Gambaran Pengetahuan dan Sikap Ibu Terhadap Upaya Penanganan Diare secara Dini pada Balita di Wilayah Kerja UPTD Puskesmas Kecamatan Gunungsitoli Utara tahun 2015

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA 2.1Perilaku

2.1.1 Definisi Perilaku

Perilaku dari segi biologis adalah kegiatan atau aktivitas organisme (makhluk hidup) yang bersangkutan. Secara umum yang dimaksud perilaku adalah semua kegiatan atau aktivitas manusia, baik yang dapat diamati langsung maupun yang tidak dapat diamati oleh pihak luar. Sunaryo (2006), perilaku adalah aktivitas yang timbul karena adanya stimulus dan respon serta dapat diamati secara langsung maupun tidak langsung. Robert Kwick (1974) menyatakan bahwa perilaku adalah tindakan atau perbuatan suatu organisme yang dapat diamati dan bahkan dapat dipelajari. Skinner dan Allport (1993) seorang ahli psikologi, merumuskan bahwa perilaku merupakan respons atau reaksi seseorang terhadap stimulus (rangsangan dari luar). Oleh karena perilaku ini terjadi melalui proses adanya rangsangan pada seseorang dan kemudian orang tersebut memberikan respons. Namun dalam memberikan respons sangat tergantung pada karakteristik atau faktor-faktor lain dari orang yang bersangkutan. Faktor-faktor yang membedakan respons terhadap stimulus yang berbeda disebut determinan perilaku. Dimana determinan perilaku dapat dibedakan menjadi dua yaitu:

1. Faktor internal ialah karakteristik orang yang bersangkutan yang bersifat bawaan, misalnya: tingkat emosional, jenis kelamin, genetik, tingkat kecerdasan dan sebagainya.


(2)

2. Faktor eksternal ialah lingkungan baik, lingkungan fisik, sosial, budaya, ekonomi dan sebagainya. Faktor lingkungan merupakan faktor dominan yang mewarnai seseorang (Notoatmodjo, 2007) .

2.1.2 Domain Perilaku

Benyamin Bloom (1908) seorang ahli psikologi pendidikan membagi perilaku manusia kedalam tiga domain, ranah atau kawasan yaitu: kognitif

(cognitive), afektif (affective) dan psikomotor (psychomotor). Dalam perkembangannya, teori Bloom ini dimodifikasi untuk pengukuran hasil pendidikan kesehatan yaitu pengetahuan, sikap dan tindakan (Notoatmodjo, 2007).

1. Pengetahuan

Pengetahuan adalah hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah seseorang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Tanpa pengetahuan seseorang tidak mempunyai dasar untuk mengambil keputusan dan menentukan tindakan terhadap masalah yang dihadapi. Ada empat macam pengetahuan (Widodo, 2006), yaitu:

1. Pengetahuan Faktual (Factual knowledge)

Pengetahuan yang berupa potongan-potongan informasi yang terpisah-pisah atau unsur dasar yang ada dalam suatu disiplin ilmu tertentu. Pengetahuan faktual pada umumnya merupakan abstraksi tingkat rendah. Ada dua macam pengetahaun faktual yaitu pengetahuan tentang terminologi (knowledge of terminology)

mencakup pengetahuan tentang label atau simbol tertentu baik yang bersifat verbal maupun non verbal dan pengetahuan tentang bagian detail dan unsur-unsur


(3)

(knowledge of specidetails and element) mencakup pengetahuan tentang kejadian, orang, waktu dan informasi lain yang sifatnya sangat spesifik.

2. Pengetahuan Konseptual

Pengetahuan yang menunjukkan saling keterkaitan antara unsur-unsur dasar dalam struktur yang lebih besar dan semuanya berfungsi bersama-sama. Pengetahuan konseptual mencakup skema, model pemikiran dan teori baik yang implisit maupun eksplisit. Ada tiga macam pengetahuan konseptual, yaitu pengetahaun tentang kelasifikasi dan kategori, pengetahuan tentang prinsip dan generalisasi dan pengetahuan tentang teori, model dan stuktur.

3. Pengetahuan Prosedural

Pengetahuan tentang bagaimana mengerjakan sesuatu, baik yang bersifat rutin maupun yang baru. Seringkali pengetahuan prosedural berisi langkah-langkah atau tahapan yang harus diikuti dalam mengerjakan suatu hal tertentu. 4. Pengetahuan Metakognitif

Mencakup pengetahuan tentang kognisi secara umum dan pengetahuan tentang diri sendiri. Penelitian-penelitian tentang metakognitif menunjukkan bahwa seiring dengan perkembangannya siswa menjadi semakin sadar akan pikirannya dan semakin banyak tahu tentang kognisi dan apabila siswa bisa mencapai hal ini maka mereka akan lebih baik lagi dalam belajar. Dimensi proses kognitif dalam taksonomi yang baru yaitu:

1. Menghafal (Remember)

Menarik kembali informasi yang tersimpan dalam memori jangka panjang. Mengingat merupakan proses kognitif yang paling rendah tingkatannya. Untuk


(4)

mengkondisikan agar “mengingat” bisa menjadi bagian belajar bermakna, tugas mengingat hendaknya selalu dikaitkan dengan aspek pengetahuan yang lebih luas dan bukan sebagai suatu yang lepas dan terisolasi. Kategori ini mencakup dua macam proses kognitif: mengenali (recognizing) dan mengingat (recalling).

2. Memahami (Understand)

Mengkonstruk makna atau pengertian berdasarkan pengetahuan awal yang dimiliki, mengaitkan informasi yang baru dengan pengetahuan yang telah dimiliki atau mengintegrasikan pengetahuan yang baru ke dalam skema yang telah ada dalam pemikiran siswa. Karena penyusunan skema adalah konsep, maka pengetahuan konseptual merupakan dasar pemahaman. Kategori memahami mencakup tujuh proses kognitif: menafsirkan (interpreting), memberikan contoh

(exemplifying), mengkelasifikasikan (classifying), meringkas (summarizing), menarik inferensi (inferring), membandingkan (comparing) dan menjelaskan

(explaining)

3. Mengaplikasikan (Applying)

Mencakup penggunaan suatu prosedur guna menyelesaikan masalah atau mengerjakan tugas. Oleh karena itu mengaplikasikan berkaitan erat dengan pengetahuan prosedural. Namun tidak berarti bahwa kategori ini hanya sesuai untuk pengetahuan prosedural saja. Kategori ini mencakup dua macam proses kognitif: menjalankan (executing) dan mengimplementasikan (implementing).

4. Menganalisis (Analyzing)

Menguraikan suatu permasalahan atau obyek ke unsur-unsurnya dan menentukan bagaimana saling keterkaitan antar unsur-unsur tersebut dan struktur


(5)

besarnya. Ada tiga macam proses kognitif yang tercakup dalam menganalis membedakan (differentiating), mengorganisir (organizing) dan menemukan pesan tersirat (attributting).

5. Mengevaluasi

Membuat suatu pertimbangan berdasarkan kriteria dan standar yang ada. Ada dua macam proses kognitif yang tercakup dalam kategori ini memeriksa

(checking) dan mengritik (critiquing). 6. Membuat (create)

Menggabungkan beberapa unsur menjadi suatu bentuk kesatuan. Ada tiga macam proses kognitif yang tergolong dalam kategori ini, yaitu: membuat (generating), merencanakan (planning) dan memproduksi (producing) (Widodo, 2006).

Pengukuran pengetahuan dapat dilakukan dengan wawancara atau angket yang menanyakan tentang isi materi yang ingin diukur dari subjek penelitian atau responden (Notoatmodjo, 2007).

Faktor-faktor yang mempengaruhi pengetahuan seseorang antara lain: 1. Pendidikan

Pendidikan berarti bimbingan yang diberikan oleh seseorang kepada orang lain agar mereka dapat memahami. Tidak dapat dipungkiri bahwa makin tinggi pendidikan seseorang makin mudah pula bagi mereka untuk menerima informasi dan pada akhirnya makin banyak pengetahuan yang mereka miliki.


(6)

2. Pekerjaan

Lingkungan pekerjaan dapat menjadikan seseorang memperoleh pengalaman dan pengetahuan baik secara langsung maupun tidak langsung.

3. Umur

Dengan bertambahnya umur seseorang akan terjadi perubahan pada aspek fisik dan psikologis (mental), dimana pada asfek psikologi ini taraf berpikir seseorang semakin matang dan dewasa.

4. Minat

Minat diartikan sebagai suatu kecenderungan atau keinginan yang tinggi terhadap seseuatu. Minat menjadikan seseorang untuk mencoba menekuni suatu hal dan pada akhirnya diperoleh pengetahuan yang mendalam.

5. Pengalaman

Pengalaman adalah suatu kejadian yang pernah dialami oleh individu baik dari dalam dirinya ataupun dari lingkungannya. Pada dasarnya pengalaman mungkin saja menyenangkan atau tidak menyenangkan bagi individu yang melekat menjadi pengetahuan pada individu secara subjektif.

6. Informasi

Kemudahan seseorang untuk memperoleh informasi dapat membantu mempercepat seseorang untuk memperoleh pengetahuan yang baru (Wahid dkk, 2007) .

2. Sikap

Sikap adalah merupakan reaksi atau respons seseorang terhadap suatu stimulus atau objek. Sikap dalam kehidupan sehari-hari adalah merupakan reaksi


(7)

yang bersifat emosional terhadap stimulus sosial. Sikap belum merupakan suatu tindakan atau aktivitas tapi merupakan predisposisi tindakan atau perilaku (Wahid dkk, 2007).

Allport (1954) menjelaskan bahwa sikap mempunyai tiga komponen pokok :

1. Kepercayaan (keyakinan), ide, konsep terhadap suatu objek 2. Kehidupan emosional atau evaluasi terhadap suatu objek 3. Kecenderungan untuk bertindak (tend to behave)

Ketiga komponen ini secara bersama-sama membentuk sikap yang utuh (total attitude). Dalam penentuan sikap yang utuh ini,pengetahuan, pikiran, keyakinan, dan emosi memegang peranan penting.

Menurut WHO, adapun ciri-ciri sikap sebagai pribadi terhadap objek atau stimulus berikut:

1. Pemikiran dan perasaan (Thoughts and feeling) hasil pemikiran dan perasaan seseorang, atau lebih tepat diartikan pertimbangan-pertimbangan pribadi terhadap objek atau stimulus.

2. Adanya orang lain yang menjadi acuan (Personal refrences) merupakan faktor penguat sikap untuk sikap untuk melakukan tindakan akan tetapi tetap mengacu pada pertimbangan-pertimbangan individu.

3. Sumber daya (Resources) yang tersedia merupakan pendukung untuk bersikap positif atau negative terhadap objek atau stimulus tertentu dengan pertimbangan kebutuhan dari pada individu tersebut.


(8)

4. Sosial budaya (Culture) berperan besar dalam mempengaruhi pola pikir seseorang untuk bersikap terhadap objek atau stimulus tertentu (Notoatmodjo, 2007).

Seperti halnya pengetahuan, sikap ini terdiri dari berbagai tingkatan : 1. Menerima (receiving)

Menerima diartikan bahwa orang (subyek) mau dan memperhatikan stimulus yang diberikan (obyek).

2. Merespon (responding)

Memberikan jawaban apabila ditanya, mengerjakan, dan menyelesaikan tugas yang diberikan adalah suatu indikasi dari sikap.

3. Menghargai (valuing)

Mengajak orang lain untuk mengerjakan atau mendiskusikan suatu masalah adalah suatu indikasi sikap tingkat tiga.

4. Bertanggung jawab (responsible)

Bertanggung jawab atas segala sesuatu yang telah dipilihnya dengan segala resiko merupakan sikap yang paling tinggi.

Fungsi sikap dibagi menjadi empat golongan, yakni :

1. Sebagai alat untuk menyesuaikan diri. Sikap adalah sesuatu yang bersifat

communicable artinya sesuatu yang mudah menjalar sehingga mudah pula menjadi milik bersama.

2. Sebagai alat pengatur tingkah laku. Kita tahu bahwa tingkah laku anak kecil atau binatang umumnya merupakan aksi-aksi yang spontan terhadap sekitarnya. Antara perangsang dan reaksi tidak ada pertimbangan tetapi pada


(9)

orang dewasa dan yang sudah lanjut usianya, perangsang itu pada umumnya tidak diberi reaksi secara spontan akan tetapi terdapat adanya proses secara sadar untuk menilai perangsang-perangsang itu. Jadi antara perangsang dan reaksi terhadap sesuatu yang disisipkannya yaitu sesuatu yang berwujud pertimbangan-pertimbangan atau penilaian-penilaian terhadap perangsang itu. Jadi antara perangsang dan reaksi terhadap sesuatu yang disisipkannya yaitu sesuatu yang berwujud pertimbangan-pertimbangan atau penilaian-penilaian terhadap perangsang itu sebenarnya bukan hal yang berdiri sendiri tetapi merupakan sesuatu yang erat hubungannya dengan cita-cita orang, tujuan hidup orang, peraturan-peraturan kesusilaan yang ada dalam bendera, keinginan-keinginan pada orang itu dan sebagainya.

3. Sebagai alat pengatur pengalaman-pengalaman. Dalam hal ini perlu dikemukakan bahwa manusia di dalam menerima pengalaman-pengalaman dari dunia luar sikapnya tidak pasif tetapi diterima secara aktif artinya semua pengalaman yang berasal dari luar itu tidak semuanya dilayani oleh manusia tetapi juga manusia memilih mana-mana yang perlu dan mana yang tidak perlu dilayani. Jadi semua pengalaman ini diberi penilaian lalu dipilih.

4. Sebagai pernyataan kepribadian. Sikap sering mencerminkan kepribadian seseorang. Ini sebabnya karena sikap tidak pernah terpisah dari pribadi yang mendukungnya. Oleh karena itu dengan melihat sikap-sikap pada obyek-obyek tertentu, sedikit banyak orang bisa mengetahui pribadi orang tersebut. Jadi sikap sebagai pernyataan pribadi. Apabila kita akan mengubah sikap sesorang kita harus mengetahui keadaan sesungguhnya dari sikap orang


(10)

tersebut dengan mengetahui keadaan sikap itu kita akan mengetahui pula mungkin tidaknya sikap tersebut dapat diubah dan bagaimana cara mengubah sikap-sikap tersebut (Purwanto, 1999).

Faktor-faktor yang mempengaruhi sikap seseorang antara lain:

1. Sikap akan terwujud di dalam suatu tindakan tergantung pada situasi saat itu.

2. Sikap akan diikuti atau tidak diikuti oleh tindakan yang mengacu kepada pengalaman orang lain.

3. Sikap diikuti atau tidak diikuti oleh suatu tindakan berdasarkan pada banyak atau sedikitnya pengalaman seseorang.

4. Nilai di dalam suatu masyarakat apa pun selalu berlaku nilai-nilai yang menjadi pegangan setiap orang dalam menyelenggarakan hidup dalam bermasyarakat.

3. Tindakan

Suatu sikap belum otomatis terwujud dalam suatu tindakan (overt behavior). Untuk mewujudkan sikap menjadi suatu perbuatan yang nyata diperlukan faktor pendukung atau suatu kondisi yang memungkinkan, antara lain adalah fasilitas dan faktor dukungan (support) praktik ini mempunyai beberapa tingkatan :

1. Persepsi (perception)

Mengenal dan memilih berbagai objek sehubungan dengan tindakan yang akan diambil adalah merupakan praktik tingkat pertama.


(11)

Dapat melakukan sesuatu sesuai dengan urutan yang benar dan sesuai dengan contoh adalah merupakan indikator praktik tingkat kedua.

3. Mekanisme (mecanism)

Apabila seseorang telah dapat melakukan sesuatu dengan benar secara otomatis, atau sesuatu itu sudah merupakan kebiasaan, maka ia sudah mancapai praktik tingkat tiga.

4. Adopsi (adoption)

Adaptasi adalah suatu praktik atau tindakan yang sudah berkembang dengan baik. Artinya tindakan itu sudah dimodifikasi tanpa mengurangi kebenaran tindakan tersebut (Notoatmodjo, 2007).

Faktor-faktor yang mempengaruhi tindakan seseorang antara lain: 1. Imitasi

Tindakan manusia untuk meniru tingkah pekerti orang lain yang berada di sekitarnya.

2. Sugesti

Seseorang menerima suatu cara penglihatan atau pedoman-pedoman tingkah laku dari orang lain tanpa kritik terlebih dahulu.

Faktor-faktor yang mempengaruhi sugesti:

 Hambatan berfikir orang yang memberikan sugesti bersikap over pandangan,pihak penerima tidak diberi pertimbangan-pertimbangan atau berfikir kritis.


(12)

 Keadaan pikiran yang terpecah-pecah seseorang pikirannya mengalami kelelahan/kebingungan karena mengahadapi kesulitan-kesulitan sehingga ia tidak bisa berfikir.

 Otoritas kecenderungan seseorang atau sekelompok orang untuk menerima pandangan-pandangan atau sikap-sikap tertentu dari orang yang dianggap ahli.

 Mayoritas seseorang menerima saja suatu sikap atau pandangan karena di dukung atau di sokong oleh orang banyak (mayoritas).

 Will Of Believe sikap menerima pandangan atau sikap orang lain karena sebelummnya di dalam dirinya telah ada sikap atau pandangan yang sama. 3. Identifikasi

Seseorang ketika ia mulai sadar bahwa di dalam kehidupan ini ada peraturan-peraturan yang harus di penuhi,di pelajari atau di taatinya.

4. Simpati

Faktor tertariknya seseorang atau sekelompok orang terhadap seseorang atau kelompok orang lain.

2.1.3 Perubahan Perilaku

Menurut WHO yang dikutip dalam Notoatmodjo (2007), perubahan perilaku dikelompokkan menjadi dua bagian, yaitu:

a. Perubahan Alamiah (Natural Change)

Perilaku manusia selalu berubah sebagian perubahan itu disebabkan karena kejadian alamiah. Apabila dalam masyarakat sekitar terjadi suatu


(13)

perubahan lingkungan fisik atau sosial budaya dan ekonomi, maka anggota-anggota masyarakat didalamnya juga akan mengalami perubahan.

b. Perubahan Terencana (Planned Change)

Perubahan perilaku ini terjadi karena memang direncanakan sendiri oleh subjek. Didalam melakukan perilaku yang telah direncanakan dipengaruhi oleh kesediaan individu untuk berubah, misalnya apabila terjadi suatu inovasi atau program-program pembangunan didalam masyarakat, maka yang sering terjadi adalah sebagian orang sangat cepat menerima inovasi atau perubahan tersebut dan sebagian orang lagi sangat lambat menerima inovasi atau perubahan tersebut. c. Kesediaan untuk Berubah (Readiness to change)

Apabila terjadi suatu inovasi atau program-program pembangunan di dalam masyarakat,maka yang sering terjadi adalah sebagian orang yang sangat cepat untuk menerima inovasi atau perubahan tersebut (berubah perilakunya),dan sebagian orang lain sangat untuk menerima inovasi atau perubahan tersebut.Hal ini di sebabkan setiap orang mempunyai kesediaan untuk berubah (readiness to change) yang berbeda-beda.

2.14 Teori Perubahan Perilaku

Banyak teori tentang determinan perilaku salah satunya adalah social Learning Theory (SLT). Social Learning Theory (SLT) adalah suatu teori pembelajaran yang berfokus pada lingkungan atau faktor eksternal. Social Learning Theory (SLT) di perkenalkan pertama kali oleh bandura pada tahun 1977.


(14)

Social Learning Theory (SLT) merupakan suatu kombinasi antara perilaku dan kognitif teori dimana individu tersebut mempelajari perilaku melalui observasi dan kemudian mengimitasi atau mengadopsi perilaku tersebut. Dalam SLT ini, lingkungan mempengaruhi perilaku individu, sehingga individu tersebut berperilaku seperti apa yang ada di lingkungan.

Pada saat suatu perilaku baru di perkenalkan hanya melalui kegiatan observasi, maka berdasarkan teori social learning, hal tersebut dapat dikatakan proses pembelajaran dan penambahan pengetahuan kognitif seseorang. Teori Social Learning yang di kemukakan oleh Bandura menekankan bahwa kondisi lingkungan dapat memberikan dan memelihara respon-respon tertentu pada diri seseorang. Asumsi dasar dari teori ini yaitu sebagian besar perilaku individu diperoleh dari hasil belajar melalui observasi atas perilaku yang ditampilkan oleh individu-individu lain yang menjadi model.

Konsep penting yang dikemukakakn Bandura adalah reciprocal determinism, yaitu seseorang atau individu akan bertingkah laku dalam suatu situasi yang ia pilih secara aktif. Dalam menganalisa perilaku seseorang terdapat 3 komponen yaitu individu sendiri, lingkungan, serta perilaku individu tersebut. Berikut adalah skema dari reciprocal determinism.


(15)

Gambar 2.1 Skema Mengenai Reciprocal Determinism

Berdasarkan Skema konsep Reciprocal Determinism di atas dapat dijabarkan bahwa dalam Social Learning Theory menekankan pada hubungan antara individu tersebut, perilaku, dan lingkungan. Pada aspek individu, hal yang mempengaruhi adalah kepribadian, karakteristik seseorang, proses kognisi, self regulation atau kemampuan seseorang untuk dapat mempengaruhi adalah nature atau alamiah, frekuensi, dan intensitas. Pada aspek lingkungan, hal yang mempengaruhi adalah rangsangan atau stimulus, baik secara sosial maupun secara fisik. Individu akan memunculkan satu bentuk perilaku yang sama meskipun pada lingkungan yang serupa, namun individu akan bertindak setelah ada proses kognisi atau penilaian terhadap lingkungan sebagai stimulus yang akan ditindaklanjuti.

Menurut Bandura (1977) dalam Feldman (2003), dalam melakukan proses modeling kegiatan observasi terdapat empat langkah yaitu:

Individu (Karakteristik, Kognisi, Kepribadian, Kemampuan

mengatur diri sendiri)

Lingkungan Stimulus/Rangsangan:

Sosial dan fisik

Perilaku

(Alamiah, Frekuensi, Intensitas)


(16)

1. Attention (Perhatian)

Dalam belajar menimbulkan suatu perhatian. Apapun yang mengganggu perhatian seseorang terhadap apa yang sedang di observasi, maka hal tersebut akan berdampak negatif bagi pembelajarannya. Sebaliknya, apapun yang dapat menjadikan seseorang tersebut tertarik pada suatu situasi, maka seluruh perhatian akan tertuju pada sesuatu hal yang sedang di pelajari.

2. Retention (daya ingat)

Kemampuan untuk menyimpan informasi adalah proses yang sangat penting dalam pembelajaran melalui observasi, Retensi di pengaruhi oleh beberapa faktor, tetapi kemampuan untuk menyimpan informasi selanjutnya dan berperilaku menjadi sangat penting bagi pembelajaran melalui observasi. 3. Reproduction (Perkembangan)

Pada saat seseorang telah memberikan perhatian pada model dan menyimpan segala bentuk perilaku, maka pada tahap ini adalah menampilkan perilaku baru yang telah di observasinya.

4. Motivation (motivasi)

Agar pembelajaran melalui observasi tersebut berhasil, maka seseorang tersebut harus termotivasi untuk mengadopsi dan meniru perilaku yang menjadi model tersebut. Penguatan (Reinforcement) dan hukuman (Panishment) memainkan peranan yang penting dalam menimbulkan motivasi.


(17)

2.2 Diare

2.2.1 Pengertian Diare

Diare merupakan penyakit yang lazim ditemukan pada masa balita. Diare merupakan suatu keadaan pengeluaran tinja yang tidak normal atau tidak seperti biasanya. Perubahan yang terjadi berupa peningkatan volume, keenceran dan frekuensi dengan atau tanpa lendir darah, seperti lebih dari tiga kali sehari dan pada neonatus lebih dari empat kali sehari (Hidayat,2008). Menurut Anik Maryunani (2010), diare merupakan buang air besar dalam bentuk cairan lebih dari tiga kali dalam satu hari dan biasanya berlangsung selama dua hari atau lebih.

Diare dapat terjadi dengan dua macam mekanisme, yang pertama disebut diare sekretorik, yaitu usus mensekresikan cairan secara berlebihan akibat kerusakan dinding usus. Kerusakan dinding usus ini dapat terjadi akibat penempelan virus, bakteri jahat atau parasit pada dinding usus. Yang kedua disebut sebagai diare osmotik, dimana tidak terjadi penyerapan air dalam usus, sehingga cairan yang masuk dalam tubuh melalui saluran pencernaan keluar begitu saja bersama tinja (Assiddiqi,2009).

Berdasarkan lamanya, diare dibagi menjadi tiga, yaitu: diare akut, diare persisten dan diare kronis. Diare akut adalah diare yang berlangsung kurang dari dua minggu, diare persisten berlangsung selama dua sampai empat minggu, dan diare kronis berlangsung lebih dari 4 minggu (Sofwan, 2010).

Diare akut pada anak termasuk penyakit yang dapat sembuh dengan sendirinya (self-limited disease), hanya terkadang para orang tua khawatir melihat keadaan anaknya sehingga diperlukan terapi dan penanganan agar penyakit dapat


(18)

lebih tertangani dengan optimal dan cepat sembuh. Dehidrasi atau kekurangan cairan merupakan penyebab utama kematian akibat diare, dan anak akan mudah sekali kekurangan cairan-cairan karena komposisi air didalam tubuhnya yang lebih besar ketimbang orang dewasa. Prinsip terapi diare yang umumnya diberikan pada anak sekarang ini adalah pengantian cairan yang hilang dari dalam tubuh (Sofwan, 2010).

2.2.2 Diare Pada Balita

Diare pada anak (balita) merupakan masalah pencernaan. Diare yang terjadi pada anak merupakan salah satu alasan umum yang membuat orangtua membawa anaknya kedokter. Anak di bawah usia dua tahun mengalami dua sampai tiga kali diare setiap tahunnya. Diare akut memegang porsi terbesar dengan angka kejadian sekitar 85% dari seluruh kejadian diare pada anak. Angka kematian dilaporkan sekitar 8 dari 1.000 anak dan kebanyakan disebabkan oleh dehidrasi (Sofwan, 2010).

Diare sifatnya bisa menular. Penyakit ini dapat ditularkan melalui tinja yang mengandung kuman diare, air sumur atau air tanah yang telah tercemar kuman diare, makanan dan minuman yang telah tekontaminasi kuman penyebab diare atau lantaran tidak mencuci tangan sebelum memberikan makanan atau minuman pada balita (Hamdani,2008).

2.2.3 Penyebab Diare Pada Balita

Tubuh balita masih sangat rentan terhadap unsur asing karena balita belum memiliki sistem kekebalan tubuh yang memadai. Sehingga jika anggota keluarga terutama ibu tidak hati-hati dengan kebersihan diri sendiri secara tidak


(19)

langsung dapat memberikan media penyakit pada tubuh balita. Misalnya saja, setelah kerja seharian ibu lupa mencuci tangan dan langsung menimang balita. Secara tidak langsung kuman atau apapun yang menempel pada tangan ibu akan berpindah pada tubuh bayi. Jika tangan ibu mengandung kuman atau bakteri, maka balita akan mudah terinfeksi suatu penyakit (Sarasvati, 2010).

Diare pada balita pada umumnya dapat dilihat dari jumlah cairan yang keluar melalui BAB yang lebih banyak dari cairan yang masuk. Frekuensi BAB yang lebih dari tiga kali sehari. Jadi, harus diberi banyak cairan supaya tidak terjadi dehidrasi (Nagiga dan Arty, 2009).

Pola buang air besar (BAB) pada balita berbeda dengan orang dewasa. Pada orang dewasa, buang air besar lebih dari tiga kali sehari dengan konsistensi yang cair sudah bisa dianggap diare, sedangkan pada balita hal tersebut dikatakan normal. Orang tua memiliki peranan penting dalam menilai pola buang air besar anak sehari-hari. Anak dikatakan diare jika buang air besar lebih sering, lebih encer, dan lebih banyak dari biasanya. Selain itu perlu juga diperhatikan warna dan baunya. Karena ada kemungkinan warna dan bau BAB yang tidak seperti biasanya disebabkan oleh infeksi atau sebab lainnya (Sofwan, 2010).

Pada balita konsistensi tinja lebih diperhatikan daripada frekuensi buang air besar (BAB). Hal ini dikarenakan frekuensi BAB pada balita lebih sering dibandingkan orang dewasa, bisa sampai lima kali dalam sehari. Frekuensi BAB yang sering pada balita belum tentu dikatakan diare apabila konsistensi tinjanya seperti sehari pada umumnya. Yang perlu diketahui adalah orangtua tidak memberi obat pemampat feses atau tinja. Sebab jika tinja mampat kuman tidak


(20)

akan mati, tapi justru akan berkumpul didalam usus. Lebih baik kuman dikeluarkan dulu melalui BAB. Setelah kuman habis otomatis diare akan berhenti dengan sendirinya (Sarasvati, 2010).

Diare bisa disebabkan oleh berbagai faktor, antara lain akibat infeksi usus, karena kekurangan gizi, kelaparan, kekurangan zat putih telur, atau yang paling umum adalah karena tidak tahan terhadap makanan tertentu. Diare dapat disertai dengan rasa nyeri pada perut (kram) karena aktivitas usus yang berlebihan, kehilangan nafsu makan, muntah, dan penurunan berat badan (Maryunani, 2010).

Banyak hal yang dapat menyebabkan diare, dibawah ini akan dijelaskan penyebab diare (Sarasvati, 2010) yaitu:

1. Infeksi virus

Virus yang paling banyak menimbulkan diare adalah rotavirus. Infeksi karena rotavirus ditemukan pada anak sekitar 60% dan merupakan penyebab diare berair

(watery diarrhea) yang seringkali dikaitkan dengan dehidrasi. 2. Infeksi bakteri

Bakteri seperti Shigella, Vibrio cholera, Salmonella (non thypoid), Campylobacter jejuni maupun Esherichia coli bisa merupakan penyebab diare pada anak.

3. Parasit

Infeksi akibat parasit juga dapat menyebabkan diare. penyakit giardiasis misalnya. Penyakit ini disebabkan parasit mikroskopik yang hidup dalam usus.


(21)

4. Antibiotik

Jika anak (balita) mengalami diare selama pemakaian antibiotik, mungkin hal ini berhubungan dengan pengobatan yang sedang dijalaninya. Antibiotik bisa saja membunuh bakteri baik dalam usus selama pengobatan. Konsultasikan pada dokter mengenai hal ini. Namun, jangan hentikan pengobatan pada anak sampai dokter memberikan persetujuan.

5. Makanan dan minuman

Terlalu banyak jus, terutama jus buah yang mengandung sorbitol dan kandungan fruksosa yang tinggi atau terlalu banyak minuman manis dapat membuat perut balita kaget dan menyebabkan diare.

6. Alergi makanan

Alergi makanan merupakan reaksi sistem imun tubuh terhadap makanan yang masuk. Alergi makanan dapat menyebabkan berbagai reaksi dalam waktu singkat maupun setelah beberapa jam, salah satunya adalah reaksi yang menyebabkan diare.

7. Intoleransi makanan

Berbeda dengan alergi makanan, intoleransi makanan tidak dipengaruhi oleh sistem imun. Contohnya intoleransi makanan adalah intoleransi laktosa. Anak yang mengalami intoleransi laktosa, artinya anak tersebut tidak cukup memproduksi lactase suatu enzim yang dibutuhkan untuk mencerna laktosa (yaitu gula dalam susu sapi dan produk susu lainnya).


(22)

2.2.4 Penanganan dan Pecegahan Diare Secara Dini Pada Balita

Sakit adalah suatu kondisi yang dapat menimpa setiap orang. Kondisi ini sebagian dapat diupayakan pencegahannya. Orangtua khususnya ibu harus mengetahui bagaimana harus bersikap menghadapi kondisi anak yang sedang sakit sebelum mendapatkan perawatan petugas kesehatan, antara lain meliputi pengetahuan umum mengenai diagnosis penyakit seperti (panas, batuk, flu, diare, dan luka), tindakan yang diperlukan, pengobatan, dan upaya lainnya yang berkaitan. Orang tua sebaiknya mampu memberikan pengobatan yang efektif (Widoyono, 2010).

Penanganan diare pada anak (balita) cukup sederhana yaitu dengan memberikan cairan oralit sesuai dengan jenis atau tingkat diare yang diderita anak. Diare pada anak termasuk penyakit yang dapat sembuh dengan sendirinya

(self limited disease), hanya terkadang para orangtua khususnya ibu khawatir melihat keadaan anaknya sehingga perlu diterapi dan penanganan agar penyakit dapat lebih tertangani dengan optimal dan cepat sembuh (Purnamasari, 2011)

Diare umumnya ditularkan melalui 4 F, yaitu Food, Feces, Fly and Finger. Oleh karena itu upaya pencegahan diare yang praktis adalah dengan memutus rantai penularan tersebut. Beberapa upaya yang mudah diterapkan adalah :

- Penyiapan makanan yang higienis - Penyediaan air minum yang bersih - Kebersihan perorangan


(23)

- Pemberian ASI ekslusif

- Buang air besar pada tempatnya (WC, toilet) - Tempat buang sampah yang memadai

- Berantas lalat agar tidak menghinggapi makanan - Lingkungan hidup yang sehat (Sarasvati, 2010)

2.2.5 Pedoman WHO Dalam Penanganan Diare

Sampai saat ini, para ahli dan dokter anak di seluruh dunia masih mencari dan melakukan penelitian tentang penanganan diare pada anak yang paling optimal. WHO (World Health Organization), melalui anak cabangnya yang mengurusi anak-anak (UNICEF), sering mengadakan pertemuan untuk membahas hal ini. Saat ini, penanganan diare pada anak masih berpedoman pada kesepakatan WHO yang disebut 5 Ways to Threat Diarrhea , di Indonesia dikenal dengan Lintas Diare (Lima Langkah Tuntaskan Diare). Lima pendoman tersebut adalah (Sofwan, 2010):

1. Berikan oralit formula baru

2. Berikan Zinc selama 10 hari berturut-turut 3. Teruskan ASI-makan

4. Antibiotik selektif

5. Nasihat untuk ibu dan keluarga

1. Pemberian Oralit Formula Baru

Berbagai penelitian telah dilakukan untuk memperoleh formula oralit. Dan telah terbukti bahwa oralit dapat menurunkan angka kematian akibat dehidrasi. Oralit ini sangat berperan penting dalam mengatasi kehilangan cairan dan


(24)

elektrolit tubuh. Karena oralit juga mengandung elektrolit yang hilang bersama keluarnya tinja (Maryunani, 2010).

Langkah pertama dalam menangani diare pada anak adalah memberikan oralit. Oralit diberikan mulai dari pertama kali anak diare sampai diare berhenti. Pada waktu anak diare, selain cairan yang keluar melalui feses, ada garam tubuh yang ikut hilang bersama cairan tersebut. Garam tubuh tersebut berupa garam elektrolit seperti Natrium (Na), Kalium (K), Klorida (CI), Glukosa, dan Karbonat. Garam-garam elektrolit ini berguna untuk menjaga keseimbangan elektrolit di dalam tubuh. Jika tubuh kekurangan cairan dan garam-garam ini, maka dapat terjadi dehidrasi dan gangguan fungsi organ dan tubuh lainnya (Sofwan, 2010).

Secara umum, ada dua bentuk oralit yaitu dalam bentuk larutan yang sudah siap saji dan dalam bentuk bubuk. Keduanya dapat diperoleh dengan mudah di puskesmas, toko obat, dan apotek, serta tidak memerlukan resep dokter untuk membelinya harganya juga cukup terjangkau.

Berdasarkan penelitian diketahui bahwa oralit formula baru memiliki beberapa kelebihan dibandingkan oralit formula lama, yaitu (Sofwan, 2010):

1. Mengurangi volume feses hingga 25% 2. Mengurangi efek mual-muntah hingga 30%

3. Mengurangi pemberian cairan melalui intravena (infuse) bila anak perlu dirawat

Cara penggunaan oralit adalah dengan melarutkan satu bungkus oralit dalam 1 gelas (200 ml) air putih (boleh hangat atau biasa saja). Untuk melarutkan oralit gunakan air matang yang telah dingin dan tidak boleh menggunakan air mendidih.


(25)

Larutan yang telah 24 jam tidak boleh digunakan lagi. Semua isi bungkusan dilarutkan dalam 200 ml air. Oralit diberikan setiap kali anak menceret sebanyak 10 ml per kg berat badan anak. Jumlah yang diminum disesuaikan dengan usia dan tingkat keparahan diarenya. Aturan pakai oralit yaitu (Kementerian Kesehatan RI, 2011) :

Table 2.1 Aturan Pemakaian Oralit

Usia Mencegah

dehidrasi (tiap buang air besar/BAB)

Mengatasi Dehidrasi 3 jam pertama selanjutnya

tiap BAB >11 Bulan 0.5 gelas 1,5 gelas 0,5 gelas

1-4 Tahun 1 gelas 3 gelas 1 gelas

>5 tahun 1.5 gelas 6 gelas 1,5 gelas

Dewasa 2 gelas 12 gelas 2 gelas

Oralit dapat digantikan dengan cairan rumah tangga seperti sup, air tajin, air kelapa, dan larutan gula garam. Namun pada anak diare jangan diberikan minuman seperti soft drink atau kopi. Larutan gula garam dapat dibuat dengan mudah di rumah. Caranya adalah dengan 1 sendok teh gula ditambah ¼ sendok teh garam dilarutkan dalam 1 liter air putih (Purnamasari,2011).

2. Berikan Zinc Selama 10 Hari Berturut-turut

Langkah kedua yang perlu dilakukan untuk menangani diare adalah memberikan Zinc (seng) selama 10 hari berturut-turut. Zinc adalah zat gizi mikro yang ada di dalam tubuh dan berguna untuk menjaga kesehatan dan pertumbuhan anak. Zinc akan ikut terbuang atau keluar dari dalam tubuh pada saat anak diare, sehingga mengakibatkan jumlah Zinc di dalam tubuh berkurang. Itulah sebabnya dibutuhkan tambahan Zinc untuk menggantikannya. WHO dalam penelitiannya mengemukakan beberapa manfaat zinc (Sofwan, 2010), yaitu:


(26)

1. Mengurangi angka kejadian diare sebanyak 34%

2. Mengurangi durasi atau lama sakit karena diare akut sampai 20% 3. Mengurangi durasi atau lama sakit karena diare persisten sampai 24% 4. Mengurangi kegagalan terapi atau kematian akibat diare persisten

sebanyak 42%

5. Mengurangi angka pneumonia atau radang paru-paru sebesar 26%

Pada kasus diare akut, Zinc diberikan minimal 10 hari berturut-turut dan satu kali sehari. Sekalipun diare telah berhenti, misalnya setelah tiga hari, pemberian Zinc tetap dilanjutkan karena Zinc akan meningkatkan sisitem imun anak dan mengurangi angka kejadian diare berulang hingga 3 bulan ke depan. Saat ini, ada dua bentuk Zinc yang tersedia di Indonesia, yaitu sirup dan tablet. Zinc diberikan sesuai dengan usia anak. Zinc dalam bentuk tablet perlu dilarutkan dalam air sebelum ditelan. Caranya adalah dengan meletakkan tablet Zinc ke sendok berisi air, ditunggu hingga lart dan setelah itu baru diminum. Efek samping Zinc yang paling sering dilaporkan adalah mual dan muntah. Zinc dapat diberikan bersama-sama dengan obat lainnya, termasuk oralit. Zinc dapat diperoleh dengan mudah di toko obat dan apotek, namun harus diakui bahwa harganya cukup mahal. Meskipun demikian, konsumsi Zinc pada saat diare sangat menguntungkan karena biasanya setelah itu anak akan terlihat lebih fit, sehat, dan jarang sakit-sakitan (Sofwan, 2010).

3. Teruskan Pemberian ASI dan Makanan

Langkah ketiga adalah terus ASI (Air Susu Ibu) dan makan. Pemberian ASI untuk bayi dan balita tetap diteruskan pada saat diare. begitu juga dengan


(27)

pemberian makanan sehari-hari pada anak yang lebih besar. ASI tidak menyebabkan diare, justru dapat membantu mencegah diare. makanan sehari-hari tetap dilanjutkan dan cobalah perbanyak makanan yang berkuah, seperti sup, sereal, dan kuah sayur-sayuran. Selain digunakan untuk energi, makanan-makanan ini dan juga ASI (bila masih diberi ASI) akan menambah jumlah cairan yang masuk ke dalam tubuh sehingga meminimalkan kemungkinan terjadinya kekurangan cairan atau dehidrasi. Pemberian susu formula (untuk anak yang lebih besar) juga tetap dapat dilanjutkan selama diare (Sofwan, 2010).

Akibat makanan yang terbuang karena tidak diserap oleh usus, diare dapat menyebabkan gangguan nutrisi. Padahal pada kondisi ini, metabolism tubuh lebih tinggi sebagai upaya melawan infeksi, sehingga nutrisi yang diperlukan pun lebih banyak. Oleh karena itu, bukan suatu hal yang dibenarkan apabila selama diare menjadi takut memberi makan dan minum. Justru makan dan minum ini sangat diperlukan (Purnamasari, 2011).

Ketika anak (balita) mengalami diare, orangtua khususnya ibu harus memperhatkan aspek gizi pada anak karena balita masih dalam tahap pertumbuhan dan perkembangan, sehingga aspek gizi ini sangat penting. Tidak jarang, ketika anak mengalami diare fokus perhatian orangtua terlalu terpaku pada cara menyembuhkan dan menghentikan diare, sehingga akhirnya lupa untuk memenuhi kebutuhan nutrisi anak. Banyak orangtua ragu serta tidak mengetahui makanan apa yang sebaiknya diberikan ketika anak diare, sehingga akhirnya membatasi makanan yang dikonsumsi. Adapun, makanan yang perlu dihindari ketika anak mengalami diare akut dapat dilihat pada table berikut (Sofwan, 2010):


(28)

Tabel 2.2 Makanan yang Direkomendasikan dan yang Perlu Dihindari Makan yang direkomendasikan Makanan yang perlu dihindari

Makanan yang mengandung tepung Seperti: beras, kentang, bakmi, biscuit, Sereal (bubur, gandum), sup, Yogurt, Sayur-sayuran Buah-buahan

Minuman dengan pemanis buatan, Minuman bersoda.

Makanan berlemak atau mengandung lemak dalam jumlah tinggi.

Makanan atau minuman yang terbuat dari gula sederhana Seperti: jus apel buatan, sereal dengan pemanis buatan,dan lain-lain.

4. Antibiotika Selektif

Langkah keempat dalam penanganan diare pada anak (balita) adalah antibiotika selektif. Maksudnya adalah adalah cobalah untuk tidak memberikan antibiotika secara sembarangan ketika anak diare. Banyak orangtua yang

terkadang “sok pintar” dan langsung memberikan antibiotika ketika anak diare.

Terkadang setelah diberikan antibiotika diare semakin bertambah parah. Seharusnya orang tua lebih berhati-hati dan bijak dalam memberikan pengobatan pada anak. Di dunia medis dikenal istilah antibiotic associated diarrhea atau diare yang disebabkan karena pemberian antibiotika (Sofwan, 2010).

Antibiotika hanya digunakan untuk membunuh bakteri. Sedangkan diare akibat virus tidak dapat diatasi dengan antibiotik, dan justru bisa semakin memburuk. Pemberian antibiotik ini harus sesuai dengan indikasi, sehingga


(29)

Kerugian utama dari penggunaan antibiotika yang tidak rasional terletak pada sisi ekonomi atau biaya, karena pemberian antibiotika menambah biaya berobat yang mubazir. Kerugian kedua adalah meningkatkan resistensi kuman. Artinya, jika diberikan tidak dalam dosis dan durasi yang tepat justru akan membuat kuman atau bakteri menjadi kebal terhadap antibiotika tersebut. Dan kerugian ketiga adalah kemungkinan diare tidak membaik dan malahan memburuk (antibiotic associated diarrhea). Bila dikonsumsi, antibiotika tidak hanya akan membunuh bakteri jahat yang ada di dalam tubuh, melainkan juga membunuh sebagian bakteri baik yang ada di dalam tubuh, sehingga justru akan menyebabkan ketidakseimbangan bakteri di dalam tubuh (Sofwan, 2010).

5. Konseling Untuk Ibu dan Keluarga

Sejatinya, langkah kelima tidak termasuk dalam konteks penanganan diare, melainkan lebih kepada edukasi para orangtua mengenai perlunya kewaspadaan bila terjadi hal-hal yang lebih serius terhadap diare yang dialami balita. Langkah ini diberikan oleh para praktisi kesehatan kepada orangtua agar selalu memantau keadaan balita dan bila terjadi hal-hal yang lebih serius agar segera dibawa kembali ke dokter. Sekalipun diare akut tergolong ringan, tetapi pada beberapa keadaan kesehatan balita dapat memburuk dan bahkan membahayakan jiwa. Dokter dan praktisi kesehatan lainnya perlu mengedukasi para orangtua mengenai cara pembuatan dan pemberian oralit, Zinc dan informasi lain seputar masalah diare akut (Sofwan, 2010).

Segala kekhawatiran orangtua mengenai keadaan anaknya sebaiknya segera dikonsultasikan dengan dokter. Pelaksanaan utama keberhasilan


(30)

penanganan diare di komunitas adalah orangtua. Hal ini sangat diperlukan bagi orang tua, terutama ibu, untuk mengenali diare dan membantu penyembuhannya (Nagiga dan Arti, 2009).

2.2.6 Pencegahan Perilaku Berisiko Terjadinya Diare Pada Balita

Diare pada balita merupakan penyakit yang dapat dicegah. Beberapa perilaku berikut dapat menjadi risiko terjadinya diare pada anak, yaitu:

1. Pengunaan botol susu

Botol susu yang jarang dibersihkan dapat menjadi media transportasi kuman kedalam pencernaan balita. Oleh karena itu perlu untuk selalu mencuci botol susu hingga bersih dan sebaiknya direbus sebelum digunakan lagi, agar kuman yang menempel pada botol susu tersebut dapat mati dalam pemanasan.

2. Makanan masak dalam suhu kamar

Makanan masak yang disimpan pada suhu kamar untuk dimakan kemudian, dapat memudahkan terjadinya pencemaran akibat terjadinya kontak dengan permukaan alat-alat yang terpapar. Bila makanan disimpan beberapa jam dalam suhu kamar, kuman dapat berkembang biak pada makanan tersebut.

3. Air minum yang tercemar kuman

Air minum yang tercemar bisa terjadi melalui dua hal, yaitu tercemar pada sumber airnya dan tercemar pada tempat penyimpanan minumannya.

4. Tidak cuci tangan setelah buang air besar atau membuang tinja balita

Mencuci tangan merupakan hal sederhana dan sangat penting, terutama setelah terpapar dengan sesuatu yang mengandung kuman. Apalagi setelah itu


(31)

akan menyiapkan makanan. Kuman yang masih menempel pada tangan yang belum dicuci dapat terkontaminasi pada makanan.

5. Tidak membuang tinja dengan benar

Orang sering menganggap tinja balita tidak berbahaya, padahal tinja balita juga mengandung kuman. Demikian juga dengan tinja binatang, juga mengandung kuman.

6. Pengelolaan dan pembuangan sampah sembarangan

Pengelolaan dan pembuangan sampah yang baik supaya makanan tidak tercemar serangga (lalat, kecoa, kutu, lipas, dan lain-lain) (Purnamasari, 2011).

2.3 Landasan Teori

Dalam menyusun kerangka konsep mengenai gambaran pengetahuan dan sikap ibu terhadap upaya penanganan diare secara dini pada balita peneliti mengacu pada teori Social Learning Theory (SLT). Menurut Bandura (1977) ada tiga komponen yang memepengaruhi perilaku seseorang, yaitu faktor individu itu sendiri Person (P), terdiri dari personality, karakteristik seseorang, proses kognisi, self regulation atau kemampuan seseorang untuk mengatur dirinya sendiri. Behavior (B) atau perilaku, hal yang di pengaruhi yaitu nature atau alamiah, frekuensi, dan intensitas dari suatu perilaku seperti suatu perilaku dapat dilakukan atau ditiru seseorang dari seringnya seseorang melihat atau terpapar oleh suatu perilaku tersebut dan reinforcement/punishment yang berasal dari diri sendiri atau lingkungan berfungsi sebagai kontrol bagi seseorang mengenai tingkah laku mereka. Environment (E) atau lingkungan yang terdiri dari rangsangan atau stimulus, baik secara sosial maupun secara fisik misalnya teman sebaya, media


(32)

massa atau lingkungan yang mempengaruhi seseorang melakukan suatu perilaku baru pada dirinya yang mendukung atau tidak mendukung seseorang melakukan suatu perilaku baru tersebut. Berikut adalah skema dari reciprocal determinism.

Gambar 2.2 Kerangka Teori Penelitian Individu

Karakteristik : (Umur, Pendidikan, Pekerjaan, Jumlah Anak) Kepribadian:

(Pegetahuan dan Sikap ibu terhadap upaya penanganan diare secara dini pada balita)

Lingkungan

(Stimulus/rangsangan: keluarga, petugas kesehatan, media massa, dan teman)


(33)

2.4 Krangka konsep

Berdasarkan Social Learning Theory yang dikemukakan oleh Bandura (1977) mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku individu, maka kerangka konsep penelitian ini, sebagai berikut :

Gambar 2.3 Kerangka Konsep

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran pengetahuan dan sikap ibu terhadap upaya penanganan diare secara dini pada balita di wilayah kerja UPTD Puskesmas Kecamatan Gunungsitoli Utara.Faktor yang di teliti sesuai dengan teori SLT yaitu pada faktor pribadi individu (Person) yaitu umur,

Pribadi Individu

 Karakteristik :  Umur

 Pendidikan  Pekerjaan  Jumlah Anak

 Pengetahuan ibu terhadap penanganan diare secara dini

 Sikap ibu terhadap penanganan diare secara dini

Lingkungan  Petugas Kesehatan  Media Elektronik/

Cetak  Keluarga  Teman

Tindakan ibu melakukan penanganan diare

secara dini pada balita


(34)

pendidikan, pekerjaan, jumlah anak, pengetahuan dan sikap ibu terhadap upaya penanganan diare secara dini pada balita. Faktor lingkungan (Environment) yang terdiri dari keluarga, petugas kesehatan, teman dan media massa. Perilaku (Behavior) yaitu gambaran tindakan ibu melakukan penanganan diare secara dini pada balita.


(1)

Kerugian utama dari penggunaan antibiotika yang tidak rasional terletak pada sisi ekonomi atau biaya, karena pemberian antibiotika menambah biaya berobat yang mubazir. Kerugian kedua adalah meningkatkan resistensi kuman. Artinya, jika diberikan tidak dalam dosis dan durasi yang tepat justru akan membuat kuman atau bakteri menjadi kebal terhadap antibiotika tersebut. Dan kerugian ketiga adalah kemungkinan diare tidak membaik dan malahan memburuk (antibiotic associated diarrhea). Bila dikonsumsi, antibiotika tidak hanya akan membunuh bakteri jahat yang ada di dalam tubuh, melainkan juga membunuh sebagian bakteri baik yang ada di dalam tubuh, sehingga justru akan menyebabkan ketidakseimbangan bakteri di dalam tubuh (Sofwan, 2010).

5. Konseling Untuk Ibu dan Keluarga

Sejatinya, langkah kelima tidak termasuk dalam konteks penanganan diare, melainkan lebih kepada edukasi para orangtua mengenai perlunya kewaspadaan bila terjadi hal-hal yang lebih serius terhadap diare yang dialami balita. Langkah ini diberikan oleh para praktisi kesehatan kepada orangtua agar selalu memantau keadaan balita dan bila terjadi hal-hal yang lebih serius agar segera dibawa kembali ke dokter. Sekalipun diare akut tergolong ringan, tetapi pada beberapa keadaan kesehatan balita dapat memburuk dan bahkan membahayakan jiwa. Dokter dan praktisi kesehatan lainnya perlu mengedukasi para orangtua mengenai cara pembuatan dan pemberian oralit, Zinc dan informasi lain seputar masalah diare akut (Sofwan, 2010).

Segala kekhawatiran orangtua mengenai keadaan anaknya sebaiknya segera dikonsultasikan dengan dokter. Pelaksanaan utama keberhasilan


(2)

penanganan diare di komunitas adalah orangtua. Hal ini sangat diperlukan bagi orang tua, terutama ibu, untuk mengenali diare dan membantu penyembuhannya (Nagiga dan Arti, 2009).

2.2.6 Pencegahan Perilaku Berisiko Terjadinya Diare Pada Balita

Diare pada balita merupakan penyakit yang dapat dicegah. Beberapa perilaku berikut dapat menjadi risiko terjadinya diare pada anak, yaitu:

1. Pengunaan botol susu

Botol susu yang jarang dibersihkan dapat menjadi media transportasi kuman kedalam pencernaan balita. Oleh karena itu perlu untuk selalu mencuci botol susu hingga bersih dan sebaiknya direbus sebelum digunakan lagi, agar kuman yang menempel pada botol susu tersebut dapat mati dalam pemanasan.

2. Makanan masak dalam suhu kamar

Makanan masak yang disimpan pada suhu kamar untuk dimakan kemudian, dapat memudahkan terjadinya pencemaran akibat terjadinya kontak dengan permukaan alat-alat yang terpapar. Bila makanan disimpan beberapa jam dalam suhu kamar, kuman dapat berkembang biak pada makanan tersebut.

3. Air minum yang tercemar kuman

Air minum yang tercemar bisa terjadi melalui dua hal, yaitu tercemar pada sumber airnya dan tercemar pada tempat penyimpanan minumannya.

4. Tidak cuci tangan setelah buang air besar atau membuang tinja balita

Mencuci tangan merupakan hal sederhana dan sangat penting, terutama setelah terpapar dengan sesuatu yang mengandung kuman. Apalagi setelah itu


(3)

akan menyiapkan makanan. Kuman yang masih menempel pada tangan yang belum dicuci dapat terkontaminasi pada makanan.

5. Tidak membuang tinja dengan benar

Orang sering menganggap tinja balita tidak berbahaya, padahal tinja balita juga mengandung kuman. Demikian juga dengan tinja binatang, juga mengandung kuman.

6. Pengelolaan dan pembuangan sampah sembarangan

Pengelolaan dan pembuangan sampah yang baik supaya makanan tidak tercemar serangga (lalat, kecoa, kutu, lipas, dan lain-lain) (Purnamasari, 2011). 2.3 Landasan Teori

Dalam menyusun kerangka konsep mengenai gambaran pengetahuan dan sikap ibu terhadap upaya penanganan diare secara dini pada balita peneliti mengacu pada teori Social Learning Theory (SLT). Menurut Bandura (1977) ada tiga komponen yang memepengaruhi perilaku seseorang, yaitu faktor individu itu sendiri Person (P), terdiri dari personality, karakteristik seseorang, proses kognisi, self regulation atau kemampuan seseorang untuk mengatur dirinya sendiri. Behavior (B) atau perilaku, hal yang di pengaruhi yaitu nature atau alamiah, frekuensi, dan intensitas dari suatu perilaku seperti suatu perilaku dapat dilakukan atau ditiru seseorang dari seringnya seseorang melihat atau terpapar oleh suatu perilaku tersebut dan reinforcement/punishment yang berasal dari diri sendiri atau lingkungan berfungsi sebagai kontrol bagi seseorang mengenai tingkah laku mereka. Environment (E) atau lingkungan yang terdiri dari rangsangan atau stimulus, baik secara sosial maupun secara fisik misalnya teman sebaya, media


(4)

massa atau lingkungan yang mempengaruhi seseorang melakukan suatu perilaku baru pada dirinya yang mendukung atau tidak mendukung seseorang melakukan suatu perilaku baru tersebut. Berikut adalah skema dari reciprocal determinism.

Gambar 2.2 Kerangka Teori Penelitian Individu

Karakteristik : (Umur, Pendidikan, Pekerjaan, Jumlah Anak) Kepribadian:

(Pegetahuan dan Sikap ibu terhadap upaya penanganan diare secara dini pada balita)

Lingkungan (Stimulus/rangsangan: keluarga, petugas kesehatan, media massa, dan teman)


(5)

2.4 Krangka konsep

Berdasarkan Social Learning Theory yang dikemukakan oleh Bandura (1977) mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku individu, maka kerangka konsep penelitian ini, sebagai berikut :

Gambar 2.3 Kerangka Konsep

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran pengetahuan dan sikap ibu terhadap upaya penanganan diare secara dini pada balita di wilayah kerja UPTD Puskesmas Kecamatan Gunungsitoli Utara.Faktor yang di teliti sesuai dengan teori SLT yaitu pada faktor pribadi individu (Person) yaitu umur,

Pribadi Individu  Karakteristik :  Umur

 Pendidikan  Pekerjaan  Jumlah Anak  Pengetahuan ibu

terhadap penanganan diare secara dini  Sikap ibu terhadap

penanganan diare secara dini

Lingkungan  Petugas Kesehatan  Media Elektronik/

Cetak  Keluarga  Teman

Tindakan ibu melakukan penanganan diare

secara dini pada balita


(6)

pendidikan, pekerjaan, jumlah anak, pengetahuan dan sikap ibu terhadap upaya penanganan diare secara dini pada balita. Faktor lingkungan (Environment) yang terdiri dari keluarga, petugas kesehatan, teman dan media massa. Perilaku (Behavior) yaitu gambaran tindakan ibu melakukan penanganan diare secara dini pada balita.


Dokumen yang terkait

Gambaran Pengetahuan dan Sikap Ibu Terhadap Upaya Penanganan Diare secara Dini pada Balita di Wilayah Kerja UPTD Puskesmas Kecamatan Gunungsitoli Utara tahun 2015

3 79 140

Gambaran Pengetahuan, Sikap dan Perilaku Ibu Yang Memiliki Balita Terhadap Penyakit Diare Di RW.03 Kelurahan Sukawarna Wilayah Kerja Puskesmas Sukawarna Kota Bandung Tahun 2007.

3 14 27

Gambaran Pengetahuan dan Sikap Ibu dalam Pencegahan dan Penaggulangan Secara Dini Kejadian Diare Pada Balita Di Desa Hegarmanah Jatinangor.

0 1 1

Gambaran Pengetahuan dan Sikap Ibu Terhadap Upaya Penanganan Diare secara Dini pada Balita di Wilayah Kerja UPTD Puskesmas Kecamatan Gunungsitoli Utara tahun 2015

0 0 17

Gambaran Pengetahuan dan Sikap Ibu Terhadap Upaya Penanganan Diare secara Dini pada Balita di Wilayah Kerja UPTD Puskesmas Kecamatan Gunungsitoli Utara tahun 2015

0 0 2

Gambaran Pengetahuan dan Sikap Ibu Terhadap Upaya Penanganan Diare secara Dini pada Balita di Wilayah Kerja UPTD Puskesmas Kecamatan Gunungsitoli Utara tahun 2015

0 0 11

Gambaran Pengetahuan dan Sikap Ibu Terhadap Upaya Penanganan Diare secara Dini pada Balita di Wilayah Kerja UPTD Puskesmas Kecamatan Gunungsitoli Utara tahun 2015

0 0 3

Gambaran Pengetahuan dan Sikap Ibu Terhadap Upaya Penanganan Diare secara Dini pada Balita di Wilayah Kerja UPTD Puskesmas Kecamatan Gunungsitoli Utara tahun 2015

0 0 33

HUBUNGAN PENGETAHUAN, SIKAP IBU DAN KETERSEDIAAN FASILITAS TERHADAP UPAYA IBU DALAM PENCEGAHAN DIARE PADA ANAK BALITA DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS BETAET KABUPATEN KEPULAUAN MENTAWAI TAHUN 2015 - Repositori Universitas Andalas

0 0 16

HUBUNGAN PENGETAHUAN DAN SIKAP IBU DENGAN PRAKTIK PENANGANAN BALITA DIARE DI RUMAH PADA WILAYAH PUSKESMAS KALIMANAH PURBALINGGA

0 0 13