Hubungan Diabetes Melitus dengan Waktu untuk Konversi Kultur Sputum pada Pasien TB-MDR di RSUP H. Adam Malik

1

BAB 1
PENDAHULUAN
1.1.

Latar Belakang
Triple burden disease yang tengah dihadapi Indonesia menimbulkan

sejumlah permasalahan. Masalah yang timbul bukan hanya seputar mewabahnya
penyakit menular baru, menjangkitnya penyakit menular lama dan meningkatnya
penyakit tidak menular dari waktu ke waktu (Kemenkes, 2012), tapi juga masalah
yang timbul akibat interaksi di antara ketiganya. Telah lama diketahui bahwa
tuberkulosis (TB) erat kaitannya dengan diabetes melitus (DM), yaitu penderita
DM cenderung lebih berisiko terkena infeksi TB ataupun infeksi tersebut
cenderung lebih sering berkembang menjadi tuberkulosis bentuk aktif dengan
berbagai gejala dibandingkan dengan orang-orang non DM. Hal tersebut terkait
dengan kondisi sistem imun yang melemah pada penderita DM sehingga
memudahkan berkembangnya infeksi TB.
Sebagai negara dengan prevalensi TB tertinggi ke-3 di dunia (WHO, 2015)
serta tertinggi ke-5 untuk prevalensi DM (IDF, 2014), Indonesia menghadapi

begitu banyak kasus TB yang dicetuskan maupun diperberat oleh keadaan
penyakit kronis pada pasien-pasien DM. Berdasarkan data WHO, 10% kasus
infeksi TB di seluruh dunia berkaitan dengan diabetes. Data WHO juga
memaparkan bahwa diabetes meningkatkan risiko terkena infeksi TB sebesar 2-3
kali serta risiko meninggal selama dalam pengobatan dibandingkan dengan tanpa
diabetes (WHO, 2011). Sebuah penelitian yang dilaksanakan di Indonesia
menemukan riwayat DM tipe 2 pada 13,3% pasien TB. Penelitian tersebut
menyatakan adanya hubungan yang kuat antara TB dan DM di Indonesia
(Alisjahbana et al., 2006). Namun, meskipun DM telah dinyatakan sebagai faktor
risiko dan faktor prognostik TB, hingga kini belum diketahui secara pasti apakah
DM secara langsung mempengaruhi keberhasilan pengobatan TB.
Konversi kultur sputum merupakan salah satu indikator dari keberhasilan
pengobatan TB. Pengobatan TB yang adekuat akan memberikan hasil negatif
bakteri Mycobacterium tuberculosis pada kultur sputum penderita TB setelah

Universitas Sumatera Utara

2

masa 2 bulan pengobatan. Konversi kultur sputum dianggap menunjukkan

keberhasilan pengobatan secara bakteriologis, di samping evaluasi pengobatan
yang juga harus dilakukan secara klinis dan radiologis (Amin & Bahar, 2009).
Berbagai penelitian yang bertujuan untuk mencari hubungan antara DM
dan TB menjadikan konversi kultur sputum sebagai salah satu variabel yang
diteliti untuk menilai pengaruh DM terhadap outcome TB. Suatu studi kohort
prospektif yang dilaksanakan di Indonesia menemukan secara signifikan bahwa
pasien TB dengan DM lebih banyak yang memiliki hasil kultur sputum yang
masih positif setelah fase 6 bulan pengobatan dibandingkan dengan pasien TB
tanpa DM, meskipun temuan ini tidak berbeda secara statistik untuk evaluasi
kultur sputum setelah fase 2 bulan pengobatan TB (fase intensif) (Alisjahbana et
al., 2007). Studi lain yang dilakukan di Maryland, Amerika Serikat, menemukan
adanya kecenderungan konversi kultur sputum yang lebih cepat pada pasien TB
tanpa DM dibandingkan pasien TB dengan DM, namun proporsi tingkat konversi
kultur sputum antar kedua kelompok setelah fase 2 bulan pengobatan tidak
berbeda secara statistik. Meskipun studi tersebut menemukan bahwa DM
merupakan faktor komorbid pada pasien dengan TB aktif dan meningkatkan risiko
meninggal dunia selama pengobatan (Dooley et al., 2009).
Pengobatan TB tidak terlepas dari masalah Multidrug Resistant
Tuberculosis (TB-MDR) yaitu suatu keadaan dimana pasien tuberkulosis tidak
dapat diobati dengan regimen OAT lini pertama karena sudah terjadi resistensi

terhadap rifampisin dan isoniazid tanpa atau dengan disertai resistensi terhadap
OAT lainnya. Masalah TB-MDR kian menarik perhatian dunia karena jumlah
kasusnya yang tidak sedikit setiap tahunnya. WHO memperkirakan ada 480.000
kasus TB-MDR yang berkembang di seluruh dunia pada tahun 2013 (WHO,
2014). Sementara di Indonesia, berdasarkan Global Report DR-TB tahun 2010,
Indonesia adalah negara dengan beban TB-MDR nomor 8 di dunia dengan
perkiraan kasus baru TB-MDR sebesar 8900 orang per tahun (Kemenkes, 2011).
Kemudian, data WHO pada tahun 2013 mengenai 30 negara dengan beban TBMDR tertinggi di dunia menempatkan Indonesia sebagai negara ke-9 tertinggi
untuk kasus TB-MDR (WHO, 2013)

Universitas Sumatera Utara

3

Berkembangnya kasus TB-MDR di seluruh dunia kemudian memunculkan
sejumlah penelitian yang menghubungkan TB-MDR dengan DM. Telah diketahui
bahwa DM berperan dalam mencetuskan infeksi TB dan memperberat
prognosisnya namun belum banyak diketahui mengenai efek DM terhadap TBMDR. Beberapa penelitian melaporkan bahwa prevalensi DM ditemukan tinggi
pada pasien TB-MDR dan ditemukannya hubungan yang signifikan antar
keduanya setelah mengendalikan faktor-faktor perancu (Magee et al., 2014).

Penelitian-penelitian lain mencoba menemukan hubungan antara DM dengan
keberhasilan pengobatan pada kasus TB-MDR yang mana pasien TB-MDR
menerima regimen dan durasi pengobatan yang berbeda. Namun, tidak ditemukan
hubungan bermakna. Suatu studi di Amerika Serikat menemukan tidak ada
perbedaan pada waktu yang diperlukan untuk konversi kultur sputum antara
pasien TB-MDR dengan DM dan pasien TB-MDR tanpa DM (Magee et al.,
2014). Di Indonesia juga telah dilakukan penelitian serupa dan menemukan hasil
yang tak jauh berbeda, yaitu tidak terdapat perbedaan bermakna pada waktu untuk
konversi sputum antara pasien TB-MDR dengan DM dan pasien TB-MDR tanpa
DM (Reviono et al., 2013).
Adanya perbedaan antara teori dan hasil penelitian sejauh ini mengenai
pengaruh DM terhadap konversi kultur sputum pada pasien TB maupun TB-MDR
menarik perhatian penulis untuk melakukan penelitian serupa pada pasien TBMDR yang memang belum begitu banyak diteliti. Penelitian Reviono dkk yang
telah dilakukan di Indonesia pun hanya terbatas pada satu rumah sakit dan belum
adanya penelitian serupa yang dilakukan secara luas di rumah-rumah sakit di
seluruh Indonesia. Oleh karena itu, melalui penelitian yang berjudul “Hubungan
Diabetes Melitus dengan Waktu untuk Konversi Kultur Sputum pada Pasien TBMDR di RSUP H. Adam Malik” penulis ingin mengetahui hubungan antara DM
dan TB-MDR di RSUP H. Adam Malik Medan.

Universitas Sumatera Utara


4

1.2.

Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, adapun rumusan

masalah yang ingin diteliti ialah: apakah terdapat hubungan yang bermakna antara
diabetes melitus dengan waktu untuk konversi kultur sputum pada pasien TBMDR?

1.3.

Tujuan Penelitian

1.3.1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui hubungan DM dengan waktu untuk konversi kultur
sputum pada pasien TB-MDR
1.3.2


Tujuan Khusus
Adapun tujuan khusus dari penelitian ini adalah sebagai berikut.

1. Untuk mengetahui distribusi frekuensi DM pada pasien TB-MDR di RSUP H.
Adam Malik
2. Untuk mengetahui distribusi frekuensi waktu untuk konversi kultur sputum
pada pasien TB-MDR di RSUP H. Adam Malik
3. Untuk menganalisis hubungan antara DM dengan waktu untuk konversi kultur
sputum pada pasien TB-MDR di RSUP H. Adam Malik

1.4.

Manfaat Penelitian
Adapun manfaat yang diharapkan dapat dirasakan melalui pelaksanaan

dan publikasi penelitian ini adalah sebagai berikut.
1. Institusi pendidikan kedokteran dan pelayanan kesehatan
Penelitian ini dapat memberikan informasi kepada institusi pendidikan
kedokteran dan pelayanan kesehatan tentang hubungan antara diabetes melitus
dan waktu untuk konversi kultur sputum pada pasien TB-MDR

2. Peneliti selanjutnya
Penelitian ini dapat menjadi salah satu referensi bagi peneliti selanjutnya
untuk melakukan penelitian sejenis di kemudian hari

Universitas Sumatera Utara

5

3. Masyarakat
Penelitian ini dapat menambah wawasan masyarakat mengenai TB-MDR dan
hubungannya dengan DM
4. Penulis
Penelitian ini dapat menambah pengetahuan penulis mengenai hubungan
antara DM dengan waktu untuk konversi kultur sputum serta diharapkan
dapat menjadi langkah awal bagi penulis untuk melakukan penelitianpenelitian lainnya di kemudian

Universitas Sumatera Utara