Pengendalian Biofilm Streptococcus agalactiae pada Permukaan Sisik Ikan dan Plastik PVC dengan Senyawa Antibakteri Bakteri Asam Laktat Perairan Tawar

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Bakteri Asam Laktat (BAL)
Bakteri asam laktat merupakan bakteri Gram positif, tidak berspora,
berbentuk batang maupun kokus, bersifat fakultatif anaerobik (Fardiaz, 1992),
memproduksi asam laktat sebagai hasil akhir fermentasi glukosa, pada umumnya
katalase negatif (Leistner, 2000).

Beberapa spesies BAL ditemukan juga

tergolong katalase positif seperti : Bacillus coagulans dan Sporolactobacillus
(Vecchi and Drago, 2006). BAL secara umum dibagi menjadi dua kelompok,
homofermentatif dan heterofermentatif. Kelompok homofermentatif hanya
menghasilkan

asam

laktat

selama


proses

fermentasi

gula

sedangkan

heterofermentatif dapat membentuk sejumlah karbondioksida, etil alkohol, asam
asetat, dan gliserol bersamaan dengan sejumlah besar asam laktat. Sifat yang
terpenting dari BAL adalah kemampuannya dalam memfermentasi gula manjadi
asam laktat.

BAL mampu menghasilkan zat antimikroba yang dapat menghambat
pertumbuhan dan aktivitas mikroba (Salminem et al. 2004). Asam organik dalam
bahan pangan dapat berfungsi sebagai asidulan atau pengawet, sementara garam
atau ester dapat menjadi antimikroba yang efektif pada pH yang mendekati netral.
Hasil utama metabolit BAL berupa asam laktat dapat menyebabkan perubahan pH
secara signifikan. Terbentuknya asam laktat dan asam organik oleh BAL dapat

menyebabkan penurunan pH dan mengakibatkan mikroba yang tidak tahan
terhadap kondisi pH yang relatif rendah akan terhambat (Fardiaz, 1992). Aktivitas
asam-asam lipofilik seperti asam laktat dan asetat dalam bentuk tidak terdisosiasi
dapat menembus sel mikroba dan pada pH intraseluler yang lebih tinggi,
berdisosiasi menghasilkan ion-ion hidrogen dan mengganggu fungsi metabolik
esensial seperti translokasi substrat dan fosforilasi oksidatif dengan demikian
mereduksi pH intraseluler (Cabo et al. 2000).

Universitas Sumatera Utara

Beberapa genus bakteri dapat menghasilkan peptida yang bersifat
antimikroba yang kemudian lebih dikenal dengan nama bakteriosin. Bakteriosin
sering diartikan sebagai protein dengan efek antagonistik sebagai bakterisidal atau
bakteriostatik terhadap pertumbuhan bakteri. Berbagai genus bakteri Gram positif
dan Gram negatif telah dilaporkan menghasilkan bakteriosin diantaranya genus
Lactobacillus, Micrococcus, Staphylococcus, Streptococcus, Pseudomonas, dan
Carnobakterium (Suarsana, 2003).
L. plantarum adalah bakteri asam laktat dari famili Lactobacilliceae dan
genus Lactobacillus. Bakteri ini bersifat Gram positif, non motil, dan berukuran
0,6-0,8 μm x 1,2-6,0 μm (Holt et al. 2000). L. plantarum mampu menghasilkan

asam laktat dan penghasil hidrogen peroksida tertinggi dibandingkan bakteri
asam laktat lainnya selain itu juga menghasilkan bakteriosin yang merupakan
senyawa protein yang bersifat bakterisidal dan dapat menyebabkan kematian sel
dengan cepat walaupun pada konsentrasi rendah (Permanasari, 2004). Bakteriosin
yang dihasilkan L. plantarum diketahui mampu menghambat

pertumbuhan S.

aureus (Branen, 1993) dan S. agalactiae (Lubas et al. 2012).
BAL memiliki peranan penting pada organisme akuakultur. Verschuere et al.
(2000) melaporkan bahwa BAL dapat digunakan sebagai agensia pengendalian
biologis terhadap mikroba patogen atau parasit pada organisme akuakultur
diantaranya pada ikan, telur ikan dan Crustacea karena dapat bersifat antimikroba dan
tidak berbahaya bagi organisme akuakultur. Parker (1994) melaporkan hasil
penelitiannya, bahwa BAL dapat digunakan sebagai agen biologis dalam
menghambat pertumbuhan bakteri patogen pada larva ikan. L. plantarum merupakan
salah satu spesies BAL yang dijadikan pengganti antibiotik pada hewan akuakultur
dalam mencegah timbulnya penyakit dan pengontrol kualitas air (Fuller, 1989).

Kemampuan BAL dalam menghambat pertumbuhan bakteri pathogen S.

agalactiae telah banyak dilaporkan, beberapa spesies BAL tersebut diantaranya
Pediococcus pentosaceus (Harijani, 2010), L. aciodophilus, L. brevis, L.
fermentum, dan Weissella confuse (Serna et al. 2011).

Universitas Sumatera Utara

2.2.

Streptococcus agalactiae
S. agalactiae merupakan Grup B Streptococcus (GBS), bakteri Gram

positif, berbentuk kokus, tidak dapat tumbuh pada suhu dibawah 10 0C, fermentasi
oksidatif positif dan uji katalase negatif (Abuseliana et al, 2011 ; Evans et al,
2006 ; Hardi et al. 2011). Hal ini didukung dari pengujian oleh Evans et al.
(2002), bahwa S. agalactiae termasuk bakteri Gram positif, oksidase negatif, uji
katalase negatif, isolat menunjukkan hasil

positif pada reaksi leucine

aminopeptidase, arginin deaminase dan trehalose.


Sheehan et al. (2009) mengelompokan S. agalactiae dalam dua tipe yaitu
tipe 1 (β-hemolitik) dan tipe 2 (non-hemolitik). Tipe 1 mampu melisis eritrosit
dengan sempurna yang ditunjukkan dengan adanya zona bening pada media agar
darah. Sedangkan tipe 2 tidak mampu melisis eritrosit sehingga tidak terbentuk
zona bening pada media agar darah. Tipe 2 dikatakan lebih virulen dibanding tipe
1 dilihat dari jumlah kematian yang lebih cepat dan banyak. Bakteri tipe 2
menyebabkan kematian pada ikan nila setelah 6-24 jam sedangkan tipe 1 baru
menyebabkan kematian setelah 48 jam pasca injeksi (Hardi et al. 2011).
Penyerangan S. agalactiae dipengaruhi oleh faktor suhu pada lingkungan
(Sepahi et al, 2013). Selanjutnya Sepahi et al, (2013) melaporkan ada hubungan
yang

jelas

antara

suhu

dan


mortalitas

pada

Oncorhynchus

mykiss

dengan Streptococcus agalactiae. Pada suhu 12 ºC, ikan tidak menunjukkan
penyakit klinis Streptococcosis sedangkan pada suhu 18 ºC, kematian mulai
tumbuh pesat bahkan dari hari pertama suntikan bakteri. Pada suhu 40 0C lebih
meningkatkan patogenesitas S. agalactiae dibandingkan pada suhu 30 0C, hal ini
terkait dengan ukuran zona hemolisis yang terbentuk (Mereghetti et al. 2008).
Selanjutnya hasil penelitian di China menunjukkan patogenesitas dari S.
agalactiae akan semakin meningkat pada bulan Juli-Oktober disebabkan
peningkatan suhu yang terjadi sehingga kerentanan ikan nila terhadap S.
agalactiae semakin meningkat (Wang et al. 2013).

Universitas Sumatera Utara


S. agalactiae bersifat patogen dan dilaporkan telah menginfeksi manusia,
hewan darat dan hewan laut (Abuseliana et al. 2011). S. agalactiae umumnya
menyerang manusia pada saluran vagina hingga menyebabkan mandul. Penyakit
lainnya akibat serangan S. agalactiae yaitu meningitis (Delanoy et al. 2013),
infeksi saluran kemih, arthritis, infeksi saluran pernafasan (Chaiwarith et al.
2011). Infeksi pada hewan darat contohnya mastitis pada sapi (Sorensen et al.
2010). Wabah streptococcocis karena S. agalactiae telah menyerang dan
menyebabkan kematian pada ikan mullet di teluk Kuwait (Jaffar et al. 2008),
lumba-lumba (Tursiops truncatus) (Pasnik et al. 2009). S. agalactiae juga
merupakan patogen utama dalam ikan budidaya, khususnya nila (Giordano et al.
2010, Abuseliana et al. 2010, Abuseliana et al. 2011). Serangan yang ditimbulkan
S. agalactiae telah mengakibatkan meningitis otak pada ikan nila sehingga ikan
kehilangan keseimbangan dan terjadi kelainan pola renang (Abuseliana et al.
2011).

Streptococcosis dapat disebabkan strain S. agalactiae yang sama pada
manusia dan ikan. S. agalactiae ST 283 ditemukan menjadi penyebab meningitis
pada manusia di Asia Tenggara, sementara strain yang sama juga di ditemukan
menyerang ikan nila (Delanoy et al. 2013). S. agalactiae yang menyerang ikan

dapat bersifaf zoonotic (menular) pada manusia dan begitu sebaliknya. Penularan
dapat terjadi melalui limbah yang berasal dari saluran urogenital dari manusia
yang terserang penyakit ini (Delanoy et al. 2013). Infeksi streptokokus terjadi
setelah mengkonsumsi bahan yang mengandung organisme streptokokus, melalui
feses ikan yang mengandung S. agalactiae dan kemudian terakumulasi di
lingkungan air dan masuk melalui oral pada ikan (Pasnik et al. 2009). Sedangkan
Garcia et al. (2008), melaporkan hal yang berbeda pada hewan ternak. S.
agalactiae yang berasal dari ternak sapi tidak menular pada ikan nila dan lele
sehingga tidak dapat menginfeksi. Hal ini dikarenakan ketidakmampuan S.
agalactiae bertahan dalam tubuh ikan nila dan lele.

Universitas Sumatera Utara

S. agalactiae yang diisolasi dari ikan nila yang terinfeksi secara alami
mampu mereproduksi penyakit pada juvenil ikan nila dan menyebabkan kematian
sebanyak 55% dalam waktu 10 hari (Abuseliana et al. 2011). Giordano et al.
(2010), melaporkan terjadi kematian mencapai 90% pada ikan yang diinjeksi S.
agalactiae pada bagian intraperitoneal dengan dosis 1,5 x 108CFU/ikan dan
67,5% pada ikan yang diinjeksi S. agalactiae pada bagian intraperitoneal dengan
dosis 1,5 x 106 CFU/ikan.


Gambar 2.1.

Gambar 2.2.

Gambar 2.3.

Gambar 2.1

Gambar 2.2

Gambar 2.3

Perubahan yang terjadi pada organ mata ikan nila; A. normal; B. mata
mengkerut, C. pupil mata mengecil; D.opacity (kekeruhan mata); E.
mata lisis dan F. purulens (mata putih). G. lateral eksotalmia, H.
bilateral eksotalmia.
Perubahan pada permukaan tubuh A. warna tubuh pucat; B. bibir pucat
dan memutih; C. ulcer pada bagian kepala; D. abses pada bagian tubuh;
E. tubuh membentuk huruf “C”.

Perubahan pada operkulum A. normal; B & C clear operculum, D. clear
operculum disertai pendarahan.

Universitas Sumatera Utara

Gejala awal yang di timbulkan dari streptococcosis pada ikan nila yaitu
kelesuan, kehilangan nafsu makan (Abuseliana et al. 2011 ; Giordano et al. 2010 ;
Pasnik et al. 2009). Perubahan pada aktivitas makan ikan nila pasca diinjeksi
dengan S. agalactiae mulai tampak pada 24 jam awal. Ikan mulai lambat
merespon pakan yang diberikan dan jumlah pakan yang dimakan juga berkurang
(Hardi et al. 2011). Gejala eksternal yang ditimbulkan yaitu pengelompokan di
bagian bawah akuarium dan berenang abnormal, beberapa ikan menunjukkan
penonjolan bola mata (Gambar 2.1), perut buncit, bentuk tubuh seperti huruf “C”
(Gambar 2.2), erosi ekor, dan perdarahan di rahang bawah (Gambar 2.3)
(Abuseliana et al. 2011 ; Hernandez et al. 2009 ; Wang et al. 2013). Gejala
lainnya berupa warna feses yang semakin buram memutih dan berlendir dari hari
ke hari (Pasnik et al. 2009). Sedangkan gejala internal diantaranya perbesaran
hati, kandung empedu dan limpa serta perubahan warna organ pucat. S. agalactiae
yang menyerang usus biasanya mengandung lendir berwarna kuning (Wang et al.
2013). Gejala serupa secara alami dan eksperimen juga dilaporkan dari berbagai

Negara diantaranya Brazil (Salvador et al. 2005).

Menurut Hardi et al. (2008), bagian yang bersifat virulen pada S.
agalactiae adalah toksisitas produk ekstraseluler. Pengujian toksisitas produk
ekstraseluler S. agalactiae tipe β-hemolitik dan non-hemolitik menghasilkan
simpulan bahwa produk ekstraselular merupakan salah satu faktor virulensi S.
agalactiae, karena gejala yang muncul pada ikan nila saat diinjeksi dengan produk
ekstraseluler sama dengan gejala yang ditemukan pada ikan nila yang diinjeksi
dengan sel utuh S. agalactiae. Penginjeksian dengan produk ekstraseluler
menyebabkan kerusakan sel lebih cepat dibandingkan dengan penginjeksian sel
utuh S. agalactiae hal ini dikarenakan produk ekstraseluler langsung beredar
keseluruh tubuh dan mempengaruhi kerja dan metabolisme sel lebih cepat
dibandingkan dengan bakteri sel utuh yang harus berkembang berada dalam sel
yang rusak untuk memproduksi dan mengeluarkan eksotoksinnya.

Universitas Sumatera Utara

2.3.

Biofilm
Biofilm merupakan kumpulan sel mikroorganisme yang menempel pada

permukaan padat dalam lingkungan yang berair dan bersifat irreversible (Kokare
et al. 2009). Penempelan biofilm dapat terjadi pada permukaan biotik dan
nonbiotik. Ketebalan biofilm berkisar 5-50 µm. Peningkatan ketebalan koloni
bakteri dalam membentuk biofilm dapat mencapai 100-200 µm. Biofilm tersusun
dari sel-sel mikroorganisme dan eksopolisakarida (EPS) (Olson, 2002).
Mikroorganisme dalam biofilm hidup dalam matriks yang diproduksi oleh
mikroorganisme itu sendiri dari bahan EPS yang membentuk lingkungan bagi
mikroorganisme tersebut (Flemming and Wingender, 2008). EPS yang terkandung
dalam biofilm seperti DNA ekstraseluler (eDNA), polisakarida ekstraseluler, serat
amiloid, dan protein biofilm saling terkait. Komponen matrik ini menjadi target
baik untuk berkombinasi dengan enzim putatif seperti DNases, protease, dan
penurunan enzim ekstraseluler polisakarida untuk mencegah pembentukan biofilm
atau merangsang penyebaran biofilm yang sudah terbentuk (Abee et al. 2011).

Biofilm tidak hanya berupa kumpulan sel yang menempel pada
permukaan, namun secara struktural dan dinamis berupa sistem biologi yang
komplek. Hal ini adalah bentuk perlindungan dari kondisi lingkungan yang tidak
mendukung pertumbuhan sel. Selanjutnya, sel ini akan menyebar ke kepermukaan
yang baru disekitarnya (Stoodley et al. 2006). Sel biofilm ini dilindungi dari
bahan kimia antibakteri (termasuk alam antibiotik), bakteriofag lingkungan,
sehingga biofilm sulit dihancurkan (Donlan, 2002).

Faktor pembentukan dan penyebaran biofilm diantaranya sistem quorum
sensing dan molekul seperti autoinducer 2 (AI-2) (Abee et al. 2011). Faktor
lainnya yaitu motilitas, bakteri yang bersifat motil telah diindikasikan menjadi
faktor penting selama pembentukan biofilm atau penempelan sel ke permukaan.
Motilitas penting untuk pembentukan biofilm statis tetapi tidak untuk
pembentukan biofilm di bawah aliran (Abee et al. 2011). Menurut Marshal dalam
Kumar dan Ramjee (2006), faktor yang mempengaruhi penempelan bakteri pada

Universitas Sumatera Utara

permukaan dalam pembentukan biofilm meliputi; ketersediaan nutrisi, suhu, pH,
aliran material.

Menurut Stoodley et al. (2002), empat alasan penyebab terbentuknya
biofilm yaitu (1) biofilm adalah alat pertahanan diri mikroba, biofilm menolak
kekuatan fisik yang bisa menyapu sel terikat, (2) pembentukan biofilm
memungkinkan sel untuk tetap di zona yang menguntungkan, (3) Biofilm
memungkinkan sel-sel bakteri hidup dalam hubungan erat satu sama lain, (4)
memfasilitasi komunikasi antar sel dan meningkatkan peluang untuk bertahan
hidup. Menurut Aparna and Yadav (2008), pembentukan biofilm tersusun dari
beberapa tahapan. Tahap pertama, terbentuknya biofilm dimulai dengan
perlekatan sel mikroba planktonik pada permukaan substrat. Meskipun mikroba
mempunyai kemampuan adhesi yang sama pada semua jenis substrat, namun sifat
permukaan yang kasar lebih disenangi, dan lebih cepat terbentuk pada material
hidrofobik seperti teflon dan plastik dibandingkan pada gelas dan logam. Setelah
itu, koloni akan mengikatkan diri lebih kuat pada permukaan dengan
menggunakan pili. Selama tahap ini, sel bakteri mengalami pertumbuhan
logaritmik.

Tahap kedua, bakteri mengalami multiflikasi sambil mengeluarkan sinyal
kimia untuk berkomunikasi secara internal. Substansi EPS mulai dihasilkan
berdasarkan mekanisme genetik. EPS kemudian akan mentrap nutrien dan bakteri
planktonik. Agregat sel terbentuk sementara motilitas sel menjadi semakin
menurun sejalan dengan semakin progresifnya lapisan agregat (Aparna and
Yadav, 2008). Tahap ketiga. Selama tahap maturasi, biofilm terus tumbuh sejalan
dengan pertumbuhan koloni. Semakin lama biofilm semakin berkembang dengan
pertambahan ukuran dan perubahan bentuk.Pada tahap ini, ketebalan biofilm
lebih dari 10 µm (Aparna and Yadav, 2008).

Tahap keempat, ketebalan lapisan biofilm pada tahap ini mencapai lebih
dari 100 mm (Aparna and Yadav, 2008) dan dapat mencapai 300-400 mm seperti

Universitas Sumatera Utara

yang dibentuk oleh algal mats. Pada tahap dispersi, sel-sel dalam koloni akan
terlepas sendiri atau bersama sebagian komponen matriks. Tahap kelima, biofilm
akan memasuki tahap ini beberapa hari setelah tahap keempat. Pada tahap ini
terjadi

disperse

sel sehingga

memungkinkan

beberapa

bakteri

meninggalkan biofilm untuk berkembang kembali menjadi sel planktonik.

Sel biofilm yang telah terbentuk lebih tahan beribu-ribu kali dibandingkan
dengan sel planktonik terhadap bahan-bahan antimikroba, maupun kondisi fisik
yang ekstrim seperti panas (Oh and Marshal, 1995). Bakteri patogen yang
membentuk biofilm memerlukan usaha pengontrolan yang lebih keras dibanding
keadaan planktonik. Pengendalian mikroorganisme patogen yang membentuk
biofilm pada permukaan stainless steel telah dilakukan dengan peningkatan suhu
dan konsentrasi klorin (Silitonga, 2013). Semakin tinggi suhu dan konsentrasi
klorin yang diberikan semakin efektif dalam mengendalikan sel biofilm pada
permukaan ketiga bakteri patogen oportunistik Escherichia coli, Staphylococcus
sp, dan Salmonella. Pengujian menunjukkan konsentrasi klorin yang paling efektif
untuk membunuh sel biofilm adalah 225 ppm selama 2 menit dan suhu yang
paling efektif yaitu 100 0C selama 5 menit. Adanya perlakuan fisik dan kimia
yaitu panas dan klorin juga mampu mengendalikan biofilm A. hydrophila pada
permukaan stainless steel (Bal’a et al. 1999). Biofilm mampu menempel pada
permukaan stainless steel pada alat pengolahan makanan laut (Jamilah et al.
2004). Pengendalian mikroorganisme yang membentuk biofilm pada alat-alat
pengolahan makanan serta proses dalam pengolahan makanan telah dilakukan
dengan menggunakan metode kontrol fisika dan kimia seperti perlakuan panas
dan sanitasi kimia. Metode kontrol ini mampu mengendalikan dan menonaktifkan
mikroorganisme pada permukaan peralatan dalam pengolahan makanan (Hood
and Zottola, 1995).

Universitas Sumatera Utara

Dokumen yang terkait

Pengendalian Biofilm Mycobacterium fortuitum Pada Permukaan Sisik Ikan Dan Plastik PVC dengan Senyawa Antibakteri Bakteri Asam Laktat Perairan Tawar

2 3 16

Pengendalian Biofilm Mycobacterium fortuitum Pada Permukaan Sisik Ikan Dan Plastik PVC dengan Senyawa Antibakteri Bakteri Asam Laktat Perairan Tawar

0 1 2

Pengendalian Biofilm Mycobacterium fortuitum Pada Permukaan Sisik Ikan Dan Plastik PVC dengan Senyawa Antibakteri Bakteri Asam Laktat Perairan Tawar

0 0 4

Pengendalian Biofilm Mycobacterium fortuitum Pada Permukaan Sisik Ikan Dan Plastik PVC dengan Senyawa Antibakteri Bakteri Asam Laktat Perairan Tawar

1 3 11

Pengendalian Biofilm Mycobacterium fortuitum Pada Permukaan Sisik Ikan Dan Plastik PVC dengan Senyawa Antibakteri Bakteri Asam Laktat Perairan Tawar

0 1 8

Pengendalian Biofilm Streptococcus agalactiae pada Permukaan Sisik Ikan dan Plastik PVC dengan Senyawa Antibakteri Bakteri Asam Laktat Perairan Tawar

0 0 14

Pengendalian Biofilm Streptococcus agalactiae pada Permukaan Sisik Ikan dan Plastik PVC dengan Senyawa Antibakteri Bakteri Asam Laktat Perairan Tawar

0 0 2

Pengendalian Biofilm Streptococcus agalactiae pada Permukaan Sisik Ikan dan Plastik PVC dengan Senyawa Antibakteri Bakteri Asam Laktat Perairan Tawar

0 0 4

Pengendalian Biofilm Streptococcus agalactiae pada Permukaan Sisik Ikan dan Plastik PVC dengan Senyawa Antibakteri Bakteri Asam Laktat Perairan Tawar

0 0 7

Pengendalian Biofilm Streptococcus agalactiae pada Permukaan Sisik Ikan dan Plastik PVC dengan Senyawa Antibakteri Bakteri Asam Laktat Perairan Tawar

0 0 12