DINAMIKA POLITIK INDONESIA bab 1
DINAMIKA POLITIK INDONESIA
Setelah bangsa Indonesia menyatakan kemerdekaannya pada 17 Agustus
1945, gagasan demokrasi dalam kehidupan politik mendapat tempat yang
sangat menonjol. Para pemimpin bangsa Indonesia saat itu bersepakat untuk
memilih demokrasi dalam kehidupan bernegara yang kemudian di tungkan
kedalam UUD 1945. Pada awal perjalanannya, melalui pasal IV aturan
pealihan UUD 1945, presiden di beri kekuasaan sementara untuk melakukan
kekuasaan MPR,DPR,dan DPA sebelum lembaga-lembaga konstitusional
dibentuk sebagaimana mestinya.
Sebelum sempat terjadi perdebatan mengenai system pemerintahan yang di
pelopori oleh kaum muda dengan munculnya gerakan ‘parlementerisme’.
Kaum muda menghendaki agar system pemerintahan yang dibentuk adalah
sistem parlementer, bukan presidensial. Beberapa alasan yang di kemukakan
antara lain sebagai berikut:
• Adanya ketidaksetujuan terhadap peletakan kekuasaan di tangan Soekarno
yang pemerintahannya di dominasi oleh orang – orang yang pada Zaman
pendudukan Jepang menduduki jabatan penting,
• Adanya pandangan bahwa system presidensial memungkinkan dibuatnya
produk darurat legislasi yang berarti Negara terlalu kuat dan tidak
mencerminkan demokrasi
• Pemerintahan yang ada hanya untuk memberi kesan kepada dunia
Internasional bahwa Negara ini adalah Negara demokrasi yang bukan boneka
Jepang
• Adanya keinginan untuk menghalau kegiatan politik Subardjo untuk
menjadikan partai persatuan Nasional sebagai partai tunggal
Secara umum dinamika perjalanan politik Indonesia dapat di bagi kedalam 5
priode.
1. Periode Demokrasi Liberal (1945-1959)
Dinamika politik pada priode demokrasi liberal, dapat dilihat berdasarkan
aktifitas politik kenegaraan berikut:
a) Awal kemerdekaan proklamasi 17 Agustus 1945,Presiden yang untuk
sementara memegang jabatan rangkap segera membentuk dan melantik
Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP)tanggal 29 Agustus 1945 dengan
ketua Kasman Singodimedjo untuk membantu tugas –tugas presiden.
b) Untuk menghindari kekuasaan Presiden yang terpusat ,timbul usaha –
usaha untuk membangun corak pemerintahan yang lebih demokratis, yaitu
‘parlementer’.Usaha tersebut mengkristal ketika pada 7 Oktober 1945 lahir
memorandum yang ditandatangani oleh 50 orang (dari 150 orang) anggota
KNIP yang berisi dua hal:
1) Mendesak presiden agar menggunakan kekuasaan istimewanya untuk
segera membentuk MPR
2) Sebelum MPR terbentuk , hendaknya anggota – anggota KNIP dianggap
sebagai (diberi kewenangan untuk melakukan fungsi dan tugas) MPR
c) Pada 16 Oktober 1945, KNIP menindaklanjuti usulannya kepada
pemerintah yang kemudian disetujui dengan keluarnya Maklumat Wakil
Presiden No. X tahun 1945 yang diktumnya berbunyi sebagai berikut:
“Bahwa Komite Nasional Pusat, sebelum terbentuk MPR dan DPR di serahi
kekuasan legislative dan ikut menetapkan GBHN, serta menyetujui bahwa
pekerjaan Komite Nasional Pusat sehari-hari berhubung dengan gentingnya
keadaan yang di jalankan oleh sebuah Badan Pekerja yang di pilih di antara
mereka dan yang bertanggung jawab kepada Komite Nasional Pusat.
d) Untuk mendorong kearah cabinet parlementer, atas usul BP-KNIP pada 3
november 1945 dikeluarkan Maklumat Pemerintah yang pokok isinya adalah
“agar aliran-aliran dalam masyarakat segera membentuk partai politiknya
sebelum di langsungkan Pemilu yang akan diselenggarakan pada bulan Juni
1945”. Maklumat inilah yang menjadi dasar banyak partai atau multipartai.
e) Sebagai tindak lanjut Maklumat Wakil Presiden No.X tahun 1945,
kemudian keluarlah Maklumat Pemerintah 14 November 1945 tentang
Susunan Kabinet berdasarkan sisitem parlementer. Sejak saat itu,tanpa
mengubah UUD 1945 sistem pemerintahan bergeser dari cabinet presidensial
ke cabinet parlementer (liberal-dmokratis)
f) Pergeseran politik Indonesia kembali mengalami dinamika sejak di
berlakukan Konstitusi RIS 1949 yang menerapkan “perlementerisme”
dengan “ federalisme”. Sistem federalism dalam mekanisme hubungan antara
pusat dan daerah (Negara bagian) meletakkan pemerintah pemerintah pusat
dan pemerintah Negara-Negara bagian dalam susunan yang sederajat.
Sehingga untuk parlemen, terdiri dari 2 badan (bikameral) yaitu: senat
(mewakili negra bagian) dan dewan perwakilan rakyat.
g) Pada 17 Agustus 1950, RIS resmi bubar dan negra Indonesia kembali
kebentuk Negara kesatuan. Namun system politik demokrasi liberal yang
diterpakan menunjukkan pola hubungan antara pemerintah dengan
parlemen sebagai bureu-nomia, yaitu pemerintahn partai – partai. Karena
sejak berlakunya UUDS 1950 (kurun waktu), partai-partai melalui parlemen
seringkali menjatuhkan mosi tidak percaya kepada cabinet sehingga cabinet
yang ada hanya berumur rata-rata 1,5 tahun. Walaupun tahun 1955 pernah
dilaksanakan Pemilu pertama, namun di segala bidang kehidupan terjadi
instabilitas.
2. Periode Demokrasi Terpimpin ( 1959 – 1966 )
Demokrasi Terpimpin adalah paham demokrasi berdasarkan kerakyatan
yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan, yang berintikan musyawarah untuk mufakat
secaa gotong-royong antara semua kekuatan nasional yang Progresif
Revolusioner berporoskan Nasakom (Nasionalisme, Agama dan Komunisme).
Dinamika politik pada periode demokrasi terpimpin dapat dilihat
berdasarkan aktivitas politik kenegaraan sebagai berikut.
a) Keluarnya dekrit presiden 5 juli 1959 telah mengakhiri system politik
liberal yang kemudian diganti dengan system”demokrasi terpimpin” dan
berlakunya kembali UUD 1945.
b) Dekrit presiden 5 juli 1959, selai didukung oleh angkata darat dan
mahkamah agung, juga di dukung oleh rakyat karena kegagalan konstituante
dalam melaksanakan tugasnya yaitu membuat UUD yang baru.
c) Situasi politik pada era reformasi demokrasi terpimpin diwarnai oleh tarik
menarik tiga kekuatan politik utama yang saling memanfaatkan, yaitu
Soekarno, Angkatan Darat dan PKI.Soekarno memerlukan PKI untuk
menghadapi Angkatan Darat yang berubah menjadi kekuatan politik yang
menyaingi kekuasaan Soekarno, PKI memerlukan Soekarno untuk
mendapatkan perlindungan dari presiden dalam melawan Angkatan Drata,
sedangkan Angkatan Darat membutuhkan Soekarno untuk mendapatkan
legitimasi bagi keterlibatannya di dalam politik.
d) Demokrasi Terpimpin seperti yang tercantum di dalam Tap MPRS No.
VIII/MPRS/1965, mengandung ketentuan tentang mekanisme pengambilan
keputusan berdasarkan ‘musyawarah mufakat’. Jika mufakat bulat tidak
dapat tercapai, maka keputusan tentang masalah yang dimusyawarahkan itu
diserahkan kepada presiden untuk diambil keputusan.
e) Pilar-pilar demokrasi dan kehidupan kepartaian serta legislative menjadi
sangat lemah, sebaliknya presiden sebagai kepala eksekutif menjadi sangat
kuat. Sebagai contoh, DPR yang dibentuk melalui Pmilu 1955 dibubarkan
oleh presiden pada tahun 1960. Sebagai pengganti, DPR-GR yang dibentuk
lebih banyak sekedar membrikan legitimasi atas keinginan-keinginan
Presiden.
3. Periode Orde Baru (1996-1998)
Tragedi nasional pembunuhan enam orang jenderal Angkatan Darat pada 1
Oktober 1965 telah memunculkan krisis politik sehingga terjadi kemerosotan
kekuasaan soekarno secara tajam. Tarik menarik kekuasaan antara
Soekarno, PKI, dan angkatan Darat, akhirnya dimenagkan oleh Angkatan
Darat.
Soeharto mendapat mandate dari soekarno untuk memulihkan keamanan
melalui Surat Perintah 11 Maret 1966 yang dikenal dengan Supersemar yang
isinya “pelimpahan kekuasaan kepada Soeharto untuk mengambil segala
tindakan yang diperlukan unutk menjamin keamanan dan stabilitas
pemerintahan serta keselamatan pribadi presiden” SP 11 Maret member jalan
bagi tampilnya militer (terutama Angkatan Darat) sebagai pemeran utama
dalam politik Indonesi. Soeharto dan jajaran TNI AD mengambil langkahlangkah penting dengan membubarkan PKI dan ormasnya, memburu para
aktivis PKI, dan menciptakan stabilitas keamana. Kendali kekuasaan praktis
berada di tangan Soeharto dan jajaran pemimpin TNI AD sejak 12 Maret
1966 bersamaan dengan pembubaran PKI (diperkuat dengan keluarnya
Ketetapan MPRS No. XXV/MPRS/1966). Selanjutnya pemerintahan Soeharto
yang tampil menggantikan Soekarno sejak 12 Maret 1967 menamakan diri
pemerintahan orde baru.
Istilah Orde Baru, yang memisahkan diri dari Orde Lama, muncul sewaktu
diselenggarakab seminar II TNI/AD di SESKOAD Bandung pada tanggal 2531 April 1966. Orde Baru adalah suatu tatanan seluruh perkehidupan rakyat,
bangsa dan Negara yang diletakkan kembali kepada kemurnian Pancasila
UUD 1945. Orde Baru berlandaskan pada pancasila (landasan ideal), UUD
1945(landasan konstitusional), dan TAP MPRS/MPR (landasan Operasional).
Dinamika Politik pada periode Orde Baru, dapat dilihat berdasarkan
aktivitas politik kenegaraan sebagai berikut:
a. Terjadinya krisis politik yang luar biasa, yaitu banyaknya demonstrasi
mahasiswa, pelajar dan ormas-ormas onderbow parpol yang hidup dalam
tekanan selama era demokrasi terpimpin, sehingga melahirkan Tiga Tuntutan
Rakyat (Tritura) yaitu:
1) Bubarkan PKI,
2) Bersihkan Kabinet Dwi Kora dari PKI,
3) Turunkan harga/perbaikan ekonomi.
b. Pemerintahan Orde Baru lebih memprioritaskan pembanguan ekonomi,
dan pada sisi lain rezim ini berupaya menciptakan stabilitas politik dan
keamanan. Pengalaman masa lalu dengan demokrasi liberal dan demokrasi
terpimpin telah berakibat berlarut-larutnya instabilitas politik sehingga
Negara tidak memikirkan pembangunan ekonomi secara serius. Namun
demikian, upaya untuk membangun stabilitas tersebut dilakukan dengan
mengekang hak-hak politik rakyat atau demokrasi.
c. Pada awal pemerintahan Orde Baru, Parpol dan Media massa diberi
kebebasan unutk melancarkan kritik dan pengungkapan realita di dalam
masyarakat. Namun sejak dibentuknya format politik baru yang dituangkan
dalam UU No.15 dan 16 Tahun 1969 (tentang pemilu dan Susduk
MPR/DPR/DPRD) menggiring masyarakat Indonesia kea rah otoritarian.
Dalam UU tersebut dinyatakan bahwa pengisian 1/3 kursi anggota MPR dan
1/5 anggota DPR dilakukan melalui pengangkatan secara langsung tanpa
melalui Pemilu.
d. Kemenangan Golkar pada Pemilu 1971 mengurangi oposisi terhadap
pemerintah di kalangan sipil, kareba Golkar sangat dominan, sementara
partai-parti lain berada di bawah pengawasan/ control pemerintah.
Kemenangan ini juga mengantarkan Golkar menjadi partai hegemonik yang
kemudian bersama ABRI dan birokrasi menjadikan dirinya sebagai tumpuan
utama rezim Orde Baru unutk mendominasi semua proses politik.
e. Pada 1973 pemerintah melaksanakan penggabungan Sembilan Parpol
peserta Pemilu 1971 ke dalam 2 Parpol, yaitu Partai Persatuan Pembangunan
(PPP) yang menggabungkan partai-partai Islam dan Partai Demokrasi
Indonesia (PDI) yang merupakan gabungan partai-partai nasional dan
Kristen. Penggabungan (fusi) ini mengakibatkan merosotnya perolehan 2
Parpol pada Pemilu 1977, sementara Golkar mendominasi perolehan suara.
Dominasi Golkar ini terus berlanjut hingga kemenangan terbesarnya
diperoleh pada tahun 1997.
f. Selama Orde Baru berkuasa, pilar-pilar demokrasi seperti Parpol dan
Lembaga Perwakilan Rakyat berada dalam kondisi lemah dan selalu
dibayangi oleh control dan penetrasi birokrasi yang sangat kuat. Anggota
DPR selalu dibayang-bayangi oleh mekanisme recall (penggantian anggota
DPR karena dianggap telalu kritis atau karena pelanggaran lain), sementara
Parpol tidak mempunyai otonomi internal.
g. Eksekutif sangat kuat sehingga partisipasi politik dari kekuatan-kekuatan
di luar birokrasi sangat lemah. Kehidupan pers selalu dibayang-bayangi oleh
pencabutan Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP). Sementara rakyat
tidak diperkenankan menyelenggarakan aktivitas social dan politik tanpa izin
dari Negara. Praktis tidak muncul kekuatan civil society yang mampu
melakukan control dan menjadi kekuatan penyeimbang bagi kekuasaan
pemerintah Soeharto yang sangat dominan.
Perbedaan Penerapan Otoritarianisme
Tidak ada system kepartaian selama masa Demokrasi Terpimpin
Tumpuan kekuatan ada pada Presiden Soekaro
Jalan Politik sebagai kebijakan cenderung inkonstitusional
Melahirkan system kepartaian yang hegemonic Obsesinya adalah
pemusatan kekuasaan untuk mencegah disentegrasi
Tumpuan kekuatan selain pada Presiden Soeharto, juga pada ABRI, Golkar
dan Birokrasi
Lebih memilih jalan politik justifikasi dengan membentuk berbagai
perangkat hokum untuk membenarkan kebijakan otoriter
Memiliki obsesi membangun stabilitas nasional sebagai prasyarat kelancaran
pembangunan ekonomi.
Terdapat perbedaan mendasar antara kebijakan pemerintah Soekarno
dengan pemerintah Soeharto. Pada awalnya Soekarno cenderung mendorong
kebebasan politik, tetapi setelah terjadi kebuntuan politik dan justru
mengambil alih kendali melalui kebijakan Demokrasi Terpimpin. Dengan
demikian segala kebijakan terpusat di tangan Soekarno hingga turunnya dia
dari kekuasaan pada 1966.
Kepemimpinan soeharto juga sangat terpusat, tetapi da membangun
kekuasaannya dengan tiga pilar utama, yaitu ABRI, Golkar dan Birokrasi.
Berbeda dengan soekarno, Soeharto justru membatasi hak-hak politik
masyarakat dengan alas an stabilitas keamanan. Pembangunan ekonomi
dikedepankan, namun ruang kebebasan dipersempit. Akibatnya,
pemerintahan soeharto berjalan nyaris tanpa control masyarakat sehingga
kemajuan ekonomi digerogoti oleh maraknya Korupsi, Kolusi dan epotisme.
4. Periode Reformasi (1998-sekarang)
Era Reformasi disebut juga sebagai Era Kebangkitan Demikrasi. Presiden
B.j. Habibie dalam pidato kenegaraan di hadapan DPR/MPR (tanggal 15
Agustus 1998) antara lain menyebutkan:
a. Esensi Reformasi Nasional adalah koreksi terencana, melembaga dan
berkesiambungan tehadap seluruh penyimpangan yang telah tejadi dalam
bidang ekonomi, politik dan hokum.
b. Sasarannya adalah agar bangsa Indonesia bangkit kembali dengan suasana
yang lebih terbuka, lebih teratur dan lebih demokratis
Sebagian keberhasilan pemerintahan Orde Baru dalam melaksanakan
pembangunan ekonomi harus diakui sebagai prestasi besar bagi rakyat dan
bangsa Indonesia. Indikasi keberhasilan tersebut antara lain
tingkatpendapatan per kapita pada tahun 1977 mencapai angka mendekati
US$ 1200 dengan pertumbuhan sebesar 7%. Ditambah pula meningkatnya
sarana dan prasarana fisik infrastuktur yang dapat dinikmati oleh sebagian
besar masyarakat Indonesia.
Namun keberhasilan ekonomi yang dicapai pada masa Orde Baru, tidak
diimbangi oleh pembangunan mental dan bidang-bidang lain. Akibat
langsung yang dapat dirasakan oleh masyarakat menjelang runtuhnya Orde
Baru adalah praktik Korupsi, kolusi dan Nepotisme (KKN) yang semakin
marak dalam berbagai bidang kehidupan. Hal ini selain mengakibatkan
terjadinya krisis kepercayaan, juga telah menghancurkan nilai-nilai
kejujuran dan keadilan, etika politik, moral hokum, dasar-dasar demokrasi
dan sebdi-sendi agama.
Khusus di bidang politik, krisis kepercayaan tersebut direspon oleh
masyarakat melalui kelompok penekan (pressure group) dengan mengadakan
berbagai macam unjuk rasa/demostrasi yang dipelopori oleh pelajar,
mahasiswa, dosen, praktisi, LSM dan politisi. Gelombang demonstrasi yang
menyuarakan ‘reformasi’ begitu deras mengalir dengan dukungan dari
berbagai kalangan yang semakin kuat dan meluas. Akhirnya pada tanggal 21
Mei 1998 Presiden soeharto menyatakan mengundurkan diri. Wakil Presiden
B.J Habibie yang menggantikan kepeimpinan nasional di Indonesia dilantik
dihadapan Ketua MA dan Ketua serta Wakil Ketua DPR/MPR.
Dinamika politik pada periede era Reformasi, dapat dilihat berdasarkan
aktivitas politik kenegaraan sebagai berikut:
a. Kebijakan pemerintah yang member ruang gerak lebih luas terhadap hakhak untuk mengeluarkan pendapat secara lisan maupun tulisan yang
terwujud dalam bentuk peraturan perundang-undangan. Misalnya
dikeluarkannya UU No. 2/1999 tentang Partai Politik yang memungkinkan
multipartai, UU No. 12/1999 tentang Pegawai Negeri yang menjadi anggota
Parpol, dan sebagainya.
b. Upaya mewujudkan pemerintahan yang bersih dari KKN, berwibawa dan
bertanggung jawab dibuktikan dengan dikeluarkannya Ketetapan MPR
No.IX/MPR/1998. Ketetapan MPR ini ditindaklanjuti dengan dikeluarkannya
UU No. 30 Tahun 2002 tentang Pembentukan Komisi Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi dan sebagainya.
c. Lembaga legislative dan organisasi social politik sudah memiliki
keberanian unutk menyatakan pendapatnya terhadap eksekutif yang
cenderung lebih seimbang dan proporsional.
d. Satu hal yang membanggakan kita dalam reformasi politik adalah adanya
pembatasan jabatan Presiden, dan untuk pemilu 2004 Presiden dan Wakil
Presiden tidak dipilih lagi oleh MPR melainkan dipilih langsung oleg rakyat.
Demikian juga untuk anggota legislative, mereka telah diketahui secara
terbuka oleh masyarakat luas. Selain itu dibentuk pula Dewan Perwakilan
Daerah (DPD) untuk mengakomodasi aspirasi daerah.
Setelah bangsa Indonesia menyatakan kemerdekaannya pada 17 Agustus
1945, gagasan demokrasi dalam kehidupan politik mendapat tempat yang
sangat menonjol. Para pemimpin bangsa Indonesia saat itu bersepakat untuk
memilih demokrasi dalam kehidupan bernegara yang kemudian di tungkan
kedalam UUD 1945. Pada awal perjalanannya, melalui pasal IV aturan
pealihan UUD 1945, presiden di beri kekuasaan sementara untuk melakukan
kekuasaan MPR,DPR,dan DPA sebelum lembaga-lembaga konstitusional
dibentuk sebagaimana mestinya.
Sebelum sempat terjadi perdebatan mengenai system pemerintahan yang di
pelopori oleh kaum muda dengan munculnya gerakan ‘parlementerisme’.
Kaum muda menghendaki agar system pemerintahan yang dibentuk adalah
sistem parlementer, bukan presidensial. Beberapa alasan yang di kemukakan
antara lain sebagai berikut:
• Adanya ketidaksetujuan terhadap peletakan kekuasaan di tangan Soekarno
yang pemerintahannya di dominasi oleh orang – orang yang pada Zaman
pendudukan Jepang menduduki jabatan penting,
• Adanya pandangan bahwa system presidensial memungkinkan dibuatnya
produk darurat legislasi yang berarti Negara terlalu kuat dan tidak
mencerminkan demokrasi
• Pemerintahan yang ada hanya untuk memberi kesan kepada dunia
Internasional bahwa Negara ini adalah Negara demokrasi yang bukan boneka
Jepang
• Adanya keinginan untuk menghalau kegiatan politik Subardjo untuk
menjadikan partai persatuan Nasional sebagai partai tunggal
Secara umum dinamika perjalanan politik Indonesia dapat di bagi kedalam 5
priode.
1. Periode Demokrasi Liberal (1945-1959)
Dinamika politik pada priode demokrasi liberal, dapat dilihat berdasarkan
aktifitas politik kenegaraan berikut:
a) Awal kemerdekaan proklamasi 17 Agustus 1945,Presiden yang untuk
sementara memegang jabatan rangkap segera membentuk dan melantik
Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP)tanggal 29 Agustus 1945 dengan
ketua Kasman Singodimedjo untuk membantu tugas –tugas presiden.
b) Untuk menghindari kekuasaan Presiden yang terpusat ,timbul usaha –
usaha untuk membangun corak pemerintahan yang lebih demokratis, yaitu
‘parlementer’.Usaha tersebut mengkristal ketika pada 7 Oktober 1945 lahir
memorandum yang ditandatangani oleh 50 orang (dari 150 orang) anggota
KNIP yang berisi dua hal:
1) Mendesak presiden agar menggunakan kekuasaan istimewanya untuk
segera membentuk MPR
2) Sebelum MPR terbentuk , hendaknya anggota – anggota KNIP dianggap
sebagai (diberi kewenangan untuk melakukan fungsi dan tugas) MPR
c) Pada 16 Oktober 1945, KNIP menindaklanjuti usulannya kepada
pemerintah yang kemudian disetujui dengan keluarnya Maklumat Wakil
Presiden No. X tahun 1945 yang diktumnya berbunyi sebagai berikut:
“Bahwa Komite Nasional Pusat, sebelum terbentuk MPR dan DPR di serahi
kekuasan legislative dan ikut menetapkan GBHN, serta menyetujui bahwa
pekerjaan Komite Nasional Pusat sehari-hari berhubung dengan gentingnya
keadaan yang di jalankan oleh sebuah Badan Pekerja yang di pilih di antara
mereka dan yang bertanggung jawab kepada Komite Nasional Pusat.
d) Untuk mendorong kearah cabinet parlementer, atas usul BP-KNIP pada 3
november 1945 dikeluarkan Maklumat Pemerintah yang pokok isinya adalah
“agar aliran-aliran dalam masyarakat segera membentuk partai politiknya
sebelum di langsungkan Pemilu yang akan diselenggarakan pada bulan Juni
1945”. Maklumat inilah yang menjadi dasar banyak partai atau multipartai.
e) Sebagai tindak lanjut Maklumat Wakil Presiden No.X tahun 1945,
kemudian keluarlah Maklumat Pemerintah 14 November 1945 tentang
Susunan Kabinet berdasarkan sisitem parlementer. Sejak saat itu,tanpa
mengubah UUD 1945 sistem pemerintahan bergeser dari cabinet presidensial
ke cabinet parlementer (liberal-dmokratis)
f) Pergeseran politik Indonesia kembali mengalami dinamika sejak di
berlakukan Konstitusi RIS 1949 yang menerapkan “perlementerisme”
dengan “ federalisme”. Sistem federalism dalam mekanisme hubungan antara
pusat dan daerah (Negara bagian) meletakkan pemerintah pemerintah pusat
dan pemerintah Negara-Negara bagian dalam susunan yang sederajat.
Sehingga untuk parlemen, terdiri dari 2 badan (bikameral) yaitu: senat
(mewakili negra bagian) dan dewan perwakilan rakyat.
g) Pada 17 Agustus 1950, RIS resmi bubar dan negra Indonesia kembali
kebentuk Negara kesatuan. Namun system politik demokrasi liberal yang
diterpakan menunjukkan pola hubungan antara pemerintah dengan
parlemen sebagai bureu-nomia, yaitu pemerintahn partai – partai. Karena
sejak berlakunya UUDS 1950 (kurun waktu), partai-partai melalui parlemen
seringkali menjatuhkan mosi tidak percaya kepada cabinet sehingga cabinet
yang ada hanya berumur rata-rata 1,5 tahun. Walaupun tahun 1955 pernah
dilaksanakan Pemilu pertama, namun di segala bidang kehidupan terjadi
instabilitas.
2. Periode Demokrasi Terpimpin ( 1959 – 1966 )
Demokrasi Terpimpin adalah paham demokrasi berdasarkan kerakyatan
yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan, yang berintikan musyawarah untuk mufakat
secaa gotong-royong antara semua kekuatan nasional yang Progresif
Revolusioner berporoskan Nasakom (Nasionalisme, Agama dan Komunisme).
Dinamika politik pada periode demokrasi terpimpin dapat dilihat
berdasarkan aktivitas politik kenegaraan sebagai berikut.
a) Keluarnya dekrit presiden 5 juli 1959 telah mengakhiri system politik
liberal yang kemudian diganti dengan system”demokrasi terpimpin” dan
berlakunya kembali UUD 1945.
b) Dekrit presiden 5 juli 1959, selai didukung oleh angkata darat dan
mahkamah agung, juga di dukung oleh rakyat karena kegagalan konstituante
dalam melaksanakan tugasnya yaitu membuat UUD yang baru.
c) Situasi politik pada era reformasi demokrasi terpimpin diwarnai oleh tarik
menarik tiga kekuatan politik utama yang saling memanfaatkan, yaitu
Soekarno, Angkatan Darat dan PKI.Soekarno memerlukan PKI untuk
menghadapi Angkatan Darat yang berubah menjadi kekuatan politik yang
menyaingi kekuasaan Soekarno, PKI memerlukan Soekarno untuk
mendapatkan perlindungan dari presiden dalam melawan Angkatan Drata,
sedangkan Angkatan Darat membutuhkan Soekarno untuk mendapatkan
legitimasi bagi keterlibatannya di dalam politik.
d) Demokrasi Terpimpin seperti yang tercantum di dalam Tap MPRS No.
VIII/MPRS/1965, mengandung ketentuan tentang mekanisme pengambilan
keputusan berdasarkan ‘musyawarah mufakat’. Jika mufakat bulat tidak
dapat tercapai, maka keputusan tentang masalah yang dimusyawarahkan itu
diserahkan kepada presiden untuk diambil keputusan.
e) Pilar-pilar demokrasi dan kehidupan kepartaian serta legislative menjadi
sangat lemah, sebaliknya presiden sebagai kepala eksekutif menjadi sangat
kuat. Sebagai contoh, DPR yang dibentuk melalui Pmilu 1955 dibubarkan
oleh presiden pada tahun 1960. Sebagai pengganti, DPR-GR yang dibentuk
lebih banyak sekedar membrikan legitimasi atas keinginan-keinginan
Presiden.
3. Periode Orde Baru (1996-1998)
Tragedi nasional pembunuhan enam orang jenderal Angkatan Darat pada 1
Oktober 1965 telah memunculkan krisis politik sehingga terjadi kemerosotan
kekuasaan soekarno secara tajam. Tarik menarik kekuasaan antara
Soekarno, PKI, dan angkatan Darat, akhirnya dimenagkan oleh Angkatan
Darat.
Soeharto mendapat mandate dari soekarno untuk memulihkan keamanan
melalui Surat Perintah 11 Maret 1966 yang dikenal dengan Supersemar yang
isinya “pelimpahan kekuasaan kepada Soeharto untuk mengambil segala
tindakan yang diperlukan unutk menjamin keamanan dan stabilitas
pemerintahan serta keselamatan pribadi presiden” SP 11 Maret member jalan
bagi tampilnya militer (terutama Angkatan Darat) sebagai pemeran utama
dalam politik Indonesi. Soeharto dan jajaran TNI AD mengambil langkahlangkah penting dengan membubarkan PKI dan ormasnya, memburu para
aktivis PKI, dan menciptakan stabilitas keamana. Kendali kekuasaan praktis
berada di tangan Soeharto dan jajaran pemimpin TNI AD sejak 12 Maret
1966 bersamaan dengan pembubaran PKI (diperkuat dengan keluarnya
Ketetapan MPRS No. XXV/MPRS/1966). Selanjutnya pemerintahan Soeharto
yang tampil menggantikan Soekarno sejak 12 Maret 1967 menamakan diri
pemerintahan orde baru.
Istilah Orde Baru, yang memisahkan diri dari Orde Lama, muncul sewaktu
diselenggarakab seminar II TNI/AD di SESKOAD Bandung pada tanggal 2531 April 1966. Orde Baru adalah suatu tatanan seluruh perkehidupan rakyat,
bangsa dan Negara yang diletakkan kembali kepada kemurnian Pancasila
UUD 1945. Orde Baru berlandaskan pada pancasila (landasan ideal), UUD
1945(landasan konstitusional), dan TAP MPRS/MPR (landasan Operasional).
Dinamika Politik pada periode Orde Baru, dapat dilihat berdasarkan
aktivitas politik kenegaraan sebagai berikut:
a. Terjadinya krisis politik yang luar biasa, yaitu banyaknya demonstrasi
mahasiswa, pelajar dan ormas-ormas onderbow parpol yang hidup dalam
tekanan selama era demokrasi terpimpin, sehingga melahirkan Tiga Tuntutan
Rakyat (Tritura) yaitu:
1) Bubarkan PKI,
2) Bersihkan Kabinet Dwi Kora dari PKI,
3) Turunkan harga/perbaikan ekonomi.
b. Pemerintahan Orde Baru lebih memprioritaskan pembanguan ekonomi,
dan pada sisi lain rezim ini berupaya menciptakan stabilitas politik dan
keamanan. Pengalaman masa lalu dengan demokrasi liberal dan demokrasi
terpimpin telah berakibat berlarut-larutnya instabilitas politik sehingga
Negara tidak memikirkan pembangunan ekonomi secara serius. Namun
demikian, upaya untuk membangun stabilitas tersebut dilakukan dengan
mengekang hak-hak politik rakyat atau demokrasi.
c. Pada awal pemerintahan Orde Baru, Parpol dan Media massa diberi
kebebasan unutk melancarkan kritik dan pengungkapan realita di dalam
masyarakat. Namun sejak dibentuknya format politik baru yang dituangkan
dalam UU No.15 dan 16 Tahun 1969 (tentang pemilu dan Susduk
MPR/DPR/DPRD) menggiring masyarakat Indonesia kea rah otoritarian.
Dalam UU tersebut dinyatakan bahwa pengisian 1/3 kursi anggota MPR dan
1/5 anggota DPR dilakukan melalui pengangkatan secara langsung tanpa
melalui Pemilu.
d. Kemenangan Golkar pada Pemilu 1971 mengurangi oposisi terhadap
pemerintah di kalangan sipil, kareba Golkar sangat dominan, sementara
partai-parti lain berada di bawah pengawasan/ control pemerintah.
Kemenangan ini juga mengantarkan Golkar menjadi partai hegemonik yang
kemudian bersama ABRI dan birokrasi menjadikan dirinya sebagai tumpuan
utama rezim Orde Baru unutk mendominasi semua proses politik.
e. Pada 1973 pemerintah melaksanakan penggabungan Sembilan Parpol
peserta Pemilu 1971 ke dalam 2 Parpol, yaitu Partai Persatuan Pembangunan
(PPP) yang menggabungkan partai-partai Islam dan Partai Demokrasi
Indonesia (PDI) yang merupakan gabungan partai-partai nasional dan
Kristen. Penggabungan (fusi) ini mengakibatkan merosotnya perolehan 2
Parpol pada Pemilu 1977, sementara Golkar mendominasi perolehan suara.
Dominasi Golkar ini terus berlanjut hingga kemenangan terbesarnya
diperoleh pada tahun 1997.
f. Selama Orde Baru berkuasa, pilar-pilar demokrasi seperti Parpol dan
Lembaga Perwakilan Rakyat berada dalam kondisi lemah dan selalu
dibayangi oleh control dan penetrasi birokrasi yang sangat kuat. Anggota
DPR selalu dibayang-bayangi oleh mekanisme recall (penggantian anggota
DPR karena dianggap telalu kritis atau karena pelanggaran lain), sementara
Parpol tidak mempunyai otonomi internal.
g. Eksekutif sangat kuat sehingga partisipasi politik dari kekuatan-kekuatan
di luar birokrasi sangat lemah. Kehidupan pers selalu dibayang-bayangi oleh
pencabutan Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP). Sementara rakyat
tidak diperkenankan menyelenggarakan aktivitas social dan politik tanpa izin
dari Negara. Praktis tidak muncul kekuatan civil society yang mampu
melakukan control dan menjadi kekuatan penyeimbang bagi kekuasaan
pemerintah Soeharto yang sangat dominan.
Perbedaan Penerapan Otoritarianisme
Tidak ada system kepartaian selama masa Demokrasi Terpimpin
Tumpuan kekuatan ada pada Presiden Soekaro
Jalan Politik sebagai kebijakan cenderung inkonstitusional
Melahirkan system kepartaian yang hegemonic Obsesinya adalah
pemusatan kekuasaan untuk mencegah disentegrasi
Tumpuan kekuatan selain pada Presiden Soeharto, juga pada ABRI, Golkar
dan Birokrasi
Lebih memilih jalan politik justifikasi dengan membentuk berbagai
perangkat hokum untuk membenarkan kebijakan otoriter
Memiliki obsesi membangun stabilitas nasional sebagai prasyarat kelancaran
pembangunan ekonomi.
Terdapat perbedaan mendasar antara kebijakan pemerintah Soekarno
dengan pemerintah Soeharto. Pada awalnya Soekarno cenderung mendorong
kebebasan politik, tetapi setelah terjadi kebuntuan politik dan justru
mengambil alih kendali melalui kebijakan Demokrasi Terpimpin. Dengan
demikian segala kebijakan terpusat di tangan Soekarno hingga turunnya dia
dari kekuasaan pada 1966.
Kepemimpinan soeharto juga sangat terpusat, tetapi da membangun
kekuasaannya dengan tiga pilar utama, yaitu ABRI, Golkar dan Birokrasi.
Berbeda dengan soekarno, Soeharto justru membatasi hak-hak politik
masyarakat dengan alas an stabilitas keamanan. Pembangunan ekonomi
dikedepankan, namun ruang kebebasan dipersempit. Akibatnya,
pemerintahan soeharto berjalan nyaris tanpa control masyarakat sehingga
kemajuan ekonomi digerogoti oleh maraknya Korupsi, Kolusi dan epotisme.
4. Periode Reformasi (1998-sekarang)
Era Reformasi disebut juga sebagai Era Kebangkitan Demikrasi. Presiden
B.j. Habibie dalam pidato kenegaraan di hadapan DPR/MPR (tanggal 15
Agustus 1998) antara lain menyebutkan:
a. Esensi Reformasi Nasional adalah koreksi terencana, melembaga dan
berkesiambungan tehadap seluruh penyimpangan yang telah tejadi dalam
bidang ekonomi, politik dan hokum.
b. Sasarannya adalah agar bangsa Indonesia bangkit kembali dengan suasana
yang lebih terbuka, lebih teratur dan lebih demokratis
Sebagian keberhasilan pemerintahan Orde Baru dalam melaksanakan
pembangunan ekonomi harus diakui sebagai prestasi besar bagi rakyat dan
bangsa Indonesia. Indikasi keberhasilan tersebut antara lain
tingkatpendapatan per kapita pada tahun 1977 mencapai angka mendekati
US$ 1200 dengan pertumbuhan sebesar 7%. Ditambah pula meningkatnya
sarana dan prasarana fisik infrastuktur yang dapat dinikmati oleh sebagian
besar masyarakat Indonesia.
Namun keberhasilan ekonomi yang dicapai pada masa Orde Baru, tidak
diimbangi oleh pembangunan mental dan bidang-bidang lain. Akibat
langsung yang dapat dirasakan oleh masyarakat menjelang runtuhnya Orde
Baru adalah praktik Korupsi, kolusi dan Nepotisme (KKN) yang semakin
marak dalam berbagai bidang kehidupan. Hal ini selain mengakibatkan
terjadinya krisis kepercayaan, juga telah menghancurkan nilai-nilai
kejujuran dan keadilan, etika politik, moral hokum, dasar-dasar demokrasi
dan sebdi-sendi agama.
Khusus di bidang politik, krisis kepercayaan tersebut direspon oleh
masyarakat melalui kelompok penekan (pressure group) dengan mengadakan
berbagai macam unjuk rasa/demostrasi yang dipelopori oleh pelajar,
mahasiswa, dosen, praktisi, LSM dan politisi. Gelombang demonstrasi yang
menyuarakan ‘reformasi’ begitu deras mengalir dengan dukungan dari
berbagai kalangan yang semakin kuat dan meluas. Akhirnya pada tanggal 21
Mei 1998 Presiden soeharto menyatakan mengundurkan diri. Wakil Presiden
B.J Habibie yang menggantikan kepeimpinan nasional di Indonesia dilantik
dihadapan Ketua MA dan Ketua serta Wakil Ketua DPR/MPR.
Dinamika politik pada periede era Reformasi, dapat dilihat berdasarkan
aktivitas politik kenegaraan sebagai berikut:
a. Kebijakan pemerintah yang member ruang gerak lebih luas terhadap hakhak untuk mengeluarkan pendapat secara lisan maupun tulisan yang
terwujud dalam bentuk peraturan perundang-undangan. Misalnya
dikeluarkannya UU No. 2/1999 tentang Partai Politik yang memungkinkan
multipartai, UU No. 12/1999 tentang Pegawai Negeri yang menjadi anggota
Parpol, dan sebagainya.
b. Upaya mewujudkan pemerintahan yang bersih dari KKN, berwibawa dan
bertanggung jawab dibuktikan dengan dikeluarkannya Ketetapan MPR
No.IX/MPR/1998. Ketetapan MPR ini ditindaklanjuti dengan dikeluarkannya
UU No. 30 Tahun 2002 tentang Pembentukan Komisi Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi dan sebagainya.
c. Lembaga legislative dan organisasi social politik sudah memiliki
keberanian unutk menyatakan pendapatnya terhadap eksekutif yang
cenderung lebih seimbang dan proporsional.
d. Satu hal yang membanggakan kita dalam reformasi politik adalah adanya
pembatasan jabatan Presiden, dan untuk pemilu 2004 Presiden dan Wakil
Presiden tidak dipilih lagi oleh MPR melainkan dipilih langsung oleg rakyat.
Demikian juga untuk anggota legislative, mereka telah diketahui secara
terbuka oleh masyarakat luas. Selain itu dibentuk pula Dewan Perwakilan
Daerah (DPD) untuk mengakomodasi aspirasi daerah.