstruasi. Variasi ini mempengaruhi
minat dan kenikmatan akan seks, yang kemudian mempengaruhi
penyesuaian seksual.
d. Pengalaman seks marital awal, sikap terhadap penggunaan alat
kontrasepsi, dan pengaruh vasektomi.
3. Penyesuaian keuangan
Penyesuaian keuangan juga merupakan penyesuaian yang sulit dan
memiliki pengaruh terhadap penyesuaian diri dalam pernikahan. Istri yang berusia
muda atau masih remaja cenderung memiliki sedikit pengalaman dalam hal
mengelola keuangan untuk kelangsungan hidup keluarga. Suami juga terkadang
mengalami kesulitan dalam menyesuaikan diri dengan keuangan, khususnya jika

Universitas Sumatera Utara

21

istrinya bekerja di luar rumah dan berhenti setelah memiliki anak pertama
sehingga mengurangi pendapatan keluarga.
4. Penyesuaian dengan pihak keluarga pasangan
Setiap individu yang menikah secara otomatis memperoleh sekelompok
keluarga baru. Mereka itu adalah anggota keluarga pasangan dengan usia yang
berbeda, mulai dari bayi hingga kakek atau nenek dan terkadang dengan latar
belakang yang berbeda, tingkat pendidikan yang berbeda, budaya dan latar
belakang sosial yang berbeda. Penyesuaian diri dengan pihak keluarga pasangan
dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu :
a) Stereotip tradisional mengenai ibu mertua
Stereotip yang secara luas diterima masyarakat ”Ibu mertua yang
representatif”

dapat

menimbulkan

perangkat

mental

yang

tidak

menyenangkan bahkan sebelum perkawinan. Stereotip yang tidak
menyenangkan mengenai orang usia lanjut seperti cenderung ikut campur
tangan dapat masalah bagi keluarga pasangan.
b) Keinginan untuk mandiri
Orang yang menikah muda cenderung menolak berbagai saran dan
petunjukdari orang tua mereka.
c) Keluargaisme
Penyesuaian dan perkawinan akan lebih pelik apabila salah satu
pasangan tersebut menggunakan lebih banyak waktunya terhadap
keluarganya daripada mereka sendiri. Apabila pasangan terpengaruh oleh

Universitas Sumatera Utara

22

keluarga, apabila seseorang anggota keluarga berkunjung dalam waktu
yang lama dan hidup dengan mereka untuk seterusnya.
d) Mobilitas sosial
Individu dewasa muda yang status sosialnya meningkat diatas anggota
keluarga atau diatas status keluarga pasangannya mungkin saja tetap
membawa mereka dalam latar belakangnya. Banyak orangtua dan anggota
keluarga sering bermusuhan dengan pasangan muda.
e) Anggota keluarga berusia lanjut
Merawat anggota keluarga berusia lanjut merupakan faktor yang
sangat sulit dalam penyesuaian pekawinan karena sikap yang tidak
menyenangkan terhadap orangtua dan urusan keluarga khususnya bila dia
juga mempunyai anak-anak.
f)

Bantuan keuangan untuk keluarga pasangan
Apabila pasangan muda harus membantu atau memikul tanggung
jawab, bantuan keuangan bagi pihak keluarga pasangan, hal itu sering
membawa hubungan keluarga yang tidak baik. Hal ini dikarenakan
anggota keluarga pasangan dibantu keuangannya, menjadi marah dan
tersinggung dengan tujuan agar diperoleh bantuan tersebut.

3. Kondisi Yang Menyumbang Kesulitan Dalam Penyesuaian Pernikahan
Hurlock (2000) mengemukakan beberapa faktor yang dapat menimbulkan
kesulitan dalam penyesuaian pernikahan. Faktor-faktor tersebut adalah :

Universitas Sumatera Utara

23

1. Persiapan yang terbatas untuk pernikahan
Penyesuaian seksual saat ini terlihat lebih mudah dilakukan dibandingkan
masa lalu, dikarenakan banyaknya informasi namun kebanyakan pasangan suami
istri hanya menerima sedikit persiapan dibidang keterampilan domestik,
mengasuh anak, dan manajemen uang.
2. Perubahan peran dan status sosial menjadi suami atau istri.
Kecenderungan terhadap perubahan peran dalam perkawinan bagi pria dan
wanita serta konsep yang berbeda tentang peran membuat penyesuaian dalam
pernikahan semakin sulit saat ini dibandingkan pada masa lalu.
3. Pernikahan dini
Pernikahan dini akan lebih banyak memerlukan proses penyesuaian diri
masing masing pasangan karena pada umumnya di usia ini individu belum terlalu
matang dalam hal emosional, ekonomi, dan seksual.
4. Konsep yang tidak realistis tentang perkawinan.
Orang dewasa yang belajar perguruan tinggi dan pengalaman yang sedikit
cenderung memiliki konsep yang tidak realistis mengenai makna pernikahan.
5. Pernikahan campuran
Penikahan yang dilakukan antara dua adat istiadat yang berbeda.
6. Pacaran yang dipersingkat.
Periode masa pacaran yang singkat pada masa sekarang dibandingkan
masalalu, sehingga pasangan hanya punya sedikit waktu untuk memecahkan
masalah tentang penyesuaian sebelum melangsungkan pernikahan.

Universitas Sumatera Utara

24

7. Romantika perkawinan
Harapan yang berlebihan mengenai tujuan dan hasil pernikahan sering
membawa kekecewaan yang menambah kesulitan penyesuaian terhadap tugas dan
tanggung jawab pernikahan.
4. Kriteria Keberhasilan Penyesuaian Pernikahan
Kriteria keberhasilan penyesuaian pernikahan dari Hurlock (2000), yaitu:
1.

Kebahagiaan suami istri
Suami dan istri yang bahagia memperoleh kebahagiaan bersama akan

membuahkan kepuasan yang diperoleh dari peran yang mereka mainkan bersama.
2.

Kemampuan untuk memperoleh kepuasan dari perbedaan pendapat
Perbedaaan pendapat di antara anggota keluarga yang tidak dapat dielakkan,

biasanya berakhir dengan salah satu dari tiga kemungkinan, yaitu adanya
ketegangan tanpa pemecahan, salah satu mengalah demi perdamaian atau masingmasing keluarga mencoba untuk saling mengerti pandangan dan pendapat orang
lain. Dalam jangka panjang kemungkinan ketiga yang dapat menimbulkan
kepuasan dalam penyesuaian pernikahan, walaupun kemungkinan pertama dan
kedua dapat mengurangi ketegangan yang disebabkan oleh perselisihan yang
meningkat.
3.

Kebersamaan
Jika penyesuaian pernikahan dapat berhasil, maka keluarga dapat menikmati

waktu yang digunakan untuk berkumpul bersama. Apabila hubungan keluarga
telah dibentuk dengan baik pada awal-awal tahun pernikahan, maka keduanya

Universitas Sumatera Utara

25

dapat mengikatkan tali persahabatan lebih erat lagi setelah mereka dewasa,
menikah dan membangun rumah atas usahanya sendiri.
4.

Penyesuaiaan yang baik dalam masalah keuangan
Dalam keluarga pada umumnya salah satu sumber perselisihan dan

kejengkelan adalah

sekitar

masalah keuangan.

Bagaimanapun besarnya

pendapatan, keluarga perlu mempelajari cara membelanjakan pendapatannya
sehingga mereka dapat menghindari utang yang selalu melilitnya agar disamping
itu mereka dapat menikmati kepuasan atas usahanya dengan cara yang sebaikbaiknya, daripada menjadi seorang istri yang selalu mengeluh karena pendapatan
suaminya tidak memadai.
5.

Penyesuaian yang baik dari pihak keluarga pasangan
Apabila suami istri mempunyai hubungan yang baik dengan pihak keluarga

pasangan, khususnya mertua, ipar laki-laki dan ipar perempuan, kecil
kemungkinannya untuk terjadi percekcokan dan ketegangan hubungan dengan
mereka.
5. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penyesuaian Perkawinan
Banyak faktor sosial dan demografis yang ditemukan memiliki hubungan
dengan penyesuaian perkawinan (Dyer, 1983). Berikut ini beberapa hal yang
mempengaruhi penyesuaian pernikahan :
1. Usia
Udry dan Schoen (dalam Dyer, 1983) mengatakan bahwa penyesuaian
pernikahan rendah apabila pasangan menikah pada usia yang sangat muda, yaitu

Universitas Sumatera Utara

26

laki-laki di bawah 20 tahun dan wanita di bawah 18 tahun. Mereka dihadapkan
pada tuntutan dan beban seputar perkawinan, dimana bisa menyebabkan rasa
kecewa, berkecil hati, dan tidak bahagia. Dalam hal perbedaan usia, ditemukan
tidak terlalu meyakinkan. Ada penelitian menemukan bahwa akan lebih
menguntungkan bagi pasangan yang memiliki usia yang sama (Locke; Blode &
Wolfe, dalam Dyer, 1983), namun pada penelitian lain juga ditemukan bahwa
usia yang berbeda tidak memiliki pengaruh yang signifikan dalam penyesuaian
pekawinan (Udry, Nelson & Nelson, dalam Dyer, 1983).
2. Agama
Hubungan antara agama dan penyesuaian perkawinan sudah diselidiki
sepanjang tahun. Walaupun begitu, selalu ditemukan hasil yang berbeda-beda dan
selalu tidak konsisten. Terman (dalam Dyer, 1983) menyimpulkan bahwa latar
belakang agama dari pasangan bukan faktor yang berarti dalam kebahagiaan
perkawinan. Pada penelitian pernikahan beda agama (Christensen & Barber;
Glenn, dalam Dyer, 1983) ditemukan bahwa pernikahan beda agama antara
Katolik, Yahudi, dan Protestan sedikit kurang bahagia dibandingkan pernikahan
dengan agama yang sama di ketiga agama tersebut.
3. Ras
Sejauh ini tidak ada penelitian khusus penyesuaian perkawinan dimana
perkawinan antar ras sebagai variabelnya. Walaupun ada opini terkenal yang
mengatakan bahwa perkawinan antar ras penuh resiko, sebenarnya secara statistik
sangat sedikit yang mendukung pandangan ini (Udry, dalam Dyer, 1983).

Universitas Sumatera Utara

27

Penelitian yang dilakukan Monahan (dalam Dyer, 1983) pada perkawinan antar
ras di Iowa, ditemukan bahwa perkawinan antar kulit hitam dan putih lebih stabil
daripada perkawinan kulit hitam dan hitam; dia juga menemukan bahwa
perkawinan dengan suami kulit hitam dan istri kulit putih memiliki rata-rata
perceraian yang rendah dibandingkan dengan rata-rata perceraian pada
perkawinan kulit putih dan putih. Dimana perbedaan sosial dan kultur masih tetap
ada dan larangan pada perkawinan antar ras masih kuat, mereka berusaha untuk
tahan menghadapi larangan dan berusaha kuat untuk menghadapi sangsi yang ada
dari kelompok ras mereka masing-masing.
4. Pendidikan
Data dari survei nasional mengatakan bahwa pendidikan tidak selamanya
menjadi faktor yang penting dalam penyesuaian perkawinan. Glenn dan Weaver
(dalam Dyer, 1983) menemukan tidak ada hubungan yang signifikan antara
lamanya mengecap pendidikan dengan kebahagiaan perkawinan.
Terman; Burgess & Wallin, (dalam Dyer, 1983) mengungkapkan
perbedaan pendidikan pada pasangan dengan penyesuaian perkawinan belum
sepenuhnya jelas, karena ada pendapat yang mengatakan bahwa pasangan dengan
tingkat pendidikan yang sama akan lebih puas dengan perkawinannya dan hasil
penelitian yang lain juga mengatakan bahwa tidak ada hubungan antara perbedaan
tingkat pendidikan suami istri dengan penyesuaian perkawinan .

Universitas Sumatera Utara

28

5. Keluarga Pasangan
Salah satu hal yang harus dihadapi oleh pasangan yang baru menikah
adalah bagaimana mengatasi hubungan selanjutnya dengan orang tua dan sanak
saudara setelah menikah. Beberapa penelitian dalam hal saudara istri atau suami
mengindikasikan bahwa masalah ini lebih mempengaruhi wanita daripada pria
(Duvall; Komorovsky, dalam Dyer, 1983). Ibu mertua dan kakak ipar lebih
cenderung sebagai masalah dalam ketidakcocokan dari pada bapak mertua dan
abang ipar. Inti dalam perselisihan biasanya menyangkut aktifitas dan peran
wanita dalam rumah tangga.
C.REMAJA
1. Definisi Remaja
Istilah remaja dikenal dengan “adolescence” yang berasal dari kata dalam
bahasa latin “adolescere” (kata bendanya adolescentia = remaja), yang berarti
tumbuh menjadi dewasa atau dalam perkembangan menjadi dewasa. Istilah
adolescence merupakan suatu tahap dalam perkembangan yang mencakup dalam
kematangan mental, emosional, sosial, dan fisik. Masa remaja juga merupakan
peralihan antara masa kanak–kanak dan dewasa meliputi perubahan fisik,
kognitif, dan psikososial. Remaja adalah individu yang berusia antara 13 sampai
18 tahun yang sedang mengalami masa peralihan dari masa anak-anak ke masa
dewasa. dengan pembagian 13 sampai 16 tahun termasuk masa remaja awal dan
16 sampai 18 tahun termasuk masa remaja akhir (Hurlock, 2004). Semua aspek
perkembangan dalam masa remaja secara global berlangsung antara umur 12-21
tahun, dengan pembagian usia 12-15 tahun adalah masa remaja awal, 15-18 tahun

Universitas Sumatera Utara

29

adalah masa remaja pertengahan, 18-21 tahun adalah masa remaja akhir (Monks,
2009)
Menurut WHO (badan PBB untuk kesehatan dunia) batas usia remaja
adalah 12 sampai 24 tahun. Sedangkan dari segi pelayanan program pelayanan
definisi remaja yang digunakan oleh Departemen Kesehatan adalah mereka yang
berusia 10 sampai 19 tahun dan belum kawin. Sementara itu menurut BKKBN
(Direktorat Remaja dan perlindungan Hak reproduksi) batasan usia remaja adalah
10-21 tahun.
Berdasarkan uraian diatas remaja merupakan masa peralihan dari masa
kanak-kanak ke masa dewasa dengan usia antara 16-18 tahun.
2. Tugas Perkembangan Remaja
Hurlock (2004) mengemukakan beberapa tugas perkembangan di masa
remaja, antara lain:
a. Menerima keadaan fisiknya
b. Mampu menerima dan memahami peran seks usia dewasa.
c. Mampu membina hubungan baik dengan anggota kelompok yang
berlawanan jenis.
d. Mencapai kemandirian emosional
e. Mencapai kemandirian ekonomi
f. Mengembangkan konsep dan keterampilan yang diperlukan untuk
melakukan peran sebagai anggota masyarakat.
g. Memahami dan menginternalisasikan nilai-nilai dan orang dewasa
h. Mengembangkan perilaku tanggung jawab sosial

Universitas Sumatera Utara

30

i. Mempersiapkan diri memasuki pernikahan, memahami dan
mempersiapkan berbagai tanggung jawab kehidupan keluarga.
j. Memperoleh peranan sosial
k. Menerima kebutuhannya dan menggunakannya dengan efektif
l. Memperoleh kebebasan emosioanal dari orang tua dan dari orang
dewasa lainnya
m. Mencapai kepastian akan kebebasan dan kemampuan berdiri sendiri
n. Memilih dan mempersiapkan lapangan pekerjaan
o. Mempersiapkan diri dalam pembentukan keluarga
p. Membentuk sistem nilai, moralitas dan falsafah hidup.
3. Ciri-ciri Remaja Yang Melakukan Menikah Muda
Hurlock (2000) mengatakan bahwa semua periode perkembangan
memiliki ciri-ciri perkembangan yang membedakan dari satu periode dengan
periode berikutnya. Masa remaja juga mempunyai ciri-ciri tertentu yang
membedakan dengan periode sebelumnya dan sesudahnya. Remaja yang menikah
baik itu remaja putra maupun remaja putri akan mengalami masa remaja yang
diperpendek, sehingga ciri dan tugas perkembangan mereka juga ikut diperpendek
dan masuk pada masa dewasa (Monks, 2001).
1) Remaja yang telah menikah akan mengalami suatu periode peralihan yang
cukup signifikan. Peralihan yang terjadi adalah beralih dari masa anak-anak
menuju masa dewasa, dimana remaja harus meninggalkan segala sesuatu
yang bersifat kekanak-kanakan dan harus mempelajari pola dan sikap baru
terutama dalam pernikahan.

Universitas Sumatera Utara

31

2) Remaja yang telah menikah akan mengalami periode perubahan, yaitu
meliputi perubahan fisik, emosional, perubahan pola dan minat, perubahan
nilai-nilai yang berlaku, dan sikap ambivalen terhadap setiap perubahan.
3) Remaja yang telah menikah, mereka diharuskan masuk pada masa dewasa,
tidak lagi pada ambang masa dewasa. Masa remaja mereka menjadi
diperpendek dan mereka harus meninggalkan stereotip belasan tahun dan
menjadi dewasa.
D. Menikah Muda
Pernikahan merupakan peristiwa yang penting dalam kehidupan seseorang.
Hampir setiap individu mempunyai keinginan untuk mengalami hal tersebut.
Dalam Undang-Undang Pernikahan yang dikenal dengan UU No.1 tahun 1974,
pernikahan merupakan ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang
wanita untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan
keTuhanan Yang Maha Esa. Dalam pasal 7 ayat (1) Undang-Undang nomor 1
tahun 1974 mengenai batas umur untuk melangsungkan pernikahan adalah
:”Perkawinan hanya diijinkan jika pihak pria sudah mencapai usia 19 tahun dan
pihak perempuan sudah mencapai umur 16 tahun ”. Hal ini sesuai dengan
rekomendasi “The Eliminatian of All Forms of Discrimination against Women
(CEDAW)” yang menyatakan bahwa usia 18 tahun seharusnya menjadi usia
minimum yang resmi untuk menikah baik pada pria maupun wanita.
Menikah muda (early Married) merupakan pernikahan yang dilakukan
oleh pasangan yang berusia dibawah 19 tahun (WHO, 2006). Menurut BKKBN
(2011), perkawinan usia muda adalah perkawinan yang dilakukan di bawah usia

Universitas Sumatera Utara

32

20 tahun. Pernikahan usia muda dapat didefenisikan sebagai ikatan lahir batin
antara seorang pria dengan wanita sebagai suami istri di usia yang masih
muda/remaja.
1. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Menikah Muda
Hasil penelitian Pusat Penelitian dan Pengembangan Kependudukan
BKKBN tahun 2011 menemukan bahwa beberapa faktor yang mempengaruhi
median usia pernikahan pertama perempuan adalah faktor sosial, ekonomi,
budaya dan tempat tinggal (desa/kota). Di antara faktor-faktor tersebut, faktor
ekonomi merupakan faktor yang paling dominan terhadap median usia
nikah/kawin pertama perempuan. Hal ini ditengarai disebabkan oleh kemiskinan
yang membelenggu perempuan dan orang tuanya. Karena tidak mampu
membiayai anaknya, maka orang tua menginginkan anaknya tersebut segera
menikah sehingga mereka terlepas dari tanggung jawab dan berharap setelah
anaknya menikah mereka akan mendapatkanbantuan ekonomi (BKKBN).
Menurut beberapa penelitian Pernikahan dini yang masih marak terjadi
pada remaja pedesaan pada umumnya dipengaruhi oleh empat faktor, yakni:
keinginan bebas pada remaja, ekonomi, pendidikan dan budaya.
1. Keinginan bebas pada remaja.
Adanya dorongan rasa kemandirian gadis remaja dan keinginan bebas dari
kekangan orangtua (Landung dkk, 2009). Hal tersebut berkaitan dengan
perubahan psikologi yang terjadi pada diri remaja sebagaimana yang dijelaskan
oleh Neidhart dalam Gunarsah (2008) bahwa remaja atau adolescentia sedang
mengalami masa peralihan dari kedudukan ketergantungannya terhadap keluarga

Universitas Sumatera Utara

33

menuju kehidupan dengan kedudukan mandiri. Jannah (2012) menjelaskan bahwa
salah satu penyebab pernikahan dini yang terjadi pada masyarakat Desa Pandan
(Madura) ialah adanya kesiapan diri pada remaja. Selain orang tua, pendorong
terjadinya pernikahan dini di Desa Pandan disebabkan adanya kemauan diri
sendiri dari pasangan. Hal ini disebabkan mereka sudah merasa bisa mencari uang
sendiri dan juga pengetahuan anak yang diperoleh dari film atau media-media
yang lain, sehingga bagi mereka yang telah mempunyai pasangan atau kekasih
terpengaruh untuk melakukan pernikahan di bawah batas minimal usia
perkawinan.
2. Faktor Ekonomi
Pernikahan dini yang terjadi

disebabkan karena alasan membantu

pemenuhan kebutuhan ekonomi keluarga. Faktor ini berhubungan dengan
rendahnya tingkat ekonomi keluarga. Orang tua tidak memiliki kemampuan untuk
memenuhi kebutuhan keluarga sehingga orangtua memilih untuk mempercepat
pernikahan anaknya, terlebih bagi anak perempuan sehingga dapat membantu
pemenuhan kebutuhan keluarga (Landung dkk, 2009). Sejalan dengan hal itu,
Jannah (2012) menjelaskan dalam penelitiannya bahwa para orang tua yang
menikahkan anaknya pada usia muda mengganggap bahwa dengan menikahkan
anaknya, maka beban ekonomi keluarga akan berkurang satu. Hal ini disebabkan
jika anak sudah menikah, maka akan menjadi tanggung jawab suaminya. Bahkan
para orang tua juga berharap jika anaknya sudah menikah, maka akan dapat
membantu kehidupan orang tuanya.

Universitas Sumatera Utara

34

3. Faktor pendidikan
Dalam konteks pendidikan, penelitian Landung dkk (2009) dan menjelaskan
bahwa

rendahnya

tingkat

pendidikan orang tua, menyebabkan adanya

kecenderungan mengawinkan anaknya yang masih di bawah umur. Hal tersebut
berkaitan dengan rendahnya tingkat pemahaman dan pengetahuan orangtua terkait
konsep remaja gadis. Pada masyarakat pedesaan umumnya terdapat suatu nilai
dan norma yang menganggap bahwa jika suatu keluarga memiliki seorang remaja
gadis yang sudah dewasa namun belum juga menikah dianggap sebagai aib
keluarga, sehingga orang tua lebih memilih untuk mempercepat pernikahan anak
perempuannya. Jannah (2012) menambahkan bahwa rendahnya pendidikan
merupakan salah satu pendorong terjadinya pernikahan dini. Para orang tua yang
hanya bersekolah hingga tamat SD merasa senang jika anaknya sudah ada yang
menyukai, dan orang tua tidak mengetahui adanya akibat dari pernikahan muda
ini.
4. Faktor Budaya
Keberadaan budaya lokal (Parampo Kampung) memberi pengaruh besar
terhadap pelaksanaan pernikahan dini, sehingga masyarakat tidak memberikan
pandangan negatif terhadap pasangan yang melangsungkan pernikahan meskipun
pada usia yang masih remaja. Hal ini yang menyebabkan kaum pemuka adat tidak
memiliki kemampuan untuk dapat mengatur sistem budaya yang mengikat bagi
warganya dalam melangsungkan perkawinan karena batasan tentang seseorang
yang dikatakan dewasa masih belum jelas (Landung dkk, 2009).

Universitas Sumatera Utara

35

Sejalan dengan Landung dkk (2009), Syafiq Hasyim dalamJannah (2012)
menyebutkan bahwa dalam konteks Indonesia pernikahan lebih condong diartikan
sebagai kewajiban sosial dari pada manifestasi kehendak bebas setiap individu.
Secara umum, dalam masyarakat yang pola hubungannya bersifat tradisional,
pernikahan dipersepsikan sebagai suatu “keharusan sosial” yang merupakan
bagian dari warisan tradisi dan dianggap sakral. Sedangkan dalam masyarakat
rasional modern, perkawinan lebih dianggap sebagai kontrak sosial, dan
karenanya pernikahan sering merupakan sebuah pilihan. Cara pandang tradisional
terhadap perkawinan sebagai kewajiban sosial ini, tampaknya memiliki kontribusi
yang cukup besar terhadap fenomena kawin muda yang terjadi di Indonesia.
Selain menurut para ahli di atas, ada beberapa faktor yang mendorong
terjadinya pernikahan usia muda yang sering dijumpai di lingkungan masyarakat
kita yaitu faktor ekonomi, pendidikan, keluarga, kemauan sendiri, media masa dan
hamil diluar nikah .
a. Faktor Ekonomi
Mencher (dalam Siagian, 2012) mengemukakan kemiskinan adalah gejala
penurunan kemampuan seseorang atau sekelompok orang atau wilayah sehingga
mempengaruhi daya dukung hidup seseorang atau sekelompok orang, dimana
pada suatu titik waktu secara nyata mereka tidak mampu mencapai kehidupan
yang layak, sehingga dapat kita katakan bahwa salah satu faktor yang
mempengaruhi pernikahan usia muda adalah tingkat ekonomi keluarga.
Rendahnya tingkat ekonomi keluarga mendorong si anak untuk menikah diusia
yang tergolong muda untuk meringankan beban orang tuanya. Dengan si anak

Universitas Sumatera Utara

36

menikah sehingga bukan lagi menjadi tanggungan orang tuanya ( terutama untuk
anak perempuan), belum lagi suami anaknya akan bekerja atau membantu
perekonomian keluarga maka anak wanitanya dinikahkan dengan orang yang
dianggap mampu.
b. Faktor Pendidikan
Rendahnya tingkat pendidikan cenderung melakukan aktivitas sosial
ekonomi yang turun temurun tanpa kreasi dan inovasi. Akibat lanjutnya
produktivitas kerjanyapun sangat rendah sehingga tidak mampu memenuhi
kebutuhan hidupnya secara memadai. Karena terkadang seorang anak perempuan
memutuskan untuka menikah diusia yang tergolong muda. Pendidikan dapat
mempengaruhi seorang wanita untuk menunda usia untuk menikah. Makin lama
seorang wanita mengikuti pendidikan sekolah, maka secara teoritis makin tinggi
pula usia kawin pertamanya. Seorang wanita yang tamat sekolah lanjutan tingkat
pertamanya berarti sekurang-kurangnya ia menikah pada usia di atas 16 tahun ke
atas, bila menikah diusia lanjutan tingkat atas berarti sekurang-kurangnya berusia
19 tahun dan selanjutnya bila menikah setelah mengikuti pendidikan di perguruan
tinggi berarti sekurang-kurangnya berusia diatas 22 tahun (Siagian,2012)
c. Faktor Keluarga/ Orang tua
Biasanya orang tua bahkan keluarga menyuruh anaknya untuk menikah
secepatnya padahal umur mereka belum matang untuk melangsungkan
pernikahan, karena orang tua dan keluarga khawatir anaknya melakukan hal-hal
yang tidak di inginkan karena anak perempuannya berpacaran dengan laki-laki
yang sangat lengket sehingga segera menikahkan anaknya. Hal ini merupakan hal

Universitas Sumatera Utara

37

yang sudah biasa atau turun-temurun. Sebuah keluarga yang mempunyai anak
gadis tidak akan merasa tenang sebelum anak gadisnya menikah.(Landung
dkk,2009)
d. Faktor kemauan sendiri
Hal ini disebabkan karena keduanya merasa sudah saling mencintai
danadanya pengetahuan anak yang diperoleh dari film atau media-media yang
lain, sehingga bagi mereka yang telah mempunyai pasangan atau kekasih
terpengaruh untuk melakukan pernikahan di usia muda.
e. Faktor Media massa
Media cetak maupun elektronik merupakan media massa yang
palingbanyak digunakan oleh masyarakat kota maupun desa. Oleh karena itu,
media masa sering digunakan sebagai alat menstransformasikan informasi dari
dua arah, yaitu dari media massa ke arah masyarakat atau menstransformasi
diantara masyarakat itu sendiri. Cepatnya arus informasi dan semakin majunya
tehnologi sekarang ini yang dikenal dengan era globalisasi memberikan
bermacam-macam dampak bagi setiap kalangan masyarakat di Indonesia, tidak
terkecuali remaja. Teknologi seperti dua sisi mata uang yang tidak dapat
dipisahkan satu sama lain, disatu sisi berdampak positif tetapi di sisi lain juga
berdampak negatif. Dampak positifnya, munculnya imajinasi dan kreatifitas yang
tinggi. Sementara pengaruh negatifnya, masuknya pengaruh budaya asing seperti
pergaualan

bebas

dan

pornografi.

Masuknya

pengaruh

budaya

asing

mengakibatkan adanya pergaulan bebas danseks bebas.

Universitas Sumatera Utara

38

Menurut Rohmahwati (2008) paparan media massa, baik cetak (koran,
majalah, buku-buku porno) maupun elektronik (TV, VCD, Internet), mempunyai
pengaruh secara langsung maupun tidak langsung pada remaja untuk melakukan
hubungan seksual pranikah.
f. Faktor MBA ( Marriage By Acident)
Kebebasan pergaulan antar jenis kelamin pada remaja, dengan mudah bisa
disaksikan dalam kehidupan sehari-hari, khususnya di kota-kota besar. Pernikahan
pada usia remaja pada akhirnya menimbulkan masalah tidak kalah peliknya. Jadi
dalam situasi apapun tingkah laku seksual pada remaja tidak pernah
menguntungkan, pada hal masa remaja adalah periode peralihan ke masa dewasa.
Selain itu, pasangan yang menikah karena “kecelakaan” atau hamil sebelum
menikah mempunyai motivasi untuk melakukan pernikahan usia muda karena ada
suatu paksaan yaitu untuk menutupi aib yang terlanjur terjadi bukan atas dasar
pentingnya pernikahan.
E. Dinamika Pengaruh Kematangan Emosi dengan Penyesuaian Diri
Remaja Putri Yang Menikah Muda.
Masa remaja ditandai oleh perubahan fisik dan psikologis, pencarian
identitas danmembentuk hubungan baru termasukmengekspresikan perasaan
seksual (Santrock,2003). Pada masa ini banyak remaja yang tertarik secara
seksual pada lawan jenisnya khusunya remaja putri,mereka memiliki keinginan
lebih kuat untuk penjajakan dan kepribadian dalam berkencan daripada remaja
laki-laki (Duck, dalam Santrock,2003). Hal inilah yang membuat munculnya
kecenderungan menikah muda dikalangan remaja yang tidak sesuai tugas

Universitas Sumatera Utara

39

perkembangan mereka . Menikah muda adalah pernikahan yang dilakukan oleh
pasangan yang berusia dibawah 19 tahun (WHO,2006). Pernikahan muda sering
terjadi karena seseorang berpikir secara emosional untuk melakukan pernikahan,
mereka berpikir telah saling mencintai dan siap untuk menikah (Sanderwitz dan
Paxman dalam Sarwono, 2007), tetapi sebenarnya hidup berumah tangga
membutuhkan kematangan emosi dan pemikiran untuk menghadapi dan
mengendalikan hakekat perkawinan dan peran orang tua yang akan disandang
(Adhim, 2002). Hurlock (2004) berpendapat bahwa kematangan emosi merupakan
individu yang memiliki kontrol diri yang baik, mampu mengekspresikan
emosinya dengan tepat atau sesuai dengan keadaan yang dihadapinya, sehingga
lebih mampu beradaptasi karena dapat menerima beragam orang dan situasi dan
memberikan reaksi yang tepat sesuai dengan tuntutan yang dihadapi. Kematangan
emosi memiliki karakteristik yaitu; kontrol emosi yaitu mampu mengontrol emosi
saat emosi sedang memuncak, pemahaman diri yaitu mencari cara mengatasi
emosi dengan mengetahui penyebab emosi, dan pengunaan fungsi kritis mental
Individu

yaitu mampu membuat

keputusan dengan mempertimbangkan

dampaknya (Hurlock, 2004).
Pada saat remaja melakukan pernikahan diusia muda, remaja tersebut akan
mengalami periode perubahan yaitu, perubahan fisik, emosional, perubahan pola
dan minat, perubahan nilai-nilai yang berlaku, dan sikap ambivalen terhadap
setiap perubahan (Hurlock,2000). Salah satu faktor yang mempengaruhi
kematangan emosi adalah usia (Hurlock,2004). Diharapkan semakin matang usia
individu tersebut semakin matang pula emosi yang dimiliki. Terutama untuk

Universitas Sumatera Utara

40

remaja putri, dimana menurut penelitianKhairani, R., & Putri, D. E. (2008)
seorang wanita akan mencapai kematangan emosi nya pada usia 24 tahun
sehingga sebelum usia tersebut individu tersebut masih sering tidak stabil
emosinya, perubahan suasana hati itu nantinya akan mempengaruhi hubungannya
dengan pasangannya.Individu yang memiliki kematangan emosi berarti individu
tersebut dapat menempatkan potensi yang dikembangkan dirinya dalam kondisi
pertumbuhan, dimana tuntutan yang nyata dari kehidupan individu dewasa dapat
diatasi dengan cara yang efektif dan sehat (Schneiders dalam Kurniawan 1995).
Remaja dikatakan sudah mencapai kematanan emosi jika individu dapat mengerti
situasi tanpa harus diberikan arahan oleh orang lain serta mengerti kewajiban dan
tanggung jawabnnya (Chaube,2002).
Sejalan dengan Munandar, 2011 remaja putri yang menikah masih
membawa sifat anak-anak nya sehingga masing-masing individu perlu
menyesuaikan diri dengan pasangannya agar kebutuhan masing-masing pasangan
dapat terpenuhi.Menurut (Hurlock,2000) cara seseorang remaja agar dapat
menyesuaikan diri dengan pasangan dan kehidupan pernikahannya remaja
tersebut

membutuhkan penyesuaian pernikahan . Yang mana dalam halnya

pernikahan usia muda tentunya masing-masing pasangan membawa niai-nilai,
sikap, keyakinan dan gaya masing-masing dalam pernikahan (DeGenova,2008).
Sehingga untuk mengatasi segala perbedaan yang ada pada masing-masing
pasangan, mereka membutuhkan penyesuaian dalam pernikahannya.
Hurlock (2000) mengatakan penyesuaian pernikahan merupakan sebuah
proses adaptasi suami dan istri, dimana suami istri tersebut dapat mencegah

Universitas Sumatera Utara

41

terjadinya konflik dan menyelesaikan konflik dengan baik melalui proses
penyesuaian diri. Boykin & Stith (2004) mengemukakan bahwa kecenderungan
pernikahan diusia remaja memunculkan distress dan banyak yang berakhir pada
perpisahan, dimana yang menjadi penyebab utamanya adalah sedikitnya
pengalaman dan faktor-faktor kurangnya kesiapan dalam menghadapi pernikahan.
Penyesuaian pernikahan sangat dibutuhkan oleh setiap pasangan yang telah
menikah, terlebih pada pasangan remaja yang menikah karena di usia remaja
emosinya masih sangat labil sehingga perlu adanya saling pengertian antar
pasangannya (Hurlock,2000). Emosi mewarnai cara berfikir manusia dalam
menghadapi konflik (Lazarus,1991).
Selain itu, salah satu kondisi yang menyumbang kesulitan dalam
melakukan penyesuaian pernikahan adalah pernikahan usia muda, dimana
pernikahan usia muda lebih banyak memerlukan proses penyesuaian diri pada
masing-masing pasangan karena umumnya di usia tersebut individu yang belum
terlalu matang dalam hal ekonomi, seksualdan emosional (Hurlock,2000). Sejalan
dengan hal tersebut, dalam sebuah penelitian dikatakan bahwa penyesuaian
pernikahan dapat berjalan baik jika masing-masing pasangan memiliki
kematangan psikologis (Walgito,2004). Kematangan psikologis diantaranya
adalah kematangan emosi.

Universitas Sumatera Utara

42

F. Hipotesa Penelitian
Berdasarkan uraian teoritis di atas maka hipotesa yang diajukan peneliti
dalam penelitian ini adalah “Terdapat Pengaruh Kematangan Emosi Terhadap
Penyesuaian Pernikahan Pada Remaja Putri”.

Universitas Sumatera Utara

43

G. Paradigma Berpikir

Remaja
Ciri perkembangan : Mencari identitas diri, Timbulnya keinginan untuk
kencan, mempunyai rasa cinta yang mendalam, mengembangkan kemampuan
berpikir abstrak, berkhayal tentang aktivitas seks

Menikah

Menikah Muda (early marriage)
adalah pernikahan yang dilakukan
oleh pasangan ataupun salah satu
pasangannya yang masih
dikategorikan anak-anak atau
remaja yang berusia dibawah 19
tahun. (WHO, 2006)

Membutuhkan
Kematangan Emosi
(Hurlock,2004)

Tidak Menikah

Mengalami Konflik –
Konflik Pernikahan.

Melakukan Penyesuaian
Pernikahan (Hurlock, 2000) :
1. Penyesuaian dengan
Pasangan
2. Penyesuaian Seksual
3. Penyesuaian Keuangan
4. Penyesuaian dengan
keluarga Pasangan

Universitas Sumatera Utara