Tradisi Andung Pada Masyarakat Batak Toba

BAB II

KONSEP, LANDASAN TEORI DAN KAJIAN PUSTAKA

2.1 Konsep
2.1.1 Tradisi Lisan
Tradisi merupakan suatu kebiasaan masyarakat yang secara historis
keberadaannya dan keberlangsungannya bersifat turun temurun. Tradisi masyarakat
dapat berupa adat atau budaya masyarakat setempat 8. Tradisi budaya merupakan
berbagai pengetahuan dan adat kebiasaan yang secara turun temurun yang dijalankan
oleh masyarakat dan menjadi kebiasaan yang bersifat rutin. Adat Kebiasaan tersebut
disampaikan secara lisan dari generasi ke generasi dan selanjutnya dilakukan oleh
masyarakat setempat menjadi sebuah tradisi. Inilah yang menjadi tradisi lisan.
Roger Tol dan Pudentia (dalam Hoed, 2008:184), mengemukakan,“...oral
traditions do not only contain folktales, myths, and legends (...), but store complete
indigeneous cognate system. To name a few: histories, legal practices, adat
lamedication...”.(“...tradisi lisan tidak hanya berisikan pada cerita rakyat, mite, dan
legenda saja, melainkan berupa sistem kognasi kekerabatan lengkap misalnya seluruh
sejarah hukum adat, praktik hukum, dan pengobatan tradisional...”). Pendapat ini
menjelaskan bahwa tradisi lisan memiliki cakupan yang sangat luas untuk
didiskusikan.

8

Koentjaraningrat, Pengantar Antropologi Pokok-pokok Etnografi II(Jakarta: PT. Rineka Cipta,1997), p.9.

Universitas Sumatera Utara

Tradisi lisan ini pada umumnya berkembang pesat di dalam masyarakat yang
belum atau sedikit mengenal tulisan, dan belum tentu juga di pedesaan. Masyarakat
perkotaan yang pada umumnya mengenal tulisan dan juga mengenal tradisi lisan
namun peranan tradisi lisan ini dalam komunitas kota pada umumnya relatif kecil dan
kurang signifikan. Dalam Sibarani (2012: 43-46) ada beberapa ciri-ciri tradisi lisan
sebagai berikut;
1.

Merupakan kegiatan budaya, kebiasaan atau kebudayaan berbentuk lisan,
sebagian lisan, dan bukan lisan.

2.

Memiliki kegiatan atau peristiwa sebagai konteks penggunaannya.


3.

Dapat diamati dan ditonton.

4.

Bersifat tradisional. Ciri tradisional ini menyiratkan bahwa tradisi lisan
harus mengandung unsur warisan etnik, baik murni bersifat etnis maupun
kreasi baru yang ada unsur etnisnya.

5.

Diwariskan secara turun temurun. Tradisi lisan itu diwariskan dari satu
generasi ke generasi lain.

6.

Proses penyampaian “dari mulut ke telinga”. Tradisi yang disampaikan,
diajarkan, disosialisasikan, dan diwariskan secara lisan disebut tradisi

lisan.

7.

Mengandung nilai-nilai dan norma-norma budaya.

Universitas Sumatera Utara

8.

Memiliki versi-versi. Sebagai tradisi yang disampaikan secara lisan,
sebuah tradisi lisan berpotensi memiliki bentuk-bentuk yang berbeda
yang disebut dengan variasi atau versi.

9.

Milik bersama komunitas tertentu.

10. Berpotensi direvitalisasi dan diangkat sebagai sumber in dustri budaya.
Tradisi lisan adalah kegiatan budaya tradisional suatu komunitas yang

diwariskan secara turun-temurun dengan media lisan dari satu generasi ke generasi
lain baik tradisi itu berupa susunan kata-kata lisan (verbal) maupun tradisi lisan yang
bukan lisan (non-verbal). Oral Traditions are the community’s traditionally cultural
activities inherited orally from one generation to the other generation, either the
tradition is verbal or non-verbal (Sibarani, 2012: 47)

Sedangkan sastra lisan adalah karya yang penyebarannya disampaikan dari
mulut ke mulut secara turun temurun (Endaswara, 2008:151) dan memiliki ciri-ciri
sebagai berikut;
1. Lahir dari masyarakat yang polos, belum melek huruf, dan bersifat tradisional;
2. Menggambarkan budaya milik kolektif tertentu, yang tidak jelas siapa
penciptanya;
3. Lebih menekankan aspek khayalan, ada sindirian, jenaka dan pesan mendidik;
4. Sering melukiskan tradisi kolektif tertentu
5. Tradisi lisan banyak mengungkapkan kata-kata atau ungkapan-ungkapan klise.
6. Tradisi lisan sering bersifat menggurui.

Universitas Sumatera Utara

Oleh karena itu sebuah sastra lisan yang penyebarannya melalui mulut ke

mulut dapat dikatakan tradisi lisan. Tradisi lisan mempunyai fungsi sosial atau
manfaat yang tidak sepenuhnya bersifat pribadi. Dapat dikatakan bahwa tradisi lisan
merupakan tradisi yang mengaitkan kebiasaan/ adat istiadat dengan menggunakan
bahasa lisan dalam menyampaikan pengalaman sehari-hari dari seseorang kepada
orang lain.
MBT memiliki sebuah tradisi yang unik dalam kehidupannya, yang telah
diturunkan secara temurun. Tradisi ini bukan hanya terlihat dalam kegiatan acara
perkawinan, acara kelahiran anak, pemberian nama, memasuki rumah baru,tetapi juga
terlihat pada acara kematian. Ritual kematian dalam MBT tidak terlepas dari tradisi
andung. Andung merupakan salah satu tradisi lisan MBT yang hampir hilang dan
pupus ditelan zaman. Andung dilakukan oleh MBT terhadap anggota keluarga/kerabat
yang

meninggal.

Untuk

itu

perlu


dilakukan

dilakukan

dokumentasi

dan

fungsionalisme yang berkelanjutan terhadap tradisi lisan ini.

2.1.2 Masyarakat Batak Toba
Masyarakat Batak terletak di Provinsi Sumatera Utara terletak pada 1° - 4°
Lintang Utara dan 98° - 100° Bujur Timur, Luas daratan Provinsi Sumatera Utara
71.680 km². Sumatera Utara dibagi kepada 25 kabupaten, 8 kota (dahulu kotamadya),
325 kecamatan, dan 5.456 kelurahan/desa. Populasi penduduk diperkirakan
12.985.075 (tahun 2010), dengan kepadatan 177,9/km² terdiri dari berbagai kelompok

Universitas Sumatera Utara


etnis. Batak (41,95%), Jawa (32.62%) Nias (6.36%), Melayu (4,92%), Tionghoa
(3,07%), Minangkabau (2,66%), Banjar (0.97%), Lain-lain (7,45%).
Masyarakat Batak dari Sumatra Utara (gambar Peta 1). Daerah asal kediaman
orang Batak dikenal dengan Daratan Tinggi Karo, Langkat Hulu, Deli Hulu, Serdang
Hulu, Simalungun, Toba, Mandailing dan Tapanuli Tengah. Daerah ini dilalui oleh
rangkaian Bukit Barisan di daerah Sumatra Utara dan terdapat sebuah danau besar
dengan nama Danau Toba. Dilihat dari wilayah administratif, mereka mendiami
wilayah beberapa Kabupaten atau bagian dari wilayah Sumatra Utara yaitu,
Kabupaten Karo, Simalungun, Dairi, Tapanuli Utara (Silindung, Humbang
Hasundutan,Toba, Samosir) dan Asahan.
Gambar 1. Peta Wilayah Sumatera Utara
sumber : www.sumutprov.go.id. diunggah 14 February 2012

Universitas Sumatera Utara

Masyarakat Batak merupakan salah satu etnis terbesar yang ada di Indonesia.
Masyarakat Batak ini tersebar ke seluruh penjuru Indonesia, dan bahkan hampir
mancakup seluruh dunia, itu sebabnya kata “Batak” tidak asing lagi bagi kebanyakan
masyarakat Indonesia. Masyarakat Batak sendiri terdiri dari enam sub-suku, yaitu :
Toba, Simalunggun, Karo, Pakpak-Dairi, Angkola Sipirok dan Mandailing 9.

Masyarakat Batak ini pun bermukim di daerah pegunungan, wilayah darat, dan
pedalaman provinsi Sumatera Utara, dan sebahagian besar dari kenam sub-suku ini
berdiam di sekeliling Danau Toba, kecuali Angkola dan Mandailing yang hidup di
perbatasan Sumatera Barat. Dari keenam sub-suku ini, Batak Toba merupakan suku
yang paling banyak jumlahnya. Dari berbagai studi dapat ditemukan bahwa
masyarakat Batak terdiri dari enam sub-etnis bahkan ada beberapa penulis yang
menambahkan bahwa orang Alas, Gayo, orang Pardembang yang ada di pesisir
Sungai Asahan, sebagian orang pesisir yang tinggal di pantai barat Pulau Sumatera
juga merupakan keturunan orang Batak tetapi dalam kehidupan keseharian kata
“batak” itu sendiri lebih diartikan kepada MBT.
2.1.3 Nilai Budaya Batak Toba
Sistem kebudayaan terdiri atas nilai-nilai budaya berupa gagasan yang sangat
berharga bagi proses kehidupan. Oleh karena itu, nilai budaya dapat menentukan
karakteristik suatu lingkungan kebudayaan di mana nilai tersebut dianut. Nilai budaya

9

Gultom Rajamarpodang, Dalihan Na Tolu dan Prinsip Dasar Nilai Budaya Batak , ( Medan, 1995), p. 2

Universitas Sumatera Utara


langsung atau tidak langsung tentu akan diwarnai oleh tindakan-tindakan
masyarakatnya serta produk kebudayaan yang bersifat materil.
Nilai budaya dalam suatu karya sastra sudah berada di luar struktur karya itu
sendiri. Budaya itu memberikan arti kepada semua usaha dan gerak-gerik manusia,
dan makna-makna kebudayaan itu disampaikan satu sama lain dalam hidup manusia.
Nilai budaya ini, juga merupakan suatu bentuk dari kehidupan dan memuat
ketentuan-ketentuan mengenai tingkah laku yang menyangkut penilaian baik buruk
kehidupan manusia dalam suatu masyarakat. Bisa dikatakan bahwa nilai budaya
tersebut berfungsi sebagai pedoman dalam bermasyarakat.
Menurut Koentjaraningrat (2002:190), sistem nilai budaya adalah suatu
rangkaian konsepsi-konsepsi abstrak yang hidup dalam alam pikiran sebagian besar
dari warga suatu masyarakat, mengenai apa yang dianggap mempunyai makna
penting dan berharga, tetapi juga mengenai apa yang dianggap remeh dan tidak
berharga dalam hidup. Dalam kehidupan masyarakat , sistem nilai ini berkaitan erat
dengan sikap dan tingkah laku manusia. Sistem nilai adalah bagian terpadu dalam
etika moral, yang dalam manifestasinya dijabarkan dalam norma-norma sosial, sistem
hukum dan adat yang berfungsi sebagai tata kelakuan untuk mengatur masyarakat.
Koentjaraningrat (2002:190) juga menambahkan bahwa nilai budaya daerah
tentu saja lebih bersifat partikularistik, artinya khas berlaku umum dalam wilayah

budaya suku bangsa tertentu saja. Sejak kecil individu telah diresapi oleh nilai budaya
masyarakatnya, sehingga nilai budaya itu telah berakar dalam mentalitasnya dan
sukar digantikan oleh nilai budaya lain dalam waktu yang singkat. Secara konkret,

Universitas Sumatera Utara

manifestasi nilai budaya tersebut dapat mencerminkan streotipe tertentu, misalnya
orang Jawa diidentifikasikan sebagai orang-orang yang santun, bertindak pelan-pelan,
lemah lembut, bertutur kata halus, dan sebagainya.
Ada lima masalah dasar dalam kehidupan manusia yang menjadi landasan
bagi

kerangka

variasi

sistem

nilai


budaya

menurut

Kluckhohn

(dalam

(Koentjaraningrat, 2002:191), yaitu:
1. Masalah mengenai hakikat dari hidup manusia,
2. Masalah mengenai hakikat dari karya manusia,
3. Masalah mengenai hakikat dari kedudukan manusia dalam ruang dan waktu,
4. Masalah mengenai hakikat dari hubungan manusia dengan alam sekitarnya,
5. Masalah mengenai hakikat dari hubungan manusia dengan sesamanya.
Dengan demikian, dalam tiap masyarakat baik yang kompleks maupun yang
sederhana, ada sejumlah nilai budaya yang satu dengan lain saling berkaitan hingga
merupakan suatu sistem. Kemudian, sistem itu sebagai pedoman dari konsep-konsep
ideal dalam kebudayaan dan menjadi pendorong yang kuat terhadap arah kehidupan
warga masyarakatnya.
Begitu juga halnya, MBT memiliki nilai budaya utama (core cultural values),
menurut Harahap dan Hotman M.Siahaan (1987:133) ada 9 nilai budaya MBT yang
menjadi pedoman dalam kehidupan MBT tersebut. Kesembilan nilai budaya MBT
tersebut adalah kekerabatan, religi, hagabeon, hasangapon, hamoraon, hamajuon,
hukum, pengayoman, dan konflik.
2.1.3.1 Kekerabatan

Universitas Sumatera Utara

Sistem kekerabatan memegang peranan penting dalam jalinan hubungan baik
antara individu dengan individu ataupun individu dengan masyarakat lingkungannya.
Dari sistem ini biasanya bersumber masalah lain dalam sistem kemasyarakatan,
seperti sistem daur hidup, kesatuan hidup setempat dan stratifikasi sosial. Kelompok
kekerabatan MBT berdiam di daerah pedesaan yang disebut huta (kampung).
Biasanya satu huta didiami oleh keluarga dari satu marga. Marga (klan) tersebut
terikat oleh simbol-simbol tertentu misalnya nama marga yang membentuk sebuah
klan kecil. Klan kecil tadi merupakan kerabat patrilineal (garis keturunan ayah) yang
masih berdiam dalam satu kawasan areal yang menciptakan sosial budaya.
Sebaliknya klan besar yang anggotanya sudah banyak hidup tersebar sehingga tidak
saling kenal tetapi mereka dapat mengenali anggotanya melalui nama marga yang
selalu disertakan dibelakang nama kecilnya. Stratifikasi sosial orang Batak
didasarkan pada empat prinsip yaitu : (a) perbedaan tingkat umur, (b) perbedaan
pangkat dan jabatan, (c) perbedaan sifat keaslian dan (d) status perkawinan.
Pada umumnya perkawinan MBT adalah monogami. Tetapi karena faktor
keturunan laki-laki dianggap penting membawa garis keturunan, maka apabila sebuah
keluarga di dalam perkawinan belum mempunyai anak laki-laki sering sekali terjadi
poligami yang tujuannya agar garis keturunan tetap berlanjut. Perkawinan sangat erat
kaitannya dengan keluarga, sedang perceraian sangat jarang terjadi dan sejauh
mungkin diusahakan jangan sampai terjadi. Hal ini terjadi karena adat. Bila seorang
istri yang diceraikan suaminya cenderung tidak akan mempunyai hubungan lagi
dengan keluarga laki-laki baik anak sendiri, maupun keluarga lain. Berpoligami

Universitas Sumatera Utara

sebenarnya sangat tidak diinginkan di dalam status sosial pada MBT. Dalam
kehidupan sehari-hari orang yang berpoligami itu selalu kurang mendapat
penghargaan dari masyarakat sekitar dan juga status sosialnya dianggap kurang baik.
Pandangan MBT bahwa anak (laki-laki dan perempuan) merupakan harta
yang paling berharga baginya di dalam keluarga. Hal ini dapat di lihat dari semboyan
di masyarakatnya yaitu anakhonki do hamoraon di au (anak adalah kekayaan yang
dimiliki). Keturunan-keturunan dari orang yang berpoligami dalam kenyataannya
lebih banyak menderita karena percekcokan antara anak pihak istri yang pertama
dengan pihak istri kedua. Dengan demikian pada prinsipnya MBT tidak
menginginkan adanya poligami dari pihak suami , kecuali jika tidak ada keturunan,
apalagi tidak mempunyai keturunan laki-laki yang dianggap anak laki-laki merupakan
penerus kesinambungan secara genetika.
MBT

menganut sistem kekerabatan patrilinieal. MBT mempunyai marga

(nama keluarga) yang biasanya dicantumkan diakhir namanya. Nama marga ini
diperoleh dari garis keturunan ayah (patrilineal) yang selanjutnya akan diteruskan
kepada keturunannya secara terus menerus.
Kekerabatan dalam kehidupan MBT mencakup hubungan primordial suku,
kasih sayang atas dasar hubungan darah untuk memujudkan kerukunan hidup antar
sesama manusia. Dalihan Na Tolu menjadi lambang sistem sosial MBT yang menjadi
tiga tiang penopang, yaitu dongan sabutuha, boru dan hula-hula. Pengambaran
Dalihan Na Tolu atau tiga tungku masak yang mengandung gagasan keseimbanagn

Universitas Sumatera Utara

hidup antarmanusia. Hal ini tercermin dalam ungkapan “somba marhula-hula”
(hormat kepada hula-hula artinya suami hormat kepada keluarga pihak istri), “manat
mardongan sabutuha” (berlaku hati-hati kepada saudara semarga), dan elek marboru
(berlaku kasih sayang pada boru artinya hormat kepada keluarga pihak penerima
istri). Ungkapan yang mengandung konsep Dalihan Na Tolu ini berakar kuat dalam
kehidupan sistem kekerabatan MBT.
Menurut Sihombing terkait dengan dongan sabutuha berlaku semboyan
“sekali dongan sabutuha tetap dongan sabutuha”, karena MBT tidak bisa berpindahpindah marga, sekalipun mereka bermusuhan dengan banyak teman semarganya.
Filsafat Batak tentang dongan sabutuha berbunyi, “Tampulon aek do na mardongan
sabutuha.” Artinya : Sifat ber-dongan sabutuha sama dengan sifat air biar berkalikali dipotong tetap bertemu dan bersatu 10. Fakta ini juga diperkuat oleh Sibarani
(2005:47) yang menyatakan bahwa, “Sebagai orang-orang semarga, mereka
seperasaan, sepenanggungan sebagai saudara kandung. Ini disebabkan pada mulanya
orang-orang yang semarga itu tinggal dalam satu kampung (huta), maka mereka
secara gotong royong mengerjakan sawah ladang, mengutip hasil, mengurus
pengairan, membersihkan pancuran, dan juga mengawinkan anak.
Boru menurut Sihombing, dalam kekerabatan MBT terbagi dua, yaitu hela
(suami putri kita) dan Bere (anak saudara perempuan yang memang dipandang oleh
MBT unsur boru mengikuti ibunya). Filsafat tentang boru berbunyi: “Bungkulan do
boru.” Artinya: Boru itu adalah bubungan (maksudnya bubungan rumah), maksud
10

T.M. Sihombing, Filsafat Batak Tentang Kebiasaan-kebiasaan Adat Istiadat (Jakarta:Balai Pustaka, 2000), pp. 74-75.

Universitas Sumatera Utara

filsafat itu adalah: kalau ada perselisihan di antara

“hula-hula” yang membuat

keretakan di antara mereka itu, maka “boru” -lah yang berkewajiban menghilangkan
keretakan itu agar mereka yang berselisih itu kembali kompak dan bersatu, serupa
dengan balok bubungan rumah yang mengikat dan mempersatukan kedua belah atap
rumah . Sudah tentu boru dalam hal ini naik derajat menjadi raja penghukum dan
memang ia diperlakukan oleh hula-hula yang bersangkutan sedemikian dan akan
mempersilahkan boru itu duduk di juluan (tempat duduk yang terhormat). Namun
boru yang memegang adat teguh tidak mungkin menerima ajakan itu dan akan tetap
mempertahankan tempat duduknya di talaga (bagian tempat duduk untuk boru) dan
justru sikap serupa itulah yang membuat naik derajat boru itu dalam pandangan hulahulanya yang tentu mengingat filsafat : “Lam unduk do biur ni eme na marisi.”
(Artinya: padi itu makin berisi makin merunduk) 11.
Sedangkan Hula-hula menurut Sihombing memiliki sifat yang peka dan
rapuh. Jika tidak hati-hati dalam tindakan atau perlakuan terhadap hula-hula, mudah
saja hubungan yang telah ada menjadi putus dan biasanya tidak dapat diperbaiki dan
akhirnya terhapus sama sekali. Filsafat Batak mengenai hula-hula berbunyi: “Sigaton
laila do na marhula-hula.” Artinya: Serupa dengan anak ayam, yang waktu
menentukan kelaminnya, kita memeriksa ekornya. Maka kita pun harus mempelajari
hula-hula bagaimana sifat-sifat serta kemauannya dan hasilnya kita pakai sebagai
pedoman dalam pergaulan kita dengan mereka 12.

11
12

T.M. Sihombing, Ibid. pp.77-78.
T.M. Sihombing, Ibid.p.76.

Universitas Sumatera Utara

Berkaitan dengan hubungan kekerabatan atas dasar perkawinan, maka semua
dongan sabutuha orang tua pengantin perempuan menjadi hula-hula bagi pihak
pengantin laki-laki. Artinya yang disebut hula-hula itu ialah klan yang memberi putri.
Berdasarkan ungkapan diatas, pihak hula-hula dipandang pihak boru sebagai
matahari kemuliaan karenadari mereka pihak boru itu mendapat berkah dalam sistem
kekerabatan MBT. Risikonya, kalau seorang wanita disia-siakan atau diceraikan oleh
suaminya, maka pihak hula-hula harus melindunginya. Hormat kepada pihak hulahula adalah salah satu sebab mengapa tidak mudah terjadi perceraian di kalangan
MBT.
Perkawinan dalam kehidupan MBT menentukan kedudukan seseorang dalam
sistem kekerabatan Dalihan Na Tolu. Secara tradisional, perkawinan yang sah dan
memperoleh anak, terutama anak laki-laki, merupakan salah satu harapan MBT.

2.1.3.2 Religi
Nilai Budaya MBT yang paling fundamental dalam kehidupan MBT adalah
mengikut adat. Menurut Hesselgreen (2008:64)“Adat memiliki asal usul keilahian
dan merupakan seperangkat norma yang diturunkan dari nenek-moyang”. Asal usul
keilahian dalam adat MBT inilah yang dimaksudkan sebagai sistem religi dalam
kebudayaan MBT . Hasil penelitian Harahap dan Hotman M.Siahaan (1987:133),
“Religi mencakup kehidupan keagamaan, baik agama tradisional maupun agama yang
datang kemudian yang mengatur hubungannya dengan Maha Pencipta serta
hubungannya dengan manusia dan lingkungannya”. Pendapat ini sejalan dengan hasil

Universitas Sumatera Utara

penelitian Pastor. Dr . A.B. Sinaga dalam lampiran Sangti (1977:16-19) yang
mengatakan bahwa, “Bangsa Batak Tradisional termasuk homo religiosus (manusia
beragama) dan mengemban suatu sikap agama tertentu dalam menilai dan
menghargai hidup. Bagi MBT, seluruh alam semesta atau hanya lingkungan hidup
mereka “sanggup menjadi sakral”. lebih lanjut dia menyimpulkan bahwa, “Allah
tertinggi MBT disebut Mulajadi Na Bolon.
2.1.3.2.1 Pandangan Hidup Masyarakat Batak Toba sebelum Memeluk Agama

Paganisme MBT menyakini bahwa Mulajadi Na Bolon menciptakan langit,
bumi, dan segala isinya. Bahkan menurut Siahaan (2005:15), Debata Mulajadi Na
Bolon dapat menjelma sebagai Debata Na Tolu (dewa benua bawah, dewa benua
tengah, dan dewa benua atas). Kekuatan Pancaran Kuasa Debata Na Tolu, yaitu
Hahomion, Habonaran, dan Hagogoon dari Mulajadi Na Bolon. Kepercayaan MBT
tua bersumber dari sabda Mulajadi Na Bolon kepada Siraja Ihatmanisia dan Siboru
Ihatmanisia pada saat Mulajadi Na Bolon memberkati mereka, bahwa kaitan
Mulajadi Na Bolon dengan kuasa kemuliaan penghuni Banua Atas erat kaitannya
dengan alam ciptaannya, termasuk penghuni Banua Tonga. Penghuni Banua Atas
dengan penghuni Banua tonga dapat bertemu dalam persekutuan roh dengan jalan
memberikan sesajen yang dihantar asap daupa dan air suci. Inilah yang akhirnya
mengarah menjadi Animisme dan Dinamisme. Pemujaan terhadap kemahakuasaan
Debata Mulajadi Na Bolon menyatu dengan pemujaan terhadap tondi, sahala dan
begu.

Universitas Sumatera Utara

MBT juga percaya bahwa roh dan jiwa juga mempunyai kekuatan. Siahaan
(2005:19-23) menjelaskan roh dan jiwa dalam MBT dibagi menjadi tiga yaitu:

a. Tondi adalah roh atau “daya hidup” yang terdapat pada makhluk hidup yang
menghidupkan segala sesuatu yang ada di bumi. Tondi menentukan nasib manusia
yang ditempatinya karena dia dapat bersahabat tetapi juga bermusuhan terhadap
tubuh yang dialminya.

Tondi juga dapat diartikan sebagai jiwa atau roh seseorang yang merupakan
kekuatan, oleh karena itu tondi memberi nyawa kepada manusia. Tondi di dapat
sejak seseorang di dalam kandungan. Bila tondi meninggalkan badan seseorang,
maka orang tersebut akan sakit atau meninggal, maka diadakan upacara mangalap
(menjemput) tondi dari sombaon yang menawannya.

b. Sahala adalah keunggulan yang diberikan Tuhan kepada seseorang dan untuk
setiap pribadi berbeda kualitas maupun jumlahnya. Semakin tinggi sahala
seseorang semakin berwibawa orang tersebut. Sahala juga adalah jiwa atau roh
kekuatan yang dimiliki seseorang. Semua orang memiliki tondi, tetapi tidak semua
orang memiliki sahala. Sahala sama dengan sumanta, tuah atau kesaktian yang
dimiliki para raja atau hula-hula.

c. Begu roh orang yang sudah meninggal dunia yang jika disembah dan diberi
sesajen bisa dibujuk untuk memberikan berkat duniawi. Berdasarkan ungkapan

Universitas Sumatera Utara

sehari-hari MBT yang menyatakan bahwa “begu ima tondi ni na mate” yang
artinya begu adalah roh orang yang sudah meninggal, maka tondi dapat berubah
menajdi begu.

MBT dulu takut akan kematian, dan yang menyebabkan kematian itu disebut
begu 13. Begu itu menghantui hidup manusia, artinya bahwa kematian itu menjadi
selalu mengganggu pikiran manusia. Akibat mitos ini timbul berbagai jenis begu
yang menyebabkan kematian itu, seperti; begu ganjang, begu nunur, begu antuk,
begu Toba, begu jau dan banyak lagi seperti begu ladang. Dampak dari perubahan itu
maka timbullah ungkapan : “Martondi Na Mangolu, Marbegu Na Mate (Orang
hidup punya roh/jiwa, orang mati berhantu.) 14. Inilah penyebab MBT dulu sangat
mempercayai bahwa apabila seseorang meninggal dia akan meninggalkan sahala-nya
yang dapat digunakan oleh orang-orang yang ada di sekitarnya.

2.1.3.2.2 Pandangan Hidup Masyarakat Batak Toba Setelah Memeluk Agama

Penyebaran agama Kristen, awalnya dimulai oleh Pendeta Burton dan Ward
dari Gereja Baptis Inggris tahun 1824. Kedua pendeta ini mencoba memperkenalkan
Injil di kawasan Silindung (sekitar Tarutung sekarang). Kehadiran mereka tidak
diterima oleh masyarakat Batak Toba. Kemudian tahun 1834 Kongsi Zending Boston

13
14

kamus Batak Indonesia. 1995. begu adalah roh atau hantu. parbegu;sipele begu adalah penyembah berhala.
Gultom Rajamarpodang, Dalihan Na Tolu dan Prinsip Dasar Nilai Budaya Batak , ( Medan, 1995), p. 370

Universitas Sumatera Utara

Amerika Serikat, mengirimkan dua orang pendeta, yaitu Munson dan Lyman. Kedua
misionaris ini dibunuh oleh penduduk di bawah pimpinan Raja Panggalamei, di
Lobupining, sekitar Tarutung, pada bulan Juli 1834. Tahun 1894, Kongsi Bibel
Nederland mengirim ahli bahasa Dr. H.N. Van Der Tuuk untuk menyelidiki budaya
Batak. Van Der Tuuk menyusun kamus Batak-Belanda, dan menyalin sebahagian isi
Alkitab ke bahasa Batak. Tujuan utama Kongsi Bibel Nederland ini adalah merintis
penginjilan ke Tanah Batak melalui budaya. Masuknya agama kristen ke tanah Batak
abad ke 19 oleh seorang misionaris Jerman bernama Dr. I. L Nommensen,
kebudayaan religi masyarakat Batak mengalamai transformasi. Dr I. L. Nommensen
memulai tugas misinya pada tahun 1962 di Barus yang merupakan utusan Rheinische
Mission Gesellschaft (RGM). Penyebaran ajaran agama kristen di bawah
pimpinannya terjadi dengan pesat.

Namun, hubungan adat yang berwujud terhadap Mulajadi NaBolon, tondi,
sahala, dan begu dengan religi yang berwujud dalam pelaksanaan ajaran Kristen
tidak dapat dipisahkan dalam kehidupan MBT. Harahap dan Hotman M. Siahaan
(1987:152) berpendapat “Sekalipun kebanyakan MBT merupakan penganut agama
Kristen Protestan, namun perilaku religinya tetap banyak diwarnai oleh agama nenek
moyang. Perilaku religi ini tidak sedikit yang ditentang keras oleh agama Kristen
Protestan. Salah satu perilaku religi yang berkembang sampai sekarang adalah
mendirikan tugu peringatan nenek moyang. Hal ini menjadi bukti bahwa religi dalam
kehidupan MBT menyatu dengan adat sehingga adat dan religi memiliki hak hidup

Universitas Sumatera Utara

yang sama dalam kebudayaan Batak Toba.

Perilaku adat yang menyatu dengan

keilahian tersebut tertera pada hasil penelitian berikut ini;

Perilaku religi membangun tugu sebagai penghormatan bagi roh nenek
moyang erat hubungannya dengan hakekat hidup dan persepsi masyarakat
Toba terhadap waktu. Waktu dipandang sangat menguasai kehidupan
manusia. Waktu diatur oleh Debata Mulajadi Na Bolon. Nenek Moyang
sebagai wakil Debata Mulajadi Na Bolon, juga sangat besar pengaruhnya
terhadap perjalanan hidup orang Toba. Oleh karena itu, pemujaan terhadap
roh nenek moyang terus dilakukan sebagai perilaku religi kultural.(...)
Pelanggaran terhadap petuah nenek moyang, akan menyebabkan kemurkaan
roh nenek moyang. Dengan kata lain, kesetiaan dan kecintaa kepada roh-roh
nenek moyang orang Batak Toba merupakan perilaku religius. Itu pula
sebabnya, masa kini dan masa depan harus senantiasa mendapat acuan masa
lampau yaitu kehidupan nenek moyang.(Harahap dan Hotman M. Siahaan,
1987:153)
MBT melihat bahwa etika berdasarkan Kepercayaan lama Batak toba itu
sudah menjadi hayatnya dan tidak dapat dilepaskan dari sikap Prilaku kehidupannya
sehari-hari. Pandangan MBT bahwa untuk mendapatkan hidup yang kekal adalah
dengan menganut agama Kristen, sedang menata sistem kemasyarakatannya seharihari, dalam hal ini adat istiadat mempergunakan sistem kepercayaan yang sudah
menjadi budaya itu, cukup ampuh menjalani hidup di dunia ini.

2.1.3.3 Hagabeon

Hagabeon dalam kebudayaan Batak bermakna banyak keturunan dan panjang
umur. MBT senantiasa mengharapkan setiap pengantin baru agar memiliki banyak
keturunan dan panjang umur. Bahkan, menurut Harahap dan Hotman M. Siahaan
(1987:1333), “Satu ungkapan tradisional Batak yang terkenal yang disampaikan pada

Universitas Sumatera Utara

saat upacara pernikahan ialah ungkapan yang mengharapkan agar kelak pengantin
baru dikaruniai putra 17 dan putri 16.” Konsep hagabeaon ini pada hakikatnya
berakar dari budaya bersaing pada zaman purba yang terwujud dalam perang antar
huta.

Secara tradisional, MBT sangat ingin mempunyai anak karena itu sangat
sayang kepada anak-anaknya, baik anak laki-laki maupun perempuan. Oleh karena
itu, kalau MBT ingin memberi doa restu (istilah Batak: masumasu) maka MBT selalu
menitik beratkan doanya pada permohonan agar Tuhan memberi kepada orang atau
keluarga yang direstui itu hagabeon (banyak anak). Menurut Sihombing (2000:25),
MBT tidak pernah memulai berdoa dengan mendoakan kekayaan atau kekuasaan atau
kebahagaian yang lain, sesuai dengan makna yang terkandung dalam filsafat
hagabeon, yakni “Hagabeon” itulah kekayaan dan kemakmuran, hagabeoan itulsh
kekuasaan dan kekuatan dan Hagabeon itulah derajat tinggi.

Untuk mencapai hagabeon, maka MBT haruslah memperhatikan nilai-nilai
religi yang dianutnya. Kehormatan dan kemuliaan MBT dalam memperoleh banyak
anak dan panjang umur tidak akan menjadi panutan masyarakat apabila tidak
memiliki perilaku religi yang kuat. Hal ini disebabkan kehormatan dan kemuliaan
hagabeon itu dapat diraih hanya berkat kehendak Debata Mulajadi Na Bolon yang
dalam alam kenyataan didelegasikan kepada hula-hula. Menurut Harahap dan

Universitas Sumatera Utara

Hotman M. Siahaan (1987:160), “Ukuran hagabeon adalah keluarga yang besar dan
usia lanjut sekaligus menjadi panutan masyarakat”.

2.1.3.4 Hasangapon

Hasangapon (kemuliaan, kewibawaan, kharisma) suatu nilai utama yang
memberi dorongan kuat untuk meraih kejayaan (Harahap dan Hotman M. Siahaan,
1987:134) Dorongan yang kuat untuk meraih hasangapon dalam kehidupan MBT
tidak hanya berdasarkan kondisi kini dan masa yang akan datang melainkan juga
didasarkan pada pencapaian leluhurnya.

Harahap dan Hotman M. Siahaan (1987:184) berpendapat bahwa seseorang
yang telah berhasil meraih hagabeon dan hamoraon tidak dengan sendirinya meraih
hasangapon apabila nilai-nilai hasangapon terutama bisuk, arif, dan bijaksana, belum
dimiliki.

Kharisma, wibawa, terpandang dan terhormat baru lebih bermakna

hasangapon apabila telah memiliki bisuk, yang merupakan nilai dasar dalam nilai
hasangapon.

2.1.3.5 Hamoraon

Heselgreen (2008:68) mengatakan bahwa “Hamoraon menunjukkan bahwa
tujuan dalam hidup adalah menyejahterakan. Secara tradisional, kesejahteraan
dianggap sama dengan memiliki banyak istri dan anak, ladang-ladang yang luas dan
banyak ternak. Kepemilikan ini dianggap sebagai hasil karena memiliki sahala.”

Universitas Sumatera Utara

Sebaliknya, Vergouwen (2004:164) melihat bahwa hamoraon merupakan sumber
otoritas kesuksesan dan kedermawanan seorang raja sejati sebagaimana tersebut di
bawah ini.

Hamoraon (kekayaan) juga merupakan sumber penting otoritas. Ia
mencerminkan kehidupan yang sukses, mujur dalam permainan, menang
perang, untung dalam perdagangan, nasib baik dalam bercocok tanam, dan
keberhasilan dalam berternak. Hal-hal tersebut dapat menyebabkan kekuasaan
seseorang menjadi kuat di dalam lingkungannya: pada masa lalu, berdasarkan
kekayaan seseorang dapat menjalankan perang dalam waktu lama, dan saat
sekarang ia menungkinkan orang mendapatkan uang emas yang lebih tinggi
dari seorang putri yang dikawinakn, dan dengan demikian affina yang
berpengaruh. (...) Namun, wujud utama hamoraon adalah pangalangon atau
partamueon (senang menjamu); kedermawanan akan menunjukkan kadar
kualitas seorang kepala yang sejati.
Pada hakikatnya, perilaku hamoraon dalam kehidupan MBT didasari religi
yang kuat, secara serempak pula diusahakan meraih hagabeon.

2.1.3.6 Hukum

Secara tradisional, hukum dalam kehidupan MBT tidak dapat diubah sebelum
diyakini benar bahwa aturan dan hukum yang baru lebih baik daripada hukum adat
yang diiwariskan oleh nenek moyangnya. Hukum dalam adat MBT disebut patik
dohot uhum yang mengandung makna aturan dan hukum. Nilai patik dohot uhum
merupakan nilai budaya yang diwariskanoleh MBT secara turun-temurun, baik
berdasarkan hukum adat maupun hukum formal (modern). Oleh karena itu, salah satu
prinsip dasar hukum tradisional ialah bahwa ia tidak dapat diubah, termasuk hukum
adat MBT.

Universitas Sumatera Utara

Vergouwen (2004:176) berpendapat “Hukum diangankan sebagai ‘adat
istiadat leluhur yang pertama lahir ke dunia, sahala leluhur, adat ni impunta na
jumolo tubu, sahala ni amanta’. Satu konsep yang menyanjung kearifan nenek
moyang, yang merumuskan hukum seklaigus mendukung otoritasnya.”

Hukum adat merupakan seperangkat aturan yang datang dari Debata Mulajadi
Na Bolon melalui hula-hula. Secara tradisional, hukum adat ini mengatur kehidupan
MBT, baik dengan sesama manusia, alam sekitarnya, roh nenek-moyang, maupun
dengan Debata Mulajadi Na Bolon. Oleh karena itu Bagi MBT, kesadaran hukum
adat mengandung makna religi sedangkan kesadaran hukum formal mengandung
makna hubungan antarmanusia.

2.1.3.7 Hamajuaon

Di dalam MBT, hamajuon yang berarti kemajuan hanya dapat diraih dengan
cara merantau dan menuntut ilmu. Hal ini disebabkan tanah pertanian di sekitar
Danau Toba pada umumnya berbatu-batu dan terbatas untuk dijadikan lahan
pertanian, terutama persawahan, sehingga MBT terpaksa bermigrasi ke berbagai
daerah di luar Tanah Batak.

Keterbelakangan MBT mulai terusik setelah agama Kristen memasuki
wilayah budaya Toba pada pertengahan abad ke -19, terutama keberhasilan
Nommensen menguasai bahasa dan budaya Batak Toba dalam mengkristenkan MBT.

Universitas Sumatera Utara

Keberhasialn Nommensen diikuti oleh kehadiran penjajahan Belanda di Tanah Batak
sehingga memberikan perubahan yang mendasar terhadap peningkatan taraf hidup
MBT. Nomensen dan Belanda mendirikan pendidikan formal, gereja, dan sarana
kesehatan sehingga membuka isolasi kawasan budaya Batak Toba. Dengan demikian
konsep hamajuon mendapat sambutan yang baik di kalangan MBT yang ketika itu
masih pagan atau beragama tradisional Batak.

Sejak MBT menemukan jalan ke Sumatera Timur serta wawasan baru dari
Nomensen dan Belanda maka MBT mulai berimigrasi ke daerah daerah yang mampu
memberi kehidupan yang lebih baik. Merantau atau marjojo, keluar wilayah budaya
Batak Toba pun menjadi tradisi dalam kehidupan MBT. Menurut Harahap dan
Hotman M. Siahaan (1987: 170-171), “Hanya orang-orang yang memiliki berbagai
kelebihan melakukan tindakan merantau. Kelebihan itu antara lain cita-cita yang kuat
untuk meraih kemajuan, daya tarik kerabat yang sudah lama bermukim di rantau,
kemampuan untuk menghadapi segala kemungkinan yang sulit di tempat baru.

2.1.3.8 Konflik

Pada hakikatnya, MBT tidak mau lari dari konflik. Hal ini disebabkan sistem
kekerabatan Dalihon Na Tolu memiliki mekanisme untuk menyelesaikan setiap
konflik melalui musyawarah keluarga dekat, rapat adat, ataupun rapat warga.

Universitas Sumatera Utara

Penyelesaian konflik dalam kebudayaan MBT digambarkan oleh Harahap dan
Hotman M. Siahaan (1987:178) sebagai berikut;

Konflik pada MBT umunya lahir dari perlakuan tidak adil sehingga ada pihak
yang menderita atas perbuatan itu. Penyelesaian secara kekeluargaan yang
terbuka di forum keluarga dekat dengan forum Dalihan Na Tolu
menghadirkan pihak yang berkonflik. Kepada kedua itu diberikan kesempatan
untuk berbicara tentang asal muasal konflik. Dengan demikian pihak yang
menengahi konflik ini mengetahui dengan pasti sumber konflik, proses
kejadian konflik, akibat-akibat konflik untuk jadi bahan pertimbangan
mencari jalan keluar dari konflik itu. Pihak penengah yang biasanya terdiri
dari hula-hula, sespuh atau tokoh masyarakat, menekankan agar kedua pihak
yang berkonflik mawas diri dengan mengungkapkan betapa pentingnya
kerukunan dalam kekerabatan.
Kemampuan MBT dalam berkonflik dan berperang telah terbukti dengan
pemunculan Sisingamangaraja XII melawan penjajahan Belanda di Tanah Batak.

2.1.3.9 Pengayoman

Pengayoman

dalam

adat

MBT

adalah

pemberi

kearifan,

pemberi

kesejahteraan, pelindung yang ditaati, pencipta ketentraman batin yang dalam sistem
kekerabatan Dalihan Na Tolu diperankan oleh hula-hula. Di samping itu, raja atau
penguasa dan anak raja, baik dalam kedudukan hula-hula maupun dalam kedudukan
penguasa dan bawahannya harus dipatuhi.

Menurut penelitian Hesselgren (2008:69), “Sistem Dalihan Na Tolu
mencegah pembentukan kelas-kelas sosial yang kaku. Selalu ada hula-hula
(kelompok tempat asal istri) yang harus dipelihara dan dihormati.” Oleh karena itu,

Universitas Sumatera Utara

yang paling menonjol dalam kehidupan MBT adalah kekentalan hubungan
kekerabatan berdasarkan hubungan darah, disusul seia sekata dan tolong menolong
berdasarkan kasih sayang. Dengan demikian, pengayoman dalam sistem budaya
Batak toba diperankan hula-hula.

Kedudukan hula-hula- tercermin dalam ungkapan yang diberikan kepadanya
berikut ini.

Hula-hula do bona ni ari, bona ni ari hangoluan, na manumpak manggabei di
angka boruna, tudoshon mata ni ari bona ni hangoluan, na mangalehon
sondang dohot halason tu nasa na tinompa. (artinya: Hula-hula sumber hari,
sumber hari kehidupan, yang menempa kemuliaan dan kebahagiaan kepada
borunya, seperti matahari sumber kehidupan, yang memberikan cahayadan
kesenangan kepada segenap makhluk (Harahap dan Hotman M. Siahaan,
1987:164)
Salah satu cara memberikan pengayoman dalam sistem MBT disimbolkan
dengan pemberian ulos. Menurut hasil penelitian Vergouwen (2004:60), “Ulos adalah
sejenis pakaian yang berbentuk selembar kain. Kain ini ditenun oleh perempuan
Batak dengan berbagai pola dan dijual di pekan.” Ulos memiliki suatu kualitas
religius-magis. Oleh karena itu, pembuatan ulos dipenuhi oleh banyak larangan yang
tidak boleh diabaikan selama penenunan. Kain itu bisa dianggap seseuatu yang
diberkati dengan kekuatan keramat. Panjang kain tersebut sudah ditentukan, dan jika
panjangnya menyalahi ketentuan maka ulos tersebut dapat membawa maut dan
kehnacuran pada tondi si penenun. Akan tetapi, jika ulos tersebut dibuat dengan pola
tertentu maka ia dapat digunakan sebagai pembimbing dalam kehidupan.

Universitas Sumatera Utara

Menurut Vergouwen (2004:61), ulos menjadi satu di antara sarana yang
dipakai hula-hula untuk mengalihkan sahala kepada boru-nya jika memerlukan
perlindungan. Ungkapan filsafat MBT yang berkaitan dengan ulos sebagai simbol
kasih sayang pengayom keluarga adalah Ijuk pangihot ni hodong, Ulos pangihot ni
holong . Artinya : ijuk ialah pengikat pelepah pada batangnya dan ulos ialah pengikat
kasih sayang antara orang tua dan anak-anak atau antara seseorang dengan orang
yang lain ( Sihombing, 2004:42).

Berdasarkan paparan di atas, ulos dalam kehidupan MBT berfungsi sebagai
simbol kasih sayang. Oleh karena itu, hanya natoraslah (orang tua) yang patut
mangulosi ianakkon (anak-anak kita). Mangulosi orang yang di atas kita adalah
pantang sehingga boru tidak boleh sekali-kali mangulosi hula-hula-nya. Ulos yang
diberikan tidak boleh sembarangan. Misalnya, ulos ragidup akan diberikan kepada
boru yang akan melahirkan anak sulungnya. Ulos ini harus memenuhi syarat tertentu
dan ulos ini dinamai ulos sinagok, yang artinya ulos yang penuh segala-galanya
(Sihombing, 2004:46-47). Dengan demikian, prinsip pengayoman berjalan dengan
baik dalam adat MBT, baik diperankan oleh hula-hula maupun melalui simbolisasi
ulos.

2.1.4 Jenis Upacara Adat Masyarakat Batak Toba

Sejak dahulu kala MBT sangat setia melaksanakan upacara adat dalam
berbagai kegiatan. Adat sebagai bahagian dari kebudayaan elemen untuk

Universitas Sumatera Utara

mempertinggi kualitas kehidupan manusia dan merupakan identitas budaya dalam
khasanah kebhinekaan di dalam negara tercinta ini. Pada dasarnya adat di dalam
implementasinya berfungsi menciptakan dan memelihara keteraturan, ketentuanketentuan adat dalam jaringan hubungan sosial diadakan untuk menciptakan
keteraturan, sehingga tercapai harmonisasi hubungan secara horizontal sesama warga
dan hubungan vertikal kepada Tuhan. Dengan demikian adat adalah aturan hukum
yang mengatur kehidupan manusia sehingga bisa menciptakan keteraturan,
ketentraman dan keharmonisan (Simanjuntak, 2001).

Upacara-upacara di sepanjang lingkaran hidup manusia di dalam antropologi
dikenal dengan

istilah rites de passages atau

life cycle rites. MBT memiliki

beberapa upacara adat. Jenis upacara adat MBT sudah dimulai dari masa dalam
kandungan, kelahiran, penyakit, malapetaka, hingga kematian. Peralihan dari setiap
tingkat hidup ditandai dengan pelaksanaan suatu upacara adat khusus. Upacara adat
dilakukan agar terhindar dari bahaya/celaka yang akan menimpa, memperoleh berkat,
kesehatan dan keselamatan. Ini merupakan salah satu prinsip yang terdapat di balik
pelaksanaan setiap upacara adat MBT. Life cycle rites yang dijumpai pada MBT:

a. kehamilan (mangganje) disebut juga upacara adat mangirdak atau mambosuri
boru (adat tujuh bulanan).
Upacara adat mangirdak adalah upacara yang diterima oleh seorang ibu yang
usia kandungannya tujuh bulan.

Universitas Sumatera Utara

b. kelahiran (mangaharoan).
Upacara adat mangharoan adalah upacara adat yang dilaksanakan setelah dua
minggu kelahiran bayi untuk menyambut kedatangan bayi tersebut dalam
keluarga tersebut.
c. pemandian dan pemberian nama (martutu aek dan mampe goar).
Upacara adat martutu aek adalah upacara adat pemberian nama kepada bayi.
Namun, pada saat ini, upacara ini sudah tidak dilakukan lagi karena dianggap
tidak sesuai dengan ajaran agama dan pemandian dilakukan dengan membawa
bayi tersebut ke gereja untuk dipermandian (baptis).
d. Upacara adat marhajabuan
Upacara adat marhajabuan adalah upacara adat pernikahan sesuai dengan adat
Batak Toba.
e. menyulangi (manulangi).
Upacara adat manulangi adalah upacara adat yang diberikan kepada orang tua
yang lanjut usianya dengan menyulangkan makanan kesukaan.
f. kematian (hamatean).
Upacara adat hamatean adalah upacara adat kematian sesuai dengan adat
Batak Toba.
g. mengali tulang belulang (mangongkal holi).
Upacara adat mangongkal holi adalah upacara adat penggalian tulang belulang
orang tua yang telah meninggal untuk dimasukkan kedalam tugu.

Universitas Sumatera Utara

Pada setiap upacara adat tradisional MBT, 'Dalihan Na Tolu' adalah unsur
penting. 'Dalihan Na Tolu' terdiri dari 'hula-hula', 'dongan sabutuha' dan 'boru' yang
berpartisipasi aktif dalam setiap upacara tersebut.

2.1.5 Kematian Pada Mayarakat Batak Toba
2.1.5.1 Klasifikasi Upacara Kematian Masyarakat Batak Toba
Sesuai dengan rumusan permasalahan, penelitian ini hanya difokuskan pada
upacara kematian maka di sini akan diuraikan jenis upacara kematian MBT. Upacara
kematian pada MBT merupakan pengakuan bahwa ada kehidupan lain di balik
kehidupan di dunia ini. Dalam tradisi MBT, orang yang meninggal akan mengalami
perlakuan khusus, dalam sebuah upacara adat kematian.
Upacara adat kematian tersebut berkategori berdasarkan usia dan status
orang yang meninggal seperti berikut 15;
a.

Kematian ketika masih di dalam kandungan (mate di bortian) belum
mendapatkan perlakuan adat (langsung dikubur tanpa peti mati),

b.

Meninggal ketika masih bayi (mate poso-poso), meninggal ketika anak-anak
(mate dakdanak), meninggal ketika remaja (mate bulung), dan meninggal
ketika sudah dewasa tapi belum menikah (mate ponggol), keseluruhan

15

Kebudayaan suku Tapanuli. http://sukutapanuli.blogspot.com/, diunggah tanggal 14 februari 2012

Universitas Sumatera Utara

kematian tersebut mendapat perlakuan adat mayatnya ditutupi selembar ulos
(kain tenunan khas MBT) sebelum dikuburkan. Ulos penutup mayat untuk
mate poso-poso berasal dari orang tua yang meninggal sedangkan untuk mate
dakdanak dan mate bulung berasal dari tulang (saudara laki-laki ibu) yang
meninggal.
c.

Meninggal telah berumah tangga namun belum mempunyai anak (mate di
paralang-alangan/mate punu), ada dua ulos yang disediakan satu untuk
penutup mayat dan satu lagi untuk

d.

Telah berumah tangga dengan meninggalkan anak-anaknya yang masih kecil
(mate mangkar), apabila kepala keluarga yang meninggal (matipul ulu) dan
bila istri yang meninggal dunia (matompas tataring),

e.

Telah memiliki anak-anak yang sudah dewasa, bahkan sudah ada yang
menikah, namun belum bercucu (mate hatungganeon),

f.

Telah memiliki cucu, namun masih ada anaknya yang belum menikah (mate
sari matua),

g.

Semua anak-anaknya telah menikah dan telah bercucu tidak harus dari semua
anak-anaknya (mate saur matua). Mate Saurmatua menjadi tingkat tertinggi
dari klasifikasi upacara adat kematian MBT, karena meninggal ketika semua
anaknya telah berumah tangga.

Universitas Sumatera Utara

h.

Meninggal ketika semua anak-anaknya telah berumah tangga, dan telah
memberikan tidak hanya cucu, bahkan cicit dari anaknya laki-laki dan dari
anaknya perempuan yaitu mate saur matua bulung.
Jenis kematian yang paling ideal dalam MBT menurut Delfi (2008;20)

adalah kematian saur matua karena kematian di usia yang sudah sangat tua,di mana
semua anak-anaknya telah menikah dan telah memiliki cucu dari anak-anaknya.
Kematian di usia yang sudah sangat tua, merupakan kematian yang paling diiginkan
oleh MBT .
Upacara kematian MBT sangat erat kaitannya dengan kepercayaan agama,
struktur sosial, dan nilai budaya. Sistem upacara kematian yang dilakukan dalam
setiap kematian menggambarkan jenis kematian yang sedang terjadi. Jenis kematian
memberi hak dan kewajiban kepada ahli waris untuk memberlakukan suatu sistem
upacara kepada mendiang. Kajian tradisi andung yang dibahas dalam penelitian ini
terbatas hanya pada acara kematian MBT secara umum, untuk melihat bagaimanakah
fungsi andung dalam acara kematian itu.
2.1.6 Andung
Andung sebagai tradisi lisan, tidak hanya dikenal di daerah MBT saja. Andung
dalam Masyarakat Batak (MB) mempunyai beragam sebutan. MBT mengenal tradisi
ratapan

dengan

nama

andung,

sedangkan

Masyarakat

Batak

Simalungun

mengenalnya dengan istilah suman-suman, dalam Masyarakat Batak Karo disebut
bilang-bilang, selanjutnya Masyarakat Pakpak – Dairi dan Masyarakat Batak

Universitas Sumatera Utara

Angkola-Mandailing mempergunakan nama yang sama seperti yang dikenal dalam
MBT, yaitu andung 16.
Tradisi MBT mangandung “meratap” dalam acara kematian lebih banyak
dilakukan melalui penceritaan kembali kehidupan “yang mati” semasa hidupnya.
Semua ini dituturkan kembali oleh pangandung “peratap” melalui ratapan dalam
tuturan yang disebut andung. Jadi, dalam acara kematian tersebut melalui andung
seakan-akan peratap berkomunikasi kembali dengan

“yang mati” tadi. Suasana

berkabung bertambah sedih dan menambah kepiluan di sekitar area, tempat mayat
tersebut dibaringkan. Orang-orang yang berada di dekat “yang mati” saut -menyahut
meratapi kematiannya. Isi andung biasanya dituturkan dalam rangkaian kata, pujian,
sanjungan atau kebaikan

dengan turun naiknya nada dan intonasi petutur

pangandung. Akibatnya, andung tadi terasa sangat syahdu dan menyayat hati setiap
orang yang mendengar. Deretan andung dapat berupa elegi (puisi yang berupa ratap
tangis atau kesedihan) bahkan rangkaian cerita dalam bentuk prosa liris.
Andung adalah “cetusan perasaan duka cita” dengan kata –kata yang teratur,
indah dan penuh kesedihan terhadap seorang tercinta yang meninggal. Andung
merupakan ratapan, jerit tangis atau senandung hati yang diuntai dalam syair sastra
dan lagu spontan, sebagai ungkapan perasaan mendalam 17. Sesuatu yang wajar jika
satu keluarga menangis di sekeliling anggota keluarga / kerabat yang meninggal dan
terbujur kaku. Mereka menangisi si mati, dan yang lainnya meratapi kematiannya.

16

Uli Kozok, Warisan Leluhur Sastra Lama dan Aksara Batak ( Jakarta :Kepustakaan Popular Gramedia, 1999), .pp.15-17
17

T.M. Sihombing. op.cit, p.122.

Universitas Sumatera Utara

Meratap berbeda dengan menangis. Meratap dalam bahasa Batak Toba disebut
mangandung. Mangandung ialah menangis sambil melantunkan bait-bait syair
kematian dan syair kesedihan hati. Karena sepenuhnya terikat dengan komponen
syair-syair maka mangandung adalah satu bentuk seni yang menuntut keahlian.
Untuk memperoleh kepiawaian harus belajar.

Menurut

Harahap dan Siahaan (1987: 155-156) andung atau ratapan

dilagukan dengan penuh penjiwaan yang mengharukan. Contoh andung seorang anak
ketika ayahnya meninggal.

Tua ni marampang
marpanggaru-garuan
Tua ni na marama
marpangalu-aluan

untung memiliki ampang
mempunyai siku-siku penopang
untung yang berayah
mempunyai tempat mengadu

Andung ini diratapkan anak ketika ayahnya meninggal. Ungkapan ini
merupakan nasihat bagi pendengarnya agar mencintai orangtuanya. Orang tua,
khususnya ayah adalah tempat mengadu. Ketiadaan ayah merupakan hambatan
perjuangan hidup. Walaupun hubungan ayah, ibu dan anak pada dasarnya adalah
hubungan antara manusia, namun memiliki nilai religi. Takdir yang ditentukan oleh
Debata Mulajadi Na Bolon diterima dengan pasrah.

Dalam tradisi andung digunakan lagu-lagu ratapan yang disebut dengan
andung-andung. Khusus andung dalam konteks kematian merupakan ekspresi duka
cita yang terstruktur/terbentuk sebagai kebutuhan adat untuk menghormati orang

Universitas Sumatera Utara

yang meninggal (roh/tondi).

Andung juga berfungsi sebagai saluran komunikasi

dunia nyata dengan dunia fana, maksudnya komunikasi antara orang yang masih
hidup dengan orang yang meninggal. Syair-syair dalam andung bervariasi sesuai
dengan sosok yang di-andung-kan dan orang yang melantunkan andung tersebut.
Dalam konteks kesedihan atau dukacita bentuk andung terkadang ditujukan bukan
hanya kepada orang yang meninggal tetapi juga kepada orang yang datang melayat
(maningkir) 18.
Andung tidak sama dengan Andung-andung. Andung adalah sejenis ratapan
pada waktu orang meninggal, saat yang meratap itu menuturkan semua kesedihannya
dengan kata-kata khusus atau “bahasa andung” yang merupakan “bahasa Batak Toba
yang halus”. Sebaliknya Andung-andung tidak dikumandangkan ketika ada yang
meninggal dunia dan biasanya berupa gabungan ratapan dengan nyanyian dan andung
andung dapat diiringi musik seperti kecapi dan seruling (Sibarani,dkk.1999:85).
Dengan kata lain bahwa orang yang membawakan andung (mangandung) akan
menitikkan air mata karena langsung menghadapi orang meninggal, sedangkan orang
yang membawakan andung-andung (mengandung-andung) belum tentu menitikkan
air mata sebab tidak ada musibah yang dihadapinya.

18

W. Robert Hodges.. “Tu Dia Ho, Dung Mate Ho?” (Jurnal Ilmu Pengetahuan dan Seni. Vol.2. No.1.
Departemen Etnomusikologi Universitas Sumatera Utara. 2006), p.13

Universitas Sumatera Utara

Jadi dapat disimpulkan bahwa andung sebuah ratapan atau ungkapan perasaan
hati yang mendalam untuk mengekspresikan sebuah kesedihan baik dalam bentuk
kata-kata maupun nyanyian.
2.1.6.1 Asal Mulanya andung
Sebagai keterangan dari permulaan “mangandung” itu, menurut Sihombing 19
seorang tua-tua mengatakan sebagai berikut ;
Pada zaman dahulu ada seorang raja, yang pada waktu dia hendak meninggal
dunia berpesan kepada keluarganya, “kalau saya mati, janganlah kalin hanya
menangisi saya, tetapi dalam menangisi saya itu, ceritakanlah semua
perbuatan-perbuatanku yang telah membuat hidupku termasyur.”
Setelah sang raja wafat, maka istri, anak-anak lelaki dan perempuan, serta
famili terdekat sang raja, harus menangi