Tradisi Andung Pada Masyarakat Batak Toba Chapter III VI

BAB III
METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian
Dalam penelitian tradisi andung pada upacara kematian MBT,

Lokasi

penelitian yang diamati adalah Desa Janji Mauli Kecamatan Onan Runggu-Pulau
Samosir pada upacara kematian Op. Pirlo Harianja, dan Desa Saentis Percut sei Tuan
Kabupaten Deli Serdang pada upacara kematian Op. ni si JosuaTumanggor.
Waktu penelitian tradisi andung pada MBT ini dimulai dari Bulan Oktober
2011- Mei 2012, hampir delapan bulan peneliti melakukan pengamatan secara
langsung di mana ada upacara kematian dan mengamati tradisi Andung pada upacara
kematian MBT.
3.2 Metode Penelitian Kualitatif
Penelitian kualitatif berbeda dengan penelitian kuantitatif. Penelitian
kualitatif sering disebut dengan penelitian naturalistik, etnografik, studi kasus atau
fenomenologi. Penelitian kualitatif menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata
tertulis atau lisan tentang orang-orang atau perilaku yang dapat di amati.
Penelitian kualitatif adalah penelitian yang tidak menggunakan angka dalam

mengumpulkan data dan dalam memberikan penafsiran terhadap hasilnya 28. Data
kualitatif diperoleh melalui berbagai macam teknik pengumpulan data misalnya

28

Arikunto,Suharsimi, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek (Penerbit Rineka Cipta:1999),.p.12.

Universitas Sumatera Utara

wawancara, analisis dokumen, diskusi terfokus, atau observasi yang telah dituangkan
dalam catatan lapangan (transkrip). Bentuk lain data kualitatif adalah gambar yang
diperoleh melalui pemotretan atau rekaman video.
Metode yang digunakan dalam penelitian Tradisi Andung pada MBT adalah
metode penelitian kualitatif deskriptif . “Metode kualitatif memberikan perhatian
terhadap data alamiah, data dalam hubungannya dengan konteks keberadaannya” 29.
Penelitian kualitatif lebih mengarah ke penelitian proses daripada produk; dan
biasanya membatasi pada satu kasus. Dengan metode ini akan dibuat deskrispsi yang
sistematis dan akurat mengenai data yang diteliti. Metode deskripsi dipilih karena
penelitian yang dilakukan bertujuan untuk menggambarkan dengan jelas tentang
objek yang diteliti secara alamiah. Metode ini berdasarkan pada penggunaan data

yang murni dan alamiah sehingga diperoleh hasil penelitian yang menjelaskan realita
yang sebenarnya. Berdasarkan metode ini pula dianalisis data yang diperoleh,
sehingga dapat memberikan hasil secara positif dan setepat mungkin. Dalam hal ini
akan dideskripsikan bagaimana proses dari tradisi andung tersebut dalam acara
kematian MBT .

29

Ratna, Nyoman Kutha,Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra(Yogyakar,. Pustaka Pelajar: 2004),.p.7

Universitas Sumatera Utara

3.3 Data dan Sumber Data
Data adalah sesuatu yang diperoleh melalui suatu metode pengumpulan data
yang akan diolah dan dianalisis dengan suatu metode tertentu yang selanjutnya akan
menghasilkan sesuatu yang dapat menggambarkan atau mengidentifikasi sesuatu 30.
Data yang digunakan dalam penelitian tradisi andung terdiri dari dua macam
data. Data utama (data primer) merupakan rekaman andung yang langsung diamati
pada upacara kematian MBT. Dalam hal ini peneliti merekam andung pada saat
upacara kematian Op. Pirlo Harianja di Desa Janji Mauli Kecamatan Onan Runggu

dan merekam andung pada upacara kematian Keluarga Op. Ni si Josua Tumanggor
di Desa Saentis Percut Sei Tuan. Data kedua (data sekunder) dalam penelitian ini
adalah hasil wawancara dengan informan dari Op. Rohani dan Ny. Sidabutar br.
Simanjuntak selaku penutur andung maupun informan yang mengetahui langsung
tradisi andung pada upacara kematian MBT. Peneliti memilih sebagai informan yang
mengetahui andung adalah St. Ir. B. Hutagaol (Op. Patricia), St. L. Hutagaol (Op.
Yohana), Op. Simon Gultom, Drs. Bachtiar Nababan. Peneliti memilih mereka
sebagai informan karena mereka lebih mengetahui apa itu andung dan merupakan
masyarakat yang sudah lama tinggal di daerahnya.
Dalam penelitian ini sumber data lisan yaitu tuturan dari sipangandung, yang
di dapat pada upacara kematian MBT. sedangkan sumber data tulis didapat dari
tulisan-tulisan seperti buku, makalah, majalah, surat kabar, artikel, karya-karya
30

Haris, Herdiansyah,.Metodologi Penelitian Kualitatif untuk Ilmu-ilmu
2010),p.116

Sosial.(Jakarta:Penerbit Salemba Humanika:

Universitas Sumatera Utara


ilmiah, sumber tertulis di internet (pustaka digital) dan sejenisnya, dan catatan hasil
wawancara dengan informan. Untuk melengkapi data penelitian ini juga dibutuhkan
data berupa rekaman audio atau audiovisual yang dilakukan secara langsung maupun
tidak langsung.

3. 4 Teknik Pengumpulan Data dan Perekaman Data
Teknik pengumpulan data secara umum diketahui ada dua yaitu : teknik
pengumpulan data secara perpustakaan (library research) dan penelitian lapangan
(field research). Penelitian tradisi andung pada MBT

menggunakan

teknik

pengumpulan data dengan penelitian lapangan (field research) dan secara studi
pustaka (library research).
Teknik pengumpulan data dengan penelitian lapangan dilakukan secara
langsung yaitu metode wawancara. Menurut Moleong (2005) wawancara adalah
percakapan dengan maksud dan tujuan tertentu. Percakapan dilakukan oleh dua

pihak, yaitu pewancara (interviewer) yang mengajukan pertanyaan dan terwancara
(interviewee) yang memberikan

jawaban atas pertanyaan tersebut. Gorden

(Herdiansyah, 2010) mendefinisikan wawancara, “interviewing is conversation
between two people in which one person tries to direct the conversation to obtain
information for some specific purpose” (“...percakapan diantara dua orang yang mana
salah satunya bertujuan untuk mendapatkan informasi lansung untuk suatu tujuan

Universitas Sumatera Utara

tertentu...”) 31 . Oleh karena itu sebuah wawancara yang baik di dalamnya terdapat
pertukaran atau berbagi informasi dari kedua belah pihak. Dalam melakukan
wawancara, peneliti melakukan wawancara mendalam (in depth –interview) tidak
berstruktur untuk melengkapi data. Wawancara ini dilakukan untuk mendapatkan
data-data yang dihimpun dari jawaban-jawaban informan dari pertanyaan-pertanyaan
yang diajukan peneliti. Adapun pertanyaan itu tidak hanya dipersiapkan terlebih
dahulu, akan tetapi pertanyaan juga muncul sebagai reaksi saat menyaksikan kegiatan
atau proses tradisi andung pada upacara kematian MBT.

Selanjutnya, pengumpulan data lapangan yang peneliti lakukan lagi yaitu
observasi. Observasi ialah suatu kegiatan mencari data yang dapat digunakan untuk
memberikan suatu kesimpulan atau diagnosis 32. Observasi dilakukan dengan
pengamatan partisipasi (participation observation) yang dilakukan dengan terjun
langsung di lapangan dan mengamati objek secara langsung, ikut terlibat dalam
kegiatan upacara kematian, melakukan pencatatan bagaimana tradisi andung tersebut
berlangsung dalam sebuah upacara kematian MBT, dan merekam peristiwa/proses
berlangsungnya upacara kematian MBT tersebut. Kegiatan upacara kematian tersebut
direkam langsung oleh peneliti dengan menggunakan sebuah Handycam merek JVCEverio. Begitu juga wawancara dengan informan memakai alat yang sama dan juga
dibantu dengan alat rekaman yaitu tape record merk Sony.

31
32

Haris,Herdiansyah, Ibid. p.118.
Ibid.p.131.

Universitas Sumatera Utara

Teknik pengumpulan data secara studi kepustakaan (written documenst)

dilakukan dengan mengumpulkan data-data melalui documentary historical yakni
mengumpulkan data melalui dokumen-dokumen yang berhubungan dengan objek
yang akan diteliti yaitu tradisi andung pada upacara kematian MBT, baik itu berupa
teks buku, artikel, pustaka digital ( internet) dan tulisan-tulisan ilmiah yang
berhubungan dengan objek penelitian.

3.5 Teknik Analisis Data
Analisis data merupakan proses untuk mengatur dan mengkategorikan data
yang didapat. Hasil data yang sudah terkumpul kemudian akan diolah dan dianalisis
secara kualitatif.
Proses analisis data dimulai dengan reduksi

data yang didapat dan

mengklasifikasikan data yang telah dikumpulkan. Data yang terkumpul berasal dari
hasil wawancara dan observasi. Peneliti juga mentranskrip data andung dari sipenutur
andung atau si pangandung tersebut dan menterjemahkan teks andung tersebut ke
dalam Bahasa Indonesia. Setelah proses tersebut langkah selanjutnya adalah
mendeskripsikan data berdasarkan permasalahan dalam penelitian ini dan membuat
kesimpulan dari hasil penelitian.


Universitas Sumatera Utara

BAB IV
PAPARAN PENELITIAN
Pada bab ini akan diuraikan paparan etnografis dari lokasi penelitian yaitu
Masyarakat Batak Toba Desa Janji Mauli Kecamatan Onan Runggu dan hasil
pengamatan di lapangan secara langsung Tradisi Andung pada upacara kematian
MBT. Sehubungan dengan fokus penelitian tradisi andung pada upacara kematian
MBT, maka pertama peneliti akan mendeskripsikan upacara kematian MBT “Sari
matua” yang diamati secara langsung di lapangan dan kemudian tradisi andung.
4.1 Etnografis Masyarakat Batak Toba Di Kecamatan Onan Runggu
4.1.1 Sistem Mata Pencaharian
Pada umumnya pekerjaan MBT di Desa Janji Mauli adalah bercocok tanam
padi di sawah dan ladang, selain itu juga sebagai nelayan di Danau Toba. Meskipun
ada yang wiraswasta, pegawai negeri seperti guru dan pegawai pemerintah.
Masyarakat ini memiliki pemukiman yang khas berupa desa-desa yang tertutup yang
membentuk kelompok kecil masyarakatnya. Biasanya kelompok ini adalah kumpulan
marga/klan atau masih memiliki hubungan kekerabatan dalam dalihan na tolu. Desadesa tertutup ini disebut huta. Di sekitar huta tersebut biasanya dekat dengan bahal
biasanya terdapat pohon beringin, biasanya disebut juga dengan hariara (pohon

beringin).

Perternakan juga salah satu mata pencaharian masyarakat ini antara lain
berternak kerbau, sapi, babi, kambing, ayam, dan bebek. Penangkapan ikan dilakukan

Universitas Sumatera Utara

sebagian penduduk di sekitar Danau Toba. Dalam berwiraswasta bidang usaha yang
banyak dikelola oleh masyarakat adalah berjualan atau berdagang.

4.1.2 Agama Dan Kepercayaan
Agama yang paling dominan di daerah ini adalah Katolik. Sebagian menganut
agama Protestan dan agama Islam. Rumah-rumah ibadah juga banyak terdapat di
daerah itu seperti gereja dan mesjid. Masyarakat ini juga masih menganut
kepercayaan ini menganggap bahwa benda-benda tertentu mempunyai daya kekuatan,
oleh karena itu harus ditutupi dengan rasa takut, khidmat dan rasa terima kasih.
Kepercayaan yang dianut oleh masyarakat tradisional Batak Toba adalah
kepercayaan terhadap Mulajadi Na Bolon yang dipercayai oleh orang Batak sebagai
dewa tertinggi mereka: pencipta 3(tiga) dunia: dunia atas (banua ginjang), dunia
tengah (banua tonga) dan dunia bawah (banua toru). Manusia dipercaya hidup di

tengah, tidak terpisah dari alam, manusia satu dengan kosmos. Adat memimpin hidup
manusia perseorangan, sedangkan masyarakat adalah simbol ketertiban kosmos. Tiga
golongan fungsional dalam masyarakat adat Batak yang disebut Dalihan Na Tolu
dipercaya sebagai refleksi kerjasama ketiga dunia itu. Masyarakat ini masih kuat
memegang peranan adat dalam hidupnya.
Hal ini mencerminkan kehidupan sehari-hari MBT yang ditopang oleh prinsip
Dalihan Na Tolu. Salah satu contoh penerapan prinsip Dalihan Na Tolu ini dapat
dilihat dalam penggunaan ulos yang erat kaitannya dengan kehidupan adat orang
Batak Toba maupun sub suku Batak Toba dan juga lainnya. Dalam masyarakat Batak

Universitas Sumatera Utara

Toba pemberian ulos ditujukan sebagai perlambang yang akan mendatangkan
kesejahteraan jasmani dan rohani dan hanya digunakan pada upacara khusus dan pada
upacara kematian mereka juga sangat patuh pada acara adat seperti sanggul marata
mereka tetap lakukan di daerah itu.
4.1.3 Bahasa
Bahasa adalah alat atau perwujudan budaya yang digunakan manusia untuk
saling berkomunikasi atau berhubungan, baik lewat tulisan, lisan, ataupun gerakan
(bahasa isyarat), dengan tujuan menyampaikan maksud hati atau kemauan kepada

lawan bicaranya atau orang lain. Melalui bahasa, manusia dapat menyesuaikan diri
dengan adat istiadat, tingkah laku, tata krama masyarakat, dan sekaligus mudah
membaurkan dirinya dengan segala bentuk masyarakat. Bahasa sehari –hari dalam
berkomunikasi masyarakat di Desa Janju Mauli tersebut memakai bahasa Batak Toba
dan bahasa Indonesia.

4.1.4 Kesenian
Seni pada MBT umumnya meliputi seni musik, seni sastra, seni tari, seni
bangunan dan seni kerajinan tangan. Walaupun bagaimana sederhananya sesuatu.

4.1.4.1 Seni Musik

Universitas Sumatera Utara

Musik adalah suara yang dapat memuaskan perasaan dan menggembiakan isi
jiwa (ekspresi). Kesenian khususnya dalam bidang seni musik telah mengalami
perkembangan yang pesat di dalam masyarakat Batak. Dalam upacara-upacara adat
yang besar selalu dibunyikan gondang sebangunan yaitu seperangkat musik
tradisional Batak. Musik tradisional Batak boleh dikatakan kaya dalam bunyibunyian, di samping gong (ogung), trum (taganing dan gordang) dan klarinet
(serunai), juga dikenal garantung (sejenis taganing dari kayu), hasapi (kecapi),
sordam (sejenis seruling tapi diembus dari ujung), sulim (seruling), tuila (dari bambu
kecil pendek dan diembus pada bagian tengah), dan lain-lain Namun saat sekarang
sulit ditemukan alat musik tradisional Gondang Sabangunan. Pada umumnya
masyarakat ini menggunakan alat musik tiup dan uning-uningan.
4.1.4.2 Seni Tari
Seni tari (tor-tor) adalah ekspresi gerakan yang estetis dan artistik akan
menjelma dalam yang teratur, sesuai dengan isi irama yang menggerakan. Gerakan
teratur ini dapat dilakukan oleh perorangan, berpasangan ataupun berkelompok.
Tarian bersama dalam upacara-upacara adat.menurut tradisinya merupakan tarian dari
masing-masing unsur Dalihan Na Tolu pelaku gerakan tortor ini, karena ketiga unsur
ini secara fungsional dalam masyarakat bersama-sama mendukung upacaranya.
Biasaya bentuk tarian ketiga unsur Dalihan Na Tolu ini, adanya pemimpin tortor yang
mengatur gerakan yang sesuai dan selaras dengan pola gerakan etika di dalam tortor.
Masyarakat ini juga masih melakukan tor-tor khusunya pada upacara-upacara adat
berdasarkan unsur Dlihan Na Tolu.

Universitas Sumatera Utara

4.1.4.3 Seni Bangunan dan Ukir-ukiran
Rumah adat tradisional Batak terbuat dari kayu dengan tiang-tiang yang besar
dan kokoh. Atapnya terbuat dari bahan ijuk dan bentuk atapnya adalah melengkung.
Di ujung atap bagian depan terdapat tanduk kerbau. Pada umumnya rumah-rumah
adat Batak selalu dihiasi dinding depan dan samping. Dengan berbagai macam atau
ornamen, yang terdiri dari warna merah, hitam dan putih. Merah melambangkan
benua tengah, hitam melambangkan benua atas dan putih melambangkan benua
bawah. Sekarang ini, rumah adat tradisional sudah mulai menuju kepunahan dari
daerah Batak dan sudah banyak yang ditemukan rumah-rumah permanen dengan
gaya-gaya

modern dan dengan beragam sebutan seperti minimalis. Begitu juga

halnya pada desa ini sudah mulai mengikuti gaya rumah-rumah modern. Meskipun
ada beberapa huta atau kampung masih rumah panggung tapi sudah tidak terawat
lagi.
4.2 Upacara Adat kematian Sari matua/Saur matua
4.2.1 Persiapan
Ketika seseorang MBT mati sari matua/saur matua, maka sewajarnya pihakpihak kerabat sesegera mungkin mengadakan musyawarah keluarga (martonggo
raja), membahas persiapan pengadaan upacara sari matua/saur matua. Pihak-pihak
kerabat terdiri dari unsur-unsur Dalihan Natolu.
Martonggo raja dilaksanakan oleh seluruh pihak di halaman luar rumah duka,
pada sore hari sampai selesai. Di daerah kota, Martonggo Raja diadakan pada malam

Universitas Sumatera Utara

hari sekitar jam 8 malam sampai selesai berhubung pihak-pihak yang akan ikut pada
kegiatan itu masih kerja di sore hari ( wawancara dengan Op. Yohana, 10 April
2012). Pihak masyarakat setempat (dongan sahuta) turut hadir sebagai pendengar
dalam rapat (biasanya akan turut membantu dalam penyelenggaraan upacara).
Martonggo Raja adalah sebuah rapat untuk membahas penentuan waktu pelaksanaan
upacara, lokasi pemakaman, acara adat sesudah penguburan, dan keperluan teknis
upacara dengan pembagian tugas masing-masing. Keperluan teknis menyangkut
penyediaan peralatan upacara seperti: pengadaan peti mati, penyewaan alat musik
beserta pemain musik, alat-alat makan beserta hidangan buat yang menghadiri
upacara, dan sebagainya.

4.2.2 Pelaksanaan Upacara

Pelaksanaan upacara bergantung pada lamanya mayat disemayamkan.
Idealnya diadakan ketika seluruh putra-putri orang yang mati sari matua/saur matua
dan pihak hula-hula telah hadir. Namun karena telah banyak masyarakat Batak
merantau, sering terpaksa berhari-hari menunda pelaksanaan upacara (sebelum
dikuburkan), demi menunggu kedatangan anak-anaknya yang telah berdomisili jauh.
Hal seperti itu dalam martonggo raja dapat dijadikan pertimbangan untuk
memutuskan kapan pelaksanaan puncak upacara sarimatua/saur matua sebelum
dikuburkan. Sambil menunggu kedatangan semua anggota keluarga, dapat dibarengi
dengan acara non adat yaitu menerima kedatangan para pelayat (seperti masyarakat

Universitas Sumatera Utara

non-Batak). Pada hari yang sudah ditentukan, upacara sari matua/saur matua
dilaksanakan pada siang hari, di ruangan terbuka yang cukup luas (idealnya di
halaman rumah duka).
Hasil pengamatan peneliti secara langsung di lapangan untuk melihat tradisi
lisan andung pada upacara kematian MBT di daerah Desa Janji Mauli Kecamatan
Onan Runggu, Pulau Samosir (Batak homeland) (gambar 2) pada tanggal 16 Maret
2012. Keluarga yang berduka adalah keluarga besar Harianja/br Gultom. Dalam
keluarga ini yang meninggal adalah Op. Pirlo Doli (kakek). Jenis kematiannya adalah
sarimatua “ meninggal namun masih ada anak-anaknya yang belum menikah”. Op.
Pirlo memiliki 5 anak laki-laki dan 1 orang perempuan, dari kelima anak laki-lakinya
3 orang sudah menikah, 2 orang lagi belum menikah sedangkan putrinya sudah
menikah dan Op. Pirlo juga memiliki cucu-cucu dari pihak anak laki maupun anaknya
yang perempuan.

Peneliti hadir pada hari ketiga yaitu pada hari upacara adat

kematian Op.Pirlo berhubung peneliti mendapat informasi pada hari kedua dan jarak
peneliti menempuh daerah tersebut juga memakan waktu hampir setengah hari dari
Medan ke P. Samosir.
Pada hari Sabtu, 16 Maret 2012, Peneliti merekam sekitar jam 8.05 pagi WIB
secara langsung. Sebelum keluarga berkumpul peneliti melihat dan merekam kegiatan
melangkahi mayat yaitu seorang cucunya yang masih berumur 3, 5 tahun melangkahi
mayat Ompungnya (kakek) yang terbaring di atas tikar pandan tersebut sebanyak
tujuh kali (video 1). Hal ini bertujuan agar anak tersebut sehat-sehat dan hanya

Universitas Sumatera Utara

beberapa keluarga yang menyakini mitos ini (wawancara dengan Op Rohanisipangandung, 16 Maret 2012).
Peneliti juga melihat

seorang wanita dengan ulos di selempangkan di

bahunya duduk di samping mayat Op. Pirlo sambil meratap kepada mayat tersebut.
Bahasa yang digunakan adalah bahasa Batak Toba yang penulis sulit untuk
memahaminya. Terkadang dia bernyanyi terkadang seperti menanggis

sambil

mengusap hidungnya dengan sapu tangan. Penulis memperhatikan dan merekam
proses tangisnya, inilah yang disebut mangandungi.
Pada saat itu juga keluarga duka sedang mempersiapkan barang-barang milik
yang meninggal (mayat) yang sering digunakan/dipakai semasa hidupnya (foto1).
Konon barang-barang yang akan dimasukkan ke peti itu akan dipakai di tempatnya
yang baru dalam arti di tempatnya yang baru tersebut mungkin dia akan beraktivitas
seperti biasa semasa hidupnya dan memakai barang-barang tersebut. Setiap orang
berbeda-beda barang yang akan dimasukkan ke dalam peti mayat tersebut seperti
beberapa helai pakaian, celana panjang, kacamata yang selalu dipakainya, bahkan ada
topi, sepatu, salib ataupun tongkat yang menjadi barang-barang kebiasaan yang
dipakai semasa hidupnya (wawancara dengan Op Rohani-sipangandung, 16 Maret
2012).

Universitas Sumatera Utara

Foto 1.
Mayat dengan barang-barang yang akan dibawanya
(sumber : dokumentasi penulis)
Sebelum Mompo (memasukkan mayat ke dalam peti) adalah acara keluarga
yang terlebih dahulu dilakukan. Acara keluarga adalah acara perpisahan dengan yang
meninggal (monding) yaitu dimulai dengan meminta maaf satu persatu kepada yang
telah meninggal dengan berdiri di depan mayat yang terbaring diatas tikar pandan di
ruang tengah rumah duka dengan posisi mayat lurus dengan tangan terlipat diatas
perut (sarimatua) dengan memegang rosario foto 2 (keluarga menganut agama
Katolik).

Universitas Sumatera Utara

Foto 2. Mayat memegang rosario dengan tangan terlipat. Sipenutur Andung
(sumber : dokumentasi penulis)

Mereka mulai meminta maaf akan kesalahan-kesalahan yang diperbuatnya
kepada yang meninggal, dimulai dari anak laki-laki yang pertama, lalu menantu
perempuan, sampai anaknya yang paling kecil lalu anak perempuan dan menantu
laki-laki dilanjuti dengan bapa uda (adek yang meninggal), inang uda (istri adek
yang meninggal), namboru

anak-anak yang berduka (saudara perempuan yang

meninggal) dan terakhir cucu-cucunya. Di sini terlihat jelas bahwa mereka
berkomunikasi di depan mayat dan solah-olah yang meninggal tersebut (mayat)
mendengarkan, mereka bersujud di kakinya dan bahkan mencium kaki tersebut
menyatakan penyesalan yang sedalam-dalamnya (foto 3) dan bahkan meminta berkat

Universitas Sumatera Utara

agar kelak keluarga yang ditinggalkan tetap terlindungi dan sehat-sehat. Dengan
pernyataan “bapa hapusan ma sude dosa nami da bapa, asa sehat-sehat hami
pinopar mon di son , salamat jalan ma da bapa”(bapak ampuni semua kesalahan
kami biar sehat-sehat semua keturunan mu ini dan selamat jalan ya bapak) . Ini
menunjukkan seolah-olah yang meninggal itu pemberi berkat dalam arti bahwa yang
meninggal (mayat) tersebut dijadikan mediator untuk meminta kepada Tuhan.
Mereka juga menyakini bahwa yang meninggal akan mendengarkan setiap
permohonan masing-masing keturunannya. Hal ini masih tetap dilakukan oleh MBT
pada upacara kematian sebagai tanda perpisahan terakhir terhadap mayat (wawancara
Op. Rohani-penutur andung).
Kegiatan meminta berkat terhadap yang meninggal juga terlihat jelas pada
upacara manggokal holi yaitu panokok saring-saring. Dengan membangun tugu
nenek moyang itu sudah menunjukkan bahwa MBT masih percaya akan hal-hal
magis pada orang yang sudah mati bahwa di alamnya yang baru juga dia akan
beraktivitas kembali dan dia akan memberikan berkat kepada keturunannya yang
ditinggalkan. Oleh karena itu banyak MBT yang melakukan hal ini karena dengan
begitu mereka dapat menunjukkan bahwa mereka sangat menghormati leluhurnya.
Dengan menghormati leluhurnya maka akan mendapatkan berkat yang banyak baik
itu kesehatan maupun kesejahteraan dan jika tidak melakukan ini maka akan
berakibat bala yang akan datang pada keluarganya seperti sakit penyakit .

Universitas Sumatera Utara

Foto 3. Meminta maaf sambil mencium kaki mayat
(sumber : dokumentasi penulis)

Setelah acara keluarga jam 10.10 WIB selanjutnya rombongan hula-hula
diundang masuk ke dalam rumah dengan membawa sijagaron (tanda status hagabeon
yang meninggal (sari matua atau saur matua) di iringi dengan gondang. Iringan
gondang yang bersifat magis merupakan tradisi nenek moyang. Untuk mencapai
tujuan dari ritual tersebut biasanya dilakukan dengan manortor ( tarian etnik batak ),
tor-tor ini diartikan sebagai komunikasi, dimana melalui gerakan yang disajikan
terjadi interaksi antara partisipan upacara . Namun pada keluarga ini alat musik yang
dipakai adalah alat musik tiup dan uning-uningan karena sudah sulit mencari gondang
(musik tradisional MBT) (wawancara dengan Op. Rohani, 16 Maret 2012).

Universitas Sumatera Utara

Kemudian Sijagaran tersebut diletakkan di dekat mayatnya persis di sebelah
kepala dan dua lagi dibawa oleh cucunya (pahompu) dari anak laki-lakinya pertama
yang diikatkan pada punggung kedua cucunya dan ini disebut “dondon tua” (foto 4).
Sanggul marata atau sijagaron merupakan mahkota atau kehormatan yang diberikan
kepada seorang orang tua yang meninggal dalam keadaan : ‘gabe’ (punya cucu dari
anak laki-laki dan perempuan), berumur panjang, kaya (dalam materi dan moral ),
dan dihormati di tengah-tengah masyarakat. Isi dari sijagaran tersebut yaitu berupa
bakul (ampang siopat bale) yang berisi eme/padi , gambiri/kemiri, hariara/beringin,
sangge-sangge dan sanggar, ompu-ompu, silinjuang, sihilap dohot pilo-pilo. Masingmasing unsur tersebut menggambarkan simbol-simbol tertentu yang harus
diterjemahkan satu persatu dalam kehidupan yang praktis.
Padi adalah menggambarkan tunas atau benih unggul. Kemiri melambangkan
dua hal antara lain : di luar ada kulit yang keras, tangguh, tidak terpecahkan.
Ranting pohon hariara atau jabi-jabi (beringin) adalah jenis daun-daunan
yang tahan lama, terus segar, tidak mudah layu. Sangge-sangge dan sanggar
pertama, simbol dari gaya hidup boru. Sanggar jika dihembus angin akan
menari ke kiri dan ke kanan menuruti arah tiupan angin; dia cantik, dan dapat
digunakan baik untuk upa saja; huru-huruan (= sangkar tempat menyimpan
burung), kayu api, tongkat (menggembalakan kerbau) dan lain-lain. Kedua,
sanggar merupakan tempat persingahan ‘begu’ dari pada orang yang
meninggal namun dalam hal penggunaannya sebagai salah satu unsur dari
sanggul marata justru diyakini sebagai simbol dari kuasa penangkal roh-roh
jahat, begu, setan, hantu dan kuasa-kuasa duniawi lainnya. Sihilap adalah
sejenis tumbuh-tumbuhan (bunga-bungaan) menyimbolkan permohonan akan
berkat, pasu-pasu dan karunia dari pada Tuhan. Ompu-ompu adalah sejenis
tumbuhan mirip dengan pohon keladi, tetapi tumbuhan ompu-ompu lebih
spesipik lagi; uratnya membesar jadi bulat, daunnya lebar dan panjang. Ini
menggambarkan bahwa orang yang meninggal dunia itu sudah termasuk
kategori : Ompu (nenek yakni orang yang dituakan dalam segala hal) 33.
33

Pdt. Rudolf H. Pasaribu, S.Th. Makalah Adat dan Injil. Seminar sehari Yayasan Penginjilan dan Penelaahan Alkitab Sumatera
Utara. YPDPA-SUMUT. Medan . 12 Mei 2012.

Universitas Sumatera Utara

Namun

secara

umum

sijagaron

dapat

disebut

sebagai

gambaran

penghormatan, perjuangan, kehidupan yang berlangsung melalui generasi berikutnya
hingga simbol keselamatan. Ada beberapa marga yang tidak memberlakukan
sijagaran/sanggul marata tersebut karena itu dianggap mengandung magis dan
dianggap seperti sipelebegu.

Sijagaran
Dondon tua
Foto 4. Sanggul marata/Sijagaran dan dondon tua
(sumber : dokumentasi penulis)

Sebelum acara Mompo (memasukkan mayat ke dalam peti) acara dibuka oleh
ibadah gereja yang dipimpin seorang pendeta/pastor pada jam 10.05. Acara ibadah
yang dipimpin oleh seorang pastor (katolik) karena keluarga tersebut menganut
agama katolik. Acara gereja dimulai dengan bernyanyi terlebih dahulu, lalu
pembacaan firman Tuhan, bernyanyi lagi, terakhir doa penutup selesai. Selanjutnya

Universitas Sumatera Utara

acara mompo diberikan kepada keluarga. Lalu jenazah tersebut dimasukkan ke
dalam peti beserta perlengkapan yang telah dipersiapkan oleh keluarga duka seperti;
baju-bajunya dan celana panjang yang sering dipakainya, sepasang sepatu, topi dan
kacamata. Selanjutnya pemberian ulos saput. Saput artinya pembungkus. Ulos saput
adalah ulos yang disampaikan tulang dari pada orang yang meninggal kepada yang
meninggal itu sendiri. Kalau istri yang meninggal, maka tulang (paman) ibu itu yang
memberi ulos saput, dan kalau suami yang meninggal maka paman bapak itu yang
memberi ulos saput. Dalam hal ini Op. Pirlo (mayat) di berikan oleh tulangnya ulos
saput.
Acara selanjutnya memberikan kata-kata penghiburan dari pihak hula-hula
kepada hasuhutan (keluarga yang berduka). Setelah itu pemberian ulos tujung 34
kepada yang mabalu (janda) istri yang meninggal (foto 5). Pemberian ulos bermakna
suatu pengakuan resmi dari kedudukan seorang yang telah menjadi janda atau duda
dan berada dalam suatu keadaan duka yang terberat dalam hidup seseorang
ditinggalkan oleh teman sehidup semati, sekaligus pernyataan turut berduka cita yang
sedalam-dalamnya dari pihak hula-hula bahwa dia telah menjadi janda. Ulos tujung,
adalah ulos yang ditujungkan (ditaruh di atas kepala) kepada mereka yang
menghabaluhon (suami atau isteri yang ditinggalkan almarhum). Jika yang meninggal
adalah suami, maka penerima tujung adalah isteri yang diberikan hula-hulanya.
34

Ulos tujung adalah ulos yang diberikan sebagai tutup kepala seorang janda atau seorang duda sewaktu dia sedang menghadapi
kematian suaminya atau isterinya. Ulos yang diberikan itu biasanya ulos sibolang atau sitolutuho. Maknanya adalah memberi
kekuatan bagi sang janda atau sang duda dalam masa kesedihan tersebut. (Pdt. Langsung Maruli Sitorus, Makalah “Ulos
danJjambar dalam adat Batak disoroti dari injil”, Seminar Sehari Yayasan Penginjilan dan Penelaahan Alkitab Sumatera
Utara,Medan, 12 Mei 2012)

Universitas Sumatera Utara

Sebaliknya jika yang meninggal adalah isteri, penerima tujung adalah suami yang
diberikan tulangnya. Tujung diberikan kepada perempuan balu atau pria duda karena
“mate mangkar” atau Sari Matua, sebagai simbol duka cita dan jenis ulos itu adalah
sibolang.

Dahulu, tujung itu tetap dipakai kemana saja pergi selama hari berkabung
yang biasanya seminggu dan sesudahnya baru dilaksanakan “ungkap tujung”
(melepas ulos dari kepala). Akan tetapi, sekarang hal itu sudah tidak ada lagi, sebab
tujung tersebut langsung diungkap (dibuka) oleh tulang ataupun hula-hula sepulang
dari kuburan (udean). Secara ratio, yang terakhir ini lebih tepat, sebab kedukaan itu
akan lebih cepat sirna, dan suami atau isteri yang ditinggal almarhum dalam waktu
relatif singkat sudah dapat kembali beraktivitas mencari nafkah. Jika tujung masih
melekat

di

kepala,

kemungkinan

yang

bersangkutan

larut

dalam

duka

(margudompong) yang eksesnya bisa negatif yakni semakin jauh dari Tuhan atau
pesimis bahkan apatis.

Universitas Sumatera Utara

Foto 5. Pemberian Ulos Tujung
(sumber : dokumentasi penulis)

Setelah acara gereja selesai maka pengurus gereja menyuruh pihak boru untuk
mengangkat peti mayat ke halaman rumah sambil diiringi dengan nyanyian gereja
yang dinyanyikan oleh hadirin. Lalu peti mayat ditutup (tetapi belum dipaku) dan
diangkat secara hati-hati dan perlahan-lahan oleh pihak boru dibantu oleh hasuhuton
juga dongan sabutuha ke halaman. Peti mayat tersebut masih tetap ditutup dengan
ulos sibolang. Lalu peti mayat itu diletakkan di tengah halaman rumah dan di
depannya diletakkan palang salib kristen yang bertuliskan nama yang meninggal,
tanggal lahir dan tanggal wafatnya (foto 6). Peti mayat tersebut diletakkan di atas
kayu (rosbang) sebagai penyanggahnya. Semua unsur Dalihan Na Tolu yang ada di
dalam rumah kemudian berkumpul di halaman rumah untuk mengikuti acara
selanjutnya.

Universitas Sumatera Utara

Foto 6. Salib bertuliskan nama, tanggal lahir dan tanggal meninggal
(sumber : dokumentasi penulis)

Acara selanjutnya Maralaman ( ke halaman rumah). Konon, karena rumah
MBT panggung dan sempit (foto 7 dan foto 8) serta sulit untuk mengadakan kegiatan
adat seperti manortor dan lain-lain makanya dibawa ke halaman, begitu juga jaman
sekarang, jika halaman rumahnya tidak luas maka mayat tersebut tetap di dalam
rumah dengan ungkapan nunga di halaman mai (sudah di halaman lah itu) .
Kemudian Sijagaran itu diberikan kepada parumaen-nya (menantunya) dari anak
yang pertama (sulung) yang berhak menjunjung diatas kepalanya, dan akan dibawa
keluar rumah (marhalaman) lalu mereka (keluarga duka) menggelilingi mayat
tersebut tujuh kali sambil mengikuti yang membawa sijagaron tersebut di depan, dan
gerakannya di mulai dari lambat dan tiba-tiba lebih cepat sampai tujuh kali bahkan

Universitas Sumatera Utara

ada juga yang tiga kali keliling dan diiringi musik/gondang (wawancara dengan Op.
Simon Gultom).

Foto 7. Rumah adat Batak Toba

Foto 8. Halaman rumah Op. Pirlo
(sumber : dokumentasi penulis)
Kegiatan manortor (menari) diiringin musik uning-uningan (keluarga ini
memakai alat musik tiup dan uning-uningan bukan gondang) (foto 9), selanjutnya
diisi oleh pihak hasuhutan yang meminta gondang Mangaliat kepada pargonsi

Universitas Sumatera Utara

(pemain musik). Semua suhut berbaris menari mengelilingi peti mayat sebanyak 3
kali, yang disambut oleh pihak boru dengan gerakan mundur. Setelah gondang/musik
ini selesai maka suhut mendatangi pihak boru dan memberkati mereka dengan
memegang kepala boru atau meletakkan ulos di atas bahu boru. Sedangkan boru
memegang wajah suhut.

Foto 9. Uning-uningan
(sumber : dokumentasi penulis)
Setelah hasuhutan selesai menari pada gondang Mangaliat, maka menarilah
dongan sabutuha juga dengan gondang Mangaliat, dengan memberikan ‘beras si pir
ni tondi’ kepada suhut. Kemudian mangaliatlah (mengelilingi borotan) pihak boru
sambil memberikan beras dalam tandok atau uang (foto 10). Kemudian giliran pihak
hula-hula untuk mangaliat. Pihak hula-hula selain memberikan beras, mereka juga

Universitas Sumatera Utara

memberikan ulos kepada semua keturunan orangtua yang meninggal (baik anak lakilaki dan anak perempuan). Ulos yang diberikan hula-hula kepada suhut itu
merupakan ulos holong.

Foto 10. Tandok yang berisi padi (eme) atau beras
(sumber : dokumentasi penulis)

Biasanya setelah keturunan yang meninggal ini menerima ulos yang diberikan
hulahula, lalu mereka mengelilingi sekali lagi borotan. Jamuan makan merupakan
kesempatan pihak penyelenggara upacara menyediakan hidangan kepada para pelayat
berupa nasi dengan lauk berupa hewan kurban (sapi atau babi) yang sebelumnya telah
dipersiapkan oleh para parhobas (orang-orang yang ditugaskan memasak segala
makanan selama pesta). Parhobas terdiri dari dongan sahuta yang merupakan STM

Universitas Sumatera Utara

(serikat tolong menolong) pada lingkungan tersebut.

(foto 11). Setelah jamuan

makan selesai, para pelayat yaitu teman-teman memberikan amplop (berisi uang )
sebagai tanda ikut berduka cita yang dikumpulkan oleh orang yang ditunjuk dan
namannya di tulis dalam selembar kertas (foto 12).

Foto 11. Parhobas (orang yang bekerja di dapur mempersiapkan makanan)
(sumber : dokumentasi penulis)

Universitas Sumatera Utara

Foto 12. Memberikan Tumpak
(sumber : dokumentasi penulis)
Kemudian pihak ale-ale (kerabat) yang mangaliat, juga memberikan beras
atau uang. Kegiatan marnotor ini diakhiri dengan pihak parhobas dan naposobulung
yang menari. Pada akhir dari setiap kelompok yang menari selalu dimintakan
gondang Hasahatan atau sitio-tio dan mengucapkan ‘horas’ sebanyak 3 kali.

Pada saat setiap kelompok Dalihan Na Tolu menari, ada juga yang
mengadakan pembagian jambar juhut (daging) (foto 13), keluarga ini memotong
daging horbo (sigagat duhut). Pembagian sepotong daging yang diletakkan dalam
sebuah piring dan diberikan kepada siapa yang berkepentingan. Sementara diadakan
pembagian jambar, kegiatan manortor terus berlanjut. Ritual pembagian jambar (hak
bagian atau hak perolehan dari milik bersama) dilakukan setelah jamuan makan.
Masing-masing pihak dari dalihan natolu mendapatkan hak dari jambar sesuai
ketentuan adat.

Urutan pembagian jambar diawali pembagian jambar juhut. Daging yang
dijadikan sebagai jambar juhut adalah kerbau. Pemotongan daging juga dilakukan
oleh pihak parhobas. Daging yang sudah dipotong, dibagi-bagi dalam keadaan
mentah. Secara universal, pembagian jambar juhut itu adalah: 1. Kepala (ulu) untuk
raja adat (pada masa sekarang adalah pembawa acara selama upacara), 2. Leher
(rungkung atau tanggalan) untuk pihak boru, 3. Paha dan kaki (soit) untuk dongan
sabutuha, 4. Punggung dan rusuk (somba-somba) untuk hula-hula, 5. Bagian

Universitas Sumatera Utara

belakang (ihur-ihur) untuk hasuhuton. Adapun dongan sahuta (teman sekampung),
pariban (kakak dan adik istri kita) dan ale-ale (kawan karib), dihitung sama sebagai
pihak dongan sabutuha.

Foto 13. Jambar juhut (daging)
(sumber : dokumentasi penulis)
Setelah semuanya selesai manortor ‘menari’, maka acara diserahkan kepada
pengurus gereja, karena merekalah yang akan menutup upacara ini. Lalu semua unsur
Dalihan Na Tolu mengelilingi peti mayat yang tertutup. Di mulai acara gereja dengan
bernyanyi, berdoa, penyampaian firman Tuhan, bernyanyi, kata sambutan dari
pengurus gereja, bernyanyi dan doa penutup. Kemudian peti mayat dipakukan dan
siap untuk dibawa ke tempat penguburannya yang terakhir yang telah dipersiapkan
sebelumnya peti mayat diangkat oleh hasuhutan dibantu dengan boru dan dongan

Universitas Sumatera Utara

sahuta, sambil diiringi nyanyian gereja yang dinyanyikan oleh hadirin sampai ke
tempat pemakamannya. Acara pemakaman diserahkan sepenuhnya kepada pengurus
gereja. Setelah selesai acara pemakaman, kembalilah semua yang turut mengantar ke
rumah duka.
Jenis kematian yang sangat menyedihkan bagi MBT ialah bila suami dalam
usia muda meninggal yang disebut maponggol ulu atau “putus kepala” (Simanjuntak,
2003:123). Dalam hal ini istri menjadi janda muda dan dianggap kehilangan kepala
rumah tangga sama dengan kehilangan kepala sendiri (tidak dapat hidup dan tidak
punya tujuan hidup). Ini terlihat pada upacara kematian pada tanggal 21 Maret 2012,
Desa Pematang Johar, Saentis (gambar peta 3), keluarga yang berduka Op. ni si
Josua Tumanggor/ br. Sinurat. Penulis juga mengamati ada andung seorang wanita
yang bukan keluarga dekat dari yang berduka. Meskipun keluarga ini adalah marga
Tumanggor yang merupakan batak Pakpak tapi keluarga ini sudah lama melakukan
upacara adat dalam adat Batak Toba dan sebagai salah satu masyarakat Desa Saentis
Percut sei tuan yang telah lama menjadi penduduk di daerah itu, keluarga ini juga
mengikuti aturan –aturan adat yang berlaku di desa tersebut.
Tepatnya pukul 20.15 malam , melayat kerumah duka. Mayat sudah terbaring
di atas sebuah rosbang (tempat tidur kayu) di ruang tengah dan ditutupi oleh sehelai
kain putih, di samping kiri mayat duduk istri yang meninggal, beserta anak-anaknya
dan terdapat juga sebatang lilin dan sebuah salib (beragama katolik) dekat kepala
mayat (foto 14).

Universitas Sumatera Utara

Foto 14. Keluarga Tumanggor Saentis-Percut Sei Tuan
(sumber: dokumentasi penulis)

Tamu-tamu yang hadir masih merupakan tetangga dekat rumah duka, baik
muslim dan non muslim, masyarakat setempat yang merupakan serikat tolong
menolong (STM) juga sudah terlihat sibuk di dapur mempersiapkan yang perlu pada
acara malam tersebut. Tamu dari gereja juga terlihat hadir beserta Pastor malam itu.
Tiba-tiba datang seorang wanita yang sudah setengah baya menghampiri mayat lalu
menanggis sambil bernyanyi dengan bahasa Batak Toba yang halus. Dia memanggilmanggil yang meninggal sambil berkata-kata seperti menanggis selama lebih kurang
10 menit (video2) dan dia selesai meratap dilanjuti dengan acara gereja. Acara
kebaktian dari gereja segera dimulai dengan bernyanyi, baca firman Tuhan oleh
pastor, berdoa dan dilanjutkan bernyanyi lagi lalu ditutup kembali dengan doa.

Universitas Sumatera Utara

Setelah acara gereja selesai, tiba-tiba si istri yang meninggal menjerit dan
menanggis sambil mengangkat kedua tangannya dia bernyanyi di depan mayat
suaminya dan sekali-kali dia memukul dadanya seolah-olah dia menyesali sesuatu
tentang kehilangan suaminya dan berkata-kata, bernyanyi sambil menangis (video 2).
Tangggisan inilah yang disebut mangganguk (menanggis sambil histeris/berteriak).
Tiba-tiba salah seorang pelayat mengatakan mari kita bernyanyi dari buku nyanyian
(ende huria), dengan serentak semua pelayat bernyanyi bersama sehingga tanggisan
si istri yang meninggal tersebut tertutupi dengan lagu rohani dan dia pun

ikut

bernyanyi bersama. Hal ini sesuai dengan pengamatan yang dilakukan oleh Hodges
(ganti andung gabe ende huria). Ternyata hal ini terjadi juga saat sekarang dimana
agama mempengaruhi untuk tidak melakukan andung dengan menyanyikan lagu-lagu
gereja yang penuh pengharapan.
Sesungguhnya pada saat terjadinya peristiwa kematian tersebut biasanya istri
akan meratapi kepergian suaminya dengan menyanyi. Nyanyian yang keluar adalah
kata yang berisikan pantun tentang kebaikan dan kesedihan saat-saat si istri akan
menjalani kehidupan tanpa suaminya. Dalam bahasa Batak Toba ini dinamakan
andung (ratapan). Namun, bukan hanya pada acara kematian maponggol ulu saja
yang hanya sedih tetapi meninggal ketika masih di dalam kandungan (mate di
bortian), meninggal ketika masih bayi (mate poso-poso), meninggal ketika anak-anak
(mate dakdanak), meninggal ketika remaja (mate bulung), dan meninggal ketika
sudah dewasa tapi belum menikah (mate ponggol) juga sedih dengan ekspresi tangis
dan angguk yang paling menonjol pada saat kematian tersebut.

Universitas Sumatera Utara

Gambar 2. Peta lokasi Upacara Kematian Tanggal 16 Maret 2012

Kec Onan Runggu

Universitas Sumatera Utara

Gambar 3. Peta lokasi upacara kematian tanggal 21 Maret 2012 di Percut Sei
Tuan Kab. Deliserdang

Percut Sei Tuan
4.3 Teks Andung
Teks andung acara kematian tidak selalu sama, disesuaikan siapakah yang
diandunggi dan siapa yang mangandungi.

Teks andung disesuaikan konteksnya

sehingga konten andung pun bisa berbeda. Dalam hal ini teks andung yang dituturkan
adalah pada konteks upacara kematian pada tanggal 16 Maret 2012 (upacara kematian
sarimatua Op. Pirlo) dan teks andung Ny. Sidabutar br. Simanjuntak pada konteks
upacara kematian Op. ni si Josua Tumanggor pada tanggal 21 Maret 2012 (lampiran).
Seperti telah dijelaskan di halaman sebelumnya upacara kematian sari matua Op.
Pirlo Harianja, sebelum acara keluarga dimulai, tepatnya jam 08.05 WIB peneliti
mendengar suara tanggisan yang bermelodi dengan menggunakan bahasa yang tidak
biasa peneliti dengarkan. Seorang wanita tua datang dan tiba-tiba menangisi mayat
yang berpakaian jas dan dilapisi sebuah ulos (kain) yang terbaring di atas tikar

Universitas Sumatera Utara

pandan di ruang tengah rumah duka. Si wanita itu duduk tepat di samping jenazah
lalu menangis sambil mengucapkan kata-kata yang artinya sulit bagi penulis untuk
pahami dan Si-pangandung tersebut tidak putus-putus berkata-kata /bercerita dalam
bahasa Batak yang tidak biasa didengar oleh peneliti tentang riwayat kehidupan yang
meninggal tersebut semasa hidupnya. Kata-kata yang diucapkan tersebut merupakan
bahasa Batak halus yang berbeda dengan bahasa na somal (bahasa sehari-hari),
bahasa Batak halus tersebut

dinamakan

Hata Andung (bahasa andung).

Hata

andung adalah hata (kata) yang selalu digunakan oleh seseorang yang sedang
mangandungi. Hata andung adalah merupakan salah satu ciri dari andung. Wanita
tua itu mengayunkan tangannya berkali-kali dari atas kepala si jenazah sampai ke
jantung

sambil mangandungi dan sekali-kali menghapus ingusnya dengan sebuah

saputangan (dulu tidak ada saputangan). Mereka kalau mang-andungi cara meladeni
hidungnya yang basah itu diperhatikan dan dinilai oleh penonton/pelayat dan begitu
juga caranya mengatur bunyi hidungnya yang acap kali menghirup air ke dalam yang
harmonis kedengaran dengan isak tangisnya dan melanjutkan andungan-nya kembali.
Wanita yang mangandungi mayat tersebut ternyata bukanlah keluarga dekat tetapi
karena marga suaminya sama yaitu Harianja dan dia menyebutkan bahwa dia adalah
inang tua (mamak tua) ini jelas terlihat pada Daliha Na Tolu MBT. Ini menunjukkan
bahwa yang mangandungi bukan hanya keluarga dekat yang meninggal namun orang
lain juga bisa mangandungi.
Teks andung ini merupakan bentuk prosa liris yang menceritakan riwayat
hidup yang meninggal berisikan kebaikan maupun yang buruknya dan bahkan

Universitas Sumatera Utara

nyanyian ratapan ini juga bercerita tentang kesedihan yang dialami oleh
sipangandung itu sendiri.
Transkrip andung ni na mate (video 1) oleh Op.Rohani (80 tahun) di upacara
kematian sari matua Op.Pirlo Harianja, di Desa Janji Mauli Kecamatan Onan
Runggu.
Op. Vani adalah nama panggilan pada yang meninggal, tetapi sesungguhnya
panggilannya adalah Op. Pirlo namun karena anaknya laki-laki yang kedua menikah
duluan dan memiliki anak bernama Vani (anak perempuan) maka gelar panggilan
tersebut menjadi Op. Vani dan setelah anaknya laki-laki yang pertama menikah dan
memiliki seorang anak, dan anak tersebut bernama Pirlo barulah nama Op. Vani
diganti menjadi Op. Pirlo karena dalam MBT anak laki-laki yang pertamalah menjadi
nama panggoaran (panggilan) begitu juga kalau memiliki cucu. Cucu dari anak
pertama laki-lakilah yang menjadi panggoran Ompungnya. Namun karena nama Op.
Vani yang sudah lama disandangnya menjadi melekat pada masyarakat dengan tetap
memanggil Op. Vani. Oleh karena itu si pangandung tetap memanggil Op. Vani.
Ompung Vani nga di dia inang tua mi hasian...
dang adong be amang
na marsigiason do na soboi palilungan ki...........
paninggalonmu si nuan beu
Artinya:
Opung Vani udah di manakah mamak tua mu sayang
tak ada lagi ya bapak
yang menderitanya aku yang tak bisa ku rindukan.....
sepeninggalan putri ku
ndang adong na mamboto ho na marsahit ho Ompung. Vani
naso sehat do inang tuam
ndang berengon ku be simangarudop mi

Universitas Sumatera Utara

umbahen naso ro ahu mandulo ho
nga marsigiason ho dipapan naso habalunan i
sirindang ubean ki
eiii...eiii...eiii.......
ia amang tahe lungun nai
Artinya:
tak ada yang tahu kalau kau sakit Op. Vani
yang tidak sehatnya inang tua mu ini
tak bisa ku lihat punggung mu lagi
makanya aku tidak datang
ternyata kau sudah terbaring di tempat tidur mu
eiii...eiii...eiii aduh begitu sedihnya
Ompung Vani amang marsituri turian jolo hita hasian
dohot simangkudap i
parsinuan tunas si adosan ki
si nuan tunas na bi nalos iii.....iii..iii...
Artinya:
Op. Vani ayo kita bercerita-cerita dulu sayang
dengan mulut mu itu
anak adek ku
Putera saudara ku
nga tuli ahu ito songon si hali aek iii...iii...iii..
na di aek tano sungkean ni
ma mereng ho ito na marsigiason ni
marpapan ho na so habalunan i
Artinya:
udah tuli aku ito seperti buat sumur/mengkorek sumur
yang ada di tanah kering ini
melihat kau ito yang meninggal
beralaskan peti mati
on ma tahe pajumpang ahu dohot opung ni si Vani i...i...i...
ina rohaku mai hasian na burju
umbahen na ro ahu inang tua mon da ito
hu halaputi ho ito
songon ni hirapon ahu ito
songon baliga na ni tombom pon i ahu eiii...eiii....eiii
Artinya:
inilah perjumpaan aku dengan Op. Vani
dalam hatiku sayang
makanya aku datang inang tua mu ini melihat mu
aku datang cepat-cepat
seperti terbang aku ito

Universitas Sumatera Utara

seperti alat tenun yang sedang menenun itu
ia mang lungun nai ni si Ompung si Vaniii....
na sai bobo nosan ahu tu si nuan tunas i
si adosan mi itoo...o...o...o
Artinya:
ya ampun sedihnya si Op. Vaniiii
gelisah aku ke pada anakku
saudara mu ito..o...o...o
gajang mai nian Ompung Vaniiii...
hata honon ni inang tua mu da ito
angka nalungun iii...
Artinya:
Panjanglah maunya Op. Vani
yang harus inang tua mu katakan ito
semua kesedihan ini
ndang ku hu ingot bei ito sude angka sitaonon ki
nda hu paborhat i siadosan mi
ima siunuan beui kiiii..i
songon hariara na marokat i hasian
pinaborhat ni inang tua mi
songon na hu sapot iii ..
.
Artinya:
tidak ku ingat lagi ito semua kesedihan yang ku alami itu
tidak ku antar adek mu itu
itu lah putri kuuuu
seperti pohon beringin yang tumbang sayang
yang di berangkatkan inang tua mu ini
seperti yang ku berangkatkan itu
na baru pe Ompung. Vani si bijaon mu da ito
ima si sumbaoon ki
hu usung i sian tano Bali....eiii...eiii...eiii
Artinya:
baru baru ini tulang mu Op Vani
yaitu yang ku sembah
yang ku bawa dari tanah Bali eiii...eiii...eiii
ompat i nian Ompungp Vani pinaribot mi da ito
rindang siubean ki
na baru borhat pe silasapon mu
maninggalhon napilpil pusok
rindang ni siubean na onom pisik kiii...
Artinya:

Universitas Sumatera Utara

Empat orangnya putri ku ito
anak kandungku
yang baru meninggalnya ipar mu (laki-laki) ito
menantu ku laki-laki
meninggalkan anaknya yang masih kecil
anak kandungnya itu yang enam orang
jadi ndang tar turi-turian au i Ompung Vani
si taon non ku naborat i na sora salpui
ido umbaen na olo ahu hasian..........
dibagas ni si haborginan
ni tonga mangasean (rumah) mi
songon tukkot ni solu do ahu ito
marningot na lunggun i.. eiii..eiii...eiii
Artinya :
Jadi tak terceritakan ku lagi Op. Vani
yang kutanggung terlalu berat yang tidak berkesudahan
itulah yang membuat aku sayang....
di dalam keheningan malam
di tengah tengah rumah ini
seperti tongkat solu aku ito
mengingat yang sedih ini....
songon panabian i
jadi ndang haputian ahu i Ompung si Vani nauli
jadi ndak tardok ahu si taonan khi
songon sira siguguton i
Artinya:
seperti pohon yang tidak menghasilkan Op. Vani
jadi tak terbilangkan ku lagi penderitaan ku ini
seperti garam
songon na manuan i di balian i
ndang ka jojoran ahu i hasian ....
songon na manuan di balian i
si taonon ki .... eiii..eiii..eiii

Artinya:
Seperti menanam padi di sawah
tak tersebutkan satu persatu sayang...
seperti menanam di sawah
semua penderitaan yang kutanggung
si taon naborat i
tu dia ma amang

Universitas Sumatera Utara

lu lu do ahu ito songon si ida hutu i
jala dior-dior do ahu amang songon si ida gomit i
Artinya :
yang menanggung beban berat itu
kemanalah aku bapa
cari carinya aku ito sperti mencari kutu
malah keliling keliling disitunya aku seperti menacri anak
kutu
dia pe na lungun na di rohaki da ito
ndang ka lulu an be da hasian
ndang tolap i simalolongkhi (mata) Ompung. Vani nauli... eiii...eiii...eiii...
na pinaborhat na lungun naso ra salpui...iii...iii
Artinya:
di manapun kesedihan dihatiku ito
tak tercarikan lagi itu sayang
tak mampu mataku Op. Vani yang baik....
yang memberangkatkan semua kesedihan yang
berkesudahan ...

tak

boha ma nian aek nanggo natua-natua i ma jumolo i
songon kami nadua da ito na dohot amang tua mi
nunga sapulu taon ni Ompung Vani eiii..eiii...eiii...
na marsihasit ton i bapa tua mi
songon tukkok ni solu
songon sisabion i
nungga sapulu taon amang tua mi mangae si hassiton ...hiii...hiiik
Artinya:
bagaimana kalau yang tua –tua ini duluan
seperti kami berdua ini ito bersama bapak tua mu itu
sudah sepuluh tahun itu Op. Vani ...
bapak tua mu itu sakit
seperti tongkat solu
seperti yang dituai
sudah sepuluh tahun bapak tua mu menahan kesakitan ...
amang tahe lungun nai,
amang tahe paet nai,
na gabe Ompung Rohani na torop i
na gabe do tahe Ompung Vani
ait unang sai unjolo na umposo i eiii....eiii...eiii
Artinya :
aduh sedihnya
aduh pahitnya

Universitas Sumatera Utara

yang jadi Op rohani yang ba