Pengendalian Biofilm Mycobacterium fortuitum Pada Permukaan Sisik Ikan Dan Plastik PVC dengan Senyawa Antibakteri Bakteri Asam Laktat Perairan Tawar
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Bakteri Asam Laktat ( BAL)
Bakteri asam laktat (BAL) adalah kelompok bakteri gram positif yang
tidak membentuk spora dan dapat memfermentasikan karbohidrat untuk
menghasilkan asam laktat. Sifat yang terpenting dari bakteri asam laktat ialah
memiliki kemampuan untuk memfermentasi gula menjadi asam laktat.
Berdasarkan tipe fermentasi, bakteri asam laktat terbagi menjadi homofermentatif
dan heterofermentatif. Kelompok homofermentatif menghasilkan asam laktat
sebagai
produk
utama
dari
fermentasi
gula,
sedangkan
kelompok
heterofermentatif menghasilkan asam laktat dan senyawa lain yaitu CO 2 , etanol,
asetaldehid, dan diasetil (Widyastuti, 1999). Berdasarkan taksonomi terdapat
sekitar 20 genus bakteri yang termasuk BAL. Beberapa BAL yang sering
digunakan dalam pengolahan pangan ialah Aerococcus, Bifidobacterium,
Carnobacterium,
Enterococcus,
Lactobacillus,
Lactococcus,
Leuconostoc,
Oenococcus, Pediococcus, Streptococcus, Tetragenococcus, Vagococcus, dan
Weissella (Fardiaz, 1992)
Bakteri asam laktat juga digunakan sebagai biopreservatif karena dapat
menghambat pertumbuhan bakteri patogen dan mampu membawa dampak positif
bagi kesehatan manusia (Smid dan Gorris, 2007). Bakteri asam laktat disebut
sebagai bakteri pembentuk asam laktat dalam metabolisme karbohidrat (Frazier
dan Westhoff, 1998). Satu atribut penting dari bakteri asam laktat adalah memiliki
kemampuan memproduksi komponen antibakteri, berupa bakteriosin yang
potensial menjadi biopreservatif menggantikan pengawet kimiawi pada bahan
makanan untuk memperpanjang umur simpan produk. Kemampuan bakteriosin
Universitas Sumatera Utara
sebagai
biopreservatif
dicapai
dengan
efek
penghambatan
terhadap
mikroorganisme patogen yang berbahaya (Savadogo et al., 2006).
Mikroba
dalam
kehidupannya
membutuhkan
makronutrien
dan
mikronutrien. Salah satu makronutrien yang dibutuhkan. adalah sumber karbon
yang berguna untuk tumbuh, berkembang biak, sumber energi dan sebagai
cadangan makanan. Jenis dan jumlah sumber karbon sangat mempengaruhi
pertumbuhan bakteri yang secara tidak langsung mempengaruhi sintesa metabolit
sekunder. Metabolit sekunder adalah senyawa yang disintesa oleh suatu
organisme, tidak untuk memenuhi kebutuhan primernya seperti tumbuh dan
berkembang melainkan untuk mempertahankan eksistensinya dalam berinteraksi
dengan lingkungannya (Griffin, 1991).
Antibakteri merupakan suatu zat atau komponen yang dapat menghambat
pertumbuhan bakteri atau kapang (bakteristatik atau fungistatik) atau membunuh
bakteri atau kapang (bakterisidal atau fungisidal) (Ardiansyah, 2007). Bakteriosin
adalah antibakteri berupa protein kelompok heterogen yang berbeda dalam
spektrum aktivitas, pola kerja, berat molekul, asal genetik, dan sifat biokimia
(Galvez et al., 2006). Bakteriosin umumnya dihasilkan oleh BAL, yang
memproduksi asam laktat sebagai produk utama metabolisme. Asam laktat
memiliki kemampuan menghambat pertumbuhan bakteri dalam makanan,
sehingga meningkatkan keamanan dan daya simpan pangan (Usmiati dan
Mawarti, 2007).
Pengujian bakteriosin dapat menggunakan metode cakram, dengan
indikator terdapat zona hambat di sekitar cakram. Diameter zona hambat yang
terbentuk dapat berupa diameter zona bening di sekeliling cakram yang
menunjukkan sifat bakterisidal (membunuh bakteri) maupun diameter zona semu
yang merupakan sifat bakteriostatik (menghambat pertumbuhan bakteri).
Bakteriosin merupakan protein atau peptida pada bakteri yang menunjukkan aksi
bakterisidal ataupun bakteriostatik terhadap spesies yang umumnya berkerabat
Universitas Sumatera Utara
dekat namun terdapat pula beberapa jenis bakteriosin dapat menunjukkan
spektrum yang lebih luas (Jimenez-diaz, 1993).
Saat ini bakteriosin sudah mulai diterapkan sebagai salah satu
biopreservatif
karena bersifat alami dan tidak menyebabkan efek negatif.
Molekul protein bakteriosin mengalami degradasi oleh enzim proteolitik dalam
pencernaan manusia sehingga tidak membahayakan. Bakteriosin memiliki
kemampuan menghambat bakteri perusak dan patogen, serta tidak meninggalkan
residu yang menimbulkan efek negatif pada manusia (Usmiati dan Mawarti,
2007).
Mekanisme aktivitas bakterisidal dari bakteriosin secara umum sebagai
berikut (1) molekul bakteriosin mengalami kontak langsung dengan membran sel;
(2) proses kontak ini mengganggu potensial membran berupa destabilisasi
depolasrisasi membran sitoplasma, sehingga sel tidak mampu bertahan.
Ketidakstabilan membran memberikan dampak pembentukan lubang atau pori
pada membran sel melalui proses gangguan terhadap proton motive force (PMF)
(Gonzalez et al.,1996).
BAL memproduksi hidrogen peroksida dibawah kondisi pertumbuhan
aerob dan berkurangnya katalase selular, pseudokatalase atau peroksidase. Bakteri
asam laktat mengekskresikan H 2 O 2 tersebut sebagai alat pelindung diri yang
mampu
bersifat
bakteriostatik
maupun bakterisidal. Hidrogen peroksida
merupakan salah satu agen pengoksidasi yang kuat dan dapat dijadikan sebagai
zat antimikroba melawan bakteri, fungi bahkan virus (Ray and Bhunia, 2008).
Lactobacillus dapat menghasilkan H 2 O 2 akibat adanya oksigen dan berfungsi
sebagai antibakteri yang dapat menyebabkan adanya daya hambat terhadap
pertumbuhan mikroorganisme lain. Lactobacillus juga mempunyai kemampuan
untuk menghasilkan antibiotik yang disebut bakteriosin (Suriawiria, 1995). Selain
produksi bakteriosin sebagai cara kerja antagonistik dari probiotik, produksi
asam-asam organik seperti asam laktat dan asam asetat juga penting, seperti
Universitas Sumatera Utara
aktivitas bakteri asam laktat terhadap patogen pada ikan Turbot (Vazquez et
al.,2005).
Efek bakterisidal dari asam laktat berkaitan dengan penurunan pH
lingkungan menjadi 3 sampai 4,5 sehingga pertumbuhan bakteri patogen akan
terhambat (Amin dan Leksono, 2001). Pada umunya mikroorganisme dapat
tumbuh pada kisaran pH 6-8 (Buckle et al., 1987). Pertumbuhan bakteri ini dapat
menyebabkan gangguan terhadap bakteri patogen (Bromberg et al., 2004).
Produki substansi penghambat dari BAL dipengaruhi oleh media pertumbuhan,
pH, dan temperature lingkungan (Ahn dan Stiles, 1990).
2.2. Mycobacteriosis
Mycobacteriosis adalah penyakit ikan yang disebabkan dari genus
Mycobacterium yang sangat banyak tersebar di alam. Infeksi Mycobacterium
dapat menjadi lebih serius disaat sistem kekebalan tubuhnya menurun, faktor usia,
dan tingkat stress (Hall-Stoodley, 1998). Mycobacterium ialah gram positif,
bakteri berbentuk batang panjang, nonmotile, aerob, bervirulensi rendah, tidak
membentuk spora, dan memiliki selubung lipofilik (asam mikolat) yang
menyebabkan selnya resisten terhadap pewarnaan asam alkohol (tahan asam) dan
zat bakterisidal (Gawkrodger et al., 1998). Asam mikolat merupakan pengganti
asam lemak hiroksi yang terdapat pada Mycobacterium sebagai ester yang terikat
pada polisakarida dinding sel dan sebagai komponen glikolipid yang bebas
(Gawkrodger et al., 1998).
Genus Mycobacterium terdiri atas 95 spesies, meliputi organisme patogen
pada manusia dan hewan vertebrata, sebagian besar berupa organisme komensal
dan saprofit di alam bebas (Dodiuk-Gad R, et al., 2007; Gawkrodger et al.,1998).
Terdapat sekitar 50 spesies Mycobacterium atipikal telah teridentifikasi namun
hanya beberapa spesies yang bersifat patogen. Mycobacterium atipikal terdapat ke
Universitas Sumatera Utara
dalam dua kelompok berdasarkan potensi patogenitas dan kecepatan tumbuh (
Moschella SL & Cropley TG, 1992).
Infeksi nosokomial oleh M. fortuitum telah mengkontaminasi sumbersumber air di rumah sakit. Kebanyakan infeksi M. fortuitum mengakibatkan abses,
infeksi pasca operasi seperti sternotomy, luka infeksi katup prostetik endokarditis
(Gauthier and Rhodes, 2009)
Tabel 2.2.1. Jenis-jenis Mycobacterium atipikal yang memiliki pertumbuhan
lambat
( Slow growers )
Spesies Mycobacterium
Infeksi
Mycobacterium avium
Paru-paru
Serviks
Lymphadenitis pada anak
Bacteremia AIDS
Tenosynovitis
Mycobacterium genavense
Bacteremia AIDS
Mycobacteriosis pada burung
Mycobacterium haemophilum
Kulit
Bacteremia
Serviks
Lymphadenitis
Mycobacterium intracellulare
Paru-paru
Tenosynovitis
Nycobacterium kansasii
Paru-paru
Kulit
Bacteremia AIDS
Mycobacterium malmoense
Paru-paru
Serviks
Lymphadenitis
Bacteremia
Mycobacterium marinum
Kulit
Bacteremia
Mycobacterium scrofulaceum
Paru-paru
Serviks
Universitas Sumatera Utara
Lymphadenitis pada anak
Kulit
Bacteremia
Mycobacterium simiae
Paru-paru
Bacerema
Mycobacterium ulcerans
Kulit
Mycobacterium xenopi
Paru-paru
Bacteremia
Tabel 2.2.2 Jenis-jenis Mycobacterium atipikal yang memiliki pertumbuhan cepat
( Rapid Grows )
Spesies Mycobacterium
Infeksi
Mycobacterium abscessus
Paru-paru
Otitis media
Abses
Mycobacterium chelonae
Paru-paru
Otitis media
Peritonitis
Bacteremia AIDS
Mycobacterium fortuitum
Paru-paru
Operasi
Kateter
Bacteremia AIDS
Sharma et al., (1995) melaporkan gambaran atipikal borok kulit M.
fortuitum pada ikan berupa pembengkakan yang bertambah besar dalam waktu
tiga minggu tanpa riwayat trauma pada seorang imunokompeten. Borok
selanjutnya berkembang menjadi nodus berwarna merah kehitaman dan dapat
disertai abses. Borok diseminata umumnya tidak disertai riwayat trauma dan
berupa episode abses multipel yang rekurens pada ekstremitas atau erupsi papular
dan makula generalisata. Organ dalam juga dapat terkena. Patogen juga dapat
menyebabkan limfadenopati servikal unilateral dan gambaran pola sporotrikoid.
Temuan pada pemeriksaan histopatologis menunjukkan respons inflamasi
dimorfik berupa pembentukan granuloma dengan sel raksasa benda asing serta
mikroabses dengan sebukan sel PMN. Karakteristik M. fortuitum Berdasarkan
Universitas Sumatera Utara
Bergey’s Manual of Systematic Bacteriology (1986) yaitu gram postif, tidak
memiliki pigmen, tidak berkoloni photochromogenic, tidak tumbuh pada suhu 45
0
C, mereduksi nitrat, toleran terhadap NaCl (28 0C), positif pada malachite green
0,01 %, positif pada Pyronin B 0,01 %, positif pada asam pospatase, positif pada
picrate 0,2 %.
M. fortuitum resisten terhadap asam, logam, desinfektan, dan beberapa
antibiotik (Falkinham, 2002). Beberapa spesies Mycobacterium yang rentan
terhadap antibotik (Tabel 2.2.3). Pembentukan biofilm Mycobacterium mencapai
104–105 unit/cm2 ( Falkinham et al., 2001; Iivanainen et al., 1999). Dalam
penelitian yang dilakukan Hall-Stoodley (1998) pembentukan biofilm M.
fortuitum mencapai 106 selama 2 jam pada suhu 37 0C pada permukaan silikon.
Hal ini disebabkan oleh tingkat hidrofobisitas dan tingkat resistensi terhadap
logam yang menjadi pemacu dalam pembentukan biofilm.
Amikacin
Ansamycin
Azithromycin
Cefoxitin
Ciprofloxacin
Clarithromycin
Clofazimine
Cotrimoxazole
Cycloserine
Dapsone
Doxycycline
Erythromycin
Ethambutola
Ethionamide
Imipenem
Isoniazida
+
+
+
+
-
+
+
-
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
-
fortuitum
chelonae
haemophilum
scrofulaceum
Aviumintracellulare
Kansasii
ulcerans
marinum
Tabel 2.2.3 Jenis-jenis antibiotik yang digunakan dalam terapi infeksi
Mycobacterium
+
+
+
+
-
+
+
+
+
-
Universitas Sumatera Utara
Kanamycin
+
Minocycline
+
+
+
+
+b
a
Rifampicin
+
+
+
+
+
Rifamycin
+
+
+
+
+
Streptomycina +
Tobramycin
Surgery
+
+
+
a
Obat antituberkulosis biasa
b
Sendiri atau dalam kombinasi dengan ciprofloxacin atau rifampicin
+ berpengaruh
- Tidak berpengaruh
+
+
Terapi antibiotik pada umumnya hanya akan membunuh sel-sel bakteri
planktonik di luar biofilm sedang bentuk bakteri yang tersusun rapat dalam
biofilm akan tetap hidup dan berkembang serta akan melepaskan bentuk sel-sel
planktonik keluar dari formasi biofilm. Demikian juga terhadap sistem kekebalan
inang di mana formasi biofilm mampu melindungi bakteri di dalamnya dari
efektor-efektor sistem immun inangnya (Davey and O. toole, 2000; Melchior et
al., 2006).
2.3. Biofilm
Biofilm adalah produk akhir penempelan bakteri yang oleh Characklis dan
Marshall (1990) defenisikan sebagai sel-sel mikroorganisme yang teramobilisasi
pada substrat dan terperangkap di dalam polimer ekstraseluler yang diproduksi
oleh mikroorganisme tersebut. ZoBell (1943) dalam laporannya menyebutkan
bahwa ada dua jenis interaksi antara bakteri dan permukaan yang ditempelinya
yaitu interaksi dapat balik (reversible) dan interaksi tidak dapat balik
(irreversible). Disimpulkan pula oleh ZoBell (1943) bahwa kondisi lingkungan
dengan nutrient terbatas menyebabkan nutrient lebih terkonsentrasi pada
permukaan sehingga memodifikasi sifat permukaan tersebut yang pada akhirnya
berpengaruh pada proses penempelan oleh mikroorganisme. Struktur biofilm
dapat berubah tergantung dari kondisi nutrisi lingkungannya (Hall-Stoodley,
1998).
Universitas Sumatera Utara
Telah diketahui bahwa bakteri yang mampu memproduksi biofilm
berhubungan dengan penyakit infeksi yang kronis menyebabkan penyakit pada
manusia dan mampu membentuk biofilm seperti pada S. aureus, Staphylococcus
epidermidis (penyebab infeksi nosokomial), E. coli (prostatitis bakterial, infeksi
saluran empedu), Streptococcus spp. (caries gigi, periodontitis, endocarditis,
meningitis, dan pneumonia) (Setiawan et al, 2012). Demikian pula telah diketahui
bahwa beberapa streptococci dari grup mitis (Streptococcus mutan dan
Streptococcus pneumonia) mampu membentuk biofilm (Varhimo et al., 2011).
2.4. Proses Pembentukan Biofilm Bakteri
Charaklis (1990) menyatakan bahwa tahapan-tahapan pembentukan
biofilm bakteri tersebut meliputi : (1) adsorpsi molekul organik yang merupakan
tahapan conditioning pada permukaan padat. Senyawa organik yang teradsorpsi
oleh permukaan dan mampu memodifikasi sifat permukaan adalah glikoprotein
(Loef dan Neifof, 1975), (2) Transpor bakteri ke permukaan. Pada kondisi cairan
tidak mengalir dan tenang (quiescent), transportasi bakteri ke permukaan padat
tergantung pada gravitasi, sedimentasi, gerak acak Brown serta motilitas (Stanley,
1983), (3) Adsorpsi bakteri ke permukaan. Teori Derjaquin-Landau-VerweyOverbeck menyebutkan bahwa makin dekatnya jarak antara permukaan dan
bakteri, maka kekuatan tarik-menarik akan menjadi dominan yang didukung oleh
adanya struktur diluar sel seperti adanya polimer ekstraseluler (Oliveira,1992).
Ikatan antara keduanya bisa bersifat dipole-dipole, ion-dipole, interaksi
hidrofobik, ikatan ionik, maupun ikatan hidrogen (Charaklis, 1990; Denyer et
al,1993), (4) Lepasnya sel yang menempel menuju fase cair (Detachment awal).
Marshall et al. (1971) menyatakan bahwa konsentrasi glukosa lebih besar dari 7
mg/ml mencegah terbentuknya penempelan tidak balik ( irreversible) P.fragi ke
permukaan stainless steel, (5) Pertumbuhan bakteri yang teradsorpsi. Bakteri yang
teradsorpsi secara tidak dapat balik
akan tumbuh dan pada akhirnya akan
membentuk biofilm dan kondisi nutrien yang terbatas mendukung terjadinya
proses tersebut. Kekurangan nutrien telah dihubungkan dengan berubahnya
Universitas Sumatera Utara
morfologi sel bakteri, misalnya terjadinya rounding sel (sel menjadi berbentuk
bulat) dan dwarfing (mengecilnya ukuran dan volume) (Dawson et al,1981). Pada
umumnya pertumbuhan bakteri diikuti dengan produksi polimer yang diduga
merupakan polisakarida ekstraseluler (PE) sehingga biofilm terakumulasi.
Nichols et al. (1989) menemukan bahwa sel biofilm P.aeruginosa, baik yang
memiliki PE banyak ataupun tidak, memiliki ketahanan seribu kali lebih besar
terhadap antibiotik tobramycin daripada sel planktoniknya, (6) Akumulasi
biofilm. Jika sel bakteri tumbuh dan membentuk PE serta menarik bakteri lainnya
untuk bergabung dengan kelompok yang sudah menempel maka bisa terakumulasi
sel biofilm yang terdiri dari beberapa lapisan. Bakteri yang berada di bagian
dalam akan terlindung oleh lapisan yang lebih luar. Komunitas ini juga dapat
memenuhi kebutuhan nutriennya sendiri karena sel yang mati dapat berfungsi
sebagai nutrien bagi yang masih hidup, (7) Pelepasan sel biofilm (detachment).
Ada dua macam pelepasan sel yaitu erosi dan sloughing. Erosi terjadi secara
merata, berkala dan terutama terjadi karena kekuatan geseran (shear force) cairan
yang mengalir. Sloughing adalah pelepasan banyak sel yang terjadi secara acak
karena adanya perubahan dalam medium pertumbuhan.
Kamaliah
(2000)
melaporkan
adanya
kemampuan
Enteropatogen
Escherechia coli (EPEC) membentuk biofilm pada kaca. Sinyal-sinyal lingkungan
dalam pembentukan biofilm diduga dapat menginduksi kolonisasi bakteri.
Pembentukan dan perkembangan biofilm tergantung dari komunikasi antar sel itu
sendiri. Pelekatan suatu sel pada suatu permukaan merupakan hasil dari sinyal
untuk menstimulasi gen pembentuk biofilm. Gen ini mengkode protein untuk
mensintesis sinyal komunikasi antar sel dan memulai pembentukan polisakarida.
Aktivitas ini dinamakan quorum sensing (Huang et al., 2011). Pada Streptococcus
mutans ditemukan
bahwa quorum sensing dimediasi oleh
Competence-
Stimulating Peptide (CSP). Competence-Stimulating Peptide (CSP) memberikan
respon
perlindungan
biokimia
terkoordinasi
sehingga
memungkinkan
Streptococcus mutans untuk bertahan hidup (Marsh, 2005).
Universitas Sumatera Utara
Beberapa faktor lain yang berperan dalam perlekatan bakteri antara lain adalah
adanya interaksi hidrofobik, muatan bakteri, serta kekasaran permukaan. Menurut
Hoot dan Zotolla (1995), interaksi hidrofobik akan mempengaruhi penempelan
sel, dimana biofilm akan lebih mudah terbentuk bila interaksi hidrofobik semakin
besar. Dari penelitian yang dilakukan oleh Denyer et al., (1993) pada
Staphylococcus epidemirdis didapatkan adanya korelasi antara rendahnya muatan
negatif dan tingginya interaksi hidrofobik bakteri tersebut dengan meningkatnya
penempelan bakteri ke permukaan polistiren.
Universitas Sumatera Utara
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Bakteri Asam Laktat ( BAL)
Bakteri asam laktat (BAL) adalah kelompok bakteri gram positif yang
tidak membentuk spora dan dapat memfermentasikan karbohidrat untuk
menghasilkan asam laktat. Sifat yang terpenting dari bakteri asam laktat ialah
memiliki kemampuan untuk memfermentasi gula menjadi asam laktat.
Berdasarkan tipe fermentasi, bakteri asam laktat terbagi menjadi homofermentatif
dan heterofermentatif. Kelompok homofermentatif menghasilkan asam laktat
sebagai
produk
utama
dari
fermentasi
gula,
sedangkan
kelompok
heterofermentatif menghasilkan asam laktat dan senyawa lain yaitu CO 2 , etanol,
asetaldehid, dan diasetil (Widyastuti, 1999). Berdasarkan taksonomi terdapat
sekitar 20 genus bakteri yang termasuk BAL. Beberapa BAL yang sering
digunakan dalam pengolahan pangan ialah Aerococcus, Bifidobacterium,
Carnobacterium,
Enterococcus,
Lactobacillus,
Lactococcus,
Leuconostoc,
Oenococcus, Pediococcus, Streptococcus, Tetragenococcus, Vagococcus, dan
Weissella (Fardiaz, 1992)
Bakteri asam laktat juga digunakan sebagai biopreservatif karena dapat
menghambat pertumbuhan bakteri patogen dan mampu membawa dampak positif
bagi kesehatan manusia (Smid dan Gorris, 2007). Bakteri asam laktat disebut
sebagai bakteri pembentuk asam laktat dalam metabolisme karbohidrat (Frazier
dan Westhoff, 1998). Satu atribut penting dari bakteri asam laktat adalah memiliki
kemampuan memproduksi komponen antibakteri, berupa bakteriosin yang
potensial menjadi biopreservatif menggantikan pengawet kimiawi pada bahan
makanan untuk memperpanjang umur simpan produk. Kemampuan bakteriosin
Universitas Sumatera Utara
sebagai
biopreservatif
dicapai
dengan
efek
penghambatan
terhadap
mikroorganisme patogen yang berbahaya (Savadogo et al., 2006).
Mikroba
dalam
kehidupannya
membutuhkan
makronutrien
dan
mikronutrien. Salah satu makronutrien yang dibutuhkan. adalah sumber karbon
yang berguna untuk tumbuh, berkembang biak, sumber energi dan sebagai
cadangan makanan. Jenis dan jumlah sumber karbon sangat mempengaruhi
pertumbuhan bakteri yang secara tidak langsung mempengaruhi sintesa metabolit
sekunder. Metabolit sekunder adalah senyawa yang disintesa oleh suatu
organisme, tidak untuk memenuhi kebutuhan primernya seperti tumbuh dan
berkembang melainkan untuk mempertahankan eksistensinya dalam berinteraksi
dengan lingkungannya (Griffin, 1991).
Antibakteri merupakan suatu zat atau komponen yang dapat menghambat
pertumbuhan bakteri atau kapang (bakteristatik atau fungistatik) atau membunuh
bakteri atau kapang (bakterisidal atau fungisidal) (Ardiansyah, 2007). Bakteriosin
adalah antibakteri berupa protein kelompok heterogen yang berbeda dalam
spektrum aktivitas, pola kerja, berat molekul, asal genetik, dan sifat biokimia
(Galvez et al., 2006). Bakteriosin umumnya dihasilkan oleh BAL, yang
memproduksi asam laktat sebagai produk utama metabolisme. Asam laktat
memiliki kemampuan menghambat pertumbuhan bakteri dalam makanan,
sehingga meningkatkan keamanan dan daya simpan pangan (Usmiati dan
Mawarti, 2007).
Pengujian bakteriosin dapat menggunakan metode cakram, dengan
indikator terdapat zona hambat di sekitar cakram. Diameter zona hambat yang
terbentuk dapat berupa diameter zona bening di sekeliling cakram yang
menunjukkan sifat bakterisidal (membunuh bakteri) maupun diameter zona semu
yang merupakan sifat bakteriostatik (menghambat pertumbuhan bakteri).
Bakteriosin merupakan protein atau peptida pada bakteri yang menunjukkan aksi
bakterisidal ataupun bakteriostatik terhadap spesies yang umumnya berkerabat
Universitas Sumatera Utara
dekat namun terdapat pula beberapa jenis bakteriosin dapat menunjukkan
spektrum yang lebih luas (Jimenez-diaz, 1993).
Saat ini bakteriosin sudah mulai diterapkan sebagai salah satu
biopreservatif
karena bersifat alami dan tidak menyebabkan efek negatif.
Molekul protein bakteriosin mengalami degradasi oleh enzim proteolitik dalam
pencernaan manusia sehingga tidak membahayakan. Bakteriosin memiliki
kemampuan menghambat bakteri perusak dan patogen, serta tidak meninggalkan
residu yang menimbulkan efek negatif pada manusia (Usmiati dan Mawarti,
2007).
Mekanisme aktivitas bakterisidal dari bakteriosin secara umum sebagai
berikut (1) molekul bakteriosin mengalami kontak langsung dengan membran sel;
(2) proses kontak ini mengganggu potensial membran berupa destabilisasi
depolasrisasi membran sitoplasma, sehingga sel tidak mampu bertahan.
Ketidakstabilan membran memberikan dampak pembentukan lubang atau pori
pada membran sel melalui proses gangguan terhadap proton motive force (PMF)
(Gonzalez et al.,1996).
BAL memproduksi hidrogen peroksida dibawah kondisi pertumbuhan
aerob dan berkurangnya katalase selular, pseudokatalase atau peroksidase. Bakteri
asam laktat mengekskresikan H 2 O 2 tersebut sebagai alat pelindung diri yang
mampu
bersifat
bakteriostatik
maupun bakterisidal. Hidrogen peroksida
merupakan salah satu agen pengoksidasi yang kuat dan dapat dijadikan sebagai
zat antimikroba melawan bakteri, fungi bahkan virus (Ray and Bhunia, 2008).
Lactobacillus dapat menghasilkan H 2 O 2 akibat adanya oksigen dan berfungsi
sebagai antibakteri yang dapat menyebabkan adanya daya hambat terhadap
pertumbuhan mikroorganisme lain. Lactobacillus juga mempunyai kemampuan
untuk menghasilkan antibiotik yang disebut bakteriosin (Suriawiria, 1995). Selain
produksi bakteriosin sebagai cara kerja antagonistik dari probiotik, produksi
asam-asam organik seperti asam laktat dan asam asetat juga penting, seperti
Universitas Sumatera Utara
aktivitas bakteri asam laktat terhadap patogen pada ikan Turbot (Vazquez et
al.,2005).
Efek bakterisidal dari asam laktat berkaitan dengan penurunan pH
lingkungan menjadi 3 sampai 4,5 sehingga pertumbuhan bakteri patogen akan
terhambat (Amin dan Leksono, 2001). Pada umunya mikroorganisme dapat
tumbuh pada kisaran pH 6-8 (Buckle et al., 1987). Pertumbuhan bakteri ini dapat
menyebabkan gangguan terhadap bakteri patogen (Bromberg et al., 2004).
Produki substansi penghambat dari BAL dipengaruhi oleh media pertumbuhan,
pH, dan temperature lingkungan (Ahn dan Stiles, 1990).
2.2. Mycobacteriosis
Mycobacteriosis adalah penyakit ikan yang disebabkan dari genus
Mycobacterium yang sangat banyak tersebar di alam. Infeksi Mycobacterium
dapat menjadi lebih serius disaat sistem kekebalan tubuhnya menurun, faktor usia,
dan tingkat stress (Hall-Stoodley, 1998). Mycobacterium ialah gram positif,
bakteri berbentuk batang panjang, nonmotile, aerob, bervirulensi rendah, tidak
membentuk spora, dan memiliki selubung lipofilik (asam mikolat) yang
menyebabkan selnya resisten terhadap pewarnaan asam alkohol (tahan asam) dan
zat bakterisidal (Gawkrodger et al., 1998). Asam mikolat merupakan pengganti
asam lemak hiroksi yang terdapat pada Mycobacterium sebagai ester yang terikat
pada polisakarida dinding sel dan sebagai komponen glikolipid yang bebas
(Gawkrodger et al., 1998).
Genus Mycobacterium terdiri atas 95 spesies, meliputi organisme patogen
pada manusia dan hewan vertebrata, sebagian besar berupa organisme komensal
dan saprofit di alam bebas (Dodiuk-Gad R, et al., 2007; Gawkrodger et al.,1998).
Terdapat sekitar 50 spesies Mycobacterium atipikal telah teridentifikasi namun
hanya beberapa spesies yang bersifat patogen. Mycobacterium atipikal terdapat ke
Universitas Sumatera Utara
dalam dua kelompok berdasarkan potensi patogenitas dan kecepatan tumbuh (
Moschella SL & Cropley TG, 1992).
Infeksi nosokomial oleh M. fortuitum telah mengkontaminasi sumbersumber air di rumah sakit. Kebanyakan infeksi M. fortuitum mengakibatkan abses,
infeksi pasca operasi seperti sternotomy, luka infeksi katup prostetik endokarditis
(Gauthier and Rhodes, 2009)
Tabel 2.2.1. Jenis-jenis Mycobacterium atipikal yang memiliki pertumbuhan
lambat
( Slow growers )
Spesies Mycobacterium
Infeksi
Mycobacterium avium
Paru-paru
Serviks
Lymphadenitis pada anak
Bacteremia AIDS
Tenosynovitis
Mycobacterium genavense
Bacteremia AIDS
Mycobacteriosis pada burung
Mycobacterium haemophilum
Kulit
Bacteremia
Serviks
Lymphadenitis
Mycobacterium intracellulare
Paru-paru
Tenosynovitis
Nycobacterium kansasii
Paru-paru
Kulit
Bacteremia AIDS
Mycobacterium malmoense
Paru-paru
Serviks
Lymphadenitis
Bacteremia
Mycobacterium marinum
Kulit
Bacteremia
Mycobacterium scrofulaceum
Paru-paru
Serviks
Universitas Sumatera Utara
Lymphadenitis pada anak
Kulit
Bacteremia
Mycobacterium simiae
Paru-paru
Bacerema
Mycobacterium ulcerans
Kulit
Mycobacterium xenopi
Paru-paru
Bacteremia
Tabel 2.2.2 Jenis-jenis Mycobacterium atipikal yang memiliki pertumbuhan cepat
( Rapid Grows )
Spesies Mycobacterium
Infeksi
Mycobacterium abscessus
Paru-paru
Otitis media
Abses
Mycobacterium chelonae
Paru-paru
Otitis media
Peritonitis
Bacteremia AIDS
Mycobacterium fortuitum
Paru-paru
Operasi
Kateter
Bacteremia AIDS
Sharma et al., (1995) melaporkan gambaran atipikal borok kulit M.
fortuitum pada ikan berupa pembengkakan yang bertambah besar dalam waktu
tiga minggu tanpa riwayat trauma pada seorang imunokompeten. Borok
selanjutnya berkembang menjadi nodus berwarna merah kehitaman dan dapat
disertai abses. Borok diseminata umumnya tidak disertai riwayat trauma dan
berupa episode abses multipel yang rekurens pada ekstremitas atau erupsi papular
dan makula generalisata. Organ dalam juga dapat terkena. Patogen juga dapat
menyebabkan limfadenopati servikal unilateral dan gambaran pola sporotrikoid.
Temuan pada pemeriksaan histopatologis menunjukkan respons inflamasi
dimorfik berupa pembentukan granuloma dengan sel raksasa benda asing serta
mikroabses dengan sebukan sel PMN. Karakteristik M. fortuitum Berdasarkan
Universitas Sumatera Utara
Bergey’s Manual of Systematic Bacteriology (1986) yaitu gram postif, tidak
memiliki pigmen, tidak berkoloni photochromogenic, tidak tumbuh pada suhu 45
0
C, mereduksi nitrat, toleran terhadap NaCl (28 0C), positif pada malachite green
0,01 %, positif pada Pyronin B 0,01 %, positif pada asam pospatase, positif pada
picrate 0,2 %.
M. fortuitum resisten terhadap asam, logam, desinfektan, dan beberapa
antibiotik (Falkinham, 2002). Beberapa spesies Mycobacterium yang rentan
terhadap antibotik (Tabel 2.2.3). Pembentukan biofilm Mycobacterium mencapai
104–105 unit/cm2 ( Falkinham et al., 2001; Iivanainen et al., 1999). Dalam
penelitian yang dilakukan Hall-Stoodley (1998) pembentukan biofilm M.
fortuitum mencapai 106 selama 2 jam pada suhu 37 0C pada permukaan silikon.
Hal ini disebabkan oleh tingkat hidrofobisitas dan tingkat resistensi terhadap
logam yang menjadi pemacu dalam pembentukan biofilm.
Amikacin
Ansamycin
Azithromycin
Cefoxitin
Ciprofloxacin
Clarithromycin
Clofazimine
Cotrimoxazole
Cycloserine
Dapsone
Doxycycline
Erythromycin
Ethambutola
Ethionamide
Imipenem
Isoniazida
+
+
+
+
-
+
+
-
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
-
fortuitum
chelonae
haemophilum
scrofulaceum
Aviumintracellulare
Kansasii
ulcerans
marinum
Tabel 2.2.3 Jenis-jenis antibiotik yang digunakan dalam terapi infeksi
Mycobacterium
+
+
+
+
-
+
+
+
+
-
Universitas Sumatera Utara
Kanamycin
+
Minocycline
+
+
+
+
+b
a
Rifampicin
+
+
+
+
+
Rifamycin
+
+
+
+
+
Streptomycina +
Tobramycin
Surgery
+
+
+
a
Obat antituberkulosis biasa
b
Sendiri atau dalam kombinasi dengan ciprofloxacin atau rifampicin
+ berpengaruh
- Tidak berpengaruh
+
+
Terapi antibiotik pada umumnya hanya akan membunuh sel-sel bakteri
planktonik di luar biofilm sedang bentuk bakteri yang tersusun rapat dalam
biofilm akan tetap hidup dan berkembang serta akan melepaskan bentuk sel-sel
planktonik keluar dari formasi biofilm. Demikian juga terhadap sistem kekebalan
inang di mana formasi biofilm mampu melindungi bakteri di dalamnya dari
efektor-efektor sistem immun inangnya (Davey and O. toole, 2000; Melchior et
al., 2006).
2.3. Biofilm
Biofilm adalah produk akhir penempelan bakteri yang oleh Characklis dan
Marshall (1990) defenisikan sebagai sel-sel mikroorganisme yang teramobilisasi
pada substrat dan terperangkap di dalam polimer ekstraseluler yang diproduksi
oleh mikroorganisme tersebut. ZoBell (1943) dalam laporannya menyebutkan
bahwa ada dua jenis interaksi antara bakteri dan permukaan yang ditempelinya
yaitu interaksi dapat balik (reversible) dan interaksi tidak dapat balik
(irreversible). Disimpulkan pula oleh ZoBell (1943) bahwa kondisi lingkungan
dengan nutrient terbatas menyebabkan nutrient lebih terkonsentrasi pada
permukaan sehingga memodifikasi sifat permukaan tersebut yang pada akhirnya
berpengaruh pada proses penempelan oleh mikroorganisme. Struktur biofilm
dapat berubah tergantung dari kondisi nutrisi lingkungannya (Hall-Stoodley,
1998).
Universitas Sumatera Utara
Telah diketahui bahwa bakteri yang mampu memproduksi biofilm
berhubungan dengan penyakit infeksi yang kronis menyebabkan penyakit pada
manusia dan mampu membentuk biofilm seperti pada S. aureus, Staphylococcus
epidermidis (penyebab infeksi nosokomial), E. coli (prostatitis bakterial, infeksi
saluran empedu), Streptococcus spp. (caries gigi, periodontitis, endocarditis,
meningitis, dan pneumonia) (Setiawan et al, 2012). Demikian pula telah diketahui
bahwa beberapa streptococci dari grup mitis (Streptococcus mutan dan
Streptococcus pneumonia) mampu membentuk biofilm (Varhimo et al., 2011).
2.4. Proses Pembentukan Biofilm Bakteri
Charaklis (1990) menyatakan bahwa tahapan-tahapan pembentukan
biofilm bakteri tersebut meliputi : (1) adsorpsi molekul organik yang merupakan
tahapan conditioning pada permukaan padat. Senyawa organik yang teradsorpsi
oleh permukaan dan mampu memodifikasi sifat permukaan adalah glikoprotein
(Loef dan Neifof, 1975), (2) Transpor bakteri ke permukaan. Pada kondisi cairan
tidak mengalir dan tenang (quiescent), transportasi bakteri ke permukaan padat
tergantung pada gravitasi, sedimentasi, gerak acak Brown serta motilitas (Stanley,
1983), (3) Adsorpsi bakteri ke permukaan. Teori Derjaquin-Landau-VerweyOverbeck menyebutkan bahwa makin dekatnya jarak antara permukaan dan
bakteri, maka kekuatan tarik-menarik akan menjadi dominan yang didukung oleh
adanya struktur diluar sel seperti adanya polimer ekstraseluler (Oliveira,1992).
Ikatan antara keduanya bisa bersifat dipole-dipole, ion-dipole, interaksi
hidrofobik, ikatan ionik, maupun ikatan hidrogen (Charaklis, 1990; Denyer et
al,1993), (4) Lepasnya sel yang menempel menuju fase cair (Detachment awal).
Marshall et al. (1971) menyatakan bahwa konsentrasi glukosa lebih besar dari 7
mg/ml mencegah terbentuknya penempelan tidak balik ( irreversible) P.fragi ke
permukaan stainless steel, (5) Pertumbuhan bakteri yang teradsorpsi. Bakteri yang
teradsorpsi secara tidak dapat balik
akan tumbuh dan pada akhirnya akan
membentuk biofilm dan kondisi nutrien yang terbatas mendukung terjadinya
proses tersebut. Kekurangan nutrien telah dihubungkan dengan berubahnya
Universitas Sumatera Utara
morfologi sel bakteri, misalnya terjadinya rounding sel (sel menjadi berbentuk
bulat) dan dwarfing (mengecilnya ukuran dan volume) (Dawson et al,1981). Pada
umumnya pertumbuhan bakteri diikuti dengan produksi polimer yang diduga
merupakan polisakarida ekstraseluler (PE) sehingga biofilm terakumulasi.
Nichols et al. (1989) menemukan bahwa sel biofilm P.aeruginosa, baik yang
memiliki PE banyak ataupun tidak, memiliki ketahanan seribu kali lebih besar
terhadap antibiotik tobramycin daripada sel planktoniknya, (6) Akumulasi
biofilm. Jika sel bakteri tumbuh dan membentuk PE serta menarik bakteri lainnya
untuk bergabung dengan kelompok yang sudah menempel maka bisa terakumulasi
sel biofilm yang terdiri dari beberapa lapisan. Bakteri yang berada di bagian
dalam akan terlindung oleh lapisan yang lebih luar. Komunitas ini juga dapat
memenuhi kebutuhan nutriennya sendiri karena sel yang mati dapat berfungsi
sebagai nutrien bagi yang masih hidup, (7) Pelepasan sel biofilm (detachment).
Ada dua macam pelepasan sel yaitu erosi dan sloughing. Erosi terjadi secara
merata, berkala dan terutama terjadi karena kekuatan geseran (shear force) cairan
yang mengalir. Sloughing adalah pelepasan banyak sel yang terjadi secara acak
karena adanya perubahan dalam medium pertumbuhan.
Kamaliah
(2000)
melaporkan
adanya
kemampuan
Enteropatogen
Escherechia coli (EPEC) membentuk biofilm pada kaca. Sinyal-sinyal lingkungan
dalam pembentukan biofilm diduga dapat menginduksi kolonisasi bakteri.
Pembentukan dan perkembangan biofilm tergantung dari komunikasi antar sel itu
sendiri. Pelekatan suatu sel pada suatu permukaan merupakan hasil dari sinyal
untuk menstimulasi gen pembentuk biofilm. Gen ini mengkode protein untuk
mensintesis sinyal komunikasi antar sel dan memulai pembentukan polisakarida.
Aktivitas ini dinamakan quorum sensing (Huang et al., 2011). Pada Streptococcus
mutans ditemukan
bahwa quorum sensing dimediasi oleh
Competence-
Stimulating Peptide (CSP). Competence-Stimulating Peptide (CSP) memberikan
respon
perlindungan
biokimia
terkoordinasi
sehingga
memungkinkan
Streptococcus mutans untuk bertahan hidup (Marsh, 2005).
Universitas Sumatera Utara
Beberapa faktor lain yang berperan dalam perlekatan bakteri antara lain adalah
adanya interaksi hidrofobik, muatan bakteri, serta kekasaran permukaan. Menurut
Hoot dan Zotolla (1995), interaksi hidrofobik akan mempengaruhi penempelan
sel, dimana biofilm akan lebih mudah terbentuk bila interaksi hidrofobik semakin
besar. Dari penelitian yang dilakukan oleh Denyer et al., (1993) pada
Staphylococcus epidemirdis didapatkan adanya korelasi antara rendahnya muatan
negatif dan tingginya interaksi hidrofobik bakteri tersebut dengan meningkatnya
penempelan bakteri ke permukaan polistiren.
Universitas Sumatera Utara