Karakterisasi Cangkang Kepiting Laut Dan Kitin Serta Karakterisasi Kitosan Dari Hasil Deasetilasi

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Cangkang Kepiting
Cangkang kepiting diketahui mengandung senyawa aktif kitin yang banyak
manfaatnya sebagai industri kosmetik maupun

farmasi. Kitin yang telah

mengalami deasetilasi akan menjadi kitosan. Adanya kandungan logam didalam
cangkang kepiting akan menurunkan kualitas kitin dan kitosan yang diisolasi dari
cangkang kepiting (Lesbani, dkk, 2011). Kerangka kitin kulit udang dan kepiting
diliputi dan di perkeras oleh kalsium karbonat (Lehninger., 1997).

2.2 Kitin dan Kitosan
Kitin adalah polisakarida yang mengandung N-asetilglusamina. Kitin membentuk
kulit hewan keluarga crustaceae, antara lain kepiting dan udang. Senyawa ini
merupakan komponen utama rangka luar beberapa serangga. Kitin tersusun dari
unit ulangan N-asetilglusamina melalui ikatan glikosida (Wilbraham, 1992)
Hidrolisis dari kitin oleh kitinase, sebuah enzim yang di temukan pada
cangkang siput, yang memberikan N-asetil-D-Glukosamin dalam kandungan
besar dan degradasi dari kitin oleh asam sulfur dan asetat anhidrat (asetalisis)

menghasilkan kitobiose, hexaasetat yang dianalogiskan untuk selobiose okta
asetat dengan derivate yang sama dari selulosa (Geissman, 1977). Pada sebuah
polimer dari glukosamin dikenal sebagai kitin, yang merupakan komponen utama
dari eksokleton dari berbagai serangga (Pine S.H, 1997). Kitin adalah polimer

Universitas Sumatera Utara

polimer linier dengan rantai panjang tanpa rantai samping yang tersusun dari 2asetamido-2-deoksi-β-

D-glukosa yang berikatan glikosidik 1-4. Secara kimia

kitin diidentifikasikan

mempunyai kemiripan dengan selulosa, persamaannya

adalah adanya ikatan monomer yaitu ikatan glikosida pada posisi (1-4) (Purwanti
A, 2014).
Kitin secara komersial umumnya diekstraksi dari kulit udang, cangkang
kepiting yang diperoleh dari limbah industri pengolahan. Proses ekstraksi kitin
pada kulit udang dan cangkang kepiting secara kimia merupakan proses yang

relative sederhana (Muzzarelli, 1977). Kitin yang terdapat pada cangkang masih
terikat dengan protein, CaCO 3 , pigmen dan lemak.berbagai teknik dilakukan
untuk memisahkannya, tetapi pada umumnya melalui 3 tahapan yaitu
demineralisasi dengan HCl encer, deproteinasi dengan NaOH encer (setelah tahap
ini diperoleh kitin dan selanjutnya dideasetilasi menggunakan NaOH pekat (Brine,
1984)
Kitosan sebagai polimer yang tersusun dari 2-amino-2-deoksi-β-D-glukosa
dapat diperoleh dengan cara mengolah kitin. Pengubahan molekul kitin menjadi
kitosan diperoleh dengan cara mengubah gugus asetamida (–NHCOCH) pada
kitin menjadi gugus amina (–NH2) pada kitosan (Purwanti A, 2014). Amida
merupakan gugus pelindung yang paling umum digunakan untuk memproteksi
amina. N-asetil merupakan gugus pelindung amida yang sudah dikenal baik dan
N-asilamina

dikenal

merupakan

turunan


asetamida

(N-COCH 3 ,N-Ac)

(Satrohamidjojo, 2009). Kitosan juga dapat membentuk sebuah membran yang
berfungsi sebagai adsorben pada waktu terjadinya pengikatan zat-zat organik

Universitas Sumatera Utara

maupun anorganik oleh kitosan. Hal ini yang menyebabkan kitosan lebih banyak
manfaatnya dibandingkan dengan kitin (Sanjaya et al, 2007).
Kitosan larut pada kebanyakan larutan asam organik seperti asam asetat,
asam piruvat, dan asam formiat pada pH sekitar 4 tetapi tidak larut dalam pelerut
air, aseton dan alkohol. Dalam asam mineral pekat seperti HCl dan HNO 3 kitosan
larut pada konsentrasi 0,15-1,1% tetapi tidak larut pada konsentrasi 10%. Kitosan
tidak larut dalam H 2 SO 4 pada berbagai konsentrasi, sedangkan dalam H 3 PO 4
tidak larut pada konsentrasi 1% sementara pada konsentrasi 0,1% sedikit larut.
kelarutan kitosan dipengaruhi oleh bobot molekul, derajat deasetilasi,dan rotasi
spesifiknya yang beragam bergantung pada sumber dan metode isolasi serta
transformasinya (Sugita, dkk, 2009).

Rumus bangun kitin, kitosan dan selulosa dapat dilihat pada Gambar 1,
Dari struktur kitin terlihat bahwa kitin murni mengandung gugus asetamida (NHCOCH 3 ), kitosan murni mengandung gugus amino (NH 2 ) sedangkan selulosa
mengandung gugus hidroksil (OH). Perbedaan gugus ini akan mempengaruhi
sifat-sifat kimia kitin, kitosan dan selulosa. Sebenarnya kitin dan kitosan yang di
produksi secara komersial memiliki kedua gugus asetamida dan gugus amino pada
rantai polimernya, dengan beragam komposisi gugus tersebut (Robets, 1992).

Universitas Sumatera Utara

OH

OH
H

H
H2 C

H2 C

H


H

O

O

O

O
O

H

H

HO

H


HO

NH

NH

H

H

C

CH3

O

H

C


CH3

O

n

Kitin

OH
H

H
H2C

H2C

H

H
O


O

O

O
O

H

HO

H

H

HO
NH2

H


H

NH2

H

Kitosan

n

HO

HO
H

H

O


O
O
HO

H

H
H

O

H

HO
OH

H

OH


H

n

Selulosa
Gambar 2.1. Struktur Kitin, Kitosan dan Selulosa

Universitas Sumatera Utara

2.3 Pengolahan Kitin dan Kitosan
Untuk mendapatkan kitin dilakukan beberapa tahapan proses, yaitu proses
perlakukan awal bahan baku, proses deproteinasi, dan proses demineralisasi
(Purwanti A, 2014).

2.3.1 Penghilangan Protein
Kerangka luar crustacea mengandung kitin yang

berikatan dengan kalsium

karbonat (CaCO 3 ) dan protein, terkadang juga dengan lapisan lilin. Kadar protein
yang terikat dalam matriks kulit sekitar 30-40 % dari komponen organik
totalnya.protein terikat secara fisik dan sebagian lain terikat secara kovalen, yang
kadarnya beragam untuk setiap jenis crustacea. Deproteinasi kitin merupakan
reaksi hidrolisis dalam suasana asam atau basa. Lazimnya, hidrolisis dilakukan
dalam suasana basa dengan menggunakan larutan NaOH 2-3 % pada suhu 63-65
0

C selama 1-2 jam.
Deproteinasi optimum dicapai pada kondisi ekstraksi menggunakan NaOH

3,5 % (b/b) selama 2 jam pada suhu 65 oC. Kondisi optimum dapat menurunkan
kadar nitrogen menjadi 6,86 %, mendekati nilai teoristisnya, yaitu 6,9 % dalam
kitin murni. Deproteinasi dapat pula dilakukan dengan menggunakan KOH 1-2 %
dengan nisba padatan-pelarut 1:20 (b/v) pada suhu 90oC selama 2 jam (Sugita,
dkk, 2009).
Protein merupakan sala-satu kelompok bahan makanan yang terdapat
dalam jumlah besar (makronutrien). Tidak seperti bahan makronutrien lain
(karbohidrat dan lemak), protein lebih berperan dalam pembentukan biomolekul

Universitas Sumatera Utara

daripada sebagai sumber energi. Meskipun demikian, bila organisme mengalami
kekurangan energi, maka protein digunakan sebagai sumber energi (Rohman A.
2013)
Asetamida sensitive terhadap asam dan basa, tetapi stabil pada pH 112.Asetamida tidak bereaksi dengan nukleofil dan organonlogam. Gugus ini tidak
dapat mengalami reduksi dengan hidrogenasi

katalitik, boran, zat pereduksi

borohidrida dan dapat di oksidasi oleh zat pengoksidasi. Dua cara utama untuk
memutuskan ikatan N-asetamida menjadi amina adalah mereaksikan dengan asam
berair dan mereaksikan dengan trietiloksium tetrafluoroborat.
Amina direaksikan dengan benzyl klorida atau benzyl bromide, biasanya
dengan adanya basa seperti kalium karbonat (K2 CO 3 ) atau hidroksida. ikatan N-C
dapat diputus secara hidrogenolisis dengan hidrogenasi katalitik atau pelarut
logam. Cara penentuan lain adalah dengan mereaksikan dengan natrium dalam
ammonia cair (Sastrohamidjojo H, 2009). Kadar protein pada bahan dan produk
pangan dapat ditentukan dengan berbagai jenis metode analisis diantara metode
analisis protein yang sering digunakan adalah metode kjeldahl , metode biuret,
metode lowry, metode, metode pengikatan zat warna dan metode titrasi formol.
Prinsip penetapan dan prosedur analisis dengan ketiga metode tersebut dijabarkan
sebagai berikut.

1.Metode Kjeldahl
Metode kjeldahl pertama kali ditemukan pada tahun 1883 oleh Johan
Kjeldahl.metode penetapan kadar protein dengan metode ini sangat umum
digunakan untuk menetukan kadar protein dalam bahan pangan. Metode ini

Universitas Sumatera Utara

didasarkan pada pengujian

kadar nitrogen total yang ada didalam contoh.

Kandungan protein dapat dihitung dengan mengasumsikan rasio tertentu antara
protein terhadap nitrogen untuk produk tertentu yang dianalisis. Karena unsur
nitrogen bukan hanya bukan hanya bersal dari protein, maka mrtode ini umumnya
didasarkan pada asumsi bahwa kadar nitrogrn pada protein adalah 16 %.
Metode penetapan protein dengan metode kjeldahl dapat digunakan untuk
analisis protein semua jenis bahan pangan. Prosedur penetapan tidak
membutuhkan biaya mahal ( kecuali dilakukan secara oautomatis) dan hasilnya
cukup akurat. Metode ini telah dijadikan sebagai metode sebgai metode resmi
yang diakui oleh AOAC. Saat ini telah dikembangkan metode kjeldahl secara
semi otomatis dan otomatis menggunakan instrument ( AOAC 976. Dan 976. 05).
Dalam penetapan protein metode kjeldahl , contoh yang di analisis harus
dihancurkan ( destruksi) dahulu secara sempurna, sehingga seluru karbon dan
hidrogen teroksidasi dan nitrogen diubah menjadi ammonium sulfat. Proses
penghancuran ini dilakukan dengan menambahkan asam kuat pekat atau ( asam
sulfat) kedalam contoh dan proses pemanasan pada suhu tinggi sehingga
dihasilkan larutan berwarna jernih yang mengandung ammonium sulfat. Untuk
mempercepat proses penghancuran ini ditambahkan katalisator.
Selanjutnya ammonium sulfat dinetralkan dengan menggunakan alkali
pekat dan didestilasi, destilat ditampung kedalam beaker yang berisi asam
borat.Ion borat ini kemudian dititrasi dengan menggunakan asam standar.Hasil
yang diperoleh merupakan protein kasar disebabkan nitrogen yang terukur bukan
hanya dari protein juga dari komponen non-protein yang mengandung nitrogen.
Dalam analisis juga diperlukan contoh blangko yang akan digunakan sebagai

Universitas Sumatera Utara

faktor koreksi dalam perhitungan kadar protein. Prosedur kjeldahl dilakukan
dalam 3 tahap, yaitu tahap penghancuran (destruksi), netralisasi dan destilasi, dan
titrasi.

2. Penetapan Protein Metode Biuret
Metode biuret pertama kali dikembangkan oleh Riegler tahun 1914. Metode ini
didasarkan pada prinsip bahwa zat yang mengandung dua atau lebih ikatan
peptide ( -CO-NH-) dapat membentuk kompleks berwarna ungu dengan garam
Cu dalam larutan alkali ( dalam suasana basa). Karena seluru protein mengandung
ikatan peptida, maka metode biuret merupakan salah-satu metode terbaik untuk
menentukan kandungan larutan protein.Disamping itu metode biuret cukup
sederhana, cepat dan murah.

3. Penetapan Protein Metode Pengikatan Zat Warna
Metode analisis protein metode pengikatan zat warna merupakan penetapan
protein secara tidak langsung.Zat warna mempunyai kemampuan bergabung
dengan gugus polar protein yang bermuatan ion berlawanan. Kompleks tidak larut
yang terbentuk kemudian dipisahkan dengan cara sentrifugasi atau penyaringan.
Kemudian konsentrasi zat warna yang tidak terikat dapat diukur absorbansinya.
Dengan menggunakan kurva standar yang menyatakan hubungan antara
absorbansi dengan kadar protein dalam contoh dapat ditentukan.

Universitas Sumatera Utara

2.3.2 Penghilangan mineral
Logam

di dalam air, baik ringan maupun logam berat jarang sekali berbentuk

atom sendiri , tetapi terikat dengan senyawa lain sehingga berbentuk molekul.
Logam kemudian bersenyawa dengan bahan kimia bahan kimia jaringan dan
bentuk senyawa organik. Kalsium merupakan

logam ringan yang banyak

ditemukan dalam air laut. Pada air laut elemen Ca ini berbentuk garam karbonat
yang dapat menaikkan ph 7 sampai 8.
Dalam kondisi tersebut hewan air dapat hidup secara normal. Darmono
melaporkan bahwa kulit udang mengandung 38,7% zat organik yang mengandung
98,5 % kalsium. Pada waktu ganti kulit, kitin dan protein dari kulit yang lama
lebih dahulu diserap serta bahan anorganiknya tidak diserap. Secara berlahanlahan kalsium tertimbun dalam kulit dan sempurna waktu 5 jam. Pertukaran
antara cairan tubuh dan air laut berjalan melalui insang kira-kira 90 % Ca diserap
dan 79 % dikeluarkan (Darmono, 1995).
Johnson dan Penisto (1982) menyatakan, bahwa demineralisasi secara
umum dilakukan dengan larutan HCl atau asam lainnya seperti H 2 SO 4 pada
kondisi tertentu.Keefektifan HCl dalam melarutkan kalsium 10% lebih tinggi dari
pada H 2 SO 4 .Ion mineral ditentukan melalui detruksi dengan asam kuat HCl
terhadap abu dari endapan yang diperoleh pada tahap pemisahan mineral
selanjutnya, penentapan ion mineral dilakukan dengan menggunakan metode
spekstroskopi serapan atom (AAS).
Efisiensi demineralisasi dapat diketahui dari kadar abu pada proses
demineralisasi, asam dapat terjerat dan berdifusi secara secara lambat dalam kisi-

Universitas Sumatera Utara

kisi kristal atau berasosiasi dengan asam amino bebas dan residu protein sehingga
dapat menimbulkan kerusakan (pemutusan rantai) selama pengeringan. Kerusakan
dapat dicegah dengan pencucian hingga pH netral atau dengan penambahan
larutan basa berkonsentrasi rendah (Sugita, dkk, 2009).

2.3.3 Penghilangan Gugus Asetil
Kandungan gugus asetil pada kitin secara teoris adalah sebesar 21,2 %. Deasetilasi
secara kimiawi dapat dilakukan dengan menggunakan basa kuat NaOH atau
KOH.Penggunaan KOH ini dapat memutuskan ikatan hidrogen yang kuat antara
rantai kitin. Pada proses deasetilasi degradasi oksidatif harus dicegah agar bobotbobot molekul kitosan yang di peroleh tinggi. Cara yang dapat ditempuh untuk
menghindari degradasi oktidatif ialah penapisan nitrogen, deareasi vakum atau
penambahan larutan basa sebelum reaksi. Waktu deasetilasi yang panjang dengan
suhu yang tinggi akan menyebabkan terjadinya penurunan rendemen dan bobot
molekul kitosan, viskositas dan kemampuan mekanik film kitosan (Sugita, dkk,
2009).

2.4 Sifat-sifat Kimia Kitin dan Kitosan
Kitin tidak larut air dan tahan terhadap hidrolisi menjadi komponen
sakaridanya.Kitin merupakan bahan yang tidak beracun dan mungkin mudah
terurai secara hayati. Bentuk fisiknya merupakan padatan amorf yang berwarna
putih dengan kalor spesifik 0,373 ± 0,03 kal/g/0 C. Sebagai biopolimer kristalin,
kitin terdapat dalam bentu k Kristal di alam α, β, d an γ. Ketig a bentu k k ristalin

Universitas Sumatera Utara

dapat dibedakan dengan menggunakan spektroskopi IR pada bilangan gelombang
3160 dan 3190 cm-1. Kitin hampir tidak larut dalam air, asam encer, dan basa,
tetapi larut dalam asam format, asam metanasulfonat, N,N-dimetilasetamida yang
mengandung 5 % litium klorida, heksafluoroisopropil alcohol, heksafluoroaseton
(Sugita P. dkk, 2009).

Tabel 2.1 spesifikasi kitin Niaga
Parameter
Ukuran partikel
Kadar air (%)
Kadar abu (%)
N-deasetilasi (%)
Kelarutan dalam :
Air
Asam encer
Pelarut organic
LiCl2 /dimetilasetamida
Enzim pemecah

Ciri
Serpihan sampai bubuk
≤ 10,0
≤ 2,0
≥ 15,5
Tidak larut
Tidak larut
Tidak larut
Sebagian larut
Lisozim dan kitinase

Sebagian besar polisakarida

yang terdapat secara alami seperti

selulosa,dekstran, pektin, asam alginat, agar bersifat netral atau asam di alam,
sedangkan kitosan termasuk polisakarida yang bersifat basa (Kumar, 2000). Sifat
kitosan lainnya yang unik yaitu dapat dibentuk berupa lapisan film (Caner, et al.,
1998) dan mencega peroksida lemak ( Raharjo, 2000).

2.5 Analisa Karakteristik Kitosan

Universitas Sumatera Utara

Karakteristik kitosan yang paling sering dianalisa adalah viskositas, derajat
deasetilasi, berat molekul, pH, residu protein, kadar air, kadar abu, kandungan
lemak, kadar logam berat warna dan lain-lain yang bersangkutan dengan tujuan
penggunaan (Sirait R. I, 2002). Menurut Robets (1992), standar mutu kitosan
maupun polimernya

belum ada, sehingga analisa kitosan ditunjukkan untuk

menentukan karakterisasi yang berhubungan dengan sumberbahan kitosan dan
tujuan pengguaannya.
Secara umum grade kitosan dikelompokkan atas pemanfaatannya dalam
berbagai bidang dan sumber bahan, seperti untuk farmasi dan kosmetika, untuk
bahan pangan

dan untuk aplikasi tekhnik lainnya. Kitosan yang hendak di

aplikasikannya di bidang farmasi dan medis memiliki kriteria khusus seperti tidak
adanya cemaran logam berat atau residu protein, sifat-sifat fisik, aktivitas biologi
tingkat kemurnian kimia dan mikrobiologi (Robets, 1992).

2.6 Kegunaan Kitin dan Kitosan
Manfaat kitosan dalam berbagai industri sangat banyak diantaranya dalam industri
farmasi, biokimia, bioteknologi, pengawetan, kosmetik, dan digunakan untuk
pengompleks ion logam berat yang terdapat dalam air permukaan dan limbah
industri.Kitosan merupakan suatu polimer yang bersifat polikationik.Kitosan
dengan struktur [β-(1-4)-2-amina -2-deoksi -Dglukosa] merupakan hasil dari
deasetilasi dari kitin (Apsari, 2010).
Dewasa ini aplikasi kitin dan kitosan sangat banyak dan meluas. Di bidang
industri, kitin, dan kitosan berperan sebagai koagulan polielektrolit pengolahan

Universitas Sumatera Utara

limbah cair pengikisan dan penyerapan ion logam, mokroorganisme, mikroalga,
pewarna residu pestisida, lemak, tannin, PCB (Poliklorinasi Bifenil), mineral dan
asam organik, media kromatograpi afinitas, gel dan pertukaran membran mudah
terurai, meningkatkan kualitas kertas pada produk tekstil.
Sementara dibagian pertanian dan pangan kitin dan kitosan digunakan
antara lain untuk pencampuran ransum pada ternak, antimikroba, antijamur, serat
bahan pangan dan pengemasan produk olahan pangan, pembawa zat adiktif
makanan, flavon gizi, pestisida, herbisida, virusida tanaman, dan deasedifikasi
buah-buahan, sayuran, dan penjernih sari buah. Fungsinya sebagai antimikroba
dan antijamur, juga ditetapkan dibidang kedokteran.
Selain itu, biopolimer tersebut juga berfungsi sebagai antikoagulan,
antitumor, anti virus, pembulu darah-kulit dan ginjal sintetik, bahan pembuat lensa
kontak, aditif komestik, penstabil liposom, bahan ortopedik, pembalut luka dan
benang bedah yang mudah diserap, serta mempertinggi daya kekebalan (Sugita P.
dkk. 2009).
Satu hal yang sangat melegakan adalah kitosan sama sekali tidak berefek
buruk. Saat ini, kitosan telah diproduksi secara industri di negara-negara maju
terutama Jepang dan Amerika Serikat dan mengalami peningkatan yang cukup
tajam. Kitosan ini merupakan bahan yang sumbernya melimpah dan dapat
diperbaharui, maka dalam situasi pengurangan sumber-sumber alam yang
berkelanjutan serta perkembangan bioteknologi yang demikian pesat menjadikan
pemanfaatan sumber daya alam alternatif seperti limbah kulit udang merupakan
hal yang sangat diperlukan (Mahatmanti. dkk, 2001).

Universitas Sumatera Utara

Selain itu, kitosan juga dapat digunakan dalam lingkungan dimana
lingkungan sangat berpotensi tercemar zat organik, anorganik, maupun logam
berat. Keberadaan zat-zat pencemar tersebut akan mengganggu ekosistem yang
ada, termasuk juga manusia. Oleh sebab itu, kelestarian lingkungan dari zat
pencemar harus dijaga dan terus mendapat perhatian dari masyarakat sekitar, yang
merupakan elemen dari lingkungan hidup itu sendiri. Salah-satu cara yang dapat
digunakan untuk mengurangi zat pencemar pada lingkungan ialah dengan
menggunakan kitosan sebagai absorben.
Kitosan lazimnya disintesis dari deasetilasi kitin yang berasal dari limbah
kulit udang atau kepiting.Oleh karena itu, penggunaan kitosan sejak awal telah
berperan berperan dalam mengurangi pencemaran lingkungan.Manfaat kitosan
dalam dalam bidang lingkungan adalah untuk menyerap logam berat maupun zat
warna yang banyak dihasilkan dari industri tekstil atau kertas.Logam berat
merupakan limbah yang sangat berbahaya.Hal tersebut di karenakan logam berat
dapat dapat menimbulkan toksisitas akut pada manusia maupun habitat yang ada
di lingkungan perairan (Sugita, dkk, 2009).

Universitas Sumatera Utara