Dampak Pengolahan Limbah Padat Medis pada Petugas Incinerator di RSUP H. Adam Malik Tahun 2014

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Rumah Sakit
2.1.1 Pengertian Rumah Sakit
Rumah sakit dalam bahasa Inggr is disebut hospital. Kata hospital berasal
dari kata bahasa latin hospital yang berarti tamu. Secara lebih luas kata itu bermakna
menjamu para tamu. Memang menurut sejarahnya, hospital atau rumah sakit adalah
suatu lembaga yang bersifat kedermawanan (charitable), untuk merawat pengungsi
atau memberikan pendidikan bagi orang-orang yang kurang mampu atau miskin,
berusia lanjut, cacat, atau para pemuda (Kemenkes RI, 2012).
Rumah sakit adalah sarana kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan
kesehatan secara merata dengan mengutamakan upaya penyembuhan penyakit dan
pemulihan kesehatan, yang dilaksanakan secara serasi dan terpadu dengan upaya
peningkatan kesehatan dan pencegahan penyakit dalam suatu tatanan rujukan, serta
dapat dimanfaatkan untuk pendidikan tenaga dan penelitian.Rumah sakit juga
merupakan institusi yang dapat memberi keteladanan dalam budaya hidup bersih dan
sehat serta kebersihan lingkungan (Depkes RI, 2009).
2.1.2 Tugas dan Fungsi Rumah Sakit
Menurut Depkes RI (2009) rumah sakit mempunyai tugas memberikan
pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna. Untuk menjalankan tugas rumah

sakit mempunyai fungsi :

Universitas Sumatera Utara

a. Penyelenggaraan pelayanan pengobatan dan pemulihan kesehatan sesuai dengan
standar pelayanan rumah sakit
b. Pemeliharaan dan peningkatan kesehatan perorangan melalui pelayanan kesehatan
yang paripurna tingkat kedua dan ketiga sesuai kebutuhan medis
c. Penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan sumber daya manusia dalam rangka
peningkatan kemampuan dalam pemberian pelayanan kesehatan
d. Penyelenggaraan penelitian dan pengembangan serta penapisan teknologi bidang
kesehatan dalam rangka peningkatan pelayanan kesehatan dengan memperhatikan
etika ilmu pengetahuan bidang kesehatan
2.1.3 Klasifikasi Rumah Sakit
Permenkes RI No 340 tahun 2010 tentang klasifikasi rumah sakit dibedakan
berdasarkan : pelayanan, sumber daya manusia, peralatan, sarana dan prasarana dan
administrasi dan manajemen. Adapun klasifikasi rumah sakit umum adalah :
a. Rumah Sakit Umum Kelas A
Rumah sakit umum yang mempunyai fasilitas dan kemampuan pelayanan medik
paling sedikit 4 (empat) spesialis dasar yaitu: pelayanan penyakit dalam, kesehatan

anak, bedah, obstetri dan ginekologi, 5 (lima) spesialis penunjang medik yaitu:
pelayanan anestesiologi, radiologi, rehabilitasi medik, patologi klinik dan patologi
anatomi, 12 (dua belas) spesialis lain yaitu: mata, telinga hidung tenggorokan,
syaraf, jantung dan pembuluh darah, kulit dan kelamin, kedokteran jiwa, paru,
orthopedi, urologi, bedah syaraf, bedah plastik dan kedokteran forensik dan 13
(tiga belas) subspesialis yaitu: bedah, penyakit dalam, kesehatan anak, obstetri dan

Universitas Sumatera Utara

ginekologi, mata, telinga hidung tenggorokan, syaraf, jantung dan pembuluh
darah, kulit dan kelamin, jiwa, paru, onthopedi dan gigi mulut.
b. Rumah Sakit Umum Kelas B
Rumah sakit umum yang mempunyai fasilitas dan kemampuan pelayanan medik
paling sedikit 4 (empat) spesialis dasar yaitu: pelayanan penyakit dalam, kesehatan
anak, bedah, obstetri dan ginekologi, 4 (empat) spesialis penunjang medik yaitu :
pelayanan anestesiologi, radiologi, rehabilitasi medik dan patologi klinik.
Sekurang-kurangnya 8 (delapan) dari 13 (tiga belas) pelayanan spesialis lain yaitu
: mata, telinga hidung tenggorokan, syaraf, jantung dan pembuluh darah, kulit dan
kelamin, kedokteran jiwa, paru, orthopedi, urologi, bedah syaraf, bedah plastik dan
kedokteran forensik: mata, syaraf, jantung dan pembuluh darah, kulit dan kelamin,

kedokteran jiwa, paru, urologi dan kedokteran forensik. Pelayanan Medik
Subspesialis 2 (dua) dari 4 (empat) subspesialis dasar yang meliputi :Bedah,
Penyakit Dalam, Kesehatan Anak, Obstetri dan Ginekologi.
c. Rumah Sakit Umum Kelas C
Rumah sakit umum yang mempunyai fasilitas dan kemampuan pelayanan medik
paling sedikit 4 (empat) spesialis dasar :pelayanan penyakit dalam, kesehatan
anak, bedah, obstetri dan ginekologi dan 4 (empat) spesialis penunjang medik
yaitu : pelayanan anestesiologi, radiologi, rehabilitasi medik dan patologi klinik.
d. Rumah Sakit Umum Kelas D adalah rumah sakit umum yang mempunyai fasilitas
dan kemampuan pelayanan medik paling sedikit 2 (dua) dari 4 (empat) spesialis

Universitas Sumatera Utara

dasar yaitu: pelayanan penyakit dalam, kesehatan anak, bedah, obstetri dan
ginekologi.

2.2 Kesehatan dan Keselamatan Kerja di Rumah Sakit
Dalam Undang-Undang No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan, khususnya
pasal 165 dinyatakan bahwa pengelola tempat kerja wajib melakukan segala bentuk
upaya kesehatan melalui upaya pencegahan, peningkatan, pengobatan dan pemulihan

bagi tenaga kerja. Berdasarkan pasal di atas maka pengelola tempat kerja di rumah
sakit mempunyai kewajiban untuk menyehatkan para tenaga kerjanya. Salah satunya
adalah melalui upaya kesehatan kerja disamping keselamatan kerja. rumah sakit harus
menjamin kesehatan dan keselamatan baik terhadap pasien, penyedia layanan atau
pekerja maupun masyarakat sekitar dari berbagai potensi bahaya di rumah sakit. Oleh
karena itu, Rumah Sakit wajib melaksanakan Upaya Kesehatan dan Keselamatan
Kerja (K3) yang dilaksanakan secara terintegrasi dan menyeluruh sehingga risiko
terjadinya Penyakit Akibat Kerja (PAK) dan Kecelakaan Akibat Kerja (KAK) di
Rumah Sakit dapat dihindari (Kemenkes RI, 2010).
Tujuan umum dari program K3RS adalah terciptanya lingkungan kerja yang
aman, sehat dan produktif untuk SDM Rumah Sakit, aman dan sehat bagi pasien,
pengunjung/pengantar pasien, masyarakat dan lingkungan sekitar Rumah Sakit
sehingga proses pelayanan Rumah Sakit berjalan baik dan lancar. Sedangkan Tujuan
khusus meliputi : (a) terwujudnya organisasi kerja yang menunjang tercapainya
K3RS, (b) meningkatnya profesionalisme dalam hal K3 bagi manajemen, pelaksana

Universitas Sumatera Utara

dan pendukung program, (c) terpenuhi syarat-syarat K3 di setiap unit kerja, (d)
terlindunginya pekerja dan mencegah terjadinya PAK dan KAK, (e) terselenggaranya

program K3RS secara optimal dan menyeluruh dan (f) peningkatan mutu, citra dan
produktivitas Rumah Sakit (Kemenkes RI, 2010). Ruang lingkup K3RS mencakup;
prinsip, program dan kebijakan pelaksanaan K3RS, standar pelayanan K3RS, standar
sarana, prasarana dan peralatan K3RS, pengelolaan barang berbahaya, standar sumber
daya manusia K3RS, pembinaan, pengawasan, pencatatan dan pelaporan.
Rumah Sakit merupakan tempat kerja yang padat karya, pakar, modal, dan
teknologi, namun keberadaan rumah sakit juga memiliki dampak negatif terhadap
timbulnya penyakit dan kecelakaan akibat kerja, bila rumah sakit tersebut tidak
melaksanakan prosedur K3. Oleh sebab itu perlu dilaksanakan regulasi sebagai
berikut : (a) membuat kebijakan tertulis dari pimpinan rumah sakit, (b) menyediakan
Organisasi K3RS sesuai dengan Kepmenkes Nomor 432/Menkes/SK/IV/2007 tentang
Pedoman Manajemen K3 di Rumah Sakit, (c) melakukan sosialisasi K3RS pada
seluruh jajaran Rumah Sakit, (d) membudayakan perilaku K3RS, (e) meningkatkan
SDM yang profesional dalam bidang K3 di masing-masing unit kerja di Rumah Sakit
dan (f) meningkatkan Sistem Informasi K3RS (Kemenkes RI, 2010).
Pengertian Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) adalah upaya untuk
memberikan jaminan keselamatan dan meningkatkan derajat kesehatan pekerja
dengan cara pencegahan kecelakaan dan Penyakit Akibat Kerja (PAK), pengendalian
bahaya di tempat kerja, promosi kesehatan, pengobatan dan rehabilitasi (Kemenkes
RI, 2010).


Universitas Sumatera Utara

Kesehatan dan Keselamatan Kerja di Rumah Sakit (K3RS) sebagaimana
diatur dalam Kepmenkes RI No 1087/Menkes/SK/VIII/2010 merupakan program
yang penting di rumah sakit karena meningkatnya pemanfaatan fasilitas pelayanan
kesehatan oleh masyarakat maka tuntutan pengelolaan program K3RS semakin tinggi
karena sumber daya manusia rumah sakit, pengunjung/pengantar pasien, pasien dan
masyarakat sekitar rumah sakit ingin mendapatkan perlindungan dari gangguan
kesehatan dan kecelakaan kerja, baik sebagai dampak proses kegiatan pemberian
pelayanan maupun karena kondisi sarana dan prasarana yang ada di rumah sakit yang
tidak memenuhi standar.
Secara internasional program K3 telah lama diterapkan di berbagai sektor
industri (akhir abad 18) namun belum dilakukan pada sektor kesehatan.
Perkembangan K3RS tertinggal dikarenakan fokus pada kegiatan kuratif, bukan
preventif. Fokus pada kualitas pelayanan bagi pasien, tenaga profesi di bidang K3
masih terbatas, organisasi kesehatan yang dianggap pasti telah melindungi diri dalam
bekerja (Kemenkes RI, 2010).
Rumah Sakit sebagai institusi pelayanan kesehatan bagi masyarakat dengan
karateristik tersendiri yang dipengaruhi oleh perkembangan ilmu pengetahuan

kesehatan, kemajuan teknologi, dan kehidupan sosial ekonomi masyarakat yang harus
tetap mampu meningkatkan pelayanan yang lebih bermutu dan terjangkau oleh
masyarakat agar terwujud derajat kesehatan yang setinggi-tingginya. Selain dituntut
mampu memberikan pelayanan dan pengobatan yang bermutu, Rumah Sakit juga
dituntut harus melaksanakan dan mengembangkan program K3RS seperti yang

Universitas Sumatera Utara

tercantum dalam buku standar pelayanan rumah sakit dan terdapat dalam instrumen
akreditasi rumah sakit.
Langkah dan strategi pelaksanaan K3RS : (a) advokasi ke pimpinan Rumah
Sakit, Sosialisasi dan pembudayaan K3RS, (b) menyusun kebijakan K3RS yang
ditetapkan oleh Pimpinan Rumah Sakit, (c) membentuk Organisasi K3RS, (d)
perencanaan K3 sesuai Standar K3RS yang ditetapkan oleh Kementerian Kesehatan,
(e) menyusun pedoman, petunjuk teknis dan SOP-K3RS, (f) melaksanakan 12
Program Kesehatan dan Keselamatan Kerja di Rumah Sakit, (g) melakukan Evaluasi
Pelaksanaan Program K3RS, (h) melakukan Internal Audit Program K3RS dengan
menggunakan instrumen penilaian sendiri (self assessment) akreditasi Rumah Sakit
yang berlaku dan (i) mengikuti Akreditasi Rumah Sakit (Kemenkes RI, 2010).
Kepmenkes RI No 432/Menkes/SK/IV/2007 tentang Pedoman Manajemen

Kesehatan dan Keselamatan Kerja di Rumah Sakit disebutkan bahwa agar
pelaksanaan K3RS lebih efektif, efisien dan terpadu diperlukan sebuah pedoman
pelaksanaan bagi pengelola maupun karyawan rumah sakit. Salah satu aspek yang
menjadi perhatian adalah respons kegawatdaruratan di rumah sakit, yaitu suatu
kejadian yang dapat menimbulkan kematian atau luka serius bagi pekerja,
pengunjung ataupun masyarakat atau dapat menutup kegiatan usaha, menganggu
operasi, menyebabkan kerusakan fisik lingkungan ataupun dapat mengancam
finansial dan citra rumah sakit. Oleh karena itu rumah sakit mutlak memerlukan
sistem tanggap darurat sebagai bagian dari manajemen K3RS (Depkes RI, 2007).

Universitas Sumatera Utara

Standar sumber daya manusia pengelola K3RS untuk rumah sakit kelas A
sebagaimana diamanatkan dalam Kepmenkes RI No 1087/Menkes/SK/VIII/2010
adalah :
a. S3/ S2 K3 minimal 1 orang dan mendapatkan pelatihan khusus yang
terakreditasi mengenai K3 RS
b. S2 Kesehatan min 1 orang, yang mendapatkan pelatihan tambahan yang
berkaitan dengan K3 secara umum serta mendapatkan pelatihan khusus yang
terakreditasi mengenai K3 RS

c. Dokter Spesialis kedokteran okupasi (SpOk) dan S2 kedokteran Okupasi
minimal 1 orang. (optional)
d. Tenaga Kesmas K3 D3 dan S1 minimal 2 orang yang mendapat pelatihan
khusus yang terakreditasi mengenai K3 RS
e. Dokter / dokter gigi spesialis dan dokter umum /dokter gigi minimal 1 orang
dengan sertifikat K3/hiperkes dan mendapatkan pelatihan khusus yeng
terakreditasi mengenai K3 RS
f. Tenaga Paramedis dengan sertifikat dalam bidang K3 (informal) yang
mendapat pelatihan khusus yang terakreditasi mengenai K3 RS minimal 1
orang.
g. Tenaga Paramedis yang mendapat pelatihan khusus yang terakreditasi
mengenai K3 RS minimal 2 orang

Universitas Sumatera Utara

h. Tenaga Teknis Lainnya dengan sertifikat dalam bidang K3 (informal) yang
mendapat pelatihan khusus yang terakreditasi mengenai K3 RS minimal 1
orang.
i.


Tenaga Teknis lainnya yang mendapat pelatihan khusus yang terakreditasi
mengenai K3 RS minimal 2 orang.

2.3 Penyakit Akibat Kerja
2.3.1 Pengertian Penyakit Akibat kerja
Pengertian Penyakit Akibat Kerja (PAK) ialah gangguan kesehatan baik
jasmani maupun rohani yang ditimbulkan ataupun diperparah karena aktivitas kerja
atau kondisi yang berhubungan dengan pekerjaan (Jayaratman dan Koh, 2010).
Penyakit akibat kerja adalah penyakit yang disebabkan oleh pekerjaan, alat kerja,
bahan, proses maupun lingkungan kerja. Dengan demikian penyakit akibat kerja
merupakan penyakit yang artifisial atau man made disease. Dalam melakukan
pekerjaan apapun, sebenarnya kita berisiko untuk mendapatkan gangguan Kesehatan
atau penyakit yang ditimbulkan oleh penyakit tersebut. Oleh karena itu , penyakit
akibat kerja adalah penyakit yang disebabkan oleh pekerjaan, alat kerja , bahan ,
proses maupun lingkungan kerja.
Pada simposium internasional mengenai penyakit akibat hubungan pekerjaan
yang diselenggarakan oleh ILO (International Labour Organization) di Linz, Austria,
dihasilkan definisi menyangkut PAK sebagai berikut:

Universitas Sumatera Utara


a.

Penyakit Akibat Kerja (Occupational Disease) adalah penyakit yang mempunyai
penyebab yang spesifik atau asosiasi yang kuat dengan pekerjaan, yang pada
umumnya terdiri dari satu agen penyebab yang sudah diakui.

b.

Penyakit yang Berhubungan dengan Pekerjaan (Work Related Disease) adalah
penyakit yang mempunyai beberapa agen penyebab, dimana faktor pekerjaan
memegang peranan bersama dengan faktor risiko lainnya dalam berkembangnya
penyakit yang mempunyai etiologi kompleks.

c. Penyakit yang Mengenai Populasi Kerja (Disease of Fecting Working
Populations) adalah penyakit yang terjadi pada populasi pekerja tanpa adanya
agen penyebab ditempat kerja, namun dapat diperberat oleh kondisi pekerjaan
yang buruk bagi kesehatan
Menurut Workplace Safety and Insurance Board (2005)“ An occupational
disease maybe defined simply as one that is caused, or made worse, by exposure at
work.. Di sini menggambarkan bahwa secara sederhana sesuatu yang disebabkan,
atau diperburuk, oleh pajanan di tempat kerja. Dalam hal ini, pajanan berbahaya yang
dimaksud oleh Work place Safety and Insurance Board ( 2005 ) antara lain : debu ,
gas , atau asap, suara / kebisingan (noise), bahan toksik (racun), getaran (vibration),
radiasi, infeksi kuman atau dingin yang ekstrem serta tekanan udara tinggi atau
rendah yang ekstrem.
Menurut Keputusan Presiden Nomor 22 tahun 1993, penyakit yang timbul
akibat hubungan kerja adalah penyakit yang disebabkan oleh pekerjaan atau
lingkungan kerja (pasal 1). Keputusan Presiden tersebut melampirkan Daftar Penyakit

Universitas Sumatera Utara

yang diantaranya berkaitan dengan pulmonologi termasuk pneumokoniosis dan
silikotuberkulosis, penyakit paru dan saluran nafas akibat debu logam keras, penyakit
paru dan saluran nafas akibat debu kapas, vals, henep dan sisal (bissinosis), asma
akibat kerja, dan alveolitis alergika. Pasal 2 Keputusan Presiden tersebut menyatakan
bahwa mereka yang menderita penyakit yang timbul karena hubungan kerja berhak
memperoleh jaminan kecelakaan kerja. Keputusan Presiden tersebut merujuk kepada
Undang-Undang RI No. 3 tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja, yang
pasal 1 nya menyatakan bahwa kecelakaan kerja adalah kecelakaan yang terjadi
berhubung dengan hubungan kerja, termasuk penyakit yang timbul karena hubungan
kerja, demikian pula kecelakaan yang terjadi dalam perjalanan berangkat dari rumah
menuju tempat kerja, dan pulang kerumah melalui jalan yang biasa atau wajar dilalui.
2.3.2 Klasifikasi Penyakit Akibat Kerja
Dalam melakukan tugasnya di perusahaan seseorang atau sekelompok
pekerja berisiko mendapatkan kecelakaan atau penyakit akibat kerja.WHO
membedakan empat kategori Penyakit Akibat Kerja, yaitu:
1. Penyakit yang hanya disebabkan oleh pekerjaan, misalnya Pneumoconiosis.
2. Penyakit yang salah satu penyebabnya adalah pekerjaan, misalnya Karsinoma
Bronkhogenik.
3. Penyakit dengan pekerjaan merupakan salah satu penyebab di antara faktorfaktor penyebab lainnya, misalnya Bronkhitis khronis.
4. Penyakit dimana pekerjaan memperberat suatu kondisi yang sudah ada
sebelumnya, misalnya asma.

Universitas Sumatera Utara

2.3.3 Pencegahan Penyakit Akibat Kerja
Manajemen perusahaan harus selalu mewaspadai adanya ancaman akibat
kerja terhadap pekerjaannya. Kewaspadaan tersebut bisa berupa : (1) melakukan
pencegahan terhadap timbulnya penyakit, (2) melakukan deteksi dini terhadap
ganguan kesehatan serta (3) melindungi tenaga kerja dengan mengikuti program
jaminan sosial tenaga kerja (Depkes RI, 2007).
Mengetahui keadaan pekerjaan dan kondisinya dapat menjadi salah satu
pencegahan terhadap PAK. Beberapa cara dalam mencegah PAK, diantaranya (1)
pakailah APD secara benar dan teratur, (2) kenali risiko pekerjaan dan cegah supaya
tidak terjadi lebih lanjut dan (3) segera akses tempat kesehatan terdekat apabila
terjadi luka yang berkelanjutan. Selain itu terdapat juga beberapa pencegahan lain
yang dapat ditempuh agar bekerja bukan menjadi lahan untuk menuai penyakit.
(Arliana, 2010)
1.

Pencegahan Primer (Health Promotion)dengan memperhatikan hal-hal sebagai
berikut : perilaku kesehatan, faktor bahaya di tempat kerja, perilaku kerja yang
baik, olahraga dan gizi seimbang.

2.

Pencegahan Sekunder (Specifict Protection) dengan melakukan pengendalian
melalui perundang-undangan, pengendalian administrative/organisasi:
rotasi/pembatasan jam kerja, pengendalian teknis: subtitusi, isolasi, ventilasi, alat
pelindung diri (APD), pengendalian jalur kesehatan: imunisasi.

3. Pencegahan Tersier (Early Diagnosis and Prompt Treatment) melalui :
pemeriksaan kesehatan pra-kerja, pemeriksaan kesehatan berkala, surveilans,

Universitas Sumatera Utara

pemeriksaan lingkungan secara berkala, pengobatan segera bila ditemukan
gangguan pada pekerja, pengendalian segera di tempat kerja
Kondisi fisik sehat dan kuat sangat dibutuhkan dalam bekerja, namun
dengan bekerja benar teratur bukan berarti dapat mencegah kesehatan kita terganggu.
Kepedulian dan kesadaran akan jenis pekerjaan juga kondisi pekerjaan dapat
menghalau sumber penyakit menyerang. Dengan didukung perusahaan yang sadar
kesehatan, maka kantor pun akan benar-benar menjadi lahan menuai hasil bukanlah
penyakit (Depkes RI, 2007).
Pelaksanaan Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) adalah salah satu
bentuk upaya untuk menciptakan tempat kerja yang aman, sehat, bebas dari
pencemaran lingkungan, sehingga dapat mengurangi dan atau bebas dari kecelakaan
kerja dan penyakit akibat kerja yang pada akhirnya dapat meningkatkan efisiensi dan
produktivitas kerja. Kecelakaan kerja tidak saja menimbulkan korban jiwa maupun
kerugian materi bagi pekerja dan rumah sakit, tetapi juga dapat mengganggu proses
penyembuhan dan pengobatan secara menyeluruh, yang pada akhirnya akan
berdampak pada masyarakat luas (Depkes RI, 2007)..
Penyakit Akibat Kerja (PAK) dan Kecelakaan Akibat Kerja (KAK) di
kalangan petugas kesehatan dan non kesehatan kesehatan di Indonesia belum terekam
dengan baik. Jika kita pelajari angka kecelakaan dan penyakit akibat kerja di
beberapa negara maju (dari beberapa pengamatan) menunjukan kecenderungan
peningkatan prevalensi. Sebagai faktor penyebab, sering terjadi karena kurangnya
kesadaran pekerja dan kualitas serta keterampilan pekerja yang kurang memadai.

Universitas Sumatera Utara

Banyak pekerja yang meremehkan risiko kerja, sehingga tidak menggunakan alat-alat
pengaman walaupun sudah tersedia. Dalam penjelasan Undang-Undang tentang
Kesehatan telah mengamanatkan antara lain, setiap tempat kerja harus melaksanakan
upaya kesehatan kerja, agar tidak terjadi gangguan kesehatan pada pekerja, keluarga,
masyarakat dan lingkungan disekitarnya (Depkes RI, 2009)..
Setiap orang membutuhkan pekerjaan untuk memenuhi kebutuan hidupnya.
Dalam bekerja K3RS merupakan faktor yang sangat penting untuk diperhatikan
karena seseorang yang mengalami sakit atau kecelakaan dalam bekerja akan
berdampak pada diri, keluarga dan lingkungannya. Salah satu komponen yang dapat
meminimalisir Kecelakaan dalam kerja adalah tenaga kesehatan. Tenaga kesehatan
mempunyai kemampuan untuk menangani korban dalam kecelakaan kerja dan dapat
memberikan penyuluhan kepada masyarakat untuk menyadari pentingnya
keselamatan dan kesehatan kerja (Depkes RI, 2007). Pada umumnya bahaya tersebut
dapat dihindari dengan usaha-usaha pengamanan, antara lain dengan penjelasan,
peraturan serta penerapan disiplin kerja. Pada kesempatan ini akan dikemukakan
manajemen keselamatan dan kesehatan kerja di rumah sakit / instansi kesehatan.
Hasil laporan National Safety Council (NSC) tahun 2008 menunjukkan
bahwa terjadinya kecelakaan di rumah sakit 41 % lebih besar dari pekerja di industri
lain. Kasus yang sering terjadi adalah tertusuk jarum, terkilir, sakit pinggang,
tergores/terpotong, luka bakar, dan penyakit infeksi dan lain-lain. Sejumlah kasus
dilaporkan mendapatkan kompensasi pada pekerja rumah sakit, yaitu sprains, strains
: 52 %; contussion, crushing, bruising : 11 %; cuts, laceration, punctures: 10.8 %;

Universitas Sumatera Utara

fractures: 5.6 %; multiple injuries: 2.1 %; thermal burns: 2%; scratches, abrasions:
1.9 %; infections: 1.3 %; dermatitis: 1.2 %; dan lain-lain: 12.4 %.
Selain itu, tercatat bahwa terdapat beberapa kasus penyakit kronis yang
diderita petugas rumah sakit, yakni hipertensi, varises, anemia (kebanyakan wanita),
penyakit ginjal dan saluran kemih (69 % wanita), dermatitis dan urtikaria (57 %
wanita) serta nyeri tulang belakang dan pergeseran diskus intervertebrae.
Ditambahkan juga bahwa terdapat beberapa kasus penyakit akut yang diderita
petugas rumah sakit lebih besar 1.5 kali dari petugas atau pekerja lain, yaitu penyakit
infeksi dan parasit, saluran pernafasan, saluran cerna dan keluhan lain, seperti sakit
telinga, sakit kepala, gangguan saluran kemih, masalah kelahiran anak, gangguan
pada saat kehamilan, penyakit kulit dan sistem otot dan tulang rangka. Dari berbagai
potensi bahaya tersebut, maka perlu upaya untuk mengendalikan, meminimalisasi dan
bila mungkin meniadakannya, oleh karena itu K3 RS perlu dikelola dengan baik.
Agar penyelenggaraan K3 RS lebih efektif, efisien dan terpadu, diperlukan sebuah
pedoman manajemen K3RS, baik bagi pengelola Maupun karyawan RS (Harington,
2005).

2.4. Kecelakaan Akibat Kerja
2.4.1. Pengertian Penyakit Akibat kerja
Menurut (AS/NZS 4801: 2001) kecelakaan adalah semua kejadian yang
tidak direncanakan yang menyebabkan atau berpotensial menyebabkan cidera,
kesakitan, kerusakan atau kerugian lainnya (Standar AS/NZS 4801:2001).

Universitas Sumatera Utara

Kecelakaan kerja menurut Peraturan Menteri Tenaga Kerja No.03/Men/98
adalah suatu kejadian yang tidak dikehendaki dan tidak diduga semula yang dapat
menimbulkan korban manusia dan atau harta benda.
Kecelakaan kerja (accident) adalah suatu kejadian yang tidak diinginkan
yakni peristiwa yang tidak diinginkan/diharapkan, tidak diduga, tidak disengaja
terjadi dalam hubungan kerja yang berdampak pada kerugian berupa cidera pada
pekerja, kerusakan barang-barang produksi dan kehilangan waktu selama proses
produksi. Kecelakaan kerja terjadi oleh karena kontak dengan substansi atau sumber
energi melebihi kadar normal (Suardi, 2007).
2.4.2. Klasifikasi Kecelakaan Akibat Kerja
Tujuan untuk mengetahui klasifikasi kejadian kecelakaan kerja, salah satunya
adalah dasar untuk mengidentifikasi proses alami suatu kejadian seperti dimana
kecelakaan terjadi, apa yang karyawan lakukan dan apa peralatan atau material yang
digunakan oleh karyawan. Dengan menerapkan kode-kode kecelakaan kerja maka
akan sangat membantu proses investigasi dalam meginterpretasikan informasiinformasi yang tersebut diatas. Ada banyak standar yang menjelaskan referensi
tentang kode-kode kecelakaan kerja, salah satunya adalah (standar Australia AS 1885
1 (1990). Berdasarkan standar tersebut, kode yang digunakan untuk mekanisme
terjadinya cidera/sakit akibat kerja dibagi sebagai berikut:
1. Jatuh dari atas ketinggian
2. Jatuh dari ketinggian yang sama
3. Menabrak objek dengan bagian tubuh

Universitas Sumatera Utara

4. Terpajan oleh getaran mekanik
5. Tertabrak oleh objek yang bergerak
6. Tepajan oleh suara keras tiba-tiba
7. Terpajan suara yang lama
8. Terpajan tekanan yang bervariasi (lebih dari suara)
9. Pergerakan berulang dengan pengangkatan otot yang rendah
10. Otot tegang lainnya
11. Kontak dengan listrik
12. Kontak atau terpajan dengan dingin atau panas
13. Terpajan radiasi
14. Kontak tunggal dengan bahan kimia
15. Kontak jangka panjang dengan
16. Kontak lainnya dengan bahan kimia
17. Kontak dengan, atau terpajan faktor biologi
18. Terpajan faktor stress mental
19. Longsor atau runtuh
20. Kecelakaan kendaraan/Mobil
21. Lain-lain dan mekanisme cidera berganda atau banyak
22. Mekanisme cidera yang tidak spesifik

Universitas Sumatera Utara

2.5 Limbah Padat Rumah Sakit
2.5.1 Pengertian Limbah Padat Rumah Sakit
Limbah padat rumah sakit yang lebih dikenal dengan pengertian sampah
rumah sakit. Limbah padat (sampah) adalah sesuatu yang tidak dipakai, tidak
disenangi, atau sesuatu yang harus dibuang yang umumnya berasal dari kegiatan yang
dilakukan oleh manusia, dan umumnya bersifat padat (Wicaksono, 2005)
Limbah padat rumah sakit terdiri atas sampah yang mudah membusuk dan
mudah atau tidak mudah terbakar. Limbah-limbah tersebut kemungkinan besar
mengandung mikroorganisme pathogen atau bahan kimia beracun berbahaya (B3)
yang dapat menyebabkan penyakit infeksi dan dapat tersebar ke lingkungan rumah
sakit. Limbah dengan kandungan logam berat tinggi seperti limbah yang mengandung
merkuri atau cadmium tidak boleh dibakar atau diinsinerasi karena berisiko
mencemari udara dengan uap beracun dan perlu dimonitoring keberadaannya
sehingga tidak mencemari daerah sekitarnya (Garnasih, 2006).
Menurut Askarian et al (2004), faktor yang mempengaruhi timbulan limbah
rumah sakit antara lain tingkat hunian dan jenis pelayanan kesehatan yang diberikan.
Penelitian Perdani (2011) menunjukkan bahwa komposisi limbah medis dipengaruhi
oleh pelayanan yang ditawarkan suatu fasilitas kesehatan. Menurut Cheng et al
(2008), yang mempengaruhi kualitas dan kuantitas limbah yang dihasilkan yaitu tipe
rumah sakit, outpatients per hari dan total jumlah tempat tidur.
Limbah padat rumah sakit adalah semua limbah rumah sakit yang berbentuk
padat akibat kegiatan rumah sakit yang terdiri dari limbah padat medis dan non medis

Universitas Sumatera Utara

(Keputusan MenKes R.I. No.1204/MENKES/SK/X/2004). Limbah padat rumah
sakit adalah semua limbah rumah sakit yang berbentuk padat sebagai akibat
kegiatan rumah sakit yang terdiri dari limbah medis dan non medis, yaitu : (1) limbah
non medis adalah limbah padat yang dihasilkan dari kegiatan di RS di luar medis
yang berasal dari dapur, perkantoran, taman dari halaman yang dapat
dimanfaatkan kembali apabila ada teknologi dan (2) limbah p a d a t medis adalah
limbah padat yang terdiri dari limbah infeksius, limbah patologi, limbah benda
tajam, limbah farmasi, limbah sitotoksis, limbah container bertekanan, dan limbah
dengan kandungan logam berat yang tinggi.
Penanganan dan penampungan limbah pada rumah sakit meliputi hal-hal
sebagai berikut :
a. Pemisahan dan pengurangan
Limbah

dipilah-pilah

dengan

mempertimbangkan

kelancaran penanganan

dan penampungan, pengurangan jumlah limbah yang memerlukan perlakuan
khusus, dengan pemisahan limbah B3 dan non B3, sedapat mungkin diusahakan
menggunakan bahan kimia non B3, pengemasan dan pemberian label yang jelas
dari berbagai jenis limbah untuk mengurangi biaya, tenaga kerja, dan
pembuangan, pemisahan limbah berbahaya dari semua limbah di tempat
penghasil limbah akan mengurangi kemungkinan kesalahan petugas.
b. Penampungan

Universitas Sumatera Utara

Sarana penampungan harus memadai, diletakkan pada tempat yang pas, aman,
dan higienis. Pemadatan merupakan cara yang paling efisien dalam penyimpanan
limbah yang bisa dibuang dan ditimbun. Namun tidak boleh dilakukan untuk
limbah infeksius dan benda tajam.
c. Pemisahan limbah
Untuk memudahkan pengenalan jenis limbah adalah dengan cara menggunakan
kantong berkode (umumnya dengan kode berwarna).
Tabel 2.1. Jenis Wadah dan Label Limbah Medis Padat Sesuai Kategori
Warna
Kontainer
/ Kantong
Plastik

No

Kategori

Lambang

Keterangan

1.

Radioaktif

Merah

Kantong boks timbal dengan
simbol radioaktif

2.

Sangat
Infeksius

Kuning

3.

Limbah
Infeksius,

Kuning

Kantong plastik kuat, anti
bocor, atau kontainer
yang dapat disterilisasi
dengan otoklaf
Kantong plastik kuat dan anti
bocor, atau container

4.

Sitotoksis

Ungu

Kontainer plastik kuat dan anti
bocor

5.

Limbah
Coklat
Kantong plastik atau kontainer
kimia dan
farmasi
Sumber: Kepmenkes RI Nomor: 1204/Menkes/SK/X/2004
d. Penyimpanan limbah

Universitas Sumatera Utara

Kantung-kantung dengan warna harus dibuang jika telah berisi 2/3 bagian.
Kemudian diikat bagian atasnya dan diberi label yang jelas. Kantung harus
diangkut dengan memegang lehernya, sehingga kalau dibawa mengayun
menjauhi badan, dan diletakkan di tempat-tempat tertentu untuk dikumpulkan.
Petugas pengumpul limbah harus memastikan kantung-kantung dengan warna
yang sama telah dijadikan satu dan dikirim ke tempat yang sesuai. Kantung harus
disimpan di kotak-kotak yang kedap terhadap kutu dan hewan perusak sebelum
diangkut ke tempat pembuangannya
d. Penanganan limbah
Kantung-kantung dengan kode warna hanya boleh diangkut bila telah ditutup,
Kantung dipegang pada lehernya. Petugas harus mengenakan pakaian pelindung,
misalnya dengan memakai sarung tangan yang kuat dan pakaian terusan
(overal), pada waktu mengangkut kantong tersebut. Jika terjadi kontaminasi diluar
kantung diperlukan kantung baru yang bersih untuk membungkus kantung baru
yang kotor tersebut seisinya (double bagging). Petugas diharuskan melapor jika
menemukan benda-benda tajam yang dapat mencederainya di dalama kantung yang
salah. Tidak boleh memasukkan tangan kedalam kantung limbah
e. Pengangkutan limbah Padat
Kantung limbah dikumpulkan dan sekaligus dipisahkan menurut kode warnanya.
Limbah bagian bukan klinik misalnya dibawa ke kompaktor, limbah bagian klinik
dibawa ke insinerator. Pengangkutan dengan kendaran khusus (mungkin ada

Universitas Sumatera Utara

kerjasama dengan Dinas Pekerjaan Umum) kendaraan yang digunakan untuk
mengankut limbah tersebut sebaiknya dikosongkan dan dibersihkan tiap hari,
kalau perlu (misalnya bila ada kebocoran kantung limbah) dibersihkan dengan
menggunakan larutan klorin.
Kereta atau troli yang digunakan untuk transportasi sampah medis harus
didesain sedemikian sehingga: (a) permukaan harus licin, rata dan tidak mudah
tembus, (b) tidak menjadi sarang serangga, (c) mudah dibersihkan dan dikeringkan,
(d) sampah tidak menempel pada alat angkut, (E) sampah mudah diisikan, diikat
dan dituang kembali
Pengangkutan dibedakan menjadi dua

yaitu

pengangkutan internal dan

eksternal. Pengangkutan internal berawal dari titik penampungan awal ke
tempat

pembuangan

atau

ke

incinerator

(pengolahan

on-site).

Dalam

pengangkutan internal biasanya digunakan kereta dorong, dan dibersihkan
secara berkala serta petugas pelaksana dilengkapi dengan alat proteksi dan
pakaian kerja khusus. Pengangkutan eksternal yaitu pengangkutan sampah medis
ketempat pembuangan di luar (off-site). Pengangkutan eksternal memerlukan
prosedur pelaksanaan yang tepat dan harus dipatuhi petugas yang terlibat.
Prosedur tersebut termasuk memenuhi peraturan angkutan lokal. Sampah medis
diangkut dalam kontainer khusus, harus kuat dan tidak bocor (Hapsari, 2010).

Universitas Sumatera Utara

Petugas penanganan limbah harus menggunakan alat pelindung diri (APD)
yang terdiri dari topi/helm, masker, pelindung mata, pakaian panjang, apron,
pelindung kaki/ sepatu boot, dan sarung tangan khusus (Depkes RI, 2004).
f. Pembuangan dan Pemusnahan Limbah Padat
Limbah klinik harus dibakar (insinerasi), jika tidak mungkin harus ditimbun
dengan kapur dan ditanam limbah dapur sebaiknya dibuang pada hari yang
sama sehingga tidak sampai membusuk. Rumah sakit yang besar mungkin
mampu membeli insinerator sendiri, incinerator berukuran kecil atau menengah
dapat membakar pada suhu 1300 – 1500 ºC atau lebih tinggi dan mungkin
dapat mendaur ulang sampai 60 % panas yang dihasilkan untuk kebutuhan
energi rumah sakit. Suatu rumah sakit dapat pula memperoleh penghasilan
tambahan dengan melayani insinerasi limbah rumah sakit yang berasal dari
rumah sakit lain.
Insinerator modern yang baik tentu saja memiliki beberapa keuntungan
antara lain kemampuannya menampung limbah klinik maupun bukan klinik,
termasuk benda tajam dan produk farmasi yang tidak terpakai (Arifin, 2007).
2.5.2 Limbah Padat Medis Rumah Sakit
Menurut U.S Environmental Protection Agency (2011), limbah medis adalah
semua bahan buangan yang dihasilkan dari fasilitas pelayanan kesehatan, seperti
rumah sakit, klinik, bank darah, praktek dokter gigi serta fasilitas penelitian medis
dan laboratorium, sedangkan menurut Depkes (2002), limbah medis adalah limbah

Universitas Sumatera Utara

rumah sakit pada saat dilakukan perawatan atau pengobatan serta limbah yang berasal
dari perawatan gigi, farmasi atau sejenis.
Menurut Departemen Kesehatan RI (2009), limbah medis dikategorikan
berdasarkan potensi bahaya yang terkandung di dalamnya serta volume dan sifat
persistensinya yang dapat menimbulkan berbagai masalah. Salah satu limbah rumah
sakit yang mempunyai potensi bahaya yang tinggi adalah limbah infeksius yang
berkaitan dengan pasien yang memerlukan isolasi penyakit menular (perawatan
intensif) dan limbah laboratorium. Limbah ini dapat menjadi sumber penyebaran
penyakit pada petugas, pasien, pengunjung, maupun masyarakat sekitar. Oleh karena
itu, limbah ini memerlukan wadah atau kontainer khusus dalam pengelolaannya.
Hal-hal yang harus diperhatikan dalam penanganan limbah padat medis
infeksius : (1) selalu memasukkan alat suntik bekas ke dalam wadah tertentu
(disposafe box) segera setelah pemakaian. (2) selalu menggunakan alat suntik sekali
pakai yang baru untuk setiap satu penyuntikan ( 1 al sun = 1 pasien ), (3) selalu
memusnahkan disposafe box pada tempat pembakaran tersendiri, tidak dicampur
dengan limbah-limbah lainnya. (4) tidak boleh menggunakan kembali alat suntik
yang

telah

dipakai

untuk

menyuntik

pasien

ataupun

hanya

dengan

mengganti jarumnya saja. (5) tidak melepas / mengganti dan menutup kembali jarum
suntik bekas sebelum dimasukkan ke dalam disposafe box. (6) tidak memegang jarum
suntik yang telah digunakan tanpa proteksi yang aman, semisal sarung tangan dari
karet.

Universitas Sumatera Utara

Bentuk limbah atau sampah klinis bermacam-macam dan berdasarkan potensi
bahaya yang ditimbulkannya dapat dikelompokkan sebagai berikut: (Anshar, 2013).
1. Limbah Benda Tajam
Limbah benda tajam adalah objek atau alat yang memiliki sudut tajam, sisi, ujung
menonjol dapat memotong atau menusuk kulit seperti jarum hipodermik,
perlengkapan intravena, pipet Pasteur, pecahan gelas, pisau bedah. Semua benda
tajam ini memiliki bahaya dan dapat menyebabkan cedera melalui sobekan atau
tusukan. Benda-benda tajam yang terbuang mungkin terkontaminasi oleh darah,
cairan tubuh, bahan mikrobiologi, bahan beracun atau radio aktif.
2. Limbah Infeksius
Limbah infeksius meliputi limbah yang berkaitan dengan pasien yang memerlukan
isolasi penyakit menular (perawatan intensif). Limbah laboratorium yang berkaitan
dengan pemeriksaan mikrobiologi dari poliklinik dan ruang perawatan/isolasi
penyakit menular. Limbah jaringan tubuh meliputi organ, anggota badan, darah/
cairan tubuh, sampah mikrobiologis, limbah pembedahan, limbah unit dialysis.
3. Limbah Jaringan Tubuh
Limbah jaringan tubuh meliputi jaringan tubuh, organ, anggota badan, placenta,
darah dan cairan tubuh lain yang dibuang saat pembedahan dan autopsy. Limbah
jaringan tubuh tidak memerlukan pengesahan penguburan dan hendaknya dikemas
khusus, diberi label dan dibuang ke incinerator.
4. Limbah Citotoksik

Universitas Sumatera Utara

Limbah citotoksik adalah bahan yang terkontaminasi atau mungkin terkontaminasi
dengan obat citotoksik selama peracikan, pengangkutan atau tindakan terapi
citotoksik. Limbah yang terdapat limbah citotoksik harus dibakar dalam
incinerator dengan suhu diatas 1000 ºC.
5. Limbah Farmasi
Limbah farmasi berasal dari obat-obatan kadaluwarsa, obat-obatan yang terbuang
karena batch tidak memenuhi spesifikasi atau telah terkontaminasi, obat-obatan
yang terbuang atau dikembalikan oleh pasien, obat-obatan yang sudah tidak
dipakai lagi karena tidak diperlukan dan limbah hasil produksi oabt-obatan.
6. Limbah Kimia
Limbah kimia dihasilkan dari penggunaan kimia dalam tindakan medis, vetenary,
laboratorium, proses sterilisasi dan riset. Limbah kimia juga meliputi limbah
farmasi dan limbah citotoksik.
7. Limbah Radio Aktif
Limbah radio aktif adalah bahan yang terkontaminasi dengan radio isotope yang
berasal dari penggunaan medis dan riset radionucleida. Asal limbah ini antara lain
dari tindakan kedokteran nuklir, radioimmunoassay dan bakteriologis yang dapat
berupa padat, cair atau gas.
8. Limbah Plastik
Limbah plastic adalah bahan plastic yang dibuang oleh klinik, rumah sakit dan
sarana kesehatan lain seperti barang-barang disposable yang terbuat dari plastic
dan juga pelapis peralatan dan perlengkapan medis.

Universitas Sumatera Utara

2.6. Pengolahan Limbah Medis Rumah Sakit dengan Incinerator
Rumah sakit sebagai institusi yang tugasnya memberikan pelayanan kesehatan
kepada masyarakat, tidak terlepas dari tanggung jawab terhadap kesehatan
lingkungan di sekitarnya yaitu mengelola limbah medis dengan benar (sesuai
persyaratan).
Elemen penting dalam pengelolaan limbah rumah sakit menurut WHO (2005)
yaitu minimisasi limbah, pemilahan, pengumpulan, pengangkutan, penampungan,
hingga tahap pemusnahan dan pembuangan akhir, salah satu metode pemusnahan
limbah medis di rumah sakit adalah incinerator.
Pedoman Sanitasi Rumah Sakit di Indonesia, yang menyebutkan bahwa setiap
petugas hendaknya dilengkapi dengan alat proteksi dan pakaian kerja (APD) lengkap
diantaranya ;
a. Sarung tangan khusus
Sarung tangan yang digunakan ada dua macam yaitu sarung tangan karet yang
dipergunakan pada saat pengangkutan sampah medis dan pencucian kontainer
sampah medis dan peralatan yang akan didesinfeksi, yang kedua adalah sarung
tangan kulit yang tahan terhadap panas, dipergunakan pada saat melakukan pekerjaan
pembakaran sampah medis.
b. Masker
Masker digunakan pada saat menangani bau busuk, debu atau abu yang berasal dari
sampah medis, mencegah percikan yang bersifat infeksius masuk ke dalam mulut

Universitas Sumatera Utara

serta melindungi muka saat memindahkan abu dan benda-benda kecil sejenis dari
insenerator.
c. Sepatu boot
Sepatu boot digunakan untuk pekerjaan yang rawan kecelakaan pada kaki yaitu pada
saat melaksanakan pengelolaan sampah medis benda tajam dan pengontrolan sampah
medis infeksius.
d. Pakaian pelindung
Baju pelindung dipergunakan sewaktu melakukan pekerjaan pencucian peralatan
sampah medis, pengambilan peralatan sampah medis dan pembakaran sampah medis
agar tubuh petugas tidak terkena percikan dari proses pembakaran (Depkes, 1992).
Keberhasilan sistem pengelolaan sampah padat berkaitan erat dengan prosedur
tetap (protap) yang dimiliki rumah sakit sebagai acuan agar tujuan akhir pengelolaan
sampah padat dapat tercapai sesuai dengan yang diinginkan. Apabila protap telah
disusun dan dilaksanakan dengan baik, maka akan dapat tercipta lingkungan rumah
sakit yang bersih dan sehat (Pujiati, 2004).
Faktor lain yang berperan penting dalam keberhasilan pengelolaan sampah
padat di rumah sakit, yaitu faktor pengelola, dana yang tersedia dan peralatan yang
dimiliki. Ketersediaan faktor penunjang ini dapat membantu untuk mewujudkan
lingkungan rumah sakit yang bersih dan sehat (Sulistyorini, 2005).

Prosedur pengelolaan limbah medis di rumah sakit dan sarana sampai
kesehatan lain sampai pemusnahan di incinerator seperti pada skema di bawah ini.

Universitas Sumatera Utara

Gambar 2.1 Skema Pengelolaan Sampah Medis dengan Incinerator
(Depkes RI, 2004)
Incinerator merupakan alat yang dirancang khusus untuk membakar sampah
yang tidak dapat diuraikan oleh mikroorganisme (Batterman, 2004). Jika masih dalam
kondisi baru dan dioperasikan serta dipelihara dengan tepat, incinerator ini dapat
bekerja dalam suhu tinggi (700 - 800 0C), struktur incinerator dirakit dan dibangun
menggunakan semen dan logam (PATH, 2006).
Incinerator memiliki ruang pembakaran primer dan sekunder. Zona
pembakaran primer berada dekat pintu depan. Pintu ini untuk memindahkan abu,
menyalakan api. Sampah dimasukkan melalui pintu di atas kamar primer. Pintu ini
memasukkan udara, memungkinkan operator menyalakan api dan memindahkan abu.

Universitas Sumatera Utara

Sampah dijatuhkan melalui pintu muatan di atas kamar primer. Incinerator harus
dipanaskan terlebih dahulu sebelum sampah dimasukkan, sekira 30 menit atau lebih.
Kamar kedua yang tidak terjangkau operator terpisah dari kamar primer oleh kolom
batu bata. Udara tambahan dimasukkan ke dalam kamar kedua melalui bagian kecil
yang terbuka pada bagian bawah dari dinding bagian belakang kamar kedua. Udara
bercampur dengan gas dari kamar primer dan menyebabkan pembakaran kedua.
Sebuah kontrol untuk mengatur panas dan waktu pembakaran berada di bagian bawah
cerobong dan mengontrol gas dalam cerobong. Suatu pipa pada bagian leher
cerobong mengindikasikan sampah seharusnya dimasukkan. Cerobong udara
bertinggi 4 meter, melepaskan gas ke atmosfer.
Sampai saat ini di negara-negara berkembang menggunakan incinerator
merupakan solusi terbaik dalam membakar sampah, dari pada membakarnya
langsung di area terbuka (WHO, 2006). Namun ternyata penggunaan incinerator tidak
menyelesaikan semua masalah, justru tanpa disadari pembakaran sampah dengan
menggunakan incinerator malah menimbulkan permasalahan baru bagi lingkungan,
yaitu pencemaran udara dan tanah.
Insinerasi merupakan metode pilihan untuk memusnahkan limbah medis dan
sampai saat ini masih banyak dipakai. Insinerasi yaitu proses oksidasi kering bersuhu
tinggi dapat mengurangi limbah organik dan limbah yang mudah terbakar menjadi
bahan anorganik yang tidak mudah terbakar dan efektif untuk menurunkan volume
dan berat limbah (Prüss et al, 2005). Menurut Depkes (2006), tujuan dari insinerasi
merupakan upaya minimisasi limbah yakni sangat mengurangi volume dan berat

Universitas Sumatera Utara

limbah yang jumlahnya besar hingga tinggal kurang dari 5% nya serta dapat
menghilangkan mikroba di dalam sisa limbah.
Pedoman teknis pengendalian pencemaran udara sumber tidak bergerak
disebutkan bahwa syarat cerobong asap incinerator harus dibuat dengan
mempertimbangkan aspek pengendalian pencemaran udara yang didasarkan pada
lokasi dan tinggi cerobong. Perhitungan modelling pencemaran udara akan dapat
ditentukan dispersi udara, dari cerobong terhadap kondisi udara sekitarnya. Dari
dispersi udara, dapat ditentukan konsentrasi udara di atas permukaan tanah yang
sesuai dengan standar kualitas udara ambien. Rancang bangun cerobong disesuaikan
pertimbangan emisi yang akan dikeluarkan tidak melebih baku mutu yang ditetapkan.
Menurut Prüss, et al (2005) incinerator adalah pilihan pengolahan dapat
mengurangi bahaya infeksius limbah medis secara efektif dan mencegah terjadinya
pemulungan, tetapi di saat yang bersamaan juga dapat memperbesar bahaya lain
terhadap kesehatan lingkungan. Seperti insinerasi untuk limbah medis jenis tertentu,
terutama yang mengandung klor atau logam berat dalam kondisi tertentu dapat
melepaskan materi toksik ke dalam atmosfer. Beberapa kelebihan dan kekurangan
metode insinerasi menurut Prüsset al (2005), seperti pada tabel berikut.

Universitas Sumatera Utara

Tabel 2.2 Kelebihan dan Kekurangan Pilihan Metode Insinerasi Pengolahan
Limbah Medis
No
.
1.

2.

3.

4.

Metode
Kelebihan
pengolahan/pembu
-angan
Rotary klin (tungku Tepat
untuk
semua
limbah
infeksius,
berputar)
sebagian besar limbah
kimia,
dan
limbah
sediaan farmasi
Insinerasi pirolitik Efisiensi
desinfeksi
sangat tinggi. Tepat
(suhu tinggi)
untuk semua limbah
infeksius dan sebagian
besar limbah sediaan
farmasi dan bahan kimia
Insinerasi
bilik Efisiensi sangat baik.
Penurunan tajam berat
tunggal
dan volume limbah.
Residu dapat dibuang ke
landfill.
Tidak
memerlukan
operator
yang sangat ahli
Insinerasi drum atau Penurunan tajam berat
dan volume limbah.
batu bata
Biaya
investasi
dan
operasional
sangat
rendah

Kekurangan

Biaya
investasi
operasional tinggi

dan

Penghancuran
limbah
sitotoksik
secara
tidak
sempurna. Biaya investasi dan
operasional relatif tinggi

Emisi polutan udara yang
sangat
signifikan.
Perlu
dilakukan pembersihan jelaga
dan arang secara berjangka.
Tidak
efisien
untuk
menghancurkan limbah bahan
kimia dan obat-obatan seperti
obat sitotoksik
Hanya menghancurkan 99%
mikroorganisme.
Tidak
banyak
menghancurkan
limbah bahan kimia dan
sediaan farmasi. Emisi besarbesaran asap hitam, abu
melayang,
gas
cerobong
toksik, dan bau

Sumber : Prüss, 2005
2.7 Dampak Limbah Medis Rumah Sakit terhadap Penyakit Akibat Kerja
Limbah yang dihasilkan oleh kegiatan sarana pelayanan kesehatan, khususnya
rumah sakit, bila tidak ditangani dengan benar akan dapat mencemari lingkungan.

Universitas Sumatera Utara

Berbagai upaya penting dilakukan, sehingga pengelolaan limbah rumah sakit dapat
dilakukan optimal, sehingga masyarakat dapat terlindungi dari bahaya pencemaran
lingkungan dan penyakit menular yang bersumber dari limbah rumah sakit (Depkes
RI, 2009).
Beberapa pengaruh yang ditimbulkan oleh keberadaan limbah rumah sakit,
khususnya terhadap gangguan kesehatan manusia, limbah medis rumah sakit terutama
karena berbagai jenis bakteri, virus, senyawa-senyawa kimia, desinfektan, serta
logam seperti Hg, Pb, Chrom dan Cd yang berasal dari bagian kedokteran gigi.
Gangguan kesehatan dapat dikelompokkan menjadi gangguan langsung adalah efek
yang disebabkan karena kontak langsung dengan limbah tersebut, misalnya limbah
klinis beracun, limbah yang dapat melukai tubuh dan limbah yang mengandung
kuman pathogen sehingga dapat menimbulkan penyakit dan gangguan tidak langsung
dapat dirasakan oleh masyarakat, baik yang tinggal di sekitar rumah sakit maupun
masyarakat yang sering melewati sumber limbah medis diakibatkan oleh proses
pembusukan, pembakaran dan pembuangan limbah tersebut (Depkes RI, 2009).
Limbah infeksius dapat mengandung berbagai macam mikroorganisme
patogen. Patogen tersebut dapat memasuki tubuh manusia melalui beberapa jalur,
yaitu akibat tusukan, lecet, atau luka di kulit; melalui membran mukosa; melalui
pernapasan. Kultur patogen yang pekat dan benda tajam yang terkontaminasi
(terutama jarum suntik) mungkin merupakan jenis limbah yang potensi bahayanya
paling akut bagi kesehatan (WHO, 1999)

Universitas Sumatera Utara

Selain terhadap kesehatan secara langsung. Limbah medis juga berdampak
terhadap penurunan kualitas lingkungan dan terhadap kesehatan antara lain, terhadap
gangguan kenyamanan dan estetika, terutama disebabkan karena warna yang berasal
dari sedimen, larutan, bau phenol, bau feses, urin dan muntahan yang tidak
ditempatkan dengan baik dan rasa dari bahan kimia organik. Penampilan rumah sakit
dapat memberikan efek psikologis bagi pemakai jasa, karena adanya kesan kurang
baik akibat limbah yang tidak ditangani dengan baik (Depkes RI, 2009).
Limbah medis rumah sakit juga dapat menyebabkan kerusakan harta benda.
Dapat disebabkan oleh garam-garam terlarut (korosif, karat), air yang berlumpur
dapat menurunkan kualitas bangunan di sekitar rumah sakit. Selain itu limbah rumah
sakit menyebabkan gangguan atau kerusakan tanaman dan binatang. Hal ini terutama
karena senyawa nitrat (asam, basa dan garam kuat), bahan kimia, desinfektan, logam
nutrient tertentu dan fosfor (Depkes RI, 2009).
Limbah medis rumah sakit juga dapat menyebabkan gangguan genetik dan
reproduksi. Meskipun mekanisme gangguan belum sepenuhnya diketahui secara
pasti, namun beberapa senyawa dapat menyebabkan gangguan atau kerusakan genetik
dan system reproduksi manusia, misalnya pestisida (untuk pemberantasan lalat,
nyamuk, kecoa, tikus dan serangga atau binatang pengganggu lain) dan bahan
radioaktif (Depkes RI, 2009). Limbah medis rumah sakit juga dapat menyebabkan
infeksi silang. Limbah medis dapat menjadi wahana penyebaran mikroorganisme
pembawa penyakit melalui proses infeksi silang baik dari pasien ke pasien, dari
pasien ke petugas atau dari petugas ke pasien.

Universitas Sumatera Utara

Limbah infeksius dapat mengandung berbagai macam mikroorganisme
pathogen. Pathogen tersebut dapat memasuki tubuh manusia melalui beberapa jalur :
(a) akibat tusukan, lecet, atau luka dikulit, (b) melalui membrane mukosa, (c) melalui
pernafasan dan (d) melalui ingesti.
Contoh infeksi akibat terpajan limbah infeksius adalah infeksi gastroenteritis
dimana media penularnya adalah tinja dan muntahan, infeksi saluran pernafasan
melalui secret yang terhirup atau air liur dan lain-lain. Benda tajam tidak hanya
dapat menyebabkan luka gores maupun luka tertusuk tetapi juga dapat menginfeksi
luka jika benda itu terkontaminasi pathogen. Karena resiko ganda inilah (cedera dan
penularan penyakit), benda tajam termasuk dalam kelompok limbah yang sangat
berbahaya. Kekhawatiran pokok yang muncul adalah bahwa infeksi yang ditularkan
melalui subkutan dapat menyebabkan masuknya agens penyebab panyakit, misalnya
infeksi virus pada darah (Pruss, 2005).

2.8. Dampak Limbah Medis Rumah Sakit terhadap Kecelakaan Akibat Kerja
Rumah sakit termasuk dalam kriteria tempat kerja dengan berbagai ancaman
bahaya yang dapat menimbulkan dampak kesehatan, tidak hanya terhadap para
pelaku langsung yang bekerja di rumah sakit, tapi juga terhadap pasien maupun
pengunjung. Potensi bahaya di rumah sakit selain penyakit-penyakit infeksi juga ada
potensi bahaya-bahaya lain yang mempengaruhi situasi dan kondisi di rumah sakit,
yaitu kecelakaan (peledakan, kebakaran, kecelakaan yang berhubungan dengan
instalasi listrik, dan sumber-sumber