Studi Karakterisasi Pembuatan Kitin Dan Kitosan Dari Cangkang Belangkas (Tachypleus Gigas) Untuk Penentuan Berat Molekul

(1)

STUDI KARAKTERISASI PEMBUATAN KITIN DAN KITOSAN

DARI CANGKANG BELANGKAS (TACHYPLEUS GIGAS)

UNTUK PENENTUAN BERAT MOLEKUL

SKRIPSI

HARRY NOVIARY

060802016

DEPARTEMEN KIMIA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2010


(2)

STUD KARAKTERISASI PEMBUATAN KITIN DAN KITOSAN DARI CANGKANG BELANGKAS (TACHYPLEUS GIGAS)

UNTUK PENENTUAN BERAT MOLEKUL

Diajukan untuk melengkapi tugas dan memenuhi syarat mencapai gelar Sarjana Sains

HARRY NOVIARY 060802016

DEPARTEMEN KIMIA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2010


(3)

PERSETUJUAN

Judul : STUDI KARAKTERISASI PEMBUATAN KITIN DAN

KITOSAN DARI CANGKANG BELANGKAS (Tachypleus

Gigas) UNTUK PENENTUAN BERAT MOLEKUL

Kategori : SKRIPSI

Nama : HARRY NOVIARY

Nim : 060802016

Program studi : SARJANA (S1) KIMIA

Departemen : KIMIA

Fakultas : MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

( FMIPA ) UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Disetujui di

Medan, Desember 2010

Komisi Pembimbing :

Pembimbing 2 Pembimbing 1

Prof.Dr. Zul Alfian,M.Sc Prof.Dr.Harry Agusnar,M.Sc,M.Phil

NIP.195504051983031002 NIP.19530817983031002

Diketahui/Disetujui oleh

Departemen Kimia FMIPA USU Ketua,

DR. Rumondang Bulan Nst. MS NIP. 19540830195032001


(4)

PERNYATAAN

STUDI KARAKTERISASI PEMBUATAN KITIN DAN KITOSAN DARI CANGKANGBELANGKAS (Tachypleus Gigas)

UNTUK PENENTUAN BERAT MOLEKUL

SKRIPSI

Saya mengakui bahwa skripsi ini adalah hasil kerja saya sendiri, kecuali beberapa kutipan dan ringkasan yang masing-masing disebutkan sumbernya.

Medan, Desember 2010

HARRY NOVIARY 060802016


(5)

PENGHARGAAN

Alhamdulillah, segala puji dan syukur yang teramat besar saya persembahkan kepada Allah SWT yang dengan curahan rahmat serta cinta-Nya saya dapat menyelesaikan skripsi ini sebagai salah satu persyaratan untuk meraih gelar Sarjana Kimia pada Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sumatera Utara. Serta shalawat dan salam saya sampaikan pada Rasulullah, Muhammad SAW, sebagai tauladan umat.

Selanjutnya saya menyampaikan penghargaan dan cinta kasih yang terdalam dan tulus kepada Ayahanda tercinta Agus Sulasno, S.Pd dan Ibunda tersayang Masamah atas segala doa dan pengorbanan yang telah diberikan kepada saya. Serta tak lupa pula terima kasih untuk adinda Tisna Harmawan, Try Hariyani, Robby Mahfudz, dan Wahyu Poncowati. Serta seluruh keluarga yang telah memberikan banyak dukungannya.

Dengan segala kerendahan hati, saya mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Prof.Dr.Harry Agusnar, M.Sc, M.Phill selaku dosen pembimbing 1 dan Prof.Dr.Zul

Alfian, M.Sc selaku dosen pembimbing 2 yang telah banyak memberikan pengarahan dan bimbingan hingga terselesaikannya skripsi ini.

2. Dr.Rumondang Bulan Nst, M.S dan Drs.Firman Sebayang, M.S selaku Ketua dan

Sekretaris Departemen Kimia FMIPA USU, serta seluruh staff pegawai Departemen Kimia.

3. Dr. Mimpin Ginting, M.S selaku dosen wali saya yang telah banyak memberi

masukan selama saya mencari ilmu di FMIPA USU.

4. Bapak dan Ibu dosen yang telah memberikan ilmunya selama masa studi saya di

FMIPA USU.

5. Sahabat-sahabat saya Dewi, Mardiana, Ai dan Tiwi, terima kasih atas dukungan dan motivasinya selama ini.

6. Teman-teman Kimia Stambuk 2006, Afrima, Uni, Widia, Eko, Nora, Febri, Nurfitri, Nelvi, Agung, Egy, Sevia, Nia, Meniq, Felly, Aspriadi, Mutiara, Surnog, dan teman-teman yang lain yang tidak dapat dituliskan namanya satu persatu.

7. Teman-teman kos Cayo, Ummi, Arni, Wika, Noniq, Nani, dan Desy. Terima kasih

atas inspirasi, motivasi dan kerjasamanya selama ini.

8. Serta segala pihak yang telah membantu saya menyelesaikan skripsi ini. Untuk itu semua, semoga Allah membalasnya dengan segala yang terbaik. Amin.

Saya menyadari bahwa skripsi ini masih banyak kekurangan, karena keterbatasan pengetahuan saya. Oleh karena itu saya mengharapkan saran dan masukan yang membangun demi kesempurnaan skripsi ini, dan semoga skripsi ini bermanfaat bagi kita semua.


(6)

Medan, Januari 2011


(7)

ABSTRAK

Telah dilakukan penelitian mengenai studi karakterisasi pembuatan serta modifikasi kitin dan kitosan dari cangkang belangkas (Tachypleus Gigas) untuk penentuan berat molekul. Untuk memperoleh kitin dilakukan modifikasi tahapan kerja yang menghasilkan kitin belangkas I dan kitin belangkas II. Pada kitin belangkas I digunakan untuk menghasilkan kitosan belangkas I, begitu pula pada kitin belangkas II digunakan untuk menghasilkan kitosan belangkas II. Karakterisasi dari kitin dan kitosan meliputi penentuan kadar air, kadar abu, total Nitrogen, kadar protein, analisis unsur, derajat deasetilasi, serta spektroskopi FT-IR dan berat molekul. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kitin dan kitosan yang diperoleh memiliki derajat deasetilasi sebesar 82,9%untuk kitin belangkas I dan II, 86,2% untuk kitosan belangkas I dan 83,5% untuk kitosan belangkas II. Spektra FT-IR kitosan menunjukkan bahwa terdapat peningkatan persentase transmitan dari gugus C=O yang menunjukkan semakin berkurangnya kuantitas gugus C=O. Kitin dan kitosan yang dihasilkan dari penelitian ini telah mempunyai berat molekul 1311000 g/mol untuk kitin belangkas I, 1474000 g/mol untuk kitin belangkas II, 1083000 g/mol untuk kitosan belangkas I dan 1048000 g/mol untuk kitosan belangkas II.


(8)

THE CHARACTERIZATION STUDY OF CHITIN AND CHITOSAN MANUFACTURE FROM KING CRAB SHELLS (Tachypleus Gigas)

FOR THE DETERMINATION OF MOLECULAR WEIGHT

ABSTRACT

Research of the characterization study of the manufacture and modification of chitin and chitosan from crab shells (tachipleus gigas) for molecular weight determination. Chitin is modified to obtain phases that produce chitin crab I and II. Cshitin crab I used to produce chitosan crab I, so did the king crab chitin II is used to produce chitosan crab II. Characterization of chitin and chitosan involves determining the water content, ash content, total nitrogen, protein content, elemental analysis, the degree of deacetylation, as well as FT-IR spectroscopy and molecular weight. The results showed that chitin and chitosan obtained a degree of deacetylation of 82.9% for chitin crab I and II, 86.2% for chitosan crab I and 83.5% for chitosan crab II. FT-IR spectra of chitosan shows that there is an increasing percentage of transmittance from the group C = O which shows the reduction in the quantity of group C = O. Chitin and chitosan produced from this research have been having a molecular weight of 1311000 g / mol for chitin crab I, 1474000 g / mol for chitin crab II, 1083000 g / mol for chitosan crab I and 1048000 g / mol for chitosan crab II.


(9)

DAFTAR ISI

Halaman

Persetujuan ii

Pernyataan iii

Penghargaan iv

Abstrak v

Abstract vi

Daftar Isi vii

Daftar Tabel ix

Daftar Gambar x

Bab 1 Pendahuluan 1

1.1 Latar Belakang 1

1.2 Permasalahan 2

1.3 Pembatasan Masalah 2

1.4 Tujuan Penelitian 3

1.5 Manfaat Penelitian 3

1.6 Metodologi Penelitian 3

1.7 Lokasi Penelitian 4

Bab 2 Tinjauan Pustaka 5

2.1 Kitin dan Kitosan 5

2.1.1 Kitin pada Belangkas 6

2.1.2 Pengolahan Kitin dan Kitosan 7

2.1.2.1 Deproteinisasi 8

2.1.2.2 Demineralisasi 9

2.1.2.3 Deasetilasi 10

2.1.3 Sifat-sifat Kimia Kitin dan Kitosan 10

2.2 Analisa Karakteristik Kitosan 11

2.2.1 Berat Molekul 12

2.2.2 Dearajat Deasetilasi 13

2.3 Spektroskopi IR dan FTIR 13

Bab 3 Metodologi Penelitian 18

3.1 Alat-alat 18

3.2 Bahan-bahan 18

3.3 Prosedur Penelitian 19

3.2.1 Pembuatan Larutan Pereaksi 19

3.2.2 Pembuatan Larutan Kitin 19


(10)

3.2.4 Proses Ekstraksi Kitin 20

3.2.5 Proses Deasetilasi Kitin menjadi Kitosan 20

3.2.6 Penentuan Kadar Air 21

3.2.7 Penentuan Kadar Abu 21

3.2.8 Penentuan Kadar Protein 22

3.3.9 Analisis Unsur C, H, dan N 22

3.2.10 Penentuan Berat Molekul 22

3.3 Bagan penelitian 23

3.3.1 Proses Ekstraksi Kitin 23

3.3.2 Proses Deasetilasi Kitin menjadi Kitosan 24

3.3.3 Penentuan Berat Molekul 24

Bab 4 Hasil dan Pembahasan 25

4.1 Hasil penelitian 25

4.2 Pembahasan 26

4.2.1 Kitin 26

4.2.2 Kitosan 28

4.2.2.1 Penentuan Derajat Deasetilasi Kitosan 30

4.2.2.2 Berat Molekul Kitosan 34

Bab 5 Kesimpulan dan Saran 36

5.1 Kesimpulan 36

5.2 Saran 36

Daftar Pustaka 37


(11)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1. Kondisi Perlakuan dengan NaOH pada Proses Deproteinisasi 8

Tabel 2. Kondisi Perlakuan dengan HCl pada Proses Demineralisasi 10

Tabel 3. Kitin dan Kitosan yang dihasilkan dari Cangkang Belangkas 26

Tabel 4. Karakteristik Kitin Belangkas 27

Tabel 5. Uji Kelarutan Kitin dalam Asam Formiat (CH2O2) 27

Tabel 6. Analisis Unsur C, H, dan N pada Kitin 28

Tabel 7. Karakteristik Kitosan Belangkas 28

Tabel 8. Uji Kelarutan Kitosan dalam Asam Asetat (CH3COOH) 29

Tabel 9. Analisis Unsur C, H, dan N pada Kitosan 30

Tabel 10. Perbandingan spektra FT-IR kitin dan kitosan dengan standarnya 33


(12)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1. Rumus bangun kitin, kitosan, dan selulosa 5

Gambar 2. Spektra FT-IR kitin belangkas I 51

Gambar 3. Spektra FT-IR kitin belangkas II 52

Gambar 4. Spektra FT-IR kitosan belangkas I 53


(13)

ABSTRAK

Telah dilakukan penelitian mengenai studi karakterisasi pembuatan serta modifikasi kitin dan kitosan dari cangkang belangkas (Tachypleus Gigas) untuk penentuan berat molekul. Untuk memperoleh kitin dilakukan modifikasi tahapan kerja yang menghasilkan kitin belangkas I dan kitin belangkas II. Pada kitin belangkas I digunakan untuk menghasilkan kitosan belangkas I, begitu pula pada kitin belangkas II digunakan untuk menghasilkan kitosan belangkas II. Karakterisasi dari kitin dan kitosan meliputi penentuan kadar air, kadar abu, total Nitrogen, kadar protein, analisis unsur, derajat deasetilasi, serta spektroskopi FT-IR dan berat molekul. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kitin dan kitosan yang diperoleh memiliki derajat deasetilasi sebesar 82,9%untuk kitin belangkas I dan II, 86,2% untuk kitosan belangkas I dan 83,5% untuk kitosan belangkas II. Spektra FT-IR kitosan menunjukkan bahwa terdapat peningkatan persentase transmitan dari gugus C=O yang menunjukkan semakin berkurangnya kuantitas gugus C=O. Kitin dan kitosan yang dihasilkan dari penelitian ini telah mempunyai berat molekul 1311000 g/mol untuk kitin belangkas I, 1474000 g/mol untuk kitin belangkas II, 1083000 g/mol untuk kitosan belangkas I dan 1048000 g/mol untuk kitosan belangkas II.


(14)

THE CHARACTERIZATION STUDY OF CHITIN AND CHITOSAN MANUFACTURE FROM KING CRAB SHELLS (Tachypleus Gigas)

FOR THE DETERMINATION OF MOLECULAR WEIGHT

ABSTRACT

Research of the characterization study of the manufacture and modification of chitin and chitosan from crab shells (tachipleus gigas) for molecular weight determination. Chitin is modified to obtain phases that produce chitin crab I and II. Cshitin crab I used to produce chitosan crab I, so did the king crab chitin II is used to produce chitosan crab II. Characterization of chitin and chitosan involves determining the water content, ash content, total nitrogen, protein content, elemental analysis, the degree of deacetylation, as well as FT-IR spectroscopy and molecular weight. The results showed that chitin and chitosan obtained a degree of deacetylation of 82.9% for chitin crab I and II, 86.2% for chitosan crab I and 83.5% for chitosan crab II. FT-IR spectra of chitosan shows that there is an increasing percentage of transmittance from the group C = O which shows the reduction in the quantity of group C = O. Chitin and chitosan produced from this research have been having a molecular weight of 1311000 g / mol for chitin crab I, 1474000 g / mol for chitin crab II, 1083000 g / mol for chitosan crab I and 1048000 g / mol for chitosan crab II.


(15)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Kitin banyak didapati pada kulit-kulit luar arthropoda, krustacea, moluska, annelida, dan serangga seperti udang, kepiting, cumi-cumi/sotong, belangkas (mimi/mintuna), kecoa, jangkrik, dan ulat sutera. Kitin juga terdapat pada tumbuhan peringkat rendah sepert yeast dan jamur terutama pada bagian miselium dan sporanya (Muzzarelli, 1977).

Metode penyediaan kitin telah banyak dilaporkan dalam literatur seperti Hackman (1954) menggunakan HCl 2M untuk menghilangkan zat kapur, kemudian menggunakan

NaOH 2M pada suhu 100oC. Begitu pula Foster dan Hackman (1957), menggunakan larutan

EDTA pada pH 3 dapat menghilangkan protein dan kalsium karbonat. Arisol A. (1995) telah melakukan penelitian pembuatan kitin dari kulit udang dengan menggunakan NaOH 1N selama 24 jam dan menggunakan HCl 1N selama 24 jam untuk menghasilkan kitin. Menurut Robert (1992) kitin dapat dilarutkan dengan asam formiat.

Kitosan adalah turunan utama kitin yang dihasilkan dari proses deasetilasi. Penyediaan kitosan telah banyak dilakukan dan yang pertama dilakukan oleh Hope Seyler

(1894) dengan merefluks kitin dalam larutan KOH pada suhu 180oC. Wolfrom pada tahun

1958 telah merefluks kitin dengan 40% selama 6 jam dengan suhu 115oC sambil

mengalirkan gas nitrogen. Kitin dari kulit udang dengan menambah larutan NaOH 50% selama 6 hari, akan dihasilkan kitosan yang dicuci bersih-bersih dengan air demikian penelitian yang dilakukan Arisol A. (1995).


(16)

Berat molekul kitosan dihasilkan dari sumber kitin dan didapati berat molekul yang diperoleh berdasarkan bahan bakunya (Muzzarelli, 1977). Untuk penentuan berat molekul dapat dilakukan dengan light scattering, X-Ray juga berdasarkan viskositas kitosan (Robert, 1992). Tokura (1994) telah melakukan penentuan berat molekul dengan menggunakan viskositas dengan menggunakan persamaan Sakurada Howink. Menurut Protan (1987), berdasarkan viskositas kitosan terdiri dari berat molekul rendah, berat mlekul sedang, dan berat molekul tinggi.

Berdasarkan latar belakang diatas, peneliti ingin meneliti tentang karakterisasi dan modifikasi pembuatan kitin dan kitosan dari cangkang belangkas (Tachypleus gigas) untuk penentuan berat molekul.

1.2Permasalahan

Bagaimanakah karakterisasi kitin dan kitosan dari cangkang belangkas melalui proses deproteinisasi, demineralisasi, dan deasetilasi?

1.3Pembatasan Masalah

Penelitian ini dibatasi pada pembuatan kitosan dari kitin cangkang belangkas. Kitosan dikarakterisasi dengan menentukan kadar air, kadar abu, kadar Nitrogen, derajat deasetilasi, dan berat molekul. Spektroskopi FTIR juga dilakukan untuk melihat gugus fungsi dan perubahan bilangan gelombang dan intensitas yang terdapat pada kitosan.

1.4Tujuan

Tujuan dari penelitian ini antara lain adalah sebagai berikut: 1 Mengisolasi kitin dari cangkang belangkas

2 Mengolah kitin menjadi kitosan

3 Mempelajari karakteristik dari kitin dan kitosan 4 Menentukan berat molekul kitin dan kitosan


(17)

1.5Manfaat Penelitian

Diharapkan penelitian ini dapat memberikan informasi hasil ekstraksi kitin dan kitosan dari cangkang belangkas.

1.6Metodologi Penelitian

Penelitian ini merupakan eksperimen laboratorium (Riserch Laboratory) dengan mengkarakterisasi pembuatan kitosan dari cangkang belangkas. Secara umum proses pembuatan kitosan meliputi tiga tahap, yaitu deproteinisasi, demineralisasi, dan deasetilasi. Kitin dilarutkan dalam asam formiat 98-100% dan dibuat dalam variasi konsentrasi 0,1%; 0,2%; dan 0,3% dan kitosan dilarutkan dalam asam asetat 1% dan dibuat dalam variasi konsentrasi yang sama dengan larutan kitin. Larutan kitin dan kitosan ini kemudian digunakan untuk penentuan berat molekul melalui metode viskosimeter Oswald dan dikarakterisasi dengan spektroskopi FTIR.

1.7Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Penelitian Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA) Universitas Sumatera Utara. Gugus fungsi dari kitin dan kitosan ditentukan dengan metode spektoskopi inframerah di UGM. Penentuan kadar protein dengan metode semimikro kjeldhal di Balai Riset Standarisasi Industri Medan.


(18)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kitin dan Kitosan

Kitin adalah polisakarida alami seperti selulosa, dekstran, alginat, dan sebagainya yang dapat terdegradasi secara alami dan non-toksik. Kitin merupakan polisakarida rantai linier dengan rumus β (1-4)-2-asetamido-2-deoksi-D-glucopyranosa, sedangkan kitosan adalah deasetilasi

kitin. Kitin ditemukan pada fungi dan arthropoda, merupakan komponen utama penyusun eksoskeleton (Merck Index, 1976).

Rumus bangun kitin, kitosan, dan selulosa dapat dilihat pada gambar 1. dari struktur kitin terlihat bahwa kitin murni mengandung gugus asetamido (NH-COCH3), kitosan murni

mengandung gugus amino (NH2) sedangkan selulosa mengandung gugus hidroksida (OH).

Perbedaan gugus ini akan mempengaruhi sifat-sifat kimia kitin, kitosan, dan selulosa. Sebenarnya kitin dan kitosan yang diproduksi secara komersial memiliki kedua gugus asetamido dan gugus amino pada rantai polimernya, dengan beragam komposis gugus tersebut (Roberts, 1992).

O O O

HO OHO O O

Kitin

OH OH

OH

NH C=O CH3 NH

C=O CH3 NH

C=O CH3


(19)

O O O

HO OHO O O

Kitosan

O O O

HO OHO O O

Selulosa

2.1.1 Kitin pada belangkas

Kitin banyak ditemukan pada arthropoda yaitu krustacea (kerangka luar udang, kepiting, lobster, belangkas), insekta, arachnida, dan sebagainya. Belangkas termasuk ordo Xiphosura, terdiri dari hanya empat spesies yang masih tersisa yaitu Limulus polyphemus, Tachypleus

gigas, T. tridentatus, dan Carcinoscorpius rotundicauda (Qin, 2002). Belangkas memiliki

panjang hingga 60cm, berekor, sekali bertelur sekitar 20.000 yang diletakkan betina dalam lubang-lubang pasir yang digalinya di pantai.

Pada cangkang belangkas (berbeda dengan kepiting dan krustacea lainnya) tidak memiliki komponen kalsium pada bahan kitin. Penelitian tentang kitin belangkas dilakukan oleh Rutherford dan Dunson (1984) mengenai permeabilitas film kitin yang diisolasi dari cangkang belangkas Limulus, sedangkan kitin dan kitosan dari Tachypleus gigas tampaknya belum ada diteliti.

OH OH

OH

NH2 NH2

NH2

OH OH

OH

OH OH


(20)

2.1.2 Pengolahan kitin dan kitosan

Kitin secara komersial umumnya diekstraksi dari kulit udang, cangkang kepiting yang diperoleh dari limbah industri pengolahan. Proses ekstraksi kitin dari kulit udang dan cangkang kepiting secara kimia merupakan proses yang relatif sederhana. Ada beberapa metode dasar ekstraksi kitin yang banyak dikembangkan dalam berbagai penelitian, seperti

metode Hackman; Whistler dan BeMiller; Horowitz, Roseman, dan Blumenthal; Foster dan Huckman; Takeda dan Katsuura; Broussignac. Sedangkan metode dasar deasitelasi kitin

menjadi kitosan antara lain Metode Horowitz; Horton dan Lineback; Rigby; Wolform dan

Shen-Han; Maher; Fujita; Peniston dan Johnson (Muzzarelli,1977). Alternatif lainnya untuk

menggantikan proses ekstraksi kitin-kitosan cara asam-basa yaitu proses fermentasi dengan menggunakan mikroorganisme bakteri proteolitik dan bakteri asam laktat (Peberdy,1999).

Kitin yang terdapat pada kulit atau cangkang ini masih terikat dengan protein, CaCO3,

pigmen, dan lemak. Berbagai teknik dilakukan untuk memisahkannya, tetapi pada umumnya melalui tiga tahapan yaitu demineralisasi dengan HCl encer, deproteinisasi dengan NaOH encer (setelah tahap ini diperoleh kitin) dan selanjutnya deasetilasi kitin menggunakan NaOH pekat (Brine, 1984 dan Shahidi et al., 1999).

Beberapa penelitian menggunakan proses deproteinisasi dan demineralisasi yang berbeda, ada yang demineralisasi dulu kemudian deproteinisasi atau sebaliknya. Pilihan-pilihan pengolahan tergantung dari tujuan penggunaan kitosan.


(21)

2.1.2.1Deproteinisasi

Proses deproteinisasi menggunakan berbagai pereaksi seperti Na2CO3, NaHCO3, KOH,

Na2SO4, Na2S, Na3PO4, dan NaOH yang lebih banyak digunakan. Perlakuan dengan larutan

NaOH bervariasi antara 0,25N hingga 2,5N, dengan berbagai variasi suhu dan lama perendaman seperti pada Tabel 1 (Roberts, 1992).

Tabel 1. Kondisi Perlakuan dengan NaOH pada Proses Deproteinisasi*

Sunber Konsentrasi

NaOH (N)

Suhu (oC)

Lama Reaksi (Jam)

Udang 0,125

0,25 0,75 1,25 100 65 100 100 0,5 1 - 0,5

Kepiting 0,5

1,0 1,0 1,0 1,25 1,25 65 80 100 100 85-90 100 2 3 36 72 1,5-2,25 24

Lobster 2,5

1,0 1,25 2,5 Suhu kamar 100 80-85 100 72 60 1 2,5 * Roberts (1992)

Penggunaan enzim untuk memisahkan protein juga dilakukan dalam beberapa penelitian, diantaranya dengan pepsin, tripsin, enzim proteolitik seperti tuna proteinase dan papain, setelah didemineralisasi sebelumnya dengan suatu zat. Perlakuan dengan enzim ini masih menyisakan protein sekitar 5% yang memerlikan proses lanjutan (Roberts, 1992).


(22)

2.1.2.2Demineralisasi

Proses demineralisasi menggunakan berbagai pereaksi asam seperti HCl, HNO3, H2SO4,

CH3COOH, dan HCOOH, umumnya menggunakan HCl dengan konsentrasi 0,275-1 N,

dengan kisaran suhu perendaman -20oC sampai dengan 22oC (Tabel 2). Perendaman pada

suhu kamar lebih banyak dilakukan untuk meminimalkan hidrolisis pada rantai polimer (Roberts, 1992). Proses demineralisasi bertujuan untuk memisahkan kitin dari CaCO3.

Khusus pada belangkas spesies Limulus, berdasarka penelitian Rutherford dan Dunson (1984), proses demineralisasi tidak dilakukan karena kitin yang terdapat pada cangkang tidak terikat dengan senyawa kalsium. Kenyataan ini mengakibatkan proses ekstraksi kitin dari cangkang belangkas menjadi lebih singkat, hanya memerlukan proses deproteinisasi.

Tabel 2. Kondisi Perlakuan dengan HCl pada Proses Demineralisasi*

Sumber Konsentrasi HCl

(N)

Suhu (oC)

Lama Reaksi (Jam)

Udang 0,275

0,5 1,25 1,57 Sk Sk Sk 20-22 16 - 1 1-3

Kepiting 0,65

1,0 1,0 1,57 2,0 11,0 Sk Sk Sk Sk Sk -20 24 12 - 5 48 4

Lobster 1,57

2,0 2,0 Sk Sk Sk 11-14 5 48 * Roberts (1992) Sk : suhu kamar


(23)

2.1.2.3Deasetilasi

Kitin yang diperoleh dari proses deproteinisasi dan demineralisasi tidak dapat larut dalam sebagian besar pereaksi kimia. Untuk memudahkan kelarutannya, maka kitin dideasetilasi dengan pelarut alkali menjadi kitosan. Setelah melalui proses deasetilasi maka daya adsorbsi kitin akan meningkat dengan bertanbahnya gugus amino (NH2) yang terdapat didalamnya.

Perubahan kitin menjadi kitosan dapat dilakukan secara enzimatis atau kimiawi (Muzzarelli, 1977).

Proses deasetilasi kimiawi dilakukan untuk menghilangkan gugus asetilkitin melalui perebusan dalam larutan alkali konsentrasi tinggi. Hwang dan Shin (2000) menggunakan

larutan NaOH 40% dalam proses deasetilasi kitin, pada suhu 70oC selama 6 jam yang

menghasilkan kitosan dengan derajat deasetilasi 92%. Derajat deasetilasi kitosan tergantung dari konsentrasi alkali yang digunakan, lama reaksi, ukuran partikel kitin, dan berat jenis.

Makin tinggi konsentrasi alkali yang digunakan, makin rendah suhu atau makin singkat waktu yang diperlukan dalam proses ini. Rigby dan Dupont dalam Roberts (1992) membuat beberapa variasi deasetilasi seperti 5% NaOH, 150oC, 24 jam; 40% NaOH, 100oC, 1 jam.

2.1.3 Sifat-sifat Kimia Kitin dan Kitosan

Sebagian besar polisakarida yang terdapat secara alami seperti selulosa, dekstran, pektin, asam alginat, agar, karagenan bersifat netral atau asam dialam, sedangkan kitosan termasuk polisakarida yang bersifat basa (Kumar, 2000). Sifat kitosan lainnya yang unik yaitu dapat dibentuk berupa lapisan tipis seperti film (Caner, et al., 1998), mencegah peroksidasi lemak (Raharjo, 2000), dapat mengkelat ion-ion logam dan sebagainya.

Kitin adalah polisakarida linier dengan rumus β (1,4) -2-asetamido-2-deoksi-D-glucopyranosa, sedangkan kitosan β (1,4)-2-amino-2-deoksi-D-glucopyranose. Dalam hal


(24)

kelarutan, kitin berbeda dengan selulosa karena kitin merupakan senyawa yang stabil terhadap pereaksi kimia. Kitin bersifat hidrofobik, tidak dapat larut dalam air, alkohol dan hampir semua pelarut-pelarut organik. Kitin dapat larut dalam asam klorida, asam sulfat, dan asam posfat pekat (Merck Index, 1976); dalam larutan Dimetilasetamida-LiCl dan asam formiat 98-100% (Roberts, 1992). Hidrolisis kitin dengan asam pada kondisi tertentu, (Chang, 1992), menghasilkan olygosakarida yang terdiri dari N-asetil-chito-olygosakarida.

Kitosan dengan bentuk amino bebas tidak selalu larut dalam air pada pH lebih dari 6.5, sehingga memerlukan asam untuk melarutkannya (Sandford dan Hutchinhs, 1987). Kitosan larut dalam asam asetat dan asam formiat encer. Adanya 2 gugus hidroksil pada kitin, sedangkan kitosan dengan 1 gugus amino dan 2 gugus hidroksil merupakan target dalam melakukan modifikasi kimiawi (Hirano, et al., 1987). Modifikasi kitosan dengan berbagai teknik (cross-linked, acylasi) telah diteliti kurita (1987) untuk mengembangkan efesiensinya sebagai adsorben kation-kation logam.

Sifat kation kitosan adalah linier polielektrolit, bermuatan positif, flokulan yang sangat baik, pengkelat ion-ion logam. Sifat biologi kitosan adalah non-toksik, biodegradable, polimer alami; sedangkan sifat kimia seperti linier poliamin, gugus amino, dan gugus hidroksil yang aktif. Aplikasi kitosan dalam berbagai bidang tergantung sifat-sifat kationik, biologi, dan kimianya (Sandford dan Hutchings, 1987)

2.2 Analisa Karakteristik Kitosan

Karakteristik kitosan yang paling sering dianalisa adalah viskositas, derajat deasetilasi, berat molekul, pH, residu protein, kadar air, kadar abu, kandungan lemak. Kadar logam berat, warna dan lain-lain yang bersangkutan dengan tujuan penggunaan. Menurut Roberts (1992), standar mutu kitosan maupun polimernya belum ada, sehingga analisa kitosan ditujukan untuk menentukan karakterisasi yang berhubungan dengan sumber bahan kitosan dan tujuan penggunaannya.

Secara umum grade kitosan dikelompokkan atas pemanfaatannya pada berbagai bidang dan sumber bahan, seperti untuk farmasi dan kosmetika, untuk bahan pangan dan untuk aplikasi teknis lainnya. Kitosan yang hndak diaplikasikan dibidang farmasi dan medis


(25)

memiliki kreteria khusus, seperti tidak adanya cemaran logam berat atau residu protein, sifat-sifat fisik, aktivitas biologi, tingkat kemurnian kimia dan mikrobiologi (Roberts, 1992)

2.2.1 Berat Molekul

Berat molekul merupakan salah satu parameter yang dapat membedakan kitin dan kitosan dengan adanya pengurangan berat molekul pada kitosan akibat proses deasetilasi yang menghilangkan gugus asetil pada kitin.

Metode yang paling sederhana untuk menentukan berat molekul dari kitin dan kitosan yaitu dengan viskometri (Kumar, 2000). Pada metoda ini berat molekul polimer ditentukan dengan persamaan Mark-Houwink, yaitu:

Dimana K dan α merupakan tetapan yang khas untuk sistem polimer-pelarut tertentu

(Sopyan, 2001). Harga viskositas intrinsik atau [η] diperoleh dari nilai viskositas spesifik (ηsp) pada konsentrasi mendekati nol.

Viskositas spesifik (ηsp) dapat ditentukan dengan mengetahui waktu alir larutan dan

pelarut pada alat viskometer.

Dimana t adalah waktu alir larutan dan to adalah waktu alir pelarut ( Firman, 1991)

2.2.2Derajat Deasetilasi

Derajat deasetilasi kitosan dapat diukur dengan berbagai metode dan yang paling lazim digunakan adalah metode garis dasar spektroskopi IR transformasi Fourier (FTIR) yang pertama kali diajukan oleh Moore dan Robert pada tahun 1977. Teknik ini memberikan beberapa keuntungan, yaitu relatif cepat, contoh tidak perlu murni, dan tingkat ketelitian

[η] = K.Mα………...…(1)

ηsp/C = [η] + KI[η]2 C ………(Persamaan Huggins)

ηsp/C = [η] + KI[η]2 C ………….. (Persamaan Kreamer)

ηsp = ………(2)

t to


(26)

tinggi dengan kisaran derajat deasetilasi contoh yang luas, dibandingkan dengan teknik titrimetri dan metode spektroskopi lainnya (Purwantiningsih, dkk., 2009). Dimana derajat deasetilasi menunjukkan persentase perbandingan serapan gugus N-H dengan gugus C=O dari amida. Perbandingan tersebut dapat menunjukkan perubahan kuantitas gugus C=O dari amida. Proses deasetilasi pada kitosan mengakibatkan berkurangnya kuantitas gugus C=O dari amida sehingga adsorbansi gugus C=O dari amida juga akan mengalami penurunan. Berdasarkan Proton Laboratories Inc. (Nuraida, 2000) yang menyatakan bahwa kitosan memiliki derajat deasetilasi ≥ 70%, sedangkan kitin memiliki deraja t deasetilasi <70%. Dengan mengetahui derajat deasetilasi maka polimer kitin dan kitosan dapat dibedakan.

2.3 Spektroskopi IR dan FTIR

Spektroskopi adalah ilmu yang mempelajari segala sesuatu tentang interaksi antara materi dengan radiasi elektromagnetik (REM). Interaksi yang terjadi dalam spektroskopi inframerah ini merupakan interaksi dengan REM melalui absorbansi radiasi. Pancaran inframerah pada umumnya mengacu pada bagian spektrum elektromagnetik yang terletak diantara daerah tampak dan gelombang mikro. Molekul menyerap radiasi elektromagnetik dengan panjang gelombang yang khusus. Absorbansi cahaya ultraviolet mengakibatkan pindahnya sebuah elektron ke orbital dengan energi yang lebih tinggi. Radiasi inframerah tidak cukup mengandung energi untuk melakukan eksitasi tersebut, absorbsinya hanya mengakibatkan membesarnya amflitudo getaran atom-atom yang terikat satu sama lain. (Sudarmadji, 1989).

Serapan di daerah inframerah menyebabkan terjadinya vibrasi ikatan dalam molekul. Inti dari atom-atom terikat dalam ikatan kovalen. Jika menyerap sinar inframerah akan mengalami vibrasi atau getaran, yang gerakkannya menyerupai dua bola pegas, sehingga akan mengakibatkan perubahan momen dwikutub. Panjang gelombang yang diserap oleh berbagai tipe ikatan tergantung pada jenis vibrasi ikatan tersebut. Oleh karena itu berbagai jenis ikatan mengabsorbsi radiasi inframerah pada panjang gelombang yang berbeda (Sastrohamidjojo, 1992).

Jumlah energi yang diserap juga bervariasi untuk setiap ikatan. Hal ini disebabkan karena terjadinya perubahan momen ikatan sewaktu absorbsi. Ikatan nonpolar (H atau


(27)

C-C) pada umumnya memberikan absorbsi lemah, sedangkan ikatan polar (C-O) akan terlihat sebagai absorbsi yang kuat.

Spektroskopi FTIR dapat digunakan untuk menganalisa kualitatif maupun kuantitatif. Analisa kualitatif spektroskopi FTIR secara umum dipergunakan untuk identifikasi gugus-gugus fungsional yang terdapat dalam suatu senyawa yang dianalisa. Beberapa daerah penting pada spektrum inframerah dari senyawa kitin dan kitosan berdasarkan gugus-gugus yang ada diberikan pada tabel berikut ini (Silverstein, 1986).

Ikatan yang menyebabkan absorbs Bilangan gelombang (cm-1)

Alkana

C-H dari metil (-CH3)

C-H dari metilen

Alkohol

O-H dari alkohol primer (-CH2OH)

C-O dari alkohol primer (-CH2OH)

O-H dari alkohol sekunder (-CHOH) C-O dari alkohol sekunder (-CHOH)

Amida

N-H dari amida sekunder (-CONH-) C-O dari amida sekunder (-CONH-)

Amina

N-H dari amina sekunder (R-NH2)

C-O dari amina primer

Eter

C-O dari eter jenuh asiklik C-H dari eter jenuh asiklik C-O dari eter siklik

2975-2950s 2940-1915

3645-3200 1080-1010k 3635-3200 1120-1030

3430-3140s 1700-1630

3500-3400s 1340-1250

1150-1080k 2830-2815 1140-1070k Keterangan: k = kuat dan s = sedang


(28)

Spektroskopi FTIR (fourier transform infrared) pada prinsipnya sama dengan spektroskopi inframerah, hanya saja spektroskopi FTIR ditambahkan alat optik (fourier transform) untuk menghasilkan spektra yang lebih baik, sehingga spektroskopi FTIR dapat menghasilkan data dimana dengan spektroskopi inframerah puncak yang diinginkan tidak muncul.

Analisa kuantitatif dari spektroskopi FTIR dapat dilakukan berdasarkan spektra inframerah yang dihasilkan, salah satu contohnya adalah penentuan derajat deasetilasi dari kitin dab kitosan menggunakan persamaan Domszy dan Robers (Khan, 2002).

%D = 100 – [(A1665/ A3450) x 100/1,33]

Dimana:

A1665 = absorbansi pada bilangan gelombang 1665 cm-1

A3450 = absorbansi pada bilangan gelombang 3450 cm-1

1,33 = tetapan yang diperoleh dari perbandingan A1665/A3450 untuk kitosan dengan

asetilasi penuh

Metode yang digunakan untuk menentukan absorbsi pada spektra inframerah adalah metode garis dasar (base line). Dengan metode ini , transmitan pada bilangan gelombang yang diinginkan ditentukan dengan memperbandingkan jarak antara dasar pita dan puncak pita pada bilangan gelombang yang diinginkan tersebut, yang secara matematis diberikan melalui persamaan berikut ini:

Karena absorbansi merupakan logaritma negatif dari transmitan, maka absorbansi dapat dinyatakan sebagai berikut:

I

Transmintan (T) = ……….. (3)

Io

I Io

A = - log = log ………..……(4)


(29)

Dengan I dan Io merupakan intensitas sisa dan intensitas awal.

Kebanyakkan spektrum inframerah merekam panjang gelombang atau frekuensi versus %T. tidak adanya serapan atau suatu senyawa pada suatu panjang gelombang tertentu direkam sebagai 100%T (dalam keadaan ideal). Bila suatu senyawa menyerap radiasi pada suatu panjang gelombang tertentu, intensitas radiasi yang diteruskan oleh contoh akan berkurang. Ini menyebabkan suatu penurunan %T dan terlihat didalam spektrum sebagai suatu sumur, yang disebut sebagai puncak absorpsi atau pita absorpsi. Bagian spektrum dimana %T menunjukkan angka 100 (atau hampir 100) disebut garis dasar (baase line), yang didalam spektrum inframerah direkam pada bagian atas (Fessenden,1992)


(30)

BAB 3

BAHAN DAN METODE PENELITIAN

3.1 alat-alat

– Timbangan Elektrik Chyo Electronic Balance

– Peralatan gelas Pyrex

– Hot plate stirrer Ikamag Rec-G

– Blender Philips

– Ayakan

– pH meter

– Furnance/tanur

– Oven

– Alat kjeldhal

– Spektra FTIR

3.2 Bahan-bahan

– Cangkang belangkas

– NaOH Teknis

– HCl Teknis

– CH3COOH glasial p.a (E,Merck)

– CH2O2 98-100% p.a (E.Merck)

– H2SO4(p)

– Selenium

– H3BO3 2%


(31)

3.3 Prosedur Penelitian

3.3.1 Pembuatan larutan pereaksi

a. Larutan NaOH 0,5%

Sebanyak 5 g NaOH dilarutkan dengan 1000 mL akuades dalam labu takar 1000 mL sampai garis tanda, kemudian dihomogenkan.

b. Larutan NaOH 5%

Sebanyak 50 g NaOH dilarutkan dengan 1000 mL akuades dalam labu takar 1000 mL sampai garis tanda, kemudian

c. Larutan NaOH 50%

Sebanyak 500 g NaOH dilarutkan dengan 1000 mL akuades dalam labu takar 1000 mL sampai garis tanda, kemudia dihomogenkan

d. Larutan HCl 5%

Sebanyak 50 mL HCl dimasukkan dalam labu takar 1000 mL. Kemudian diencerkan dengan akuades sampai garis tanda, kemudian dihomogenkan.

e. Larutan Asam Asetat 1%

Sebanyak 10 mL asam asetat glasial dimasukkan dalam labu takar 1000 mL. Kemudian diencerkan dengan akuades sampai garis tanda, kemudian dihomogenkan.

3.3.2 Pembuatan Larutan Kitin

Sebanyak 0,1; 0,2; dan 0,3 g kitin ditimbang dan dimasukkan kedalam gelas beaker dan dilarutkan dengan 100 mL asam formiat 98-100%, dan distirer selama ± 30 menit.


(32)

3.3.3 Pembuatan Larutan Kitosan

Sebanyak 0,1; 0,2; dan 0,3 g kitosan ditimbang dan dimasukkan kedalam gelas beaker dan dilarutkan dengan 100 mL asam asetat 1%, dan distirer selama ± 30 menit.

3.3.4 Proses Ekstraksi Kitin

– Dicuci cangkang belangkas lalu dikeringkan

– Direndam dalam larutan NaOH 0,5% (1:8), selama 24 jam, dicuci dengan H2O, cara

ini dilakukan 2 kali

– Dideproteinisasi dengan larutan NaOH 5% (1:8), selama 24 jam, dicuci dengan H2O

hingga pH netral, dikeringkan pada suhu kamar kemudian dihaluskan

– Dilakukan uji kelarutan dengan asam formiat 98-100%, diperoleh belangkas I

– Sebagian dilanjutkan dengan proses demineralisasi dengan larutan HCl 5% (1:8),

selama 24 jam, dicuci dengan H2O hingga pH netral, dikeringkan pada suhu kamar,

dilakukan uji kelarutan dalam asam formiat 98-100%, diperoleh kitin belangkas II

3.3.5 Proses Deasetilasi Kitin menjadi Kitosan

– Direndam kitin belangkas I dan II dalam larutan NaOH 50% (1:14), pada suhu kamar

selama 6 hari, pengadukan dilakukan setiap hari – Dicuci dengan H2O hingga pH netral

– Dikeringkan pada suhu kamar

– Dihaluskan

– Dilakukan uji kelarutan dalam asam asetat 1% (1:100), jika uji kelarutan positif maka diperoleh kitosan dari kitin belangkas I yang hanya dideproteinisasi (kitosan belangkas I) dan kitosan dari kitin belangkas II yang dideproteinisasi serta didemineralisasi (kitosan belangkas II)


(33)

– Dikeringkan pada suhu kamar

– Dikarakterisasi dengan spektroskopi FTIR

3.3.6 Penentuan Kadar Air

Sejumlah contoh ditimbang, kemudian dikeringkan dalam oven dengan suhu 105oC selama

tiga jam, didinginkan dalam eksikator hingga diperoleh bobot tetap.

w = bobot contoh sebelum dikeringkan (g) w1= kehilangan bobot setelah dikeringkan (g)

3.3.7 Penentuan Kadar Abu

Sejumlah contoh ditimbang dalam cawan porselen yang telah diketahui bobotnya, diabukan pada tanur 550oC sampai pengabuan sempurna. Selanjutnya didinginkan dalam eksikator lalu ditimbang hingga bobot tetap.

w = bobot contoh sebelum diabukan (g)

w1= bobot contoh + cawan sesudah diabukan (g)

w2= bobot cawan kosong (g)

3.3.8 Penentuan Kadar Protein

Sejumlah contoh ditimbang, dimasukkan dalam labu kjeldahl, ditambahkan 2 g campuran selen dan 25 mL H2SO4 pekat. Selanjutnya didekstruksi pada 400oC hingga larutan menjadi

jernih kehijauan, didinginkan, diencerkan dengan akuades. Total nitrogen dan protein W1

Kadar air = x 100% ……….(5) W

W1 – W2

Kadar abu = ……….(6)


(34)

(dengan faktor konversi 6.25) ditentukan dengan alat Kjeltec Auto dengan menggunakan pereaksi sebagai berikut:

• Larutan indikator : larutan bromcresol green 0,1% dicampur dengan larutan merah

metil 0,1% dalam etanol 95%, dengan perbandingan 5:1

• Larutan asam borat (H3BO3) 2% dicampur dengan larutan indikator dengan

perbandingan 100:1

• Larutan NaOH 30% dan larutan HCl 0,01N

3.3.9 Analisis Unsur C, H dan N

Timbang sampel 0,1000 untuk diukur dengan Analisis Unsur (Carlo Erba, model EA.1108) dan sebagai standar digunakan asetanilida.

3.3.10 Penentuan Berat Molekul

Untuk menentukan berat molekul larutan digunakan alat Viskosimeter Ostwald, pengukuran dilakukan pada suhu kamar.

– Viskosimeter dibersihkan dan dikeringkan

– Dimasukkan cairan kedalam viskosimeter

– Cairan dihisap melalui pipa kapiler, sehingga cairan naik sampai batas atas

– Penghisap dilepaskan, cairan dibiarkan turun, stopwatch dihidupkan pada saat cairan berada pada garis batas atas, dan dihentikan pada saat permukaan tepatmelalui garis batas bawah

– Waktu yang diperlukan cairan untuk mengalir dari batas atas ke batas bawah dicatat sebagai waktu alir


(35)

3.4 Bagan Penelitian

3.4.1 Proses Ekstraksi Kitin (Yang Telah diModifikasi)

Hasil Hasil

Kitin Belangkas I Kitin Belangkas I

Cangkang Belangkas Kering Cangkang Belangkas Kering

Direndam dengan larutan NaOH 0,5% (1:8), selama 24 jam (dilakukan 2 kali)

Dicuci dengan air hingga pH netral

Dideproteinisasi dengan larutan NaOH 5% (1:8), selama 24 jam

Dicuci dengan air hingga pH netral Dikeringkan pada suhu kamar

Kitin Belangkas I Kitin Belangkas I

Didemineralisasi dengan larutan HCl 5% (1:8), selam 24 jam

Dicuci degan H2O hingga pH netral

Dikeringkan pada suhu kamar Dihaluskan

Dilakukan uji kelarutan dengan asam formiat 98-100% (1:100)

Dihaluskan

Dilakukan uji kelarutan dengan asam formiat 98-100% ( 1:100) Hasil


(36)

3.4.2 Proses Deasetilasi Kitin menjadi Kitosan

3.4.3 Penentuan Berat Molekul

Kitin Belangkas I dan II

Direndam dengan larutan NaOH 50% (1:14), selama 2 hari dengan pengadukan setiap hari

Dicuci dengan H2O hingga pH netral

Dikeringkan pada suhu kamar Dihaluskan

Dilakukan uji kelarutan dengan asam asetat 1% (1:100) Larutan kental

Dicetak pada plat kaca

Dikeringkan pada suhu kamar

Dikarakterisasi dengan spektroskopi FTIR Hasil

Larutan sampel 0,1%; 0,2%; dan 0,3%

Diukur 10 mL

Dimasukkan kedalam viskosimeter Oswald

Dihisab larutan melalui pipa kapiler, sehingga naik sampai batas atas

Dilepaskan penghisab dan dihidupkan stopwatch saat larutan mengalir dari batas atas sampai batas bawah Dicatat waktu alirnya


(37)

BAB 4

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil Penelitian

Ekstraksi kitin dari cangkang belangkas sebelum dilakukan proses deproteinisasi maka cangkang diremdam lebih dahulu dalam larutan NaOH 0,5 % selama 24 jam untuk melepaskan jaringan otot yang melekat, lalu diulangi sekali lagi sebelum dicuci dengan air.

Menurut Rotherford (1984), proses ekstraksi kitin dari cangkang belangkas hanya membutuhkan proses deproteinisasi karena belangkas berbeda dengan kulit udang tidak mengandung komponen kalsium dalam cangkangnya.Selain proses deproteinisasi pada satu bagian juga dilakukan proses deproteinisasi dan demineralisasi pada bagian lainnya. Hal ini dilakukan untuk melihat apakah nanti ada pengaruhnya terhadapperbedaan kemampuan kitosan yang dihasilkan.

Demineralisasi dilakukan untuk menghilangkan mineral-mineral yang ada dengan cara menggunakan asam klorida. Asam klorida akan melarutkan mineral yang ada. Reaksinya adalah sebagai berikut :

Pengolahan kitosan dapat dilakukan dengan proses deasetilasi menggunakan basa kuat pada temperatur yang cukup tinggi. Dengan kondisi ini, gugus asetil yang ada pada kitin akan terlepas sehingga senyawa amida yang ada pada kitin berubah menjadi senyawa amina. Perubahan struktur inilah yang menghasilkan senyawa kitosan.


(38)

Dari proses-proses diatas diketahui bahwa setiap proses yang dilakukan akan mengurangi berat sampel yang ada, karena setiap proses yang dilakukan bertujuan untuk menghilangkan senyawa-senyawa yang tidak diinginkan dari sampel. Hal tersebut dapat terlihat dari data kitin dan kitosan yang dihasilkan seperti pada Tabel 3.

Tabel 3. Kitin dan Kitosan yang dihasilkan dari Cangkang Belangkas Cangkang Belangkas (gram) Kitin Belangkas I (gram)

% Kitin Belangkas II (gram)

% Kitosan Belangkas I (gram)

% Kitosan Belangkas II(gram)

%

2900 170 11,7 155 10,6 109 85,8 112 86,1

4.2 Pembahasan

4.2.1 Kitin

Kitin belangkas I adalah hasil ekstraksi dari cangkang belangkas dengan proses deprotreinisasi saja, sedangkan kitin belangkas II hasil ekstraksi dengan proses deproteinisasi serta demineralisasi.

Kitin merupakan komponen yang membentuk struktur eksoskeleton udang, kepiting, belangkas dan sebagainya dengan kisaran relatif 30-60 %. Kitin berperan sebagai suatu unsur penguat jaringan bersama-sama dengan protein (Peter,1993). Proses deproteinisasi menggunakan larutan NaOH 5 % akan mengurangi protein dari cangkang belangkas. Kadar air, kadar abu, dan kadar protein kitin dapat dilihat seperti pada Tabel 4, demikian juga dengan persentase hasil ekstraksi kitin

Tabel 4. Karakteristik Kitin Belangkas

No Bahan Kadar Air

(%)

Kadar Abu (% bk)

Kadar Protein (% bk)

1. Kitin Belangkas Ia 2,65 1,12 37,40

2. Kitin Belangkas IIb 2,92 0,35 37,34

a


(39)

b

kitin belangkas II : deproteinisasi dan demineralisasi bk : berat kering

kadar air kitin belangkas I dengan kitin belangkas II tampaknya tidak berbeda jauh. Kadar abu kitin belangkas I lebih tinggi dibanding kitin belangkas II, hal ini disebabkan karena kitin belangkas I tidak melalui proses demineralisasi sehingga mineral-mineral yang ada pada cangkang belangkas tetap ada pada kitin. Kadar protein dan kedua kitin tersebut relatif sama.

Uji kelarutan kitin dengan menggunakan asam formiat serta hasil pengamatan warna zat dan warna larutan yang dihasilkannya dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5. Uji Kelarutan Kitin dalam Asam Formiat (CH2O2)a

No Parameter Kitin

Belangkas I

Kitin Belangkas II

1. Warna zat Coklat muda Coklat muda

2. Kelarutan dalam asam formiat 98-100 % Larut Larut

3. Warna larutan kitin 1% dalam asam

formiat 98-100%

Transparan, tidak berwarna

Transparan, tidak berwarna

a

hasil pengamatan

kitin yang diperoleh dari ekstraksi dari cangkang belangkas ternyata larut dalam asam formiat 98-100 %. Kelarutan kitin 1% dalam asam ini tidak terjadi seketika melainkan pada hari kelima setelah melalui beberapa tahap pembekuan dalam freezer. Dalam hal ini sesuai dengan Noguchi et al dalam Austin (1984) yang membuat larutan kitin 4 % dalam asam formiat pada suhu kamar, dibekukan, dicairkan perlahan-lahan dalam suhu kamar dan diulang beberapa kali hingga diperoleh larutan yang bening dan agak kental.

Hasil analisis unsur pada kitin C, H, dan N yang diperoleh ditunjukkan pada tabel 6. Didapati bersesuaian dengan data yang dihasilkan oleh Muzzarelli.

Tabel 6. Analisis Unsur C, H, dan N pada Kitin

Analisis Unsur Kitin Standar Kitin Belangkas I Kitin Belangkas II

C 47,00 46,98 46,31


(40)

N 6,89 6,50 6,81 *

Muzzarelli (1977)

4.2.2 Kitosan

Karakterisasi kitosan seperti kadar air, kadar abu, dan kadar protein, persentase hasil serta uji kelarutan dan warna larutannya dapat dilihat pada Tabel 7 dan Tabel 8.

Tabel 7. Karakteristik Kitosan Belangkas

No. Bahan Kadar Air

(%)

Kadar Abu (% bk)

Kadar Protein (% bk)

1. Kitosan belangkas Ia 15,94 0,43 36,31

2. Kitosan belangkas IIb 17,02 0,22 36,37

a

kitosan belangkas I : deasetilasi kitin belangkas I

b

kitosan belangkas II : deasetilasi kitin belangkas II bk : berat kering

Dari tabel 7 terlihat kadar abu kitosan belangkas I relatif lebih tinggi dari kitosan belangkas II, karena berasal dari kitin dengan kadar abu yang juga lebih tinggi, sedangkan kadar protein keduanya relatif sama.

Kitosan yang diperoleh dari hasil proses deasetilasi kitin dengan menggunakan NaOH 50 % untuk kitin belangkas, yang awalnya menggunakan NaOH 40 % , tetapi hasil akhir dari kitin belangkas ternyata tidak menghasilkan kitosan ketika diuji kelarutannya pada asam asetat 1 % sehingga digunaka NaOH 50 %.

Tabel 8. Uji Kelarutan Kitosan dalam Asam Asetat (CH3COOH)a

No. Parameter Kitosan Belangkas I Kitosan Belangkas II

1. Warna Zat Krem Krem

2. Kelarutan dalam asam asetat 1% Larutan sangat

kental

Larutan kental

3. Warna larutan kitosan 1 %

dalam asam asetat 1 %

Transparan, tidak berwarna

Transparan, tidak berwarna

a


(41)

Dari tabel 8 terlihat bahwa kitosan yang semula berwana krem, dalam asam asetat 1 % akan menghasilkan larutan yang bening atau transparan dengan kekentalan yang berbeda. Menurut Muzzarelli (1977), kekentalan (viskositas) kitosan dipengaruhi oleh beberaoa faktor, salah satunya adala berat molekul kitosan. Kitosan komersial memiliki berat molekul 104 – 105 dalton (Peter, 1993) tergantung dari sumbernya.

Konversi kitin ke kitosan selama proses deasetilasi dapat diamati melalui kelarutannya dalam larutan asam asetat 1 %, karena kitosan mudah larut sedangkan kitin tidak larut. Menurut Alimuniar dan Zainuddin (1992), pemakaian NaOH dibawah 45 % pada proses deasetilasi kitin pada suhu kar tidak akan menghasilkan kitosan yang dapat larut dalam asam asetat 1 %. Hal ini terjadi pada proses deasetilasi kitin belangkas.

Hasil analisi unsur C, H, dan N pada kitosan yang diperoleh ditunjukkan pada tabel 9. Didapati bersesuaian dengan data yang diberikan oleh Muzzarelli (1997).

Tabel 9. Analisis Unsur C, H, dan N pada Kitosan

Analisis Unsur Kitosan Standar Kitosan Belangkas I Kitosan Belangkas II

C 40,25 40,30 40,31

H 5,80 5,85 5,86

N 6,40 6,35 6,89

*

Muzzarelli (1977)

4.2.2.1 Penentuan Derajat Deasetilasi kitosan

Analisis kuantitatif dari spektroskopi FT-IR dapat dilakukan berdasarkan spektrum Infra merah yang dihasilkan, dimana penentuan derajat deasetilasi dari kitosan menggunakan persamaan Domszy dan Robers (Khan, 2002).

% 100 33 , 1 1 1 % 3450 1655 ×         × − = A A DD Dimana:


(42)

A3450 = absorbansi pada bilangan gelombang 3450 cm-1

1,33 = tetapan yang diperoleh dari perbandingan A1655/A3450 untuk kitosan dengan

asetilasi penuh

Berikut perhitungan derajat deasetilasi (DD) dari kitin belangkas I, kitin belangkas II, kitosan belangkas I dan kitosan belangkas II

a. Derajat Deasetilasi dari kitin belangkas I

% 100 33 , 1 1 1 % 3450 1655 ×         × − = A A DD % 100 33 , 1 1 ) 3450 )( 72 , 3448 ( ) 1655 )( 64 , 1635 ( 1 % ×     × − = DD % 100 33 , 1 1 ) 11898084 ( ) 2 , 2706984 ( 1 % ×     × − = DD % 100 1710 , 0 1

%DD= − ×

% DD = 82,9 %

b. Derajat Deasetilasi dari kitin belangkas II

% 100 33 , 1 1 1 % 3450 1655 ×         × − = A A DD % 100 33 , 1 1 ) 3450 )( 72 , 3448 ( ) 1655 )( 64 , 1635 ( 1 % ×     × − = DD % 100 33 , 1 1 ) 11898084 ( ) 2 , 2706984 ( 1 % ×     × − = DD % 100 1710 , 0 1

%DD= − ×

% DD = 82,9 %

c. Derajat Deasetilasi dari kitosan belangkas I

% 100 33 , 1 1 1 % 3450 1655 ×         × − = A A DD


(43)

% 100 33 , 1 1 ) 3450 )( 58 , 3425 ( ) 1655 )( 07 , 1651 ( 1 % ×     × − = DD % 100 33 , 1 1 ) 11818251 ( ) 85 , 2732520 ( 1 % ×     × − = DD

%DD=1−0,17384357×100%

% DD = 82,6 %

d. Derajat Deasetilasi dari kitosan belangkas II

% 100 33 , 1 1 1 % 3450 1655 ×         × − = A A DD % 100 33 , 1 1 ) 3450 )( 15 , 3410 ( ) 1655 )( 20 , 1566 ( 1 % ×     × − = DD % 100 33 , 1 1 ) 5 , 11765017 ( ) 2592061 ( 1 % ×     × − = DD

%DD=1−0,1652×100%

% DD = 83,5 %

Dari data yang diperoleh, diketahui bahwa derajat deasetilasi dari kitin belangkas I dan kitin belangkas II adalah sama. kitosan belangkas I dari penelitian ini mempunyai nilai derajat deasetilasi sebesar 82,7 % sedangkan nilai derajat deasetilasi kitosan belangkas II mencapai 83,5 %. Berdasarkan Proton Laboratories Inc. (Nuraida, 2000) yang menyatakan bahwa kitosan memiliki derajat deasetilasi ≥ 70 % maka dapat dinyatakan bahwa proses deasetilasi kitin pada penelitian sudah berhasil memperoleh polimer kitosan.

Pada kitosan belangkas I dengan derajat deasetilasi yang tidak sebesar kitosan belangkas II menunjukkan bahwa masih adanya gugus amida yang belum terdeasetilasi. Dari spektroskopi FT-IR kitosan belangkas II dapat diamati adanya peningkatan % transmitant yang diakibatkan oleh berkurangnya kuantitas C=O akibat proses deasetilasi.


(44)

Spektroskopi FT-IR dari kitin dan kitosan secara umum menunjukkan adanya kesamaan gugus-gugus yang terdapat pada masing-masing polimer tersebut. Perbedaan yang dapat diamati yaitu pergeseran bilangan gelombang dan perubahan nilai transmitant yang menunjukkan kuantitas dari gugus tersebut didalam polimer.

Pada masing-masing polimer yang dikarakterisasi terdapat juga gugus-gugus lain seperti ulur O-H, ulur N-H, ulur C-H, ulur C-O, dan ulur C-N. Ulur O-H pada masing-masing polimer terlihat membentuk spektra yang melebar kebawah sehingga ulur N-H yang juga berada pada daerah ini tidak dapat diamati. Adanya ulur N-H dapat diperjelas dengan adanya tekukan N-H pada masing-masing polimer.

Ulur C-O pada polimer-polimer tersebut berasal dari gugus metanol yang melekat pada rantai polimer, sedangkan ulur C-H berasal dari rantai utama polimer. Adanya ulur C-H akan diperkuat dengan tekukan C-H dari metil maupun metilen pada masing-masing polimer. Ulur C-N pada polimer-polimer tersebut berasal dari gugus amida dan amina.

Spektra FT-IR dari kitin dan kitosan yang dihasilkan telah menuujukkan gugus-gugus yang seharusnya ada didalam polimer kitin dan kitosan. Besarnya bilanan gelombang pada gugus-gugus kitin dan kitosan dapat dibandingkan dengan spektra FT-IR dari kitin dan kitosan standar untuk melihat kualitas dari kitin dan kitosan yang dihasilkan.

Tabel 10. Perbandingan spektra FT-IR kitin dan kitosan dengan standarnya

Gugus Terkait

Kitin Belangkas I dan II

(cm-1)

Kitin Standar

(cm-1)

Kitosan Belangkas I

(cm-1)

Kitosan Standar (cm-1)

Kitosan Belangkas II

(cm-1)

Ulur O-H 3448,72 3437,50 3425,58 3446 3410,15

Rentang C-H 2931,80 2930,69 2924,09 2916 2924,09

Rentang C=O 1635,64 1630 1651,07 1650 1658,78

Tekuk N-H 1558,48 1565,70 1566,20 1591 1566,20

Tekuk C-H 1381,03 1384,08 1381,03 1380 1381,03

Ulur C-N 1319,31 1317,50 1072,42 1085,37 1072,42

Ulur C-O 1072,42 1073,93 1072,42 1089 1072,42

*


(45)

Spektra FT-IR dari kitin dan kitin standar menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan yang cukup berarti pada daerah serapan gugus-gugus kitin dan kitin standar. Perbedaan daerah serapan hanya berkisar 3 – 10 cm1, dengan perbedaan yang paling besar pada ulur O-H yang brimpitan dengan ulur N-O-H.

Spektra FT-IR dari kitosan belangkas I dan kitosan belangkas II dengan kitosan standar menunjukkan bahwa ada beberapa perbedaan daerah serapan yang cukup berarti yaitu

ulur O-H yang berimpit dengan ulur N-H berbeda 21 cm-1 untuk kitosan belangkas I,

sedangkan kitosan belangkas II berbeda 36 cm-1, tekuk N-H berbeda 25 cm-1, ulur C-N berbeda 13 cm-1. Perbedaan ini dapat ditimbulkan karena derajat deasetilasi kitosan yang dihasilkan belum begitu tinggi, sehingga pada kitosan yang dihasilkan masih terdapat cukup banyak gugus asetil yang melekat pada gugus N.

4.2.2.2 Berat Molekul Kitin dan Kitosan

Dari perhitungan pada lampiran 5 diketahui bahwa berat molekul kitin dan kitosan adalah sebagai berikut:

Tabel 11. Perbandingan Berat Molekul Kitin, Kitosan, dan Standarnya

Kitin Standar

Kitin Belangkas I

Kitin Belangkas II

Kitosan Standar

Kitosan Belangkas I

Kitosan Belangkas II

<106 1374000 1311000 <106 1083000 1048000

*

Robert (1992)

Dari data diatas diketahui bahwa terjadi penurunan berat molekul pada proses deasetilasi yang menghilangkan gugus asetil pada kitosan. Kitosan yang dihasilkan dari penelitian ini telah mempunyai berat molekul yang sesuai dengan range kitosan standar. Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa proses deasetilasi kitin telah menghasilkan polimer kitosan walaupun berat molekul kitosan yang dihasilkan masih tergolong rendah dibandingkan berat molekul standar.


(46)

BAB 5

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan penelitian yang dilakukan maka dapat disimpulkan :

1. Isolasi kitin dan kitosan dari 2900 g cangkang belangkas basah menghasilkan 11,7% kitin belangkas I; 10,6% kitin belangkas II; 85,8% kitosan belangkas I; dan 86,1% kitosan belangkas II.

2. Derajat deasetilasi yang dihasilkan untuk kitin belangkas I dan II 82,9%; kitosan belangkas I 82,6 % dari deasetilasi kitin belangkas I yang hanya dideproteinisasi dari cangkang belangkas dan 83,5% untuk kitosan belangkas II dari deasetilasi kitin belangkas II yang diisolasi melalui proses deproteinisasi dan demineralisasi dari cangkang belangkas.

3. Kitin dan kitosan yang dihasilkan dari penelitian ini telah mempunyai berat molekul 1474000 g/mol untuk kitin belangkas I, 1311000 g/mol untuk kitin belangkas II, 1083000 g/mol untuk kitosan belangkas I dan kitosan belangkas II 1048000 g/mol. 4. Kitin belangkas II didapati telah memenuhi standar yang dikeluarkan oleh Muzzarelli

(1977).

5.2 Saran

Perlu adanya penelitian lebih lanjut untuk mentransformasi kitin menjadi kitosan secara enzimatik yang diawali dengan pengamatan proses pengubahan kitin menjadi kitosan pada mikroba.


(47)

DAFTAR PUSAKA

Alimuniar, A. dan R. Zainuddin. 1992. An Economical Technique for Producing Chitosan.

Advances in Chitin and Chitosan. London : Elsevier Applied Sciences. pp. 627-632. Anwar, J., S.J.Damanik, N. Hisyam, A.J. Whitten. 1984. Ekologi Ekosistem Sumatera.

Yogyakarta : Gadjah Mada University Prees. Hal 137-138.

Brine, C.J. 1984. Introduction Chitin, Accomplishments and Perspectives. Chitin,

Chitosan and Related Enzyme. Orlando : Academic Press Inc. pp xvii-xxiii.

Caner,C., P.J.Vergano, J.L. Wiles. 1998. Chitosan Film Mechanical and Permeation

Properties as Affected by Acid, Plasticizer, and Storage. Journal of Food Science.

Vol. 63:6, 1049-1053.

Chang, K.L.B., J.Lee, W.R. Fu. 2000. HPLC Analysis of N-acetyl- chito-oligosassharides

during the Acid Hydrolysis of Chitin. Journal of Food and Drug Analysis. Vol. 8:2, 75-83.

Fessenden & Fessenden. 1992. Kimia Organik. Jilid I. Jakarta : Erlangga Firman. 1999. Kimia Polimer. Bandung : ITB

Hirano, S., N. Sato, S. Yoshida, S. Kitagawa. 1987. Chemical Modification of Chitin and

Chitosan, and Their Novel Applications. Industrial Polysaccharides.

Amsterdam : Yalpani, M.(Ed.) Elsevier. pp. 85-86.

Hwang, J.K. dan Shin H.H. 2000. Rheological Properties of Chitosan Solutions. Korea

Australia Rheology Journal. Vol 12:3/4, 175-179.

Khan, A., Peh, K., & Ching, S. 2002. Reporting degree of deaacytelation values of

chitosan : the influence of analytical methods. J. Pawn Pharmaceut Sci. Vol. 5 (3), pp. 205-212

Kumar,M.N.V.R. 2000. A Review of Chitin and Chitosan Applications. India : Department of Chemistry, University of Roorkee.

Merck Index. 1976. An Encyclopedia of Chemicals and Drugs,. USA : Windholz,M., S.Budavari, L.Y.Stroumtsos, M.Noether(Eds). Merck & Co. Inc. pp. 259-576

Muzzarelli, R.A.A. 1977. Chitin. New York. Oxford : Pergamon Prees.

Protan. 1987. Chitin and Chitosan : General Properties and Application. Patent.PLI.002. Norway.

Raharjo, S. 2000. Pencegahan Peroksidasi Lemak dan Kerusakan Jaringan pada Tikus

dengan Kitosan. In : Agritech.

Roberts, G.A.F. 1992. Chitin Chemistry. London : The Macmillan Prees.

Rutherford, F.A. and W.A.Dunson. 1984. The Permeability of Chitin Films to Water and

Solutes. In : Chitin, Chitosan, and Related Enzymes. Orlando : Academic Prees inc. pp. 135-137

Sandford, P.A. and G.P.Hutchings. 1987. Chitosan-A Natural, Cationic Biopolymer.

Industrial Polysaccharides. Amsterdam : Yalpani, M.(Ed) Elsevier. pp. 365-371

Sastrohamidjojo, & Hardjono. 1992. Spektroskopi Inframerah. Yogyakarta : Liberty.

Siverstein, M., Robert, Bassler, Clayton, G., Morril, C., & Trence. 1986. Penyidikan

Spektrometik Senyawa Organik. Jakarta : Erlangga.


(48)

Sudarmadji, Slamet, Haryono, Bambang, & Suhardi. 1989. Analisa Bahan Makanan dan

Pertanian. Yogyakarta : Liberty.

Sugita, P., dkk. 2009. Kitosan : Sumber Biomaterial Masa Depan. Bogor : IPB Prees. Hal. 30-37.

Tokura, S. 1994. Specification and Characterization of Chitin and Chitosan. Malaysia : Proceding Symposium UKM.

Whitten, A.J., S.J. Damanik, J. Anwar, N. Hisyam. 2000. The Ecology of Sumatra. Singapore : Periplus Editions (HK) Ltd. pp. 98-99.


(49)

(50)

LAMPIRAN 1. Perhitungan Persentase Kitin dan Kitosan

= 11,7 %

= 10,6 %

= 85,8 %


(51)

LAMPIRAN 2. Perhitungan Persentase Kadar Air

Dimana W = bobot contoh sebelum dikeringkan (g) W1= kehilangan bobot setelah dikeringkan (g)

1. Kadar Air Kitin Belangkas I

4 Kadar Air Kitosan Belangkas II

3 Kadar Air Kitosan Belangkas I

2 Kadar Air Kitin Belangkas II


(52)

LAMPIRAN 3. Perhitungan Persentase Kadar Abu

Dimana W = bobot contoh sebelum diabukan (g)

W1= bobot contoh + cawan sesudah diabukan (g)

W2= bobot cawan kosong (g)

1. Kadar Abu Kitin Belangkas I

2. Kadar Abu Kitin Belangkas II

3. Kadar Abu Kitosan Belangkas I


(53)

LAMPIRAN 4. Perhitungan Persentase Kadar Protein

Dimana W = bobot cuplikan

V1 = volume HCl 0,01N yang dipergunakan penitran contoh

V2 = volume HCl yang dipergunakanpenitran blanko

N =Normalitas HCl fk = faktor konversi (6,25) fp = faktor pengenceran

1. Kadar Protein Kitin Belangkas I

Berat sampel : 0,9626 g N HCl :

0,1035 N

Vol titrasi : 7,95 mL fp :

250/50 : 5

2. Kadar Protein Kitin Belangkas II

Berat sampel : 0,9822 g N HCl :

0,1035 N

Vol titrasi : 8,10 mL fp :

250/50 : 5

3. Kadar Protein Kitosan Belangkas I

Berat sampel : 1, 0288 g N HCl :

0,1035 N

Vol titrasi : 8,25 mL fp :

250/50 : 5


(54)

4. Kadar Protein Kitosan Belangkas II

Berat sampel : 0,9711 g N HCl :

0,1035 N

Vol titrasi : 7,80 mL fp :


(55)

(56)

Lampiran 5. Perhitungan Berat Molekul Kitosan ( Lee, 1974)

1. Kitin Belangkas I

Kosentrasi Larutan Kitin C (g/mL) Waktu Alir t (s) Viskositas Relatif (ηr )

Viskositas Spesifik

(ηsp= ηr - 1)

0,1 8,49 3,144 2,144 11,45 21,44

0,2 11,59 4,296 3,296 7,29 21,48

0,3 20,13 7,456 6,456 6,70 21,52

t(s) Pelarut (98-100% CH2O2)

t1 2,6

t2 2,3

t3 2,3

tr 2,7

[η] = intersept = 21,4 [η] = K. Mα

Dimana : [η] = viskositas intrinsik

K, α = tetapan sistem pelarut polimer M = Ber at Molekul Polimer

21,42 21,44 21,46 21,48 21,5 21,52 21,54

0 0,1 0,2 0,3 0,4

Konsentrasi (g/mol)

ηsp/C (mL/g)

X = C (g/mol) Y = ηsp/C

0,1 21,44

0,2 21,48

0,3 21,52

ln ηr

C

ηsp


(57)

21,4 = 8,93 x 10-4. M0,71 M = 1473661,12 g/mol M = 1474000 g/mol

2. Kitin Belangkas II

Kosentrasi Larutan Kitin C (g/mL) Waktu Alir t (s) Viskositas Relatif (ηr )

Viskositas Spesifik

(ηsp= ηr - 1)

0,1 8,02 2,974 1,974 9,06 19,74

0,2 13,37 4,954 3,954 8,00 19,77

0,3 18,66 6,94 5,94 6,46 19,80

[η] = intersept = 19,7 [η] = K. Mα

19,7 = 8,93 x 10-4. M0,71 M = 1311496,92 g/mol M = 1311000 g/mol

3. Kitosan Belangkas I

19,73 19,74 19,75 19,76 19,77 19,78 19,79 19,8 19,81

0 0,1 0,2 0,3 0,4

Konsentrasi (g/mol)

ηsp/C (mL/g)

X = C (g/mol) Y = ηsp/C

0,1 19,74

0,2 19,77

0,3 19,80

ln ηr

C

ηsp


(58)

Kosentrasi Larutan Kitosan C (g/mL) Waktu Alir t (s) Viskositas Relatif (ηr )

Viskositas Spesifik

(ηsp= ηr - 1)

0,1 4,35 2,722 1,722 10,014 17,22

0,2 7,12 4,45 3,45 7,465 17,25

0,3 9,9 6,181 5,181 6,072 17,27

t(s) Pelarut (1% CH3COOH)

t1 1,8

t2 1,5

t3 1,5

tr 1,6

[η] = intersept = 17,2 [η] = K. Mα

17,2 = 8,93 x 10-4. M0,71 M = 1083318,90 g/mol M = 1083000 g/mol

X = C (g/mol) Y = ηsp/C

0,1 17,22

0,2 17,25

0,3 17,27

17,21 17,22 17,23 17,24 17,25 17,26 17,27 17,28

0 0,1 0,2 0,3 0,4

Konsentrasi (g/mol)

Ƞsp/C (mL/g)

ln ηr

C

ηsp


(59)

4. Kitosan belangkas II

Kosentrasi Larutan Kitosan

C (g/mL)

Waktu Alir t (s)

Viskositas Relatif (ηr )

Viskositas Spesifik

(ηsp= ηr - 1)

0,1 4,30 2,683 1,683 9,87 16,83

0,2 7,00 4,37 3,37 7,37 16,85

0,3 9,70 6,064 5,064 6,007 16,88

[η] = intersept = 16,8 [η] = K. Mα

16,8 = 8,93 x 10-4. M0,71 M = 1048004,45 g/mol M = 1048000 g/mol

X = C (g/mol) Y = ηsp/C

0,1 16,83

0,2 16,85

0,3 16,88

16,82 16,83 16,84 16,85 16,86 16,87 16,88 16,89

0 0,1 0,2 0,3 0,4

Kosentrasi (g/mol)

Ƞsp/C (mL/g)

ηsp

C ln ηr


(60)

(61)

(62)

(63)

(1)

Kosentrasi Larutan Kitosan C (g/mL) Waktu Alir t (s) Viskositas Relatif (ηr )

Viskositas Spesifik

(ηsp= ηr - 1)

0,1 4,35 2,722 1,722 10,014 17,22

0,2 7,12 4,45 3,45 7,465 17,25

0,3 9,9 6,181 5,181 6,072 17,27

t(s) Pelarut (1% CH3COOH)

t1 1,8

t2 1,5

t3 1,5

tr 1,6

[η] = intersept = 17,2 [η] = K. Mα

17,2 = 8,93 x 10-4. M0,71 M = 1083318,90 g/mol M = 1083000 g/mol

X = C (g/mol) Y = ηsp/C

0,1 17,22

0,2 17,25

0,3 17,27

17,21 17,22 17,23 17,24 17,25 17,26 17,27 17,28

0 0,1 0,2 0,3 0,4

Konsentrasi (g/mol)

Ƞsp/C (mL/g) ln ηr

C

ηsp

C


(2)

4. Kitosan belangkas II Kosentrasi Larutan Kitosan C (g/mL) Waktu Alir t (s) Viskositas Relatif (ηr )

Viskositas Spesifik

(ηsp= ηr - 1)

0,1 4,30 2,683 1,683 9,87 16,83

0,2 7,00 4,37 3,37 7,37 16,85

0,3 9,70 6,064 5,064 6,007 16,88

[η] = intersept = 16,8 [η] = K. Mα

16,8 = 8,93 x 10-4. M0,71 M = 1048004,45 g/mol M = 1048000 g/mol

X = C (g/mol) Y = ηsp/C

0,1 16,83

0,2 16,85

0,3 16,88

16,82 16,83 16,84 16,85 16,86 16,87 16,88 16,89

0 0,1 0,2 0,3 0,4

Kosentrasi (g/mol)

Ƞsp/C (mL/g)

ηsp

C ln ηr


(3)

LAMPIRAN 6. Gambar Spektra FT-IR kitin belangkas I


(4)

(5)

LAMPIRAN 8. Gambar Spektra FT-IR kitosan belangkas I


(6)